bab ii tinjauan pustaka a....

21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepatuhan 1. Pengertian Kepatuhan Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan dan menggambarkan penggunaan obat sesuai dengan petunjuk pada resep serta mencakup penggunaannya pada waktu yang benar (Siregar, 2006). Kepatuhan merupakan suatu hal yang penting agar dapat mengembangkan rutinitas (kebiasaan) yang dapat membantu dalam mengikuti jadwal yang kadang kala rumit dan mengganggu kegiatan sehari-hari. Kepatuhan dapat sangat sulit dan membutuhkan dukungan agar menjadi biasa dengan perubahan. Dengan mengatur, meluangkan waktu dan kesempatan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri. Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang diresepkan serta pemberiannya diikuti dengan benar (Tambayong, 2002). Jenis ketidakpatuhan pada terapi obat, mencakup kegagalan menebus resep, melalaikan dosis, kesalahan dosis, kesalahan dalam waktu

Upload: others

Post on 25-Nov-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepatuhan

1. Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan

nasehat medis atau kesehatan dan menggambarkan penggunaan obat sesuai

dengan petunjuk pada resep serta mencakup penggunaannya pada waktu

yang benar (Siregar, 2006).

Kepatuhan merupakan suatu hal yang penting agar dapat

mengembangkan rutinitas (kebiasaan) yang dapat membantu dalam mengikuti

jadwal yang kadang kala rumit dan mengganggu kegiatan sehari-hari.

Kepatuhan dapat sangat sulit dan membutuhkan dukungan agar menjadi biasa

dengan perubahan. Dengan mengatur, meluangkan waktu dan kesempatan

yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri. Kepatuhan terjadi bila aturan pakai

obat yang diresepkan serta pemberiannya diikuti dengan benar (Tambayong,

2002).

Jenis ketidakpatuhan pada terapi obat, mencakup kegagalan menebus

resep, melalaikan dosis, kesalahan dosis, kesalahan dalam waktu

pemberian/konsumsi obat, dan penghentian obat sebelum waktunya.

Ketidakpatuhan akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang kurang.

Dengan demikian, pasien kehilangan manfaat terapi dan kemungkinan

mengakibatkan kondisi secara bertahap memburuk. Ketidakpatuhan juga

dapat berakibat dalam penggunaan suatu obat berlebih. Apabila dosis

digunakan berlebihan atau apabila obat dikonsumsi lebih sering daripada yang

dimaksudkan, terjadi resiko reaksi merugikan yang meningkat. Masalah ini

dapat berkembang, misalnya seorang pasien mengetahui bahwa ia lupa satu

dosis obat dan menggandakan dosis berikutnya untuk mengisinya (Siregar,

2006).

2. Faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan

Menurut Tambayong (2002) dan Siregar (2006), beberapa faktor

ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan, antara lain:

a. Kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan.

Alasan utama untuk tidak patuh adalah kurang mengerti tentang

pentingnya manfaat terapi obat dan akibat yang mungkin jika obat tidak

digunakan sesuai dengan instruksi.

b. Tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan

pengobatan yang ditetapkan.

c. Sukarnya memperoleh obat diluar rumah sakit.

d.

Mahalnya harga obat.

Pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang

mahal, biaya dan penghentian penggunaan sebelum waktunya sebagai

alasan untuk tidak menebus resep.

e. Kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga, yang mungkin bertanggung

jawab atas pembelian atau pemberian obat.

f. Penyakit

Keadaan sakit pada pasien akan menimbulkan ketidakpatuhan,

kemampuan untuk bekerjasama dan sikap terhadap pengobatan. Pasien

cenderung menjadi putus asa dengan program terapi yang lama dan tidak

menghasilkan kesembuhan kondisi. Bahkan apabila kesembuhan dapat

diantisipasi dengan terapi jangka panjang, masalah masih dapat timbul dan

pasien sering menjadi tidak patuh selama periode pengobatan dilanjutkan.

g. Efek merugikan

Efek samping suatu obat yang tidak menyenangkan misalnya mual

muntah, memungkinkan menghindar dari kepatuhan.

h. Penggunaan/Konsumsi obat

Seorang pasien mungkin bermaksud secara penuh untuk patuh

pada instruksi, ia mungkin kurang hati-hati menerima kuantitas obat yang

salah disebabkan pengukuran obat yang tidak benar atau penggunaan alat

ukur yang tidak tepat.

3. Peningkatan kepatuhan

a. Identifikasi faktor resiko

Semua pasien harus dianggap sebagai seseorang yang mungkin

tidak patuh. Langkah pertama dalam upaya maningkatkan kepatuhan

adalah mengenal individu yang paling mungkin tidak patuh.

b. Pengembangan rencana pengobatan

Rencana pengobatan harus didasarkan pada kebutuhan pasien,

apabila mungkin pasien harus menjadi partisipan dalam keputusan

rencana pengobatan. Untuk membantu ketidaknyamanan dan kelalaian,

dosis obat diberikan pada waktu yang sesuai dengan beberapa kegiatan

tetap dalam jadwal harian pasien. apabila resep ditulis harus sespesifik

mungkin untuk menghindari salah interpretasi. Dalam semua kasus, harus

memastikan bahwa pasien mengerti cara menggunakan obatnya.

c.

Alat bantu kepatuhan

1) Pemberian label

Label tempat obat yang mencantumkan informasi berkaitan

dengan penggunaan, perhatian atau penyimpanan obat akan

meningkatkan pencapaian kepatuhan

2) Kalender pengobatan dan kartu pengingat obat

Berbagai bentuk, seperti kalender pengobatan telah

dikembangkan dan didesain untuk membantu pasien dalam

mengkonsumsi obatnya sendiri. Dalam membantu pasien mengerti

obat yang digunakan dan kapan digunakan, disediakan formulir yang

dapat dicek pasien pada kolom yang sesuai untuk tiap dosis obat

yang digunakan.

d. Pemantauan terapi

Jika dokter atau pelayanan kesehatan lain mengetahui bahwa pasien

tidak menggunakan obat sebagaimana dimaksudkan, ia harus berupaya

memberikan solusi pada setiap masalah.

e. Komunikasi efektif

Keefektifan komunikasi akan menjadi penentu utama kepatuhan

pasien. pasien harus didorong untuk berpartisipasi dalam diskusi dan

apabila mungkin, pasien diikutsertakan dalam proses pembuatan

keputusan. Komunikasi antara dokter atau tenaga kesehatan dan pasien

tentang penggunaan obat, dapat dilakukan baik verbal maupun tertulis,

dan diperkuat oleh instruksi tertulis. Oleh karena itu, libatkan secara

langsung pasien dalam komunikasi dua arah serta memberikan

kesempatan bagi pasien mengajukan pertanyaan.

Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003), perilaku patuh

dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yang meliputi faktor predisposisi

(predisposing factor), faktor pendukung (enabling factor), dan faktor

pendorong (reinforcing factor).

a. Faktor predisposisi (predisposing factor)

Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap

kesehatan, kepercayaan, nilai, keyakinan, dan sebagainya. Faktor-faktor

tersebut mempengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam perilaku

kesehatan.

b. Faktor pendukung (enabling factor)

Faktor yang memungkinkan terjadinya perilaku. Faktor ini meliputi

lingkungan fisik, tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana kesehatan.

c.

Faktor pendorong (reinforcing factor)

Faktor yang memperkuat terjadinya perubahan perilaku. Faktor ini

meliputi sikap dan praktik petugas kesehatan maupun tokoh masyarakat

(Notoatmodjo, 2003).

Model teori ini dapat digambarkan sebagai berikut:

B = f (PF, EF, RF)

Dimana:

B = Behavior

PF = Predisposing factors

EF = Enabling factors

RF = Reinforcing factors

F = fungsi

B. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tau, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa, dan raba. Tahapan tingkat pengetahuan mencakup tahu (know), memahami

(comprehantion), aplikasi (aplication), analisa (analysis), sintesis (synthesis),

dan evaluasi (evaluation) (Notoatmodjo, 2003).

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai pengingat sesuatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahasan yang dipelajari

atau rangsangan yang diterima.

2. Memahami (comprehantion)

Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar.

3. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan mengarahkan materi yang sudah

dipelajari pada situasi dan kondisi.

4. Analisa (analysis)

Analisa diartikan sebagai kemampuan manjabarkan materi yang ada

didalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan atau

menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk yang baru atau

kemampuan untuk menyusun formula yang ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan penilaian

terhadap suatu tindakan atau objek.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengukuran pengetahuan

dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi

materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden (Notoatmodjo,

2003).

C. Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup

terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu

menerima (receiving) yang diartikan bahwa orang (subjek) mau dan

memperhatikan stimulus yang diberikan (objek), merespon (responding) yang

merupakan memberi jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan

tugas yang diberikan, menghargai (valuing) dalam hal ini adalah mengajak orang

lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu

masalah, dan bertanggung jawab (responsible) atas segala sesuatu yang telah

dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.

Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan

responden terhadap suatu objek dan secara tidak langsung dapat dilakukan

dengan pernyataan-pernyataan hipotesa, kemudian ditanyakan pendapat

responden (Notoatmodjo, 2003).

D. Tablet Zat Besi

Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat didalam tubuh

manusia. Besi mempunyai beberapa fungsi essensial didalam tubuh: sebagai alat

angkut oksigen dari paru-paru kejaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron

didalam sel, dan sebagai reaksi enzim didalam jaringan tubuh (Wirakusumah,

1999).

Keseimbangan zat besi dalam tubuh harus dipertahankan agar tubuh tidak

menderita anemia. Artinya jumlah zat besi yang dikeluarkan harus sama dengan

jumlah zat besi yang diperoleh tubuh lewat makanan. Saat kehamilan zat besi yang

dibutuhkan tubuh lebih banyak dibandingkan saat tidak hamil

(Wirakusumah,1999). Zat besi pada wanita hamil penting bagi pembentukan

hemoglobin, yaitu pembentukan sel-sel darah merah yang bertanggung jawab

terhadap transportasi oksigen dari paru-paru ke jaringan-jaringan tubuh bagi sang

ibu maupun janin (Hall, 2000).

Kebutuhan zat besi pada tiap trimester kehamilan, pada trimester pertama,

kebutuhan besi justru lebih rendah dari masa sebelum hamil. Ini disebabkan

wanita hamil tidak mengalami menstruasi dan janin yang dikandung belum

membutuhkan banyak zat besi. Menjelang trimester kedua, kebutuhan zat besi

mulai meningkat. Pada saat ini terjadi pertambahan jumlah sel-sel darah merah.

Pada trimester ketiga, jumlah sel darah merah bertambah mencapai 35 %, seiring

dengan meningkatnya kebutuhan zat besi sebanyak 450 mg. Pertambahan sel

darah merah disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan oksigen dari janin

(Wirakusumah, 1999).

a. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi besi

Menurut Almatsier (2002), absorbsi terjadi di bagian atas usus halus

(duodenum) dengan bantuan alat angkut protein khusus. Ada dua jenis alat

angkut protein didalam sel mukosa usus halus yang membantu penyerapan

besi, yaitu transferin dan feritin. Tranferin yaitu protein yang disintesis

didalam hati. Diperkirakan hanya 5-15 % besi makanan diabsobsi oleh orang

dewasa yang berada dalam status besi baik. Dalam keadaan defisiensi besi

absorbsi dapat mencapai 50 %.

Banyak faktor berpengaruh terhadap absorbsi besi, antara lain:

1) Bentuk besi

Bentuk besi didalam makanan berpengaruh terhadap

penyerapannya. Besi hem yang merupakan bagian dari hemoglobin dan

mioglobin yang terdapat didapat daging hewan yang dapat diserap dua

kali lipat daripada besi non hem. Besi non hem terdapat didalam telur,

sereal, kacang-kacangan, sayuran hijau dan buah-buahan.

2) Asam organik

Vitamin C sangat membantu penyerapan besi non hem dengan

merubah bentuk Feri menjadi Fero.

3) Asam fitat dan asam oksalat didalam sayuran

Faktor-faktor ini mengikat besi sehingga menghambat penyerapan

besi. Vitamin C dalam jumlah cukup dapat melawan sebagian pengaruh

faktor-faktor yang menghambat penyerapan besi.

4) Tanin

Tanin terdapat didalam teh, kopi dan beberapa jenis sayuran dan

buah yang menghambat absorbsi besi dengan cara mengikatnya.

5) Tingkat keasaman lambung

Tingkat keasaman lambung meningkatkan daya larut besi.

Penggunaan obat-obatan yang bersifat basa seperti antasid menghalangi

absorbsi besi.

6) Faktor intrinsik

Faktor intrinsik didalam lambung membantu penyerapan besi,

diduga karena hem mempunyai struktur yang sama dengan vitamin B12.

7) Kebutuhan tubuh

Kebutuhan tubuh akan besi sangat berpengaruh besar terhadap

absorbsi besi. Bila tubuh kekurangan besi atau kebutuhan meningkat pada

masa pertumbuhan, absorpsi besi non hem dapat meningkat sampai

sepuluh kali, sedangkan besi hem dua kali.

b. Fungsi besi

Besi menggabungkan protein untuk membentuk hemoglobin yang

mengangkut oksigen keseluruh tubuh sehingga membantu dalam kontraksi

otot untuk mencegah kelelahan dan sulit bernafas (Thorn, 2004).

Zat besi yang masuk kedalam tubuh serta cadangan makanan yang ada

pada tubuh wanita hamil, akan sangat berguna untuk aktifitas dan

metabolisme ibu, proses pembentukan ASI dan menentukan kualitas ASI

(Ma’sum, 2007).

c. Konsumsi Tablet Zat Besi

Tablet Fe adalah tablet tambah darah untuk menanggulangi Anemia

Gizi Besi yang diberikan kepada ibu hamil. Ikatan Profesi Kedokteran

menganjurkan asupan suplemen setiap hari antara 30-60 miligram besi selama

hamil guna menjamin penyerapan besi yang dibutuhkan setiap hari (Brock,

2007). Preparat Fe biasanya diberikan dalam bentuk garam (seperti ferrous

sulfat, glukonat atau fumarat) atau dalam bentuk gabungan dengan gula

(sacharat) diberikan peroral (Yatim, 2003).

Besi dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin (protein pembawa

oksigen) dalam darah. Selama volume darah meningkat sekitar 45 persen

selama kehamilan, maka hemoglobin dan unsur-unsur utama dalam darah

harus meningkat (Wheeler, 2004). Setiap hari, ibu hamil membutuhkan

tambahan 700-800 mg zat besi. Jika kekurangan, buruk akibatnya, dapat

terganggu proses persalinannya, terjadi perdarahan sehabis melahirkan dan

mungkin juga terjadi infeksi (Nadesul, 2007).

Meskipun dibutuhkan gizi yang baik, suplemen besi mengganggu saluran

pencernaan pada sebagian besar orang. Efek samping, misalnya mual-mual,

rasa panas pada perut, diare atau sembelit. Untuk memulihkan efek samping

yang tidak menyenangkan, dianjurkan untuk mengurangi setiap dosis besi atau

mengkonsumsi makanan bersama dengan tablet besi. Makanan yang kaya

akan vitamin C memperbanyak serapan besi (Brock, 2007).

Kesadaran ibu-ibu hamil agar memeriksakan kehamilannya

ketempat-tempat pelayanan kesehatan yang tersedia harus ditingkatkan

dengan cara memberikan motivasi dan penerangan yang terus menerus pula.

Dengan demikian kehamilan diluar kurun reproduksi sehat dan kehamilan

resiko tinggi lainnya dapat dikurangi (Mochtar, 1998).

d. Dampak ibu hamil kekurangan zat besi

Adapun dampak dari ibu hamil kekurangan zat besi antara lain:

1) Anemia Gizi

Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan

dalam pembentukan hemoglobin, baik karena kekurangan konsumsi atau

karena gangguan absorbsi. Zat besi yang bersangkutan adalah besi,

protein, piridoksin (vitamin B6) yang berperan sebagai katalisator dalam

sintesis hem di dalam molekul hemoglobin, vitamin C yang mempengaruhi

absorpsi dan pelepasan besi dari transferin kedalam jaringan tubuh, dan

vitamin E yang mempengaruhi stabilitas membran sel darah merah.

Anemia gizi merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia.

Sebagian besar anemia gizi adalah anemia gizi besi. Penyebab anemia gizi

besi terutama karena makanan yang dimakan kurang mengandung besi,

pada wanita karena kehilangan darah karena haid dan persalinan

(Almatsier, 2002)

2) Anemia Defisiensi Zat Besi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh

kurangnya zat besi dalam tubuh. Banyak faktor yang dapat menyebabkan

timbulnya anemia defisiensi besi, antara lain, kurangnya asupan zat besi

dan protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi diusus, perdarahan

akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat besi seperti pada

wanita hamil masa pertumbuhan, dan masa penyembuhan dari penyakit

(Djauzi, 2005).

Pada ibu hamil, beberapa faktor risiko yang berperan dalam

meningkatkan prevalensi anemia defisiensi zat besi, antara lain :

a) Umur ibu < 20 tahun dan > 35 tahun.

Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35

tahun, mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil. Karena akan

membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun

janinnya, berisiko mengalami pendarahan dan dapat menyebabkan

ibu mengalami anemia. Usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya

anemia, yaitu semakin rendah usia ibu hamil maka semakin rendah

kadar hemoglobinnya. Muhilal et al (1991) dalam penelitiannya

menyatakan bahwa terdapat kecendrungan semakin tua umur ibu

hamil maka presentasi anemia semakin besar.

b) Pendarahan akut.

c) Pendidikan rendah

d) Pekerja berat.

e) Konsumsi tablet tambah darah < 90 butir.

f) Makan < 3 kali dan kurang mengandung zat besi (Amiruddin, 2007).

D. Hipotesa Penelitian

Ha: Ada hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu hamil tentang tablet zat

besi dengan kepatuhan ibu hamil dalam konsumsi tablet zat besi.

Ho: Tidak ada hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu hamil tentang tablet

zat besi dengan kepatuhan ibu hamil dalam konsumsi tablet zat besi.

E. Kerangka Teori

Faktor Predisposisi

Pengetahuan

Sikap

Kepercayaan

Nilai

Motivasi.

Faktor Pendukung Kepatuhan dalam mengkonsumsi

Ketersediaan fasilitas tablet zat besi

kesehatan

Akses informasi

Lingkungan

Faktor Pendorong

Petugas kesehatan

Tokoh masyarakat

Gambar: Kerangka teori penelitian model Lawrence W. Green (1980) dalam

Notoatmodjo (2003), Tambayong (2002) dan Siregar (2006)

Kurang informasi

Sukarnya memperoleh obat

diluar rumah sakit

Mahalnya harga obat

Kurangnya perhatian dan

kepedulian keluarga

Penyakit

Efek merugikan

Penggunaan/konsumsi

F. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

- Pengetahuan Kepatuhan ibu hamil dalam

- Sikap mengkonsumsi tablet zat besi

Gambar: Skema Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kajian terhadap kerangka teori maka dapat disusun kerangka

konsep, sebagai berikut:

1. Variabel independen (bebas)

Variabel independen meliputi pengetahuan dan sikap

2. Variabel dependen (terikat)

Variabel dependennya kepatuhan ibu hamil konsumsi tablet zat besi.