bab ii tinjauan pustaka a. kerangka teori 1. tinjauan...

42
17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum a. Pengertian Perlindungan Hukum Dalam Kamus bahasa Inggris perlindungan adalah berasal dari kata protection yang berarti protecting or being protected, system protecting atau persoon or thing that protect (www.thelawdictionary.org diakses pada tanggal 10 April 2016 pukul 10.10 WIB). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perlindungan diartikan sebagai tempat berlindung, perbuatan atau hal dan sebagainya memperlindungi (www.kbbi.web.id diakses pada tanggal 10 April 2016 pukul 10.10 WIB). Pemaknaan tersebut pada dasarnya dapat ditarik unsur yang sama yaitu adanya perbuatan melindungi, pihak yang dilindungi dan cara melindungi (Wahyu Sasongko, 2007 : 30). Pengertian hukum adalah kumpulan peraturan atau kaedah mengandung isi yang bersifat umum dan normatif. Umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan dan kaedah (Sudikno Mertokusumo, 2003 : 39). Menurut Subekti (dalam Sudikno Mertokusumo, 2003 : 61) bahwa tujuan hukum itu harus mengabdi kepada tujuan Negara yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyatnya. Beberapa pendapat mengenai definisi perlindungan hukum dari undang-undang maupun para ahli adalah sebagai berikut ini: 1) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia yang dimaksud Perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada.

Upload: trinhhuong

Post on 05-Mar-2018

218 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum

a. Pengertian Perlindungan Hukum

Dalam Kamus bahasa Inggris perlindungan adalah berasal dari

kata protection yang berarti protecting or being protected, system

protecting atau persoon or thing that protect (www.thelawdictionary.org

diakses pada tanggal 10 April 2016 pukul 10.10 WIB). Sedangkan dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia perlindungan diartikan sebagai tempat

berlindung, perbuatan atau hal dan sebagainya memperlindungi

(www.kbbi.web.id diakses pada tanggal 10 April 2016 pukul 10.10

WIB). Pemaknaan tersebut pada dasarnya dapat ditarik unsur yang sama

yaitu adanya perbuatan melindungi, pihak yang dilindungi dan cara

melindungi (Wahyu Sasongko, 2007 : 30).

Pengertian hukum adalah kumpulan peraturan atau kaedah

mengandung isi yang bersifat umum dan normatif. Umum karena berlaku

bagi setiap orang dan normatif karena menentukan bagaimana cara

melaksanakan kepatuhan dan kaedah (Sudikno Mertokusumo, 2003 : 39).

Menurut Subekti (dalam Sudikno Mertokusumo, 2003 : 61) bahwa tujuan

hukum itu harus mengabdi kepada tujuan Negara yaitu mendatangkan

kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyatnya.

Beberapa pendapat mengenai definisi perlindungan hukum dari

undang-undang maupun para ahli adalah sebagai berikut ini:

1) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak

Asasi Manusia yang dimaksud Perlindungan hukum adalah segala

daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun

lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan

pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai

dengan hak-hak asasi yang ada.

18

2) Perlindungan hukum adalah perlindungan oleh hukum atau

perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum (Wahyu

Sasongko, 2007 : 31).

3) Perlindungan hukum adalah suatu tindakan untuk melindungi atau

memberikan pertolongan kepada subjek hukum dengan menggunakan

perangkat-perangkat hukum (Philipus M. Hadjon, 2011 : 10).

4) Perlindungan hukum adalah tindakan atau melindungi mayarakat dari

perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan

aturan hukum untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga

memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai

manusia (Setiono , 2004 : 3).

5) Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak

asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut

diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak

dan kewajiban yang diberikan oleh hukum (Satjipto Raharjo, 2000 :

54).

6) Menurut Theresia Geme (dalam Salim H.S. dan Erlies S.N., 2014 :

262) mendefinisikan perlindungan hukum adalah berkaitan dengan

tindakan negara untuk melakukan sesuatu dengan (memberlakukan

hukum negara secara eksklusif) dengan tujuan untuk memberikan

jaminan kepastian hak-hak seseorang atau kelompok orang.

Definisi di atas dirasa belum lengkap, dikarenakan bentuk

perlindungan dan subjek yang dilindungi berbeda antara satu dengan

lainnya. Menurut Salim H.S. (2014 : 263) pembenaran pengertian

perlindungan hukum yang tepat adalah upaya atau bentuk pelayanan

yang diberikan oleh hukum kepada subyek hukum serta hal-hal yang

menjadi objek yang dilindungi.

b. Bentuk Perlindungan Hukum

Menurut Philipus M. Hadjon (dalam Salim H.S. dan Erlies

S.N., 2014 : 264) menyatakan bentuk perlindungan hukum dapat dibagi

menjadi 2 yaitu:

19

1) Perlindungan Hukum yang Preventif

Perlindungan hukum ini memberikan kesempatan kepada rakyat

untuk mengajukan keberatan atas pendapatnya sebelum suatu

keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Perlindungan

hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat

besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan

bertindak. Adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong

pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang

berkaitan dengan asas freies ermessen dan rakyat dapat mengajukan

keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan

tersebut.

2) Perlindungan Hukum yang Represif

Perlindungan ini berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi

sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang sangat

partial menangani perlindungan hukum bagi rakyat yang

dikelompokan menjadi 3 (tiga) badan yaitu:

a) Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum.

Dewasa ini dalam prakteknya telah ditempuh jalan untuk

menyerahkan suatu perkara tertentu kepada Peradilan Umum

sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

b) Instasi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi.

Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi

pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah

permintaan banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak

yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Instansi

pemerintah yang berwenang untuk merubah bahkan dapat

membatalkan tindakan pemerintah tersebut.

c) Badan-badan khusus.

Merupakan badan yang terkait dan berwenang untuk

20

menyelesaikan suatu sengketa. Badan khusus tersebut antara lain

adalah Kantor Urusan Perumahan, Pengadilan Kepegawaian,

Peradilan Administrasi Negara.

c. Cara Perlindungan Hukum

Pada dasarnya hukum dalam memberikan perlindungan dapat

melalui cara-cara tertentu yaitu dengan (Wahyu Sasongko, 2007 : 31):

1) Membuat peraturan (by giving regulation) yang bertujuan untuk:

a) Memberikan hak dan kewajiban

b) Menjamin hak-hak para subjek hukum

2) Menegakkan peraturan (by law enforcement) melalui:

a) Hukum administrasi negara berfungsi untuk mencegah (preventif)

terjadinya pelanggaran hak konsumen dengan perjanjian dan

pengawasan

b) Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (represive)

pelanggaran hak konsumen dengan mengenakan sanksi pidana dan

hukuman

c) Hukum perdata berfungsi untuk memulihkan hak (curative,

recovery, remedy) dengan pembayaran kompensasi atau ganti

kerugian

2. Tinjauan Umum tentang Perjanjian

a. Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan

verbintenis. Di Indonesia istilah verbintenis yaitu perikatan, perjanjian

dan perutangan. Sedangkan untuk overeenkomst yaitu berarti perjanjian

dan persetujuan. Menurut ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata

menyatakan bahwa Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana suatu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap suatu orang lain atau

lebih (Soeroso, 2011 : 3).

Menurut Salim H.S. (2004 : 15) definisi perjanjian dalam Pasal

1313 KUH Perdata tersebut tidak jelas karena setiap perbuatan dapat

21

disebut perjanjian, tidak tampak asas konsensualisme serta bersifat

dualisme. Subekti (2002 : 1) berpendapat mengenai rumusan tersebut

bahwa walaupun definisi perjanjian tersebut sudah otentik, namun

rumusannya masih tidak lengkap karena hanya menekankan pada

perjanjian sepihak saja dan sisi lain terluas karena dapat mengenai hal-

hal yang berhubungan dengan janji kawin yaitu sebagai suatu perbuatan

yang terdapat dalam bidang hukum keluarga.

Hal tersebut juga didukung dengan adanya pendapat dari Abdul

Kadir Muhammad (dalam Evi Ariyani, 2013 : 2-3) yang tidak setuju

definisi perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata

dikarenakan mempunyai banyak kelemahan, yaitu:

1) Hanya menyangkut sepihak saja. Hal tersebut diketahui dari adanya

kata “satu orang atau lebih lainnya mengikatkan” yang sifat hanya

datang dari satu pihak saja, tidak datang dari kedua belah pihak. Jadi

rumusannya harus “saling mengikatkan diri” agar terdapat konsesus

dari kedua belah pihak.

2) Kata perbuatan mencangkup juga tanpa konsesus karena pengertian

“perbuatan” termasuk juga dalam tindakan melaksanakan tugas tanpa

kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum yang tidak

mengandung suatu konsensus, sehingga lebih tepat jika dipakai kata

“persetujuan”.

3) Pengertian perjanjian telalu luas, karena mencangkup juga masalah

perkawinan yang telah diatur dalam lapangan hukum keluarga.

Padahal yang dimaksud dalam hal tersebut adalah hubungan harta

kekayaan saja. Perjanjian yang dimaksud dalam buku 1313 KUH

Perdata sebenarnya hanya perjanjian yang bersifat kebendaan semata-

mata jadi bukan perjanjian yang bersifat personal.

4) Tanpa menyebutkan tujuan, karena rumusan Pasal itu tidak disebutkan

tujuan untuk mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak yang

mengikatkan diri itu tidak jelas.

22

Rumusan tersebut menegaskan kembali bahwa perjanjian

mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini

berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau

lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang

berhak atas prestasinya tersebut. Rumusan tersebut memberikan

konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua

pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor)

dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut

(kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu orang

atau lebih, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut

juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum (Kartini Muljadi dan

Gunawan Widjaja, 2010 : 91-92).

Penyempurnaan terhadap definisi perjanjian menurut Handri

Raharjo (2009: 41-42) adalah suatu hubungan hukum di bidang harta

kekayaan yang didasari kata sepakat antara subyek hukum yang satu

dengan yang lain dan di antara mereka (para pihak / subjek hukum)

saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas

prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk

melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah

disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum. Secara

garis besar perjanjian dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:

1) Perjanjian dalam arti luas adalah setiap perjanjian yang menimbulkan

akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak,

misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru.

2) Perjanjian dalam arti sempit adalah hubungan-hubungan hukum dalam

lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUH

Perdata, misalnya perjanjian bernama.

b. Unsur Perjanjian

Suatu perjanjian seharusnya memuat tiga macam unsur yaitu:

1) Unsur Essentialia yaitu unsur yang mutlak harus ada agar perjanjian

itu sah yang mana syarat sahnya perjanjian ialah adanya kata sepakat,

23

kecakapan para pihak, obyek tertentu dan kausa atau dasar yang halal

(Evi Ariyani, 2013 : 6). Tanpa keberadaan unsur tersebut maka

perjanjian yang dibuat para pihak menjadi berbeda dan karenanya

menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak.

Sehingga unsur essentialia ini merupakan unsur pembeda dengan

perjanjian lainnya. Semua perjanjian yang disebut dengan perjanjian

bernama yang terdapat dalam KUH Perdata mempunyai unsur

essentialia yang berbeda satu dengan yang lainnya dan karenyanya

memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain (Kartini

Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010 : 86).

2) Unsur naturalia yaitu unsur yang lazim melekat pada perjanjian yang

mana unsur tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara

diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena

sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian. Misal

dalam perjanjian jual beli haruslah penjual menjamin pembeli

terhadap cacat-cacat tersembunyi. Ketentuan ini tidak dapat diimpangi

oleh para pihak, karena sifat dari perjanjian jual beli menghendaki hal

demikan (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010 : 88-89).

3) Unsur accidentalia yaitu unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang

merupakan ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para

pihak, sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan

persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para

pihak. Sehingga pada hakikatnya unsur ini bukan merupakan suatu

bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para

pihak. Misalnya dalam perjanjian jual beli adalah ketentuan mengenai

tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli (Kartini

Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010 : 89-90)

c. Asas- Asas dalam Perjanjian

Aturan –aturan hukum yang menguasai kontrak sebenarnya

penjelmaan dari dasar-dasar filosofis yang terdapat pada asas-asas hukum

secara umum. Asas-asas hukum ini bersifat sangat umum dan menjadi

24

landasan berfikir yaitu dasar ideologis aturan hukum. Beberapa asas

bersifat samar dan hanya dengan upaya keras dapat baru dipahami.

Asas hukum menurut Peter Mahmud Marzuki adalah sumber

bagi sistem hukum sebagai landasan norma menjadi alat uji bagi

norma hukum yang ada, dalam arti norma hukum tersebut pada

akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang

menjiwainya (dalam Agus Yudha Hernoko, 2013 : 102-103).

Menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang

dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi

perikatan yang mengikat bagi para pihak, Oleh KUH Perdata diberikan

berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta

menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian

yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku

bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya

(Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010 : 14).

M. Isnaeni (dalam Agus Yudha Hernoko, 2013 : 105-106)

menyebutkan beberapa asas sebagai tiang penyangga hukum kontrak

yaitu asas kebebasan berkontrak yang berdiri sejajar dengan asas lain

berdasarkan proporsi yang berimbang, yaitu:

1) Asas pacta sunt servanda

2) Asas kesederajatan

3) Asas privaty of contract

4) Asas konsensualisme

5) Asas Iktikad baik

Seminar tetang “Reformaasi Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata” yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Hukum

Nasional (BPHN) pada tahun 1981 menyatakan bahwa undang-undnag

kontrak yang baru akan dibuat berlandasakan pada asas-asas berikut ini

(dalam Agus Yudha Hernoko, 2013 : 106):

1) Asas kebebasan untuk mengadakan berkontrak

2) Asas menjamin perlindungan bagi kelompok-kelompok ekonomi

lemah

3) Asas itikad baik

25

4) Asas keselarasan

5) Asas kesusilaan

6) Asas kepentingan umum

7) Asas kepastian hukum

8) Asas pacta sunt servanda

Terkait asas hukum kontrak sebagaimana diuraikan para ahli di

atas. Maka berikut ini terdapat empat asas dalam hukum kontrak yang

dianggap sebagai saka guru hukum kontrak yaitu:

1) Asas kebebasan berkontrak

Mempelajari asas kebebasan berkontrak maka dapat diketahui

bahwa latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah

adanya paham individualisme yang secara embrional lahir pada

zaman Yunani yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan

berkembang pesat pada zaman renaisance melalui antara lain ajaran-

ajaran Hugo de Grotth, Thomas Hobbes, John Locke dan Rosseau.

Menurut paham individualisme sistemnya orang bebas untuk

memperoleh apa yang dihendaki, hukum kontrak menerapkan asas ini

sebagai perwujudan dalam kebebasan berkontrak. Teori Lisbet fair ini

menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan

jalannya persaingan bebas, dikarenakan pemerintah sama sekali tidak

boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan (sosial ekonomi)

masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas

kepada golongan kuat (ekonomi) untuk menguasai golongan lemah

(ekonomi). Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang

lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkraman pihak yang kuat,

diungkapkan dalam exploitation de homme par l’homme (Salim H.S.,

2004:9-10).

Pada akhir abad ke-19 akibat desakan paham etis dan sosialis,

paham individualisme mulai pudar, terlebih sejak berakhirnya Perang

Dunia II. Paham ini tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin

pihak yang lemah lebih banyak mendapatkan perlindungan. Oleh

26

karena itu kehendak bebas tidak lagi diberikan dalam arti mutlak,

tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum.

Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada

para pihak namun perlu diawasi. Pemerintah sebagai pengemban

kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui

penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah terjadi pergeseran

hukum kontrak ke bidang hukum publik. Melalui campur tangan

pemerintah ini terjadi pemasyarakatan (vermastchappelijking) hukum

kontrak (Salim H.S., 2004 : 9-10).

Hukum perjanjian mempunyai sifat terbuka artinya memberikan

kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan

perjanjian yang berisi dan bermacam apa saja asalkan tidak melanggar

ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-Pasal dalam hukum perjanjian

merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (option law) yang

berarti bahwa pasal-pasal itu boleh dikesampingkan manakala

dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka

diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian

yang mereka adakan (Soeroso, 2011 : 15-16) sesuai Pasal 1337 dan

1338 KUH Perdata.

Hal tersebut dalam perkembangannya tidak lagi bersifat mutlak

tetapi relatif (kebebasan berkontrak yang bertanggungjawab). Asas

inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal-

Pasal dalam hukum perjanjian sebagian besar (karena Pasal 1320

KUH Perdata bersifat memaksa) dinamakan hukum pelengkap. Jika

dipahami secara seksama maka asas kebebasan berkontrak

memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a) Membuat atau tidak membuat perjanjian.

b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun.

c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya.

d) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis maupun

lisan (Handri Raharjo, 2009 : 44).

27

2) Asas konsensualisme

Apabila menyimak rumusan Pasal 1338 (1) KUH Perdata yang

menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Istilah

“secara sah” bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah

(kaitannya dengan Pasal 1320 KUH Perdata) adalah mengikat karena

asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan

diri dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap

pemenuhan perjanjian (Agus Yudha Hernoko, 2013 : 120-121).

Konsensualisme pada dasarnya berasal dari kata consensus yang

berarti sepakat. Sepakat berarti bahwa pada asasnya suatu perjanjian

yang timbul sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan atau

dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila sudah tercapai kata

sepakat mengenai hal yang pokok dan tidak perlu suatu formalitas (R.

Soeroso, 2011 : 16).

Adanya kata sepakat pada prinsipnya sudah mengikat dan sudah

mempunyai akibat hukum, sehingga mulai saat itu juga sudah timbul

hak dan kewajiban diantara para pihak. Syarat tertulis pada dasarnya

tidak diwajibkan untuk suatu kontrak. Namun terdapat beberapa

kontrak yang memang harus ditulis, atau bahkan dibuat oleh atau

dihadapan pejabat tertentu, sehingga disebut kontrak formal. Hal

tersebut merupakan perkecualian dari prinsip umum tentang asas

konsesualisme (Munir Fuady, 2011 : 31).

Asas konsensualisme sebagaimana yang tersimpul dalam Pasal

1320 KUH Perdata syarat sahnya perjanjian yang pertama adalah

tentang kesepakatan, hendaknya tidak juga diinterpretasikan semata-

mata secara gramatikal. Pemahaman asas konsensualisme yang

menekankan pada “sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran

bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang

menjunjung tinggi komitmen dan tanggungjawab dalam lalu lintas

hukum. Sehingga pemahaman asas konsensualisme tidak terpaku

28

sekadar mendasarkan pada kata sepakat saja tetapi juga syarat lain

dalam Pasal 1320 KUH Perdata dianggap telah terpenuhi sehingga

kontrak tersebut menjadi sah (Agus Yudha Hernoko, 2013 : 123).

3) Asas pacta sunt servanda

Istilah pacta sunt servanda berarti janji yang mengikat

maksudnya adalah bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh

para pihak tersebut secara sah oleh para pihak mengikat para pihak

tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut. Istilah terkenalnya

adalah “my word is my bonds”. Mengikatnya secara penuh atas

kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut oleh hukum kekuatannya

dianggap sama dengan kekuatan mengikat dari suatu undang-undang.

Apabila suatu pihak dalam kontrak tidak menuruti kontrak yang telah

dibuatnya, oleh hukum disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksanaan

kontrak secara paksa (Munir Fuady, 2005 : 12-13) sebagaimana diatur

dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.

Asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas kepastian

hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta

sunt servanda menurut Salim H.S. (2004 : 10) adalah asas bahwa

hakim atau pihak ketiga harus menghormati subtansi kontrak yang

dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.

Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap subtansi kontrak

yang dibuat oleh para pihak.

Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal dalam hukum

gereja. Di dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu

perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan

dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang

diadakan oleh kedua belah pihak merupakan perbuatan yang sakral

dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam

perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang

berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan

29

formalitas lainnya. Sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan

sepakat saja (Salim H.S., 2004 : 11).

4) Asas itikad baik

Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik sesuai Pasal

1338 ayat 3 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Perjanjian-

perjanjian harus dilaksanakan degan iktikad baik”. Apa yang

dimaksud dengan iktikad baik (te goeder trouw, good faith) pada

dasarnya perundang-undangan tidak memberikan definisi secara tegas

dan jelas.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud iktikad

adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, kemauan yang baik

(www.kbbi.web.id diakses pada tanggal 10 April 2016 pukul 10.10

WIB). Sedangkan dalam Kamus Hukum Fockema Andrea dijelaskan

bahwa “goede trouw” adalah maksud semangat yang yang menjiwai

para peserta dalam suatu perbuatan hukum atau tersangkut dalam

suatu hubungan hukum. Sedangkan menurut Wirjono prodjodikoro

memeberikan batasan iktikad baik dengan istilah dengan jujur dan

secra jujur (dalam Agus Yudha Hernoko, 2013 : 134)

Handri Raharjo (2009 : 45). membagi iktikad baik menjadi 2

yaitu:

a) Bersifat objektif artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.

b) Bersifat subjektif artinya ditentukan sikap batin seseorang.

Wirjono Prodjodikoro (dalam Agus Yudha Hernoko, 2013 :

137) membagi itikad baik menjadi dua macam yaitu:

a) Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum.

Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan hukum

kepada pihak yang beritikad baik harus bertanggungjawab dan

menanggung risiko. Iktikad semacam ini dapat disimak dalam

ketentuan Pasal 1977 ayat 1 KUH Perdata dan Pasal 1963 KUH

Perdata dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh

30

hak milik atas barang melalui daluwarsa. Iktikad ini bersifat

subyektif dan statis.

b) Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-

kewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian

itikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat

3 KUH Perdata adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti

situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik itikad baik disini terletak

pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu

tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal.

Adapun asas-asas umum hukum perjanjian yang dikenal yang

dikemukakan oleh beberapa ahli adalah sebagai berikut:

1) Asas Tidak Boleh Main Hakim Sendiri

Maksudnya dengan tindakan menghakimi sendiri adalah

tindakan untu melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang

bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan pihak lain yang

berwenang melalui pengadilan atau meminta bantuan hakim, sehingga

akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu, tindakan menghakimi

sendiri tidak dibenarkan oleh hukum (R.Soeroso, 2011 : 14). Asas ini

berkaitan dengan Pasal 1266 KUH Perdata yang menentukan

persetujuan tidak batal demi hukum suatu perjanjian haruslah

dimintakan kepada Hakim.

2) Asas Kepribadian (Personalitas)

Pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian

kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat di dalam Pasal

1317 KUH Perdata tentang janji untuk pihak ketiga (Handri Raharjo,

2009 : 45).

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa

seseorang yang akan melakukan atau membuat kontrak hanya untuk

kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315

KUH Perdata yang intinya seseorang yang mengadakan perjanjian

hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Selain itu diatur pula di

31

dalam Pasal 1340 KUH Perdata yang intinya perjanjian yang dibuat

oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

Namun ketentuan tersebut terdapat pengecualian, yaitu di Pasal

1317 KUH Perdata yang intinya bahwa seseorang dapat mengadakan

perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan syarat yang

ditentukan. Sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata tidak hanya mengatur

perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahlinya

warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

Kedua Pasal tersebut memberikan pegecualian yang intinya

mengatur perjanjian untuk pihak ketiga yaitu untuk kepentingan

(Salim H.S., 2004 : 13) :

a) Dirinya sendiri

b) Ahli waris

c) Orang-orang yang memperoleh hak daripadanya

3) Asas Keadilan

Pembahasan mengenai hubungan antara kedua belah pihak yang

mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian yang kemudian akan

dijadikan suatu dasar hukum bagi para penyepakat (Pasal 1320 dan

Pasal 1338 KUH Perdata) tidak dapat dilepaskan hubungan dengan

masalah keadilan. Berbagai cara telah ditempuh banyak ahli untuk

menciptakan suatu kondisi yang kondusif dan win-win solution untuk

berkontrak secara benar dan memperhitungkan berbagai latar

belakang dan kondisi kedua belah pihak dan melahirkan suatu bentuk

prestasi dan kontra prestasi yang dapat diterima dan dianggap adil

bagi kedua belah pihak.

Menurut Rawls keadilan itu diukur dengan tidak mengorbankan

hak dari satu atau beberapa orang hanya demi keuntungan ekonomis

yang lebih besar bagi masyarakat secara keseluruhan. Konsep

ekonomis tidak boleh bertentangan dengan prinsip kebebasan dan hak

sama bagi semua orang (Agus Yudha Hernoko, 2010 : 43). Keadilan

haruslah dipahami sebagai kesetaraan kedudukan dan hak serta

32

bukanlah merupakan kesamaan hasil yang dapat diperoleh semua

orang (Agus Yudha Hernoko,2014 : 58)

Menurut John Boatright dan Manuel Velasques keadilan dibagi

menjadi 3 yaitu:

1) Keadilan distributif (distributive justice) yaitu hak dan kewajiban

harus dibagi secara adil.

2) Keadilan retributif (retributive justice) yaitu berkaitan dengan

terjadinya kesalahan dimana hukum atau denda dibebankan kepada

orang yang bersalah haruslah bersifat adil.

3) Keadilan kompensatoris (compensatory justice) menyangkut

tentang kesalahan yang dibuat tetapi menurut aspek lain dimana

orang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi

atau ganti rugi kepada pihak lain yang dirugikan (Agus Yudha

Hernoko, 2013 : 50).

Kriteria ketidakadilan menurut menurut Munir Fuady adalah

sebagai berikut:

1) Kriteria utama doktrin ketidakadilan

Suatu kontrak yang sudah ditandatangani oleh kedua belah

pihak, maka tidak semua ketidakadilan dalam kontrak dinyatakan

batal atau dapat dibatalkan manakala dalam kontrak tersebut

terdapat unsur-unsur ketidakadilan. Akan tetapi kontrak tersebut

batal atau dapat dibatalkan jika memenuhi kriteria tersebut.

Kriteria utama agar suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan

karena alasan ketidakadilan (unconscionability) adalah apakah

dalam pengertian dan kebutuhan komersil dari suatu perdagangan

atau suatu kasus, klausula tersebut telah memihak kesatu pihak

sehingga hal tersebut menjadi tidak adil terhadap pihak lainnya

menurut situasi dan kondisi pada saat dibuatnya kontrak yang

bersangkutan (Munir Fuady, 2001 : 53).

2) Teori asumsi risiko dengan doktrin ketidakadilan

Telah dijelaskan pula sebelumnya bahwa tidak semua klausula

33

yang tampaknya tidak adil batal atau dapat dibatalkan berdasarkan

doktrin ketidakadilan (unconscionability) ini. Disamping harus

memenuhi kriteria tertentu doktrin ketidakadilan ini juga

berbenturan dengan prinsip yuridis tentang “asumsi risiko atau

(assumption of risk). Menurut prinsip asumsi risiko ini, jika

seseorang telah menandatangani suatu kontrak sungguhpun dia

tidak membaca semua isi kontrak, oleh hukum dia dianggap telah

mengasumsi risiko dari isi kontrakk yang mungkin tidak adil,

artinya dia sudah bersedia menanggung risiko tersebut.

Akan tetapi apabila seseorang tidak atau sangat terbatas pilihan

atau sangat kurang kekuatan tawar menawarnya, dalam kontrak

terdapat klausula yang begitu tidak adil dan memberatkan salah

satu pihak, maka dia tidak dapat lagi dikatakan telah mengasumsi

risiko. Dalam hal ini kepadanya (pihak yang dirugikan) bahkan

diberikan kewenangan untuk meminta kontrak tersebut batal atau

dibatalkan berdasarkan teori ketidakadilan (unconscionability)

tersebut (Munir Fuady, 2001 : 53-54).

3) Ketidakadilan substantif dan prosedural

Teori ketidakadilan (unconscionability) ini sering dibedakan ke

dalam:

a) Ketidakadilan yang bersifat prosedural

Adanya doktrin ketidakadilan yang bersifat prosedural yang

dimaksudkan adalah ketidakadilan dari klausula kontrak sebagai

akibat dari kedudukan para pihak yang tidak seimbang dalam

proses tawar menawar dari kontrak tersebut.

b) Ketidakadilan yang bersifat substantif

Adanya doktrin ketidakadilan yang bersifat substantif yang

dimaksud adalah klausula dalam kontrak tersebut. Doktrin

ketidakadilan yang bersifat substantif dari kontrak ini misalnya

muncul melalui “doktrin harga yang tidak adil atau (doctrine on

unfair price)” (Munir Fuady, 2001 : 54)

34

4) Keterkejutan yang tidak adil (unfair surprise)

Salah satu wujud dari ketidakadilan dalam kontrak adalah apa

yang disebut dengan keterkejutan yang tidak adil (unfair surprise).

Suatu klausula dalam kontrak dianggap merupakan unfair surprise,

manakala klasula tersebut bukan klausula yang diharapkan oleh

orang yang normal dalam kontrak semacam itu, sementara pihak

yang menulis kontrak mempunyai alasan untuk mengetahui bahwa

klausula tersebut tidak akan sesuai dengan keinginan yang wajar

dari pihak lain, tetapi pihak yang menulis kontrak tersebut tidak

berusaha menarik perhatian pihak lainnya terhadap klausula

tersebut.

Salah satu contoh klausula yang bersifat (unfair surprise) adalah

kontrak baku yaitu kontrak yang yang sudah secara baku yang

menempatkan pihak lain tidak mempunyai posisi tawar menawar

tetapi hanya memiliki pada posisi menerima atau menolak konrak

tersebut (take it or leave it).

Pandangan yang modern dalam hukum kontrak mengajarkan

bahwa klausula dalam kontrak baku hanya mengikat sejauh

klausula-klausula oleh manusia yang normal akan dipandangnya

sebagai klausula yang wajar dan adil. Jika ada klausula tersebut

berisat sebaliknya maka klausula yang bersangkutan oleh hukum

dianggap tidak pernah ada (Munir Fuady, 2001 : 554-55)

5) Klausula pembebasan (exculpatory clause)

Klausula pembebasan (exculpatory clause) adalah suatu

klausula dalam kontrak yang membebaskan salah satu pihak dari

kewajibannya untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh

perbuatannya sendiri. Klausula pembebasan ini dicakup juga oleh

doktrin ketidakadilan baik klausula pembebasan yang

membebaskan pihak pembuatnya dari kesalahan yang bersifat

kesengajaan ataupun hanya kelalaian (Munir Fuady, 2001 : 55).

6) Ganti rugi campur aduk (remedy meddling)

35

Ganti rugi campur aduk (remedy meddling) juga merupakan

salah satu perwujudan dari apa yang dilarang oleh doktrin

ketidakadilan yang mana arti dari remedy meddling adalah suatu

variasi dari berbagai taktik dimana pihak kreditor biasanya penjual

berusaha untuk memperbesar haknya jika pihak debitor wanprestasi

dan mengurangi atau menghapuskan kewajibannya jika digugat

oleh pihak lain dalam kontrak tersebut.Berikut ini adalah wujud

remedy meddling dari yaitu:

a) Ganti rugi tetap (liquidated damages)

Ganti rugi tetap (liquidated damages) merupakan suatu ganti

rugi yang jumlahnya telah ditetapkan secara pasti dan sudah

disebutkan dalam kontrak tersebut, sungguhpun kerugian pada

saat itu belum terjadi. Ganti rugi tetap yang terlalu besar

jumlahnya dianggap sebagai penalty dan tidak dianggap “tidak

adil (unconscion)”. Demikian juga dengan gantirugi tetap yang

terlalu kecil jumlahnya juga dianggap tidak adil.

b) Pemilikan barang jaminan (repossess the security)

Klausula yang memberikan hak kepada kreditor untuk

memiliki barang jaminan jika keditur menganggap hutangnya

atau pelaksanaan kewajiban dari pihak debitor diangap tidak

terjamin lagi juga dapat dianggap sebagai klausula yang dilarang

oleh doktrin ketidakadilan (unconscionability)

c) Penolakan jaminan purna jual (warranty disclaimer)

Pada prinsip pembatasan pemberian jaminan purna jual

sampai batas-batas tertentu adalah sah-sah saja. Tetapi jika

pembatasan tersebut sedemikan rupa misalnya pembatasan

terhadap ganti rugi konsekuensi (consequential damages)

terhadap kerusakan pada tubuh manusia. Karena tidak

dibenarkan berdasarkan doktrin ketidakadilan.

d) Pembatasan ganti rugi (limitation of remedies)

Apabila sampai batas-batas teretntu, suatu ganti rugi dapat

36

saja dibatasi. Tetapi apabila gantirugi dibatasi secara tidak adil

maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan.

e) Klausula penjaminan silang (cross collateralization)

Klausula penjaminan silang adalah suatu teknik dari masing-

masing jual beli (secara kredit) terhadap masing-masing barang

yang sampai dengan dibayar seluruh harga barang tersebut pihak

penjual masih diberikan kewenangan untuk mereposes seluruh

item dari barang tersebut, jual beli kredit dengan memakai

sistem klausula penjaminan silang tersebut juga dirasakan tidak

adil sehingga dianggap sebagi ketentaun yang bertentangan

dengan doktrin ketidakadilan (unconscionability) (Munir Fuady,

2001 : 56-67).

d. Syarat Sah Perjanjian

Syarat sah perjanjian pada dasarnya dapat ditemukan dalam

ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi “Untuk sahnya

perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat:

1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3) Suatu pokok persoalan tertentu

4) Suatu sebab yang tidak dilarang

Keempat unsur tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum

yang berkembang digolongkan ke dalam dua unsur,yaitu:

1) Dua unsur pokok yang menyangkut subyek atau pihak yang

mengadakan perjanjian (unsur subyektif). Unsur subyektif

mencangkup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak

yang berjanji dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan

perjanjian yang mana bila salah satu unsur tak dipenuhi maka

akibatnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

2) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek

perjanjian (unsur obyektif). Unsur Objektif meliputi keberadaan dari

pokok persoalan yang merupakan objek yang diperjanjikan dan causa

37

dari objek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan

tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan

menurut hukum yang mana bila salah satu unsur tak dipenuhi maka

batal demi hukum dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari

perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya (Kartini

Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003: 93-94).

Berikut ini akan dijelaskan mengenai syarat sahnya perjanjian

menurut Pasal 1320 KUH Perdata:

1) Syarat Subyektif

a) Kesepakatan kedua belah pihak

Syarat sah sebuah kontrak yang pertama adalah adanya

konsensus atau kesepakatan kedua belah pihak yang diatur dalam

Pasal 1320 ayat 1 KUH Perdata. Kesepakatan adalah persesuaian

pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak

lainnya. Ada lima cara untuk terjadinya persesuaian pernyataan

kehendak yaitu dengan cara (Salim H.S., 2005 : 33) sebagai

berikut:

(1) Bahasa yang sempurna dan tertulis

(2) Bahasa yang sempurna secara lisan

(3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima pihak lawan

(4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan

(5) Diam atau membisu tetapi asal dapat dipahami atau diterima

pihak lawan

Cara yang paling banyak digunakan adalah dengan

menggunakan bahasa yang sempurna secara lisan dan tertulis.

Kesepakatan yang dicapai tidak boleh karena adanya unsur paksaan

atau dwang (Pasal 1324 KUH Perdata),penipuan (bedrog) (Pasal

1328 KUH Perdata) dan kekhilafan atau dwaling (Pasal 1322 KUH

Perdata). Jika suatu kontrak atau perjanjian itu disebut atas dasar

salah satu unsur tersebut di atas maka kontrak tersebut dapat

dibatalkan (Evi Ariyani, 2013 : 7).

38

b) Kecakapan untuk bertindak

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk

melakukan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum.

Jika subyek hukumnya adalah orang maka, orang –orang yang

mengadakan perjanjian haruslah orang yang cakap dan mempunyai

wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana

ditentukan olehundang-undang. Orang yang cakap dan berwenang

untuk melakukan perbuatan hukum merupakan orang yang sudah

dewasa (yang berumur 21 tahun dan atau sudah kawin).

Adapun orang yang tidak berwenang untuk melakukan

perbuatan hukum adalah:

(1) Orang yang belum dewasa

(2) Mereka yang berada di bawah pengampuan

(3) Istri (Pasal 1330 KUH Perdata), akan tetapi dalam

perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum

sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 jo Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun

1963. Jika subyeknya adalah badan hukum maka harus

memenuhi syarat formal suatu badan hukum. Badan hukum

atau rechtspersoon berarti person atau badan hukum ini dapat

memiliki hak dan kewajiban serta melakukan perbuatan hukum

seperti manusia bahkan juga memiliki kekayaan sendiri. Suatu

badan hukum maka cirinya bahwa harta kekayaan dari badan

hukum tersebut harus terpisah dari kekayaan para pengurusnya

(Evi Ariyani, 2013 : 8-9).

2) Syarat Objektif

a) Suatu hal tertentu

Berbagai literatur menyebutkan bahwa yang menjadi objek

perjanjian adalah prestasi atau pokok perjanjian dimana prestasi

adalah apa yang menjadi kewajiban debitor dan apa yang menjadi

39

hak kreditor baik dapat berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Prestasi harus dapat ditentukan, diperbolehkan, dimungkinkan dan

dapat dinilai dengan uang. Hal ini sesuai dengan Pasal 1332 KUH

Perdata yaitu bahwa hanya barang yang dapat diperdagangkan saja

yang dapat menjadi objek perjanjian (Evi Ariyani, 2013 : 8-9)

b) Adanya sebab atau causa yang halal

Pasal 1336 KUH Perdata menyatakan suatu perjanjian tidak

mempunyai kekuatan mengikat apabila dibuat tanpa sebab atau

dibuat dengan sebab yang palsu atau terlarang. Pengertian sebab

yang halal dapat dilihat dalam Pasal 1337 KUH Perdata yang

menyebutkan suatu sebab adalah terlarang apabla bertentangan

dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum (Evi

Ariyani, 2013 : 9)

e. Jenis-Jenis Perjanjian

Menurut Handri Raharjo (2009 : 59-69) dalam bukunya yang

berjudul “Hukum Perjanjian di Indonesia” menyatakan bahwa perjanjian

dapat dibedakan menurut berbagai cara, yaitu:

1) Perjanjian menurut sumbernya, menurut Sudikno Mertokusumo dapat

dibagi menjadi:

a) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga. Misalnya

perkawinan.

b) Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan adalah

perjanjian yang berhubungan dengan peralihan hukum benda.

c) Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan

kewajiban.

d) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara.

e) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik.

2) Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak, menurut Salim H.S.

dapat dibedakan menjadi:

a) Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak

dan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Perjanjian ini ada 2

40

(dua) macam yaitu timbal balik yang sempurna dan tidak

sempurna. Contohnya perjanjian jual beli.

b) Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban

pada satu pihak saja sedangkan pada pihak lain hanya ada hak.

Contoh: hibah (Pasal 1666 KUH Perdata) dan Perjanjian Pemberian

Kuasa (Pasal 1792 KUH Perdata)

c) Perjanjian menurut keuntungan salah satu pihak dan adanya

prestasi pada pihak yang lain menurut Salim H.S. dapat dibedakan

menjadi:

(1) Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian yang hanya

memberikan keuntungan pada salah satu pihak. Contoh

Perjanjian Hibah.

(2) Perjanjian atas beban yaitu perjanjian dimana terhadap prestasi

dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak

lain dan diantara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut

hukum. Misal Perjanjian Jual Beli dan Sewa Menyewa.

3) Perjanjian menurut namanya, menurut Salim H.S. dapat dibedakan

menjadi:

a) Perjanjian khusus / bernama / nominaat adalah perjanjian yang

memiliki nama dan diatur dalam KUH Perdata. Contoh Perjanjian

yang terdapat dalam KUH Perdata buku III Bab V-XVIII KUH

Perdata antara lain jual beli, perjanjian tukar menukar, perjanjian

perdamaian, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian pinjam pakai,

dan sebagainya.

b) Perjanjian umum / tidak bernama / innominaat / perjanjian jenis

baru adalah perjanjian yang timbul, tumbuh dan hidup dalam

masyarakat karena asas kebebasan berkontrak dan perjanjian ini

belum dikenal sebelum KUH Perdata diundangkan. Dimana unsur

perjanjian ini adalah:

(1) Perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata

(2) Perjanjian yang timbul, tumbuh dan hidup dalam masyarakat

41

(3) Berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Contohnya perjanjian

leasing, perjanjian sewa beli, franchise, joint ventura, kontrak

production sharing, dan sebagainya.

Dikarenakan perjanjian innominaat ini didasarkan pada asas

kebebasan berkontrak maka sistem pengaturan hukum perjanjian

innominaat adalah sistem terbuka / open system. Dilihat dari aspek

pengaturannnya perjanjian innominaat dibedakan menjadi:

(1) Perjanjian innominaat yang diatur secara khusus dan dituangkan

dalam bentuk undang-undang dan atau telah diatur dalam Pasal

tersendiri. Misalnya kontrak production sharing telah diatur

dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi.

(2) Perjanjian innominaat yang diatur dalam peraturan pemerintah,

misalnya tentang waralaba / franchise yang diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

dan perjanjian lembaga pembiayaan konsumen yang diatur

dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang lembaga

Pembiayaan.

(3) Perjanjian innominaat yang belum diatur atau belum ada

undang-undang di Indonesia. Misalnya kontrak rahim atau

surrogate mother.

4) Perjanjian menurut bentuknya menurut Salim H.S dapat dibedakan

menjadi 2 macam yaitu:

a) Perjanjian Lisan/Tidak Tertulis,yang termasuk perjanjian lisan

adalah:

(1) Perjanjian Konsensual menurut J.Satrio adalah perjanjian

dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup

untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan.

(2) Perjanjian riil menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah

perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan

barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan

42

barangnya. Misalnya perjanjian penitipan barang dan perjanjian

pinjam pakai.

b) Perjanjian Tertulis, yang termasuk perjanjian tertulis adalah:

(1) Perjanjian Standar atau baku menurut Djaja S. Meliala adalah

perjanjian yang berbentuk tertulis berupa formulir yang isinya

telah distandarisasi (dibakukan) terlebih dahulu secara sepihak

oleh produsen serta bersifat massal tanpa mempertimbangkan

perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen.

(2) Perjanjian Formal menurut Sudikno Mertokusumo adalah

perjanjian yang ditetapkan dengan formalitas tertentu. Misalnya

perjanjian perdamaian yang harus secara tertulis sesuai Pasal

1851 KUH Perdata, perjanjian hibah dengan akta notaris.

Dimana dalam perjanjian ini dikenal istilah akta yaitu surat yang

diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar

dari pada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula

dengan sengaja untuk pembuktian.

5) Perjanjian yang istimewa sifatnya, yang termasuk dalam perjanjian ini

menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah:

a) Perjanjian liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak

membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya Pembebasan

Hutang menerut Pasal 1438 KUH Perdata.

b) Perjanjian pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak

menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.

c) Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi (Pasal

1774 KUH Perdata).

d) Perjanjian publik adalah perjanjian yang sebagaian atau seluruhnya

dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak

sebagai penguasa (pemerintah). Misalnya perjanjian ikatan dinas.

e) Perjanjian Campuran / contrctus sui generis (Pasal 1601 C KUH

Perdata) dimana dalam perjanjian ini terdapat unsur-unsur dari

beberapa perjanjian bernama yang terjalin menjadi satu sedemikian

43

rupa sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang

berdiri sendiri. Misal perjanjian anatara pemilik hotel dengan tamu.

f) Perjanjian Penanggungan (Borgtocht) adalah suatu persetujuan

dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditor mengikatkan

dirinya untuk memenuhi perikatan debitor bila debitor tidak

memenuhi perikatannya (Pasal 1820 KUH Perdata).

g) Perjanjian Garansi (Pasal 1316 KUH Perdata) dan Derden Beding

(Pasal 1317 KUH Perdata)

(1) Perjanjian Garansi adalah menjamin pihak lain (lawan janjinya)

bahwa seorang pihak ketiga yang ada di luar perjanjian akan

melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan kalau

sampai terjadi pihak ketiga tidak memenuhi maka ia aka

bertanggungjawab untuk itu.

(2) Perjanjian Derden Beding (janji pihak ketiga) adalah suatu

perjanjian berlakukan asas pribadi suatu perjanjian berlaku bagi

pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri (Pasal 1315 KUH

Perdata jo Pasal 1340 KUH Perdata) dan para pihak tidak dapat

mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga kecuali

dalam apa yang disebut janji guna pihak ketiga (Pasal 1317

KUH Perdata).

6) Perjanjian menurut sifatnya menurut Salim H.S. dapat dibedakan

menjadi:

a) Perjanjian Pokok yaitu perjanjian yang utama.

b) Perjanjian accessoir yaitu perjanjian tambahan yang mengikuti

perjanjian utamanya/pokoknya. Misalnya perjanjian fidusia.

c) Perjanjian berdasarkan penggolongan yang lain adalah didasarkan

pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya

kewajiban tersebut.

d) Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian yang hanya meletakkan hak

dan kewajiban kepada masing-masing pihak dan belum

memindahkan hak milik.

44

e) Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang

menyerahkan haknya atas sesuatu kepada pihak lain. Misal

Peralihan hak milik (dalam Handri Raharjo, 2009 : 59-69).

3. Tinjaun Umum tentang Lembaga Pembiayaan Konsumen

a. Pengertian

Pembiayaan yang disediakan di Inggris untuk pengadaan barang

kebutuhan konsumen dikenal dengan istilah kredit konsumen (Consumer

Credit) yang mana di atur dalam Undang-Undang Kredit Konsumen

1974 (Consumer Credit Act 1974). Tetapi di Indonesia, yang lebih

dikenal adalah Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) yang

pengertiannya meliputi juga Kredit Konsumen (Consumer Credit).

Perbedaannya hanya pada perusahaan jasa keuangan yang

membiayainya. Pembiayaan Konsumen dibiayai oleh Perusahaan

Pembiayaan (Financing Company), sedangkan Kredit Konsumen

dibiayai oleh Bank. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar

bank dan lembaga keuangan bukan Bank yang khususnya didirikan untuk

melakukan kgiatan dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan

(Abdulkadir M dan Rilda M, 2000 : 246).

Pengertian Lembaga Pembiayaan consumer finance)

berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga

Pembiayaan berdasarkan Pasal 1 angka 1 adalah badan usaha yang

melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau

barang modal. Sedangkan pengertian Pembiayaan Konsumen Peraturan

Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan

berdasarkan Pasal 1 angka 7 adalah kegiatan pembiayaan untuk

pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran

secara angsuran.

45

b. Dasar hukum

1) Dasar Hukum Substantif

Berikut ini yang merupakan dasar hukum substantif eksistensi

pembiayaan konsumen adalah perjanjian di antara para pihak

berdasarkan asas kebebasan berkontrak, yakni perjanjian antara pihak

perusahaan financial sebagai kreditor dan pihak konsumen sebagai

debitor. Mengenai asas kebebasan berkontrak di atur dalam Pasal

1338 ayat (1) KUH Perdata. Pasal ini mengandung arti bahwa para

pihak boleh membuat berbagai persetujuan / perjanjian baik yang

sudah di atur dalam undang-undang, maupun yang tidak di atur dalam

undang-undang, selama apa yang disepakati itu sah, artinya memenuhi

syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang di atur dalam

Pasal 1320 KUH Perdata (Munir Fuady, 2002 : 164-165).

2) Dasar Hukum Administratif

Dasar hukum yang dijadikan sebagai dasar hukum administratif

bagi keberadaan perusahaan pembiayaan yaitu:

a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia.

b) Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga

Pembiayaan.

c) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang

Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang

Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor.

d) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2015

Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya

Pembuatan Akta Jaminan Fidusia (Munir Fuady,2002:164-165).

e) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan

Eksekusi Jaminan Fidusia.

f) Perjanjian Pembiayaan Konsumen pada Lembaga Pembiayaan

Konsumen itu sendiri.

46

c. Pihak dalam Pembiayaan Konsumen

Pihak dalam Pembiayaan Konsumen itu terdiri dari:

1) Perusahaan Pembiayaan Konsumen

Perusahaan Pembiayaan Konsumen adalah badan usaha yang

berbentuk PT atau Koperasi yang melakukan kegiatan pembiayaan

untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan

sistem pembayar angsuran atau berkala oleh konsumen. Perusahaan

tersebut menyediakan jasa kepada konsumen dalam bentuk

pembayaran harga barang secara tunai kepada Pemasok (Supplier).

Antara perusahan dan konsumen harus ada lebih dahulu kontrak

Pembiayaan Konsumen yang sifatnya memberi kredit. Perusahaan

wajib menyediakan kredit sejumlah uang kepada konsumen sebagai

harga barang yang dibelinya dari pemasok, sedangkan pihak

konsumen wajib membayar kembali kredit secara angsuran kepada

Perusahaan tersebut (Abdulkadir M. dan Rilda M., 2000 : 247-248).

Faktor yang mempengaruhi pembayaran angsuran yang

diberikan oleh Perusahaan Pembiayaan Konsumen adalah:

a) Tingkat suku bunga yang dikenakan yang mana penentuannya atas

dasar tingkat bunga di pasaran dan hasil analisis dan evaluasi atas

debitor. Faktanya, tingkat bunga dikenakan oleh kreditor bersifat

fixed rated method untuk jangka waktu yang telah disepakati.

Biasanya kreditor akan mengenakan tingkat suku bunga yang tinggi

untuk mengantisipasi fluktuasi bunga.

b) Cara pembayaran yang dilakukan debitor sangat dipengaruhi

perhitungan dalam transaksi pembiayaan konsumen. Pada

umumnya pembayaran yang dilakukan bervariasi bulanan,

triwulan, semesteran sesuai kemampuan debitor.

c) Lama Kontrak akan menentukan besar angsuran yang mana

semakin cepat maka semakin besar bayaran angsuran.

d) Fluktuasi mata uang dapat mempengaruhi dalam perhitungan

transaksi pembiayaan konsumen.

47

e) Harga beli barang sangat berpengaruh terhadap net fasilitas yang

dibiayai kreditor yang akhirnya mempengaruhi pembayaran

angsuran yang dilakukan (Budi Rachmat, 2004 : 191)

2) Konsumen atau Debitor

Konsumen atau Debitor adalah pihak pembeli barang dari

Pemasok atas pembayaran oleh pihak ketiga yaitu Perusahaan

Pembiayaan Konsumen. Konsumen tersebut berstatus perorangan

(individu) dapat pula perusahaan bukan badan hukum. Pihak

konsumen biasanya masyarakat karyawan, buruh, petani yang

berpenghasilan menengah ke bawah yang belum tentu mampu bila

membeli barang kebutuhannnya itu secara tunai.

Dalam hal pemberian kredit, risiko menunggak angsuran oleh

konsumen merupakan hal yang biasa terjadi. Oleh karena itu, pihak

perusahaan konsumen dalam memberikan kredit kepada konsumen

masih memerlukan jaminan terutama jaminan fidusia atas barang

yang dibeli itu, di samping pengakuan hutang (promissory notes ) dari

pihak konsumen (Abdulkadir M. dan Rilda M., 2000 : 248).

Alasan Debitor menggunakan fasilitas Kredit dari Pembiayaan

Konsumen adalah:

a) Tidak terlalu banyak persyaratan dibandingkan dengan sumber

pembiayaan lainnya.

b) Tidak berorientasi pada jaminan.

c) Tidak mengganggu keuangan konsumen karena angsuran

disesuaikan dengan kemampuan konsumen.

d) Proses cepat.

e) Pembayaran angsuran dapat dibayar melalui anggaran rutin

bulanan konsumen dari pendapatan yang diterimanya.

f) Pembayaran angsuran tetap sehingga memudahkan pengaturan

pengelolaan keuangan debitor (Budi Rachmat, 2004 : 188-199).

3) Pemasok (Supplier)

Pemasok adalah pihak penjual barang kepada konsumen atas

48

Perusahaan Pembiayaan

Konsumen (Kreditor)

pembayaran oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan pembiayaan

konsumen. Hubungan kontraktual antara pemasok dan konsumen

adalah jual beli bersyarat yang mana pembayaran dilakukan oleh

pihak ketiga atau pembiayaan konsumen. Antara pemasok dan

konsumen terdapat hubungan kontraktual dimana pemasok wajib

menyerahkan barang kepada konsumen dan konsumen wajib

membayar harga barang secara angsuran kepada perusahaan yang

telah melunasi harga barang secara tunai (Abdulkadir M. dan Rilda

M., 2000 : 249).

d. Kedudukan Para Pihak

Ada tiga pihak yang terlibat dalam suatu transaksi pembiayaan

konsumen yaitu pihak perusahaan pembiayaan, pihak konsumen dan

pihak supplier. Hubungan satu sama linnya dapat dilihat dalam diagram

berikut ini:

(Harga Barang)

(Perjanjian Pembiayaan) (Perjanjian

Jual Beli)

(Penyerahan Barang)

Bagan I.

Para Pihak dalam Pembiayaan Kosumen

1) Hubungan Pihak Kreditor dengan Konsumen

Hubungan antara pihak kreditor dengan konsumen adalah

hubungan kontraktual dalam hal ini kontrak pembiayaan konsumen.

Dimana pihak pemberi biaya sebagai kreditor dan pihak penerima

biaya (konsumen) sebagai debitor. Pihak pemberi biaya berkewajiban

Supplier

Konsumen

(Debitor)

49

utama untuk memberi sejumlah uang untuk pembelian suatu barang

konsumsi, sementara pihak penerima biaya (konsumen)

berkewajiaban utama untuk membayar kembali uang tersebut secara

cicilan kepada pihak pemberi biaya. Jadi hubungan kontraktual antara

pihak penyedia dana dengan pihak konsumen adalah sejenis perjanjian

kredit (dalam KUH Perdata) berlaku, sementara ketentuan perkreditan

yang diatur dalam peraturan perbankan secara yuridis formal tidak

berlaku berhubung pihak pemberi biaya bukan pihak bank sehingga

tidak tunduk kepada peraturan perbankan.

Konsekuensi yuridis dari perjanjian kredit tersebut, maka

seluruh kontrak ditandatangani, dan dana sudah dicairkan serta barang

sudah diserahkan oleh supplier kepada konsumen, maka barang yang

bersangkutan sudah langsung menjadi miliknya konsumen, walaupun

kemudian biasanya barang tersebut dijadikan jaminan hutang lewat

perjanjian fidusia.

2) Hubungan Pihak Konsumen dengan Supplier

Pihak konsumen dengan pihak supplier terdapat suatu hubungan

jual beli, dalam hal ini jual beli bersyarat, dimana pihak supplier

selaku penjual menjual barang kepada pihak konsumen selaku

pembeli, dengan syarat bahwa harga akan dibayar oleh pihak ketiga

yaitu pihak pemberi biaya. Syarat tersebut mempunyai arti bahwa

apabila karena alasan apapun pihak pemberi biaya tidak dapat

menyediakan dananya, maka jual beli antara pihak supplier dengan

pihak konsumen sebagai pembeli akan batal.Karena adanya perjanjian

jual beli, maka seluruh ketentuan tentang jual beli yang relevan akan

berlaku. Misalnya tentang adanya kewajiban “menanggung” dari

pihak penjual, kewajiban purna jual “garansi”,dan sebagainya.

3) Hubungan Penyedia Dana dengan Supplier

Pihak penyedia dana (pemberi biaya) dengan pihak supplier

(penyedia barang) tidak mempunyai suatu hubungan hukum yang

khusus, kecuali pihak penyedia dana hanya pihak ketiga yang

50

disyaratkan yaitu disyaratkan untuk menyediakan dana untuk

digunakan dalam perjanjian jual beli antara pihak supplier dengan

pihak konsumen(Munir Fuady, 2002 : 165-167).

Oleh karena itu jika pihak penyedia dana atau pihak ketiga yang

disyaratkan melakukan wanprestasi, padahal kontrak jual beli dan

kontrak pembiayaan konsumen telah selesai dilaksanakan,maka jual

beli bersyarat antara pihak supplier dengan konsumen akan batal oleh

pemasok dan pihak konsumen dan pemasok dapat menggugat pihak

pemberi dana atau pihak ketiga berdasarkan wanprestasi (Abdulkadir

M. dan Rilda M., 2000 : 249).

e. Jaminan dalam Pembiayaan Konsumen

Jaminan-jaminan yang diberikan dalam transaksi pembiayaan

konsumen ini pada prinsipnya serupa dengan jaminan terhadap perjanjian

kredit bank biasa, khususnya kredit konsumsi. Berikut ini adalah

pembagian jenis jaminan:

1) Jaminan Utama

Dikarenakan sebagai suatu kredit, maka jaminan pokoknya

adalah kepercayaan dari debitor (konsumen) bahwa pihak konsumen

dapat dipercaya kepada debitor (konsumen) bahwa pihak konsumen

dapat dipercaya dan sanggup membayar hutang-hutangnya. Jadi

disini, prinsip pemberian kredit berlaku. Misalnya prinsip 5C

(Collateral, Capacity, Character, Capital, Condition of Economy)

2) Jaminan Pokok

Dikarenakan sebagai jaminan pokok terhadap transaksi

pembiayaan konsumen adalah barang yang dibeli dengan dana

tersebut. Jika dana tersebut diberikan misalnya untuk beli mobil, maka

mobil yang bersangkutan menjadi jaminan pokoknya. Biasanya

jaminan tersebut dibentuk dalam bentuk Fiduciary Transfer Of

Ownership (fidusia), karena adanya fidusia ini, maka biasanya seluruh

dokumen yang berkenaan dengan kepemilikan barang yang

51

bersangkutan akan dipegang oleh pihak kreditor (pemberi dana)

hingga lunas.

3) Jaminan Tambahan

Sering juga dimintakan jaminan tambahan terhadap transaksi

pembiayaan konsumen ini, walaupun tidak seketat jaminan untuk

pemberian kredit bank. Biasanya jaminan tambahan terhadap transaksi

seperti ini berupa pengakuan hutang (Promissory Notes) atau

Assignment of Proceed (cessie) dari asuransi. Disamping itu, sering

juga dimintakan persetujuan istri/suami untuk konsumsi pribadi dan

persetujuan komisaris (RUPS) untuk konsumsi perusahaan sesuai

dengan anggaran dasarnya (Munir Fuady, 2002 : 168).

f. Pembayaran Angsuran

Sesuai dengan Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Perjanjian

Jual Beli yang telah dilaksanakan, pihak konsumen membayar harga

barang kepada Perusahaan Pembiayaan Konsumen secara angsuran

sampai lunas. Sebelum pembayaran lunas, semua dokumen kepemilikan

atas barang diserahkan kepada dan dikuasai oleh Perusahaan Pembiayaan

Konsumen sebagai jaminan secara fidusia. Apabila konsumen melakukan

wanprestasi dalam arti tidak mampu lagi membayar, maka Perusahaan

Pembiayaan Konsumen berdasarkan Kuasa Untuk Menjual dapat

melakukan penjualan barang guna menutup hutang konsumen yang

belum dilunasi (Abdulkadir M. dan Rilda M., 2000 : 254).

Faktanya terdapat beberapa kelompok dokumentasi yang sering

diperlakukan dalam praktek pembiayaan konsumen, yang dapat

digolongkan dalam:

1) Dokumen Pendahuluan

Berikut ini yang termasuk dokumen pendahuluan,termasuk

misalnya:

a) Credit Application Form

b) Surveyor Report

c) Creditor Approval Memorandum

52

2) Dokumen Pokok

Berikut ini yang termasuk dalam dokumen pokok adalah

perjanjian pembiayaan konsumen itu sendiri. Perjanjian mana

mempunyai terms and conditions yang mirip dengan kredit konsumsi

dari perbankan.

3) Dokumen Jaminan

Berikut ini termasuk dalam dokumen jaminan termasuk antara

lain perjanjian fidusia, cessie asuransi, kuasa menjual (dan kuitansi

kosong yang ditandatangani oleh konsumen) dan Pengakuan Hutang,

persetujuan istri / suami atau persetujuan komisaris / Rapat Umum

Pemegang Saham (RUPS).

4) Dokumen Kepemilikan Barang

Berikut ini yang termasuk dalam dokumen kepemilikan barang,

yang biasanya berupa BPKB, fotocopy STNK dan/atau faktur-faktur

pembelian, kuitansi pembelian, sertifikat kepemilikan.

5) Dokumen Pemesanan dan Penyerahan Barang

Dalam hal dokumen pemesanan dan penyerahan barang,

biasanya diberikan Certificate of Delivery and AccePTance, Delivery

Order, dan lain-lain.

6) Dokumen Pendukung (Supporting documents)

Berikut ini yang termasuk supporting documents berisikan

dokumen-dokumen pendukung lain-lain, yang untuk konsumen

individu misalnya:

a) Fotocopy KTP

b) Fotocopy kartu keluarga (KK)

c) Pas Foto

d) Daftar gaji

Sementara untuk konsumen yang merupakan suatu perusahaan

dokumen pendukungnya adalah:

a) Anggaran dasar perusahaan beserta seluruh perubahan dan

tambahannya

53

b) Fotocopy KTP yang diberi hak untuk menandatangani

c) NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)

d) SIUP ( Surat Izin Usaha Perdagangan)

e) TDP (Tanda Daftar Perusahaan)

f) Bank Statements

Faktanya biasanya sangat bertentangan dengan hal tersebut,

dokumen-dokumen apa saja yang diperlukan sebenarnya sangat

bervariasi, bergantung kepada jenis barang yang dibiayai dan juga

kepercayaan kreditor terhadap konsumennya (Munir Fuady, 2002 : 169-

170).

g. Mekanisme Pembiayaan Konsumen

Mekanisme transaksi pembiayaan konsumen hampir sama

dengan sewa guna usaha. Adapun mekanime pembiayaan konsumen

yaitu:

1) Tahap permohonan

Sebelum mengajukan permohonan untuk mendapatkan fasilitas

pembiayaan konsumen debitor lebih dahulu melampirkan dokumen

pendukung yang mana permohonan pembiayaan konsumen biasanya

dilakukan debitor di tempat supplier penyedia barang kebutuhan

konsumen yang telah bekerja sama dengan perusahaan pembiayaan

konsumen

2) Tahap pengecekan dan pemeriksaan lapangan

Marketing department akan melakukan pengecekan atas

kebenaran dari pengisian formulir aplikasi dengan melakukan analisis

dan evaluasi terhadap data dan informasi yang telah diterima yang

dilanjutkan dengan kunjungan,pengecekan, dan observasi secara

umum.

3) Tahap pembuatan Costomer Profil

Berdasarkan pemeriksaan lapangan, Marketing department akan

membuat Customer Profil yang isinya menggambarkan tentang:

a) Nama

54

b) Alamat

c) Nomor telepon

d) Nomor KTP

e) Pekerjaan

f) Alamat kantor

g) Kondisi pembiayaan yang diajukan

h) Jenis dan tipe barang kebutuhan konsumen

i) Data lain yang mendukung

j) Tahap pengajuan proposal kepada kredit komite

Marketing department akan mengajukan proposal terhadap

permohonan yang diajukan oleh debitor kepada Kredit Komite.

Proposal yang diajukan biasanya terdiri dari tujuan pemberian fasilitas

pembiayaan konsumen, latar belakang kreditor, analisis risiko, saran

dan kesimpulan serta struktur fasilitas pembiayaan yang mencangkup

harga barang, uang muka, bunga, jangka waktu, tipe, jenis barang.

4) Keputusan kredit komite

Keputusan ini merupakan dasar bagi kreditor untuk melakukan

pembiayaan atau tidak. Apabila ditolak maka harus diberitahukan

melalui surat penolakan namun apabila disetujui maka Marketing

department akan meneruskan ketahap selanjutnya.

5) Tahap pengikatan

Berdasarkan keputusan kredit komite maka bagian legal akan

mempersiapkan pengikatan kontrak perjanjian pembiayaan konsumen.

6) Tahap pemesanan barang kebutuhan konsumen

Setelah proses penandatanganan perjanjian dilakukan oleh

debitor dan kreditor maka akan dilakukan pemesanan barang kepada

Supplier

7) Tahap pembayaran pada Supplier

Setelah barang diserahkan oleh Supplier kepada debitor maka

selanjutnya Supplier akan melakukan penagihan kepada kreditor

dengan lampiran kuitansi penuh, kuitansi uang muka, bukti

55

pengiriman, surat pernyataan BPKB, dan lampiran lain yang

dibutuhkan.

8) Tahap penagihan/ Monitoring pembayaran

Monitoring yang dilakukan kreditor tidak hanya sebatas

monitoring pembayaran angsuran dari debitor, kreditor juga

melakukan monitoringterhadap jaminan, jangka waktu berlakunya

jaminan dan masa berlaku penutupan asuransi.

9) Pengambilan Surat Jaminan

Apabila seluruh kewajiban debitor telah dilunasi, maka kreditor

akan mengembalikan jaminan berupa BPKB dan dokumen lain bila

ada (Budi Rachmat, 2004 : 192-195).

h. Bentuk dan Substansi Perjanjian Pembiayaan

Pada umumnya sebuah kontrak haruslah memperhatikan

struktur dan anatomi kontrak yang di buat. Adapun anatomi kontrak

secara umum menurut Ray Wujaya (Salim H.S. dkk, 2008 : 96) yaitu:

1) Judul (heading)

2) Pembukaaan

3) Komparisasi (para pihak)

4) Premis (recital)

5) Isi perjanjian

6) Penutup

7) Tandatangan

Berbeda halnya dengan anatomi sebuah kontrak yang

berdimensi nasional. Berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai

kontrak yang dibuat oleh pihak yang mengacu pada dimensi kontrak

nasional, maka anatominya adalah sebagai berikut (Salim H.S. dkk, 2008

: 98):

1) Judul Kontrak

2) Pembukaan kontrak

3) Komparisi

56

4) Resital (konsiderans atau pertimbangan)

5) Definisi

6) Pengaturan hak dan kewajiban

7) Domisili

8) Keadaan memaksa

9) Kelalaian dan pengakhiran kontrak pola penyelesaian sengketa

10) Penutup

11) Tanda tangan

Begitupula dengan anatomi yang dimiliki oleh perusahaan

pembiayaan pasti memiliki anatomi sendiri dengan perjanjiannya. Pada

umumnya Perusahaan pembiayaan yang menyodorkan kontrak baku

kepada debitor/penerima fasilitas/konsumen, maka para tinggal

menyetujui atau tidak kontrak tersebut. Bentuk kontraknya adalah tertulis.

Sementara isi kontrak ditentukan secara sepihak oleh perusahaan

pembiayan (Salim H.S., 2008 : 139-140)

Berdasarkan hasil kajian terhadap subtansi perjanjian

pembiayaan yang disiapkan oleh perusahaan pembiayaan, maka dapat

diketahui bahwa substansi kontraknya sangat singkat. Adapun struktur

kontraknya secara umum dalam perusahaan pembiayaan meliputi (Salim

H.S., 2008 : 139-140):

1) Judul Kontrak

2) Komparisi

3) Substansi

4) Penutup

57

B. KERANGKA PEMIKIRAN

A

Bagan II.

Kerangka Pemikiran

Keterangan :

Alur berfikir sebagaimana kerangka di atas akan memberikan

Perjanjian Pembiayaan Konsumen PT

Summit Oto Finance

D

E

B

I

T

O

R

K

R

E

D

I

T

O

R

Terdapat

klausul yang

bertentangan

dengan

peraturan

perundang-

undangan

Dokumen Ditandatangani

Para Pihak

Bentuk Perjanjian Baku untuk pengadaan

barang berupa kendaraan bermotor dengan

sistem kredit

Perjanjian Mengikat Para Pihak

Perlindungan Hukum dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata

Perjanjian innominaat atau

Perjanjian tidak bernama

Asas Kebebasan

Berkontrak

Asas Keadilan

58

gambaran yang disusun secara sistematis oleh Penulis. Sehingga dapat

berguna untuk menjawab perumusan masalah yang telah dipaparkan dimuka.

Pemaparan akan dimulai dari bahasan umum mengenai perjanjian yang mana

salah satu bentuk perjanjian adalah perjanjian innominaat atau perjanjian

tidak bernama. Salah satu contohnya adalah perjanjian pembiayaan

konsumen. Di sini penulis mengambil contoh perjanjian pembiayaan

konsumen pada PT Summit Oto Finance yang mana bentuknya biasanya

sudah berbentuk perjanjian yang tertulis yang telah dibakukan oleh lembaga

pembiayaan tersebut.

Bentuk perjanjiannya adalah perjanjian tertulis, dikarenakan lebih

mudah dijadikan sebagai alat bukti terjadinya sebuah perjanjian. Di dalam

perjanjian pembiayaan tersebut sudah berbentuk perjanjian baku, sehingga

kreditor tinggal membubuhkan tandatangan bila menyetujui perjanjian

tersebut.

Setelah dikaji lebih mendalam, ternyata terdapat beberapa klasul yang

memang menurut Penulis bertentangan dengan Peraturan Perundang-

Undangan. Selain itu dalam klausul tersebut menurut Penulis lebih banyak

memberikan keuntungan bagi pihak Kreditor. Sedangkan pihak debitor di sini

selaku pihak yang merasa dirugikan. Alasan pengefektifanlah yang selalu

menjadi alasan bagi pelaku usaha dalam menerapkan perjanjian baku yang

tidak banyak memberikan perlindungan hukum bagi pihak Debitor.

Sehingga menarik untuk dikaji dalam penulisan ini mengenai bentuk

perlindungan apa saja yang diberikan di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata dalam melindungi Debitor dalam sebuah perjanjian

khususnya perjanjian Pembiayaan Konsumen pada PT Summit Oto Finance

tersebut terhadap debitor yang telah mengikatkan diri dengan perjanjian

tersebut. Bentuk perlindungan hukum kepada debitor yang telah tunduk

dalam suatu perjanjian pembiayaan konsumen tersebut dapat pula di lihat dari

penerapan terhadap asas kebebasan berkontrak dan asas keadilan apakah

dalam pelaksanaannya telah sesuai dengan teori atau tidak.