bab ii tinjauan pustaka a. sejarah pidana penjara indonesiaeprints.umm.ac.id/38649/3/bab ii.pdf ·...

28
19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Pidana Penjara Indonesia Pidana penjara sesungguhnya adalah satu jenis pidana perampasan kemerdekaan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHP) dari banyak negara, jenis pidana ini tergolong ke dalam pidana pokok, termasuk Negara Indonesia. 5 Namun di masa penjajahan Belanda, pada saat itu Belanda mulai menguasai beberapa bagian dari Indonesia, maka sejak itulah dirasa perlu diadakan peradilan untuk orang-orang Pribumi. Hukum yang berlaku yaitu hukum yang berlaku atau yang dianggap berlaku bagi orang pribumi dengan batasan antara lain, mengenai jenis pidana dan asas keseimbangan di dalam penjatuhan pidana, pidana potong tangan dan kaki dihapus, sedang yang masih dipertahankan adalah pembakaran, penusukan dengan keris, penderaan, mencap dengan besi panas, perantaian, dan hukuman kerja paksa. 6 Pada zaman Hindia Belanda, berdasarkan penelitian Notosoesanto 7 , yang dilakukan beliau ketika menjabat sebagai Kepala Jawatan Kepenjaraan, rumah tahanan pada zaman Penjajahan Belanda ada tiga macam: 1. Bui (1602) tempatnya dibatasi pemerintah kota. 5 Roeslan Saleh. 1981.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan. Jakarta. Aksara Baru. Hal. 25. 6 Sudarto. 1981.Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan, Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung. Alumni. Hal. 25. 7 Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta. Pradnya Paramita. Hal. 77.

Upload: others

Post on 30-Oct-2019

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Pidana Penjara Indonesia

Pidana penjara sesungguhnya adalah satu jenis pidana perampasan

kemerdekaan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya

disebut dengan KUHP) dari banyak negara, jenis pidana ini tergolong ke

dalam pidana pokok, termasuk Negara Indonesia.5

Namun di masa penjajahan Belanda, pada saat itu Belanda mulai

menguasai beberapa bagian dari Indonesia, maka sejak itulah dirasa perlu

diadakan peradilan untuk orang-orang Pribumi. Hukum yang berlaku yaitu

hukum yang berlaku atau yang dianggap berlaku bagi orang pribumi dengan

batasan antara lain, mengenai jenis pidana dan asas keseimbangan di dalam

penjatuhan pidana, pidana potong tangan dan kaki dihapus, sedang yang

masih dipertahankan adalah pembakaran, penusukan dengan keris,

penderaan, mencap dengan besi panas, perantaian, dan hukuman kerja

paksa.6

Pada zaman Hindia Belanda, berdasarkan penelitian Notosoesanto7,

yang dilakukan beliau ketika menjabat sebagai Kepala Jawatan Kepenjaraan,

rumah tahanan pada zaman Penjajahan Belanda ada tiga macam:

1. Bui (1602) tempatnya dibatasi pemerintah kota.

5 Roeslan Saleh. 1981.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan.

Jakarta. Aksara Baru. Hal. 25. 6 Sudarto. 1981.Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan, Kapita Selekta

Hukum Pidana. Bandung. Alumni. Hal. 25. 7 Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta. Pradnya

Paramita. Hal. 77.

20

2. Ketingkwarter, merupakan tempat buat orang-orang perantauan.

3. Vrouwentuchthui adalah tempat menampung orang-orang perempuan

Bangsa Belanda yang karena melanggar kesusilaan (overspel).

1. Sejarah Kepenjaraan di Indonesia

Perkembangan kepenjaraan di Indonesia terbagi menjadi 2 kurun

waktu dimana tiap-tiap kurun waktu mempunyai ciri tersendiri, diwarnai

oleh aspek-aspek sosio kultural, politis, ekonomi yaitu:

a. Kurun waktu pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan di Indonesia

sebelum proklamasi kemerdekaan RI (1872-1945), terbagi dalam 4

periode yaitu :

1) Periode kerja paksa di Indonesia (1872-1905). Pada periode ini

terdapat 2 jenis hukum pidana, khusus untuk orang Indonesia dan

Eropa. Hukum pidana bagi orang Indonesia ( KUHP 1872 ) adalah

pidana kerja, pidana denda dan pidana mati. Sedangkan hukum

pidana bagi orang Eropa (KUHP 1866) telah mengenal dan

dipergunakan pencabutan kemerdekaan (pidana penjara dan pidana

kurungan). Perbedaan perlakuan hukuman pidana bagi orang Eropa

selalu dilakukan di dalam tembok (tidak terlihat) sedangkan bagi

orang Indonesia terlihat oleh umum.

2) Periode pelaksanaan pidana di Indonesia menjelang berlakunya

Wetboek Van Strafrecht Voor Nederland Indie ( KUHP, 1918 )

periode penjara sentral wilayah ( 1905-1921 ). Periode ini ditandai

dengan adanya usaha-usaha untuk memusatkan penempatan para

21

terpidana kerja paksa di dalam pusat-pusat penampungan wilayah.

Pidana kerja lebih dari 1 tahun yang berupa kerja paksa dengan

dirantai atau tanpa dirantai dilaksanakan diluar daerah tempat asal

terpidana. Kemudian sejak tahun 1905 timbul kebijaksanaan baru

dalam pidana kerja paksa dilakukan di dalam lingkungan tempat

asal terpidana.

3) Periode pelaksanaan pidana di Indonesia setelah berlakunya

Wetboek Van Strafrecht Voor Nederland Indie (KUHP 1918)

periode kepenjaraan Hindia Belanda ( 1921-1942 ). Pada periode ini

terjadi perubahan sistem yang dilakukan oleh Hijmans sebagai

kepala urusan kepenjaraan Hindia Belanda, ia mengemukakan

keinginannya untuk menghapuskan sistem dari penjara-penjara

pusat dan menggantikannya dengan struktur dari sistem penjara

untuk pelaksanaan pidana, dimana usaha-usaha klasifikasi secara

intensif dapat dilaksanakan Hijmans. Pengusulan adanya tempat-

tempat penampungan tersendiri bagi tahanan dan memisahkan

antara terpidana dewasa dan anak-anak, terpidana wanita dan pria.

4) Periode pelaksanaan pidana di Indonesia dalam periode pendudukan

balatentara Jepang (1942-1945). Pada periode ini menurut teori

perlakuan narapidana harus berdasarkan reformasi atau rehabilitasi

namun dalam kenyataannya lebih merupakan eksploitasi atas

manusia. Para terpidana dimanfaatkan tenaganya untuk kepentingan

Jepang. Dalam teori para ahli kepenjaraan Jepang perlu adanya

22

perbaikan menurut umur dan keadaan terpidana. Namun pada

kenyataannya perlakuan terhadap narapidana bangsa Indonesia

selama periode pendudukan tentara Jepang merupakan lembaran

sejarah yang hitam dari sejarah kepenjaraan di Indonesia, hal ini

tidak jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya (penjajahan

Belanda).

2. Dasar Hukum Sistem Penjara Sebelum Kemerdekaan

a. Ordonnantie op de Voorwaardilijke Ivrijheidstelling (Stb. 1917-

149.27 Desember 1917 jo. Stb. 1926-488).

b. Gestichtenreglement (Stb. 1917-708, 10 Desember 1917).

c. Dwangopvoedingsregeling (Stb. 1917-741, 24 Desember 1917).

d. Uitvoeringsordonnantie op de Voorwaardilijke Veroordeeling (Stb.

1926-487. 6 November 1926).

Perubahan besar dalam sistem penjara dan perbaikan keadaan penjara

baru dimulai pada tahun 1905. Beberapa penjara yang lebih luas dan sehat

mulai didirikan, pegawai-pegawai yang dianggap cakap dalam urusan

kepenjaraan mulai direkrut. Di penjara Glodok diadakan percobaan dengan

cara memberikan pekerjaan dalam lingkungan pagar tembok penjara kepada

beberapa narapidana kerja paksa.8 Sehubungan dengan percobaan ini, maka

Staatblad 1871 No. 78 mendapat sediki perubahan. Dalam jangka waktu

1905 sampai 1918 didirikan penjara-penjara untuk dijadikan contoh.

8 Mohammad Taufik Makarao. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.

Yogyakarta. Kreasi Wacana. Hal. 139.

23

Penjara-penjara pusat biasanya berukuran sangat besar, dengan kapasitas

kira-kira untuk 700 orang terpiidana, merupakan gabungan Huis van

Bewaring (rumah penjara pidana berat), yang sukar untuk mengurusnya

karena masing-masing golongan menghendaki cara perlakuan yang khusus.9

Pada tahun 1931 ada beberapa penjara yang mempunyai kedudukan

khusus yaitu : (1) Penjara Sukamiskin dijadikan penjara istimewa untuk

semua golongan yang terpelajar dan berkedudukan dalam masyarakat. (2)

Penjara Sukamiskin diberikan percetakan. (3) Di Penjara Cipinang

dilanjutkan percobaan dengan chambretta (tempat tidur yang terpisah untuk

narapidana). (4) Bagian-bagian untuk orang-orang komunis di Penjara

Padang dan Glodok dihapuskan dan dipindah ke Pamekasan. (5) Penjara

untuk anak-anak di Pamekasan dihapuskan dan digunakan untuk orang-

orang yang dituduh komunis dan penjara anak-anak di Banyubiru dan

Tangerang. (6) Mengadakan percobaan dengan ploeg-stukloon system (7

(tujuh) atau 8 (delapan) orang bekerja bersama-sama dengan mendapat

upah).10

Sejarah masa lampau tentang gambaran penjara pada zaman

penjajahan Belanda, penuh dengan penderitaan yang kini masih terlihat pada

bangunan-bangunan penjara dengan sel-selnya. Bangunan penjara dirancang

sedemikian rupa secara khusus sebagai tempat untuk membuat jera para

9 Ibid. 10 Ibid. hal. 141 – 142.

24

pelanggar hukum. Oleh karena itu namanya menjadi penjara, yaitu tempat

untuk membuat jera.11

Kemudian pada zaman kemerdekaan tercetuslah gagasan

pemasyarakatan yang dikemukakan oleh Sahardjo dalam pidatonya saat

penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas

Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Dalam pidatonya itu beliau memberikan

rumusan dari tujuan pidana penjara sebagai berikut: “Di samping itu

menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan

bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi

seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna, dengan perkataan

yang lain, tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan, yang mengandung

makna bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya

perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang-orang yang telah

tersesat, diayomi oleh pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehingga

menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.12

Jika berbicara tentang sistem pemasyarakatan, maka tidak terlepas

dengan salah seroang pemimpin di bidang pemasyarakatan yang telah ada

sejak zaman Hindia Belanda, yaitu Bachroedin Soerjobroto. Beliau

mengemukakan, bahwa prinsip pemasyarakatan itu adalah “pemulihan

kembali kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan, yang

terjalin antara manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya,

11 Suwarto. 2007. Disertai Doktor: Pengembangan Ide Individualisasi Pidana Dalam

Pembinaan Narapidana Wanita. Medan.Universitas Sumatera Utara. Hal. 103. 12 Djoko Prakoso. 1988. Hukum Penitensier di Indonesia. Yogyakarta. Liberty. Hal. 62.

25

manusia dengan masyarakat, manusia sebagai keseluruhan, manusia dengan

alamnya dan (dalam keseluruhan ini manusia sebagai makhluk Tuhan,

manusia dengan KhalikNya).13

Walaupun istilah penjara telah diubah menjadi Lembaga

Pemasyarakatan, namun pelaksanaannya masih menghadapi beberapa

masalah, antara lain : 14

a. Gedung-gedung penjara peninggalan Belanda masih tetap

dipergunakan, karena merubah sesuai dengan cita-cita

pemasyarakatan memerlukan biaya yang sangat besar.

b. Petugas-petugas pemasyarakatan masih sedikit sekali yang

memahami tujuan pemasyarakatan.

c. Masalah biaya dan masyarakat yang masih belum dapat menerima

narapidana setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan.

Dalam perkembangan selanjutnya diharapkan Indonesia terus

melakukan segala macam upaya perbaikan dan penyempurnaan

penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan Undang-Undang

No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut dengan :

UU No. 12/1995)

13 Sudarto, Op. Cit. Hal. 98. 14Soedjono Dirdjosisworo. 1972. Dasar-Dasar Penologi Usaha Pembaharuan Sistem

Kepenjaraan dan Pembinaan Narapidana. Bandung. Alumni. Hal. 87.

26

3. Perbedaan Prinsip Sistem Kepenjaraan dan Sistem Pemasyarakatan

Sistem kepenjaraan dan sistem pemasyarakatan perbedaannya terletak

pada asas tujuan dan pendekatan yang melandasi tata perlakuan (pembinaan)

terhadap para narapidana.

Tabel 1.

Perbedaan Sistem Kepenjaraan dan Sistem Pemasyarakatan

No. Perbedaan Sistem Kepenjaraan Sistem Pemasyarakatan

1. Asas Titik berat pada

pembalasan,

memberikan derita

kepada pelanggar

hukum.

Pancasila (falsafah

negara).

2. Tujuan Supaya pelanggar

hukum menjadi jera,

masyarakat dilindungi

dari perbuatan jahatnya.

Disamping melindungi

masyarakat, juga

membina narapidana

agar selama dan

terutama setelah selesai

menjalani pidananya ia

dapat menjadi manusia

yang baik dan berguna.

3. Pendekatan Pendekatan keamanan

dan pengasingan dari

masyarakat secara

penuh.

Pendekatan keamanan

melalui tahap

maksimum, dan

minimum security dan

dilakukan pula

pendekatan pembinaan

(treatment approach) di

dalam maupun diluar

lembaga

pemasyarakatan dengan

menerapkan metode

kekeluargaan.

B. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan

Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno dalam konferensi dinas

Pemasyarakatan tahun 1964, menyampaikan arti penting pembaharuan

27

pidana penjara di Indonesia, yaitu merubah nama kepenjaraan menjadi

pemasyarakatan. Berdasarkan pertimbangan ini kemudian disusun suatu

pernyataan tentang Hari Lahir Pemasyarakatan Republik Indonesia pada hari

Senin tanggal 27 April 1964 dan Piagam Pemasyarakatan Indonesia.15

Selanjutnya dalam sambutan Menteri Kehakiman RI dalam

pembukaan rapat kerja terbatas Direkorat Jenderal Bina Tuna Warga tahun

1976 menegaskan kembali prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan

sistem pemasyarakatan yang sudah dirumuskan dalam Konfernsi Dinas

Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Jawa Barat.16

Maka dirumuskanlah sepuluh (10) prinsip dasar yang kemudian

menjadi salah satu landasan dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan di

Republik Indonesia. Sesuai dengan tuntutan dari apa yang tercantum dalam

sepuluh prinsip Pemasyarakatan itu, maka perlakuan terhadap narapidana

dan anak didik harus berpedoman pada pembinaan. Kesepuluh prinsip yang

dihasilkan dalam Konferensi Lembang tersebut, dinilai sangat baik untuk

digunakan dalam menjalankan pmbinaan narapidana dan anak didik. Maka

sebaiknya para petugas lembaga pemasyarakatan yang ada diseluruh

Indonesia diharapkan dapat berusaha dengan maksimal untuk

melaksanakannya. Dengan demikian perlakuan terhadap narapidana dan

anak didik adalah melakukan pembinaan, agar narapidana itu menjadi

manusia yang berguna di masa mendatang. Program pembinaan harus

disusun sedemikian rupa dan dengan segala pertimbangan, agar manfaatnya

15 Suwarto. Op. Cit. Hal. 106. 16 Ibid.

28

dapat dirasakan oleh narapidana dan anak didik, kemudian diharapkan

menumbuhkan kesadaran hukum narapidana dan anak didik secara baik.

Program-program pembinaan yang teratur, dan disusun secara matang serta

yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan kelayakan akan menjamin

integritas sistem pemasyarakatan.17

10 (sepuluh) prinsip pemasyarakatan berdasarkan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan:18

1. Ayomi dan berikan hidup agar mereka dapat menjalankan perannya

sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang

pembalasan.

3. Berikan bimbingan ( bukan penyiksaan) supaya mereka bertaubat.

4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk, atau

lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.

5. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya pada

narapidana dan anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak

boleh bersifat sekedar pengisi waktu.

7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan

anak didik adalah berdasarkan Pancasila.

17 Soegindo. 1984. Kebutuhan Biologis Bagi Narapidana Ditinjau Dari Segi Hukum,

Agama dan Psychologi. Majalah Pemasyarakatan No. 14. Hal. 15 - 17. 18 Rutan Klas 1 Tangerang. Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan. Dalam http://

http://rutantangerang.web.id diakses pada 3 Juli 2018.

29

8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit yang perlu diobati

agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah

dilakukannya adalah merusak dirinya, keluarganya, dan

lingkungannya kemudian dibina dan dibimbing kejalan yang benar.

9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi

kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu.

10. Pembinaan dan bimbingan diberikan kepada narapidana serta anak

didik maka disediakan sarana yang diperlukan.

Mengenai struktur sistem pemasyarakatan, tentang perubahan yang

dilakukan sebagai berikut: pemasyarakatan berorientasi pada pengayoman

dan pembinaan.19 Pembinaan narapidana dan anak didik berdasarkan sistem

pemasyarakatan ini berlaku untuk segala segi yang ada dalam proses

pembinaan pemasyarakatan. Baik untuk pmbinaannya di dalam lembaga

pemasyarakatan maupun mengenai pembinaannya di luar lembaga

pemasyarakatan.20

Sistem pemasyarakatan di dalamnya terdapat proses pemasyarakatan

yang diartikan sebagai suatu proses pemasyarakatan yang diartikan sebagai

suatu proses sejak seorang narapidana atau anak didik masuk ke Lembaga

Pemasyarakatan sampai dengan kembali ke dalam kehidupan masyarakat.

Proses pembinaan ini dilaksanakan melalui 4 (empat) tahap. Tahap pertama,

yaitu tahap maximum security sampai batas 1/3 dari masa pidana yang

19 G. Suyanto. 1981. Seluk Peluk Pemasyarakatan. BPHN. Departemen Kehakiman RI.

Hal. 7. 20 Suwarto. Op. Cit. Hal. 108

30

dijatuhkan. Tahap kedua adalah medium security sampai batas ½ dari masa

pidana yang dijatuhkan. Tahap ketiga, minimum security sampai batas 2/3

dari masa pidana yang dijatuhkan. Tahap keempat yaitu tahap integrasi dan

selesainya 2/3 dari masa pidana sampai habis masa pidananya.21

Tahap-tahap sebagaimana telah diuraikan di atas hanya diberikan

apabila narapidana benar-benar mengikuti aturan-aturan yang telah berlaku

di dalam Lembaga Pemasyarakatan, serta mengikuti pembinaan yang

diberikan oleh petugas-petugas Lembaga Pemasyarakatan dengan tekun

hingga berkelakuan baik dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin.

Tetapi apabila dia berkelaukan tidak baik maka dia tidak akan dinaikkan ke

tahap berikutnya atau misalnya dia sudah berkelakuan baik dan naik pada

tahap berikutnya, namun dia membuat keributan dan mengadakan

pemberontakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, atau bahkan melarikan

diri lalu kemudian tertangkap lagi, maka dia kembali ke tahap pertama

(tahap maximum security).

Untuk itu secara idealnya setiap Lembaga Pemasyarakatan secara

khusus diperuntukkan bagi narapidana atau anak didik berdasarkan pada

tahap-tahap sebagaimana telah dijelaskan di atas. Misalnya Lembaga

Pemasyarakatan khusus untuk narapidana pada tahap maximum security saja

21 Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir. 1995. Lembaga Pemasyarakatan

dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Hal. 72 - 72.

31

atau untuk tahap medium security saja ataupun untuk tahap minimum

security saja. Ini disebut Lembaga Pemasyarakatan “Single Purpose”.22

Posisi Lembaga Pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan di

dalam sistem peradilan pidana sangat strategis dalam merealisasikan tujuan

akhir dari sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan resosialisasi

pelanggar hukum, bahkan sampai kepada penaggulangan kejahatan

(surpression of crime).23 Keberhasilan dan kegagalan pembinaan yang

dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan akan memberikan kemungkinan-

kemungkinan penilaian yang dapat bersifat positif maupun negatif. Penilaian

itu bersifat positif, apabila bekas narapidana menjadi warga masyarakat

yang taat pada hukum. Penilaian itu dapat negatif, bahkan mencela Lembaga

Pemasyarakatan jika mantan narapidana yang pernah dibina menjadi

seorang residivis.24

Isi pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12

Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yaitu sistem pembinaan

pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:

a. Pengayoman.

b. Persamaan perlakuan dan pelayanan.

c. Pendidikan.

d. Pembimbingan.

22 Bachtiar Agus Salim. 1985. Pidana Penjara Dalam Stelsel Pidana di Indonesia.

Disertai Doktor : Universitas Sumatera Utara. Hal. 188 - 189. 23 Irwan Petrus Panjaitan. 1992. Persepsi Bekas Narapidana Terhadap Pola Pembinaan

Narapidana Melalui sistem Pemasyarakatan. Tesis Program Studi Ilmu Hukum, Program

Pascasarjana Universita Indonesia. Hal. 139 - 141. 24Suwarto. Op. Cit. Hal. 126.

32

e. Penghormatan harkat dan martabat manusia.

f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya

penderitaan.

g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga

dan orang-orang tertentu.

33

C. Tinjauan Umum Tentang Lembaga Pemasyarakatan

Berdasarkan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut

LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak

didik pemasyarakatan. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan

pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan,

dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan

dalam tata peradilan pidana.

Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas

serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila

yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan

masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar

menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana

sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif

berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga

yang baik dan bertanggungjawab. Warga binaan pemasyarakatan adalah

narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan.

Sebelum dikenal istilah LAPAS di Indonesia, tempat tersebut disebut

dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit

Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu departemen

Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana

(napi) atau warga binaan pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang

statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada

dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh

hakim. Pegawai Negeri Sipil yang menangani pembinaan narapidana

dan tahanan di Lembaga Pemasyarakatan disebut dengan Petugas

Pemasyarakatan, atau dahulu lebih dikenal dengan istilah sipir

34

penjara. Konsep Pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri

Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962.25

Dari pengertian ini dapat ditarik suatu benang merah bahwa

“Lembaga Pemasyarakatan merupakan suatu badan atau organisasi yang

mengatur sekolompok orang sebagai satu kesatuan sosial dengan batasan-

batasan tertentu”.26 Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan Lembaga

Pemasyarakatan secara khusus dapat disebut sebagai suatu organisasi atau

lembaga yang mempunyai kewajiban membina sekelompok masyarakat

karena telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-

undangan sehingga diharapkan lembaga tersebut dapat berfungsi sebagai

suatu badan yang benar-benar mampu membina seseorang atau sekelompok

orang sehingga dapat lebih baik dari keadaan semula dan menjadi manusia

seutuhnya serta tidak mengulangi perbuatan yang telah dilakukan.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995

Tentang Pemasyarakatan, Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan

mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan

pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu

antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas

warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri

dan tidak mengulangi tindakan pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

25 Digilib Unila. Kajian Pustaka Terkait Lembaga Pemasyarakatan. Dalam

http://digilib.unila.ac.id diakses pada 22 Maret 2018. 26 Soejoboro.B. 1990. Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan. LPHN-UNPAD. Bandung.

Hal. 16.

35

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat

hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab.

Lembaga Pemasyarakatan merupakan lembaga yang melakukan suatu

pembinaan kepada narapidana adalah sebuah sistem, maka pembinaan

narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan

untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan komponen sistem pembinaan

narapidana adalah sebagai berikut :27

1. Pembinaan narapidana di Indonesia menggunakan filsafah Pancasila,

karena sudah menjadi kesepakatan Nasional untuk menggunakan

Pancasila sebagai falsafah dari semua segi dan pandangan hidup

bangsa Indonesia

2. Dasar hukum yang digunakan dalam sistem pembinaan narapidana di

Indonesia yaitu KUHP dan Undang-Undang yang diberlakukan oleh

Pemerintah Republik Indonesia terhadap sistem pembinaan

narapidana di Indonesia.

Dengan demikian maka dalam pembinaan narapidana, negara telah

melakukan pertimbangan bahwa tujuan pembinaan narapidana dengan

memenjarakan bukanlah menyiksa namun lebih ditekankan kepada membuat

jera kepada narapidana.

D. Tinjauan Umum Tentang Sistem Pembinaan

Tujuan pembinaan yang semula untuk membuat mereka yang menjadi

narapidana agar menjadi jera, kini tujuan itu diubah agar narapidana dibina

untuk kemudian dimasyarakatkan atau dengan kata lain dapat kembali

menjalani hidup dilingkungan masyarakat sebagaimana sebelum mereka

melakukan kejahatan dan menjadi narapidana. Sebutan bagi penjara

27 C.I. Harsono. 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta. Djambatan. Hal. 48

– 49.

36

kemudian diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam beberapa hal

perlakuan terhadap narapidana memang lebih manusiawi, narapidana tidak

lagi dianggap sebagai obyek, melainkan sebagai subyek pembinaan.

Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem, yang mana dalam

sebuah sistem terdapat komponen-komponen yang saling berkaitan di

dalamnya. Pemasyarakatan dinilai sebagai ujung tombak pelaksanaan asas

pengayoman dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan tersebut melalui

pendidikan rehabilitasi dan reintegrasi narapidana.28 Orientasi pelaksanaan

pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dimaksudkan

untuk memberikan bekal dan membentuk sikap mental terpidana agar tidak

mengulangi tindak pidananya, menginsafi kesalahannya, memperbaiki diri

dan menjadi insan yang berbudi luhur.

Secara singkat kemudian dijelaskan sebagai berikut ini. Bahwa proses

pembinaan narapidana harus berangkat dari diri narapidana sendiri, dengan

maksud bahwa keinginan untuk menjalani proses pembinaan harus

berangkat dalam diri narapidana. Kemudian selain itu, keluarga merupakan

bagian aktif yang berperan dalam sistem pembinaan narapidana. Keluarga

diharapkan dapat ikut membina narapidana karena keluarga adalah bagian

terdekat yang ada dalam diri narapidana. Kemudian masyarakat sebagai

bagian dari diri narapidana dahulu tinggal, merupakan bagian yang sama

kedudukannya dengan keluarga. Masyarakat diharapkan dapat ikut membina

narapidana dengan cara tidak mengasingkan narapidana dan menganggap

28 Sri Wulandari. Efektifitas Sistem Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Terhadap Tujuan Pemidanaan. Jurnal Ilmiah. Universitas Tujuh Belas Agustus. Semarang. Hal. 2.

37

bahwa narapidana adalah seseorang yang jahat. Serta peran petugas

pemasyarakatan, pemerintahan dan kelompok masyarakat dianggap sebagai

bagian terpenting dalam penentuan keberhasilan pembinaan narapidana,

karena komponen yang terakhir inilah yang ikut serta melakukan pembinaan

terhadap narapidana.29

Konsep “pemasyarakatan” yang melandasi upaya pembinaan

narapidana di Indonesia itu lahir sejak dicetuskan oleh Dr. Sahardjo

pada pidato upacara penganugrahan Doctor Honoris Causa dalam

ilmu hukum oleh Universitas Indonesia pada tahun 1963. Pada waktu

itu baru merupakan pemikiran intelektual dari seorang sarjana hukum

yang menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Konsep itu kemudian

dikaitkan dengan fungsi hukum, yakni “pengayoman”. Menurut

Sahardjo bila dikaitkan dengan hukum pidana, fungsi pengayoman itu

mengandung prinsip bahwa penjatuhan pidana hendaknya

memperhatikan tujuan yang bersifat mendidik kepada narapidana dan

tidak hanya diarahkan agar mereka bertaubat semata.30

Kondisi objektif menunjukkan bahwa pelaksanaan pidana penjara

tersebut kurang berhasil yang secara empiris diukur oleh masyarakat dari

intensitas kejadian di Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini disebabkan, baik

dengan kendala internal maupun kendala eksternal. Kendala internal di sini

berkaitan dengan masalah-masalah sarana dan prasarana, serta petugas di

dalam Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri. Sedangkan kendala eksternal

yang dihadapi berkaitan dengan kecenderungan yang sangat tinggi

dijatuhkan sanksi pengurungan atas pelanggaran hukum menyebabkan

Lembaga Pemasyarakatan cenderung menjadi penuh sesak. Akibatnya

program pembinaan terpidana semakin sulit untuk dilaksanakan.

29 Ibid. Hal. 52 – 78. 30 Heru Susetyo. 2013. Sistem Pembinaan Narapidana Berdasarkan Prinsip Restorative

Justice. Jakarta. Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI.

Hal. 13.

38

E. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga

Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara

1. Dasar Hukum

a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3614).

b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian

Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4916).

c. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-

syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan

Tanggung Jawab Perawatan Tahanan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 112, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3858).

d. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat

dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 69,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3846)

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

39

Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang

Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun

1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan hak Warga

Binaan Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2012 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5359).

e. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang

Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Perubahan

Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang

Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 141 ).

f. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,

Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan

Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan

Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang

Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta

Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian

Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 142).

40

g. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor

M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010

Nomor 676).

2. Latar Belakang ditetapkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga

Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

menyebutkan dalam hal pertimbangannya bahwa pada hakikatnya Warga

Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus

diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang

terpadu. Sistem pemasyarakatan merupakan rangkaian penegakan hukum

yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari

kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana

sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif

berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga

yang baik dan bertanggung jawab.

Selain melakukan pembinaan terhadap warga binaanya, Lembaga

Pemasyarakatan pun turut menjamin terselenggaranya tertib

kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan. Agar terlaksananya

pembinaan narapidana dan pelayanan tahanan perlu adanya tata tertib

baik hal tersebut mengenai kewajiban maupun larangan yang wajib

dipatuhi oleh setiap narapidana sebagai warga binaan beserta dengan

41

penjatuhan hukumam disiplin apabila melanggar tata tertib bagi para

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.31

3. Tujuan dari Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan

dan Rumah Tahanan Negara

a. Bahwa untuk menjamin terselenggaranya tertib kehidupan di

lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara dan agar

terlaksananya pembinaan narapidana dan pelayanan tahanan

perlu adanya tata tertib yang wajib dipatuhi oleh setiap

narapidana dantahanan beserta mekanisme penjatuhan

hukuman disiplin;

b. Bahwa kepatuhan terhadap tata tertib yang berlaku di dalam

lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara menjadi

salah satu indikator dalam menentukan kriteria berkelakuan

baik terhadap narapidana dan tahanan;

4. Kedudukan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan

dan Rumah Tahanan Negara

Peraturan menteri dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya

saya sebut sebagai UU No. 12/2011) tidak diatur dalam ketentuan

31Soedarto, 1987.Hukum dan Hukum Pidana. Hlm 7 Volume 2, No.1, Tahun 2016

42

Pasal ayat (1). Namun demikian, jenis peraturan tersebut

keberadaannya diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011, yang

menegaskan: Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan

oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,

Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,

Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk

dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-

Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,

Kepala Desa atau yang setingkat.

Walaupun ketentuan di atas tidak menyebut secara tegas jenis

peraturan perundang-undangan berupa Peraturan Menteri, namun frase

peraturan yang ditetapkan oleh menteri di atas, mencerminkan

keberadaan Peraturan Menteri sebagai salah satu jenis peraturan

perundang-undangan. Dengan demikian, Peraturan Menteri setelah

berlakunya UU No. 12/2011 tetap diakui keberadaannya. Kekuatan

mengikat pada Peraturan Menteri terdapat pada Pasal 8 ayat (2) UU

No. 12/2011 menegaskan: Peraturan Perundang-undangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh

43

Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk

berdasarkan kewenangan.

Dari ketentuan di atas, terdapat dua syarat agar peraturan-peraturan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011

memiliki kekuatan mengikat sebagai peraturan perundang-undangan,

yaitu:

1. Diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi; atau

2. Dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dalam doktrin, hanya dikenal dua macam peraturan perundang-

undangan dilihat dasar kewenangan pembentukannya, yaitu peraturan

perundang-undangan yang dibentuk atas dasar:

1. Atribusi pembentukan peraturan perundang-undangan; dan

2. Delegasi pembentukan peraturan perundan-undangan

A. Hamid S. Attamimmi, menegaskan “Atribusi kewenangan

perundang-undangan diartikan penciptaan wewenang baru oleh

konstitusi/grondwet atau oleh pembentuk undang-undang (wetgever)

yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada

maupun yang dibentuk baruuntuk itu”. 32

33 Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan atribusian dalam

UUD 1945, berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan

32 A.Hamid S.Attamimmi. 1990. Perbedaan Antara Peraturan Perundang-Undangan

dan Peraturan Kebijakan. Jakarta.Universitas Indonesia. Hal. 352. 33 Ibid. Hal. 347.

44

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan Peraturan Daerah

(Perda). Dalam UU No. 12/2011 juga dikenal satu jenis peraturan

perundang-undangan atribusian di luar UUD 1945, yaitu Peraturan

Presiden (Perpres), yang pada masa lalu dikenal sebagai Keputusan

Presiden yang bersifat mengatur yang dasarnya adalah Pasal 4 ayat (1)

UUD 1945.

Sementara itu, delegasi dalam bidang perundang-undangan ialah

pemindahan/ penyerahan kewenangan untuk membentuk peraturan

dari pemegang kewenangan asal yang memberdelegasi (delegans)

kepada yang menerima delegasi (delegataris) dengan

tanggungjawab pelaksanaan kewenangan tersebut pada delegataris

sendiri, sedangkan tanggungjawab delegans terbatas sekali.

Contohnya dari peraturan perundang-undangan delegasi, misalnya

tergambar dalam Pasal 19 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2006 tentang Kewarganegaraan, yang menegaskan bahwa: Ketentuan

lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk

menjadi Warga Negara Indonesiasebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Peraturan menteri yang dibentuk atas dasar perintah dari undang-

undang tersebut dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan

atas dasar delegasi (delegated legislation). Dengan demikian, secara

umum peraturan perundang-undangan delegasi adalah peraturan

perundang-undangan yang dibentuk atas dasar perintah peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi. 34

34 Jimly Asshiddiqqie & M. Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.

Jakarta. Penerbit Konstitusi Press. Hal. 157.

45

Hal ini perlu dikaji lebih lanjut dari perspektif Ilmu Perundang-

undangan terutama dalam kaitannya peraturan perundang-undangan

sebagai norma hukum yang bersifat hierarkis dimana “norma hukum

yang lebih rendah mencari validitasnya pada norma hukum yang lebih

tinggi”35 sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen atau yang disebut

oleh Joseph Raz sebagai chain of validity (dalam Jimly Asshiddiqqie

& M. Ali Safa’at.

Karena bukan peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan

tidak dapat diuji oleh Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan

menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

terhadap undang-undang. Dengan adanya ketentuan Pasal 8 ayat (2)

UU No. 12/2011, maka tidak lagi perbedaan antara Peraturan Menteri

yang merupakan peraturan perundang-undangan dengan Peraturan

Menteri yang merupakan Aturan Kebijakan.

Kedudukan Peraturan Menteri yang telah dibentuk sebelum

berlakunya UU No. 12/2011, tetap berlaku sepanjang tidak dicabut

atau dibatalkan. Namun demikian, menurut saya, terdapat dua jenis

kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk sebelum berlakunya UU

No. 12/2011. Pertama, Peraturan Menteri yang dibentuk atas dasar

perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan.

35 Jimly Asshiddiqqie & M. Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.

Jakarta. Penerbit Konstitusi Press. Hal. 157.

46

Kedua, Peraturan Menteri yang dibentuk bukan atas dasar perintah

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atas dasar

kewenangan, berkualifikasi sebagai Aturan Kebijakan. Hal ini

disebabkan UU No. 12/2011 berlaku sejak tanggal diundangkan (Pasal

104 UU No. 12/2011 2011), sehingga adanya Peraturan Menteri yang

dibentuk sebelum tanggal diundangkannya UU No. 12/2011 masih

tunduk berdasarkan ketentuan undang-undang yang lama (UU

No.10/2004). Konsekuensinya, hanya Peraturan Menteri kategori

pertama di atas, yang dapat dijadikan objek pengujian Mahkamah

Agung.

Selanjutnya, kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk setelah

berlakunya UU No. 12/2011, baik yang dibentuk atas dasar perintah

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun yang

dibentuk atas dasar kewenangan di bidang urusan pemerintahan

tertentu yang ada pada menteri, berkualifikasi sebagai peraturan

perundang-undangan. Dengan demikian, Peraturan Menteri tersebut

memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat umum dan dapat

dijadikan objek pengujian pada Mahkamah Agung, apabila dianggap

bertentangan dengan undang-undang. Sekedar menegaskan kembali,

kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk tanpa delegasi/ atas

kewenangan di bidang administrasi negara perlu dikaji lebih lanjut.