bab ii tinjauan pustaka a. konsep perilakudigilib.uinsby.ac.id/886/5/bab 2.pdfpengetahuan dan sikap...

35
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Perilaku Perilaku merupakan konsep yang komplek, sehingga tidak ada definisi tunggal yang benar. Misalnya, Mukmin mendefiniskan perilaku sebagai kemampuan yang dimiliki oleh individu karena pembawaan (hereditas) dan interaksi dengan lingkungan sesuai dengan tingkat perkembangan. 1 Hereditas atau keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku, sedangkan lingkungan merupakan kondisi atau lahan yang mempengaruhi perkembangan perilaku tersebut. Mekanisme pertama antara kedua faktor tersebut dalam rangka terbentuknya suatu perilaku disebut proses belajar (learning process). Skiner mengatakan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon. Ada dua respon yaitu: 1) respondent response atau reflextive; yaitu respon yang timbul dan perkembangannya diikuti oleh rangsangan tertentu dan relatif tetap, dan 2) operant response atau instrumental response, yaitu respon yang timbul dan perkembangannya diikuti oleh perangsang tertentu. 2 Selanjutnya, Edward Chase Tolman mengatakan bahwa perilaku tidak hanya ditentukan oleh rangsangan dari luar atau stimulus (sebagai pandangan kaum behavioris). Akan tetapi, ditentukan juga oleh organisme atau orang itu sendiri. Jadi, individu bukan hanya memperhatikan stimulusnya, melainkan memilih sendiri reaksinya. Dengan demikian, perilaku (moral) selalu bertujuan. 3 Perilaku dibedakan atas dua bentuk: 1) bentuk pasif, yaitu perilaku yang terjadi dalam diri manusia yang tidak dapat dilihat secara langsung oleh orang lain, seperti berpikir, 1 Mukmin, Psikologi Kepribadian, (Bandung: Rosdakarya, 2001), 81- 86. 2 Mathew H. Olson, Theorise Of learning, (Jakarta: kencana, 2010), 311. 3 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 50.

Upload: ngothien

Post on 02-May-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Perilaku Perilaku merupakan konsep yang komplek, sehingga tidak ada definisi tunggal yang

benar. Misalnya, Mukmin mendefiniskan perilaku sebagai kemampuan yang dimiliki oleh

individu karena pembawaan (hereditas) dan interaksi dengan lingkungan sesuai dengan

tingkat perkembangan.1 Hereditas atau keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal

untuk perkembangan perilaku, sedangkan lingkungan merupakan kondisi atau lahan yang

mempengaruhi perkembangan perilaku tersebut. Mekanisme pertama antara kedua faktor

tersebut dalam rangka terbentuknya suatu perilaku disebut proses belajar (learning

process).

Skiner mengatakan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang

(stimulus) dan respon. Ada dua respon yaitu: 1) respondent response atau reflextive; yaitu

respon yang timbul dan perkembangannya diikuti oleh rangsangan tertentu dan relatif

tetap, dan 2) operant response atau instrumental response, yaitu respon yang timbul dan

perkembangannya diikuti oleh perangsang tertentu. 2

Selanjutnya, Edward Chase Tolman mengatakan bahwa perilaku tidak hanya

ditentukan oleh rangsangan dari luar atau stimulus (sebagai pandangan kaum behavioris).

Akan tetapi, ditentukan juga oleh organisme atau orang itu sendiri. Jadi, individu bukan

hanya memperhatikan stimulusnya, melainkan memilih sendiri reaksinya. Dengan

demikian, perilaku (moral) selalu bertujuan.3

Perilaku dibedakan atas dua bentuk: 1) bentuk pasif, yaitu perilaku yang terjadi dalam

diri manusia yang tidak dapat dilihat secara langsung oleh orang lain, seperti berpikir,

1Mukmin, Psikologi Kepribadian, (Bandung: Rosdakarya, 2001), 81- 86. 2Mathew H. Olson, Theorise Of learning, (Jakarta: kencana, 2010), 311. 3 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 50.

pengetahuan dan sikap, dan 2) bentuk aktif, yakni perilaku yang dapat diamati secara

langsung. Bentuk pertama disebut juga covertbehavior dan kedua overtbehavior.

Bloom membagi perilaku ke dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif, psikomotorik, dan

afektif. Atas dasar klasifikasi ini, para ahli mengembangkan menjadi hal-hal yang dapat

diukur yaitu pengetahuan, sikap, dan praktik atau tindakan. Bloom mengklasifikasikan

ranah kognitif ke dalam enam kemampuan, yaitu: (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3)

penerapan, (4) analisis, (5) sintesis, dan (6) evaluasi; ranah afektif ke dalam lima

kemampuan, yaitu: (1) penerimaan, (2) partisipasi, (3) penilaian, (4) organisasi, (5)

pembentukan pola hidup; ranah psikomotor ke dalam tujuh kemampuan, yaitu: (1)

persepsi, (2) kesiapan, (3) gerakan terbimbing, (4) gerakan yang terbiasa, (5) gerakan yang

kompleks, (6) penyesuaian pola gerakan, dan (7) kreativitas.4

Perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor: 1) faktor predisposisi (predisposing factor),

yakni faktor pencetus timbulnya perilaku, seperti pikiran dan motivasi untuk berprilaku

yang meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, atau keyakinan, nilai dan persepsi yang

berhubungan dengan motivasi individu untuk berperilaku, 2) faktor-faktor yang

mendukung (enabling factors), yakni yang mendukung timbulnya perilaku sehingga

motivasi atau pikiran menjadi kenyataan, termasuk di dalamnya adalah lingkungan fisik

dan sumber-sumber yang ada di keluarga dan masyarakat, dan 3) faktor-faktor yang

memperkuat atau mendorong (reinforcing factors), yakni faktor yang merupakan

pembentukan perilaku yang berasal dari orang lain yang merupakan kelompok referensi

dari perilaku seperti keluarga, teman, guru, atau mubaligh. 5

Ada tiga cara untuk pembentukan perilaku yaitu: (1) dengan cara pembiasaan

(condisioning), didasarkan pada teori Pavlov, Throndike dan Skinner, (2) dengan cara

memberi pengertian (insight), yang didasarkan pada teori belajar kognitif oleh Kohler, dan

4Winkel, PsikologiPengajaran, 255. 5Walgito, Psikologi Sosial, (Yogyakarta: Andi, 2003), 16- 17.

(3) dengan cara menggunakan model, yang didasarkan pada teori belajar sosial oleh

Bandura.

Asngari mengatakan bahwa, untuk mengubah perilaku seseorang, kita dapat

melakukannya dengan mengubah salah satu dari ketiga ranah (kognisi, afeksi dan

psikomotor) atau keseluruhan ranah tersebut. Perubahan pada salah satu ranah itu akan

saling mempengaruhi yang lainnya. Dengan kata lain, perubahan pada salah satu ranah

akan memberi efek pada perubahan ranah lainnya.6

Perubahan perilaku yang disengaja atau direncanakan pada dasarnya merupakan

esensi dari pendidikan atau penyuluhan. Slamet mengatakan bahwa penyuluhan sebagai

proses perubahan perilaku merupakan program pendidikan luar sekolah yang bertujuan

untuk memberdayakan, memandirikan sasaran, dan membangun masyarakat madani.

Penyuluhan bukan program charity yang bersifat darurat atau adhoc, melainkan sistem

yang berfungsi secara berkelanjutan, untuk menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan

sasaran yang menguntungkan dirinya sendiri dan masyarakatnya.

Individu dalam masyarakat mengalami proses sosialisasi agar ia dapat hidup dan

bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat dimana

individu berada. Sosialisasi sebagai proses transmisi antar generasi terjadi melalui

interaksi sosial, dan fungsinya untuk bertahan dan kelangsungan suatu masyarakat

melebihi satu generasi. Sosialisasi adalah proses belajar yang dialami seseorang untuk

memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan norma-norma agar ia dapat

berpartisipasi sebagai anggota kelompok masyarakat.7 Dalam proses sosialisasi, individu

dipengaruhi oleh keturunan (heredity) dan lingkungan (environment).

6Asngari, Peranan Agen pembaruan/ Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia pengelola Agribisnis.( Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi, Bogor: IPB, 2001) 7Ihromi, Community Development: Creating Community Alternatives: Vision, Analysis and Practice, (Australia: Longman press, 1999), 30.

Ada dua tahapan sosialiasai yaitu: (1) sosialisasi primer, yang dialami individu

pertama kali dalam pembentukan kepribadiannya, dan sebagai agennya adalah keluarga,

dan (2) sosialisasi skunder, sebagai proses memperkenalkan individu kedalam dunia baru

dan kehidupan yang objektif di masyarakat, sebagai agen sosialisasi adalah sekolah,

kampus, teman, lembaga pekerjaan dan masyarakat. 8

Jadi, perilaku adalah kemampuan bertindak yang dimiliki oleh seseorang hasil

kombinasi pengetahuan, sikap dan keterampilan (kognitif, afektif dan psikomotorik) atau

sebagai hasil dari interaksi potensi bawaan dengan lingkungan melalui belajar. Belajar

hakikatnya merubah perilaku individu secara keseluruhan aspek perilaku atau salah

satunya melalui pendidikan formal atau penyuluhan (non-formal). Perilaku itu ada yang

tampak dan dapat diamati seperti melaksanakan shalat, dan yang tidak tampak seperti

pengetahuan terhadap Tuhan. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor pengetahuan dan

keyakinan, faktor lingkungan fisik dan dan sumber daya, dan faktor pembentukan

(kelompok referensi). Perilaku seseorang dibentuk melalui pembiasaan, pengertian atau

pemahaman, dan penggunaan model (pentauladanan).

B. Keberagamaan (Religiusitas) Keberagamaan (religiusitas) tidak selalu identik dengan agama. Agama lebih

menunjukkan kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan, dalam aspek yang resmi,

yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya. Sedangkan keberagamaan atau

religiusitas lebih melihat pada aspek yang “didalam lubuk hati nurani” pribadi. Oleh

karena itu, religiusitas lebih dalam dari agama yang tampak formal.9

Menurut Nurcholis Madjid, keberagamaan bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual

seperti shalat dan membaca doa. Keberagamaan lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingkah

laku manusia yang terpuji, yang dilakukan untuk memperoleh ridla atau perkenan Allah.

8Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Kelurga, (Jakrta: Yayasan Obor, 1999), 204. 9Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, 288.

Keberagamaan dengan demikian meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam

hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur atas dasar

percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi dihari kemudian.10

Kebragamaan atau religiusitas menurut Islam adalah menjalankan ajaran Agama

secara menyeluruh. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 208:

ای یھ ذین ٱ أ ل وا د ٱ ءامن وا ي خل ل ٱ ف م لس ة كا وال ف عوا ب و تت ی ٱ ت خط لش ھ ن ط ن كم ۥإ ل

ین عدو ب م

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (Q.S. Al-Baqarah 2:208)

Dalam mendefinisakan keberagamaan, sekurang-kurangnya terdapat tiga kriteria

penting, yaitu: (1) tingkat kepercayaan/keyakinan seseorang (the degree of a person

belief), (2) intensitas dia mengikuti kegiatan keagamaan di masjid, gereja dan sebagainya

(how often he/she attends in services), dan (3) seberapa penting dan sering dia beribadah

(how importan and how often he/she prays).

Keberagamaan atau religiusitas seseorang diwujudkan dalam berbagai sisi

kehidupannya. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan

perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktifitas lain yang didorong

oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya berhubungan dengan aktifitas yang tampak dan

dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktifitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati

seseorang.11

Menurut Gay Hendrik dan Kate Ludemen dalam Ary Ginanjar, terdapat beberapa

sikap keberagamaan yang tampak dalam diri seseorang dalam menjalankan tugasnya, 10Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), 124. 11Djamaludin Ancok, Psikologi Islam, Solusi Islam atas Problem- Problem Psikologi, Cet II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 76.

diantaranya: (1) Kejujuran, rahasia untuk meraih sukses menurut mereka adalah dengan

selalu berkata jujur. Mereka menyadari, justru ketidakjujuran kepada pelanggan,

orangtua, pemerintah dan masyarakat, pada akhirnya akan mengakibatkan diri mereka

sendiri terjebakdalam kesulitan yang berlarut-larut. Totalitas dalam kejujuran menjadi

solusi, meskipun kenyataan begitu pahit. (2) Keadilan, salah satu skill seseorang yang

religius adalah mampu bersikap adil kepada semua pihak, bahkan saat ia terdesak

sekalipun. Mereka berkata, “pada saat saya berlaku tidak adil, berarti saya telah

mengganggu keseimbangan dunia”. (3) Bermanfaat bagi orang lain, hal ini merupakan

salah satu bentuk sikap keberagamaan yang tampak dari diri seseorang. Sebagaimana

sabda Nabi saw: “sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi

manusia lain”. (4) Rendah hati, rendah hati merupakan sikap tidak sombong mau

mendengarkan pendapat orang lain dan tidak memaksakan gagasan atau kehendaknya.

Dia tidak merasa bahwa dirinyalah yang selalu benar mengingat kebenaran juga selalu

ada pada diri orang lain. (5) Bekerja efisien, mereka mampu memusatkan semua

perhatian mereka pada pekerjaan saat itu, dan begitu juga saat mengerjakan pekerjaan

selanjutnya. Mereka menyelesaikan pekerjaannya dengan santai, namun mampu

memusatkan perhatian mereka saat belajar dan bekerja. (6) Visi ke depan, mereka

mampu mengajak orang ke dalam angan-angannya, kemudian menjabarkan begitu rinci,

cara-cara untuk menuju kesana. Tetapi pada saat yang sama ia dengan mantap menatap

realitas masa kini. (7) Disiplin tinggi, mereka sangatlah disiplin. Kedisiplinan mereka

tumbuh dari semangat penuh gairah dan kesadaran, bukan berangkat dari keharusan dan

keterpaksaan. Mereka beranggapan bahwa tindakan yang berpegang teguh pada

komitmen untuk kesuksesan diri sendiri dan orang lain adalah hal yang dapat

menumbuhkan energi tingkat tinggi. (8) Keseimbangan, seseorang yang memiliki sifat

keberagamaan sangat menjaga keseimbangan hidupnya, khususnya empat aspek inti

dalam kehidupannya, yaitu: keintiman, pekerjaan, komunitas dan spiritualitas.12

Dalam kontek pembelajaran di perguruan tinggi, beberapa sikap keberagamaan

tersebut bukanlah tanggung jawab dosen agama semata. Kejujuran tidak hanya

disampaikan lewat mata kuliah agama saja, tetapi juga lewat mata kuliah lainnya.

Misalnya seorang dosen matematika mengajarkan kejujuran lewat rumus-rumus pasti

yang menggambarkan suatu kondisi yang tidak kurang dan tidak lebih atau apa adanya.

Begitu juga seorang dosen ekonomi bisa menanamkan nilai-nilai keadilan lewat mata

kuliah ekonomi. Seseorang akan menerima untung dari suatu usaha yang dikembangkan

sesuai dengan besar kecilnya modal yang ditanamkan. Dalam hal ini, aspek keadilanlah

yang diutamakan.

Definisi penting keberagamaan yang diuraikan sebelumnya menunjukkan

keberagamaan bersifat multi dimensi. Artinya, keberagamaan meliputi segala bentuk

atau keseluruhan dalam menjalankan agama. Magill memberikan batasan dimensi

religiusitas:”… a person’s attitude toward religion in general; more specifically, the

intensity of way in wich a person is religious”. Religiusitas merupakan sikap seseorang

terhadap agama secara umum, bukan hanya terhadap salah satu aspeknya saja dari

agama, lebih khusus religiusitas adalah intensitas cara seseorang untuk menjadi

seseorang yang beragama.13

Menurut Glock & Stark dalam muhaimin, ada lima macam dimensi keberagamaan,

yaitu: Pertama, dimensi keyakinan yang berisi pengharapan- pengharapan dimana orang

religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui keberadaan

doktrin tersebut. Kedua, dimensi praktik agama yang mencakup perilaku pemujaan,

ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap 12Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power; Sebuah Innerjourney Melalui Ihsan (Jakarta: ARGA, 2003), 249. 13 Magill, Survey of Social Science: Psychology Series, (California: Salem Press, 1993), 96.

agama yang dianutnya. Ketiga, dimensi pengalaman. Dimensi ini berisikan dan

memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan- pengharapan

tertentu. Keempat, dimensi pengetahuan agama yang mengacu kepada harapan-harapan

bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan

mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi. Kelima, dimensi

pengalaman atau konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat

keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hati ke

hati.14

Berangkat dari keberagamaan yang memiliki banyak dimensi, para psikolog sosial

membedakan dua cara seseorang menjadi beragama (ways of being religious), yaitu: 1)

cara yang komitmen terhadap agama, dimana agama difikirkan secara seksama dan

diperlakukan dengan sungguh-sungguh sebagai tujuan akhir (an end in it self), dan 2)

agama digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang berpusat pada diri

sendiri.15 Perbedaan ini melahirkan dua cara orang menjadi beragama, yaitu beragama

instrintik dan ekstrinstik. Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah religiusitas atau

keberagamaan (Religiousity) instrinstik dan ekstrinstik atau orientasi religiusitas atau

keberagamaan instrinstik dan ekstrinstik.

Religiusitas instrintik merupakan cara beragama yang memiliki komitmen terhadap

agama secara seksama dan memperlakukan komitmen tersebut dengan sungguh-sungguh

sebagai tujuan akhir. Religiusitas ini beroperasi dalam pusat kepribadian dan

“membanjiri” seluruh kehidupan dengan motivasi dan arti nilai agama, memandang

serius ajaran mengenai persaudaraan dan berusaha untuk menghubungkan semua

kebutuhan yang berpusat pada diri sendiri dengan ajaran agama.16 Dengan kata lain

14Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, 294 15Rolan Robertson, Sociologi of Religion,(Jakarta: Grasindo Persada, 1980), 299. 16Alport, 1967, Personal Religious Orientation and Prejudice”.Jurnal of Personality an Social Psychology, vol 4.

semua kebutuhan dan keinginan dirinya ditarik kedalam ajaran agama. Cara beragama

ini menjunjung tinggi kemurnian hati nurani, visi, pengertian dan komitmen yang

memberikan makna pada ritual-ritual keagamaan yang dilakukan.

Individu instrinstik menemukan motif utamanya berperilaku dalam ajaran agama,

kebutuhan-kebutuhan lain yang dimilikinya dianggap kurang signifikan jika tidak

diharmonisasikan dengan keyakinan-keyakinan dan aturan agama. Individu instrinstik

tidak akan mengkompromikan keyakinan dalam situasi dimana lebih dari satu motif

agama berperan (mixed-motive-situation). Pada individu instrinstik, ajaran-ajaran agama

diinternalisasikan dan diikuti secara penuh atau total. Karenanya agama berfungsi

sebagai framework dalam menjalani kehidupannya. Inilah yang dalam Islam kemudian

disebut dengan konsep mukhlishi>n dan muttaqi>n.

Ini berbeda dengan religiusitas ekstrinstik yang menggunakan agama sebagai alat

untuk mencapai tujuan-tujuan yang berpusat pada diri sendiri. Religiusitas ekstrinstik

benar-benar bersifat utilitarian, agama berguna dalam menjamin keselamatan,

kedudukan sosial, ketenaran, dukungan sosial dan dukungan atas cara hidup yang

dipilih.17 Sifat religiusitas ini, penekanan diberikan pada penampilan luar dari agama,

aspek-aspek tangible, ritualized dan institualized dari agama yang banyak dianggap

sebagai tanda ketaatan dalam kebudayaan.

Individu ekstrinstik mengamalkan ajaran-ajaran agama yang dianutnya lemah atau

longgar; dibentuk sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pribadi yang lebih primer. Jadi,

pelaksanaan ajaran agama dan upaya menjauhkan diri dari larangan agama akan sangat

tergantung pada kebutuhan-kebutuhan lain dari individu tersebut. Bila ia menganggap

pelaksanaan ajaran agama menghambat kebutuhannya yang lebih penting, seperti

kedudukan sosialnya, maka ia cenderung akan mengabaikan ajaran agama tersebut.

17Ibid, 35- 36.

Dengan kata lain, individu ekstrinstik akan menarik semua ajaran agama kepada sudut

kebutuhan dan keinginannya. Inilah yang dalam wacana Islam disebut kepribadian fasiq

dan munafiq.

Disisi lain, untuk mengukur kadar religiusitas seseorang dapat diketahui melalui lima

dimensi yaitu: (1) keterlibatan ritual, (2) keterlibatan ideologi, (3) keterlibatan

intelektual, (4) pengalaman keagamaan, (5) pengalaman atau aktualisasi ajaran agama

dalam kehidupan sehari-hari.

Woodroof mengemukakan bahwa kadar keberagamaan seseorang dapat dilihat melaui

delapan aspek yaitu: (1) kehadirannya ketempat ibadah, (2) waktu beribada, (3)

mempelajari kitab suci, (4) aktivitas ditempat ibadah, (5) keterlibatan/kontribusi

keuangan, (6) menikmati kehidupan beragama, (7) membicarakan masalah-masalah

agama dalam keluarga atau dengan teman, dan (8) mencoba mengajak orang lain untuk

memeluk agama dan beribadah.18

Secara sosiologis, agama berfungsi sebagai penyelamat, edukatif, kontrol sosial,

persaudaraan dan transformatif.19 Agama yang fungsional akan dapat menyelamatkan

seseorang atau masyarakat dari berbagai kerusakan dan petaka, sebab agama berisikan

huddan (petunjuk), bimbingan dan tuntunan kearah hidup yang baik dan bermakna.

Edukasi agama akan membimbing untuk membubuhkembangkan potensi rohaniah fitri

manusia secara positif dan optimal. Kontrol sosial agama bertanggung jawab atas adanya

norma-norma yang baik yang diberlakukan untuk masyarakat dan mengawasi tingkah

laku asyarakat supaya sesuai dengan tujuan mulia agama. Nilai ukhuwah (persaudaraan)

akan menuntun manusia untuk bersatu, kooperatif, dan merasa sama (equal) yang dapat

melahirkan tingkah laku toleran, ta’awu>n, empati, simpati, kasih sayang dan sebagainya.

18Benda, A Test of Model With Rciplocal Effect Between Religiousity and Various Form of Deliquency, (Arkansas: Jourmnal of Social Service Research Vol 22, 1997), 35. 19Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: BPK Mulia, 1997), 45- 57.

Fungsi transformatif agama akan mampu merubah dan memperbaiki individu dan

masyarakat dari suatu keadaan yang kurang manusiawi atau konservatif kepada keadaan

yang lebih baik dan bermutu.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa religiusitas adalah proses

bagaimana seseorang menjadi individu beragama yang sesuai dengan ajaran agama yang

dianutnya, meliputi aspek: (1) keterlibatan ideologi/keyakinan, (2) keterlibatan

ritual/ibadah, (3) pengamalan/aktualisasi agama dalam kehidupan sehari-hari, (4)

pengalaman batin keagamaan, dan (5) keterlibatan intelektual/pengetahuan. Boleh jadi

keterlibatan itu secara instrinstik, yang ditunjukkan dengan perilaku berpusat pada nilai

agama atau secara ekstrinstik dimana ditarik kepada kebutuhan dan kepentingannya atau

agama berpusat pada dirinya. Agama yang fungsional dalam kehidupan individu dan

sosial akan mampu menyelamatkan, menumbuhkembangkan potensi yang fitri,

bertanggung jawab dan mengawasi norma sosial, membuat kehangatan antar sesama dan

merubah serta memperbaiki individu dan masyarakat kea rah yang lebih baik.

C. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Keberagamaan Mahasiswa

Pemahaman dan penghayatan mengenai perilaku keberagamaan dan etika (etika

Islam) membuat adanya perbedaan tekanan pengamalan dari orang yang satu ke orang

yang lain, dan membuat keduanya menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

kepribadian atau privacy seseorang.

Oleh karena itu, perilaku keberagamaan dan pemahaman etika Islam akan sangat dan

bahkan berkaitan dengan kepekaan emosional seseorang yang dipengaruhi berbagai

faktor. Kaitannya etika pergaulan Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya adalah faktor-

faktor yang menyebabkan perbedaan perilaku keberagamaan dan pemahaman etika

Islam dalam pergaulan. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi dan menunjukkan

adanya perilaku keberagamaan dan pemahaman etika Islam dalam pergaulan yang

berbeda, yaitu sebagai berikut:

1. Pengaruh Media Massa

Masyarakat memiliki struktur dan lapisan (layer) yang bermacam-macam, ragam

struktur dan lapisan masyarakat tergantung pada kompleksitas masyarakat itu sendiri.

Semakin komplek suatu masyarakat, maka struktur masyarakat itu semakin rumit

pula. Kompleksitas masyarakat juga ditentukan oleh ragam budaya dan proses-proses

sosial yang dihasilkannya. Semakin masyarakat itu kaya dengan kebudayaannya,

maka semakin rumit proses-proses sosial yang dihasilkannya.20

Berbagai proses komunikasi dalam masyarakat terkait dengan struktur dan lapisan

maupun ragam budaya dan proses-proses sosial yang ada di masyarakat tersebut, serta

tergantung pula pada adanya pengaruh dan khalayaknya, baik secara individu,

kelompok maupun masyarakat luas. Komunikasi dapat dipahami sebagai proses

penyampaian pesan dari sumber kepada penerima melalui channel (saluran), yang

dapat diterima melalui media massa maupun personal (interpersonal dan kelompok).

Ada lima komponen komunikasi, yaitu: sumber pesan atau yang menyampaikan

pesan, pesan, channel, penerima pesan dan efek. Sedangkan subtansi bentuk atau

wujud komunikasi ditentukan oleh: (1) pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi

(komunikator dan khalayak/publik); (2) cara yang ditempuh; (3) kepentingan dan

tujuan komunikasi; (4) ruang lingkup yang melakukannya; (5) saluran yang

digunakan; dan (6) isi pesan yang disampaikan. Sehubungan dengan itu, maka

kegiatan komunikasi dalam masyarakat dapat berupa komunikasi tatap muka yang

terjadi pada komunikasi interpersonal dan kelompok serta kegiatan komunikasi yang

terjadi pada komunikasi massa.

20 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Putra Grafika, 2007), 67.

Komunikasi massa adalah proses komunikasi yang dilakukan melalui media massa

dengan berbagai tujuan komunikasi dan untuk menyampaikan informasi kepada

khalayak luas. Dengan demikian, maka unsur-unsur penting dalam komunikasi massa

adalah: (a) komunikator; (b) media massa; (c) informasi (pesan) massa; (d)

gatekeeper; (e) khalayak (publik) dan; (f) umpan balik.21

Perbincangan tentang komunikasi massa tentu tidak akan terlepas dengan media

massa. Media massa adalah institusi yang berperan sebagai agent of change, yaitu

sebagai institusi pelopor perubahan. Ini adalah paradigma utama media massa. Dalam

menjalankan paradigmanya media massa berperan:

a. Sebagai institusi pencerahan masyarakat, yaitu perannya sebagai media edukasi.

Media massa menjadi media yang setiap saat mendidik publik supaya cerdas,

terbuka pikirannya, dan menjadi masyarakat yang maju.

b. Selain itu, media massa juga menjadi media informasi, yaitu media yang setiap

saat menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dengan informasi yang

terbuka, jujur dan benar disampaikan media massa kepada masyarakat, maka

masyarakat akan menjadi masyarakat yang kaya dengan informasi, masyarakat

yang terbuka dengan informasi, sebaliknya pula masyarakat akan menjadi

informatif, masyarakat yang dapat menyampaikan informasi dengan jujur kepada

media massa. Selain itu, informasi yang banyak dimiliki oleh masyarakat,

menjadikan masyarakat sebagai masyarakat dunia yang dapat berpartisipasi

dengan berbagai kemampuannya.

c. Terakhir media massa sebagai media hiburan. Sebagai agent of change, media

massa juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi

corong kebudayaan, katalisator perkembangan budaya. Sebagai agent of change

21 Ibid, 71.

yang dimaksud, adalah juga mendorong agar perkembangan budaya itu

bermanfaat bagi manusia bermoral dan masyarakat sakinah. Dengan demikian,

media massa juga berperan untuk mencegah berkembangnya budaya-budaya yang

justru merusak peradaban manusia dan masyarakatnya.

Media massa juga mempengaruhi gaya hidup mahasiswa kini. Bermacam-macam

progam hiburan telah disiarkan dan telah menjadi progam tetap dalam televisi.

Progam televisi yang mampu mempengaruhi golongan muda terutama mahasiswa

dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari. Mereka akan ikut-ikutan gaya hidup

model televisi yang melambangkan budaya hedonisme.22

Efek media massa terhadap mahasiswa berkaitan dengan efek pesan dan efek

kehadiran. Efek pesan adalah efek yang berkaitan dengan pesan yang disampaikan

oleh media massa, yang meliputi aspek kognitif (perubahan pandangan dan

pendapatnya), afektif (perubahan perasaan) dan psikomotorik (mengambil keputusan

untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu). Efek kehadiran media massa

merupakan efek yang timbul akibat kehadiranya sebagai benda fisik.23

Ada dua hal yang mempengaruhi perilaku seseorang (mahasiswa) akan media,

yaitu lingkungan sosial dan motif untuk memenuhi kebutuhan. Lingkungan sosial

mencakup demografi, afiliasi kelompok dan karakteristik kepribadian. Karakteristik

demografi meliputi: usia, jenis kelamin, agama, etnis, suku bangsa, tempat tinggal,

pekerjaan, pendidikan dan pendapatan.24

Mc Quail menjelaskan tentang motif seseorang (mahasiswa) dalam penggunaan

media massa:25

1. Motif mencari hiburan: 22 Vanny appalasamy. Masalah sosial di kalagan remaja India die stet lading Raja Musa: satu kajian di kuala lumpur. Universiti Malaya Kuala Lumpur.2002.88 23 Rakhmat. Psikologi Komunikasi. (Bandung: Rosda Karya.1998), 217-219. 24O.U. Effendi. Ilmu teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bahakti), 1993. 25 McQuail, Teori Komunikasi Massa, (jakarta:Erlangga,1989), 232.

a. Hasrat melarikan diri dari kegiatan rutin.

b. Bersantai

c. Mengisi waktu

d. Penyaluran emosi

e. Memperoleh rasa estesis dan membangkitkan gairah seks

2. Motif identitas pribadi:

a. Menemukan penunjang nilai-nilai pribadi.

b. Menemukan model prilaku.

c. Mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai lain dalam media.

d. Meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri.

3. Motif integrasi sosial:

a. Memperoleh empati sosial.

b. Mengidentifikasi diri dengan orang lain.

c. Menemukan bahan percakapan sosial.

d. Membantu menjalankan peran sosial yang memungkinkan berinteraksi

dengan teman, keluarga dan masyarakat.

4. Motif informasi:

a. Mencari berita tentang peristiwa dan kondisi lingkungan masyarakat.

b. Referensi untuk memperteguh pilihan atau keptusan.

c. Memuaskan rasa ingin tahu.

d. Belajar dan pendidikan.

e. Rasa damai dan percaya diri dengan ppenambahan pengetahuan.

Dunia maya atau internet membangkitkan berbagai pertanyaan akan efek negatif

yang ditimbulkanya, meskipun terdapat efek positif seperti penyampaian dan

pengiriman informasi yang cepat dan update melalui fasilitas email, surat kabar

online, forum diskusi dan juga chatting serta beragam situs-situs yang dapat

memperkaya khazanah pengetahuan penggunanya. Hal ini karena internet adalah

media yang memiliki karakteristik interaktif yang membuat penggunanya merasakan

seolah mengalami komunikasi tatap muka sebagimana di dunia nyata walaupun hal

tersebu terjadi di dunia maya (virtual warfel).

Kehadiran teknologi komputer sendiri sesungguhnya bersifat netral. Pengaruh

positif atau negatif yang bisa muncul lebih banyak tergantung pada pemanfaatannya.

Jika dibiarkan penggunaan komputer secara sembarangan tanpa ada monitoring, serta

tidak ada pemasangan alat sistem proteksi yang mampu memfilter semua konten yang

tidak diinginkan akan mudah dibuka.

Tingginya frekuensi menonton televisi memberi sumbangan atas penyimpagan

nilai dan perilaku. Pengaruh tayangan televisi ini ditentukan oleh faktor lingkungan

keluarga dan ketaatan agamanya. Semakin lemah kedua faktor ini semakin kuat

pengaruh televisi.26

Hasil penelitian ini membuktikan kekuatan pengaruh media dalam teori

hipodermik. Media massa seperti jarum suntik yang tidak bisa ditolak. Isinya masuk

begitu saja kedalam aliran darah begitu disuntikkan. Tetapi menurut teori cybernatics

atau teori mutakhir, teori kritis yang menegaskan, media massa “hanya mungkin”

berpengaruh secara signifikan dalam habitat yang sesuai. Bergantung tingkat sosial,

terpaan media, kebutuhan individu dan lain-lain.

Disisi lain, Burhan Bungin juga mengemukakan beberapa teori tentang efek

komunikasi massa sebagai berikut:

a) Stimulus-Respon

26 Nursyawal, Pikiran Rakyat, 30 juni 2011

Teori stimulus-respon ini pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang

sederhana, dimana efek merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu. Dengan

demikian, seseorang dapat menjelaskan suatu kaitan erat antara pesan-pesan

media dan reaksi audience. McQuail menjelaskan elemen-elemen utama teori ini

adalah: a) pesan (Stimulus); b) seorang penerima atau receiver (Organisme); dan

c) efek (Respon).27

Teori stimulus-respon ini merupakan dasar dari teori jarum hipodermik, teori

klasik mengenai proses terjadinya efek media massa yang sangat berpengaruh.

Pada tahun 1970, Melvin Defleur melakukan modifikasi terhadap teori stimulus-

respon dengan teorinya yang dikenal sebagai perbedaan individu dalam

komunikasi massa (individual differences). Melalui modifikasi inilah respon

tertentu yang diharapkan muncul dalam perilaku individu akan tercapai. Esensi

dari model ini adalah fokusnya pada variable-variabel yang berhubungan dengan

individu sebagai penerima pesan, suatu kelanjutan dari asumsi sebab akibat, dan

mendasarkan pada perubahan sikap sebagai ukuran bagi perubahan perilaku.28

Dalam kaitannya dengan kontek mahasiswa, media massa sudah ibarat jarum

suntik yang tidak dapat dihindari. Ketika media massa sudah dihadirkan pada

mahasiswa, segala informasi yang ada di dalamnya tidak dapat ditolak dan

mengalir begitu saja pada diri seorang mahasiswa yang kemudian dimunculkan

dalam bentuk cara pandang, pola pikir, dan pengambilan keputusan dalam

berperilaku. Teori ini kemudian dikenal dengan “Teori Hipodermic”.

b) Difusi Inovasi

27 Opcit, 234. 28 Sendjaja, Teori Komunikasi, (Jakarta: UT, 2002), 14.

Everett M. Rogers mengatakan, merumuskan kembali teori ini dengan

memberikan asumsi bahwa sedikitnya ada 5 tahap dalam suatu proses difusi

inovasi, yaitu pertama, Pengetahuan: kesadaran individu akan adanya inovasi

dan adanya pemahaman tertentu tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi.

Kedua, Persuasi: individu membentuk dan memiliki sifat yang menyetujui atau

tidak menyetujui inovasi tersebut. Ketiga, Keputusan: individu terlibat dalam

aktifitas yang membawa pada suatu pilihan untuk mengadopsi inovasi tersebut.

Keempat, Pelaksanaan: individu melaksanakan keputusan itu sesuai dengan

pilihan-pilihannya. Kelima, Konfirmasi: individu akan mencari pendapat yang

dapat menguatkan keputusan yang telah diambil sebelumnya jika pesan-pesan

mengenai inovasi yang diterimanya berlawanan satu dengan yang lainnya.29

c) Teori Agenda-Setting

Teori agenda-setting diperkenalkan oleh McComb dan DL Shaw dalam Public

Opinion Quarterly 1972, berjudul the Agenda Setting Function Of Mass Media.

Asumsi dasar teori agenda-setting bahwa jika media memberikan tekanan pada

suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi publik untuk

menganggapnya penting. Jadi, apa yang dianggap penting bagi media, maka

penting juga bagi masyarakat. Oleh karena itu, apabila media massa memberikan

perhatian pada isu tertentu dan mengabaikan yang lainnya, akan memiliki

pengaruh terhadap pendapat umum.30

Selanjutnya, bila dilihat pengaruh teori agenda-setting terhadap mahasiswa,

teori ini lebih mempengaruhi pola pikir mahasiswa melalui penekanan pada isu-

isu tertentu. Sebagai contoh: di era 1980-an penyanyi terkenal Arrafik

mempopulerkan lewat media massa model celana jeans komprang yang bagian 29 Everetts M. Rogers, Communication of innovations, Second Edition, (London: The Fee Press collier Macmilian Publiser), 1983, 165. 30 Efendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 287.

ujung bawah celananya lebar. Model celana komprang ini lebih di gandrungi oleh

anak muda ketimbang celana legi yang ujung bagian bawah celananya

menyempit. Namun, di era 2000-an, media massa membalik kondisi ini melalui

trend yang ada di media. Model celana jeans yang ujungnya menyempit (sekarang

disebut celana pensil) lebih di gandrungi ketimbang model celana yang ujung

bawahnya lebar (komprang). Ini tidak lain adalah pengaruh dari media massa

yang disebut dengan teori agenda-setting.

d) Spiral of Silence

Teori spiral of silence atau spiral kebisuan berkaitan dengan pertanyaan

mengenai bagaimana terbentuknya pendapat umum. Dikemukakan pertama kali

oleh Elizabeth Noelle-Neuman, sosiolog Jerman, pada tahun 1974, teori ini

menjelaskan bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut terletak dalam suatu proses

saling mempengaruhi antar komunikasi massa, komunikasi antar pribadi, dan

persepsi individu atas pendapatnya sendiri dalam hubungannya dengan pendapat

orang lain dalam masyarakat. Teori ini mendasarkan asumsinya pada pemikiran

sosial-psikologis tahun 30-an yang menyatakan bahwa pendapat pribadi sangat

penting tergantung pada apa yang dipikirkan oleh orang lain, atau atas yang orang

lain rasakan sebagai pendapat dari orang lain, atau atas apa yang orang rasakan

sebagai pendapat dari orang lain. Berangkat dari asumsi tersebut, spiral of silence

selanjutnya menjelaskan bahwa individu pada umumnya berusaha menghindari

isolasi, dalam arti kesendirian mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu.

Jadi, teori spiral of silence dalam kaitannya pengaruh media terhadap

mahasiswa adalah melahirkan budaya ikut-ikutan pada diri seorang mahasiswa,

karena tidak ingin berada pada zona isolasi yang mempertahankan keyakinannya,

sikap, maupun perilaku sendiri.

2. Pengaruh Teman dan Komunitas

Kelompok teman ataupun komunitas sebagai lingkungan sosial mempunyai

peranan penting bagi perkembangan kesadaran agama. Peranan itu cukup penting

ketika terjadinya perubahan dalam masyarakat, meliputi perubahan struktur keluarga

dari keluarga besar kepada keluarga kecil, kesenjangan antara generasi tua dan muda,

derasnya arus komunikasi yang menerpa kaum muda, panjangnya masa penundaan

memasuki masyarakat orang dewasa.31

Perhatian mahasiswa terhadap teman dan komunitas adalah sebagai akibat

terjadinya beberapa perubahan pada dirinya, yaitu perubahan emosi sebagai akibat

fisik, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok soisal, nilai moral, perilaku

sosial dan kepribadian. Prubahan fisik pada mahasiswa yang mengakibatkan mereka

mempunyai penampilan fisik ideal atau tidak ideal adalah ketika mereka dapat

diterima dan direspon oleh teman atau komunitas.

Ketegangan emosional yang terjadi dalam diri jiwa mahasiswa baik dengan

keluarga dan masyarakat menyebabkan mereka membutuhkan teman untuk

mendengarkan, merasakan dan mencarikan solusi yang dapat dipercaya dan

membantu mereka untuk keluar dari permasalahan. Disinilah peran teman dan

kelompok turut mempunyai andil dalam perubahan sikap dan perilaku mahasiswa.

Kondisi mahasiswa lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah bersama

dengan teman sebagai kelompok. Oleh karenanya, pengaruh teman terhadap sikap,

pembicaraan, penampilan dan tingkah laku serta minat dan nilai-nilai jauh lebih besar

dari pada pengaruh keluarga. Usaha melakukan hal-hal yang negatif memberikan

kesempatan kepada mereka untuk diterima atau ditolak oleh kelompoknya.

31 Syamsu, Psikologi perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Rosdakarya, 2005), 59.

Mahasiswa yang tumbuh kembangnya ditengah keluarga yang fungsi keluarga

berjalan dengan harmonis, penuh kasih sayang dan menjunjung religiusitas,

menghargai prestasi dan nilai-nilai moralitas. Maka akan lahir dan tumbuh seseorang

yang religius dan mampu menghindari diri dari pengaruh-pengaruh yang negatif atau

tidak sehat dari teman. Bahkan ia dapat menjadi panutan dan motor bagi kelompoknya

untuk berprestasi.

Ada beberapa kondisi agar seseorang dapat diterima atau ditolak oleh

kelompoknya:32 (1) Kesan pertama yang menyenangkan akibat penampilan sikap

yang menarik perhatian; (2) Reputasi dan prestasi; (3) Penampilan yang sesuai dengan

kelompok; (4) Perilaku sosial yang ditandai dengan kerjasama, supel, pintar, bijaksana

dan sopan; (5) Memiliki kematangan emosional; (6) Status sosial ekonomi.

Peranan teman dan komunitas bagi mahasiswa memberikan kesempatan untuk

belajar tentang: berinteraksi dengan orang lain, mengontrol tingkah laku sosial,

mengembangkan ketrampilan dan minat yang relefan dengan usianya, bertukar

perasaan dan masalah. Bagi Peter dan Anna Freud, teman telah berperan dalam:

memperbaiki luka-luka psikologi masa remaja, mengembangkan hubungan baru yang

lebih baik, membantu pemahaman tentang konsep diri, masalah dan tujuan hidup yang

lebih jelas, perasaan berharga, perasaan optimis tentang masa depan.33

Pengalaman-pengalaman yang diterima seseorang sebagai hasil interaksi dengan

lingkungan akan menentukan pengetahuan, sikap dan tingkah laku (kepribadian).

Ketika pengalaman yang dilalui menyenangkan, menggembirakan dan

menguntungkan, maka akan kuat pengaruhnya dalam membimbing kepribadian

seseorang. Demikian pula bila pengalaman keagamaan yang dialami seseorang dalam

komunitas dan masyarakat menguntungkan dan menggembirakan dan sesuai dengan

32 Hurlock. Psikologi Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 2000), 217. 33 Syamsu yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Rosdakarya, 2002), 60.

kebutuhan individu, maka ajaran agama akan menjadi dasar yang menentukan

kepribadiannya. Bila yang terjadi sebaliknya, pengalaman beragama yang tidak

menyenangkan, memberatkan dan jauh dari harapan, maka ajaran agama akan sulit

menjadi kepribadian.

Besarnya pengaruh teman terhadap pengaruh keberagamaan atau religiusitas

mahasiswa, juga ditentukan oleh intensitas dan bentuk-bentuk aktivitas yang

dilakukan bersama teman, sebagai contoh dorongan untuk pergi ke mall, kumpul

untuk berbagi cerita, mendiskusikan masalah agama, menonton bersama dan lainya.

Ketika bentuk aktivitas bersama teman lebih banyak mengarah pada hal yang positif,

maka akan berdampak positif untuk terbentuk perilaku keberagamaan.

Dalam diskursus faktor yang mempengaruhi perilaku keberagamaan Islam ditinjau

dari sudut teman dan komunitas, teori foot on the door mungkin sejalan dengan hal

ini. Sebagai contoh, di Amerika Serikat pernah terdapat suatu sekte Kristen yang

dikenal dengan nama The Moonies. Sekte ini dipimpin oleh seorang pendeta bangsa

Korea bernama Sun Myung Moon yang semula adalah pengusaha kaya, tetapi

kemudian terpanggil untuk menyebarkan agama. Moon sendiri adalah seseorang yang

penampilannya biasa saja, cara bicaranya juga pelan, dan tidak pernah menggunakan

paksaan apalagi kekerasan. Akan tetapi sekte ini kemudian menjadi perhatian

pemerintah Amerika Serikat dan akhirnya dilarang karena ada beberapa anggota

keluarga yang mengadu karena kelakuan anak-anaknya berubah, anak-anak tidak mau

sekolah lagi, waktu, tenaga, bahkan uang tabungannya semuanya diserahkan untuk

keperluan sektenya dan mereka memusuhi orang tuanya sendiri. Ketika anggota-

anggota itu ditanya (setelah dibebaskan), mereka mengaku bahwa mereka merasa

tertekan atau terpaksa dan tidak dapat keluar dari lingkungan itu, walaupun tidak

pernah ada paksaan dalam bentuk yang nyata.34

Kelompok Moonies ini merekrut anggota-anggota barunya dengan mengadopsi

teori foot on the door. Mula-mula mereka mendekati orang- orang muda yang

tampaknya sedang membutuhkan teman. Biasanya mahasiswa dari luar kota yang

baru masuk asrama dan belum mempunyai teman dan sejenisnya. Mereka diundang

untuk menghadiri suatu acara makan malam, gratis atau dengan iuran yang sangat

murah. Semuanya dibayari oleh sebuah organisasi mahasiswa bernama CARP

(College Association for Research on Principle). Dalam acara itu ada beberapa orang

rekrutan baru dan beberapa orang senior. Setelah beramah tamah dan makan, mereka

bermain gitar dan beryanyi-nyanyi, pokoknya santai. Kemudia yang senior

menceritakan bahwa mereka juga punya camp (perkemahan) dan kalau tertarik

anggota baru itu boleh ikut ke sana. Kalau mau, malam itu juga kebetulan ada

kendaraan kesana. Beberapa orang tertarik dan ikut ke sana. Akan tetapi sekali sudah

berada di perkemahan, mereka sulit untuk melepaskan diri lagi karena dengan

berbagai teknik mereka dibuat makin terikat oleh sekte itu, sehingga pada akhirnya

mereka merasa yakin terhadap sekte itu. Sikap mereka berubah setelah melalui

serangkaian perubahan perilaku.

Jadi, sekali sebelah kaki sudah masuk keambang pintu rumah (foot on the door),

tinggal menunggu saja untuk dipersilahkan masuk oleh tuan rumah. Dengan perkataan

lain, sekali seseorang sudah menerima sesuatu (bersikap positif), sikap itu cenderung

dipertahankan terus.35 Teori ini lebih sering diterapkan pada organisasi-organisasi

kemahasiswaan (HTI, HMI, PMII, IMM, IPNU, dll) untuk mempertahankan

34 Sarlito W.S, Psikologi Sosiologi,… 287. 35 Ibid, 258-259.

anggotanya, untuk menanamkan ideologi, kebiasaan, perilaku, sikap dan cara

pandangnya.

3. Pengaruh Lingkungan Masyarakat

Kedudukan seseorang (mahasiswa) dalam masyarakat adalah sebagai makhluk

moral, makhluk sosial, dan individual. Beretika dan bersusila dijadikan sebagai

barometer moral kehidupan. sebagai makhluk sosial artinya individu mahasiswa tidak

dapat berdiri sendiri, hidup bersama-sama, dapat menyesuaikan diri dengan norma-

norma, kepribadian, dan pandangan hidup yang dianut masyarakat. Sebagai makhluk

individual artinya tidak melakukan kebebasan sebebas-bebasnya, tetapi disertai rasa

tanggung jawab terhadap diri sendiri, terhadap masyarakat, dan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa.

Dalam masyarakat yang interaksi sosialnya berjalan dengan harmonis, maka

sosio-kulturalnya berdasarkan nilai-nilai keberagamaan dan moralitas. Hal ini akan

melahirkan dan menumbuhkan masyarakat madani, yang menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan, keadilan, kejujuran, persamaan dan toleransi. Sebaliknya, masyarakat

yang gaya hidupnya materialistis dan hedonistis (kenikmatan materi atau jasmani),

hipokratik atau munafik, akan mengabaikan nilai kemanusiaan, diskriminatif,

intoleran dan mendewakan nilai kebendaan yang profan (duniawi).

Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial

dengan menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi

kehidupan lingkungan akan sangat mempengaruhi dan mewarnai input dan

pengetahuan yang diserap. Tingkat kriminalitas yang ada di perkotaan terjadi dalam

masyarakat kota yang finansialnya minim, kondisi perumahan di bawah standar,

derajat kesehatan rendah dan komposisi penduduk yang tidak stabil.36

36 Eitzen AD, Social Problem, (Sydney: allyn and bacon inc. 1986), 400.

Perilaku individu sebagai masalah sosial bersumber dari sistem sosial terutama

dalam pandangan disorganisasi sosial sebagai sumber masalah. Seseorang atau

individu mahasiswa dapat menjadi buruk karena hidup dalam lingkungan masyarakat

yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosialnya kehilangan

kekuatan mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah sehingga

memungkinkan terjadi berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Di dalam masyarakat

yang mengalami disorganisasi sosial, seringkali yang terjadi bukan sekedar

ketidakpastian dan surutnya kekuatan mengikat norma sosial. Tetapi lebih dari itu,

perilaku menyimpang karena tidak memperoleh sangsi sosial kemudian dianggap

sebagai hal yang biasa dan wajar.

Kehadiran individu mahasiswa dalam masyarakat biasanya ditandai dengan

adanya perilaku individu yang berusaha menempatkan dirinya dihadapan individu-

individu lainya yang telah mempunyai pola perilaku yang sesuai dengan norma atau

kebudayaan di tempat dia merupakan bagianya. Disini individu mahasiswa akan

berusaha mengambil jarak dan memproses dirinya untuk membentuk perilakunya

yang selaras dengan keadaan dan kebiasaan yang ada. Perilaku yang telah ada pada

dirinya bisa adjustable, artinya ia bisa meyesuaikan diri, namun ia juga bisa

mengalami malajustment. Artinya gagal menyesuaikan diri.

Sepanjang hidup, setiap orang mengalami sosialisasi dalam lingkungannya.

Thornburg mengatakan bahwa ada lima tahapan sosialisasi, yaitu: (1) kesempatan

belajar sosial, (2) konfirmasi belajar sosial, (3) kematangan sosial, (4) integrasi sosial,

5) menemukan identitas sosial.37

Lingkungan masyarakat yang kondusif bagi perkembangan agama individu

mahasiswa adalah: masyarakat yang memiliki penataan perumahan yang memenuhi

37 Dariyo, Psikologi Perkembangan Remaja, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), 113- 114.

standar kesehatan, adanya sarana dan kapital sosial untuk menjalankan dan

meningkatkan pengamalan nilai-nilai agama, seperti adanya masjid, majelis taklim,

organisasi remaja masjid, pengajian atau ceramah agama, perpustakaan, masyarakat

yang taat menjalankan kewajiban agama baik secara vertikal dan horizontal,

menghindari perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama dan moralitas, seperti

sikap permusuhan, munafik, perbuatan maksiat dan keji lainya, serta memiliki sosial

yang kuat berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan agama.

Untuk mengetahui apakah mahasiswa (khususnya mahasiswa UIN) sudah berada

pada lingkungan yang kondusif bagi perkembangan perilaku keberagamaan individu

sebagaimana yang diharapkan pada paparan sebelumnya, maka kajian terkait

kelompok sosial akan menjadi konsep atau teori penting dalam kaitannya masyarakat

sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku keberagamaan mahasiswa. Kelompok

sosial adalah kehidupan bersama manusia dalam himpunan atau kesatua-kesatuan

yang relatif kecil yang hidup secara guyub. Ada juga beberapa kelompok sosial yang

dibentuk secara formal dan memiliki aturan-aturan yang jelas. Berdasarkan struktur

kelompok dan proses sosialnya, maka kelompok sosial dapat dibagi menjadi menjadi

beberapa karakter yang penting.

Selanjutnya, pembahasan terkait lingkungan sosial masyarakat tentunya juga tidak

akan terlepas dengan teori-teori yang mendukungnya. Berikut beberapa teori sosial

dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku mahasiswa.

a. Teori Behavior

Pendiri aliran behaviorism (behaviorisme) adalah John B. Watson, yang

menyatatakan bahwa behaviorisme sebagai cara untuk menghilangkan kebodohan

dan takhayul dari eksistensi manusia sebagai makhluk sosial dan karenanya

membuka jalan bagi kehidupan yang lebih rasional dan bermakna. Pemahaman

akan prinsip perilaku, menurutnya, adalah langkah pertama kearah kehidupan itu.

Tentu saja, point utama behaviorisme adalah bahwa kajian utamanya berfokus

pada perilaku. Perilaku manusia sadar atau tidak menurut aliran ini sudah barang

tentu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar, lingkungan sekelilingnyalah

yang membentuk perilaku individu tersebut.38 Dalam kaitannya dengan kontek

mahasiswa UIN Sunan Ampel yang hampir seluruhnya adalah mahasiswa

pendatang, suasana masyarakat lingkungan kampus merupakan tempat yang baru

bagi mahasiswa untuk beradaptasi. Menurut teori behaviorisme ini, lingkungan

yang baru bagi mahasiswa akan memberikan pengaruh yang besar, utamanya

dalam pembentukan sikap dan perilaku keberagamaan.

b. Teori Albert Bandura

Teori ini sebenarnya pertama kali dikenal dengan “Teori Sosial Kognitif” yang

dikembangkan oleh Albert Bandura. Teori pembelajarn sosial menyatakan bahwa

faktor-faktor sosial, kognitif dan tingkah laku memainkan peranan penting dalam

pembelajaran (utama kepada mahasiswa yang menjadi fokus kajian dalam

penelitian ini). Faktor kognitif akan mempengaruhi wawasan mahasiswa tentang

pemahaman, sementara faktor sosial, termasuk perhatian mahasiswa tentang

tingkah laku dan imitasi masyarakat social tempat dia tinggal, akan

mempengaruhi perilaku mahasiswa tersebut.

Teori pembelajaran sosial menganggap manusia sebagai makhluk yang aktif,

berupaya membuat pilihan dan menggunakan proses-proses perkembangan untuk

menyimpulkan peristiwa serta berkomunikasi dengan orang lain. Perilaku

manusia tidak ditentukan oleh pengaruh lingkungan dan sejarah perkembangan

38 Sugihartono, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2010), 93.

seseorang atau bertindak pasif terhadap pengaruh lingkungan. Dalam banyak hal,

manusia adalah selektif dan bukan entiti yang pasif, yang boleh dipengaruhi oleh

keadaan lingkungan mereka.

Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam kontek interaksi timbal

balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan.

Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial

jenis ini. Contohnya, seorang yang hidupnya dibesarkan di dalam lingkungan

judi, maka dia cenderung untuk memilih bermain judi, atau sebaliknya

menganggap judi itu adalah tidak baik.

Teori sosial ini juga dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang

belajar dalam keadaan atau lingkungan yang sebenarnya. Bandura (1977)

menghipotesiskan bahwa tingkah laku (B = behavior), lingkungan (E =

environment) dan kejadian-kejadian internal pada seseorang yang mempengaruhi

persepsi dan aksi (P = perception) adalah merupakan hubungan yang saling

berpengaruh atau berkaitan (interlocking). Menurut Albert Bandura, tingkah laku

sering dievaluasi, yaitu bebas dari timbal balik sehingga boleh mengubah kesan-

kesan personal seseorang. Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi

konsepsi diri individu. Teori belajar sosial menekankan, bahwa lingkungan-

lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan, lingkungan-

lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya

sendiri.39

4. Pengaruh Pemahaman Agama terhadap Perilaku Keberagamaan Mahasiswa

Fungsi agama adalah sebagai kontrol sosial. Kontrol sosial yang dimaksud adalah

seluruh pengaruh kekuatan-kekuatan yang yang menjaga terbinanya pola-pola

39 Lebih jelas lihat dalam http://www.psychologymania.com/2011/11/albert-bandura-tokoh-pembelajaran.html , diunduh tanggal 1 Agustus 2013.

kelakuan dan kaidah-kaidah sosial milik masyarakat. Dalam hal ini, agama

memberikan pembatasan (limitasi) dan pengkondisian (conditioning) terhadap

tindakan atau perilaku mahasiswa atau masyarakat itu sendiri. Agama diperankan

untuk bertanggungjawab atas adanya norma-norma religius yang diberlakukannya

atas masyarakat pada umumnya. Agama, dengan demikian mampu menyelesaikan

kaidah-kaidah susila yang baik dan mengukuhkannya sebagai kaidah yang harus

dipatuhi oleh pemeluknya. Sebaliknya, agama menolak kaidah susila yang buruk

untuk ditinggalkan sebagai larangan atau tabu. Agama dalam hal ini, juga

memberikan sangsi-sangsi yang harus dijatuhkan kepada pelanggar sekaligus

melakukan pengawasan ketat terhadap proses implementasinya.

Akhlak merupakan fungsionalisasi agama. Artinya, keberagamaan menjadi tidak

berarti bila tidak dibuktikan dengan berakhlak. Orang mungkin banyak shalat, puasa,

membaca al-Qur’an dan berdoa, tetapi bila perilakunya tidak berakhlak, seperti

merugikan orang, tidak jujur, korupsi dan lain-lain pekerjaan tercela, maka

keberagamaannya menjadi tidak benar dan sia-sia.

Dalam kerangka yang lebih luas, berakhlak berarti ”hidup untuk menjadi rahmat

bagi sekalian alam”. Artinya, hidup berguna bukan hanya untuk Islam, tetapi untuk

seluruh umat manusia dan alam sekitarnya. Bersikap santun dan tidak merusak nilai-

nilai kemanusiaan, hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, dan air sebagai ciri manusia

yang berakhlak luhur.

Pendidikan berarti usaha-usaha sistematis dan pragmatis dalam membentuk

peserta didik supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam. Jadi, yang dimaksud

dengan pendidikan agama bukanlah pendidikan (khusus) agama melainkan

pendidikan yang berdasarkan agama atau menurut pandangan agama. Dan mutlak

harus diberikan kepada mahasiswa baik lewat formal maupun non-formal.40

Pendidikan dan pengajaran agama pada hakikatnya adalah persamaan nilai-nilai

agama agar terbentuk pribadi yang beriman, bertaqwa dan bermoral Islami (Al-

Akhla>q Al-Kari>mah). Oleh sebab itu, pembiasaan dan peneladanan amatlah penting

dalam proses pembelajaran agama.

Pendidikan dan pengajaran agama dapat pula dijadikan sebagai metode dakwah.

Sebab dalam definisi dakwah telah disebutkan bahwa dakwah dapat diartikan dengan

dua sifat,yakni bersifat pembinaan (melestarikan dan membina agar tetap beriman)

dan pengembangan (sasaran dakwah).41

Sikap keimanan dan ibadah adalah penerimaan dan penghayatan yang dimiliki

mahasiswa terhadap kebenaran tentang keimanan dan ibadah dalam Islam sebagai

akibat adanya pengetahuan atau informasi tentang ajaran agama akan bersikap positif

terhadap ajaran agama mereka. Sikap terhadap keimanan diukur dengan keyakinan

kepada Sang Pencipta, keyakinan kepada pengawasan Malaikat Allah, keyakinan

kepada keteladanan Nabi Muhammad SAW, keyakinan akan kebenaran Al-Qur’an

sebagai petunjuk dan bimbingan, keyakinan kepada takdir Allah dan keyakinan

terhadap adanya hidup di akhirat.

Sikap terhadap ibadah diukur dengan keyakinan bahwa shalat akan membuat

hidup optimis, sehat dan teratur. Keyakinan bahwa puasa menjadikan manusia punya

sifat peduli, pengendalian diri dan energik. Keyakinan bahwa dengan membantu,

berinfaq dan bersedekah akan dimudahkan segala urusan dan ditambah nikmat.

Keyakinan dengan membaca Al-Qur’an akan dilindungi dan dibimbing Allah.

40 Sukartini A, Ghofir. Slamet Yusuf, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: PN. Usaha Nasional, 1981), 25. 41 Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Al Ihklas: Surabaya, 1983), 157.

Keyakinan dengan meneladani dan bershalawat kepada Nabi Muhammmad SAW

akan mendapat pertolongan di akhirat nanti.

Akhlak diperlukan untuk pengembangan kualitas diri dalam membangun manusia

Indonesia seutuhnya. Peningkatan kualitas manusia memerlukan persiapan generasi

muda yang notabene mempunyai andil besar untuk menghadapi perkembangan

zaman. Tidak bisa dipungkiri mahasiswa yang hidup di era globalisasi akan

bersenggolan dengan wilayah kebocoran etika. Dengan demikian, tidak

memungkinkan bagi mereka untuk hidup secara rigid dan puritan dalam memegangi

ajaran agamanya, sebagaimana suasana hubungan yang bercorak sufistik, lantaran

kondisi sosial budaya sudah jauh berbeda jika dibandingkan dengan etika kebocoran

etika itu dapat ditutup rapat sehingga tidak bocor.

Pendidikan agama di lembaga pendidikan manapun akan memberi pengaruh

dalam pembentukan jiwa keagamaan. Besar kecilnya pengaruh tersebut tergantung

pada berbagai faktor yang memotivasi mahasiswa untuk memahami nilai-nilai agama.

Sebab pada hakikatnya pendidikan agama adalah pendidikan nilai. Oleh sebab itu,

pendidikkan agama lebih menitikberatkan pada pembentukan kebiasaan yang selaras

dengan tuntunan agama dan pembinaan preventif, yaitu pembinaan dan langkah-

langkah yang bersifat pencegahan terhadap kenakalan, seperti ceramah-ceramah

keagamaan, penyuluhan di sekolah-sekolah dan kegiatan-kegiatan sekolah yang

bersifat positif.42

Setiap individu akan menginterpretasikan nilai-nilai agama yang ada dalam

dirinya dengan cara yang berbeda-beda dan bentuk yang berbeda-beda pula, sesuai

dengan tingkat pemahaman agama (ranah kajian kognitif) yang dimiliki individu

tersebut. Kognisi adalah bagian dari jiwa manusia yang mengolah informasi,

42 Yusuf Qordowi, Generasi Idaman, (Jakarta: PN. Media Dakwah, 1990), 144.

pengetahuan, pengalaman, dorongan, perasaan, dan sebagainya, baik yang dari luar

maupun dari dalam diri sendiri sehingga terjadi simpulan-simpulan yang kemudian

menghasilkan perilaku. Berikut di uraikan beberapa teori tentang kognitif:

a. Teori Lapangan K. Lewin

K. Lewin awalnya adalah seorang pengikut aliran Psikologi Gestalt (bentuk

keseluruhan) di Jerman. K. Lewin mengembangkan teori psikologi Gestalt ini

dengan mengemukakan pendapatnya sendiri yang dinamakan Psikologi

Lapangan. Dengan teorinya ia mencoba menjelaskan apa yang terjadi dalam jiwa

seseorang sehingga terjadi persepsi dan perilaku yang bersifat menyeluruh.

Menurut Lewin, perilaku (behavior) adalah fungsi dari keadaan diri pribadi

(personality) dan lingkungan (environment). Jika dirumuskan menjadi: B=F(P,E).

Faktor-faktor baik dari luar maupun dari dalam pribadi terwakili atau terpetakan

dalam lapangan kesadaran seseorang. Lapangan kesadaran itu digambarkan Lewin

sebagai lapangan yang terbagi-bagi dalam berbagai wilayah (region). Tiap

wilayah mewakili sesuatu dari dalam diri sendiri (aku, tubuhku) dan dari luar

(ibuku, rumahku, temanku, makanan dan sebagainya). Makin banyak pengetahuan

dan pengalaman seseorang, makin majemuk keadaan lapangan psikologinya.43

Wilayah-wilayah itu kemudian akan mempunyai makna di saat-saat tertentu.

Ketika perut lapar, misalnya, makanan jadi punya makna (valensi) positif. Valensi

yang positif akan menarik energi ke wilayahnya sehingga orang tersebut bergerak

atau berperilaku (dinamika lokomosi) kearah wilayah itu, yaitu makanan.

Sebaliknya, ketika lapar itu, wilayah lain, misalnya belajar, justru mempunyai

valensi negatif yang menolak energi, sehingga seseorang menjadi malas belajar

ketika lapar.

43 Sarlito W.S, PSIKOLOGI SOSIAL; Individu dan Teori- Teori Psikologi Sosial, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 82-83.

Jika suatu saat ada dua wilayah yang sama kuat valensi positifnya, maka

bersangkutan akan mengalami konflik, yang dinamakan konflik mendekat-

mendekat. Misalnya, seorang mahasiswa yang sedang melakukan perkemahan di

hutan harus memilih memakan anjing (karena tidak ada lagi makanan) atau

menaati agamanya (yang mengharamkan anjing) yang keduanya mempunyai

valensi positif. Sebaliknya, orang dapat mengalami konlik menjauh-menjauh, jika

kedua wilayah dalam lapangan kesadaran yang bersangkutan bervalensi negatif

sama kuat. Jenis konflik yang lain adalah konflik mendekat menjauh, yaitu suatu

wilayah psikologik dapat mempunyai valensi positif dan negatif sama kuat.

b. Teori Psikologi Kognitif Mutakhir

Banyak orang terpelajar keturunan Yahudi terpaksa melarikan diri dari kejaran

Nazi Jerman menjelang Perang Dunia II. K. Lewin dan tokoh-tokoh psikologi

gestalt lainnya termasuk yang hijrah ke Amerika Serikat. Di Amerika Serikat ini,

ajaran Lewis bertemu dengan aliran Psikologi Behaviorisme yang memang

berasal dari amerika serikat sendiri dan dari pertemuan itulah lahir Psikologi

Kognitif yang sampai hari ini merupakan salah satu aliran yang dominan di

Negara itu.

Inti ajaran dari aliran psikologi kognitif ini adalah bahwa segala informasi

yang masuk diproses dalam kognisi manusia sebelum akhirnya dijadikan

keputusan, simpulan, pandangan, sikap, atau perilaku.44 Artinya, semua

pemahaman agama yang masuk pada semua individu mahasiswa akan diproses

dalam kognisinya sebelum akhirnya akan diwujudkan dalam bentuk pandangan,

sikap, maupun perilaku keberagamaan.

44 Ibid, 85.