bab ii tinjauan pustaka a. empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Empati
1. Pengertian Empati
Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai
respon individu terhadap emosi orang lain, seolah individu yang bersangkutan mengalami
sendiri keadaan emosi serupa yang dialami oleh orang tersebut. De Vito (2000) berpendapat
bahwa empati adalah kemampuan untuk memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh
orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut. Kemampuan empati dapat ditunjukkan
dengan cara aktif terlibat bersama orang lain melalui ekspresi wajah dan gerajan tangan,
konsentrasi yang memfokuskan pada kontak mata, memperhatikan gerak tubuh, ketertutupan
fisik, dan melakukan sentuhan fisik.
Koestner dan Frasz (1990) mengartikan empati sebagai kemampuan untuk
menempatkan diri dengan orang lain tanpa secara nyata harus terlibat dalam perasaan atau
anggapan orang tersebut. Eissenberg dan Mussen (dalam Eissenberg dan Stayer, 2002)
berpendapat bahwa empati merupakan keadaan afektif yang seolah-olah dialami sendiri yang
berasal dari keadaan atau kondisi emosi orang lain yang mirip dengan keadaan atau kondisi
orang tersebut. Menurut Seagal (dalam Taufik, 2012) empati adalah mengetahui perasaan
orang lain, empati dianggap sebagai faktor yang penting dalam mengembangkan perilaku
yang positif terhadap orang lain, empati akan membuat seseorang menjadi bijaksana dalam
perasa.
Stein dan Book (dalam Baron dan Byrne, 2005) berpendapat bahwa empati
merupakan kemampuan untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran
orang lain sebagaimana orang tersebut merasakan dan memikirkannya. Bersikap empati
artinya mampu membaca orang lain dari sudut pandang emosi. Orang yang empatik memiliki
kepedulian terhadap orang lain dan memperlihatkan minat serta perhatiannya pada orang lain.
Wiggins (dalam Hurlock, 1994) berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan untuk
merasakan persepsi orang lain, yaitu memandang dan merasakan sesuatu seperti cara orang
lain memandang dan merasakan. Hurlock (1994) berpendapat bahwa empati merupakan
kemampuan seseorang untuk mengerti perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk
membayangkan diri sendiri berada di tempat lain.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa empati
adalah merasakan dan memikirkan kondisi yang dirasakan orang lain tanpa harus secara
nyata melibatkan diri dalam perasaan atau tanggapan orang lain. Individu tidak mengalami
sendiri suatu peristiwa yang saat itu dialami dan dirasakan oleh orang lain, tetapi mampu
memahami peristiwa jika dilihat dari sudut pandang orang lain.
2. Aspek-Aspek Kemampuan Berempati
Empati merupakan suatu reaksi individu pada saat individu mengalami pengalaman-
pengalaman orang lain. Ada bermacam-macam reaksi yang mungkin akan muncul pada saat
seseorang melihat orang lain mengalami suatu peristiwa. Para ahli membedakan respon
empati menjadi dua komponen ( Davis dalam Nashroni, 2008) yaitu:
a. Komponen kognitif dalam empati adalah proses intelektual untuk memahami
perspektif orang lain secara tepat. Dalam komponen kognitif ini diharapkan seseorang
mampu untuk membedakan emosi-emosi orang lain dan menerima pandangan
mereka.
b. Komponen afektif adalah kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan
emosional orang lain.
Lebih lanjut kedua komponen empati kedalam aspek-aspek empati, masing-masing
komponen ini mempunyai dua aspek yaitu yang pertama aspek kognitif antara lain
perspective taking dan fantasy, aspek yang kedua adalah aspek dalam komponen afeksi
antara lain empathic concern dan personal distress.
a. Perspective taking adalah membayangkan kondisi seseorang secara fikiran dan
perasaan dengan cara meletakkan pandangan dan fikiran pada posisi orang lain yang
menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan pendapat orang lain tentang
dirinya. Contoh memaklumi teman yang menangis histeris pada saat pemakaman
orang tua yang meninggal karena kecelakaan.
b. Fantasy merupakan kemampuan seseorang untuk mengubah diri secara imajinatif
mengalami perasaan dan tindakan dalam karakter-karakter khayal dalam buku-buku,
film atau sandiwara yang dibaca atau ditonton. Berdasarkan penelitian Stotlang
fantasy berpengaruh terhadap reaksi emosi orang lain dan menimbulkan perilaku
menolong. Contohnya ikut merasakan senang saat menonton film yang berakhir
bahagia.
c. Empathic concern yaitu simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian
terhadap kemalangan orang lain. Empathic concern merupakan cermin dari perasaan
dan simpati yang erat kaitannya dengan kepekaan serta kepedulian terhadap orang
lain. Coke dalam penelitian Empathic concern berhubungan positif dengan reaksi
emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa. Contohnya merasa iba dan
kasihan terhadap anak-anak yang meminta-minta di pinggir jalan lampu merah.
d. Personal distress yaitu menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada
diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi situasi interpersonal yang tidak
menyenangkan. Tingginya personal distress menunjukkan kurangnya kemampuan
untuk bersosialisasi, ini dapat menyebabkan internal reward seperti kesabaran dan
cinta kasih. Pada individu dengan personal distress tinggi menjadi dasar
pertimbangan utama dengan perilaku menolong, sehingga dengan personal distress
semakin tinggi berperilaku prososial dan eksternal reward seperti popularitas, pujian
dari orang lain cenderung rendah.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada empat aspek yang
terkandung dalam konsep empati, yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern dan
personal distress. Aspek-Aspek inilah yang akan digunakan untuk menyusun alat ukur
penelitian Kemampuan Berempati.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Berempati
Menurut Koestner & Franz (1990) ada beberapa faktor yang memunculkan empati,
antara lain:
a. Pola asuh
Perkembangan empati lebih mudah terjadi pada lingkungan keluarga yang telah
memberikan kepuasan pada kebutuhan emosional anak sehingga anak tidak terlalu
mementingkan kepentingan sendiri. Pola asuh lingkungan keluarga dapat mendorong
anak untuk mengalami dan mengekspresikan emosin serta memberikan kesempatan
kepada anak untuk mengobservasi dan berinteraksi dengan orang lain sehingga
mendorong kepekaan dan kemampuan emosi anak untuk berempati pada orang lain.
Pendapat ini sesuai dengan hasil penelitian Koestner & Frans (1990) menunjukkan
adanya hubungan yang relatif kuat antara pola asuh pada masa-masa awal dengan
emphatic concern pada masa dewasa. Ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak dan Ibu
yang mempunyai kesabaran dalam menghadapai ketergantungan anak menunjukkan
kemampuan berempati yang tinggi ketika individu sudah berusia 31 tahun.
b. Kepribadian
Faktor kepribadian berpengaruh terhadap tingkat empati seseorang. Individu yang
mempunyai kebutuhan berafiliasi tinggi cenderung mempunyai tingkat empati dan nilai-
nilai prososial yang tinggi pula.
Pribadi yang tenang dan sering berintropeksi diri dipastikan akan memiliki kepekaan
yang tinggi ketika berbagi dengan orang lain. Kepekaan ini yang kemudian
menumbuhkan empati terhadap orang lain.
c. Usia
Tingkat empati seseorang semakin meningkat dengan bertambahnya usia, karena
kemampuan pemahaman perspektif terhadap orang lain juga meningkat bersamaan
dengan usia. Menurut Mussen dkk (1989) individu yang berusia dewasa menunjukkan
peningkatan kemampuan empati dan kemampuan pemahaman perspektif. Individu yang
lebih tua mempunyai tingkat fungsi kognitif dan pemahaman moral yang lebih tinggi
dibandingkan dengan individu yang lebih muda, karena pengalaman, kemampuan, dan
kematangan emosi lebih tinggi.
d. Derajat kematangan
Menurut Gunarsa (2000) empati dipengaruhi oleh derajad kematangan individu.
Derajat kematangan adalah besarnya kemampuan individu dalam memandang suatu hal
secara proposional. Hal tersebut menunjukkan bahwa individu yang mempunyai derajat
kematangan tinggi mampu untuk memahami segala sesuatu termasuk kondisi yang
dirasakan orang lain dari berbagai sudut pandang baik dari diri sendiri maupun orang lain.
Derajat kematangan seseorang akan sangat mempengaruhi kemampuan empatinya
terhadap orang lain. Seseorang dengan derajat kematangan yang baik akan mampu untuk
menampilkan empati yang tinggi pula.
e. Sosialisasi
Sosialisasi merupakan proses melatih kepekaan diri terhadap rangsangan sosial yang
berhubungan dengan empati dan sesuai dengan norma, nilai atau harapan sosial.
Sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami empati artinya mengarahkan
seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain.
Sosialisasi menjadi dasar penting dalam berempati karena dapat melahirkan sikap dan
kepekaan sosial terhadap lingkungan. Hoffman (dalam Kurtinez & Gerwitz, 1992)
menyatakan beberapa hal yang menjadikan sosialisasi sebagi komponen yang
berpengaruh terhadap empati, yaitu:
1) Sosialisasi membuat seseorang mengaami banyak emosi.
2) Sosialisasi membuat seseorang dapat mengamati secara langsung situasi internal
orang lain.
3) Sosialisasi membuka terjadinya proses role taking (pengambilan peran), seseorang
belajar untuk mengetahui peranan yang harus dijalankannya serta peranan yang harus
dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada dalam masyarakat ini
seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.
4) Menjadi lebih terbuka terhadap kebutuhan orang lain.
5) Dalam sosialisasi ditemukan banyak model yang dapat memberikan banyak contoh
kebiasaan prososial dan perasaan empati yang dinyatakan secara verbal.
f. Jenis Kelamin
Perempuan mempunyai tingkat empati yang lebih tinggi daripada laki-laki. Persepsi
ini didasarkan pada kepercayaan bahwa perempuan lebih nurturance (bersifat
memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal dibandingkan laki-laki (Parson dan
Bales dalam Eisenberg & Strayer, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Marcus (dalam
Eisenberg & Strayer, 1987) berupa cerita hipotetik yang diajukan untuk melihat respon
empati, didapatkan hasil bahwa anak perempuan lebih empatik dalam merespon secara
verbal keadaan distress orang lain, ada perbedaan dalam hubungan dengan orientasi
eksternal dan internal. Perempuan lebih berorientasi eksternal (orientasi pada orang lain),
sedangkan laki-laki lebih berorientasi internal (orientasi pada diri sendiri).
Beberapa faktor lain yang mempengaruhi proses empati menurut Goleman & Daniel, (2007):
a. Perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif adalah suatu proses berfikir, yaitu kemampuan individu untuk
menghubungkan, menilai dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Empati
dapat berkembang seiring dengan perkembangan kognitif yang bisa dikatakan
kematangan kognitif, sehingga dapat melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.
Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian
keterlibatan perkembangan kognitif meliputi menganalisis, membandingkan,
mengurutkan dan mengevaluasi.
b. Mood and Feeling
Mood adalah sebuah keadaan sadar pikiran atau emosi yang dominan, sedangkan
feeling adalah ekspresi suasana hati terutama dalam gambaran diri. Situasi perasaan
seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya akan mempengaruhi cara seseorang
dalam memberikan respon terhadap perasaan dan perilaku orang lain.
c. Situasi dan tempat
Situasi adalah semua fakta, kondisi dan peristiwa yang mempengaruhi seseorang
atau sesuatu pada waktu tertentu dan di tempat tertentu. Tempat adalah sebuah wilayah
tertentu atau kawasan yang digunakan untuk tujuan tertentu. Situasi dan tempat tertentu
dapat memberikan pengaruh terhadap proses empati seseorang. Pada situasi tertentu
seseorang dapat berempati lebih baik dibanding situasi yang lain. Sekolah Inklusi yang
menerima siswa yang memiliki kekurangan atau anak berkebutuhan khusus (ABK),
diharapkan bisa menumbuhkan rasa empati anak normal kepada anak berkebutuhan
khusus (Irawati, 2015). Pada Sekolah Konvensional dibutuhkan suatu upaya untuk
meningkatkan rasa empati yang dimiliki siswa sehingga siswa dapat menghindarkan diri
dari berbuat sesuatu yang negatif. Dalam sekolah konvensional kemampuan empati yang
harus dimiliki yaitu kerjasama,toleransi,mengendalikan emosi,memahami aturan,peduli
teman,dan menghargai orang lain (Kusminar, 2014).
d. Komunikasi
Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain
untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik secara lisan (langsung)
ataupun tidak langsung (melalui media). Pengungkapan empati dipengaruhi oleh
komunikasi (bahasa) yang digunakan seseorang. Perbedaan bahasa dan ketidakpahaman
tentang komunikasi yang terjadi akan menjadi hambatan pada proses empati. Paradigma
Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur, yakni:
komunikator, pesan, media, komunikan efek.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi empati meliputi faktor pola asuh, kepribadian, usia, derajat kematangan,
sosialisasi, jenis kelamin, perkembangan kognitif, mood dan feeling, situasi dan tempat, dan
komunikasi. Dari beberapa faktor kemampuan empati tersebut, salah satu faktor yang
mempengaruhi kemampuan empati adalah faktor situasi dan tempat. Berdasarkan penelitian
Prihartanti, dkk. (2009) menunjukan bahwa pada masa SMP dan SMA masalah sosial berupa
interaksi dengan situasi dan tempat sangat mempengaruhi proses pembentukan empati.
Dalam hal ini yang dimaksud adalah sekolah inklusif dan sekolah konvensional dengan
segala unsur-unsur yang berada dalamnya. Remaja lebih banyak menghabiskan waktu di
sekolah daripada di rumah, sehingga pengaruh sekolah akan lebih besar berpengaruh pada
kemampuan berempati remaja.
B. Sekolah Inklusi dan Sekolah Biasa (Konvensional)
1. Sekolah Inklusi
a. Pengertian
Dalam ranah pendidikan, istilah inklusi dikaitkan dengan model pendidikan yang
tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang
dimiliki individu, sekolah inklusi didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak
individu. Istilah inklusi digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak
berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Konsep inklusi
memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki
hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah
(David, 2006). Baihaqi dan Sugiarmin (2006), menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah
mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa
harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka.
Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan
memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang
memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa
harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat. Baihaqi dan
Sugiarmin (2006), menekankan bahwa siswa memiliki hak yang sama tanpa dibeda-
bedakan berdasarkan perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Perbedaan yang
terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia pendidikan dengan mempersiapkan
model pendidikan yang disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan individu tersebut.
Perbedaan bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam pendidikan, namun pendidikan
harus tanggap dalam menghadapi perbedaan.
Hallahan (2009), mengemukakan pengertian sekolah inklusi sebagai lembaga
pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah
normal sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki tanggung jawab
penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut. Pengertian ini memberikan
pemahaman bahwa pendidikan inklusi menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan
anak normal lainnya. Untuk itulah, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses
pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru harus memiliki kemampuan
dalam menghadapi banyaknya perbedaan peserta didik. Senada dengan pengertian yang
disampaikan Hallahan (2009), dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sekolah
inklusi adalah suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan
secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Pengertian yang disebutkan dalam Permendiknas di atas memberikan penjelasan
secara lebih rinci mengenai siapa saja yang dapat dimasukkan dalam pendidikan inklusif.
Perincian yang diberikan pemerintah ini dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan yang
sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sehingga pemerintah memandang perlu
memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik dari yang normal,
memilik kelainan, dan memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan. Dengan demikian pemerintah mulai mengubah model pendidikan yang
selama ini memisah-misahkan peserta didik normal ke dalam sekolah normal, peserta
didik dengan kecerdasan luar biasa dan bakat istimewa ke dalam sekolah akselerasi, dan
peserta didik dengan kelainan ke dalam Sekolah Luar Biasa (SLB).
Seperti yang dijabarkan di dalam Peraturan Walikota Yogyakarta no 47 tahun 2008
Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, pada BAB I, Pasal 1, No.6, bahwa:
“Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi adalah satuan pendidikan formal normal
jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang memiliki
peserta didik tanpa membedabedakan latar belakang kondisi sosial, ekonomi, politik,
suku, bahasa, jenis kelamin, agama atau kepercayaan, serta perbedaan kondisi fisik
maupun mental dan telah menyelenggarakan proses pembelajaran yang inklusif”. Sekolah
inklusif adalah sekolah yang menampung semua peserta didik baik yang normal maupun
berkelainan di lingkungan sekolah dan kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan
program pendidikan yang layak dan menantang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
setiap peserta didik.
David (2012), menyatakan sekolah inklusif berarti lembaga pendidikan yang
dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang
normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus. Masing-masing dari mereka
memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain.
Sekolah inklusi menampung semua peserta didik baik yang normal maupun berkelainan
di lingkungn sekolah dan kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan program
pendidikan yang layak dan menantang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap
peserta didik. Peserta didik menurut Peraturan Walikota Yogyakarta No.47 Tahun 2008
adalah semua peserta didik termasuk peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta didik
berkebutuhan khusus yang dimaksud meilputi: (a) siswa dengan gangguan penglihatan,
(b) siswa dengan gangguan pendengaran, (c) siswa dengan gangguan wicara, (d) siswa
dengan gangguan fisik, (e) siswa dengan kesulitan belajar, (f) siswa dengan gangguan
lambat belajar, (g) siswa dengan gangguan pemusatan pemikiran, (h) siswa cerdas
istimewa, (i) siswa bakat istimewa, (j) siswa yang memiliki kebutuhan khusus secara
sosial.
Berdasarkan penjelasan diatas Sekolah Inklusif adalah lembaga pendidikan yang
didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu yang dirancang dan
disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang normal
maupun peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah normal di lingkungn sekolah
dan kelas yang sama dan masing-masing dari mereka memperoleh layanan pendidikan
yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain.
b. Tujuan Sekolah Inklusi
Adapun tujuan dari sekolah inklusi (Tarsidi, 2007), yaitu:
1) Untuk mendidik anak berkebutuhan khusus akibat kecacatannya dikelas normal
bersama-sama dengan anak-anak lain yang non cacat, beserta dukungan yang sesuai
dengan kebutuhannya.
2) Untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus dan
memberi kesempatan bersosialisasi.
c. Manfaat Sekolah Inklusi
Beberapa manfaat dari sekolah inklusi ini (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa,
2007), yaitu:
1) Bagi anak berkebutuhan khusus diharapkan untuk dapat bersosialisasi dengan
kelompok sebaya normal lainnya dengan baik, tidak menerima banyak tekanan
dan tidak terisolasi dalam dunianya sendiri.
2) Bagi anak yang normal, sekolah inklusi mengajarkan banyak hal, antara lain
bersikap terbuka terhadap perbedaan, menanamkan rasa empati, tidak memandang
rendah anak berkebutuhan khusus dan memupuk sikap saling menolong.
d. Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar
Peksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan
pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di kelas normal, namun demikian karena di dalam
kelas inklusif di samping terdapat anak normal juga terdapat anak luar biasa yang
mengalami kelainan/penyimpangan (baik phisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau
sensoris neurologis) dibanding dengan anak normal, maka dalam kegiatan belajar-
mengajar guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip
umum juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan
anak (Choiri, 2009).
Menurut David (2012) dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya
disesuaikan dengan model penempatan anak luar biasa yang dipilih, penempatan anak
luar biasa di sekolah inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:
1) Bentuk kelas normal penuh
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas
normal dengan menggunakan kurikulum yang sama.
2) Bentuk kelas normal dengan cluster
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas normal dalam
kelompok khusus.
3) Bentuk kelas normal dengan pull out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas normal
namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas normal ke ruang sumber untuk
belajar dengan guru pembimbing khusus.
4) Bentuk kelas normal dengan cluster dan pull out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas normal dalam
kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas normal ke ruang
sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus.
5) Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak berkebutuhan khusus belajar di kelas khusus pada sekolah normal, namun
dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas
normal.
6) Bentuk kelas khusus penuh di sekolah normal
Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah normal.
Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak
mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas normal setiap saat
dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak
berkebutuhan khusus dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi
kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus yang gradasi
kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada
sekolah normal (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat,
dan tidak memungkinkan di sekolah normal (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah
khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit) (David, 2012).
Kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif akan berbeda baik dalam srategi,
kegiatan media, dan metoda. Beberapa kegiatan belajar mungkin dilakukan berdasarkan
literatur-literatur tertentu, sementara yang lainyna belajar yang sama akan lebih efektif
apabila melalui observasi dan eksperimen. Beberapa anak memerlukan alat bantu tulis
untuk mengingat sesuatu, mungkin yang lainnya cukup dengan hanya mendengarkan.
Beberapa siswa mungkin memerlukan kertas dari pensil untuk mengingat suatu hubungan
tertentu. sementara beberapa siswa lainnya cukup mengingat dengan hanya melihat saja.
Beberapa siswa mungkin lebih senang belajar secara individual, sedangkan yang lainnya
lebih senang secara berkelompok, Taba (dalam Kustawan, 2010) mengemukakan, bahwa
berbedanya kebutuhan individu berbeda pula di dalam teknik belajar dalam upaya
mengemhangkan dirinya. Dewasa ini isitilah strategi belajar banyak dipergunakan di
dalam teori kognitif dan penelitian. Hal itu berhuhungan dengan strategi individu dalam
hal pemusatan perhatian, pemecahan rnasalah. mengingat dan mengawasi proses belajar
dan pemecahan masalah (Kustawan, 2010).
Hambatan belajar dapat berasal dan kesulitan menentukan strategi belajar dan
metoda belajar lainnya sebagai akibat dan faktor-faktor biologis, psikologis, lingkungan,
atau gabungan dan beberapa faktor tersebut. Sebagai contoh gangguan sensori seperti
hilangnya penglihatan atau pendengaran, merupakan hambatan dalam memperoleh
masukkan informasi dan luar berfungsi minimal otak mungkin akan berakibat yang cukup
serius terhadap konsentrasi (Kustawan, 2010).
Pelaksanaan kegiatan belajar menjadi model kelas tertentu mungkin berbeda
dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada model kelas yang lain. Pada model
Kelas Normal (Inklusi Penuh), bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal
mungkin tidak berbeda secara signifikan namun pada model Kelas Normal dengan
Cluster, bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal biasanya tidak sama,
bahkan antara sesama anak luar biasa pun dapat berbeda (David, 2012).
2. Sekolah Biasa (Konvensional)
a. Pengertian
Sekolah biasa (konvensional) adalah suatu tempat terjadinya proses interaksi antara
siswa dengan siswa dan siswa dengan guru yang bertujuan membentuk siswa menjadi
individu yang cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, dan bertanggung jawab (Rusman, 2011).
Sekolah biasa (konvensional) adalah sekolah pada umumnya yang merupakan usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya unuk memiliki kekuatan spiritual,
keagamaan, pengendalian diri , kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Gulo, 2002). Unsur – unsur
dalam Sekolah biasa (konvensional) menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(1995) antara lain: (1) Peserta didik normal, (2) Kurikulum sama semua, (3) Tenaga guru
tidak ada perbedaan, (4) Sarana dan prasarana seperti sekolah pada umumnya, (5)
Lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk anak normal, (6) Bentuk
kelas dalah bentuk kelas yang berisi anak normal penuh dengan kurikulum yang sama
tanpa perbedaan.
Berdasarkan penjelasan di atas Sekolah Biasa (Konvensional) adalah lembaga
pendidikan yang merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya, proses interaksi terjadi antara siswa normal dengan siswa normal dengan
lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk siswa normal.
b. Tujuan Sekolah biasa (konvensional)
Tujuan Sekolah biasa (konvensional) berdasarkan UUSPN (Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional) no 20 tahun 2003 antara lain:
1) Mendidik siswa agar menjadi manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila
yang mampu ikut bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa.
2) Memberikan bekal kemampuan yang diperlukan bagi siwa-siswa untuk
melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
3) Memberikan bekal kemampuan dasar untuk hidup di masyarakat dan
mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan lingkungan.
Kelebihan Sekolah biasa (konvensional) menurut Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (1995), sebagai berikut :
1) Pendidikan normal kurikulum sama seluruhnya.
2) Pendidikan normal semuaa siswanya normal.
3) Guru tidak mesti berlatar pendidikan khusus anak berkebutuhan khusus.
4) Sarana dan prasarananya tidak memerlukan biaya yang relative besar karena
semuanya seragam
Kelemahan Sekolah biasa (konvensional) menurut Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (1995), sebagai berikut :
1) Peserta didik yang memiliki kelainan tidak dapat mengikuti pendidikan seperti
peserta didik yang normal.
2) Sarana dan prasarana tidak memenuhi untuk peserta didik berkebutuhan khusus.
3) Gurunya tidak memiliki keprofesionalan menghadapi peserta didik berkebutuhan
khusus.
c. Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar.
Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian
perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam
situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu (Rusman, 2011). Kegiatan belajar
mengajar mengajar yang guru laksanakan berupa kegiatan pendahuluan adalah kegiatan
awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan
motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam
proses pembelajaran (Rusman, 2011).
Pada kegiatan pendahuluan guru dapat melakukan apersepsi, memberikan motivasi
kepada siswa dan menyampaikan tujuan yang akan dicapai. Kegiatan inti merupakan
proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar. Kegiatan pembelajaran dilakukan
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta
didik (Rusman, 2011).
Pada kegiatan inti pelajaran yang dapat guru laksanakan yaitu menguasai materi
pelajaran, pendekatan/strategi pembelajaran, pemanfaatan media pembelajaran/sumber
belajar, memicu dan memelihara keterlibatan siswa, menilai proses dan hasil belajar dan
penggunaan bahasa yang benar dan tepat dalam pembelajaran. Kegiatan penutup
pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan guru untuk mengakhiri pelajaran atau
kegiatan belajar mengajar (Muchit, 2008).
Kegiatan penutup dapat guru laksanakan dengan menyimpulkan materi pelajaran yang
telah disampaikan dan memberikan arahan atau kegiatan yang akan dilakukan minggu
berikutnya. Metode ceramah adalah metode mengajar yang disampaikan secara lisan,
metode seperti ini termasuk metode pembelajaran yang paling sederhana (Fikri, 2006).
Sehingga pendekatan yang sering digunakan adalah teacher center strateies atau
pendekatan yang berpusat pada guru. Pendekatan ini mengutamakan keaktifan peran
guru, guru menguasai informasi yang kemudian di transfer kepada siswa sehingga terjadi
komunikasi yang searah, situasi belajar terkesan kaku, monoton, dan kurang menarik
(Gulo, 2002).
C. Kemampuan Berempati pada siswa normal di sekolah inklusi dengan siswa normal
di sekolah biasa (konvensional).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemampuan berasal dari kata dasar mampu
yang berarti kuasa atau sanggup. Jadi kemampuan adalah kesanggupan individu untuk
melakukan segala sesuatu termasuk berempati pada orang lain ( Poerwodarminto, 1984).
Goleman (2002), mengatakan bahwa empati adalah merasakan yang dirasakan oleh orang
lain, mampu memahami perspektif orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan
menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. Menurut Adler (dalam Baron & Byrne,
2005), kemampuan berempati yaitu kemampuan merasakan kesulitan atau penderitaan orang
lain, termasuk kesanggupan memahami perasaan dan tergerak untuk berbuat sesuatu bagi
orang lain. Wuryanano (dalam Taufik, 2012) memaparkan bahwa kemampuan berempati
merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain. Semakin dalam
rasa empati seseorang, semakin tinggi rasa hormat dan sopan santunnya kepada sesama.
Kemampuan berempati individu merupakan bagian sensitivitas dari individu,
kepekaan rasa dan kedekatan hati pada hal-hal yang berkaitan secara emosional . Menurut
definisi Eisenberg dan Strayer (2002) munculnya perasaan empati memungkinkan individu
melakukan usaha untuk membantu orang lain. Situasi dan tempat adalah salah satu faktor
yang mempengaruhi dalam perkembangan empati seseorang. Dalam usia awal sekolah, anak
akan belajar berempati dari lingkungan keluarga, tempat bermain dan di sekolah.
Berdasarkan penelitian Prihartanti, dkk. (2009) menunjukan bahwa pada masa SMP dan
SMA masalah sosial berupa interaksi dengan situasi dan tempat sangat mempengaruhi proses
pembentukan empati. Dalam hal ini yang dimaksud adalah sekolah inklusif dan sekolah
konvensional dengan segala unsur-unsur yang berada dalamnya.
Menurut Davis dalam Nashroni (2008) aspek yang mempengaruhi kemampuan
berempati yaitu; pertama Perspective taking adalah membayangkan kondisi seseorang secara
fikiran dan perasaan dengan cara meletakkan pandangan dan fikiran pada posisi orang lain
yang menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan pendapat orang lain tentang
dirinya. Contoh perspektive taking yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di
sekolah inklusi “X” yaitu; Saat salah satu siswa berkebutuhan khusus tidak bisa menjawab
pertanyaan dari guru, siswa lain berusaha membantu dengan memperjelas pertanyaan yang
diberikan guru, tidak ada yang mengejek siswa tersebut. Setiap hari jumat selalu ada uang
sumbangan untuk di sumbangkan ke orang yang membutuhkan, jumlah tersebut selalu
meningkat, hal ini menunjukkan siswa dapat membayangkan kondisi seseorang secara fikiran
dan perasaan yang terwujud dalam pemberian sumbangan. Contoh perspektive taking yang
terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah biasa (konvensional) “Y” yaitu;
ketika ada salah satu teman yang tidak jajan, ada beberapa siswa yang dengan cuek jajan
tanpa menawarkan teman tersebut. Ketika salah satu siswa kesulitan dalam menjawab
pertanyaan dari peneliti, siswa lain meledek dengan senyum sehingga siswa tersebut terlihat
kesal.
Aspek kedua yang mempengaruhi kemampuan berempati yaitu; Fantasy, merupakan
kemampuan seseorang untuk mengubah diri secara imajinatif mengalami perasaan dan
tindakan dalam karakter-karakter khayal dalam buku-buku, film atau sandiwara yang dibaca
atau ditonton. Berdasarkan penelitian Stotlang, fantasy berpengaruh terhadap reaksi emosi
orang lain dan menimbulkan perilaku menolong. Contoh fantasy yang terlihat saat peneliti
observasi dan wawancara di sekolah inklusi “X” yaitu; ketika penulis menanyakan pada
siswa tentang cerita film yang sedih atau berita tentang musibah yang sedang dialami saat ini,
sebagian anak merespon dengan ekspresi wajah sedih dan menjawab dengan iba, sedangkan
saat pertanyaan diberikan di sekolah biasa (konvensional) “Y”, yang merespon dengan
ekspresi wajah sedih dan menjawab dengan iba sebagian besar adalah siswa perempuan,
siswa laki-laki tidak begitu terlihat ekspresi wajah sedih.
Aspek ketiga yang mempengaruhi kemampuan berempati yaitu; Empathic concern
yaitu simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan orang
lain. Empathic concern merupakan cermin dari perasaan dan simpati yang erat kaitannya
dengan kepekaan serta kepedulian terhadap orang lain. Coke dalam penelitian Empathic
concern berhubungan positif dengan reaksi emosional dan perilaku menolong pada orang
dewasa. Contoh Empathic concern yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di
sekolah inklusi “X” yaitu; dari wawancara dengan guru bimbingan dan konseling ketika salah
satu siswa sakit atau terkena musibah kecelakaan, siswa satu kelas dan siswa kelas lain ikut
menjenguk dan membantu meminjamkan buku pelajaran supaya tidak tertinggal pelajaran.
Contoh Empathic concern yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah
biasa (konvensional) “Y” yaitu; saat ada teman yang terjatuh dari sepeda, dua siswa lari
untuk membantu dan beberapa siswa ada yang tertawa dan diam.
Aspek keempat yang mempengaruhi kemampuan berempati yaitu; Personal distress
yaitu menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta
kegelisahan dalam menghadapi situasi interpersonal yang tidak menyenangkan. Contoh
Personal distress yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah inklusi “X”
yaitu; saat ada siswa yang pingsan ketika sedang pelajaran olah raga, siswa lain segera
membantu membawa ke kelas dan memanggil guru untuk menolong, terlihat kekhawatiran
teman-teman saat siswa tersebut sakit. Contoh Personal distress yang terlihat saat peneliti
observasi dan wawancara di sekolah biasa (konvensional) “Y” yaitu; saat peneliti
menanyakan pendapat sebagian siswa tentang anak-anak yang mengemis di lampu merah,
respon siswa sebagian besar kasihan dan kecewa terhadap orang tua anak tersebut. Ikut
prihatin terhadap kondisi yang tidak menyenangkan pada orang lain.
Sekolah inklusi merupakan model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak
berkelainan atau berkebutuhan khusus di mana penyelenggaraannya dipadukan bersama anak
normal dan bertempat di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di
lembaga bersangkutan (Sukadari, 2006). Sekolah inklusi memberikan kesempatan dan akses
yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan
sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi. Pihak sekolah dituntut
untuk melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana prasarana pendidikan,
maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik
(Direktorat PLB, 2007). Manfaat dari sekolah inklusi ini (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar
Biasa, 2007), yaitu: Bagi anak berkebutuhan khusus diharapkan untuk dapat bersosialisasi
dengan kelompok sebaya normal lainnya dengan baik, tidak menerima banyak tekanan dan
tidak terisolasi dalam dunianya sendiri. bagi anak normal, sekolah inklusi mengajarkan
banyak hal, antara lain bersikap terbuka terhadap perbedaan, menanamkan rasa empati, tidak
memandang rendah anak berkebutuhan khusus dan memupuk sikap saling menolong.
Sekolah Inklusi yang menerima siswa yang memiliki kekurangan atau anak
berkebutuhan khusus (ABK), tidak serta merta membuat anak-anak yang berkebutuhan
khusus ini akan diasingkan oleh siswa lainnya. Namun sebaliknya, bisa menumbuhkan rasa
empati kepada anak berkebutuhan khusus sejak dini. Ada anggapan jika orangtua merasa
khawatir dan takut untuk memasukkan anak ke dalam sekolah inklusi karena nantinya akan
diasingkan, padahal sebaliknya, siswa normal bisa menolong temannya yang memiliki
kekurangan. Pemerintah saat ini mulai membuka jalan dengan memberikan pelatihan kepada
guru-guru untuk meningkatkan kualitas sekolah inklusi, sehingga guru dan siswa normal
dapat meningkatkan kemampuan berempati kepada anak berkebutuhan khusus di sekolah
inklusi (www.suaramerdeka.com, 2016).
Adapun tujuan dari sekolah inklusi (Tarsidi, 2007), yaitu: Untuk mendidik anak
berkebutuhan khusus akibat kecacatannya dikelas normal bersama-sama dengan anak-anak
lain yang non cacat, beserta dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk
mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus dan memberi
kesempatan bersosialisasi. Menurut Salim dalam Ginanjar (2013) siswa normal di sekolah
inklusi diharapkan dapat memahami, menghargai, dan menerima siswa berkebutuhan khusus
dengan segala perbedaan dan keterbatasannya. Penerimaan siswa normal terhadap siswa
berkebutuhan khusus menjadi langkah awal bagi terwujudnya hubungan harmonis di
lingkungan sekolah inklusi. Empati merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
penerimaan siswa normal terhadap siswa berkebutuhan khusus.
Menurut Soefandi dan Pramudya (2009) empati merupakan kemampuan
menempatkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman orang
tersebut. Menurut Taufik (2012) siswa normal yang mampu menempatkan diri dalam posisi
siswa berkebutuhan khusus, menyelami keadaan siswa berkebutuhan khusus, ikut merasakan
perasaan dan memahami pandangan siswa berkebutuhan khusus terkait dengan segala
keterbatasannya, senantiasa akan lebih dapat menghargai siswa berkebutuhan khusus dan
selanjutnya diharapkan dapat menerima siswa berkebutuhan khusus. Hal tersebut dikarenakan
dengan kemampuan empati seseorang dapat lebih menghormati dan menghargai orang lain
sehingga dapat menerima perbedaan yang ada.
Menurut hasil penelitian dari Salim dan Ginanjar (2013) di SMPN Inklusi Jakarta,
sebagian besar siswa normal di sekolah inklusi memiliki tingkat empati yang tinggi terhadap
siswa berkebutuhan khusus, terlihat dari mean skor empati (M= 31,98) yang mendekati nilai
maksimum (42) pada distributor skor empati. Siswa normal yang lebih banyak dan sering
berinteraksi dengan siswa berkebutuhan khusus maka besar kemungkinan lebih mampu
untuk berempati terhadap siswa berkebutuhan khusus, karakteristik siswa berkebutuhan
khusus yang bagi siswa sekolah biasa (konvensional) terlihat “aneh”, bagi siswa normal di
sekolah inkluasi akan terlihat lebih familiar dan dapat dimaklumi. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan dari siswa yang merasa bahwa lama-kelamaan siswa normal semakin mampu
untuk memahami keadaan siswa berkebutuhan khusus, bahkan menganggap siswa tersebut
sebagai seorang teman sekelas yang sebenarnya cukup menyenangkan. Lamanya waktu yang
dihabiskan siswa normal untuk berinteraksi dengan siswa berkebutuhan khusus di kelas dapat
membuat siswa normal semakin memahami diri siswa berkebutuhan khusus. Siswa normal
yang memiliki kedekatan dengan siswa berkebutuhan khusus akan cenderung menampilkan
perilaku menolong yang lebih tinggi. Berdasarkan Bellmore (dalam Salim & Ginanjar, 2013),
terdapat beberapa alasan yang dapat diasosiasikan dengan perilaku menolong, dimana dua di
antaranya adalah empati terhadap korban serta kedekatan hubungan dengan korban tersebut.
Sekolah biasa (konvensional) adalah sekolah pada umumnya yang merupakan usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya unuk memiliki kekuatan spiritual,
keagamaan, pengendalian diri , kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Gulo, 2002). Unsur – unsur dalam
Sekolah biasa (konvensional) menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995)
antara lain: (1) Peserta didik normal, (2) Kurikulum sama semua, (3) Tenaga guru tidak ada
perbedaan, (4) Sarana dan prasarana seperti sekolah pada umumnya, (5) Lingkungan belajar
dan proses pembelajarannya dirancang untuk anak normal, (6) Bentuk kelas dalah bentuk
kelas yang berisi anak normal penuh dengan kurikulum yang sama tanpa perbedaan.
Menurut Wallace (dalam Sunarto 2009) di sekolah biasa (konvensional) mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut: perhatian kepada masing-masing siswa atau minat sangat kecil,
pembelajaran di sekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan
sebagai peningkatan kompetensi siswa di saat ini, penekanan yang mendasar adalah pada
bagaimana pengetahuan dapat diserap oleh siswa dan penguasaan pengetahuan tersebutlah
yang menjadi tolak ukur keberhasilan tujuan, sementara pengembangan potensi siswa
terabaikan.
Di dalam sekolah konvensional, yang paling disoroti adalah prestasi belajar siswa
(Hamdani, 2011). Proses pembelajaran di lingkungan sekolah konvensional mengakibatkan
empati belum seutuhnya dimiliki siswa di sekolah konvensional (Nurfidia, 20017). Wahyuni
& Adiyanti (dalam Salim & Ginanjar, 2013) menambahkan sekolah merupakan lembaga
pendidikian yang mengajarkan ilmu pengetahuan agar siswa memiliki wawasan luas dan
mengajarkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Lingkungan sekolah memiliki
pengaruh yang besar bagi siswa untuk membentuk perilaku siswa, karena di lingkungan
sekolah, siswa dapat menanamkan nilai-nilai positif dalam bersosialisasi dengan teman
sebaya, namun terkadang apa yang diharapkan tidak sesuai apa yang diharapkan. Empati
mendasari banyak segi tindakan dan pertimbangan moral. Oleh karena itu, jika seseorang
tidak memiliki rasa empati pada sesama, kemungkinan besar yang bisa terjadi adalah orang
tersebut akan bertindak semaunya kepada orang lain. Seseorang yang tidak mempunyai
empati ini memiliki potensi untuk melakukan tindak kejahatan kepada orang lain, karena
orang tersebut hanya menggunakan pertimbangan pikirannya sendiri. Empati yang kuat
dalam diri siswa diharapkan akan menumbuhkan perasaan peka serta rasa iba terhadap suatu
kejadian yang dialami oleh siswa lain, sehingga mendorong siswa untuk menolong setiap
kesulitan (Wuryanano dalam Taufik 2012).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berasumsi bahwa terdapat perbedaan
kemampuan berempati antara siswa normal di sekolah inklusi dan siswa normal di sekolah
biasa (konvensional).
D. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah Ada perbedaan kemampuan berempati pada
siswa normal di sekolah inklusi dengan siswa normal di sekolah biasa (konvensional).