bab ii tinjauan pustaka a. pembaharuan hukum pidana ...eprints.umm.ac.id/46131/3/bab ii.pdfmenurut...
TRANSCRIPT
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembaharuan Hukum Pidana
1. Pengertian
KUHP yang saat ini berlaku di Indonesia bersumber dari hukum
kolonial Belanda (wetboek van Strafrecht) yang dalam praktiknya sudah
tidak sesuai dengan kondisi keadaan masyarakat Indonesia sekarang.
Pasca kemerdekaan, baik pada masa demokrasi terpimpin maupun orde
baru, KUHP warisan Belanda ini masih tetap berlaku termasuk pula
hatzaai artikelen (pasal-pasal penyebar kebencian) terhadap pemimpin
politik, pejabat atau golongan etnis.1
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa kondisi perubahan hukum
yang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari nilai-nilai yang
ada dalam masyarakat kemudiam secara tegas dijelaskan dalam
konsideran Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU
KUHP) yang menyatakan bahwa materi hukum pidana nasional harus
disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan
kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Selanjutnya tujuan
penyusunan hukum pidana dinyatakan sebagai perwujudan upaya
pembaharuan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang
1 Barda Nawari Arief, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum
Pidana Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2009, hal.28
18
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta untuk
menghormati dan menjungjung tinggi hak asasi manusia.
Kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana (penal
reform) di Indonesia sejalan dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976
tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan. isi
dari kongres tersebut menyebutkan bahwa hukum pidana yang selama ini
diberbagai negara berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada
umumnya telah asing dan tidak adil (obsolete and unjustice) serta tidak
sesuai dengan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded adn
unreal) karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada
diskrepansi dengan aspirasi masyarajat serta tidak responsif terhadap
kebutuhan sosial masa kini.2
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna,
suatu upaya untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural
masyarakat indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal
dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.3
Untuk selanjutnya para ahli memberikan pengertian tentang
pembaharuan hukum yaitu :
2 Barda Nawawi Arief, Ibid. hal.29.
3 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, PT. Kencana
Prenada Media Group, Jakarta. Hal 30.
19
a. Sudarto
Politik hukum adalah kebijaksanaan dari Negara dengan perantaraan
badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-
peraturan yang dikehendak, yang diperkirakan bsa digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai apa yang di cita-citakan. Politik hukum pidana berarti
usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana
yang sesuai dengan keadaan dan situasi waktu dan masa-masa yang
akan datang (ius constituendum)
b. Padmo wahjono menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan
dasar menentukan arah,bentuk, maupun isi hukum yang akan
dibentuk.4
c. Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa “legal policy atau garis
(kebijakan) remi tentang hukum yang akan di berlakukan baik
dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum
lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. “Dengan demikian,
politik hukum merupakan pilihan tentang hukum- hukum yang akan
diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan
dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan
untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum didalam
pembukaan UUD 1945.5
4 Padmo Wahjono, Indonesia Beradasarkan Asas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1986), Cet
II, hlm. 160.
5 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Grafindo Persada,2014), Cet 6,
hlm 1.
20
d. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana harus
dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada
hakikatnya ia hanya merupakan langkah kebijakan “policy” (yaitu
bagian dari politik hukum /penegakan hukum, politik hukum pidana,
politik kriminal, dan politik sosial). Didalam setiap kebijakan
(policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena
itu,pembaharuan hukum pidaana harus pula berorientasi
padapendekatan nilai.
Bahwa dapat disimpulkan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana
sebagai berikut yaitu :
1. Dilihat dari sudut pendekatan-pendekatan :
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi
masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam
rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan
masyarakat dan sebagainya)
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan
masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum , pembaharuan
hikum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
memperharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka
mengefektifkan penegak hukum
21
2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai :
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya
melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan
reevaluasi) nilai-nilai sosiopolitik,sosiofilosofis, dan sosiokultural yang
melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan susbtantif
hukum pidana yang di cita-citakan. (misalnya , KUHP baru sama saja
dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP
lama atau Wvs).6
Pembaharuan hukum pidana merupakan salah satu amanat yang penting
dalam rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional. Didalam nya terdapat
agenda ntuk melakukan penataan kembali institusi hukum dalam ruang
lingkup sistem peradilan pidana, pembaharuan terhadap perangkat peraturan
perundang-undangan, dan pembaharuan terhadap sikap, cara berpikir dan
berbagai perilaku masyarakat. Dengan kata lain agenda pembaharuan hukum
pidana tercakup pengertian pembaharuan kelembagaan hukum pidana (legal
structure reform), pembaharuan substansi hukum pidana (legal substance
reform) dan pembaharuan budaya hukum (legal culture reform).
Dalam pelaksanaan pembaharuan terhadap hukum pidana merupakan hal
yang tidak mudah, karena terdapat berbagai permasalahan hukum pidana
yang dihadapi oleh Indonesia. Oleh karena itu, pendekatan untuk usaha
6 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta, 2010, hal 28-29.
22
melakukan pembaharuan hukum pidana harus terpadu dan intergral sekaligus
rasional.7
2. Politik Hukum Pidana
Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “Policy”
(Inggris) atau “politiek” (Belanda), beranjak dari istilah bahasa asing
tersebut yang artinya adalah kebijakan hukum pidana atau biasa disebut juga
dengan politik hukum pidana, dalam berbagai kepustakaan asing istilah
politi hukum pidana dikenal dengan berbagai antara lain “Penal Policy”,
“criminal law policy, “straftrechtpolitiek”.
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari
politik hukum maupun kriminal. Menurut Prof. Sudarto Politik Hukum
ialah:
a. Usaha untuk mewujudkaan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaaan dan situasi pada suatu saat.8
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
busa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.9
Selanjutnya pengertian politik hukum pidana menurut Marc Ancel yang
menjelaskan bahwa politik hukum pidana merupakan suatu ilmu sekaligus seni
7 Barda Nawawi Arief, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNDIP-Beberapa Aspek
Pengembangan Ilmu Hukum Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 2007, hal 2.
8 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung,Alumni,1981, hal 159.
9 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, 1983, hal.20
23
yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan
secara lebih baik.
Menurut A. Mulder, Strafrechtpolitiek ialah garis kebijakan untuk
menentukan :10
a. Seberapa jauh ketentuan yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana
c. Cara bagaimana penyidikan,penuntutan,peradilan dan pelaksanaan
pidana.
Dalam melaksanakan politik hukum pidana dengan salah satunya membuat
kebijakan formulasi dimana tahap paling strategis dari keseluruhan proses
operasional/fungsionalisasi dan konkretisasi hukum pidana. Kebijakan
formulasi yang diberikan dalam suatu rancangan undang-undang
merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana.
Melaksakan politik hukum pidana berarti mengusahakan mewujudkan
peraturan perundangan-perundangan pidana yang sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu dan masa-masa yang akan datang sekaligus
melakukan pembaharuan terhadap hukum pidana. Pembaharuan hukum
pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena pada
hakikatnya pembaharuan itu hanya merupakan bagian dari suatu langkah
kebijakan
10 Barda Nawawi Arief , 2010, hal 26-27
24
3. Kriminalisasi dan Dekriminalisasi
Kriminalisasi merupakan suatu objek studi hukum pidana materiil yang
membahas suatu perbuatan dapat dikatan sebagai tindak pidana dengan
diancam dengan pidana atau sanksi tertentu. Perbuatan tercela yang
sebelumnya tidak dikualifikasi sebagai bentuk perbuatan terlarang
dijustifikasi sebagai tindak pidana dan diancam dengan sanksi pidana.
menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan atau
penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh
nasyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan
yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau membuat suatu
perbuatan menjadi perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh
pemerintah.11
Kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai bentuk penetapan terhadap
suatu perbuatan seseorang yang semula tidak diatur sebagai tindak pidana
menjadi perbuatan pidana, sehingga proses ini diakhiri dengan terbentuknya
undang-undang baru untuk mengancam perbuatan orang tersebut dengan
saksi pidana.12
Dekriminalisasi adalah proses dimana dihilangkan sama sekali sifat
dapat dipidananya suatu perbuatan yang semua diancam pidana. proses ini
berakhir dengan dicoretnya ketentun yang bersangkutan dari perundang-
undangan atau dapat disimpulkan Dekriminalisasi merupakan bentuk yang
11 Soekanto Soerjono, Kriminologi : Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1981, Hal. 62.
12 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung. 1986. Hal 31
25
dianggap sebelumnya dikualifikasi sebagai tindak pidana sehingga menjadi
tidak termasuk dalam bentuk tindak pidana.
Berhubungan dengan masalah kriminalisasi, Muladi mengingatkan
mengenai beberapa ukuran secara doktrinal harus diperhatikan sebagai
pedoman, yaitu sebagai berikut :
1. Kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan overkriminalisasi
yang masuk kategori the misuse of crimnal sanction
2. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc
3. Kriminalisasi harus mengandung unsur korban victimizing baik
aktual maupun potensial
4. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan
prinsip ultimum remedium
5. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang enforceable
6. Kriminalisasi harus mampu memperoleh dukungan publik
7. Kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialitet mengakibatkan
bahaya bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali
8. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap
peraturan pidana membatasi kebabsan rakyat dan memberikan
kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang
kebebasan itu.13
13 Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang,
1995, hal 256.
26
Menurut Sudarto, khusus mengenai kriteria kriminalisasi dan
dekriminaisasi, Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
1980 perlu diperhatikan kriteria umum :
1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena
merugikan,mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban
2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan
dicapai artinya cost pembuatan undang-undang,pengawasan dan
penegakan hukum serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku dan
pelaku kejahatan sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum
yang akan dicapai
3. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang
tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan
yang dimilikinya
4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau mengahalangi cita-
cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan rakyat.
Menurut Djoko Prakoso, yang perlu mendapat perhatian adalah masalah
kriminalisasi. Bentuk perbuatan bagaimana yang patut dikriminalisasikan perlu
melihat beberapat kriteria penting, yaitu14:
1. Ditetapkan terlebih dahulu bahwa perbuatan itu tidak dikehendaki atau
lebih tepat bertentangan dengan norma atau nilai yang hidup di
masyarakat. Ukuran untuk ini antara lain adalah perbuatan merugikan
atau mendatangkan korban.
14 Ibid.
27
2. Harus diperhatikan cost benefit principle, artinya usaha untuk
mengkriminalisasikan suatu perbuatan harus seimbang dengan hasilnya
3. Kriminalisasi menambah beban aparat penegak hukum, lebih-lebih alat
penyidikan.
B. Tindak Pidana Penghinaan
1. Pengertian
Secara harafiah, penghinaan berasal dari Bahasa Belanda
“Belediging” atau dalam Bahasa Inggris “Offence” yang secara historis
memiliki makna sebagai tindakan sengaja merusak martabat seseorang
termasuk nama baik, kehormatan dan sebagainya.15 KUHP tidak mengatur
secara tegas apa yang dimaksud dengan penghinaan, namun secara normatif
tindak pidana penghinaan dimaknai sebagai tindak pidana yang menyerang
hak seseorang berupa merusak nama baik atau kehormatan seseorang.16
Untuk melengkapi pemahaman mengenai apa yang dimaksud tindak pidana
penghinaan, dapat dilihat pendapat beberapa sarjana hukum sebagai berikut:
a. R. Soesilo R. Soesilo secara spesifik menyatakan bahwa tindak pidana
menghina ditujukan pada kehormatan dan nama baik saja, sedangkan
penghinaan kehormatan dalam konteks seksual tidak tercakup ke
dalamnya. “Menghina” adalah menyerang kehomatan dan nama baik
seseorang. Yang diserang itu biasanya merasa malu. Kehormatan yang
15 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris,
Jakarta: PT. Aneka Ilmu, 1997, hal 128
16 Leden Marpaung, Tindak Pidana terhadap Kehormatan: Pengertian dan Penerapannya,
Jakarta: PT, Grafindo Persada, 2007, hal 9.
28
diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”,
bukan kehormatan dalam lapangan seksuil, kehormatan yang dapat
dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam
lingkungan nafsu birahi kelamin. Perbuatan yang menyinggung
kehormatan dalam lapangan seksuil ini tidak termasuk dalam kejahatan
“penghinaan” akan tetapu masuk kejahatan “kesopanan”, atau
kejahatan “kesusilaan” yang tersebut dalam Pasal 281 sampai dengan
pasal 302 KUHP.” 17
b. Wirjono Prodjodikoro Pemaknaan terhadap tindak pidana penghinaan
menurut Wirjono Prodjodikoro harus dikembalikan kepada ketentuan
pidana mengenai penghinaan, yaitu pasal 310 KUHP yang mengatur
bahwa penghinaan adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama
baik seseorang. “Tindak pidana menista (smaad) menurut pasal 310
KUHP dirumuskan sebagai “dengan sengaja menyerang kehormatan
atau nama baik orang dengan jalan menuduh ia melakukan suatu
perbuatan tertentu (bepaald feit) dengan tujuan yang nyata (kennelijk
doel) untuk menyiarkan tuduhan itu kepada khalayak ramai
(ruchtbaarhedi geven). Kini disebut suatu perbuatan berupa “dengan
sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang”, sedangkan
kata-kata selanjutnya dapat dianggap merupakan pengkhususan sifat
dari tindak pidana penistaan (smaad).18
17 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar Lengkap Pasal demi
Pasal, Bogor: Politeia, 1996, hal 117.
18 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT. Refika,
2002), hal 96.
29
c. Moch. Anwar menegaskan pada distingsi antara tindakan penghinaan
dengan tindakan menista. Untuk dapat memahami pengertian dari
tindak pidana penghinaan, Moch. Anwar melakukan interpretasi otentik
atas pasal 310 KUHP sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa
penghinaan adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang. “Pengertian penghinaan tidak ditafsirkan, hingga harus
dihubungkan dengan pasal 310. Dalam pasal 310, perbuatan yang
dilarang dalam penistaan adalah dengan sengaja melanggar kehormatan
atau nama baik orang. Dengan demikian, penghinaan harus ditafsirkan
sebagai perbuatan dengan sengaja yang melanggar kehormatan atau
nama baik. Perbedaan antara penistaan dan penghinaan terletak dalam
cara melakukannya, yaitu penistaan dimaksudkan dengan menuduh
orang lain dengan suatu perbuatan tertentu, sedangkan penghinaan
biasa dilakukan dengan kata-kata atau perbuatan, asal tidak dengan
tuduhan melakukan suatu perbuatan tertentu.” 19
2. Tindak Pidana Umum
Tindak pidana penghinaan ini adalah tindak pidana penghinaan yang
ditujukan kepada orang biasa, sebagaimana diatur dalam Bab XVI KUHP
dalam pasal 310-321 tentang Penghinaan. Tindak pidana ini terdiri dari
19 H. A. K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus: KUHP Bagian II, Jilid I, Bandung,
PT. Citra Aditya Bakti, 1994, hal 52.
30
penghinaan lisan, penghinaan dengan tulisan, fitah, laporan atau aduan palsu,
sangkaan palsu, dan penghinaan tergadap orang mati. 20
Delik-delik dalam kelompok ini merupakan delik penghinaan
terhadap pribadi-pribadi orang atau bersifat individu sehingga jelas siapa
subjek sasaran dan jelas siapa yang berhak mengadukan kejahatan yang
dialaminya. Individualias ini nampak dari ukuran terserang atau tidaknya
kehormatan seseorang yang digantungkan pada perasaan orang yang
bersangkutan. Bisa saja dengan hinaan yang sama, seseorang akan merasa
biasa saja sedangkan orang lain akan merasa tersinggung. Ukuran subjektif
ini menyebabkan penghinaan tidak bisa digeneralisasi antara orang yang
satu dengan yang lain. Sebagai konsekuensi logis, diberikan hak bagi
korban atau ahli waris korban untuk mengadukan kejahatan yang terjadi.
Hal tersebut yang kemudian menjadikan kejahatan dalam Bab XVI KUHP
tentang penghinaan merupakan delik aduan. Pengaduan di sini harus
dibedakan dengan laporan. Laporan adalah pemberitahuan semata yang
dapat dilakukan oleh siapa saja sedangkan pengaduan adalah syarat yang
mutlak bagi penuntutan atas kerugian yang dialami seseorang, yang hanya
bisa dilaporkan oleh orang-orang dengan kualifikasi tertentu.21
20 Justitia Avila Veda, Penerapan Pasal 134 KUHP Tentang Penghinaan Terhadap Presiden
dan Wakil Presiden di Indonesia (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tahun 1998-2013), Skripsi 2015,
Hal 31.
21 Ibid.
31
3. Tindak Pidana Khusus
Kelompok penghinaan khusus terdiri dari kejahatan penghinaan
yang tersebar di luar Bab XVI KUHP tentang Penghinaan. Pasal-pasal
tersebut mengatur penghinaan dengan variasi objek dan cara-cara
melakukan kejahatan yang berbeda. Masing-masing pasal pun memiliki ciri
khas, berbeda dengan kelompok penghinaan umum yang memiliki satu ciri
sama. Meskipun begitu, ada satu kesamaan di antara seluruh kejahatan
penghinaan yang ada, yaitu hakikat objek penghinaan yang berupa harga
diri atas kehormatan atau nama baik seseorang. Jenis-jenis objek
penghinaan dalam kelompok penghinaan khusus tidak hanya sebatas pada
orang sebagai korban. Pemegang-pemegang jabatan tertentu seperti
Presiden dan/atau wakil Presiden turut menjadi objek penghinaan dalam
kelompok khusus ini. Selain itu, benda mati seperti bendera negara dan
lambang negara juga diakui sebagai sasaran penghinaan oleh hukum pidana
Indonesia.22
Tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden Tindak
pidana penghinaan Presiden adalah tindak pidana dengan sengaja
menyerang kehormatan atau nama baik Presiden dan Wakil
Presiden.Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 134 KUHP sebagai pasal
umum, Pasal 136 bis KUHP mengatur apabila penghinaan dilakukan tanpa
kehadiran korbannya, dan Pasal 137 KUHP ayat (1) mengatur tentang
penghinaan secara tertulis serta ayat (2) mengatur tentang penghinaan yang
22 Ibid. Hal 43
32
dilakukan selama masa pencaharian. Secara umum, tindak pidana
penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ini mencakup juga tindakan smaad
(menista lisan), smaadschrift (menista dengan tulisan), laster (fitnah),
eenvoudige beledigin (penghinaan biasa), dan lastrlijke aanklacht
(pengaduan atau laporan palsu).23
C. Presiden Sebagai Kepala Negara
Perubahan UUD 1945 yang cukup signifikan dan mendasar bagi
penyelenggaraan demokrasi yaitu pemilihan presiden yang dilaksanakan
secara langsung. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat melalui
pemilihan umum atau disingkat dengan pemilu. Pemilihan secara langsung
presiden dan wakil presiden akan memperkuat ligitimasi seorang presiden
sehingga presiden diharapkan tidak mudah untuk diberhentikan di tengah jalan
tanpa dasar memadai, yang mempengaruhi stabilitas politik dan
pemerintahaaan secara aktual.24
Presiden dalam melaksanakan tugas dan wewenang nya dibantu oleh
seorang wakil presiden. Presiden merupakan lembaga negara yang memegang
kekuasaan dibidang eksekutif. Seiring dengan perubahan UUD 1945, saat ini
kewenangan presiden diteguhkan hanya sebatas pada bidang kekuasaan
23Lihat Soesilo , KUHP, Politea,,Bogor, hal. 121. Lihat juga pendapat NoyonLangemeijer dalam
Lamintang (1987), Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan terhadap Kepentingan Umum
Negara, Sinar Baru, Bandung, hlm. 268. Lihat juga pendapat Prof. Mardjono dalam Putusan MK
No. 013-022/PUU-IV/2006.
24 Hidayat Nur Wahid, Lembaga Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, artikel Legalitas, 2006, diambil dari http://www.legalitas.org/?q=node/75,
akses 11 Januari 2019.
33
dibidang pelaksanaan pemerintahan negara. Namun demikian, dalam UUD
1945 juga diatur mengenai ketentuan bahwa presiden juga menjalankan fungsi
yang berkaitan dengan bidang legislatif maupun yudikatif.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar, Presiden mempunyai tugas
dan jabatan sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan
Indonesia. Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar pulalah, yang
menyebutkan bahwa seorang Presiden haruslah warga negara Indonesia yang
sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain.
Perubahan ketentuan mengenai persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden
dimasudkan untuk mengaomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan
tuntutan zaman serta agar sesuai dengan perkembangan masyarakat yang
makin demokratis, egaliter dan berdsarkan rule of law yang salah satu cirinya
adalah pengakuan kesederajatan didepan hukum bagi setiap warga negara.25
Hal ini juga konsisten dengan paham kebangsaan Indonesia yang berdasarkan
kebersamaan dengan tidak membedakan warga negara atas dasar
keturunan,ras, dan agama. Kecuali itu, dalam perubahan ini juga terkandung
kemauan politik untuk lebih memantapkan ikatan kebangsaan Indonesia.
Selanjutnya, sebagai perwujudan negara hukum dan checks and balances
system, dalam UUD diatur mengenai ketentuan tentang periode masa jabatan
Presiden dan Wakil Presiden serta adanya ketentuan tentang tata cara
pemberhentian Presiden dan wakil Presiden serta adanya ketentuan tentang
cara pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
25 Ibid.
34
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa jabatan presiden dapat dikontrol
lembaga negara lainnya, dengan demikian akan terhindar dari kesewenang-
wenangan dalam penyeleggaraan tugas kenegaraan.26
Berkaitan dalam melaksanakan prinsip checks and balances system serta
hubungan kewenangan antara Presiden dengan lembaga negara lainnya, antaea
lain mengenai pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi yang semula
menjadi hak prerogratif Presiden sebagai kepala negara, saat ini dalam
menggunakan kewenangannya tersebut haru dengan memperhatikan
pertimbangan negara lain yang memegang kekuasaan sesuai dengan
wewenangnya sebagaimana yang telah di jelaskan dalam konstitusi27
D. Wakil Presiden
Wakil presiden dan menteri sama-sama bertindak untuk membantu presiden
dalam menjalankan penyelenggara negara, namun wakil presiden adalah orang
pertama kali menggangtikan presiden apabila presiden berhalangan hadir dalam
melaksanakan tugas atau sesuatu dalam lingkup pemerintahan sehingga
kedudukan nya lebih tinggi bila dibandingkan dengan para menteri, selain itu,
kedudukan seorang wakil presiden juga tidak dapat dipisahkan dengan presiden
sebagai satu kesatuan pasangan jabatan karena dipilih secara langsung melalui
pemilihan umum (PEMILU). Selanjutnya seorang wakil presiden memiliki tugas
nya yaitu mendampingi Presiden menjalankan tugas-tugas kenegaraan di negara
lain, membantu presiden menjalankan tugas sehari-hari, menjalankan tugas
26 Harjono, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Artikel,
Legalitas,2007,http://www.legalitas.org, akses 11 Januari 2019. 27 Op.Cit, Hidayat Nur Wahid
35
presiden apabila berhalangan untuk hadir, memperhatikan secara khusus,
menampung segala masalah-masalah dan mengusahakan pemecahan yang perlu,
menyangkut bidang tugas kesejahteraan rakyat dan melakukan pengawasan
pembangunan operasional dengan bantuan-bantuan departemen-departemen.28
E. Kebebasan Berpendapat
Manusia terlahir ke dunia oleh Tuhan dikaruniai sesuatu yang orang lain
tidak dapat mengusiknya, yaitu yang lebih dikenal dengan Hak Asasi Manusia
(HAM). Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
disebutkan bahwa: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia” Kebebasan berpendapat
merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang fundamental. Selain
memperoleh pengakuan secara internasional melalui Deklarasi Universal HAM
(DUHAM) Tahun 1948 atau Universal Declaration of Human Right, juga secara
nasional Indonesia sangat tegas mencantumkan penghargaan kebebasan
berpendapat dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). 29
Dalam Pasal 19 Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945)
menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat atau
28 Guru PPKN , Tugas , Fungsi dan Wewenang Presiden dan Wakil Presiden, dalam
http://guruppkn.com , akses 12 Januari 2019.
29 Arniansi Utami Akbar, Skripsi, Implikasi Hukum Kebebasan Berpendapat di Jejaring Sosial
dalam Wujudnya Delik Penghinaan, Makassar , Universitas Hasanudin, 2013, hal 20.
36
mengeluarkan pendapat. Hak itu meliputi kebebasan mempertahankan pendapat
dengan tanpa gangguan, serta mencari, menerima, dan meneruskan segala
informasi dan gagasan, melalui media apapun dan tanpa memandang batas”.
Kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat adalah prinsip universal
dalam negara demokratis. Negara atau pemerintah menciptakan kondisi yang
baik dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Kebebasan untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat adalah prinsip
universal di dalam negera demokratis. Dalam perkembangannya, prinsip ini
mengilhami perkembangan demokrasi di negara-negara yang berkembang,
bahwa pentingnya menciptakan kondisi baik secara langsung maupun melalui
kebijakan politik pemerintah atau negara yang menjamin hak publik atas
kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat sebagai salah satu baromoter
penegakan demokrasi dalam masyarakat suatu bangsa. Kebebasan berpendapat
merupakan hak dasar setiap manusia. 30
Kebebasan ini merupakan wujud penyampaian ekspresi baik secara lisan
maupun tulisan melalui media apa saja tanpa kekangan dari pihak manapun.
Seiring perkembangan teknologi, kebebasan berpendapat melalui media tidak
hanya mencakup media cetak dan media penyiaran saja, tapi juga melalui media
online. Kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat sebagai salah satu
bagian dari demokrasi di era reformasi ini bukan tanpa batas, tetapi dibatasi juga
oleh hak asasi orang lain serta oleh undang-undang. Hal ini dimaksudkan
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
30 Ibid
37
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis. Kebebebasan dasar untuk berekspresi dan
mengeluarkan pendapat tidak dapat didefinisikan atau ditafsirkan oleh seseorang
yang dapat menghilangkan atau mengaburkan makna dari semangat
pelaksanaannya. Artinya, kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat
yang mengandung unsur-unsur kekerasan adalah pelanggaran terhadap prinsip
itu sendiri. Misalnya, kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat
melalui aksi membakar rumah, gedung pusat pembelanjaan, penjarahan,
mengancam dengan senjata tajam dan lainnya. Dari aspek hak asasi, tindakan-
tindakan seperti tersebut tergolong tindakan yang melanggar hak atas kebebasan
dari orang lain, karena, disamping menganggu ketertiban umum juga membatasi
hak atas keamanan orang lain dalam masyarakat. Sementara dari aspek hukum,
merupakan tindak pidana yang dapat dituntut pertanggungjawabannya lewat
pengadilan. Media semakin berkembang luas dan internet hadir sebagai ajang
untuk menyampaikan pendapat, maka pemerintah berusaha ikut campur untuk
mengaturnya. Di satu sisi, pemerintah berdalih bahwa pemerintah harus
melindungi kepentingan publik yang cukup heterogen dari terpaan negatif
media, namun di sisi lain pemerintah juga mengekang kebebasan berpendapat
yang dimiliki publik. Internet, telah menjadi salah satu media alternatif bagi
publik untuk mengutarakan pendapatnya secara bebas. Kebebasan berpendapat
sendiri di Indonesia memang memiliki aturan yang terbatas. Selama ini koridor
mengenai kebebasan berpendapat hanya diatur melalui Undang-undang Nomor
38
40 Tahun 1999 tentang Pers, yang notabene lebih banyak mengatur mengenai
pers cetak. Undang-undang ini belum akomodatif untuk media penyiaran dan
media massa lainnya. Dapat dikatakan bahwa media online belum mempunyai
aturan mengenai kebebasan pers. Selain itu di berbagai instrumen seperti
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dijelaskan bahwa
kebebasan berpendapat merupakan ruh dari kebebasan pers. Bebas untuk
mencari, mengola dan menulis serta menyampaikan berita melalui media cetak
atau elektronik serta media online (internet) sekalipun. Kebebasan
mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan merupakan hak semua
orang. Setiap individu yang hidup dalam suatu negara hukum, mempunyai
kebebasan yang sama dalam berpendapat. Namun ketika diterapkan dalam setiap
media, kebebasan berpendapat ini akan mempunyai implikasi yang berbeda,
tergantung sifat medianya. Namun, bukan berarti hal ini akan menjadi alasan
untuk mengekang kebebasan berpendapat dalam masyarakat.31
31 Ibid, hal 21.