bab ii tinjauan pustaka a. konsep perilakudigilib.uinsby.ac.id/886/5/bab 2.pdfpengetahuan dan sikap...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Perilaku Perilaku merupakan konsep yang komplek, sehingga tidak ada definisi tunggal yang
benar. Misalnya, Mukmin mendefiniskan perilaku sebagai kemampuan yang dimiliki oleh
individu karena pembawaan (hereditas) dan interaksi dengan lingkungan sesuai dengan
tingkat perkembangan.1 Hereditas atau keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal
untuk perkembangan perilaku, sedangkan lingkungan merupakan kondisi atau lahan yang
mempengaruhi perkembangan perilaku tersebut. Mekanisme pertama antara kedua faktor
tersebut dalam rangka terbentuknya suatu perilaku disebut proses belajar (learning
process).
Skiner mengatakan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang
(stimulus) dan respon. Ada dua respon yaitu: 1) respondent response atau reflextive; yaitu
respon yang timbul dan perkembangannya diikuti oleh rangsangan tertentu dan relatif
tetap, dan 2) operant response atau instrumental response, yaitu respon yang timbul dan
perkembangannya diikuti oleh perangsang tertentu. 2
Selanjutnya, Edward Chase Tolman mengatakan bahwa perilaku tidak hanya
ditentukan oleh rangsangan dari luar atau stimulus (sebagai pandangan kaum behavioris).
Akan tetapi, ditentukan juga oleh organisme atau orang itu sendiri. Jadi, individu bukan
hanya memperhatikan stimulusnya, melainkan memilih sendiri reaksinya. Dengan
demikian, perilaku (moral) selalu bertujuan.3
Perilaku dibedakan atas dua bentuk: 1) bentuk pasif, yaitu perilaku yang terjadi dalam
diri manusia yang tidak dapat dilihat secara langsung oleh orang lain, seperti berpikir,
1Mukmin, Psikologi Kepribadian, (Bandung: Rosdakarya, 2001), 81- 86. 2Mathew H. Olson, Theorise Of learning, (Jakarta: kencana, 2010), 311. 3 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 50.
pengetahuan dan sikap, dan 2) bentuk aktif, yakni perilaku yang dapat diamati secara
langsung. Bentuk pertama disebut juga covertbehavior dan kedua overtbehavior.
Bloom membagi perilaku ke dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif, psikomotorik, dan
afektif. Atas dasar klasifikasi ini, para ahli mengembangkan menjadi hal-hal yang dapat
diukur yaitu pengetahuan, sikap, dan praktik atau tindakan. Bloom mengklasifikasikan
ranah kognitif ke dalam enam kemampuan, yaitu: (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3)
penerapan, (4) analisis, (5) sintesis, dan (6) evaluasi; ranah afektif ke dalam lima
kemampuan, yaitu: (1) penerimaan, (2) partisipasi, (3) penilaian, (4) organisasi, (5)
pembentukan pola hidup; ranah psikomotor ke dalam tujuh kemampuan, yaitu: (1)
persepsi, (2) kesiapan, (3) gerakan terbimbing, (4) gerakan yang terbiasa, (5) gerakan yang
kompleks, (6) penyesuaian pola gerakan, dan (7) kreativitas.4
Perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor: 1) faktor predisposisi (predisposing factor),
yakni faktor pencetus timbulnya perilaku, seperti pikiran dan motivasi untuk berprilaku
yang meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, atau keyakinan, nilai dan persepsi yang
berhubungan dengan motivasi individu untuk berperilaku, 2) faktor-faktor yang
mendukung (enabling factors), yakni yang mendukung timbulnya perilaku sehingga
motivasi atau pikiran menjadi kenyataan, termasuk di dalamnya adalah lingkungan fisik
dan sumber-sumber yang ada di keluarga dan masyarakat, dan 3) faktor-faktor yang
memperkuat atau mendorong (reinforcing factors), yakni faktor yang merupakan
pembentukan perilaku yang berasal dari orang lain yang merupakan kelompok referensi
dari perilaku seperti keluarga, teman, guru, atau mubaligh. 5
Ada tiga cara untuk pembentukan perilaku yaitu: (1) dengan cara pembiasaan
(condisioning), didasarkan pada teori Pavlov, Throndike dan Skinner, (2) dengan cara
memberi pengertian (insight), yang didasarkan pada teori belajar kognitif oleh Kohler, dan
4Winkel, PsikologiPengajaran, 255. 5Walgito, Psikologi Sosial, (Yogyakarta: Andi, 2003), 16- 17.
(3) dengan cara menggunakan model, yang didasarkan pada teori belajar sosial oleh
Bandura.
Asngari mengatakan bahwa, untuk mengubah perilaku seseorang, kita dapat
melakukannya dengan mengubah salah satu dari ketiga ranah (kognisi, afeksi dan
psikomotor) atau keseluruhan ranah tersebut. Perubahan pada salah satu ranah itu akan
saling mempengaruhi yang lainnya. Dengan kata lain, perubahan pada salah satu ranah
akan memberi efek pada perubahan ranah lainnya.6
Perubahan perilaku yang disengaja atau direncanakan pada dasarnya merupakan
esensi dari pendidikan atau penyuluhan. Slamet mengatakan bahwa penyuluhan sebagai
proses perubahan perilaku merupakan program pendidikan luar sekolah yang bertujuan
untuk memberdayakan, memandirikan sasaran, dan membangun masyarakat madani.
Penyuluhan bukan program charity yang bersifat darurat atau adhoc, melainkan sistem
yang berfungsi secara berkelanjutan, untuk menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan
sasaran yang menguntungkan dirinya sendiri dan masyarakatnya.
Individu dalam masyarakat mengalami proses sosialisasi agar ia dapat hidup dan
bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat dimana
individu berada. Sosialisasi sebagai proses transmisi antar generasi terjadi melalui
interaksi sosial, dan fungsinya untuk bertahan dan kelangsungan suatu masyarakat
melebihi satu generasi. Sosialisasi adalah proses belajar yang dialami seseorang untuk
memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan norma-norma agar ia dapat
berpartisipasi sebagai anggota kelompok masyarakat.7 Dalam proses sosialisasi, individu
dipengaruhi oleh keturunan (heredity) dan lingkungan (environment).
6Asngari, Peranan Agen pembaruan/ Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia pengelola Agribisnis.( Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi, Bogor: IPB, 2001) 7Ihromi, Community Development: Creating Community Alternatives: Vision, Analysis and Practice, (Australia: Longman press, 1999), 30.
Ada dua tahapan sosialiasai yaitu: (1) sosialisasi primer, yang dialami individu
pertama kali dalam pembentukan kepribadiannya, dan sebagai agennya adalah keluarga,
dan (2) sosialisasi skunder, sebagai proses memperkenalkan individu kedalam dunia baru
dan kehidupan yang objektif di masyarakat, sebagai agen sosialisasi adalah sekolah,
kampus, teman, lembaga pekerjaan dan masyarakat. 8
Jadi, perilaku adalah kemampuan bertindak yang dimiliki oleh seseorang hasil
kombinasi pengetahuan, sikap dan keterampilan (kognitif, afektif dan psikomotorik) atau
sebagai hasil dari interaksi potensi bawaan dengan lingkungan melalui belajar. Belajar
hakikatnya merubah perilaku individu secara keseluruhan aspek perilaku atau salah
satunya melalui pendidikan formal atau penyuluhan (non-formal). Perilaku itu ada yang
tampak dan dapat diamati seperti melaksanakan shalat, dan yang tidak tampak seperti
pengetahuan terhadap Tuhan. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor pengetahuan dan
keyakinan, faktor lingkungan fisik dan dan sumber daya, dan faktor pembentukan
(kelompok referensi). Perilaku seseorang dibentuk melalui pembiasaan, pengertian atau
pemahaman, dan penggunaan model (pentauladanan).
B. Keberagamaan (Religiusitas) Keberagamaan (religiusitas) tidak selalu identik dengan agama. Agama lebih
menunjukkan kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan, dalam aspek yang resmi,
yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya. Sedangkan keberagamaan atau
religiusitas lebih melihat pada aspek yang “didalam lubuk hati nurani” pribadi. Oleh
karena itu, religiusitas lebih dalam dari agama yang tampak formal.9
Menurut Nurcholis Madjid, keberagamaan bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual
seperti shalat dan membaca doa. Keberagamaan lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingkah
laku manusia yang terpuji, yang dilakukan untuk memperoleh ridla atau perkenan Allah.
8Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Kelurga, (Jakrta: Yayasan Obor, 1999), 204. 9Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, 288.
Keberagamaan dengan demikian meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam
hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur atas dasar
percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi dihari kemudian.10
Kebragamaan atau religiusitas menurut Islam adalah menjalankan ajaran Agama
secara menyeluruh. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 208:
ای یھ ذین ٱ أ ل وا د ٱ ءامن وا ي خل ل ٱ ف م لس ة كا وال ف عوا ب و تت ی ٱ ت خط لش ھ ن ط ن كم ۥإ ل
ین عدو ب م
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (Q.S. Al-Baqarah 2:208)
Dalam mendefinisakan keberagamaan, sekurang-kurangnya terdapat tiga kriteria
penting, yaitu: (1) tingkat kepercayaan/keyakinan seseorang (the degree of a person
belief), (2) intensitas dia mengikuti kegiatan keagamaan di masjid, gereja dan sebagainya
(how often he/she attends in services), dan (3) seberapa penting dan sering dia beribadah
(how importan and how often he/she prays).
Keberagamaan atau religiusitas seseorang diwujudkan dalam berbagai sisi
kehidupannya. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktifitas lain yang didorong
oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya berhubungan dengan aktifitas yang tampak dan
dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktifitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati
seseorang.11
Menurut Gay Hendrik dan Kate Ludemen dalam Ary Ginanjar, terdapat beberapa
sikap keberagamaan yang tampak dalam diri seseorang dalam menjalankan tugasnya, 10Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), 124. 11Djamaludin Ancok, Psikologi Islam, Solusi Islam atas Problem- Problem Psikologi, Cet II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 76.
diantaranya: (1) Kejujuran, rahasia untuk meraih sukses menurut mereka adalah dengan
selalu berkata jujur. Mereka menyadari, justru ketidakjujuran kepada pelanggan,
orangtua, pemerintah dan masyarakat, pada akhirnya akan mengakibatkan diri mereka
sendiri terjebakdalam kesulitan yang berlarut-larut. Totalitas dalam kejujuran menjadi
solusi, meskipun kenyataan begitu pahit. (2) Keadilan, salah satu skill seseorang yang
religius adalah mampu bersikap adil kepada semua pihak, bahkan saat ia terdesak
sekalipun. Mereka berkata, “pada saat saya berlaku tidak adil, berarti saya telah
mengganggu keseimbangan dunia”. (3) Bermanfaat bagi orang lain, hal ini merupakan
salah satu bentuk sikap keberagamaan yang tampak dari diri seseorang. Sebagaimana
sabda Nabi saw: “sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi
manusia lain”. (4) Rendah hati, rendah hati merupakan sikap tidak sombong mau
mendengarkan pendapat orang lain dan tidak memaksakan gagasan atau kehendaknya.
Dia tidak merasa bahwa dirinyalah yang selalu benar mengingat kebenaran juga selalu
ada pada diri orang lain. (5) Bekerja efisien, mereka mampu memusatkan semua
perhatian mereka pada pekerjaan saat itu, dan begitu juga saat mengerjakan pekerjaan
selanjutnya. Mereka menyelesaikan pekerjaannya dengan santai, namun mampu
memusatkan perhatian mereka saat belajar dan bekerja. (6) Visi ke depan, mereka
mampu mengajak orang ke dalam angan-angannya, kemudian menjabarkan begitu rinci,
cara-cara untuk menuju kesana. Tetapi pada saat yang sama ia dengan mantap menatap
realitas masa kini. (7) Disiplin tinggi, mereka sangatlah disiplin. Kedisiplinan mereka
tumbuh dari semangat penuh gairah dan kesadaran, bukan berangkat dari keharusan dan
keterpaksaan. Mereka beranggapan bahwa tindakan yang berpegang teguh pada
komitmen untuk kesuksesan diri sendiri dan orang lain adalah hal yang dapat
menumbuhkan energi tingkat tinggi. (8) Keseimbangan, seseorang yang memiliki sifat
keberagamaan sangat menjaga keseimbangan hidupnya, khususnya empat aspek inti
dalam kehidupannya, yaitu: keintiman, pekerjaan, komunitas dan spiritualitas.12
Dalam kontek pembelajaran di perguruan tinggi, beberapa sikap keberagamaan
tersebut bukanlah tanggung jawab dosen agama semata. Kejujuran tidak hanya
disampaikan lewat mata kuliah agama saja, tetapi juga lewat mata kuliah lainnya.
Misalnya seorang dosen matematika mengajarkan kejujuran lewat rumus-rumus pasti
yang menggambarkan suatu kondisi yang tidak kurang dan tidak lebih atau apa adanya.
Begitu juga seorang dosen ekonomi bisa menanamkan nilai-nilai keadilan lewat mata
kuliah ekonomi. Seseorang akan menerima untung dari suatu usaha yang dikembangkan
sesuai dengan besar kecilnya modal yang ditanamkan. Dalam hal ini, aspek keadilanlah
yang diutamakan.
Definisi penting keberagamaan yang diuraikan sebelumnya menunjukkan
keberagamaan bersifat multi dimensi. Artinya, keberagamaan meliputi segala bentuk
atau keseluruhan dalam menjalankan agama. Magill memberikan batasan dimensi
religiusitas:”… a person’s attitude toward religion in general; more specifically, the
intensity of way in wich a person is religious”. Religiusitas merupakan sikap seseorang
terhadap agama secara umum, bukan hanya terhadap salah satu aspeknya saja dari
agama, lebih khusus religiusitas adalah intensitas cara seseorang untuk menjadi
seseorang yang beragama.13
Menurut Glock & Stark dalam muhaimin, ada lima macam dimensi keberagamaan,
yaitu: Pertama, dimensi keyakinan yang berisi pengharapan- pengharapan dimana orang
religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui keberadaan
doktrin tersebut. Kedua, dimensi praktik agama yang mencakup perilaku pemujaan,
ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap 12Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power; Sebuah Innerjourney Melalui Ihsan (Jakarta: ARGA, 2003), 249. 13 Magill, Survey of Social Science: Psychology Series, (California: Salem Press, 1993), 96.
agama yang dianutnya. Ketiga, dimensi pengalaman. Dimensi ini berisikan dan
memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan- pengharapan
tertentu. Keempat, dimensi pengetahuan agama yang mengacu kepada harapan-harapan
bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan
mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi. Kelima, dimensi
pengalaman atau konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat
keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hati ke
hati.14
Berangkat dari keberagamaan yang memiliki banyak dimensi, para psikolog sosial
membedakan dua cara seseorang menjadi beragama (ways of being religious), yaitu: 1)
cara yang komitmen terhadap agama, dimana agama difikirkan secara seksama dan
diperlakukan dengan sungguh-sungguh sebagai tujuan akhir (an end in it self), dan 2)
agama digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang berpusat pada diri
sendiri.15 Perbedaan ini melahirkan dua cara orang menjadi beragama, yaitu beragama
instrintik dan ekstrinstik. Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah religiusitas atau
keberagamaan (Religiousity) instrinstik dan ekstrinstik atau orientasi religiusitas atau
keberagamaan instrinstik dan ekstrinstik.
Religiusitas instrintik merupakan cara beragama yang memiliki komitmen terhadap
agama secara seksama dan memperlakukan komitmen tersebut dengan sungguh-sungguh
sebagai tujuan akhir. Religiusitas ini beroperasi dalam pusat kepribadian dan
“membanjiri” seluruh kehidupan dengan motivasi dan arti nilai agama, memandang
serius ajaran mengenai persaudaraan dan berusaha untuk menghubungkan semua
kebutuhan yang berpusat pada diri sendiri dengan ajaran agama.16 Dengan kata lain
14Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, 294 15Rolan Robertson, Sociologi of Religion,(Jakarta: Grasindo Persada, 1980), 299. 16Alport, 1967, Personal Religious Orientation and Prejudice”.Jurnal of Personality an Social Psychology, vol 4.
semua kebutuhan dan keinginan dirinya ditarik kedalam ajaran agama. Cara beragama
ini menjunjung tinggi kemurnian hati nurani, visi, pengertian dan komitmen yang
memberikan makna pada ritual-ritual keagamaan yang dilakukan.
Individu instrinstik menemukan motif utamanya berperilaku dalam ajaran agama,
kebutuhan-kebutuhan lain yang dimilikinya dianggap kurang signifikan jika tidak
diharmonisasikan dengan keyakinan-keyakinan dan aturan agama. Individu instrinstik
tidak akan mengkompromikan keyakinan dalam situasi dimana lebih dari satu motif
agama berperan (mixed-motive-situation). Pada individu instrinstik, ajaran-ajaran agama
diinternalisasikan dan diikuti secara penuh atau total. Karenanya agama berfungsi
sebagai framework dalam menjalani kehidupannya. Inilah yang dalam Islam kemudian
disebut dengan konsep mukhlishi>n dan muttaqi>n.
Ini berbeda dengan religiusitas ekstrinstik yang menggunakan agama sebagai alat
untuk mencapai tujuan-tujuan yang berpusat pada diri sendiri. Religiusitas ekstrinstik
benar-benar bersifat utilitarian, agama berguna dalam menjamin keselamatan,
kedudukan sosial, ketenaran, dukungan sosial dan dukungan atas cara hidup yang
dipilih.17 Sifat religiusitas ini, penekanan diberikan pada penampilan luar dari agama,
aspek-aspek tangible, ritualized dan institualized dari agama yang banyak dianggap
sebagai tanda ketaatan dalam kebudayaan.
Individu ekstrinstik mengamalkan ajaran-ajaran agama yang dianutnya lemah atau
longgar; dibentuk sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pribadi yang lebih primer. Jadi,
pelaksanaan ajaran agama dan upaya menjauhkan diri dari larangan agama akan sangat
tergantung pada kebutuhan-kebutuhan lain dari individu tersebut. Bila ia menganggap
pelaksanaan ajaran agama menghambat kebutuhannya yang lebih penting, seperti
kedudukan sosialnya, maka ia cenderung akan mengabaikan ajaran agama tersebut.
17Ibid, 35- 36.
Dengan kata lain, individu ekstrinstik akan menarik semua ajaran agama kepada sudut
kebutuhan dan keinginannya. Inilah yang dalam wacana Islam disebut kepribadian fasiq
dan munafiq.
Disisi lain, untuk mengukur kadar religiusitas seseorang dapat diketahui melalui lima
dimensi yaitu: (1) keterlibatan ritual, (2) keterlibatan ideologi, (3) keterlibatan
intelektual, (4) pengalaman keagamaan, (5) pengalaman atau aktualisasi ajaran agama
dalam kehidupan sehari-hari.
Woodroof mengemukakan bahwa kadar keberagamaan seseorang dapat dilihat melaui
delapan aspek yaitu: (1) kehadirannya ketempat ibadah, (2) waktu beribada, (3)
mempelajari kitab suci, (4) aktivitas ditempat ibadah, (5) keterlibatan/kontribusi
keuangan, (6) menikmati kehidupan beragama, (7) membicarakan masalah-masalah
agama dalam keluarga atau dengan teman, dan (8) mencoba mengajak orang lain untuk
memeluk agama dan beribadah.18
Secara sosiologis, agama berfungsi sebagai penyelamat, edukatif, kontrol sosial,
persaudaraan dan transformatif.19 Agama yang fungsional akan dapat menyelamatkan
seseorang atau masyarakat dari berbagai kerusakan dan petaka, sebab agama berisikan
huddan (petunjuk), bimbingan dan tuntunan kearah hidup yang baik dan bermakna.
Edukasi agama akan membimbing untuk membubuhkembangkan potensi rohaniah fitri
manusia secara positif dan optimal. Kontrol sosial agama bertanggung jawab atas adanya
norma-norma yang baik yang diberlakukan untuk masyarakat dan mengawasi tingkah
laku asyarakat supaya sesuai dengan tujuan mulia agama. Nilai ukhuwah (persaudaraan)
akan menuntun manusia untuk bersatu, kooperatif, dan merasa sama (equal) yang dapat
melahirkan tingkah laku toleran, ta’awu>n, empati, simpati, kasih sayang dan sebagainya.
18Benda, A Test of Model With Rciplocal Effect Between Religiousity and Various Form of Deliquency, (Arkansas: Jourmnal of Social Service Research Vol 22, 1997), 35. 19Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: BPK Mulia, 1997), 45- 57.
Fungsi transformatif agama akan mampu merubah dan memperbaiki individu dan
masyarakat dari suatu keadaan yang kurang manusiawi atau konservatif kepada keadaan
yang lebih baik dan bermutu.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa religiusitas adalah proses
bagaimana seseorang menjadi individu beragama yang sesuai dengan ajaran agama yang
dianutnya, meliputi aspek: (1) keterlibatan ideologi/keyakinan, (2) keterlibatan
ritual/ibadah, (3) pengamalan/aktualisasi agama dalam kehidupan sehari-hari, (4)
pengalaman batin keagamaan, dan (5) keterlibatan intelektual/pengetahuan. Boleh jadi
keterlibatan itu secara instrinstik, yang ditunjukkan dengan perilaku berpusat pada nilai
agama atau secara ekstrinstik dimana ditarik kepada kebutuhan dan kepentingannya atau
agama berpusat pada dirinya. Agama yang fungsional dalam kehidupan individu dan
sosial akan mampu menyelamatkan, menumbuhkembangkan potensi yang fitri,
bertanggung jawab dan mengawasi norma sosial, membuat kehangatan antar sesama dan
merubah serta memperbaiki individu dan masyarakat kea rah yang lebih baik.
C. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Keberagamaan Mahasiswa
Pemahaman dan penghayatan mengenai perilaku keberagamaan dan etika (etika
Islam) membuat adanya perbedaan tekanan pengamalan dari orang yang satu ke orang
yang lain, dan membuat keduanya menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kepribadian atau privacy seseorang.
Oleh karena itu, perilaku keberagamaan dan pemahaman etika Islam akan sangat dan
bahkan berkaitan dengan kepekaan emosional seseorang yang dipengaruhi berbagai
faktor. Kaitannya etika pergaulan Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya adalah faktor-
faktor yang menyebabkan perbedaan perilaku keberagamaan dan pemahaman etika
Islam dalam pergaulan. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi dan menunjukkan
adanya perilaku keberagamaan dan pemahaman etika Islam dalam pergaulan yang
berbeda, yaitu sebagai berikut:
1. Pengaruh Media Massa
Masyarakat memiliki struktur dan lapisan (layer) yang bermacam-macam, ragam
struktur dan lapisan masyarakat tergantung pada kompleksitas masyarakat itu sendiri.
Semakin komplek suatu masyarakat, maka struktur masyarakat itu semakin rumit
pula. Kompleksitas masyarakat juga ditentukan oleh ragam budaya dan proses-proses
sosial yang dihasilkannya. Semakin masyarakat itu kaya dengan kebudayaannya,
maka semakin rumit proses-proses sosial yang dihasilkannya.20
Berbagai proses komunikasi dalam masyarakat terkait dengan struktur dan lapisan
maupun ragam budaya dan proses-proses sosial yang ada di masyarakat tersebut, serta
tergantung pula pada adanya pengaruh dan khalayaknya, baik secara individu,
kelompok maupun masyarakat luas. Komunikasi dapat dipahami sebagai proses
penyampaian pesan dari sumber kepada penerima melalui channel (saluran), yang
dapat diterima melalui media massa maupun personal (interpersonal dan kelompok).
Ada lima komponen komunikasi, yaitu: sumber pesan atau yang menyampaikan
pesan, pesan, channel, penerima pesan dan efek. Sedangkan subtansi bentuk atau
wujud komunikasi ditentukan oleh: (1) pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi
(komunikator dan khalayak/publik); (2) cara yang ditempuh; (3) kepentingan dan
tujuan komunikasi; (4) ruang lingkup yang melakukannya; (5) saluran yang
digunakan; dan (6) isi pesan yang disampaikan. Sehubungan dengan itu, maka
kegiatan komunikasi dalam masyarakat dapat berupa komunikasi tatap muka yang
terjadi pada komunikasi interpersonal dan kelompok serta kegiatan komunikasi yang
terjadi pada komunikasi massa.
20 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Putra Grafika, 2007), 67.
Komunikasi massa adalah proses komunikasi yang dilakukan melalui media massa
dengan berbagai tujuan komunikasi dan untuk menyampaikan informasi kepada
khalayak luas. Dengan demikian, maka unsur-unsur penting dalam komunikasi massa
adalah: (a) komunikator; (b) media massa; (c) informasi (pesan) massa; (d)
gatekeeper; (e) khalayak (publik) dan; (f) umpan balik.21
Perbincangan tentang komunikasi massa tentu tidak akan terlepas dengan media
massa. Media massa adalah institusi yang berperan sebagai agent of change, yaitu
sebagai institusi pelopor perubahan. Ini adalah paradigma utama media massa. Dalam
menjalankan paradigmanya media massa berperan:
a. Sebagai institusi pencerahan masyarakat, yaitu perannya sebagai media edukasi.
Media massa menjadi media yang setiap saat mendidik publik supaya cerdas,
terbuka pikirannya, dan menjadi masyarakat yang maju.
b. Selain itu, media massa juga menjadi media informasi, yaitu media yang setiap
saat menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dengan informasi yang
terbuka, jujur dan benar disampaikan media massa kepada masyarakat, maka
masyarakat akan menjadi masyarakat yang kaya dengan informasi, masyarakat
yang terbuka dengan informasi, sebaliknya pula masyarakat akan menjadi
informatif, masyarakat yang dapat menyampaikan informasi dengan jujur kepada
media massa. Selain itu, informasi yang banyak dimiliki oleh masyarakat,
menjadikan masyarakat sebagai masyarakat dunia yang dapat berpartisipasi
dengan berbagai kemampuannya.
c. Terakhir media massa sebagai media hiburan. Sebagai agent of change, media
massa juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi
corong kebudayaan, katalisator perkembangan budaya. Sebagai agent of change
21 Ibid, 71.
yang dimaksud, adalah juga mendorong agar perkembangan budaya itu
bermanfaat bagi manusia bermoral dan masyarakat sakinah. Dengan demikian,
media massa juga berperan untuk mencegah berkembangnya budaya-budaya yang
justru merusak peradaban manusia dan masyarakatnya.
Media massa juga mempengaruhi gaya hidup mahasiswa kini. Bermacam-macam
progam hiburan telah disiarkan dan telah menjadi progam tetap dalam televisi.
Progam televisi yang mampu mempengaruhi golongan muda terutama mahasiswa
dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari. Mereka akan ikut-ikutan gaya hidup
model televisi yang melambangkan budaya hedonisme.22
Efek media massa terhadap mahasiswa berkaitan dengan efek pesan dan efek
kehadiran. Efek pesan adalah efek yang berkaitan dengan pesan yang disampaikan
oleh media massa, yang meliputi aspek kognitif (perubahan pandangan dan
pendapatnya), afektif (perubahan perasaan) dan psikomotorik (mengambil keputusan
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu). Efek kehadiran media massa
merupakan efek yang timbul akibat kehadiranya sebagai benda fisik.23
Ada dua hal yang mempengaruhi perilaku seseorang (mahasiswa) akan media,
yaitu lingkungan sosial dan motif untuk memenuhi kebutuhan. Lingkungan sosial
mencakup demografi, afiliasi kelompok dan karakteristik kepribadian. Karakteristik
demografi meliputi: usia, jenis kelamin, agama, etnis, suku bangsa, tempat tinggal,
pekerjaan, pendidikan dan pendapatan.24
Mc Quail menjelaskan tentang motif seseorang (mahasiswa) dalam penggunaan
media massa:25
1. Motif mencari hiburan: 22 Vanny appalasamy. Masalah sosial di kalagan remaja India die stet lading Raja Musa: satu kajian di kuala lumpur. Universiti Malaya Kuala Lumpur.2002.88 23 Rakhmat. Psikologi Komunikasi. (Bandung: Rosda Karya.1998), 217-219. 24O.U. Effendi. Ilmu teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bahakti), 1993. 25 McQuail, Teori Komunikasi Massa, (jakarta:Erlangga,1989), 232.
a. Hasrat melarikan diri dari kegiatan rutin.
b. Bersantai
c. Mengisi waktu
d. Penyaluran emosi
e. Memperoleh rasa estesis dan membangkitkan gairah seks
2. Motif identitas pribadi:
a. Menemukan penunjang nilai-nilai pribadi.
b. Menemukan model prilaku.
c. Mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai lain dalam media.
d. Meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri.
3. Motif integrasi sosial:
a. Memperoleh empati sosial.
b. Mengidentifikasi diri dengan orang lain.
c. Menemukan bahan percakapan sosial.
d. Membantu menjalankan peran sosial yang memungkinkan berinteraksi
dengan teman, keluarga dan masyarakat.
4. Motif informasi:
a. Mencari berita tentang peristiwa dan kondisi lingkungan masyarakat.
b. Referensi untuk memperteguh pilihan atau keptusan.
c. Memuaskan rasa ingin tahu.
d. Belajar dan pendidikan.
e. Rasa damai dan percaya diri dengan ppenambahan pengetahuan.
Dunia maya atau internet membangkitkan berbagai pertanyaan akan efek negatif
yang ditimbulkanya, meskipun terdapat efek positif seperti penyampaian dan
pengiriman informasi yang cepat dan update melalui fasilitas email, surat kabar
online, forum diskusi dan juga chatting serta beragam situs-situs yang dapat
memperkaya khazanah pengetahuan penggunanya. Hal ini karena internet adalah
media yang memiliki karakteristik interaktif yang membuat penggunanya merasakan
seolah mengalami komunikasi tatap muka sebagimana di dunia nyata walaupun hal
tersebu terjadi di dunia maya (virtual warfel).
Kehadiran teknologi komputer sendiri sesungguhnya bersifat netral. Pengaruh
positif atau negatif yang bisa muncul lebih banyak tergantung pada pemanfaatannya.
Jika dibiarkan penggunaan komputer secara sembarangan tanpa ada monitoring, serta
tidak ada pemasangan alat sistem proteksi yang mampu memfilter semua konten yang
tidak diinginkan akan mudah dibuka.
Tingginya frekuensi menonton televisi memberi sumbangan atas penyimpagan
nilai dan perilaku. Pengaruh tayangan televisi ini ditentukan oleh faktor lingkungan
keluarga dan ketaatan agamanya. Semakin lemah kedua faktor ini semakin kuat
pengaruh televisi.26
Hasil penelitian ini membuktikan kekuatan pengaruh media dalam teori
hipodermik. Media massa seperti jarum suntik yang tidak bisa ditolak. Isinya masuk
begitu saja kedalam aliran darah begitu disuntikkan. Tetapi menurut teori cybernatics
atau teori mutakhir, teori kritis yang menegaskan, media massa “hanya mungkin”
berpengaruh secara signifikan dalam habitat yang sesuai. Bergantung tingkat sosial,
terpaan media, kebutuhan individu dan lain-lain.
Disisi lain, Burhan Bungin juga mengemukakan beberapa teori tentang efek
komunikasi massa sebagai berikut:
a) Stimulus-Respon
26 Nursyawal, Pikiran Rakyat, 30 juni 2011
Teori stimulus-respon ini pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang
sederhana, dimana efek merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu. Dengan
demikian, seseorang dapat menjelaskan suatu kaitan erat antara pesan-pesan
media dan reaksi audience. McQuail menjelaskan elemen-elemen utama teori ini
adalah: a) pesan (Stimulus); b) seorang penerima atau receiver (Organisme); dan
c) efek (Respon).27
Teori stimulus-respon ini merupakan dasar dari teori jarum hipodermik, teori
klasik mengenai proses terjadinya efek media massa yang sangat berpengaruh.
Pada tahun 1970, Melvin Defleur melakukan modifikasi terhadap teori stimulus-
respon dengan teorinya yang dikenal sebagai perbedaan individu dalam
komunikasi massa (individual differences). Melalui modifikasi inilah respon
tertentu yang diharapkan muncul dalam perilaku individu akan tercapai. Esensi
dari model ini adalah fokusnya pada variable-variabel yang berhubungan dengan
individu sebagai penerima pesan, suatu kelanjutan dari asumsi sebab akibat, dan
mendasarkan pada perubahan sikap sebagai ukuran bagi perubahan perilaku.28
Dalam kaitannya dengan kontek mahasiswa, media massa sudah ibarat jarum
suntik yang tidak dapat dihindari. Ketika media massa sudah dihadirkan pada
mahasiswa, segala informasi yang ada di dalamnya tidak dapat ditolak dan
mengalir begitu saja pada diri seorang mahasiswa yang kemudian dimunculkan
dalam bentuk cara pandang, pola pikir, dan pengambilan keputusan dalam
berperilaku. Teori ini kemudian dikenal dengan “Teori Hipodermic”.
b) Difusi Inovasi
27 Opcit, 234. 28 Sendjaja, Teori Komunikasi, (Jakarta: UT, 2002), 14.
Everett M. Rogers mengatakan, merumuskan kembali teori ini dengan
memberikan asumsi bahwa sedikitnya ada 5 tahap dalam suatu proses difusi
inovasi, yaitu pertama, Pengetahuan: kesadaran individu akan adanya inovasi
dan adanya pemahaman tertentu tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi.
Kedua, Persuasi: individu membentuk dan memiliki sifat yang menyetujui atau
tidak menyetujui inovasi tersebut. Ketiga, Keputusan: individu terlibat dalam
aktifitas yang membawa pada suatu pilihan untuk mengadopsi inovasi tersebut.
Keempat, Pelaksanaan: individu melaksanakan keputusan itu sesuai dengan
pilihan-pilihannya. Kelima, Konfirmasi: individu akan mencari pendapat yang
dapat menguatkan keputusan yang telah diambil sebelumnya jika pesan-pesan
mengenai inovasi yang diterimanya berlawanan satu dengan yang lainnya.29
c) Teori Agenda-Setting
Teori agenda-setting diperkenalkan oleh McComb dan DL Shaw dalam Public
Opinion Quarterly 1972, berjudul the Agenda Setting Function Of Mass Media.
Asumsi dasar teori agenda-setting bahwa jika media memberikan tekanan pada
suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi publik untuk
menganggapnya penting. Jadi, apa yang dianggap penting bagi media, maka
penting juga bagi masyarakat. Oleh karena itu, apabila media massa memberikan
perhatian pada isu tertentu dan mengabaikan yang lainnya, akan memiliki
pengaruh terhadap pendapat umum.30
Selanjutnya, bila dilihat pengaruh teori agenda-setting terhadap mahasiswa,
teori ini lebih mempengaruhi pola pikir mahasiswa melalui penekanan pada isu-
isu tertentu. Sebagai contoh: di era 1980-an penyanyi terkenal Arrafik
mempopulerkan lewat media massa model celana jeans komprang yang bagian 29 Everetts M. Rogers, Communication of innovations, Second Edition, (London: The Fee Press collier Macmilian Publiser), 1983, 165. 30 Efendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 287.
ujung bawah celananya lebar. Model celana komprang ini lebih di gandrungi oleh
anak muda ketimbang celana legi yang ujung bagian bawah celananya
menyempit. Namun, di era 2000-an, media massa membalik kondisi ini melalui
trend yang ada di media. Model celana jeans yang ujungnya menyempit (sekarang
disebut celana pensil) lebih di gandrungi ketimbang model celana yang ujung
bawahnya lebar (komprang). Ini tidak lain adalah pengaruh dari media massa
yang disebut dengan teori agenda-setting.
d) Spiral of Silence
Teori spiral of silence atau spiral kebisuan berkaitan dengan pertanyaan
mengenai bagaimana terbentuknya pendapat umum. Dikemukakan pertama kali
oleh Elizabeth Noelle-Neuman, sosiolog Jerman, pada tahun 1974, teori ini
menjelaskan bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut terletak dalam suatu proses
saling mempengaruhi antar komunikasi massa, komunikasi antar pribadi, dan
persepsi individu atas pendapatnya sendiri dalam hubungannya dengan pendapat
orang lain dalam masyarakat. Teori ini mendasarkan asumsinya pada pemikiran
sosial-psikologis tahun 30-an yang menyatakan bahwa pendapat pribadi sangat
penting tergantung pada apa yang dipikirkan oleh orang lain, atau atas yang orang
lain rasakan sebagai pendapat dari orang lain, atau atas apa yang orang rasakan
sebagai pendapat dari orang lain. Berangkat dari asumsi tersebut, spiral of silence
selanjutnya menjelaskan bahwa individu pada umumnya berusaha menghindari
isolasi, dalam arti kesendirian mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu.
Jadi, teori spiral of silence dalam kaitannya pengaruh media terhadap
mahasiswa adalah melahirkan budaya ikut-ikutan pada diri seorang mahasiswa,
karena tidak ingin berada pada zona isolasi yang mempertahankan keyakinannya,
sikap, maupun perilaku sendiri.
2. Pengaruh Teman dan Komunitas
Kelompok teman ataupun komunitas sebagai lingkungan sosial mempunyai
peranan penting bagi perkembangan kesadaran agama. Peranan itu cukup penting
ketika terjadinya perubahan dalam masyarakat, meliputi perubahan struktur keluarga
dari keluarga besar kepada keluarga kecil, kesenjangan antara generasi tua dan muda,
derasnya arus komunikasi yang menerpa kaum muda, panjangnya masa penundaan
memasuki masyarakat orang dewasa.31
Perhatian mahasiswa terhadap teman dan komunitas adalah sebagai akibat
terjadinya beberapa perubahan pada dirinya, yaitu perubahan emosi sebagai akibat
fisik, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok soisal, nilai moral, perilaku
sosial dan kepribadian. Prubahan fisik pada mahasiswa yang mengakibatkan mereka
mempunyai penampilan fisik ideal atau tidak ideal adalah ketika mereka dapat
diterima dan direspon oleh teman atau komunitas.
Ketegangan emosional yang terjadi dalam diri jiwa mahasiswa baik dengan
keluarga dan masyarakat menyebabkan mereka membutuhkan teman untuk
mendengarkan, merasakan dan mencarikan solusi yang dapat dipercaya dan
membantu mereka untuk keluar dari permasalahan. Disinilah peran teman dan
kelompok turut mempunyai andil dalam perubahan sikap dan perilaku mahasiswa.
Kondisi mahasiswa lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah bersama
dengan teman sebagai kelompok. Oleh karenanya, pengaruh teman terhadap sikap,
pembicaraan, penampilan dan tingkah laku serta minat dan nilai-nilai jauh lebih besar
dari pada pengaruh keluarga. Usaha melakukan hal-hal yang negatif memberikan
kesempatan kepada mereka untuk diterima atau ditolak oleh kelompoknya.
31 Syamsu, Psikologi perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Rosdakarya, 2005), 59.
Mahasiswa yang tumbuh kembangnya ditengah keluarga yang fungsi keluarga
berjalan dengan harmonis, penuh kasih sayang dan menjunjung religiusitas,
menghargai prestasi dan nilai-nilai moralitas. Maka akan lahir dan tumbuh seseorang
yang religius dan mampu menghindari diri dari pengaruh-pengaruh yang negatif atau
tidak sehat dari teman. Bahkan ia dapat menjadi panutan dan motor bagi kelompoknya
untuk berprestasi.
Ada beberapa kondisi agar seseorang dapat diterima atau ditolak oleh
kelompoknya:32 (1) Kesan pertama yang menyenangkan akibat penampilan sikap
yang menarik perhatian; (2) Reputasi dan prestasi; (3) Penampilan yang sesuai dengan
kelompok; (4) Perilaku sosial yang ditandai dengan kerjasama, supel, pintar, bijaksana
dan sopan; (5) Memiliki kematangan emosional; (6) Status sosial ekonomi.
Peranan teman dan komunitas bagi mahasiswa memberikan kesempatan untuk
belajar tentang: berinteraksi dengan orang lain, mengontrol tingkah laku sosial,
mengembangkan ketrampilan dan minat yang relefan dengan usianya, bertukar
perasaan dan masalah. Bagi Peter dan Anna Freud, teman telah berperan dalam:
memperbaiki luka-luka psikologi masa remaja, mengembangkan hubungan baru yang
lebih baik, membantu pemahaman tentang konsep diri, masalah dan tujuan hidup yang
lebih jelas, perasaan berharga, perasaan optimis tentang masa depan.33
Pengalaman-pengalaman yang diterima seseorang sebagai hasil interaksi dengan
lingkungan akan menentukan pengetahuan, sikap dan tingkah laku (kepribadian).
Ketika pengalaman yang dilalui menyenangkan, menggembirakan dan
menguntungkan, maka akan kuat pengaruhnya dalam membimbing kepribadian
seseorang. Demikian pula bila pengalaman keagamaan yang dialami seseorang dalam
komunitas dan masyarakat menguntungkan dan menggembirakan dan sesuai dengan
32 Hurlock. Psikologi Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 2000), 217. 33 Syamsu yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Rosdakarya, 2002), 60.
kebutuhan individu, maka ajaran agama akan menjadi dasar yang menentukan
kepribadiannya. Bila yang terjadi sebaliknya, pengalaman beragama yang tidak
menyenangkan, memberatkan dan jauh dari harapan, maka ajaran agama akan sulit
menjadi kepribadian.
Besarnya pengaruh teman terhadap pengaruh keberagamaan atau religiusitas
mahasiswa, juga ditentukan oleh intensitas dan bentuk-bentuk aktivitas yang
dilakukan bersama teman, sebagai contoh dorongan untuk pergi ke mall, kumpul
untuk berbagi cerita, mendiskusikan masalah agama, menonton bersama dan lainya.
Ketika bentuk aktivitas bersama teman lebih banyak mengarah pada hal yang positif,
maka akan berdampak positif untuk terbentuk perilaku keberagamaan.
Dalam diskursus faktor yang mempengaruhi perilaku keberagamaan Islam ditinjau
dari sudut teman dan komunitas, teori foot on the door mungkin sejalan dengan hal
ini. Sebagai contoh, di Amerika Serikat pernah terdapat suatu sekte Kristen yang
dikenal dengan nama The Moonies. Sekte ini dipimpin oleh seorang pendeta bangsa
Korea bernama Sun Myung Moon yang semula adalah pengusaha kaya, tetapi
kemudian terpanggil untuk menyebarkan agama. Moon sendiri adalah seseorang yang
penampilannya biasa saja, cara bicaranya juga pelan, dan tidak pernah menggunakan
paksaan apalagi kekerasan. Akan tetapi sekte ini kemudian menjadi perhatian
pemerintah Amerika Serikat dan akhirnya dilarang karena ada beberapa anggota
keluarga yang mengadu karena kelakuan anak-anaknya berubah, anak-anak tidak mau
sekolah lagi, waktu, tenaga, bahkan uang tabungannya semuanya diserahkan untuk
keperluan sektenya dan mereka memusuhi orang tuanya sendiri. Ketika anggota-
anggota itu ditanya (setelah dibebaskan), mereka mengaku bahwa mereka merasa
tertekan atau terpaksa dan tidak dapat keluar dari lingkungan itu, walaupun tidak
pernah ada paksaan dalam bentuk yang nyata.34
Kelompok Moonies ini merekrut anggota-anggota barunya dengan mengadopsi
teori foot on the door. Mula-mula mereka mendekati orang- orang muda yang
tampaknya sedang membutuhkan teman. Biasanya mahasiswa dari luar kota yang
baru masuk asrama dan belum mempunyai teman dan sejenisnya. Mereka diundang
untuk menghadiri suatu acara makan malam, gratis atau dengan iuran yang sangat
murah. Semuanya dibayari oleh sebuah organisasi mahasiswa bernama CARP
(College Association for Research on Principle). Dalam acara itu ada beberapa orang
rekrutan baru dan beberapa orang senior. Setelah beramah tamah dan makan, mereka
bermain gitar dan beryanyi-nyanyi, pokoknya santai. Kemudia yang senior
menceritakan bahwa mereka juga punya camp (perkemahan) dan kalau tertarik
anggota baru itu boleh ikut ke sana. Kalau mau, malam itu juga kebetulan ada
kendaraan kesana. Beberapa orang tertarik dan ikut ke sana. Akan tetapi sekali sudah
berada di perkemahan, mereka sulit untuk melepaskan diri lagi karena dengan
berbagai teknik mereka dibuat makin terikat oleh sekte itu, sehingga pada akhirnya
mereka merasa yakin terhadap sekte itu. Sikap mereka berubah setelah melalui
serangkaian perubahan perilaku.
Jadi, sekali sebelah kaki sudah masuk keambang pintu rumah (foot on the door),
tinggal menunggu saja untuk dipersilahkan masuk oleh tuan rumah. Dengan perkataan
lain, sekali seseorang sudah menerima sesuatu (bersikap positif), sikap itu cenderung
dipertahankan terus.35 Teori ini lebih sering diterapkan pada organisasi-organisasi
kemahasiswaan (HTI, HMI, PMII, IMM, IPNU, dll) untuk mempertahankan
34 Sarlito W.S, Psikologi Sosiologi,… 287. 35 Ibid, 258-259.
anggotanya, untuk menanamkan ideologi, kebiasaan, perilaku, sikap dan cara
pandangnya.
3. Pengaruh Lingkungan Masyarakat
Kedudukan seseorang (mahasiswa) dalam masyarakat adalah sebagai makhluk
moral, makhluk sosial, dan individual. Beretika dan bersusila dijadikan sebagai
barometer moral kehidupan. sebagai makhluk sosial artinya individu mahasiswa tidak
dapat berdiri sendiri, hidup bersama-sama, dapat menyesuaikan diri dengan norma-
norma, kepribadian, dan pandangan hidup yang dianut masyarakat. Sebagai makhluk
individual artinya tidak melakukan kebebasan sebebas-bebasnya, tetapi disertai rasa
tanggung jawab terhadap diri sendiri, terhadap masyarakat, dan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
Dalam masyarakat yang interaksi sosialnya berjalan dengan harmonis, maka
sosio-kulturalnya berdasarkan nilai-nilai keberagamaan dan moralitas. Hal ini akan
melahirkan dan menumbuhkan masyarakat madani, yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan, kejujuran, persamaan dan toleransi. Sebaliknya, masyarakat
yang gaya hidupnya materialistis dan hedonistis (kenikmatan materi atau jasmani),
hipokratik atau munafik, akan mengabaikan nilai kemanusiaan, diskriminatif,
intoleran dan mendewakan nilai kebendaan yang profan (duniawi).
Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial
dengan menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi
kehidupan lingkungan akan sangat mempengaruhi dan mewarnai input dan
pengetahuan yang diserap. Tingkat kriminalitas yang ada di perkotaan terjadi dalam
masyarakat kota yang finansialnya minim, kondisi perumahan di bawah standar,
derajat kesehatan rendah dan komposisi penduduk yang tidak stabil.36
36 Eitzen AD, Social Problem, (Sydney: allyn and bacon inc. 1986), 400.
Perilaku individu sebagai masalah sosial bersumber dari sistem sosial terutama
dalam pandangan disorganisasi sosial sebagai sumber masalah. Seseorang atau
individu mahasiswa dapat menjadi buruk karena hidup dalam lingkungan masyarakat
yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosialnya kehilangan
kekuatan mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah sehingga
memungkinkan terjadi berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Di dalam masyarakat
yang mengalami disorganisasi sosial, seringkali yang terjadi bukan sekedar
ketidakpastian dan surutnya kekuatan mengikat norma sosial. Tetapi lebih dari itu,
perilaku menyimpang karena tidak memperoleh sangsi sosial kemudian dianggap
sebagai hal yang biasa dan wajar.
Kehadiran individu mahasiswa dalam masyarakat biasanya ditandai dengan
adanya perilaku individu yang berusaha menempatkan dirinya dihadapan individu-
individu lainya yang telah mempunyai pola perilaku yang sesuai dengan norma atau
kebudayaan di tempat dia merupakan bagianya. Disini individu mahasiswa akan
berusaha mengambil jarak dan memproses dirinya untuk membentuk perilakunya
yang selaras dengan keadaan dan kebiasaan yang ada. Perilaku yang telah ada pada
dirinya bisa adjustable, artinya ia bisa meyesuaikan diri, namun ia juga bisa
mengalami malajustment. Artinya gagal menyesuaikan diri.
Sepanjang hidup, setiap orang mengalami sosialisasi dalam lingkungannya.
Thornburg mengatakan bahwa ada lima tahapan sosialisasi, yaitu: (1) kesempatan
belajar sosial, (2) konfirmasi belajar sosial, (3) kematangan sosial, (4) integrasi sosial,
5) menemukan identitas sosial.37
Lingkungan masyarakat yang kondusif bagi perkembangan agama individu
mahasiswa adalah: masyarakat yang memiliki penataan perumahan yang memenuhi
37 Dariyo, Psikologi Perkembangan Remaja, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), 113- 114.
standar kesehatan, adanya sarana dan kapital sosial untuk menjalankan dan
meningkatkan pengamalan nilai-nilai agama, seperti adanya masjid, majelis taklim,
organisasi remaja masjid, pengajian atau ceramah agama, perpustakaan, masyarakat
yang taat menjalankan kewajiban agama baik secara vertikal dan horizontal,
menghindari perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama dan moralitas, seperti
sikap permusuhan, munafik, perbuatan maksiat dan keji lainya, serta memiliki sosial
yang kuat berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan agama.
Untuk mengetahui apakah mahasiswa (khususnya mahasiswa UIN) sudah berada
pada lingkungan yang kondusif bagi perkembangan perilaku keberagamaan individu
sebagaimana yang diharapkan pada paparan sebelumnya, maka kajian terkait
kelompok sosial akan menjadi konsep atau teori penting dalam kaitannya masyarakat
sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku keberagamaan mahasiswa. Kelompok
sosial adalah kehidupan bersama manusia dalam himpunan atau kesatua-kesatuan
yang relatif kecil yang hidup secara guyub. Ada juga beberapa kelompok sosial yang
dibentuk secara formal dan memiliki aturan-aturan yang jelas. Berdasarkan struktur
kelompok dan proses sosialnya, maka kelompok sosial dapat dibagi menjadi menjadi
beberapa karakter yang penting.
Selanjutnya, pembahasan terkait lingkungan sosial masyarakat tentunya juga tidak
akan terlepas dengan teori-teori yang mendukungnya. Berikut beberapa teori sosial
dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku mahasiswa.
a. Teori Behavior
Pendiri aliran behaviorism (behaviorisme) adalah John B. Watson, yang
menyatatakan bahwa behaviorisme sebagai cara untuk menghilangkan kebodohan
dan takhayul dari eksistensi manusia sebagai makhluk sosial dan karenanya
membuka jalan bagi kehidupan yang lebih rasional dan bermakna. Pemahaman
akan prinsip perilaku, menurutnya, adalah langkah pertama kearah kehidupan itu.
Tentu saja, point utama behaviorisme adalah bahwa kajian utamanya berfokus
pada perilaku. Perilaku manusia sadar atau tidak menurut aliran ini sudah barang
tentu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar, lingkungan sekelilingnyalah
yang membentuk perilaku individu tersebut.38 Dalam kaitannya dengan kontek
mahasiswa UIN Sunan Ampel yang hampir seluruhnya adalah mahasiswa
pendatang, suasana masyarakat lingkungan kampus merupakan tempat yang baru
bagi mahasiswa untuk beradaptasi. Menurut teori behaviorisme ini, lingkungan
yang baru bagi mahasiswa akan memberikan pengaruh yang besar, utamanya
dalam pembentukan sikap dan perilaku keberagamaan.
b. Teori Albert Bandura
Teori ini sebenarnya pertama kali dikenal dengan “Teori Sosial Kognitif” yang
dikembangkan oleh Albert Bandura. Teori pembelajarn sosial menyatakan bahwa
faktor-faktor sosial, kognitif dan tingkah laku memainkan peranan penting dalam
pembelajaran (utama kepada mahasiswa yang menjadi fokus kajian dalam
penelitian ini). Faktor kognitif akan mempengaruhi wawasan mahasiswa tentang
pemahaman, sementara faktor sosial, termasuk perhatian mahasiswa tentang
tingkah laku dan imitasi masyarakat social tempat dia tinggal, akan
mempengaruhi perilaku mahasiswa tersebut.
Teori pembelajaran sosial menganggap manusia sebagai makhluk yang aktif,
berupaya membuat pilihan dan menggunakan proses-proses perkembangan untuk
menyimpulkan peristiwa serta berkomunikasi dengan orang lain. Perilaku
manusia tidak ditentukan oleh pengaruh lingkungan dan sejarah perkembangan
38 Sugihartono, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2010), 93.
seseorang atau bertindak pasif terhadap pengaruh lingkungan. Dalam banyak hal,
manusia adalah selektif dan bukan entiti yang pasif, yang boleh dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan mereka.
Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam kontek interaksi timbal
balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan.
Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial
jenis ini. Contohnya, seorang yang hidupnya dibesarkan di dalam lingkungan
judi, maka dia cenderung untuk memilih bermain judi, atau sebaliknya
menganggap judi itu adalah tidak baik.
Teori sosial ini juga dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang
belajar dalam keadaan atau lingkungan yang sebenarnya. Bandura (1977)
menghipotesiskan bahwa tingkah laku (B = behavior), lingkungan (E =
environment) dan kejadian-kejadian internal pada seseorang yang mempengaruhi
persepsi dan aksi (P = perception) adalah merupakan hubungan yang saling
berpengaruh atau berkaitan (interlocking). Menurut Albert Bandura, tingkah laku
sering dievaluasi, yaitu bebas dari timbal balik sehingga boleh mengubah kesan-
kesan personal seseorang. Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi
konsepsi diri individu. Teori belajar sosial menekankan, bahwa lingkungan-
lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan, lingkungan-
lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya
sendiri.39
4. Pengaruh Pemahaman Agama terhadap Perilaku Keberagamaan Mahasiswa
Fungsi agama adalah sebagai kontrol sosial. Kontrol sosial yang dimaksud adalah
seluruh pengaruh kekuatan-kekuatan yang yang menjaga terbinanya pola-pola
39 Lebih jelas lihat dalam http://www.psychologymania.com/2011/11/albert-bandura-tokoh-pembelajaran.html , diunduh tanggal 1 Agustus 2013.
kelakuan dan kaidah-kaidah sosial milik masyarakat. Dalam hal ini, agama
memberikan pembatasan (limitasi) dan pengkondisian (conditioning) terhadap
tindakan atau perilaku mahasiswa atau masyarakat itu sendiri. Agama diperankan
untuk bertanggungjawab atas adanya norma-norma religius yang diberlakukannya
atas masyarakat pada umumnya. Agama, dengan demikian mampu menyelesaikan
kaidah-kaidah susila yang baik dan mengukuhkannya sebagai kaidah yang harus
dipatuhi oleh pemeluknya. Sebaliknya, agama menolak kaidah susila yang buruk
untuk ditinggalkan sebagai larangan atau tabu. Agama dalam hal ini, juga
memberikan sangsi-sangsi yang harus dijatuhkan kepada pelanggar sekaligus
melakukan pengawasan ketat terhadap proses implementasinya.
Akhlak merupakan fungsionalisasi agama. Artinya, keberagamaan menjadi tidak
berarti bila tidak dibuktikan dengan berakhlak. Orang mungkin banyak shalat, puasa,
membaca al-Qur’an dan berdoa, tetapi bila perilakunya tidak berakhlak, seperti
merugikan orang, tidak jujur, korupsi dan lain-lain pekerjaan tercela, maka
keberagamaannya menjadi tidak benar dan sia-sia.
Dalam kerangka yang lebih luas, berakhlak berarti ”hidup untuk menjadi rahmat
bagi sekalian alam”. Artinya, hidup berguna bukan hanya untuk Islam, tetapi untuk
seluruh umat manusia dan alam sekitarnya. Bersikap santun dan tidak merusak nilai-
nilai kemanusiaan, hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, dan air sebagai ciri manusia
yang berakhlak luhur.
Pendidikan berarti usaha-usaha sistematis dan pragmatis dalam membentuk
peserta didik supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam. Jadi, yang dimaksud
dengan pendidikan agama bukanlah pendidikan (khusus) agama melainkan
pendidikan yang berdasarkan agama atau menurut pandangan agama. Dan mutlak
harus diberikan kepada mahasiswa baik lewat formal maupun non-formal.40
Pendidikan dan pengajaran agama pada hakikatnya adalah persamaan nilai-nilai
agama agar terbentuk pribadi yang beriman, bertaqwa dan bermoral Islami (Al-
Akhla>q Al-Kari>mah). Oleh sebab itu, pembiasaan dan peneladanan amatlah penting
dalam proses pembelajaran agama.
Pendidikan dan pengajaran agama dapat pula dijadikan sebagai metode dakwah.
Sebab dalam definisi dakwah telah disebutkan bahwa dakwah dapat diartikan dengan
dua sifat,yakni bersifat pembinaan (melestarikan dan membina agar tetap beriman)
dan pengembangan (sasaran dakwah).41
Sikap keimanan dan ibadah adalah penerimaan dan penghayatan yang dimiliki
mahasiswa terhadap kebenaran tentang keimanan dan ibadah dalam Islam sebagai
akibat adanya pengetahuan atau informasi tentang ajaran agama akan bersikap positif
terhadap ajaran agama mereka. Sikap terhadap keimanan diukur dengan keyakinan
kepada Sang Pencipta, keyakinan kepada pengawasan Malaikat Allah, keyakinan
kepada keteladanan Nabi Muhammad SAW, keyakinan akan kebenaran Al-Qur’an
sebagai petunjuk dan bimbingan, keyakinan kepada takdir Allah dan keyakinan
terhadap adanya hidup di akhirat.
Sikap terhadap ibadah diukur dengan keyakinan bahwa shalat akan membuat
hidup optimis, sehat dan teratur. Keyakinan bahwa puasa menjadikan manusia punya
sifat peduli, pengendalian diri dan energik. Keyakinan bahwa dengan membantu,
berinfaq dan bersedekah akan dimudahkan segala urusan dan ditambah nikmat.
Keyakinan dengan membaca Al-Qur’an akan dilindungi dan dibimbing Allah.
40 Sukartini A, Ghofir. Slamet Yusuf, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: PN. Usaha Nasional, 1981), 25. 41 Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Al Ihklas: Surabaya, 1983), 157.
Keyakinan dengan meneladani dan bershalawat kepada Nabi Muhammmad SAW
akan mendapat pertolongan di akhirat nanti.
Akhlak diperlukan untuk pengembangan kualitas diri dalam membangun manusia
Indonesia seutuhnya. Peningkatan kualitas manusia memerlukan persiapan generasi
muda yang notabene mempunyai andil besar untuk menghadapi perkembangan
zaman. Tidak bisa dipungkiri mahasiswa yang hidup di era globalisasi akan
bersenggolan dengan wilayah kebocoran etika. Dengan demikian, tidak
memungkinkan bagi mereka untuk hidup secara rigid dan puritan dalam memegangi
ajaran agamanya, sebagaimana suasana hubungan yang bercorak sufistik, lantaran
kondisi sosial budaya sudah jauh berbeda jika dibandingkan dengan etika kebocoran
etika itu dapat ditutup rapat sehingga tidak bocor.
Pendidikan agama di lembaga pendidikan manapun akan memberi pengaruh
dalam pembentukan jiwa keagamaan. Besar kecilnya pengaruh tersebut tergantung
pada berbagai faktor yang memotivasi mahasiswa untuk memahami nilai-nilai agama.
Sebab pada hakikatnya pendidikan agama adalah pendidikan nilai. Oleh sebab itu,
pendidikkan agama lebih menitikberatkan pada pembentukan kebiasaan yang selaras
dengan tuntunan agama dan pembinaan preventif, yaitu pembinaan dan langkah-
langkah yang bersifat pencegahan terhadap kenakalan, seperti ceramah-ceramah
keagamaan, penyuluhan di sekolah-sekolah dan kegiatan-kegiatan sekolah yang
bersifat positif.42
Setiap individu akan menginterpretasikan nilai-nilai agama yang ada dalam
dirinya dengan cara yang berbeda-beda dan bentuk yang berbeda-beda pula, sesuai
dengan tingkat pemahaman agama (ranah kajian kognitif) yang dimiliki individu
tersebut. Kognisi adalah bagian dari jiwa manusia yang mengolah informasi,
42 Yusuf Qordowi, Generasi Idaman, (Jakarta: PN. Media Dakwah, 1990), 144.
pengetahuan, pengalaman, dorongan, perasaan, dan sebagainya, baik yang dari luar
maupun dari dalam diri sendiri sehingga terjadi simpulan-simpulan yang kemudian
menghasilkan perilaku. Berikut di uraikan beberapa teori tentang kognitif:
a. Teori Lapangan K. Lewin
K. Lewin awalnya adalah seorang pengikut aliran Psikologi Gestalt (bentuk
keseluruhan) di Jerman. K. Lewin mengembangkan teori psikologi Gestalt ini
dengan mengemukakan pendapatnya sendiri yang dinamakan Psikologi
Lapangan. Dengan teorinya ia mencoba menjelaskan apa yang terjadi dalam jiwa
seseorang sehingga terjadi persepsi dan perilaku yang bersifat menyeluruh.
Menurut Lewin, perilaku (behavior) adalah fungsi dari keadaan diri pribadi
(personality) dan lingkungan (environment). Jika dirumuskan menjadi: B=F(P,E).
Faktor-faktor baik dari luar maupun dari dalam pribadi terwakili atau terpetakan
dalam lapangan kesadaran seseorang. Lapangan kesadaran itu digambarkan Lewin
sebagai lapangan yang terbagi-bagi dalam berbagai wilayah (region). Tiap
wilayah mewakili sesuatu dari dalam diri sendiri (aku, tubuhku) dan dari luar
(ibuku, rumahku, temanku, makanan dan sebagainya). Makin banyak pengetahuan
dan pengalaman seseorang, makin majemuk keadaan lapangan psikologinya.43
Wilayah-wilayah itu kemudian akan mempunyai makna di saat-saat tertentu.
Ketika perut lapar, misalnya, makanan jadi punya makna (valensi) positif. Valensi
yang positif akan menarik energi ke wilayahnya sehingga orang tersebut bergerak
atau berperilaku (dinamika lokomosi) kearah wilayah itu, yaitu makanan.
Sebaliknya, ketika lapar itu, wilayah lain, misalnya belajar, justru mempunyai
valensi negatif yang menolak energi, sehingga seseorang menjadi malas belajar
ketika lapar.
43 Sarlito W.S, PSIKOLOGI SOSIAL; Individu dan Teori- Teori Psikologi Sosial, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 82-83.
Jika suatu saat ada dua wilayah yang sama kuat valensi positifnya, maka
bersangkutan akan mengalami konflik, yang dinamakan konflik mendekat-
mendekat. Misalnya, seorang mahasiswa yang sedang melakukan perkemahan di
hutan harus memilih memakan anjing (karena tidak ada lagi makanan) atau
menaati agamanya (yang mengharamkan anjing) yang keduanya mempunyai
valensi positif. Sebaliknya, orang dapat mengalami konlik menjauh-menjauh, jika
kedua wilayah dalam lapangan kesadaran yang bersangkutan bervalensi negatif
sama kuat. Jenis konflik yang lain adalah konflik mendekat menjauh, yaitu suatu
wilayah psikologik dapat mempunyai valensi positif dan negatif sama kuat.
b. Teori Psikologi Kognitif Mutakhir
Banyak orang terpelajar keturunan Yahudi terpaksa melarikan diri dari kejaran
Nazi Jerman menjelang Perang Dunia II. K. Lewin dan tokoh-tokoh psikologi
gestalt lainnya termasuk yang hijrah ke Amerika Serikat. Di Amerika Serikat ini,
ajaran Lewis bertemu dengan aliran Psikologi Behaviorisme yang memang
berasal dari amerika serikat sendiri dan dari pertemuan itulah lahir Psikologi
Kognitif yang sampai hari ini merupakan salah satu aliran yang dominan di
Negara itu.
Inti ajaran dari aliran psikologi kognitif ini adalah bahwa segala informasi
yang masuk diproses dalam kognisi manusia sebelum akhirnya dijadikan
keputusan, simpulan, pandangan, sikap, atau perilaku.44 Artinya, semua
pemahaman agama yang masuk pada semua individu mahasiswa akan diproses
dalam kognisinya sebelum akhirnya akan diwujudkan dalam bentuk pandangan,
sikap, maupun perilaku keberagamaan.
44 Ibid, 85.