bab ii tinjauan pustaka a. post isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. bab ii.pdfterjadinya...
TRANSCRIPT
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Post Isometric Relaxation (PIR)
1. Definisi Post Isometric Relaxation
Post Isometric Relaxation (PIR) merupakan salah satu mekanisme dari
Muscle Energy Technique yang merupakan salahsatu jenis manual terapi
yang sering diaplikasikan untuk memanjangkan serabut otot yang telah
mengalami pemendekan, memobilisasi persendian, serta mereduksi
terjadinya edema. PIR dikembangkan oleh Fred Mitchell dengan
penggunaan kontraksi secara sadar yang dilakukan oleh pasien untuk
melawan suatu tahanan yang diberikan terapis. PIR merupakan teknik terapi
manual yang diberikan secara gentle dan besifat aman, serta memiliki
prinsip manipulasi halus dengan tahanan minimal yang dapat memberikan
efek relaksasi otot tanpa menimbulkan nyeri dan kerusakan jaringan. PIR
juga memberikan suatu dampak yang besar terhadap peningkatan lingkup
gerak sendi dan peregangan statis (Ellythy, 2012).
Efek utama yang diberikan dari teknik ini adalah mengurangi tonus otot
pada otot yang mengalami hipertonus serta dapat mengembalikan pajang
normal saat otot beristirahat karena adanya pengaruh dari reseptor stretch
yang disebut golgi tendon organ pada otot agonis. Kemudian reseptor
bereaksi terhadap overstretching otot oleh inhibisi otot yang selanjutnya
berkontraksi, secara natural hal tersebut
14
melindungi reaksi terhadap regangan berebih, mencega ruptur, serta
memiliki pengaruh pemanjangan karena relaksasi yang terjadi tiba– tiba
pada seluruh otot dibawah pengaruh stretching.
Dalam teknik ini, kekuatan kontraksi otot terhadap perlawanan yang
sama dapat memicu reaksi golgi tendon organ. Impuls saraf afferent dari
golgi tendon organ akan masuk menuju bagian dorsal spinal cord dan
nantinya akan bertemu dengan inhibitor motor neuron. Hal itu dapat
menghentikan impuls motor neuron afferent yang dapat mencegah
terjadinya kontraksi otot lebih lanjut, tonus otot menurun serta dapat
menghasilkan relaksasi dan pemanjangan pada otot agonist (Fryer, 2013)
Gambar 2.1 Post Isometrict Relaxation (PIR)
(Sumber : Chaitow, 2007)
2. Indikasi Post Isometric Relaxation
Konsep peregangan yang dilakukan pada saat pengaplikasian dari
teknik PIR hampir sama dengan stretching dan kontraksi isometrik. Menurt
Fryer (2013) untuk mendapatkan lingkup gerak sendi yang maksimal dan
ekstensibelitas otot, maka dapat memanfaatkan variasi isometrik dari otot
agonisnya. Teknik PIR akan meningkatkan lingkup gerak sendi secara
15
efektif selama tidak dirasakan nyeri. Penerapan PIR oleh Chaitow (2009)
dengan durasi selama 5-7 detik dengan tujuan mendapatkan hasil secara
efektif, dan juga dikatakan oleh Fryer (2013).
Kondisi yang dapat menyebabkan nyeri disfungsi spinal seperti
trauma, strain, dan juga inflamasi yang menyebabkan limitasi lingkup gerak
sendi, serta nyeri dapat ditangani dengan PIR, yaitu dengan cara
mengandalkan kontraksi secara berulang dengan gentle. Biasanya teknik
PIR juga digunakan untuk mengatasi permasalahan disfungsi pelvis akibat
sprain ligament, kelemahan otot dan juga atropi dengan menggunakan
kontraksi isometrik sehingga dapat meningkatkan stabilisasi motori (Fryer,
2013).
3. Efek pemberian Post Isometric Relaxation
a. Pada sirkulasi darah
Teknik ini dapat menimbulkan pengaruh rileksasi pada jaringan
sehingga ketegangan pada jaringan akan berkurang, terjadi peningkatan
sirkulasi darah, meningkatkan metabolisme, dan oksigen dapat masuk ke
dalam jaringan (Chaitow, 2006)
b. Pada fascia
Pemberian teknik ini dapat melepaskan perlengketan yang terjadi
pada fascia dengan melepaskan jaringan fibrosus penyebab stress
mekanik yang menyebabkan ketegangan pada fascia. Selain ini terjadi
peningkatan sirkulasi darah dan peningkatan metabolisme tubuh
sehingga nyeri berkurang (Chaitow, 2006).
16
c. Pada otot
Post isometric relaxation memanjangkan otot yang mengalami
pemendekan, mengulangi kontraktur, mengurangi hipertonus otot dan
secara fisiologis memperkuat kelompok otot yang mengalami
kelemahan. Post isometric relaxation dapat digunakan untuk membantu
meningkatkan kemampuan otot yang mengalami kelemahan dengan cara
pasien mengkontraksikan otot yang mengalami kelemahan melawan
tahanan terapis secara kontraksi isometrik dengan halus dan lembut
(Chaitow, 2006).
4. Aplikasi Post Isometric Relaxation
Terdapat prinsip serta dosis yang digunakan dalam pengaplikasian dari
post isometric relaxation, yaitu (Chaitow, 2006) :
a. Palpasi
Palpasi merupakan suatu hal yang paling penting untuk dilakukan
pada pelaksanaan post isometric relaxation, karena palpasi bertujuan
untuk mengetahui adanya tighness, hipomobile, hipermobile, dan spasme
pada otot atau sendi yang nantinya berfungsi untuk memnentukan target
jaringan yang akan diberika terapi. Teknik palpasi ini diberikan dengan
cara melakukan tekanan yang halus, dengan keadaan otot atau sendi
harus dalam posisi rileks saat dilakukannya gerakan pasif, tujuan
dilakukan hal tersebut untuk menentukan besar ketegangan tonus otot
atau mobilitas pada sendi.
17
Gambar 2.2 Palpasi pada teknik Post Isometric Relaxation
(Sumber: Chaitow, 2006)
b. Kontrol Tahanan Gerak
Penatalaksanaan pada hal ini dengan cara memberikan tahanan gerak
yang dilakukan pada saat kontraksi isometrik otot agonis sebesar 20%
dari kekuatan otot pasien ataupun fisioterapis, tujuan dilakukan hal ini
supaya jaringan disekitar tidak mengalami stress yang berlebihan yang
dapat menambah suatu kerusakan dan dapat mengiritasi jaringan
tersebut, serta agar otot tidak mengalami suatu renggangan yang
berlebih.
Gambar 2.3 Aplikasi dengan kontrol tahan gerak
(Sumber: Chaito, 2006)
18
c. Waktu Kontraksi
Panjang waktu kontaksi ini dibutuhkan untuk memberikan beban
kerja tendon golgi terhadap adanya pengaruh neurologis pada serabut
intrafusal muscle spindel yang dapat menghambat tonus otot dan dapat
memberikan kesempatan pada otot untuk mendapatkan panjang istirahat
pada otot yang baru. Waktu yang dilakukan pada saat kontraksi isometrik
yaitu selama 10 detik.
d. Pernapasan
Dalam melakukan suatu terapi pernapasan merupakan suatu hal
yang penting untuk dilakukan, karena pada teknik ini rileksasi yang
diberikan akan lebih besar serta sangat baik untuk meningkatkan
sirkulasi darah dalam tubuh. Saat dilakukannya kontraksi isometrik,
pasien diinstruksikan untuk menarik napas secara perlahan dan juga
rileks. Setelah dilakukannya penerapan PIR pasien diinstruksikan
kembali untuk menghembuskan napas secara pelahan dan juga rileks.
Gambar 2.4 Aplikasi Post Isometric Relaxation dengan melibatkan pernafasan
(Sumber: Chaitow, 2006)
19
e. Regangan atau stretching
Setelah dilakukannya kontraksi isometrik selama 10 detik lalu
diberikan peregangan atau stretching selama 5-7 detik yang dilakukan
secara halus dan perlahan.
Gambar 2.5 Aplikasi Muscle Energy Technique dengan Stretching
(Sumber: chaitow, 2006)
f. Waktu pengulangan
Sesuai dengan tujuan yang dicapai, pengulangan yang dilakukan
dapat diberikan sebanyak 5 kali. Waktu pengulangan tersebut sangat
efektif bagi rileksasi jaringan dan juga otot.
g. Mekanisme Post Isometric Relaxation untuk menurunkan nyeri
Post Isometric Relaxation (PIR) merupakan suatu manual terapi
yang dilakukan untuk meanjangkan serabut otot yang telah mengalami
pemendekan maupun ketegangan, dengan teknik yang diberikan secara
gentle dan bersifat aman serta dapat memberikan efek relaksasi otot
tanpa menimbulkan rasa nyeri. Nyeri yang turun terjadi karena kekuatan
kontraksi otot terhadap perlawanan yang sama dapat memicu reaksi golgi
20
tendon organ (reaksi golgi tendon orga dapat terjadi akibat adanya
ketegangan otot yang berlebihan). Impuls saraf afferent dari golgi tendon
organ akan masuk menuju bagian dorsal spinal cord dan nantinya akan
bertemu dengan inhibitor motor neuron. Hal tersebut yang nantinya
dapat menghentikan impuls motor neuron afferent yang dapat mencegah
terjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot
yang nantinya dapat menurunkan nyeri. Nyeri biasanya terjadi akibat
adanya perlengketan jaringan dan suplai oksigen didalam darah tidak
lancar yang nantinya dapat menimbulkan terjadinya ketegangan otot.
Pemberian PIR ditujukan untuk melepaskan perlengketan yang terjadi
pada jaringan, meningkatkan sirkulasi darah, serta peningkatan
metabolisme tubuh yang nantinya akan menyebabkan penurunan
ketegangan otot serta nyeri mulai menurun (Chaitow, 2006)
B. Anatomi dan Biomekanik Neck / Leher
1. Otot – Otot Leher
Menurut Habsat, 2010 ada beberapa pembagian yang terdapat pada otot
leher (cervical), yaitu :
a. Pada bagian anterior
Pada bagian anterior dibagi menjadi dua bagian, terdapat otot
prevertebralis cerical dan hyoid :
21
1) Otot Prevertebralis Cervical
Otot prevertebralis terdiri dari otot longus colli dan longus
capitis, serta otot rectus capitis anterior dan rectus capitis lateralis.
Otot longus colli berasal dari T3 bagian atas sampai pada C1 (atlas)
dan longus capitis berasal dari cervical bawah ke os. Occipital,
sedangkan pada otot rectus capitis berjalan secara oblique ke atas
dari atlas ke tengkorak, rectus capitis anterior berjalan ke arah
medial dan rectus capitis lateralis berjalan ke arah lateral. Otot –
otot tersebut berperan dalam gerakan fleksi kepala dan leher pada
saat otot – otot sisi kiri dan sisi kanan bekerja bersama – sama
kecuali otot longus colli, karena pada otot longus colli hanya bekerja
pada leher dan bekerja aktif pada gerakan fleksi yang ditahan dan
gerakan lateral fleksi yang ditahan dan rotasi pada sisi yang sama,
otot ini juga menstabilisasi leher selama betuk, bicara, dan menelan.
2) Otot Hyoid
Otot hyoid dikenal juga sebagai otot yang berbentuk seperti
tali. Otot hyoid merupakan otot – otot yang berada di anterior yang
kecil pada regio cervical. Otot hyoid berperan dalam gerakan fleksi
pada kepala dan leher, otot ini terdiri dari otot suprahydois dan 4 otot
infrahyidois. Otot ini merupakan otot – otot utama dalam fase-fase
menelan.
22
Gambar 2.6 Otot Leher Bagian Anterior
(Sumber: Chairi, 2011)
b. Pada bagian posterior
Pada bagian posterior cervical terdapat beberapa otot, antara
lain otot splenius capitis dan cervicis, group otot suboccipitalis,
erector spine, serta otot semispinalis cervicis dan cavitis.
1) Otot Splenius Capitis dan Cervicis
Otot splenius capitis dan cervicis terdiri dari ikatan
serabut paralel. Otot splenius capitis jauh lebih besar daripada
splenius cervicis. Ketika sisi kiri dan kanan berkontraksi secara
bersamaan, kedua otot tersebut berperan dalam gerakan ekstensi
dan hiperekstensi kepaka serta leher, selain itu kedua otot ini
membantu menopang kepala dan postur dalam keadaan tegak.
Otot – otot ini dapat dipalpasi pada posterior leher tepatnya
dibagian lateral dari upper trapezius dan bagian posterior dari
sternocleidomastoid di atas levator scapula.
23
2) Group otot Suboccipitalis
Pada group otot ini terdiri dari 4 otot pendek pada bagian
os. Occipital dan 2 vertebra bagian atas, antara lain adalah
obliques capitis posterior major dan minor. Kerja otot secara
bersamaan pada kedua sisi dapat menghasilkan gerakan ekstensi
dan hiperekstensi kepala.
3) Erector Spine
Otot ini dikenal sebagai massa otot yang besar dan terbagi
atas 3 cabang yaitu, iliocostalis, longissimus yang terdapat pada
regio cervical dan otot spinalis. Otot iliocosalis terdiri dari
lumbale, thoracal, dan cervical. Sedangkan pada otot
longiismus terdiri dari 3 bagian yang berbeda yaiti longisimus
thoracis, longisimus cervicis (otot kecil yang terletak didekat
spine), dan longisimus capiitisi (otot yang tipis dan melekat dari
vertebrae cervical pada 2/3 bagian bawah cervical). Otot
erector spine pada regio cervical jika berkontraksi secara
bersamaan pada kedua sisi akan menghasilkan gerakan ekstensi
pada kepala, tetapi jika hanya berkontraksi pada satu sisi maka
akan menghasilkan gerakan lateral fleksi.
4) Otot Semispinalis Cervicis dan Capitis
Merupakan otot yang terletak dekat dengan vertebra pada
bagian dalam erector spine. Bagian thoracal dan cervical terdiri
atas serabut otot yang kecil yang berjalan ke arah medial dan ke
atas sampai ke beberapa processus vertebra diatasnya. Ketika
24
kedua otot tersebut berkontraksi secara bersamaan maka akan
menghasilkan gerakan ekstensi pada cervical, tetapi jika hanya
satu sisi yang berkontraksi maka akan menghsilkan gerakan
lateral fleksi dan rotasi pada sisi yang berlawanan.
Gambar 2.7 Otot Leher Bagian Posterior
(Sumber : Rischichairi, 2011)
c. Pada bagian Lateral
Pada bagian lateral cervical terdiri dari beberapa otot, antara
lain adalah otot scalenus anterior, posterior, dan medius, serta otot
sternocleidomastoid.
1) Otot Scalenus Anterior, Posterior, dan Medius
Otot ini berjalan secara diagonal ke atas dari sisi 2 kosta
atas sampai dengan processus transversus vertebra cervical. Jika
otot ini melakukan suatu gerakan secara bersamaan pada kedua sisi
maka akan menimbulkan gerakan lateral fleksi leher.
25
2) Otot Sternocleidomastoid
Otot ini mudah untuk dipalpasi pada sisi leher tepar dibawah
telinga ke depan leher salah satu sisi dari sternoclaicular joint. Otot
ini terdiri dari 2 caput, satu caput dari puncak sternum dan caput
lainnya dari puncak klavikula, kedua kaput tersebut melekat dan
menyatu pada tulang tengkorak berada tepat di bawah dan
dibelakang telinga. Jika kedua otot ini melakukan suatu pergerakan
secara bersamaan maka akan menghasilkan gerakan fleksi kepala
dan leher, jika hanya satu sisi yang melakukan pergerakan maka
akan menghasilkan gerakan rotasi pada sisi yang berlawanan.
Gambar 2.8 Otot Leher Bagian Lateral
(Sumber : Chairi, 2011)
1. Persendian pada Leher
Terdapat beberapa persendian yang ada pada leher, menurut Hibsat
pada tahun 2010 persendian yang ada pada leher antara lain adalah :
26
a. Atlanto Occypitalis (C0 – C1)
Dikenal sebagai “yes joint” karena memiliki gerakan utama fleksi-
ekstensi, serta merupakan sendi sinovial jenis avoid yang dibentuk oleh
inferior articular face atlas cekung.
b. Atlanto Axialis (C1 – C2)
Dikenal sebagai “no joint” karena memiliki gerakan utama rotasi
kanan-kiri, serta merupakan sendi sinovial jenis sendi putar yang
dibentuk oleh atlas arc.
c. Intervertebral Joint (C2 – C7)
Memiliki gerakan ke segala arah, dengan gerakan yang paling
dominan seperti fleksi, ekstensi, dan lateral fleksi
d. Facets dan Uncovertebral Joint
Facet dibentuk oleh processus articular inferior dengan processus
articular superior vertebra dibawahnya, dimana arah permukaan sendi
dalam bidang transversal sehingga memungkinkan luasnya ke segala
arah. Uncenvertebral joint merupakan sendi yang bukan sebenarnya
melainkan pertemuan tepi lateral korpus vertebra cervicalis, yang
berkembang dan degenerasi sesuai umur.
2. Anatomi Otot Trapezius
Otot trapezius salah satu otot yang mudah untuk dipalpasi karena
memiliki banyak fascia yang terletak dibawah kulit. Merupakan salah satu
otot terbesar yang paling superfisial yang letaknya berada pada daerah
scapulothoraks. Dinamakan otot trapezius karena otot ini mirip dengan
bangun trapezius. Otot trapezius dibagi menjadi empat bagian, pada bagian
I dan II membentuk upper trapezius berperan dalam gerakan elevasi dan
adduksi shoulder, bagian III membentuk middle trapezius yang berperan
27
dalam gerakan adduksi shoulder, dan bagian ke IV membentuk lower
trapezius yang akan berperan dalam gerakan depresi serta adduksi pada
shoulder (Sudaryanto et al., 2011).
Otot pada bagian upper trapezius dapat dipalpasi antara occipital
protuberance pada C6 dan lateral dari acromion terutama pada gerakan
elevasi shoulder. Serat otot pada bagian upper trapezius yang melekat pada
clavicula relatif lemah dan tipis dimana nantinya kepala bisa sepenuhnya
memutar ke sisi yang berlawanan., serat otot pada upper trapezius ini juga
membantu middle trapezius dan levator scapula dalam melakukan gerakan
elevasi serta rotasi, karena memiliki serat yang relatif lemah dan tipis hal ini
menyebabkan otot upper trapezius mudah mengalami ketegangan dan
kelelahan otot (Willms et al., 2005 dalam Sinta , 2015).
Gambar 2.9 (Otot Trapezius)
(Sumber : Wikipedia, 2017)
Otot upper trapezius berfungsi untuk mempertahankan posisi kepala
yang perlekatannya tepat berada di punggung bagian atas, oleh sebab itu otot
ini mmerupakan otot stabilisator. Dalam melakukan pergerakan otot upper
28
trapezius berfungsi untuk melakukan gerakan elevasi dan depresi pada
tulang scapula (Prihantara et al., 2014).
Menurut Sudaryanto dan Ansar (2011) ada dua tipe dasar serabut otot
yang ada di Upper Trapezius yaitu serabut slow-twitch dan serabut fast-
twitch, berikut penjelasannya :
a. Slow Twitch atau Tipe I
Karena serabut otot berwarna merah atau lebih gelap dari otot
lainnya maka disebut dengan sebutan red muscle. Serabut otot ini
memiliki beberapa karateristik, yaitu menghasilkan kontraksi yang
lambat, kekuatan motor unit yang rendah, banyak mengandung kapiler
pembuluh darah, tidak cepat mengalami kelelahan, memiliki kapasitas
aerobik yang tinggi serta berfungsi untuk mempertahankan sikap.
Serabut otot ini berguna nagi olahraga yang membutuhkan endurence
yang tinggi misalnya lari marathon, berenang.
b. Fast Twitch atau Tipe II
Karena serabut ototnya berwarna putih atau lebih pucat maka
disebut dengan sebutan white muscle. Serabut otot ini memiliki beberapa
karateristik, yaitu menghasilkan kontraksi yang cepat, mudah mengalami
kelelahan, banyak mengandung myofibril, memiliki kapasitas aerobik
yang rendah, durasi kontraksi lebih pendek serta berfungsi untuk
melakukan gerakan yang cepat dan kuat, misalnya seperti olahraga lari
cepat.
29
C. Myofascial Pain Syndrome
1. Definisi Myofascial Pain Syndrome
Myofascial Pain Syndrome (MPS) adalah gangguan musculosceletal
yang bersifat akut atau kronis, keadaan tersebut dapat memunculkan nyeri
lokal dan nyeri menjalar yang dikarateristikkan dengan ketidaknormalan
yang terjadi pada motoris (merupakan suatu taut band yang keras yang
terdapat didalam otot) dan ketidaknormalan pada sensoris (adanya nyeri tekan
dan nyeri menjalar). Biasanya MPS berupa nyeri regang (taut pain) dan nyeri
tekan (tenderness pain). Nyeri sering terjadi pada trigger points yang mudah
terangsang oleh sisa – sisa metabolisme tubuh, daerah yang biasanya
mengalami nyeri terjadi karena metabolisme tubuh yang tidak normal akibat
sirkulasi oksigen didalam darah yang tidak lancar (Ladopurab, 2012).
Biasanya myofascial pain syndrome ditandai dengan suatu myofascial trigger
point (Fernandez, et al., 2005).
Beberapa bagian tubuh yang mengalami nyeri dapat ditemukan trigger
point. Trigger point merupakan suatu nodul/benjolan yang sifatnya
hippersensitive yang terdapat pada taut band, yang nantinya dapat
menyebabkan hyperalgesia yang merupakan timbulnya suatu respon nyeri
yang berlebihan pada saat diberikan rangsangan normal (Gerwin, 1999).
Trigger point dibedakan menjadi aktif dan pasif. Pada aktif trigger point akan
aktif ketika pasien mengalami nyeri secara tiba – tiba pada saat pasien dalam
kondisi istirahat, yang dapat memicu adanya reffered pain pada saat diberikan
suatu penekanan. Sedangkannpasif trigger point akan terjadi apabila pasien
tidak mengalami nyeri secara tiba – tiba tapi dapat menyebabkan adanya
30
suatu keterbatasan gerakan dan kelemahan otot, jika pada daerah tigger point
mendapat penekanan maka pasien akan merasakan nyeri pada daerah yang
diberikan penekanan tersebut. Pasif trigger point dapat berubah menjadi aktif
trigger point jika terstimulasi seperti postur tubuh yang tidak benar,
penggunaan otot yang berlebihan tanpa istirahat, serta ergonomi tubuh yang
tidak benar saat melakukan suatu pekerjaan (Werenski, 2011).
2. Etiologi myofascial pain syndrome
Myofascial pain syndrome adalah suatu syndrome yang sering
ditemukan pada otot upper trapezius, yang menimbulkan suatu nyeri lokal
ataupun menjalar. Biasanya nyeri tersebut disebabkan karena kerja otot
secara berlebihan seperti melakukan aktivitas sehari – hari yang dapat
menyebabkan tegang, spasme, tighness dan stifness. Adapun etiologi dari
kasus ini yaitu:
a. Postur tubuh
Banyak ditemukan postur tubuh yang kurang bagus dapat
menyebabkan stress dan strain pada otot, misalnya seperti forward
head posture atau posisi seseorang yang melakukan gerakan statis
secara terus menerus pada saat berkativitas, misalnya seperti posisi
duduk terus menerus (Makmuriyah & Sugijanto, 2013).
b. Ergonomi yang buruk
Penggunaan otot yang berlebihan dan lama serta mekanisme yang
buruk didaerah leher dan bahu merupakan salah satu contoh ergonomi
tubuh yang tidak baik, karena hal tersebut memberikan beban kerja
31
yang lebih berat pada otot upper trapezius (Makmuriyah & Sugijanto,
2013).
c. Trauma otot
Trauma otot dapat dibedakan menjadi makro (suatu cidera yang
mengenai otot atau fascia) dan mikro (suatu cidera yang berulang akibat
adanya suatu kerja dalam jangka waktu lama dengan beban yang
berlebihan).
d. Usia
Merupakan salah satu faktor yang berperan utama, ketika seseorang
pada usia produktif maka dapat memicu terjadinya myofascial pain
syndrome dapat pula terjadi pada usia lebih karena semakin
bertambahnya usia maka semakin rentan terkena beberapa kasus,
karena adanya penurunan fungsi dan kemampuan otot seseorang. Pada
kasus myofascial pain syndrome banyak terjadi pada orang dewasa di
usia pertengahan karena kemampuan otot pada usia tersebut lebih baik
dalam menangani stress mekanikal, tetapi pada kasus ini tidak menutup
kemungkinan jika usia remaja banya yang terkena kasus myofascial
pain syndrome (Makmuriyah & Sugijanto, 2013)..
3. Tanda dan Gejala myofascial pain syndrome
Kasus myofascial pain syndrome ditandai dengan adanya myofascial
trigger point yang sangat peka dan nantinya akan menimbulkan rasa nyeri
serta tenderness pada saat melakukan gerakan yang membebani otot dan
bisa juga pada saat istirahat, ada beberapa tanda dan gejala yang muncul
pada kasus ini, yaitu (Sugijanto, 2008) :
32
a. Nyeri yang terlokalisir pada otot misalnya otot upper trapezius
b. Reffered pain umumnya dengan pola yang dapat diprediksi
c. Terdapat taut band pada otot dan fascia serta jaringan ikat menjadi
longgar (connective tissue)
d. Adanya keterbatasan lingkup gerak sendi yang disebabkan karena
tighness pada otot yang terkena.
e. Adanya suatu titik tenderness pada sepanjang taut band yang biasanya
disebut dengan trigger point.
f. Spasme pada otot akibat skunder dari rasa nyeri yang timbul
4. Pemeriksaan myofascial pain syndrome
Adapun beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui
adanya myofascial pain syndrome, yaitu :
a. Quick Test
Dengan melakukan gerakan fleksi – ekstensi, lateral fleksi, dan
rotasi akan didapatkan hasil nyeri regang saat melakukan gerakan fleksi
jika positif terkena syndrome ini.
b. Pemeriksaan Fungsi
Dengan melakukan tes gerak dasar yaitu aktif, pasif, dan isometrik.
Didapatkan hasil yang positif jika adanya nyeri regang kontralateral dan
terdapat spryingy end feel.
33
c. Flat Palpation dan Pincer Palpation
Gambar 2.10 Flat Palpation and Pincer Palpation
(Sumber : Grant Cooper, 2019)
Flat palpation dilakukan untuk mengetahui adanya tonus otot
maupun spasme pada otot, sedangkan pimcer palpation dilakukan karena
biasanya kebanyakan orang penderita penyakit ini mengalami rasa nyeri.
D. Nyeri
1. Definisi Nyeri
Menurut International Association fot the Study of Pain (IASP) nyeri
merupakan suatu sensor subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan, biasanya terjadi akibat adanya kerusakan jaringan aktual
maupun potensial (Moayedi dan Davis, 2013 dalam Main, 2017).
Adapun pengertian lain yang mengatakan bahwa nyeri adalah
mekanisme dari sistem saraf untuk mendeteksi terhadap stimulasi (kegiatan)
yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan suatu jaringan, sehingga
tubuh kita memberikan respon supaya hal tersebut tidak berlanjut atau
berulang. Jadi dapat dikatakan bahwa nyeri bukan hanya sekedar rasa tidak
nyaman yang dimliki oleh tubuh, tetapi nyeri juga merupakan bentuk
34
sensori yang kompleks yang sangat penting untuk kelangsungan hidup
(Patel, 2010).
2. Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah suatu organ tubuh yang fungsinya untuk
menerima rangsang nyeri. Reseptor nyeri juga disebut dengan nosireseptor,
secara anatomis reseptor nyeri (nosireseptor) ada yang memiliki mielin ada
pula yang tidak memiliki mielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya,
nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu, kulit
(cutaneus), somatik (deep somatic), dan daerah visceral, hal ini yang dapat
menyebabkan nyeri yang timbul dapat memiliki sensasi yang berbeda
(Patel, 2010).
Nyeri yang biasanya timbul pada daerah Nosireseptor kutaneus (kulit)
biasanya mudah untuk dialokasikan dan didefinisikan. Reseptor pada
jaringan kulit dapat terbagi dalam dua komponen yaitu, reseptor A delta dan
serabut B. Reseptor delta A merupakan serabut komponen cepat, dan
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab dari nyeri tersebut dihilangkan. Sedangkan serabut B merupakan
serabut komponen yang lambat yang terdapat pada daerah yang lebih dalam
dengan nyeri yang biasanya bersifat tumpul dan sulit untuk di definisikan
(Aydede, 2008 dalam Petel, 2010).
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor visceral yang meliputi
organ – organ visceral seperti jantung, hati, usus, ginjal, dan sebagainya.
Biasanya nyeri yang ditimbulkan tidak sensitif terhadap pemotongan organ,
35
tetapi akan menjadi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia, dan juga
inflamasi (Aydede, 2008 dalam Petel, 2010).
3. Patofisiologi Nyeri
Ada beberapa patofisiologi terhadap terjadinya nyeri, yang pertama
berdasarkan durasi waktu yaitu nyeri akut (aktualitas tinggi) merupakan
nyeri yang barusaja terjadi atau dirasakan, dan nyeri kronis (intensitas
rendah) merupakan nyeri yang dirasakan dalam waktu yang sudah lama.
Berdasarkan letaknya dibedakan menjadi 2 yaitu, nyeri nosiseptif dan nyeri
neuropatik yaitu nyeri yang diakibatkan karena keruakan jaringan atau
gangguan saraf (Aydede, 2008 dalam Petel, 2010).
4. Mekanisme Nyeri
Menurut Moayedi dan Davis, 2013 dalam Main, 2017 mengatakan
bahwa ada 4 tahapan mekanisme terjadinya nyeri, yaitu :
a. Tranduksi
Merupakan suatu proses dimana suatu stimulus nyeri (noxious
stimuli) diubah menjadi suatu aktivitas listrik yang nantinya akan
diterima oleh ujung – ujung saraf kemudian akan terjadi perubahan
patologis karena adanya suatu perluasan daerah nyeri oleh nosiresptor
yang mengakibatkan sensitisasi perifer atau penurunan nilai ambang
eangsang nosireseptor, hal tersebut yang dapat memberikan efek nyeri
yang tadinya hilang dapat timbul lagi (seperti, rabaan).
b. Transmisi
Merupakan suatu proses penyampaian impuls nyeri dari
nosiseptor saraf perifer yang melewati kornudorsalis, dari spinalis
36
menuju korteks celebri. Transmisi sepanjang akson berlangsung karena
proses polarisasi, sedangkan dari neuron presinaps ke pasca sinaps
melewati neurotransmiter.
c. Modulasi
Merupakan suatu proses pengendalian internal oleh sistem saraf,
yang dapat menaik turunkan impuls nyeri. Hambatan terjadi melalui
sistem analgesik endogen yang melibatkan bermacam-macam
neurotransmiter (endorfin yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron
yang berada di spinalis).
d. Presepsi
Merupakan hasil rekonstruksi dari susunan saraf pusat tentang
impuls nyeri yang diterima. Reskontruksi merupakan hasil dari
interaksi sistem saraf sensoris, informasi kognitif (korteks cerebri) dan
pengalaman emosional (hipockampus dan amigdalu). Persepsi inilah
yang nantinya menentukan berat atau ringannya nyeri yang dirasakan.
E. Nyeri Leher dan Nyeri Otot Upper Trapezius
1. Definisi
Nyeri muskuloskeletal di leher atau nyeri leher merupakan suatu
masalah kesehatan yang sangat umum, 70% populasi masyarakat pasti
pernah mengalami nyeri leher, hal tersebut yang menyebabkan nyeri leher
merupakan kasus terbesar kedua setelah nyeri punggung bawah atau Low
Back Pain (Cooper Grant, 2006 dalam Haryatno dan Kuntono, 2015).
Sebuah studi mengatakan bahwa prevalensi nyeri leher pada
masyarakat selama setahunnya berkisar 40% dan dari prevalensi tersebut
37
wanita lebih berpotensi tinggi untuk terkena kasus ini daripada laki – laki
(Ariens, 2001 dalam Haryatno dan Kuntono, 2015).
2. Etiologi
Nyeri leher yang sering terjadi di masyarakat umumnya merupakan
nyeri leher mekanik yang artinya nyeri leher yang tidak menyebar sampai
anggota gerak atas, nyeri yang hanya berlokasi pada leher. Biasanya hal
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, misalnua postur yang salah,
kecemasan, stress, dan gerakan yang berlebihan. Biasanya keluhan yang
sering dikeluhkan adalah sakit didaerah leher dan kaku, nyeri pada otot –
otot leher (Elizabeth 2009, dalam Hariyanto dan Kuntono, 2016).
Dalam salah satu penelitian yang dilakukan oleh Skootsky telah
mengatakan bahwa nyeri otot pada tubuh bagian atas lebih sering terkena
daripada nyeri tubuh dibagian yang lain. Biasanya dari 84 titik nyeri dapat
terjadi pada otot upper trapezius, levator scapula, infra spinatus, dan
scalenus. Diantara otot – otot tersebut otot upper trapezius merupakan otot
yang ssering terkena (Lofrima, 2008 dalam Setyowati, 2017).
Otot upper trapezius merupakan salah satu otot yang sering terkena
gangguan biasanya hal tersebut menimbulkan rasa nyeri, kondisi tersebut
dinamakan myofascial pain syndrome yang artinya gangguan nyeri
muskuloskeletal yang terjadi akibat adanya myofascial trigger point.
Gangguan ini yang nantinya dapat menyebabkan nyeri lokal, tightness,
spasm, keterbatasan gerak (Atmaja, 2016 dalam Nurlina, 2018).
38
3. Patofisiologi
Otot upper trapezius merupakan otot tonik atau otot tipe I yang juga
merupaka otot postural yang berfungsi untuk melakukan gerakan elevasi.
Kelainan yang dimiliki oleh otot ini biasanya cenderung tegang dan
memendek. Jika otot upper trapezius berkontraksi dalam jangka waktu
yang lama maka jaringan ototnya menjadi tegang dan akhirnya dapat
menimbulkan nyeri. Hal tersebut disebabkan karena menurunnya jumlah
ATP. Sehingga tidak adanya ketersediaan energi utuk menggeser aktin dan
miosin. Semakin lama otot tersebut berkontraksi maka semakin melemah,
walaupun saraf masih bekerja dengan baik dan potensial aksi masih
menyebar pada serabut – serabut otot (Guyton & Hall, 2008 dalam Sinta,
2015).
4. Pengukuran nyeri
Skala yang digunakan dalam pengukuran nyeri digunakan untuk
membandingkan hasil pertama kali dilakukan suatu pemeriksaan dan
evaluasi setelah dilakukan penanganan adalah Numerical Rating Scale
(NRS). Numerical Rating Scale (NRS) adalah salah satu skala untuk
pengukuran nyeri, NRS sangat mudah untuk dimengerti dan lebih baik
daripada alat ukur nyeri lainnya misalnya Visual Analog Scale (VAS)
terutama untuk menilai nyeri akut. Dalam penggunaan NRS ini responden
diminta untuk memilih angka diantara 0 – 10, yang artinya :
39
a. Angka 0 : tidak terdapat nyeri sama sekali
b. Angka 1 : nyeri hampir tak terassa atau terasa sangat ringan
c. Angka 2 : nyeri ringan seperti cubitan ringan pada kulit dan sedikit
mengganggu sampai timbul rasa tidak nyaman
d. Angka 3 : nyeri yang sangat terasa dan mengganggu tetapi masih
bisa dikontrol
e. Angka 4 : nyeri yang dalam dan terasa ketika melakukan aktivitas,
rasa nyeri masih bisa diabaikan dalam jangka waktu tertentu tetapi
mash terasa mengganggu
f. Angka 5 : nyeri terasa mulai kuat dan tidak dapat diabaikan selama
beberapa menit, tetapi dengan melakukan aktivitas nyeri masih dapat
ditoleransi
g. Angka 6 : nyeri yang kuat sehingga cenderung mempengaruhi
sebagian indra, yang dapat menyebabkan tidak fokus pada saat
melakukan aktivitas sehari – hari
h. Angka 7 : nyeri berat yang dapat mendominasi indra sehingga dapat
membatasi kemampuan untuk melakukan aktivitas normal sehari-
hari
i. Angka 8 : nyeri yang menyakitkan sampai mempengaruhi
kepribadian kita, berkomunikasi, serta aktivitas fisik yang sangat
terbatas
j. Angka 9 : nyeri yang luar biasa yang tidak bisa ditoleransi sehingga
sang penderita tidak dapat berkomunikasi dengan baik yang dapat
mengakibatkan penderita menangis atau mengerang tak terkendali
40
k. Angka 10 : nyeri yang tidak terbayangkan serta tidak dapat
diungkapkan karena nyeri yang timbul begitu terasa kuat hingga
dapat menyebabkan tak sadarkan diri dan terbaring ditempat tidur.
Gambar 2.11 Numerical Rating Scale (NRS)
(Sumber : Griensven, 2015)
41
F. Ar – Rohmah Islamic Boarding School
Pondok pesantren atau boarding school merupakan salah satu lembaga
pendidikan Islam tertua yang berada di Indonesia. Kehadiran dari pondok
pesantren ini bersifat tradisional dengan tujuan untuk memindai ilmu agama
islam sebagai pedoman hidup dengan mengedepankan pentingnya suatu moral
dalam masyarakat (Mastuhu, 1994 dalam Imam, 2017). Menurut beberapa
sejarahwan dikatakan bahwa di akhir abad 18M dan awal 19M lembaga
pendidikan Islam atau yang disebut pesantren telah memasuki negara Indonesia,
biasanya pesantren ini dipimpin oleh seorang kyai (Martin, 1995 dalam Imam,
2017).
Pondok pesantren memiliki ciri khas masing – masing yang berbeda – beda,
ciri khas yang paling utama yaitu perbedaan peraturan antara sekolahan biasa
dengan pondok pesantren. Dalam suatu pondok pesantren tidak terlepas dari
asramah atau tempat tinggal yang disediakan dalam pesantren tersebut. Menurut
beberapa sumber yang didapatkan dari pengalaman – pengalaman seseorang
yang hidup berasramah mengatakan bahwa hidup berasramah telah banyak
melahirkan beberapa tokoh besar yang telah mengukir sejarah kehidupan
manusia. Pada era ini banyak pesantren yang mengembangkan konsep Islamic
Boarding School dengan tujuan untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga
pendidikan yang maju dan mampu bersaing dalam mengembangkan suatu ilmu
pengetahuan dan juga keterampilan yang berbasis pada nilai – nilai spiritual yang
handal (Azra, 1997 dalam Imam, 2017).
Malang merupakan salah satu kota pendidikan di Jawa Timur, mulai dari
sekolahan, Universitas, maupun pondok pesantren yang berada di kota ini.
42
Banyaknya fasilitas pendidikan yang sangat memadai yang menjadikan Malang
sangat cocok untuk menempuh pendidikan, sarana transportasi yang terjangkau
menjadi salah satu pemicu utama banyaknya pelajar maupun mahasiswa yang
enggan merantau di kota ini. Salah satu sekolahan islam modern yang bebasis
pondok pesantren di kota ini adalah Ar – Rohmah Islamic Boarding School.
Ar – Rohmah Islamic Boarding School merupakan salah satu sekolahan
yang bebasis pesantren yang terlerak di kota Malang. Dalam kegiatan sehari –
hari mulai dari kegiatan pada saat sekolah, ekstrakulikuler, pada saat di asramah
atau pesantren tidak luput dari menghafal Al – Qur’an. Durasi dan posisi
menghafal Al – Qur’an setiap santri berbeda, banyak dari mereka dengan posisi
duduk menunduk, berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan banyak
diantara santri yang memilih menghafalkan dengan posisi duduk menunduk
dengan durasi waktu 6 – 8 jam setiap harinya, dalam hal ini para santri harus
memperhatikan kesehatannya, karena kesehatan merupakan sesuatu yang sangat
penting bagi manusia.
Gambar 2.12 Posisi Menghafal Para Santri
(Sumber : Data Primer, 2018)