bab ii tinjauan pustaka a. konsep negara...

29
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Negara Hukum Negara Hukum menurut Abdul Aziz Hakim 1 adalah, negara berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warganya. Artinya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum sehingga dapat mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya. Pengertian lain negara hukum secara umum ialah bahwasanya kekuasaan negara dibatasi oleh hukum yang berarti segala sikap, tingkah laku dan perbuatan baik dilakukan oleh penguasa atau aparatur negara maupun dilakukan oleh para warga negara harus berdasarkan atas hukum. Menurut Prof. Wirjono Projadikoro 2 dalam buku yang sama bahwa, penggabungan kata-kata Negara dan Hukum, yaitu istilah “Negara Hukum” berarti suatu negara yang di dalam wilayahnya meliputi; 1. Semua alat-alat perlengkapan negara, khususnya alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakan-tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku, dan 1 Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia, Penerbit Pustaka Pelajar, 2011, Celeban Timur (Yogyakarta), hlm. 8 2 Ibid, hlm. 9

Upload: phamduong

Post on 03-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Negara Hukum

Negara Hukum menurut Abdul Aziz Hakim1 adalah, negara berlandaskan atas

hukum dan keadilan bagi warganya. Artinya adalah segala kewenangan dan tindakan

alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau

dengan kata lain diatur oleh hukum sehingga dapat mencerminkan keadilan bagi

pergaulan hidup warganya.

Pengertian lain negara hukum secara umum ialah bahwasanya kekuasaan

negara dibatasi oleh hukum yang berarti segala sikap, tingkah laku dan perbuatan

baik dilakukan oleh penguasa atau aparatur negara maupun dilakukan oleh para

warga negara harus berdasarkan atas hukum.

Menurut Prof. Wirjono Projadikoro2 dalam buku yang sama bahwa,

penggabungan kata-kata Negara dan Hukum, yaitu istilah “Negara Hukum” berarti

suatu negara yang di dalam wilayahnya meliputi;

1. Semua alat-alat perlengkapan negara, khususnya alat perlengkapan dari

pemerintah dalam tindakan-tindakannya baik terhadap para warga negara maupun

dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenang-wenang,

melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku, dan

1Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia, Penerbit Pustaka Pelajar, 2011,

Celeban Timur (Yogyakarta), hlm. 8

2Ibid, hlm. 9

10

2. Semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-

peraturan hukum yang berlaku.

Sementara itu, Prof Sudargo Gautama mengemukakan3, ada tiga ciri atau unsur-

unsur Negara Hukum, yakni:

a. terdapat pembatasan kekuatan negara terhadap perorangan, maksudnya adalah

negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tindakan negara dibatasi oleh

hukum, individu mempunyai hak terdapat negara atau rakyat mempunyai hak

terhadap penguasa.

b. Asas Legalitas

Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih

dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparatnya.

c. Pemisahan Kekuasaan.

Pendapat diatas diperkuat pula oleh F.J. Stahl4 yang mengemukakan elemen

dari negara hukum antara lain :

1. Adanya jaminan atau hak dasar manusia

2. Adanya pembagian kekuasaan

3. Pemerintah berdasarkan peraturan hukum

4. Adanya peradilan administrasi negara

3Lihat. Abdul Aziz Hakim, hlm. 10

4Ibid

11

Konsep Negara Hukum dalam Anglo Saxon, dikemukakan Albert Van Dicey5

salah seorang pemikir Inggris yang juga seorang penulis buku mengemukakan, ada

tiga (3) unsur utama the rule of law, yakni;

1. Supremacy of law adalah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara

ialah hukum (kedaulatan hukum).

2. Equality before the law ; kesamaan bagi kedudukan di depan hukum untuk semua

warga negara, baik selaku pribadi maupun sebagai pejabat negara

3. Constitution based on individual right; konstitusi itu tidak merupakan sumber dari

hak asasi manusia dan jika hak asasi manusia diletakan dalam konstitusi itu

hanyalah sebagai penegasan bahwa hak asasi manusia itu harus dilindungi.

Selain disebutkan di atas, terdapat pula konsep Negara Hukum yang berasal

dari pemikiran Benua Eropa (Eropa Continental), dikemukakan oleh Frederich Julius

Stahl berupa unsur-unsur utamanya yaitu;

1. Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia

2. Untuk melindungi hak-hak asasi manusia, maka penyelenggaraan Negara haruslah

berdasarkan theory atau konsep trias politica.

3. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah dibatasi oleh undang-undang.

4. Apabila dalam melaksanakan tugas pemerintah masih melanggar hak asasi, maka

ada pengadilan administrasi yang mengadilinya.

Berdasarkan konsep Stahl, dapat diperoleh kesimpulan bahwa negara hukum

5Ibid, hlm. 13

12

bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dan membatasi kekuasaan

terhadapnya. Namun, konsep ini hanya mendahulukan aspek formal yang hasilnya

membawa persamaan pada aspek politik dan sosial saja, tetapi penyelenggaraan

ekonomi dan kesejahteraan rakyat memberi kesempatan bersaing secara bebas,

artinya yang terkuat dialah pemilik keuntungan sebesar-besarnya.

B. Demokrasi

Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat,

dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, yang diartikan oleh Abraham Lincoln

Presiden Amerika Serikat ke-16 sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita

kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Pengertian demokrasi di atas dapat pula dijabarkan sebagai sebuah bentuk atau

sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan

wakilnya. Makna lainnya adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan

persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.

Namun tentu saja demokrasi akan menjadi sesuatu yang sulit

diwujudkanmanakalapenyelenggara kurang tekun dalam melaksanakan hal tersebut

yang terkadang menimbulkan ketegangan dan pertentangan antara pelaku hukum

dalam hal ini pemerintah6.

6Lihat.Abdul Aziz, hlm. 13

13

Lebih lanjut dijelaskan Abraham terdapat ciri demokrasi yakni pertama, adanya

ruang politik (polical space), yang memungkinkan rakyat untuk bisa berkembang

secara wajar dan aman. Suatu politik yang terbuka, mengandaikan adanya kebijakan

publik yang mendukung dan adanya penerimaan atas prinsip-prinsip pluralisme.

Ruang politik yang bebas dan aman, tidak selalu bermakna legal-formal, melainkan

harus nyata (sosiologis). Kedua, berkembangnya proses partisipasi rakyat yang murni

dan progresif. Maksudnya adalah suatu kondisi dimana rakyat, menjadi aktor utama

dalam proses politik, dan bukan sekedar penyumbang suara dalam pemilu. Partisipasi

yang paling tinggi adalah ketika rakyat ikut mengambil keputusan politik yang

penting (hak inisiatif), dan tidak sekedar menjadi tenaga-tenaga dari proyek-proyek

pemerintahan. Ketiga, pemerintah adalah pihak mayoritas, dengan tidak mengabaikan

pihak minoritas. Memberi tempat dan kesempatan pada mayoritas, bermakna

penghormatan atas suara rakyat.

Menurut para ahli, diantaranya Joseph A. Schmeter mengungkapkan bahwa

demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan

politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara

perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Selain itu, Sidnet Hook berpendapat bahwa

demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah

yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan

mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.

Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl menyatakan bahwa, demokrasi

adalah suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas

14

tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara

tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah

terpilih7.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli, diperoleh kesimpulan bahwa hakikat

demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan

memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat, baik dalam

penyelenggaraan negara maupun pemerintahan.

Demokrasi sendiri menurut Hans Kelsen8 berarti bahwa “kehendak” yang

dinyatakan dalam tatanan hukum negara identik dengan kehendak dari para subyek

hukum. Demokrasi langsung adalah demokrasi dengan derajat relatif paling tinggi

dan ditandai oleh fakta bahwa pembuatan undang-undang dan juga fungsi eksekutif

dan yudikatif yang utama dilaksanakan oleh rakyat di dalam pertemuan akbar atau

rapat umum, sehingga demokrasi ini pula dapat dikata merupakan bentuk atau

mekanisme sistem pemerintahan negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan

rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara yang dijalankan pemerintah negara

tersebut.

7http://phicumbritz.blogspot.com/2010/06/pengertian-demokrasi-menurut-para-ahli.html

8Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Penerbit Nusa Media dan Nuansa,

Bandung, 2006, hlm. 402-409

15

William Andrews9 mengatakan, negara demokrasi modern berdiri berdiri di atas

basis kesepakatan umum mayoritas rakyat tentang bangunan negara yang di idealkan.

Organisasi negara diperlukan agar kepentingan mereka dapat dilindungi atau

dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme negara.

Bentuk demokrasi modern dewasa ini, sistem kekuasaan dalam kehidupan

bersama biasa dibedakan dalam tiga wilayah atau dominan, yaitu negara (state), pasar

(Market), dan masyarakat (civil society). Ketiga domain kekuasaan tersebut memiliki

logika dan hukumnya sendiri-sendiri. ketiganya harus berjalan seiring dan sejalan,

sama-sama kuat dan sama-sama mengendalikan satu sama lain, tetapi tidak boleh

saling mencampuri atau dicampuradukan.

Jika kekuasaan negara terlalu dominan, demokrasi tidak akan tumbuh karena

selalu didikte dan dikendalikan oleh negara dimana yang berkembang adalah

otoritarianisme. Jika kekuasaan pasar terlalu kuat, melampaui kekuatan “civil society“

dan negara, berarti kekuatan modal (kapital) dan kaum kapitalis yang menentukan

dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Demikian pula jika kekuasaan yang

dominan adalah “civil society“ sedangkan negara dan pasar lemah, maka yang akan

terjadi adalah situasi “goverment-less”, tanpa arah yang jelas.

C. Otonomi Daerah

Istilah otonomi daerah secara etimologis dapat diartikan sebagai pemerintahan

9Prof. Jimly Asshddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, PT Bhuana Ilmu Populer,

Jakarta, 2009, hlm. 398-399

16

sendiri. Istilah otonomi menurut Syafrudin,10

bahwa kebebasan atau kemandirian

tetapi bukan berarti kemerdekaan. Kebebasan terbatas atau kemandirian itu adalah

wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. UU Nomor 32

Tahun 2004, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan serta kepentingan

masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan.

Hak, wewenang dan kewajiban dimaksud secara tegas dinyatakan dalam

ketentuan pada pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang menyatakan bahwa :

“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma

hukum, mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara

atau pejabat berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan

Perundang-undangan”. Pada dasarnya otonomi daerah dapat dilaksanakan oleh negara

yang menerapkan asas desentralisasi, yakni penyerahan sebagian urusan

pemerintahan dari pusat kepada daerah dalam mengurus rumah tangganya secara

mandiri sehingga tidak menjadi beban bagi pemerintah pusat.

Dikemukakan Logemann tentang pengertian otonomi daerah, bahwa kebebasan

bergerak yang diberikan kepada daerah otonom berarti memberikan kesempatan

kepadanya untuk mempergunakan prakarsanya sendiri dari segala macam

kekuasaannya untuk mengurus kepentingan umum. Meskipun demikian, dalam

10

Ateng Syafrudin Op. Cit, hlm.23

17

mengatur segala kepentingan harus pula berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Pelaksanaan otonomi daerah setelah perubahan kedua UUD 1945, disebutkan

pada pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 semula berbunyi bahwa,

“pembagian daerah indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan

pemerintahannya ditetapkan Undang-undang dengan memandang dan mengingat

dasar permusyawaratan dalam Sistem Pemerintahan Negara, dan hak asal-usul dalam

Daerah yang bersifat istimewa”, saat ini diubah menjadi :

1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,

kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur

dengan undang-undang.

2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan.

3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan

umum.

4. Gubernur, Bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintah

Daerah provinsi, kabupaten dan kota yang dipilih secara Demokratis.

5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan

18

Pemerintahan Pusat.

6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-

peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam

undang-undang.

D. Good Governance

Istilah ini lazim disebut dengan pemerintahan yang baik dan merupakan konsep

yang belakangan digunakan dalam ilmu politik maupun administrasi publik.

Dikemukakan Prof. Murtir Jeddawi,11

dalam disiplin atau profesi manajemen

publik konsep ini dipandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu

administrasi publik. Paradigma ini menekankan pada peranan manajer publik agar

memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong

meningkatkan ekonomi manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan

kontrol yang dilakukan oleh pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas publik dan

diciptakan pengelolaan manajerial yang bersih dari korupsi.

Lebih lanjut Murtir mengungkapkan, istilah governance disini diartikan

sebagai mekanisme, praktik maupun tata cara pemerintah dan warga mengatur

sumberdaya serta memecahkan masalah-masalah publik. Perbedaan paling pokok

antara konsep “government”dan “governance” terletak pada bagaimana cara

penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan

11

Murtir Jeddawi, Negara Hukum, Good Governance dan Korupsi Di Daerah, Penerbit Total Media,

2011, Yogyakarta, hlm. 23-26

19

suatu bangsa, sedangkan “pemerintahan” berarti peranan pemerintah yang lebih

dominan dalam penyelenggaraan berbagai otoritas dimaksud. Sementara dalam

governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan

kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi

masyarakat.

Adapun unsur transparansi dan keterbukaan dalam konsep good governance

yang dikemukakan Murtir, merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Transparansi

dan keterbukaan perbuatan hukum publik oleh badan atau pejabat administrasi negara

merupakan bentuk perlindungan hukum bagi rakyat. Dikatakan demikian, karena

dalam hal badan atau pejabat administrasi negara membuat suatu kebijakan atau

keputusan administrasi negara maka rakyat yang mempunyai kepentingan atas

kebijakan atau keputusan tersebut harus mengetahui secara transparan atau terbuka.

Dikemukakan pula oleh Philipus dan kawan-kawan12

bahwa, good governance

berkenaan dengan penyelenggaraan tiga tugas dasar pemerintah yaitu;

1. Menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat.

2. Mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, sektor swasta dan

masyarakat.

3. Memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya dengan kehendak rakyat.

Dijelaskan pula bahwa konsep governance dalam masyarakat sering dirancukan

dengan konsep government, padahal keduanya memiliki perbedaan. Konsep yang

12

PhilipusHadjon dkk, Hukum Administrasi dan Good Governance, Penerbit Universitas Trisakti,

2010, Jakarta, hlm.9

20

pertama (governance) lebih inklusif daripada government. Konsep “government”

menunjuk pada suatu organisasi pengelolaan berdasarkan kewenangan tertinggi

(negara dan pemerintah), sedangkan “governance” melibatkan tidak sekedar

pemerintah dan negara, akan tetapi pihak yang terlibat sangat luas.

Penjelesan di atas diberi pula penekanan oleh Crince Le Roy13

, yang

mengemukakan sebelas asas umum pemerintahan yang baik dalam lapangan hukum

administrasi dan praktik pemerintahan di Belanda meliputi;

1. Asas kepastian hukum

2. Asas keseimbangan

3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan

4. Asas bertindak cermat

5. Asas motivasi dalam setiap keputusan

6. Asas larangan mencampuradukkan kewenangan

7. Asas permainan yang layak

8. Asas keadilan atau kewajaran

9. Asas menanggapi penghargaan yang wajar

10. Asas meniadakan akibat keputusan yang batal

11. Asas perlindungan atas pandangan

Kuntjoro Purbopranoto14

melengkapi ke sebelas asas umum pemerintahan yang

13

Lihat.Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum

Pemerintahan yang Baik, Penerbit Erlangga, 2010, Jakarta, hlm.158

14Ibid, hlm. 158-159

21

baik yang dikemukakan di atas dengan menambah asas lain dalam rangka

mengadaptasi asas-asas umum pemrintahan. Kedua asas tambahan tersebut adalah

asas kebijaksanaan dan asas penyelenggaraan kepentingan umum.

E. Konsep Peraturan Daerah

Kata “peraturan daerah” atau yang disingkat dengan Perda merupakan

gabungan dari dua kata yakni Peraturan dan Daerah. Istilah “Peraturan” berasal dari

kata dasar “atur” yang mendapat awalan “per” dan akhiran “an”. Kata “atur” dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “disusun dengan baik, rapi dan tertib.

Sementara kata “Peraturan” itu sendiri dalam Kamus Bahasa Indonesia ialah “tatanan

(petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk mengatur”.

Menurut Perundang-undangan yang berlaku, perda adalah peraturan daerah

Provinsi dan/atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Konsep lain menurut Jazim Hamidi15

bahwa Perda sebagai bentuk kewenangan

yang diberikan tidak sebatas melihat ketentuan UU yang mengatur Pemerintah

Daerah saja, melainkan juga menjadi amanat konstitusi yang dijalankan dengan tidak

melanggar ketentuan yang diberikan, antara lain dengan memperhatikan susunan dan

tata cara peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan kepentingan

umum sehingga menuntut pengetahuan yang cukup dari pembuat maupun

penyusunnya.

15

Jazim Hamidi dan Kemilau Mutik, Legislative Drafting (Seri Naskah Akademik Perda), Penerbit

Total Media, Yogyakarta, 2011, hlm.5

22

Rozali Abdullah16

berpendapat, bahwa dalam proses pembentukan Perda

menyangkut tiga (3) aspek penting, yaitu

1. Aspek Prosedural yakni menyangkut tata cara dan prosedur pembentukan

Peraturan Daerah yang secara normatif telah diatur dalam Tata Tertib DPRD

masing-masing.

2. Aspek substansial menyangkut isi atau materi pokok yang diatur dalam

Peraturan Daerah (latar belakang, tujuan dan objek dibuatnya Peraturan

Daerah).

3. Aspek Teknis menyangkut masalah bentuk dan teknis penyusunan Peraturan

Daerah (diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang

Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan

Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan

Presiden).

Dapat pula dilihat pada Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (3) UU

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang membatasi materi muatan

sebuah perda, yaitu bahwa Perda tidak boleh memuat urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan pemerintah pusat seperti:

a. politik luar negeri,

b. pertahanan dan keamanan,

c. yustisi,

16

Rozali Abdullah, Produk Hukum Daerah, Pusat Studi dan Hukum Perudang-undangan Universitas

Jambi, Jambi, 2000. hlm.3

23

d. moneter dan fiskal nasional, dan

e. agama.

Kewenangan pembentukan peraturan daerah itu berada pada Kepala Daerah dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Peraturan daerah ditetapkan oleh Kepala

Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Dalam kerangka Otonomi

Daerah pula, pelaksanaan kewenangan pembentukan perda telah ditetapkan juga ke

dalam beberapa aturan yang meliputi; Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007

tentang Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk

Hukum Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang

Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah serta Surat Edaran Menteri Dalam

Negeri Nomor 188.34/1586/SJ tanggal 25 Juli 2006 perihal Tertib Perancangan dan

Penetapan Peraturan Daerah sebagai konsekuensi adanya pelimpahan kekuasaan

dalam Otonomi Daerah.

Penjelasan di atas memberikan penegasan pula bahwa, pemberian kewenangan

dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang diberikan pemerintah pusat,

betapapun luasnya cakupan otonomi daerah itu Perda yang merupakan produk lokal

tidak boleh mengatur permasalahan yang menyimpang dan merusak prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

F. Konsep Transparansi

Transparansi adalah suatu proses keterbukaan para pengelola manajemen publik

untuk membangun akses dalam proses pengelolaannya, sehingga arus informasi

24

keluar dan masuk dapat berimbang. Konsep Transparansi menurut Peraturan Daerah

(Perda) adalah, keadaan dimana setiap orang dapat mengetahui proses pembuatan dan

pengambilan keputusan oleh pemerintah.

Selanjutnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pemerintahan berarti

lembaga atau orang yang bertugas mengatur dan memajukan negara dengan

rakyatnya. Tujuan transparansi pemerintahan adalah terjaminnya akses masyarakat

dalam berpartisipasi, terutama dalam proses pengambilan keputusan bersama untuk

kemajuan pembangunan.

Smith yang dikutip dalam Disertasi Arifin T17

mengemukakan, bahwa proses

transparansi meliputi :

1. Standard procedural requirements (Persayaratan Standar Prosedur), bahwa proses

pembuatan peraturan harus melibatkan partisipasi dan memperhatikan kebutuhan

masyarakat.

2. Consultation processes (Proses Konsultasi), Adanya dialog antara pemerintah

dan masyarakat

3. Appeal rights (Permohonan Izin), adalah pelindung utama dalam proses

pengaturan. Standard dan tidak berbelit, transparan guna menghindari adanya

korupsi.

17

Lihat.Arifin T, Analisis Implementasi Kebijakan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintah Kota

Gorontalo (Disertasi), Universitas Negeri Makassar, Makassar, 2010, hlm. 3

25

Dalam Good Gevernance18

, transparansi merupakan salah satu prinsip Good

Governance. Pengertian transparansi disini adalah segala keputusan yang diambil dan

penerapannya dibuat serta dilaksanakan sesuai koridor hukum dan peraturan yang

berlaku. Sementara dalam hhtp.www.transparansi.or.id19

Jurnal Masyarakat

Transparansi mengemukakan, bahwa transparansi dibangun atas dasar arus informasi

yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi dapat

diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan serta informasi tersedia harus memadai

agar dapat dimengerti dan dipantau semua orang sebagai bentuk pertanggung

jawaban secara tidak langsung.

Diberi pengertian pula bahwa transparansi adalah keadaan dimana segala

bentuk aktifitas yang dilakukan dalam tataran pemerintahan bersifat terbuka dan

memberi kebebasan kepada semua pihak demi kemajuan, serta terpenuhinya hak

masyarakat dalam memberikan pendapat, saran dan kritikan membangun yang

dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sementara dalam buku yang diterbitkan Bappenas dan Depdagri20

, bahwa

Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang

untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi

tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaannya serta hasil-hasil yang

18

Lihat.Arifin T,Ibid, hlm.5

19Jurnal Masyarakat,hhtp.www.transparansi.or.id

20 Lihat. Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, Bappenas dan

Depdagri, 2002, hlm.18

26

dicapai. Pengertian ini menunjukkan bahwa transparansi adalah adanya kebijakan

terbuka bagi pengawasan serta tersedianya informasi yang cukup, akurat dan tepat

waktu tentang kebijakan publik serta proses pembentukannya.

Adanya ketersediaan informasi seperti ini, masyarakat dapat sekaligus

mengawasi kebijakan publik yang ditetapkan sehingga memberikan hasil yang

optimal bagi masyarakat serta mencegah terjadinya kecurangan dan manipulasi yang

menguntungkan kelompok tertentu secara tidak proporsional.

Pada dasarnya prinsip transparansi meliputi 2 aspek, yaitu :

(1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan

(2) hak masyarakat terhadap akses informasi.

Transparansi paling tidak dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti :

a. mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi semua proses-

proses pelayanan publik.

b. mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai

kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses di dalam sektor publik.

c. mekanisme yang memfasilitasi pelaporan, penyebaran informasi dan

penyimpangan tindakan aparat publik dalam kegiatan melayani keterbukaan

pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik.

G. Konsep Informasi Publik

Tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2008, bahwa pengertian Informasi adalah

keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna,

27

dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan

dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan

perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun

nonelektronik.

Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim,

dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan

penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik

lainnya yang sesuai dengan undang-undang ini serta informasi lain berkaitan dengan

kepentingan publik.

Selanjutnya diberi makna pula bahwa, informasi publik merupakan sebuah

bentuk layanan yang diberikan kepada masyarakat guna memenuhi kebutuhan akan

informasi yang ingin didapat guna mencapai suatu tujuan tertentu.

H. Tata Urutan/hirarki Peraturan Perundang-Undangan

Pengaturan tentang tata urutan perundang-undangan dulunya diatur dalam Tap

MPRS No. XX Tahun 1966 dimana bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik

Indonesia terdiri dari:

1. UUD RI 1945

2. Ketetapan MPR

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

4. Peraturan Pemerintah

5. Keputusan Presiden dan

28

6. Peraturan-peraturanPelaksanaan lainnya seperti:

- Peraturan Menteri;

- Instruksi Menteri;

- dan lain-lainnya.

Diubah ke dalam Tap MPR No. III Tahun 2000 yang memuat tata urutan

Perundang-undangan sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI

3. Undang-Undang

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)

5. Peraturan Pemerintah

6. Keputusan Presiden

Tap MPR No. III Tahun 2000 itu pun mengalami perubahan menjadi UU

Nomor 10 Tahun 2004 yang bentuk dan susunannya terdiri dari :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

3. Peraturan Pemerintah

4. Keputusan Presiden

5. Peraturan Daerah Provinsi

29

Saat ini hierarki perundang-undangan yang berlaku adalah UU Nomor 12 tahun

2011Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, yang

tata urutannya adalah:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3. Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

4. Peraturan Pemerintah

5. Keputusan Presiden

6. Peraturan Daerah Provinsi

7. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota

Teori yang paling banyak mendapat perhatian dalam membahas mengenai

hirarki perundang-undangan adalah teori Hans Kelsen. Teori tersebut kemudian

dikembangkan oleh murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Melalui teori tersebut

dapat memudahkan dalam memahami hirarki struktur hukum di Indonesia dari

aspek hukum Indonesia. Hirarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang

lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi21

.

Teori stufenbau des recht atau the hierarchy of norms yang dikemukakan Hans

Kalsen dapat dimaknai sebagai beriikut.

21

http://ghafais.blogspot.com/2012/01/teori-hans-kalsenhans-nawiaski-di.html

30

1. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus bersumber atau

memiliki dasar hukum atau validasi dari suatu peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.

2. Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah

tidak boleh minyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.

Terkait dengan subtansi norma dasar, Hans Kalsen membedakan dua jenis

norma atau sistem norma. Keduanya adalah sistem norma statis (the static system of

norm) dan sistem norma dinamis (the dinamic system of norm). Sistem norma statis

adalah sistem yang melihat suatu norma dari segi isi atau materi muatan norma itu

sendiri. Isinya menunjukan kualitas yang terbukti secara langsung menjamin

validitasnya. Sedangkan, sistem norma dinamis adalah sistem yang melihat suatu

norma yang pembentukannya sesuai dengan prosedur oleh yang ditentukan konstitusi.

Dengan perkataan lain norma dalam perspektif sistem norma dinamis adalah norma

yang dilahirkan oleh pihak yang berwenang untuk membentuk norma tersebut yang

tentu saja bersumber dari norma yang lebih tinggi.

Teori Nawisaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung.

Susunan norma menurut teori tersebut adalah:

1. Norma fundamental negara

2. Aturan dasar negara

3. Undang-undang formal. dan

4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom.

31

Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan

konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi

hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya

suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu

negara.

Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma

dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai

staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara.

Teori Nawiasky tersebutdapat dibandingkan dengan teori Kelsen dan menerapkannya

pada struktur tata hukum di Indonesia. Melalui perbandingan antara kedua teori

tersebut menunjukkan bahwa struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan

menggunakan teori Nawiasky adalah:

1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).

2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi

Ketatanegaraan.

3. Formell gesetz: Undang-Undang.

4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan

Pemerintah hingga Keputusan Gubernur, Bupati atau Walikota.

Pancasila dilihatnya sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan pengemudi.

Hal ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide

yang tercantum dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif.

Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan

32

hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari apa yang

tercantum dalam Pancasila.Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-

fundamentalnorm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam

pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi.

I. Landasan dan Azas Pembentukan Perda

Menurut M.Solly Lubis,22

, ada tiga (3) landasan pembuatan peraturan

perundang-undangan, yakni;

(a) landasan filosofis yaitu dasar filsafat, pandangan atau ide yang menjadi dasar

cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) ke dalam

suatu rencana atau draft peraturan negara .

(b) landasan yuridis, ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum bagi

pembuatan suatu peraturan, dan

(c) landasan politis, ialah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya

bagi kebijaksanaan dan pengarahan ketata-laksanaan pemerintahan negara.

Sama halnya dengan pendapat M. Solly Lubis, Rosjidi Ranggawidjaja23

berpendapat bahwa, suatu peraturan perundang-undangan yang baik sekurang-

kurangnya harus memiliki tiga landasan, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis

22

Lihat.Suprin Na’a, Perda dalam Perspektif Ilmu Perundang-undangan, Tadulako University Press,

2004, Palu, hlm.75-76

23Suprin Na’A, Loc.Cit

33

dan landasan yuridis, yang diuraikan sebagai berikut;

a) Landasan filosofis (filosofis grondslag), yakni filsafat atau pandangan hidup (way

of life) suatu bangsa yang berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut.

b) Landasan sosiologis (sociologische), yakni sesuai dengan keyakinan umum atau

kesadaran hukum masyarakat, agar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh

masyarakat dan tidak hanya menjadi huruf-huruf mati belaka.

c) Landasan yuridis (juridische gelding), yakni landasan hukum (juridische gelding)

yang menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid, competentie) pembuatan peraturan

perundang-undangan.

Sementara itu Amiroeddin Syaif24

menegaskan, bahwa dalam perundang-

undangan dikenali atas 5 (lima) asas yakni;

1) asas tingkatan hirarki,

2) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat,

3) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang

bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis),

4) Undang-undang tidak berlaku surut,

5) Undang-undang yang baru menyampingkan undang-undang yang lama (lex

posteriori derogat lex priori).

Berkenaan dengan asas-asas peraturan perundang-undangan ini, Purnadi

24

Ibid, hlm.79

34

Purbacaraka dan Soerjono Soekanto25

pun memperkenalkan pula enam (6) asas

perundang-undangan yaitu;

(a) Undang-undang tidak berlaku surut,

(b) Undang-undang yang di buat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai

kedudukan yang lebih tinggi pula,

(c) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang

bersifat umum (lex specialis derogat generali),

(d) Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang

berlaku terdahulu (lex posteriori derogat lex priori),

(e) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat, dan

(f), Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai

kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui

pembaharuan/pelestarian (asas welvaarstaat).

Tercantum dalam buku yang diterbitkan Dirjen Peraturan Perundang-undangan

(DEPHUMKAM)26

bahwa dalam pembentukan Peraturan Daerah selain didasarkan

pada Pancasila yang menjadi sumber segala hukum dan UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-

25

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundangan-undangan dan Yurisprudensi,Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm.7-12

26Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah, Panduan Praktis Memahami Perancangan

Peraturan Daerah,Dirjen Peraturan Perundang-undangan, Kuningan, Jakarta Selatan2009, hlm.13-15

35

undangan, juga tertuang dalam Pasal 5 UU No 12 tahun 2011 yang meliputi beberapa

asas yakni;

a. Kejelasan tujuan; artinya bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; artinya bahwa setiap

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat

Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan

perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila

dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenan.

c. Kesesuaian jenis, hierarki, dan materi muatan; artinya setiap Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan

yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya.

d. Dapat dilaksanakan; bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di

dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; bahwa setiap Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan

bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

f. Kejelasan rumusan; bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan,

sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan

36

mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi

dalam pelaksanaannya.

g. Keterbukaan; bahwa dalam setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat

transparan dan terbuka.

Patut pula diperhatikan pasal 138 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah dan pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menetapkan bahwa materi muatan

perda mengandung asas:

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhineka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Dijelaskan melalui buku panduan Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan

37

Daerah 27

bahwa terdapat pula peran serta masyarakat dalam proses penyusunan

peraturan daerah, yaitu memperhatikan prinsip partisipasi. Mengenai partisipasi

dalam Undang-undang No 12 Tahun 2011 diatur secara tegas dalam Pasal 96 yang

menyatakan bahwa, (1) masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan

dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (2) masukan

secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan

melalui:

a. rapat dengar pendapat umum;

b. kunjungan kerja;

c. sosialisasi; dan/atau

d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

Partisipasi masyarakat dalam tahap pembahasan di tingkat legislatif dapat

dilakukan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD. Melalui akses partisipasi

memungkinkan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi atau menyumbangkan

pemikirannya terhadap suatu kebijakan yang akan diambil oleh Pemerintah Daerah.

27

Ibid, hlm.16.