bab ii tinjauan pustaka a. empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/bab ii.pdf ·...

25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1. Pengertian Empati Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai respon individu terhadap emosi orang lain, seolah individu yang bersangkutan mengalami sendiri keadaan emosi serupa yang dialami oleh orang tersebut. De Vito (2000) berpendapat bahwa empati adalah kemampuan untuk memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut. Kemampuan empati dapat ditunjukkan dengan cara aktif terlibat bersama orang lain melalui ekspresi wajah dan gerajan tangan, konsentrasi yang memfokuskan pada kontak mata, memperhatikan gerak tubuh, ketertutupan fisik, dan melakukan sentuhan fisik. Koestner dan Frasz (1990) mengartikan empati sebagai kemampuan untuk menempatkan diri dengan orang lain tanpa secara nyata harus terlibat dalam perasaan atau anggapan orang tersebut. Eissenberg dan Mussen (dalam Eissenberg dan Stayer, 2002) berpendapat bahwa empati merupakan keadaan afektif yang seolah-olah dialami sendiri yang berasal dari keadaan atau kondisi emosi orang lain yang mirip dengan keadaan atau kondisi orang tersebut. Menurut Seagal (dalam Taufik, 2012) empati adalah mengetahui perasaan orang lain, empati dianggap sebagai faktor yang penting dalam mengembangkan perilaku yang positif terhadap orang lain, empati akan membuat seseorang menjadi bijaksana dalam perasa. Stein dan Book (dalam Baron dan Byrne, 2005) berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain sebagaimana orang tersebut merasakan dan memikirkannya. Bersikap empati artinya mampu membaca orang lain dari sudut pandang emosi. Orang yang empatik memiliki

Upload: vanthuy

Post on 19-Jul-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Empati

1. Pengertian Empati

Eissenberg dan Fabes (dalam Baron dan Byrne, 2005) mendefinisakan empati sebagai

respon individu terhadap emosi orang lain, seolah individu yang bersangkutan mengalami

sendiri keadaan emosi serupa yang dialami oleh orang tersebut. De Vito (2000) berpendapat

bahwa empati adalah kemampuan untuk memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh

orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut. Kemampuan empati dapat ditunjukkan

dengan cara aktif terlibat bersama orang lain melalui ekspresi wajah dan gerajan tangan,

konsentrasi yang memfokuskan pada kontak mata, memperhatikan gerak tubuh, ketertutupan

fisik, dan melakukan sentuhan fisik.

Koestner dan Frasz (1990) mengartikan empati sebagai kemampuan untuk

menempatkan diri dengan orang lain tanpa secara nyata harus terlibat dalam perasaan atau

anggapan orang tersebut. Eissenberg dan Mussen (dalam Eissenberg dan Stayer, 2002)

berpendapat bahwa empati merupakan keadaan afektif yang seolah-olah dialami sendiri yang

berasal dari keadaan atau kondisi emosi orang lain yang mirip dengan keadaan atau kondisi

orang tersebut. Menurut Seagal (dalam Taufik, 2012) empati adalah mengetahui perasaan

orang lain, empati dianggap sebagai faktor yang penting dalam mengembangkan perilaku

yang positif terhadap orang lain, empati akan membuat seseorang menjadi bijaksana dalam

perasa.

Stein dan Book (dalam Baron dan Byrne, 2005) berpendapat bahwa empati

merupakan kemampuan untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran

orang lain sebagaimana orang tersebut merasakan dan memikirkannya. Bersikap empati

artinya mampu membaca orang lain dari sudut pandang emosi. Orang yang empatik memiliki

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

kepedulian terhadap orang lain dan memperlihatkan minat serta perhatiannya pada orang lain.

Wiggins (dalam Hurlock, 1994) berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan untuk

merasakan persepsi orang lain, yaitu memandang dan merasakan sesuatu seperti cara orang

lain memandang dan merasakan. Hurlock (1994) berpendapat bahwa empati merupakan

kemampuan seseorang untuk mengerti perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk

membayangkan diri sendiri berada di tempat lain.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa empati

adalah merasakan dan memikirkan kondisi yang dirasakan orang lain tanpa harus secara

nyata melibatkan diri dalam perasaan atau tanggapan orang lain. Individu tidak mengalami

sendiri suatu peristiwa yang saat itu dialami dan dirasakan oleh orang lain, tetapi mampu

memahami peristiwa jika dilihat dari sudut pandang orang lain.

2. Aspek-Aspek Kemampuan Berempati

Empati merupakan suatu reaksi individu pada saat individu mengalami pengalaman-

pengalaman orang lain. Ada bermacam-macam reaksi yang mungkin akan muncul pada saat

seseorang melihat orang lain mengalami suatu peristiwa. Para ahli membedakan respon

empati menjadi dua komponen ( Davis dalam Nashroni, 2008) yaitu:

a. Komponen kognitif dalam empati adalah proses intelektual untuk memahami

perspektif orang lain secara tepat. Dalam komponen kognitif ini diharapkan seseorang

mampu untuk membedakan emosi-emosi orang lain dan menerima pandangan

mereka.

b. Komponen afektif adalah kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan

emosional orang lain.

Lebih lanjut kedua komponen empati kedalam aspek-aspek empati, masing-masing

komponen ini mempunyai dua aspek yaitu yang pertama aspek kognitif antara lain

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

perspective taking dan fantasy, aspek yang kedua adalah aspek dalam komponen afeksi

antara lain empathic concern dan personal distress.

a. Perspective taking adalah membayangkan kondisi seseorang secara fikiran dan

perasaan dengan cara meletakkan pandangan dan fikiran pada posisi orang lain yang

menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan pendapat orang lain tentang

dirinya. Contoh memaklumi teman yang menangis histeris pada saat pemakaman

orang tua yang meninggal karena kecelakaan.

b. Fantasy merupakan kemampuan seseorang untuk mengubah diri secara imajinatif

mengalami perasaan dan tindakan dalam karakter-karakter khayal dalam buku-buku,

film atau sandiwara yang dibaca atau ditonton. Berdasarkan penelitian Stotlang

fantasy berpengaruh terhadap reaksi emosi orang lain dan menimbulkan perilaku

menolong. Contohnya ikut merasakan senang saat menonton film yang berakhir

bahagia.

c. Empathic concern yaitu simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian

terhadap kemalangan orang lain. Empathic concern merupakan cermin dari perasaan

dan simpati yang erat kaitannya dengan kepekaan serta kepedulian terhadap orang

lain. Coke dalam penelitian Empathic concern berhubungan positif dengan reaksi

emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa. Contohnya merasa iba dan

kasihan terhadap anak-anak yang meminta-minta di pinggir jalan lampu merah.

d. Personal distress yaitu menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada

diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi situasi interpersonal yang tidak

menyenangkan. Tingginya personal distress menunjukkan kurangnya kemampuan

untuk bersosialisasi, ini dapat menyebabkan internal reward seperti kesabaran dan

cinta kasih. Pada individu dengan personal distress tinggi menjadi dasar

pertimbangan utama dengan perilaku menolong, sehingga dengan personal distress

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

semakin tinggi berperilaku prososial dan eksternal reward seperti popularitas, pujian

dari orang lain cenderung rendah.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada empat aspek yang

terkandung dalam konsep empati, yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern dan

personal distress. Aspek-Aspek inilah yang akan digunakan untuk menyusun alat ukur

penelitian Kemampuan Berempati.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Berempati

Menurut Koestner & Franz (1990) ada beberapa faktor yang memunculkan empati,

antara lain:

a. Pola asuh

Perkembangan empati lebih mudah terjadi pada lingkungan keluarga yang telah

memberikan kepuasan pada kebutuhan emosional anak sehingga anak tidak terlalu

mementingkan kepentingan sendiri. Pola asuh lingkungan keluarga dapat mendorong

anak untuk mengalami dan mengekspresikan emosin serta memberikan kesempatan

kepada anak untuk mengobservasi dan berinteraksi dengan orang lain sehingga

mendorong kepekaan dan kemampuan emosi anak untuk berempati pada orang lain.

Pendapat ini sesuai dengan hasil penelitian Koestner & Frans (1990) menunjukkan

adanya hubungan yang relatif kuat antara pola asuh pada masa-masa awal dengan

emphatic concern pada masa dewasa. Ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak dan Ibu

yang mempunyai kesabaran dalam menghadapai ketergantungan anak menunjukkan

kemampuan berempati yang tinggi ketika individu sudah berusia 31 tahun.

b. Kepribadian

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

Faktor kepribadian berpengaruh terhadap tingkat empati seseorang. Individu yang

mempunyai kebutuhan berafiliasi tinggi cenderung mempunyai tingkat empati dan nilai-

nilai prososial yang tinggi pula.

Pribadi yang tenang dan sering berintropeksi diri dipastikan akan memiliki kepekaan

yang tinggi ketika berbagi dengan orang lain. Kepekaan ini yang kemudian

menumbuhkan empati terhadap orang lain.

c. Usia

Tingkat empati seseorang semakin meningkat dengan bertambahnya usia, karena

kemampuan pemahaman perspektif terhadap orang lain juga meningkat bersamaan

dengan usia. Menurut Mussen dkk (1989) individu yang berusia dewasa menunjukkan

peningkatan kemampuan empati dan kemampuan pemahaman perspektif. Individu yang

lebih tua mempunyai tingkat fungsi kognitif dan pemahaman moral yang lebih tinggi

dibandingkan dengan individu yang lebih muda, karena pengalaman, kemampuan, dan

kematangan emosi lebih tinggi.

d. Derajat kematangan

Menurut Gunarsa (2000) empati dipengaruhi oleh derajad kematangan individu.

Derajat kematangan adalah besarnya kemampuan individu dalam memandang suatu hal

secara proposional. Hal tersebut menunjukkan bahwa individu yang mempunyai derajat

kematangan tinggi mampu untuk memahami segala sesuatu termasuk kondisi yang

dirasakan orang lain dari berbagai sudut pandang baik dari diri sendiri maupun orang lain.

Derajat kematangan seseorang akan sangat mempengaruhi kemampuan empatinya

terhadap orang lain. Seseorang dengan derajat kematangan yang baik akan mampu untuk

menampilkan empati yang tinggi pula.

e. Sosialisasi

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

Sosialisasi merupakan proses melatih kepekaan diri terhadap rangsangan sosial yang

berhubungan dengan empati dan sesuai dengan norma, nilai atau harapan sosial.

Sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami empati artinya mengarahkan

seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain.

Sosialisasi menjadi dasar penting dalam berempati karena dapat melahirkan sikap dan

kepekaan sosial terhadap lingkungan. Hoffman (dalam Kurtinez & Gerwitz, 1992)

menyatakan beberapa hal yang menjadikan sosialisasi sebagi komponen yang

berpengaruh terhadap empati, yaitu:

1) Sosialisasi membuat seseorang mengaami banyak emosi.

2) Sosialisasi membuat seseorang dapat mengamati secara langsung situasi internal

orang lain.

3) Sosialisasi membuka terjadinya proses role taking (pengambilan peran), seseorang

belajar untuk mengetahui peranan yang harus dijalankannya serta peranan yang harus

dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada dalam masyarakat ini

seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.

4) Menjadi lebih terbuka terhadap kebutuhan orang lain.

5) Dalam sosialisasi ditemukan banyak model yang dapat memberikan banyak contoh

kebiasaan prososial dan perasaan empati yang dinyatakan secara verbal.

f. Jenis Kelamin

Perempuan mempunyai tingkat empati yang lebih tinggi daripada laki-laki. Persepsi

ini didasarkan pada kepercayaan bahwa perempuan lebih nurturance (bersifat

memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal dibandingkan laki-laki (Parson dan

Bales dalam Eisenberg & Strayer, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Marcus (dalam

Eisenberg & Strayer, 1987) berupa cerita hipotetik yang diajukan untuk melihat respon

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

empati, didapatkan hasil bahwa anak perempuan lebih empatik dalam merespon secara

verbal keadaan distress orang lain, ada perbedaan dalam hubungan dengan orientasi

eksternal dan internal. Perempuan lebih berorientasi eksternal (orientasi pada orang lain),

sedangkan laki-laki lebih berorientasi internal (orientasi pada diri sendiri).

Beberapa faktor lain yang mempengaruhi proses empati menurut Goleman & Daniel, (2007):

a. Perkembangan kognitif

Perkembangan kognitif adalah suatu proses berfikir, yaitu kemampuan individu untuk

menghubungkan, menilai dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Empati

dapat berkembang seiring dengan perkembangan kognitif yang bisa dikatakan

kematangan kognitif, sehingga dapat melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.

Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian

keterlibatan perkembangan kognitif meliputi menganalisis, membandingkan,

mengurutkan dan mengevaluasi.

b. Mood and Feeling

Mood adalah sebuah keadaan sadar pikiran atau emosi yang dominan, sedangkan

feeling adalah ekspresi suasana hati terutama dalam gambaran diri. Situasi perasaan

seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya akan mempengaruhi cara seseorang

dalam memberikan respon terhadap perasaan dan perilaku orang lain.

c. Situasi dan tempat

Situasi adalah semua fakta, kondisi dan peristiwa yang mempengaruhi seseorang

atau sesuatu pada waktu tertentu dan di tempat tertentu. Tempat adalah sebuah wilayah

tertentu atau kawasan yang digunakan untuk tujuan tertentu. Situasi dan tempat tertentu

dapat memberikan pengaruh terhadap proses empati seseorang. Pada situasi tertentu

seseorang dapat berempati lebih baik dibanding situasi yang lain. Sekolah Inklusi yang

menerima siswa yang memiliki kekurangan atau anak berkebutuhan khusus (ABK),

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

diharapkan bisa menumbuhkan rasa empati anak normal kepada anak berkebutuhan

khusus (Irawati, 2015). Pada Sekolah Konvensional dibutuhkan suatu upaya untuk

meningkatkan rasa empati yang dimiliki siswa sehingga siswa dapat menghindarkan diri

dari berbuat sesuatu yang negatif. Dalam sekolah konvensional kemampuan empati yang

harus dimiliki yaitu kerjasama,toleransi,mengendalikan emosi,memahami aturan,peduli

teman,dan menghargai orang lain (Kusminar, 2014).

d. Komunikasi

Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain

untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik secara lisan (langsung)

ataupun tidak langsung (melalui media). Pengungkapan empati dipengaruhi oleh

komunikasi (bahasa) yang digunakan seseorang. Perbedaan bahasa dan ketidakpahaman

tentang komunikasi yang terjadi akan menjadi hambatan pada proses empati. Paradigma

Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur, yakni:

komunikator, pesan, media, komunikan efek.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi empati meliputi faktor pola asuh, kepribadian, usia, derajat kematangan,

sosialisasi, jenis kelamin, perkembangan kognitif, mood dan feeling, situasi dan tempat, dan

komunikasi. Dari beberapa faktor kemampuan empati tersebut, salah satu faktor yang

mempengaruhi kemampuan empati adalah faktor situasi dan tempat. Berdasarkan penelitian

Prihartanti, dkk. (2009) menunjukan bahwa pada masa SMP dan SMA masalah sosial berupa

interaksi dengan situasi dan tempat sangat mempengaruhi proses pembentukan empati.

Dalam hal ini yang dimaksud adalah sekolah inklusif dan sekolah konvensional dengan

segala unsur-unsur yang berada dalamnya. Remaja lebih banyak menghabiskan waktu di

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

sekolah daripada di rumah, sehingga pengaruh sekolah akan lebih besar berpengaruh pada

kemampuan berempati remaja.

B. Sekolah Inklusi dan Sekolah Biasa (Konvensional)

1. Sekolah Inklusi

a. Pengertian

Dalam ranah pendidikan, istilah inklusi dikaitkan dengan model pendidikan yang

tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang

dimiliki individu, sekolah inklusi didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak

individu. Istilah inklusi digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak

berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Konsep inklusi

memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki

hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah

(David, 2006). Baihaqi dan Sugiarmin (2006), menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah

mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa

harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka.

Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan

memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang

memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa

harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat. Baihaqi dan

Sugiarmin (2006), menekankan bahwa siswa memiliki hak yang sama tanpa dibeda-

bedakan berdasarkan perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Perbedaan yang

terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia pendidikan dengan mempersiapkan

model pendidikan yang disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan individu tersebut.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

Perbedaan bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam pendidikan, namun pendidikan

harus tanggap dalam menghadapi perbedaan.

Hallahan (2009), mengemukakan pengertian sekolah inklusi sebagai lembaga

pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah

normal sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki tanggung jawab

penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut. Pengertian ini memberikan

pemahaman bahwa pendidikan inklusi menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan

anak normal lainnya. Untuk itulah, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses

pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru harus memiliki kemampuan

dalam menghadapi banyaknya perbedaan peserta didik. Senada dengan pengertian yang

disampaikan Hallahan (2009), dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

(Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sekolah

inklusi adalah suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua

peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat

istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan

secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Pengertian yang disebutkan dalam Permendiknas di atas memberikan penjelasan

secara lebih rinci mengenai siapa saja yang dapat dimasukkan dalam pendidikan inklusif.

Perincian yang diberikan pemerintah ini dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan yang

sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sehingga pemerintah memandang perlu

memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik dari yang normal,

memilik kelainan, dan memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti

pendidikan. Dengan demikian pemerintah mulai mengubah model pendidikan yang

selama ini memisah-misahkan peserta didik normal ke dalam sekolah normal, peserta

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

didik dengan kecerdasan luar biasa dan bakat istimewa ke dalam sekolah akselerasi, dan

peserta didik dengan kelainan ke dalam Sekolah Luar Biasa (SLB).

Seperti yang dijabarkan di dalam Peraturan Walikota Yogyakarta no 47 tahun 2008

Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, pada BAB I, Pasal 1, No.6, bahwa:

“Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi adalah satuan pendidikan formal normal

jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang memiliki

peserta didik tanpa membedabedakan latar belakang kondisi sosial, ekonomi, politik,

suku, bahasa, jenis kelamin, agama atau kepercayaan, serta perbedaan kondisi fisik

maupun mental dan telah menyelenggarakan proses pembelajaran yang inklusif”. Sekolah

inklusif adalah sekolah yang menampung semua peserta didik baik yang normal maupun

berkelainan di lingkungan sekolah dan kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan

program pendidikan yang layak dan menantang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan

setiap peserta didik.

David (2012), menyatakan sekolah inklusif berarti lembaga pendidikan yang

dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang

normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus. Masing-masing dari mereka

memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain.

Sekolah inklusi menampung semua peserta didik baik yang normal maupun berkelainan

di lingkungn sekolah dan kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan program

pendidikan yang layak dan menantang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap

peserta didik. Peserta didik menurut Peraturan Walikota Yogyakarta No.47 Tahun 2008

adalah semua peserta didik termasuk peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta didik

berkebutuhan khusus yang dimaksud meilputi: (a) siswa dengan gangguan penglihatan,

(b) siswa dengan gangguan pendengaran, (c) siswa dengan gangguan wicara, (d) siswa

dengan gangguan fisik, (e) siswa dengan kesulitan belajar, (f) siswa dengan gangguan

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

lambat belajar, (g) siswa dengan gangguan pemusatan pemikiran, (h) siswa cerdas

istimewa, (i) siswa bakat istimewa, (j) siswa yang memiliki kebutuhan khusus secara

sosial.

Berdasarkan penjelasan diatas Sekolah Inklusif adalah lembaga pendidikan yang

didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu yang dirancang dan

disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang normal

maupun peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah normal di lingkungn sekolah

dan kelas yang sama dan masing-masing dari mereka memperoleh layanan pendidikan

yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain.

b. Tujuan Sekolah Inklusi

Adapun tujuan dari sekolah inklusi (Tarsidi, 2007), yaitu:

1) Untuk mendidik anak berkebutuhan khusus akibat kecacatannya dikelas normal

bersama-sama dengan anak-anak lain yang non cacat, beserta dukungan yang sesuai

dengan kebutuhannya.

2) Untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus dan

memberi kesempatan bersosialisasi.

c. Manfaat Sekolah Inklusi

Beberapa manfaat dari sekolah inklusi ini (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa,

2007), yaitu:

1) Bagi anak berkebutuhan khusus diharapkan untuk dapat bersosialisasi dengan

kelompok sebaya normal lainnya dengan baik, tidak menerima banyak tekanan

dan tidak terisolasi dalam dunianya sendiri.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

2) Bagi anak yang normal, sekolah inklusi mengajarkan banyak hal, antara lain

bersikap terbuka terhadap perbedaan, menanamkan rasa empati, tidak memandang

rendah anak berkebutuhan khusus dan memupuk sikap saling menolong.

d. Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar

Peksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan

pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di kelas normal, namun demikian karena di dalam

kelas inklusif di samping terdapat anak normal juga terdapat anak luar biasa yang

mengalami kelainan/penyimpangan (baik phisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau

sensoris neurologis) dibanding dengan anak normal, maka dalam kegiatan belajar-

mengajar guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip

umum juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan

anak (Choiri, 2009).

Menurut David (2012) dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya

disesuaikan dengan model penempatan anak luar biasa yang dipilih, penempatan anak

luar biasa di sekolah inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:

1) Bentuk kelas normal penuh

Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas

normal dengan menggunakan kurikulum yang sama.

2) Bentuk kelas normal dengan cluster

Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas normal dalam

kelompok khusus.

3) Bentuk kelas normal dengan pull out

Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas normal

namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas normal ke ruang sumber untuk

belajar dengan guru pembimbing khusus.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

4) Bentuk kelas normal dengan cluster dan pull out

Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas normal dalam

kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas normal ke ruang

sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus.

5) Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian

Anak berkebutuhan khusus belajar di kelas khusus pada sekolah normal, namun

dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas

normal.

6) Bentuk kelas khusus penuh di sekolah normal

Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah normal.

Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak

mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas normal setiap saat

dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak

berkebutuhan khusus dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi

kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus yang gradasi

kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada

sekolah normal (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat,

dan tidak memungkinkan di sekolah normal (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah

khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit) (David, 2012).

Kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif akan berbeda baik dalam srategi,

kegiatan media, dan metoda. Beberapa kegiatan belajar mungkin dilakukan berdasarkan

literatur-literatur tertentu, sementara yang lainyna belajar yang sama akan lebih efektif

apabila melalui observasi dan eksperimen. Beberapa anak memerlukan alat bantu tulis

untuk mengingat sesuatu, mungkin yang lainnya cukup dengan hanya mendengarkan.

Beberapa siswa mungkin memerlukan kertas dari pensil untuk mengingat suatu hubungan

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

tertentu. sementara beberapa siswa lainnya cukup mengingat dengan hanya melihat saja.

Beberapa siswa mungkin lebih senang belajar secara individual, sedangkan yang lainnya

lebih senang secara berkelompok, Taba (dalam Kustawan, 2010) mengemukakan, bahwa

berbedanya kebutuhan individu berbeda pula di dalam teknik belajar dalam upaya

mengemhangkan dirinya. Dewasa ini isitilah strategi belajar banyak dipergunakan di

dalam teori kognitif dan penelitian. Hal itu berhuhungan dengan strategi individu dalam

hal pemusatan perhatian, pemecahan rnasalah. mengingat dan mengawasi proses belajar

dan pemecahan masalah (Kustawan, 2010).

Hambatan belajar dapat berasal dan kesulitan menentukan strategi belajar dan

metoda belajar lainnya sebagai akibat dan faktor-faktor biologis, psikologis, lingkungan,

atau gabungan dan beberapa faktor tersebut. Sebagai contoh gangguan sensori seperti

hilangnya penglihatan atau pendengaran, merupakan hambatan dalam memperoleh

masukkan informasi dan luar berfungsi minimal otak mungkin akan berakibat yang cukup

serius terhadap konsentrasi (Kustawan, 2010).

Pelaksanaan kegiatan belajar menjadi model kelas tertentu mungkin berbeda

dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada model kelas yang lain. Pada model

Kelas Normal (Inklusi Penuh), bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal

mungkin tidak berbeda secara signifikan namun pada model Kelas Normal dengan

Cluster, bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal biasanya tidak sama,

bahkan antara sesama anak luar biasa pun dapat berbeda (David, 2012).

2. Sekolah Biasa (Konvensional)

a. Pengertian

Sekolah biasa (konvensional) adalah suatu tempat terjadinya proses interaksi antara

siswa dengan siswa dan siswa dengan guru yang bertujuan membentuk siswa menjadi

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

individu yang cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, dan bertanggung jawab (Rusman, 2011).

Sekolah biasa (konvensional) adalah sekolah pada umumnya yang merupakan usaha sadar

dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya unuk memiliki kekuatan spiritual,

keagamaan, pengendalian diri , kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan

yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Gulo, 2002). Unsur – unsur

dalam Sekolah biasa (konvensional) menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

(1995) antara lain: (1) Peserta didik normal, (2) Kurikulum sama semua, (3) Tenaga guru

tidak ada perbedaan, (4) Sarana dan prasarana seperti sekolah pada umumnya, (5)

Lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk anak normal, (6) Bentuk

kelas dalah bentuk kelas yang berisi anak normal penuh dengan kurikulum yang sama

tanpa perbedaan.

Berdasarkan penjelasan di atas Sekolah Biasa (Konvensional) adalah lembaga

pendidikan yang merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya, proses interaksi terjadi antara siswa normal dengan siswa normal dengan

lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk siswa normal.

b. Tujuan Sekolah biasa (konvensional)

Tujuan Sekolah biasa (konvensional) berdasarkan UUSPN (Undang-Undang Sistem

Pendidikan Nasional) no 20 tahun 2003 antara lain:

1) Mendidik siswa agar menjadi manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila

yang mampu ikut bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa.

2) Memberikan bekal kemampuan yang diperlukan bagi siwa-siswa untuk

melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

3) Memberikan bekal kemampuan dasar untuk hidup di masyarakat dan

mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan lingkungan.

Kelebihan Sekolah biasa (konvensional) menurut Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan (1995), sebagai berikut :

1) Pendidikan normal kurikulum sama seluruhnya.

2) Pendidikan normal semuaa siswanya normal.

3) Guru tidak mesti berlatar pendidikan khusus anak berkebutuhan khusus.

4) Sarana dan prasarananya tidak memerlukan biaya yang relative besar karena

semuanya seragam

Kelemahan Sekolah biasa (konvensional) menurut Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan (1995), sebagai berikut :

1) Peserta didik yang memiliki kelainan tidak dapat mengikuti pendidikan seperti

peserta didik yang normal.

2) Sarana dan prasarana tidak memenuhi untuk peserta didik berkebutuhan khusus.

3) Gurunya tidak memiliki keprofesionalan menghadapi peserta didik berkebutuhan

khusus.

c. Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar.

Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian

perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam

situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu (Rusman, 2011). Kegiatan belajar

mengajar mengajar yang guru laksanakan berupa kegiatan pendahuluan adalah kegiatan

awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan

motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam

proses pembelajaran (Rusman, 2011).

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

Pada kegiatan pendahuluan guru dapat melakukan apersepsi, memberikan motivasi

kepada siswa dan menyampaikan tujuan yang akan dicapai. Kegiatan inti merupakan

proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar. Kegiatan pembelajaran dilakukan

secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk

berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan

kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta

didik (Rusman, 2011).

Pada kegiatan inti pelajaran yang dapat guru laksanakan yaitu menguasai materi

pelajaran, pendekatan/strategi pembelajaran, pemanfaatan media pembelajaran/sumber

belajar, memicu dan memelihara keterlibatan siswa, menilai proses dan hasil belajar dan

penggunaan bahasa yang benar dan tepat dalam pembelajaran. Kegiatan penutup

pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan guru untuk mengakhiri pelajaran atau

kegiatan belajar mengajar (Muchit, 2008).

Kegiatan penutup dapat guru laksanakan dengan menyimpulkan materi pelajaran yang

telah disampaikan dan memberikan arahan atau kegiatan yang akan dilakukan minggu

berikutnya. Metode ceramah adalah metode mengajar yang disampaikan secara lisan,

metode seperti ini termasuk metode pembelajaran yang paling sederhana (Fikri, 2006).

Sehingga pendekatan yang sering digunakan adalah teacher center strateies atau

pendekatan yang berpusat pada guru. Pendekatan ini mengutamakan keaktifan peran

guru, guru menguasai informasi yang kemudian di transfer kepada siswa sehingga terjadi

komunikasi yang searah, situasi belajar terkesan kaku, monoton, dan kurang menarik

(Gulo, 2002).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

C. Kemampuan Berempati pada siswa normal di sekolah inklusi dengan siswa normal

di sekolah biasa (konvensional).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemampuan berasal dari kata dasar mampu

yang berarti kuasa atau sanggup. Jadi kemampuan adalah kesanggupan individu untuk

melakukan segala sesuatu termasuk berempati pada orang lain ( Poerwodarminto, 1984).

Goleman (2002), mengatakan bahwa empati adalah merasakan yang dirasakan oleh orang

lain, mampu memahami perspektif orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan

menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. Menurut Adler (dalam Baron & Byrne,

2005), kemampuan berempati yaitu kemampuan merasakan kesulitan atau penderitaan orang

lain, termasuk kesanggupan memahami perasaan dan tergerak untuk berbuat sesuatu bagi

orang lain. Wuryanano (dalam Taufik, 2012) memaparkan bahwa kemampuan berempati

merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain. Semakin dalam

rasa empati seseorang, semakin tinggi rasa hormat dan sopan santunnya kepada sesama.

Kemampuan berempati individu merupakan bagian sensitivitas dari individu,

kepekaan rasa dan kedekatan hati pada hal-hal yang berkaitan secara emosional . Menurut

definisi Eisenberg dan Strayer (2002) munculnya perasaan empati memungkinkan individu

melakukan usaha untuk membantu orang lain. Situasi dan tempat adalah salah satu faktor

yang mempengaruhi dalam perkembangan empati seseorang. Dalam usia awal sekolah, anak

akan belajar berempati dari lingkungan keluarga, tempat bermain dan di sekolah.

Berdasarkan penelitian Prihartanti, dkk. (2009) menunjukan bahwa pada masa SMP dan

SMA masalah sosial berupa interaksi dengan situasi dan tempat sangat mempengaruhi proses

pembentukan empati. Dalam hal ini yang dimaksud adalah sekolah inklusif dan sekolah

konvensional dengan segala unsur-unsur yang berada dalamnya.

Menurut Davis dalam Nashroni (2008) aspek yang mempengaruhi kemampuan

berempati yaitu; pertama Perspective taking adalah membayangkan kondisi seseorang secara

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

fikiran dan perasaan dengan cara meletakkan pandangan dan fikiran pada posisi orang lain

yang menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan pendapat orang lain tentang

dirinya. Contoh perspektive taking yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di

sekolah inklusi “X” yaitu; Saat salah satu siswa berkebutuhan khusus tidak bisa menjawab

pertanyaan dari guru, siswa lain berusaha membantu dengan memperjelas pertanyaan yang

diberikan guru, tidak ada yang mengejek siswa tersebut. Setiap hari jumat selalu ada uang

sumbangan untuk di sumbangkan ke orang yang membutuhkan, jumlah tersebut selalu

meningkat, hal ini menunjukkan siswa dapat membayangkan kondisi seseorang secara fikiran

dan perasaan yang terwujud dalam pemberian sumbangan. Contoh perspektive taking yang

terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah biasa (konvensional) “Y” yaitu;

ketika ada salah satu teman yang tidak jajan, ada beberapa siswa yang dengan cuek jajan

tanpa menawarkan teman tersebut. Ketika salah satu siswa kesulitan dalam menjawab

pertanyaan dari peneliti, siswa lain meledek dengan senyum sehingga siswa tersebut terlihat

kesal.

Aspek kedua yang mempengaruhi kemampuan berempati yaitu; Fantasy, merupakan

kemampuan seseorang untuk mengubah diri secara imajinatif mengalami perasaan dan

tindakan dalam karakter-karakter khayal dalam buku-buku, film atau sandiwara yang dibaca

atau ditonton. Berdasarkan penelitian Stotlang, fantasy berpengaruh terhadap reaksi emosi

orang lain dan menimbulkan perilaku menolong. Contoh fantasy yang terlihat saat peneliti

observasi dan wawancara di sekolah inklusi “X” yaitu; ketika penulis menanyakan pada

siswa tentang cerita film yang sedih atau berita tentang musibah yang sedang dialami saat ini,

sebagian anak merespon dengan ekspresi wajah sedih dan menjawab dengan iba, sedangkan

saat pertanyaan diberikan di sekolah biasa (konvensional) “Y”, yang merespon dengan

ekspresi wajah sedih dan menjawab dengan iba sebagian besar adalah siswa perempuan,

siswa laki-laki tidak begitu terlihat ekspresi wajah sedih.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

Aspek ketiga yang mempengaruhi kemampuan berempati yaitu; Empathic concern

yaitu simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan orang

lain. Empathic concern merupakan cermin dari perasaan dan simpati yang erat kaitannya

dengan kepekaan serta kepedulian terhadap orang lain. Coke dalam penelitian Empathic

concern berhubungan positif dengan reaksi emosional dan perilaku menolong pada orang

dewasa. Contoh Empathic concern yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di

sekolah inklusi “X” yaitu; dari wawancara dengan guru bimbingan dan konseling ketika salah

satu siswa sakit atau terkena musibah kecelakaan, siswa satu kelas dan siswa kelas lain ikut

menjenguk dan membantu meminjamkan buku pelajaran supaya tidak tertinggal pelajaran.

Contoh Empathic concern yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah

biasa (konvensional) “Y” yaitu; saat ada teman yang terjatuh dari sepeda, dua siswa lari

untuk membantu dan beberapa siswa ada yang tertawa dan diam.

Aspek keempat yang mempengaruhi kemampuan berempati yaitu; Personal distress

yaitu menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta

kegelisahan dalam menghadapi situasi interpersonal yang tidak menyenangkan. Contoh

Personal distress yang terlihat saat peneliti observasi dan wawancara di sekolah inklusi “X”

yaitu; saat ada siswa yang pingsan ketika sedang pelajaran olah raga, siswa lain segera

membantu membawa ke kelas dan memanggil guru untuk menolong, terlihat kekhawatiran

teman-teman saat siswa tersebut sakit. Contoh Personal distress yang terlihat saat peneliti

observasi dan wawancara di sekolah biasa (konvensional) “Y” yaitu; saat peneliti

menanyakan pendapat sebagian siswa tentang anak-anak yang mengemis di lampu merah,

respon siswa sebagian besar kasihan dan kecewa terhadap orang tua anak tersebut. Ikut

prihatin terhadap kondisi yang tidak menyenangkan pada orang lain.

Sekolah inklusi merupakan model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak

berkelainan atau berkebutuhan khusus di mana penyelenggaraannya dipadukan bersama anak

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

normal dan bertempat di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di

lembaga bersangkutan (Sukadari, 2006). Sekolah inklusi memberikan kesempatan dan akses

yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan

sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi. Pihak sekolah dituntut

untuk melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana prasarana pendidikan,

maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik

(Direktorat PLB, 2007). Manfaat dari sekolah inklusi ini (Direktorat Pembinaan Sekolah Luar

Biasa, 2007), yaitu: Bagi anak berkebutuhan khusus diharapkan untuk dapat bersosialisasi

dengan kelompok sebaya normal lainnya dengan baik, tidak menerima banyak tekanan dan

tidak terisolasi dalam dunianya sendiri. bagi anak normal, sekolah inklusi mengajarkan

banyak hal, antara lain bersikap terbuka terhadap perbedaan, menanamkan rasa empati, tidak

memandang rendah anak berkebutuhan khusus dan memupuk sikap saling menolong.

Sekolah Inklusi yang menerima siswa yang memiliki kekurangan atau anak

berkebutuhan khusus (ABK), tidak serta merta membuat anak-anak yang berkebutuhan

khusus ini akan diasingkan oleh siswa lainnya. Namun sebaliknya, bisa menumbuhkan rasa

empati kepada anak berkebutuhan khusus sejak dini. Ada anggapan jika orangtua merasa

khawatir dan takut untuk memasukkan anak ke dalam sekolah inklusi karena nantinya akan

diasingkan, padahal sebaliknya, siswa normal bisa menolong temannya yang memiliki

kekurangan. Pemerintah saat ini mulai membuka jalan dengan memberikan pelatihan kepada

guru-guru untuk meningkatkan kualitas sekolah inklusi, sehingga guru dan siswa normal

dapat meningkatkan kemampuan berempati kepada anak berkebutuhan khusus di sekolah

inklusi (www.suaramerdeka.com, 2016).

Adapun tujuan dari sekolah inklusi (Tarsidi, 2007), yaitu: Untuk mendidik anak

berkebutuhan khusus akibat kecacatannya dikelas normal bersama-sama dengan anak-anak

lain yang non cacat, beserta dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus dan memberi

kesempatan bersosialisasi. Menurut Salim dalam Ginanjar (2013) siswa normal di sekolah

inklusi diharapkan dapat memahami, menghargai, dan menerima siswa berkebutuhan khusus

dengan segala perbedaan dan keterbatasannya. Penerimaan siswa normal terhadap siswa

berkebutuhan khusus menjadi langkah awal bagi terwujudnya hubungan harmonis di

lingkungan sekolah inklusi. Empati merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

penerimaan siswa normal terhadap siswa berkebutuhan khusus.

Menurut Soefandi dan Pramudya (2009) empati merupakan kemampuan

menempatkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman orang

tersebut. Menurut Taufik (2012) siswa normal yang mampu menempatkan diri dalam posisi

siswa berkebutuhan khusus, menyelami keadaan siswa berkebutuhan khusus, ikut merasakan

perasaan dan memahami pandangan siswa berkebutuhan khusus terkait dengan segala

keterbatasannya, senantiasa akan lebih dapat menghargai siswa berkebutuhan khusus dan

selanjutnya diharapkan dapat menerima siswa berkebutuhan khusus. Hal tersebut dikarenakan

dengan kemampuan empati seseorang dapat lebih menghormati dan menghargai orang lain

sehingga dapat menerima perbedaan yang ada.

Menurut hasil penelitian dari Salim dan Ginanjar (2013) di SMPN Inklusi Jakarta,

sebagian besar siswa normal di sekolah inklusi memiliki tingkat empati yang tinggi terhadap

siswa berkebutuhan khusus, terlihat dari mean skor empati (M= 31,98) yang mendekati nilai

maksimum (42) pada distributor skor empati. Siswa normal yang lebih banyak dan sering

berinteraksi dengan siswa berkebutuhan khusus maka besar kemungkinan lebih mampu

untuk berempati terhadap siswa berkebutuhan khusus, karakteristik siswa berkebutuhan

khusus yang bagi siswa sekolah biasa (konvensional) terlihat “aneh”, bagi siswa normal di

sekolah inkluasi akan terlihat lebih familiar dan dapat dimaklumi. Hal tersebut sesuai dengan

pernyataan dari siswa yang merasa bahwa lama-kelamaan siswa normal semakin mampu

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

untuk memahami keadaan siswa berkebutuhan khusus, bahkan menganggap siswa tersebut

sebagai seorang teman sekelas yang sebenarnya cukup menyenangkan. Lamanya waktu yang

dihabiskan siswa normal untuk berinteraksi dengan siswa berkebutuhan khusus di kelas dapat

membuat siswa normal semakin memahami diri siswa berkebutuhan khusus. Siswa normal

yang memiliki kedekatan dengan siswa berkebutuhan khusus akan cenderung menampilkan

perilaku menolong yang lebih tinggi. Berdasarkan Bellmore (dalam Salim & Ginanjar, 2013),

terdapat beberapa alasan yang dapat diasosiasikan dengan perilaku menolong, dimana dua di

antaranya adalah empati terhadap korban serta kedekatan hubungan dengan korban tersebut.

Sekolah biasa (konvensional) adalah sekolah pada umumnya yang merupakan usaha

sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya unuk memiliki kekuatan spiritual,

keagamaan, pengendalian diri , kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Gulo, 2002). Unsur – unsur dalam

Sekolah biasa (konvensional) menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995)

antara lain: (1) Peserta didik normal, (2) Kurikulum sama semua, (3) Tenaga guru tidak ada

perbedaan, (4) Sarana dan prasarana seperti sekolah pada umumnya, (5) Lingkungan belajar

dan proses pembelajarannya dirancang untuk anak normal, (6) Bentuk kelas dalah bentuk

kelas yang berisi anak normal penuh dengan kurikulum yang sama tanpa perbedaan.

Menurut Wallace (dalam Sunarto 2009) di sekolah biasa (konvensional) mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut: perhatian kepada masing-masing siswa atau minat sangat kecil,

pembelajaran di sekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan

sebagai peningkatan kompetensi siswa di saat ini, penekanan yang mendasar adalah pada

bagaimana pengetahuan dapat diserap oleh siswa dan penguasaan pengetahuan tersebutlah

yang menjadi tolak ukur keberhasilan tujuan, sementara pengembangan potensi siswa

terabaikan.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Empati 1.eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1274/2/BAB II.pdf · Perkembangan kognitif juga bisa terjadi melalui proses yang disebut adaptasi, kemudian keterlibatan

Di dalam sekolah konvensional, yang paling disoroti adalah prestasi belajar siswa

(Hamdani, 2011). Proses pembelajaran di lingkungan sekolah konvensional mengakibatkan

empati belum seutuhnya dimiliki siswa di sekolah konvensional (Nurfidia, 20017). Wahyuni

& Adiyanti (dalam Salim & Ginanjar, 2013) menambahkan sekolah merupakan lembaga

pendidikian yang mengajarkan ilmu pengetahuan agar siswa memiliki wawasan luas dan

mengajarkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Lingkungan sekolah memiliki

pengaruh yang besar bagi siswa untuk membentuk perilaku siswa, karena di lingkungan

sekolah, siswa dapat menanamkan nilai-nilai positif dalam bersosialisasi dengan teman

sebaya, namun terkadang apa yang diharapkan tidak sesuai apa yang diharapkan. Empati

mendasari banyak segi tindakan dan pertimbangan moral. Oleh karena itu, jika seseorang

tidak memiliki rasa empati pada sesama, kemungkinan besar yang bisa terjadi adalah orang

tersebut akan bertindak semaunya kepada orang lain. Seseorang yang tidak mempunyai

empati ini memiliki potensi untuk melakukan tindak kejahatan kepada orang lain, karena

orang tersebut hanya menggunakan pertimbangan pikirannya sendiri. Empati yang kuat

dalam diri siswa diharapkan akan menumbuhkan perasaan peka serta rasa iba terhadap suatu

kejadian yang dialami oleh siswa lain, sehingga mendorong siswa untuk menolong setiap

kesulitan (Wuryanano dalam Taufik 2012).

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berasumsi bahwa terdapat perbedaan

kemampuan berempati antara siswa normal di sekolah inklusi dan siswa normal di sekolah

biasa (konvensional).

D. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah Ada perbedaan kemampuan berempati pada

siswa normal di sekolah inklusi dengan siswa normal di sekolah biasa (konvensional).