bab ii tinjauan pustaka a. perilaku kerja kontraproduktif

18
17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Kerja Kontraproduktif 1. Definisi Perilaku Kerja Kontraproduktif Munurut KBBI kata kontraproduktif memiliki arti bersifat tidak mampu, tidak menguntungkan (KBBI, 2019). Perilaku kerja kontraproduktif merupakan istilah umum yang mengacu pada tindakan pekerja yang lebih mementingkan diri sendiri yang dilakukan dengan sengaja atau sadar yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan (Budiman, 2015; Hanidah, 2018). Sackett dan DeVore (2002) mengartikan perilaku kerja kontraproduktif sebagai segala bentuk dari perilaku anggota yang bertentangan dengan tujuan organisasi dan dilakukan dalam keadaan sadar. Sementara, Gruys dan Sackett (2003) berpendapat perilaku kerja kontraproduktif merupakan tindakan yang sengaja dilakukan anggota untuk melanggar aturan, menentang kepentingan dan mengabaikan nilai-nilai sah organisasi. Selain itu Spector, dkk, (2006) memandang perilaku kerja kontraproduktif membawa dampak negatif bagi organisasi dan anggota organisasi. Perilaku kerja kontraproduktif akan mengganggu organisasi karena hal tersebut berdampak langsung pada fungsi organisasi dan menimbulkan kerugian yang sangat tinggi (Nugraheni & Wahyuni, 2016). Perilaku kerja kontraproduktif merupakan suatu masalah yang serius, perilaku membahayakan dan mahal bagi organisasi dan anggota itu sendiri (Spector,

Upload: others

Post on 19-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Kerja Kontraproduktif

1. Definisi Perilaku Kerja Kontraproduktif

Munurut KBBI kata kontraproduktif memiliki arti bersifat tidak

mampu, tidak menguntungkan (KBBI, 2019). Perilaku kerja kontraproduktif

merupakan istilah umum yang mengacu pada tindakan pekerja yang lebih

mementingkan diri sendiri yang dilakukan dengan sengaja atau sadar yang

menyebabkan kerugian bagi perusahaan (Budiman, 2015; Hanidah, 2018).

Sackett dan DeVore (2002) mengartikan perilaku kerja kontraproduktif sebagai

segala bentuk dari perilaku anggota yang bertentangan dengan tujuan

organisasi dan dilakukan dalam keadaan sadar. Sementara, Gruys dan Sackett

(2003) berpendapat perilaku kerja kontraproduktif merupakan tindakan yang

sengaja dilakukan anggota untuk melanggar aturan, menentang kepentingan

dan mengabaikan nilai-nilai sah organisasi.

Selain itu Spector, dkk, (2006) memandang perilaku kerja

kontraproduktif membawa dampak negatif bagi organisasi dan anggota

organisasi. Perilaku kerja kontraproduktif akan mengganggu organisasi karena

hal tersebut berdampak langsung pada fungsi organisasi dan menimbulkan

kerugian yang sangat tinggi (Nugraheni & Wahyuni, 2016). Perilaku kerja

kontraproduktif merupakan suatu masalah yang serius, perilaku

membahayakan dan mahal bagi organisasi dan anggota itu sendiri (Spector,

18

Bauer, & Fox, 2010; Oge, Ifeanyi, dan Gozie, 2015). Perilaku kontraproduktif

merupakan masalah utama di tempat kerja yang memiliki kecenderungan

mengganggu dan membahayakan organisasi (Uche, George & Abiola., 2017).

Perilaku kerja kontraproduktif itu sendiri diklasifikasikan kedalam lima

dimensi, antara lain 1) pelecehan terhadap orang lain; 2) penyimpangan

produksi; 3) sabotase; 4) Pencurian; dan 5) Penarikan diri (Spector, dkk, 2006).

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku kerja

kontraproduktif adalah perilaku karyawan yang dilakukan dalam keadaan sadar

dan membawa dampak buruk bagi organisasi maupun anggota organisasi.

Perilaku kerja kontraproduktif adalah perilaku karyawan yang tidak sesuai

dengan aturan, nilai, dan tujuan organisasi.

2. Aspek-Aspek Perilaku Kerja Kontraproduktif

Spector, Goh, Bruursema, Kessler, Fox dan Penney (2006) menyatakan aspek-

aspek perilaku kerja kontraproduktif terbagi menjadi lima, yaitu:

a. Pelecehan terhadap orang lain (abuse)

Perilaku menyimpang seorang karyawan di tempat kerja yang

merupakan bentuk emosi negatife dan bersifat interpersonal. Contoh dari

perilaku ini adalah memulukul, mengeluarkan kata kasar atau menghina rekan

kerja, dan bergosip dengan rekan kerja.

b. Penyimpangan produksi (production devience)

Perilaku menyimpang karyawan yang menyebabkan karyawan tersebut

tidak dapat melakukan pekerjaan secara efektif di tempat kerja. Contohnya

19

seperti menunda-nunda pekerjaan, asal-asalan dalam bekerja dan mengurangi

produktifitas.

c. Sabotase (sabotage)

Perilaku menyimpang sorang karyawan ditempat kerja yang sifatnya

merusak. Contoh dari perilaku sabotase, yaitu dengan sengaja merusak barang

atau peralatan milik kantor dan menggunakan fasilitas kantor dengan tidak

mempedulikan aturan.

d. Pencurian (theft)

Perilaku karyawan yang menyimpang di tempat kerja yang bersifat

mengambil dan mencuri. Contoh, membawa pulang barang kantor tanpa izin,

korupsi, mengambil barang kantor dan tidak mengembalikannya,

e. Penarikan diri (withdrawal)

Perilaku menyimpang ditempat kerja yang dilakukan oleh karyawan

dalam bentuk membatasi jumlah waktu kerja manjadi kurang dari yang

dibutuhkan oleh organisasi atau perusahaan. Contohnya adalah bolos kerja

diluar izin, melebih-lebihkan waktu istirahat dan menghindari tanggung jawab

kerja yang diberikan oleh organisasi atau perusahaan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kerja Kontraproduktif

Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentukanya perilaku kerja

kontraproduktif menurut Sackett dan De Vore (2002) terbagi menjadi enam,

yaitu:

20

a. Faktor kepribadian (personality)

Salah satu faktor yang mempengaruhi karyawan berperilaku kerja

kontraproduktif adalah kepribadian. Pernyataan tersebut didukung beberapa

hasil penelitian mengenai kepribadian yang dikaitan dengan perilaku kerja

kontraproduktif, seperti: kestabilan emosi, ektroversi, agreeableness, Big Five

Personality, keterbukaan dan kesadaran membangnun pengalaman.

Penelitian-penelitian tersebut memiliki kesamaan hasil yaitu, menunjukan

adanya hubungan yang konsisten dengan perilaku kerja kontraproduktif yang

dilakukan di lingkungan kerja.

b. Karakteristik pekerjaan (job characteristic)

Karakterisitik pekerjaan yang dimiliki berpengaruh pada keahlian yang

dibutuhkan, jenis tugas yang diberikan, dan cara kerja pada organisasi akan

mempengaruhi karyawan dalam menyelesaikan tugas dengan sempurna,

perasaan bertanggungjawab terhadap tugas yang diberikan, dan pengetahuan

terhadap pencapaian hasil kerja. Sackett dan De Vore (2002) berpendapat

karakter pekerjaan mempengaruhi perilaku kerja individu yang tertuang dalam

kinerja yang diberikan, kepuasan kerja, motivasi kerja, kehadiran dan tingkat

turnover.

c. Karakteristik kelompok kerja (work group characteristic)

Hal ini dapat mengpengaruhi karena segala yang terjadi dalam sebuah

kelompok kerja hal tersebut akan berpengaruh terhadap individu yang menjadi

anggota didalamnya, seperti persepsi kepuasan kerja, kinerja dan

produktifitasnya. Hal ini cendrung membuat individu untuk mengikuti tingkah

21

laku yang sudah menjadi kebiasaan dalam kelompok organisasi tersebut.

Pengaruh karakteristik kelompok kerja terhadap munculnya perilaku kerja

kontraproduktif dapat dijelaskan dari contoh situasi berikut; Jika seorang

karyawan dating terlambat dan pulang lebih awal namun tidak mendapat

respon apa pun dari organisasi, atasan atau rekan kerja maka seseorang itu

cendrung akan mengulangi perilaku tersebut (Robbins & Langton, 2003). Dari

hal tersebut dapat diketahui karyawan akan menyesuaikan tingkah laku mereka

sesuai dengan konsekuensi yang dialami.

d. Budaya organisasi (organizational culture)

Budaya organisasi dan karateristik kelompok kerja memiliki kesamaan

karena keduanya merupakan pengaruh sosial yang mampu mempengaruhi

individu di tempat kerja. Namun, budaya organisasi mencakup lebih luas yang

dipengaruhi oleh faktor diluar kelompok kerja. Perilaku kerja kontrproduktif

biasa terjadi pada perusahaan dimana kode etik yang berlaku tidak

didefinisikan dengan baik. Salah satu bidang yang menjadi fokus budaya

organisasi adalah mengenai konsep iklim kejujuran yang ada di organisasi.

e. Sistem pengendalian organisasi (control system of organization)

Hal ini merupakan sistem atau prosedural pada tempat kerja yang

bertujuan untuk mengurangi tingkat perilaku kontraproduktif melalui

pengawasan (monitoring) atau dengan meningkatkan pemberian sanksi

(punishment). Pengawasan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu konvensional

dan menggunakan bantuan teknologi. Pengawasan konvensional dapat

dilakukan oleh atasan, rekan kerja, dan konsumen sementara pengawasan

22

menggunakan bantuan teknologi dapat dilakukan dengan memasang cctv,

menggunakan sistem aplikasi komputer dan lain sebagainya. Fungsi

pengawasan suatu oragniasi akan mempengaruhi munculnya perilaku

kontraproduktif.

f. Ketidakadilan organisasi (injustice organization)

Hal tersebut dapat mempengaruhi karena ketidakadilan organisasi

dapat menimbulkan perilaku kerja kontraproduktif. Karyawan merasa tidak ada

keadilan di lingkungan organisasi apabila kinerja atau imbalan yang diterima

karyawan tidak sesuai dengan usaha yang telah diberikan. Kemudian,

karyawan akan membanding-bandingkan imbalan yang mereka terima dengan

imbalan yang diterima oleh karyawan lain berdasarkan usaha mereka masing-

masing. Jika rasio usaha atau imbalan yang didapat tidak proporsional dan

tidak adil maka akan sangat berdampak pada karyawan. Ketidakadilan tidak

hanya dilihat berdasarkan alokasi penghargaan atau hukuman yang tidak setara

namun juga dapat berupa ketidakadilan dalam keputusan atau prosedur yang

dibuat oleh atasan.

B. Kepemimpinan Profetik

1. Definisi Kepemimpinan Profetik

Istilah propetik pertamakali diperkenalkan di Indonesia oleh

Kuntowijoyo pada 1991, beliau berpendapatnya tentang pentingnya ilmu sosial

transformatif yang disebut ilmu sosial profetik (Budiharto & Himam, 2006).

Adz-Dzakiey (2005), mendefinisikan kepemimpinan profetik sebagai

23

kemampuan untuk mempengaruhi orang lain demi mecapai suatu tujuan

sebagaimana yang dilakukan oleh nabi dan rosul. Pendapat tersebut senada

dengan apa yang disampaikan oleh Widayat (2014), kepemimpinan profetik

merupakan sebuah kemampuan mengendalikan diri dan mempengaruhi orang

lain dengan tulus untuk demi tercapainya tujuan bersama dengan pencapaian

kepemimpinan Nabi Muhammad saw. berdasarkan empat hal yakni, shiddiq,

amanah, tabligh dan fathonah.

Pendapat lain, Mansyur (2014) kepemimpinan profetik didefinisikan

sebagai sesuatu gaya kepemimpinan yang bersifat kenabian dan bertujuan

untuk membimbing manusia mendapatkan kebahagian serta keselamatan baik

di dunia maupun di akhirat. Kepemimpinan profetik merupakan konsep

kepemimpinan yang disusun berdasarkan sudut pandang agama islam dan

diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat muslim (Budiharto &

Himam, 2006).

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa kepemimpinan

profetik adalah gaya kepemimpinan yang mencontoh bagaimana

kepemimpinan Nabi Muhammad saw. dan dibentuk berdasarkan konsep sudut

pandang agama serta diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Aspek-aspek Kepemimpainan Profetik

Budiharto dan Himam (2006), mengatakan dimensi kepemimpinan profetik

terdiri dari 4 aspek, yaitu shiddiq, amanah, tabligh dan fathonah:

a. Shiddiq, memiliki arti jujur, tulus. Seorang pemimpin penting untuk

memiliki sikap ini, kejujuran dan ketulusan adalah kunci utama dalam rangka

24

membangun trust (kepercayaan). Dapat dibayangkan apabila pemimpin tidak

memiliki sikap kejujuran, tentu anggota-anggota yang dipimpinnya akan tidak

punya kepercayaan dan menyebabkan tujuan kepemimpinannya sulit menjadi

kenyataan (Zainuddin & Mustaqim, 2012).

b. Amanah, memiliki arti dapat dipercaya. Amanah dalam Islam terbagi dua,

yaitu bersifat teosentris dan antroposentris. Teosentris terkait dengan tanggung

jawab kepada Allah sementara antroposentris terkait dengan kontak social

kemanusiaan. Seorang pemimpin penting untuk melaksanaan kepercayaan

dengan sebaik-baiknya (Zainuddin & Mustaqim, 2012).

c. Tabligh, memiliki arti menyampaikan (komunikatif). Kemampuan ini

sangat penting untuk dimiliki seorang pemimpin karena pemimpin harus bisa

menyampaikan sesuatu dengan lengkap dan tepat, tidak memaksa,

menyuarakan kebenaran dan kebaikan (Zainuddin & Mustaqim, 2012).

d. Fathanah, memiliki arti pintar, cerdas. Seorang pemimpin yang ideal salah

satu syaratnya adalah pintar atau cerdas, hal tersebut dibutuhkan seorang

pemimpin agar dapat memprediksi, menghadapi, mencegah masalah-masalah

yang terjadi dan memberikan solusi yang terbaik (Zainuddin & Mustaqim,

2012).

C. Etos Kerja Islami

1. Definisi Etos Kerja Islami

Etos kerja terdiri dari dua kata yaitu, etos dan kerja. Secara etimologis

bahasa etos berasal dari bahasa Yunani yaitu, Ethos yang memiliki arti

25

keyakinan pada sesuatu yang meliputi arti sikap, karakter, kepribadian, dan

watak (Tasmara, 2004). Menurut Adams, Teall, dan Taylor (1966) pada

bukunya yang yang berjudul Websters World University Dictionary, etos

dijelaskan sebagai suatu sifat dasar yang merupakan kebiasaan yang menjadi

watak suatu bangsa atau ras. Dari kata etos, dikenal pula istilah kata etika, etiket

yang diartikan hampir menyerupai pengertian akhlak atau nilai-nilai yang

berkaitan dengan baik buruknya sesuatu. Secara umum kerja dapat diartikan

sebagai semua bentuk usaha yang dilakukan baik dalam hal materi ataupun hal

non materi, intelektual atau fisik. Dalam KBBI kerja memiliki arti perbuatan

melakukan sesuatu.

Kerja dalam perspektif Islam, dianggap sebagai kodrat hidup manusia,

cara untuk mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat dan salah satu jalan

mendekatkan diri kepada tuhan (Asifudin, 2004). Menurut Tasmara (2004),

etos kerja katakan sebagai suatu gairah atau semangat menggebu dalam

melakukan suatu pekerjaan secara optimal demi mencapai hasil yang lebih baik

dan berusaha mencapai kualitas kerja sesempurna mungkin.

Etos kerja islami didefinisikan sebagai sikap kepribadian muslim yang

meyakini bahwa bekerja bukan saja untuk memuliakan dirinya melainkan juga

sebagai manifestasi dari amal saleh yang memiliki nilai ibadah yang luhur

(Tasmara, 2004). Pendapat lain menurut Ali (2005), etos kerja islami

merupakan suatu orientasi yang mempunyai suatu pengaruh luar biasa pada

orang-orang Islam dan organisasinya. Etos kerja islami dianggap sebagai

orientasi bentuk dan pengaruh dari keterlibatan dan keikutsertaan kepercayaan

26

di tempat kerja (Ali & Al-Owaihan, 2008). Menurut Asifudin (2004), etos kerja

islami terbentuk dari wahyu dan akal dengan sistem keimanan atau aqidah

islam yang berkenaan dengan kerja.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa etos kerja

islami merupakan sikap kepribadian seorang muslim yang berpengaruh luar

biasa pada orang-orang dan organisasinya serta memandang bekerja sebagai

salah satu bentuk ibadah kepada Allah.

2. Aspek-aspek Etos Kerja Islami

Menurut Ali (Yousef, 2000), etos kerja islami memiliki aspek aspek yang

terbagi menjadi 4, antara lain sebagai berikut:

1) Usaha

Seorang muslim dalam islam dianjurkan untuk mengerjakan sesuatu

dengan sebaik-baiknya, bersungguh-sungguh, dan dijalankan dengan

keikhlasan serta diniatkan sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah.

Setelah seorang muslim berusaha (ikhtiar) dengan sebaik-baiknya hasil yang

diperoleh insyaallah juga akan baik, sesungguhnya kita berpasrah diri kepada

Allah ketika kita sudah berusaha sebaik mungkin.

2) Persaingan

Bekerja dalam etos kerja islami juga mengatur mengenai hubungan

dengan sesama. Seorang muslim hendaknya dapat bersaing dengan cara yang

baik dan tidak menghalalkan segala cara untuk menjadi yang terbaik. Seorang

muslim harus yakin bahwa Allah telah mengatur rizki dari masing-masing

27

makluk ciptaaannya, maka dari itu seorang muslim harus berusaha dengan baik

dan bersaing dengan menumbuhkan nilai-nilai positif.

3) Transparansi

Seorang muslim dalam bekerja juga dituntut untuk senantiasa berkata

jujur, bersikap terbuka dan berani mengakui kesalahan. Karena seorang muslim

hendaknya meyakini bahwa setiap apa yang dikerjakan tidak luput dari

pengawasan-Nya.

4) Tingkah moral bertanggung jawab

Dalam bekerja seorang muslim juga harus memiliki tingkah laku atau

moral yang baik. Hal tersebut dapat dicerminkan dari perbuatan yang santun

dan bertanggung jawab.

D. Hubungan Kepemimpinan Profetik dan Etos Kerja Islami dengan

Perilaku Kerja Kontraproduktif

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan

profetik dan etos kerja islami terhadap perilaku kerja kontraproduktif pada

PNS. Perilaku kerja kontraproduktif merupakan perilaku yang dapat

membahayakan sebuah organisasi/perusahaan. Uche, George & Abiola (2017),

mengatakan Perilaku kerja kontraproduktif merupakan masalah utama di

tempat kerja yang memiliki kecenderungan mengganggu dan membahayakan

organisasi. Spector, dkk, (2006) memandang perilaku kerja kontraproduktif

membawa dampak negatif bagi organisasi dan anggota organisasi. Perilaku

kerja kontraproduktif akan mengganggu organisasi karena hal tersebut

28

berdampak langsung pada fungsi organisasi dan menimbulkan kerugian yang

sangat tinggi (Wayhuni & Nugraheni, 2016). Oleh karena itu penting bagi

organisasi/perusahaan untuk mengendalikan munculnya perilaku kerja

kontraproduktif.

Untuk dapat mengendalikan perilaku kerja kontraproduktif,

organisasi/perusahaan perlu memberikan lingkungan kerja yang baik dengan

menerapkan kepemimpinan profetik pada atasan dan etos kerja islami pada

karyawan. Penelitian ini akan mengidentifikasi aspek-aspek yang saling

berkaitan antara perilaku kerja kontraproduktif, kepemimpinan profetik dan

etos kerja islami. Hal ini dapat menjadi acuan bagi oragniasasi/perusahaan

dalam mengendalikan munculnya perilaku kerja kontraproduktif.

Terdapat beberapa faktor yang mempegaruhi perilaku kerja

kontraproduktif Sackett dan De Vore (2002) terbagi menjadi lima, yaitu:

kepribadian (personality), karakteristik pekerjaan (job characteristic),

karakteristik kelompok kerja (work group characteristic), budaya organisasi

(organizational culture), sistem pengendalian organisasi (control system of

organization), ketidakadilan organisasi (injustice organization). Penelitian

akan melihat hubungan kepemimpinan profetik dan etos kerja islami terhadap

perilaku kerja kontraproduktif.

Josef (2017) menyatakan bahwa perilaku kerja kontraproduktif dapat

terjadi karena gaya kepemimpinan atasan. Gaya kepemimpinan atasan dapat

menuntukan bagaimana anggota organisasi dalam berperilaku konstruktif atau

destruktif. Kessler, Bruusema, Rodopman dan Spector (2013) menyatakan

29

bahwa kepemimpinan transformational berkorelasi negatif dengan perilaku

kerja kontraproduktif. Mansyur (2013), mengatakan bahwa kepemimpinan

profetik merupakan perpaduan kepemimpinan transformational dengan

kepemimpinan spiritual dan tidak terlepas dari kepemimpinan Nabi Muhamad

saw. Kepemimpinan transformational, spiritual dan profetik sama-sama

termasuk dalam gaya kepemimpinan instrinsik.

Kumolohadi dan Budiharto (2014) yang menyatakan bahwa

kepemimpinan profetik dapat meningkatkan karakter anti korupsi. Korupsi

yang merupakan salah satu bentuk perilaku kerja kontraproduktif dapat

diminimalkan oleh kepemimpinan profetik. Kepemimpinan profetik

merupakan konsep kepemimpinan yang disusun berdasarkan sudut pandang

agama islam dan diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat muslim

(Budiharto & Himam, 2006). Menurut Budiharto dan Himam (2006),

kepemimpinan profetik terdiri dari 4 aspek, yaitu shiddiq, amanah, tabligh dan

fathonah.

Atasan yang berkarakter shiddiq akan senantiasa mengikuti suara hati

nuraninya, sabar, konsisten dan dapat menjadi teladan bagi yang lainnya.

pemimpin yang berkarakter shiddiq juga tidak suka berdusta, tidak akan

terpengaruh dengan hawa nafsunya, serta tidak akan mengutamakan

kepentingan pribadi di atas kepentingan organisasi (Kumolohadi dan Budiharto,

2014). Atasan dengan karakter shiddiq itu akan memberikan contoh kepada

bawahannya sehingga bawahannya juga akan memiliki perilaku kerja

kontraproduktif yang rendah.

30

Aspek kedua yaitu amanah, Budiharto (2006) menyatakan bahwa atasan

yang memiliki sifat amanah akan senantiasa setia kepada Tuhannya, diri sendiri

dan orang lain. (Kumolohadi dan Budiharto, 2014) menjelaskan juga bahwa

seorang pemimpin yang memiliki sifat amanah akan bekerja sungguh-sungguh

dengan komitmen kepada Allah, rekan kerja, staf, para donatur, bahkan para

sukarelawan serta bersikap dengan adil, karena sadar segala amanah yang

dijalaninya tidak hanya dipertanggung jawabkan kepada organisasi saja namun

juga kepada Allah.

Selanjutnya, atasan dengan sifat tabligh (komunikatif) akan

menyebabkan atasan lebih sering berinteraksi dengan karyawannya sehingga

menciptakan hubungan yang hangat dengan karyawan, adanya hubungan ini

dapat meningkatkan keterlibatan karyawan untuk membantu dalam

menyelesaikan tugas-tugas dan permasalahan kerja sehingga perilaku kerja

kontraproduktif (penarikan diri pada karyawan) dapat berkurang (Susanty,

Puspitasasri dan Aisyah, 2011). Selain itu Ceryak-Hai dan Tziner (2014)

menyatakan hubungan atasan dengan bawahan berhubungan dengan tingkah

laku kerja kontraproduktif. Hubungan yang dibangun atas komitmen dan

kepentingan bersama akan menciptakan kesadaran akan nilai-nilai, visi dan misi

suatu oragnisasi serta melahirkan prestasi dan keberhasilan dalam mencapai

tujuan organisasi (Budiman, 2015). Sehingga atasan berkarakter tabligh tinggi

dapat memilimalisir dorongan untuk melakukan perilaku-perilaku

kontraproduktif.

31

Kemudian aspek keempat dari kepemimpinan profetik adalah fathonah.

Budiharto (2006) menjelaskan bahwa fathonah adalah cerdas, berfikir sebelum

bertindak, mampu untuk mengatasi masalah dan menjadi problem solver,

kecerdasan tersebut dibangun atas dasar ketakwaan kepada Allah. Adz-Dzakiey

(2005) menyebutkan bahwa atasan yang memiliki sifat fathonah memiliki

kecerdasan untuk memfungsikan qalbunya, akal pikiran dan panca inderanya

dengan optimal dalam mengatasi setiap masalah. Atasan dengan karakter

fathonah yang tinggi akan menhindari melakukan perilaku kerja

kontraproduktif.

Selain itu etos kerja islami juga penting dalam mengendalikan perilaku

kerja kontraproduktif. Pada penelitian Abdullah dan Halim (2016) yang

mengatakan bahwa etos kerja berkorelasi negatif dengan perilaku kerja

kontraproduktif. Etos kerja dengan etos kerja islami secara umum adalah sama,

hal yang membedakan adalah etos kerja islami dibentuk berdasarkan sudut

pandang agama islam.

Penelitian lain oleh Elsintania dan Archianti (2016) dapat diketahui

kepemimpinan profetik dan etos kerja islami berhubungan dengan komitmen

organisasi. Spector (2002) mengatakan pekerja dengan komitmen organisasi

yang tinggi akan cenderung untuk tidak melakukan hal yang negatif/perilaku

kerja kontraproduktif. Menurut Tsamara (2004) etos kerja islami diartikan

sebagai kepribadian muslim yang meyakini bahwa bekerja bukan saja untuk

memuliakan dirinya melainkan juga sebagai manifestasi dari amal saleh yang

memiliki nilai ibadah. Menurut Ali (Yousef, 2000), etos kerja islami terbagi

32

menjadi 4 aspek yaitu, usaha, persaingan, transparan dan tingkah moral

bertanggung jawab.

Aspek usaha pada variabel etos kerja islami berkaitan dengan aspek

penyimpangan produksi dan penarikan diri pada variabel perilaku kerja

kontraproduktif. Pada hasil penelitian Citra, Purwadi, dan Hakim (2018), dapat

diketahui etos kerja islami memiliki hubungan positif yang signifikan dengan

kinerja karyawan. Menurut Wilson (2012) kinerja merupakan hasil pekerjaan

berdasarkan usaha-usaha yang telah dilakukan sesuai dengan persyaratan

pekerjaan (job requirement). Seorang dengan etos kerja islami tinggi dalam

bekerja akan berusaha, mengerjakan segala sesuatu sebaik-baiknya, terlibat

aktif dalam pekerjaan dan mengindari hal-hal yang tidak produktif.

Selanjutnya Kanten dan Ulker (2013) pada penelitiniannya

menyebutkan bahwa lingkungan kerja yang hangat akan menghindarkan

karyawan dari perilaku kerja kontraproduktif. Lingkungan kerja yang hangat

dapat tercipta dari keharmonisan hubungan antara diri sendiri, antasan-

bawahan, dan karyawan-karyawan, Keharmonisan tercipta atas dasar

persaingan yang sehat, sebagaimana yang terdapat pada etos kerja islami.

Persaingan yang baik juga dapat menghindarkan seseorang untuk melakukan

perilaku melecehkan orang lain, sabotase dan lain-lain. Mardiana (2004),

menyatakan persaingan sehat akan menciptakan hubungan yang hangat dan

meningkatkan komiten kerja karyawan, komitmen erat hubungannya dengan

keterlibatan kerja.

33

Kemudian, Mount, dkk (2006) pada penelitiannya mengatakan bahwa

individu dengan tingkat transparansi (keterbukaan) rendah lebih rentan

melakukan perilaku kerja kontraproduktif. Oleh karena itu semakin tinggi

tingkat transparansi (keterbukaan) pada individu maka perilaku kerja

kontraproduktif rendah. Adanya transparansi membuat tidak ada sesuatu yang

disembunyi-bunyikan dan membuat individu merasa dapat perhatian serta

pengakuan terhadap prestasi kerjanya, sehingga sikap kerja dan loyal individu

akan lebih baik (Candrawati, 2019).

Aspek keempat etos kerja islami adalah tingkah moral bertanggung

jawab. Bagi seorang muslim dalam bekerja harus memiliki tingkah laku atau

moral yang baik. Hal tersebut dapat dicerminkan dari perbuatan yang santun

dan bertanggung jawab (Tasmara, 2004). Individu dengan tingkah moral

bertanggung jawab yang baik akan membuat individu berhati-hati dalam

bertindak dan berbuat agar tidak melanggar nilai-nilai yang terdapat pada

organisasi/perusahaan. Oleh karena itu individu dengan tingkah moral

bertanggung jawab baik dapat melindungi dirinya untuk melakukan perilaku

kerja kontraproduktif.

Berdasarkan tulisan di atas dapat diketahui bahwa baik aspek

kepemimpinan profetik dan aspek etos kerja islami sama-sama memiliki

keterikatan satu sama lain dalam perilaku kerja kontraproduktif. Seorang yang

merasa memiliki keempat aspek dalam kepemimpinan profetik dan etos kerja

islami akan dapat memberikan dampak terhadap pengendalian perilaku kerja

kontraproduktif.

34

E. Hipotesis Penelitian

1. Terdapat hubungan negatif antara kepemimpinanan profetik dengan

perilaku kerja kontraproduktif pada PNS. Semakin tinggi kepemimpinan

profetik atasan maka semakin rendah perilaku kerja kontraproduktif PNS.

Sebaliknya semakin rendah kepemimpinan profetik atasan maka semakin

tinggi perilaku kerja kontraproduktif PNS.

2. Terdapat hubungan negatif antara etos kerja islami dengan perilaku kerja

kontraproduktif pada PNS. Semakin tinggi etos kerja islami PNS maka

semakin rendah perilaku kerja kontraproduktif PNS. Sebaliknya semakin

rendah etos kerja islami PNS maka semakin tinggi perilaku kerja

kontraproduktif PNS.