bab ii tinjauan pustaka a. demokrasi 1. pengertian …eprints.umm.ac.id/59691/3/bab ii fajar...

20
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Demokrasi 1. Pengertian Demokrasi Salah satu fenomena amat menakjubkan bukan hanya dalam filsafat politik, tetapi dalam kesadaran nyata masyarakat adalah pengakuan hampir universal terhadap demokrasi. Meskipun seratus tahun lalu kebanyakan orang di bumi ini belum pernah mendengar apapun tentang demokrasi, sekarang keabsahan etis dan politis sebuah negara hampir di seluruh dunia diukur pada kadar kedemokratisnya. 24 Menurut Robert Dahl campuran lembaga kekuasaan yang kita sebut demokrasi merupakan hasil gabungan aliran dari empat sumber yaitu demokratia yunani kuno, tradisi republikan yang berasal dari Roma kuno, pemerintahan perwakilan dan logika kesamaan politik. 25 Konsep domokrasi yang berasal dari dua suku kata yaitu domos dan kratos atau cratein. Kata denokrasi yang diurakan sebagaimana dua suku kata yakni demos yang berarti rakyat dan cratos yang berarti kekuatan/kedaulatan, sehingga konsep demokrasi dapat diartikan kedaulatan rakyat atau kedaulatan tertinggi dari 24 Franz Magnis Suseno SJ, Catatan Untuk Edisi Revisi : Demokrasi Dalam Kesaksian Sejarah, Dalam Diane Revitch & Abigail Thernstrom (ed), Demokrasi Klasik & Modern, Yayasan Pustaka Obor, Jakarta : 2005, hlm. Vii. 25 Franz Magnis Suseno SJ, Mencari sosok Demokrasi Sebuah Telaah Filosofis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta : 1997, hlm. 33

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

11 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 15

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Demokrasi

    1. Pengertian Demokrasi

    Salah satu fenomena amat menakjubkan bukan hanya dalam filsafat

    politik, tetapi dalam kesadaran nyata masyarakat adalah pengakuan hampir

    universal terhadap demokrasi. Meskipun seratus tahun lalu kebanyakan orang

    di bumi ini belum pernah mendengar apapun tentang demokrasi, sekarang

    keabsahan etis dan politis sebuah negara hampir di seluruh dunia diukur pada

    kadar kedemokratisnya.24

    Menurut Robert Dahl campuran lembaga kekuasaan yang kita sebut

    demokrasi merupakan hasil gabungan aliran dari empat sumber yaitu

    demokratia yunani kuno, tradisi republikan yang berasal dari Roma kuno,

    pemerintahan perwakilan dan logika kesamaan politik.25 Konsep domokrasi

    yang berasal dari dua suku kata yaitu domos dan kratos atau cratein. Kata

    denokrasi yang diurakan sebagaimana dua suku kata yakni demos yang berarti

    rakyat dan cratos yang berarti kekuatan/kedaulatan, sehingga konsep

    demokrasi dapat diartikan kedaulatan rakyat atau kedaulatan tertinggi dari

    24Franz Magnis Suseno SJ, Catatan Untuk Edisi Revisi : Demokrasi Dalam Kesaksian Sejarah, Dalam

    Diane Revitch & Abigail Thernstrom (ed), Demokrasi Klasik & Modern, Yayasan Pustaka Obor,

    Jakarta : 2005, hlm. Vii. 25Franz Magnis Suseno SJ, Mencari sosok Demokrasi Sebuah Telaah Filosofis, Gramedia Pustaka

    Utama, Jakarta : 1997, hlm. 33

  • 16

    rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.26

    Dalam Perkembangan lebih lanjur demokrasi diartikan sebagai pemerintahan

    rakyat, yaitu rakyat yang memerintah diri sendiri.27 Akan tetapi demokrasi

    yang demikian itu mustahil dilakukan di era sekarang. Demokrasi atau

    pemerintahan rakyat sekarang di representasikan dengan jalan perwakilan.

    Rakyat yang banyak memilih wakil-wakilnya dalam tiap-tiap waktu, jadinya

    pemerintahan rakyat sekarang direpresentasikan oleh perantara Dewan

    Rakyat.28

    2. Ciri-Ciri Negara Demokrasi

    Jimly Asshiddiqie29 menegaskan bahwa negara hukum yang bertopang pada

    sistem demokrasi pada pokoknya mengidealkan suatu mekanisme bahwa

    negara hukum itu haruslah demokratis, dan negara demokrasi itu haruslah

    didasarkan atas hukum. Menurutnya, dalam perspektif yang bersifat

    horizontal gagasan demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional

    democracy) mengandung 4 (empat) prinsip pokok, yaitu:

    a) Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama;

    b) Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas;

    26Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Prena Media Group, Jakarta : 2014, hlm. 63 27Mohammad Hatta, Demokrasi Kita Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat,

    Sega Arsy, Bandung : Cet.4 2014, hlm 21. 28Op.cit, hlm 23. 29Jimly Asshiddiqie Dalam Muntoha, Demokrasi dan Negara Hukum, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16,

    Juli 2009, hlm. 388-389

  • 17

    c) Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; dan

    d) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan

    yang ditaati bersama dalam konteks kehidupan bernegara, di mana terkait

    pula dimensi-dimensi kekuasaan yang bersifat vertikal antar institusi

    negara dengan warga negara.

    Dalam pandangannya, keempat prinsip-prinsip pokok dari demokrasi tersebut

    lazimnya dilembagakan dengan menambahkan prinsip-prinsip negara hukum

    (nomokrasi), yaitu:

    a) Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia;

    b) Pembatasan kekuasaan melalui mekanisme kekuasaan dan pembagian

    kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antar

    lembaga negara, baik secara vertikal maupun horizontal;

    c) Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak

    (independent and impartial)

    d) Dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan

    warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintahan

    (pejabat administrasi negara);

    e) Adanya mekanisme judicial review oleh lembaga legislatif maupun

    lembaga eksekutif;

    f) Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur

    jaminan-jaminan pelaksana prinsip-prinsip tersebut; dan

  • 18

    g) Pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam

    keseluruhan sistem penyelenggaraan negara

    Franz Magnis-suseno menyebutkan bahwa negara demokratis memiliki lima

    gugus cirri hakiki sebagaimana berikut ini :

    a) Kekuasaan negara terikat oleh hukum

    b) Pemerintah dibawah kontrol nyata masyarakat

    c) Pemilihan umum yang bebas

    d) Prinsip Mayoritas

    e) Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis (meliputi hak menyatakan

    pendapat, hak berkumpul, hak membentuk serikat, hak mengkritik

    pemerintah dan kebebasan pers).30

    3. Perkembangan Demokrasi Di Indonesia

    a. Masa Orde Lama

    Praktik kehidupan demokrasi sebagaimana terjadi dinegara-negara yang

    berkembang (termasuk Indonesia) sering terkecoh oleh fenomena-

    fenomena politik yang nampak demokratis tetapi pada hakikatnya ialah

    berwujud otoriter. Hal ini terlihat ketika UUD 1945 ditetapkan kembali

    melalui dekret Presiden 5 Juli 1959, dan bertekad melaksanakan UUD

    1945 dan pancasila secara murni dan konsekuen, namun demikian

    pelaksanaanya belum tercapai pada masa demokrasi terpimpin (1959-

    30Franz Magnis-Suseno SJ, Mencari Sosok Demokrasi Sebuah Telaah Filosofis, Gramdia Pustaka

    Utama, Jakarta : 1997, hlm. 57-60

  • 19

    1966) karena pemerintahan waktu itu cenderung memusatkan

    pemerintahan pada Presiden, yang akhirya pada tahun 1965 Indonesia

    mengalami gejolak diberbagai Sektor.31

    b. Masa Orde Baru

    Pada masa rezim Otoriter yang dikomandoi oleh Presiden soeharto jelas

    bahwa kebebasan (red : demokrasi) hanyalah sebuah bayang-bayang semu

    belaka, pada masa pemerintahan orde baru hampir disetiap lini kehidupan

    massa dibatasi ruang geraknya. Selain itu tindakan pemerintah sama

    halnya dengan kemauan Presiden Soeharto atau dapat dikatakan semua

    berada pada kemauaan Soeharto, namun pada waktu itu Soeharto

    menutupi tindakan-tindakan otoriternya dengan lebel demokrasi pancasila.

    Secara konsep demokrasi pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat

    yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainya. Lain dari itu rezim

    waktu itu juga memberi penjelasan bahwa demokrasi pancasila yang

    berarti menegakkan kembali asas-asas negara hukum dimana kepastian

    hukum, dirasakan oleh segenap warga negara, hak asasi manusia dalam

    aspek kolektif maupun perseorangan dijamin, dan penyalahgunaan

    kekuasaan dapat dihindarkan.32

    31Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta Cet. 9 : 2014, hlm.

    270-271 32Mahfud MD, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia Studi Tentang Interaksi Politik Dan

    Kehidupan Ketatanegaraan, Rineka Cipta, Cet.2 Jakarta : 2000, hlm. 43

  • 20

    Pada masa itu pula presiden yang dipilih oleh MPR yang separuh dari

    anggotanya adalah anggota-anggota DPR 33 dalam praktiknya presiden

    yang memiliki kekuasaan terlampau besar tersebut berubah menjadi

    ototiter dan sangat jauh dari konsep demokrasi pancasila.

    Pada akhrnya ketidakpuasan publik dan diiringi oleh berbagai gejolak

    protes dari berbagai sektor akhirnya membuat kekuasaan Presiden

    Soeharto runtuh. Jelas bahwa pemuastan kekuasaan ditangan Presiden

    telah membawa bangsa Indonesia pada ambang krisis dimensi.34

    Keruntuhan rezim otoriter Soeharto pada mei 1998 menandai era baru

    bangsa Indonesia menuju era keterbukaan.

    c. Masa Reformasi

    Periode reformasi bermula tepat pada saat keruntuhan kekuasaan Soeharto

    pada 21 Mei 1998. Berbicara dalam konteks Indonesia setelah rezim

    otoriter Soeharto berhasil ditumbangkan pada tahun 1998 maka itu

    merupakan sebuah penyematan terhadap mahkota demokrasi yang secara

    sah menggantikan rezim otoriter dan militeristik Soeharto.35 Bj. Habibie

    sebagai sang suksesor dan parlmen mengeluarkan Undang-undang No 2

    Tahun 1999 tentang Partai Politik, sebagai salah satu hasil daripada

    33Ibid, hlm. 44 34Nimatul huda, Op. Cit, hlm. 271 35Heru Nugroho, Demokrasi dan Demokratisasi Demokrasi dan Demokratisasi : Sebuah Kerangka

    Konseptual untuk Memahami Dinamika Sosial Politik di Indonesia Sebuah Kerangka Konseptual

    untuk Memahami Dinamika Sosial Politik di Indonesia, Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1,

    2012, hlm. 11

  • 21

    amanat reformasi. Perubahan yang didambakan ialah mendirikan suatu

    sistem dimana partai-partai tidak terlalu mendominasi kehidupan politik

    secara berlebihan, akan tetapi tidak member peluang kepada eksekutif

    untuk menjadi super power. Sebaliknya kekuatan eksekutif dan legislatif

    diharapkan menjadi setara atau nevengeschikt sebagaimana diamanatkan

    dalam UUD NRI 1945.36Jika ditarik lebih jauh maka dapat dilihat

    bahwasanya demokrasi dalam konteks Indonesia saat ini merupakan suatu

    rangkaian terhadap penegasan HAM dimana semua orsng memiliki

    kesempatan yang sama.37

    B. Sistem Perwakilan.

    1. Pengertian Sistem Perwakilan

    Perwakilan ialah suatu bentuk hubungan antara dua pihak atau lebih,

    yakni antara wakil dan terwakili yang dimana orang yang mewakili memiliki

    wewenang dari orang yang mewakilkan.38Perwakilan merupakan orang yang

    mewakili kelompok untuk mencapai suatu tujuan bersama, prinsip perwakilan

    menggambarkan para politisi sebagai pelayan rakyat dan memberi mereka

    tanggung jawab untuk bertindak bagi kepentingan diri mereka yang telah

    memilihnya Konsep perwakilan adalah, secara luas, sebuah hubungan melalui

    36Miriam Budiardjo, Op. Cit, hlm. 449-450 37Jailani, Sistem Demokrasi Di Indonesia Ditinjau Dari Sudut Hukum Ketatanegaraan, Jurnal Inovatif,

    Volume VIII Nomor I Januari 2015, hlm. 145 38Abdi Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indoensia Pasca Perubahan UUD 1945 Sistem Perwakilan Di

    Indonesia Dan Masa Depan MPR, Fokus Media, Bandung : 2013, hlm. 54-56.

  • 22

    mana seseorang atau sebuah kelompok membela, atau bertindak untuk

    kepentingan sekumpulan masyarakat yang lebih luas.39 Arbi Sanit

    menjabarkan bahwa sistem perwakilan diartikan sebagai hubungan antara dua

    pihak dalam artian wakil dengan terwakili dimana wakil memegang kewengan

    untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang

    dibuat bersama si terwakili, Artinya yang menjadi fokus perhatian ialah

    kaitanya dengan aspirasi politik.40

    2. Jenis Sistem Perwakilan

    Dalam diskursus ilmu hukum tata negara dikenal beberapa bentuk

    sistem perwakilan, yang kemudian akan penulis bahas sebagaimana berikut

    ini, Sistem yang pertama yaitu sistem distrik, atau disebut juga sistem the

    winner’s take all. Dinamakan demikian karena wilayah negara dibagi menjadi

    distrik-distrik pemilihan atau daerah-daerah pemilihan (dapil) yang jumlahnya

    sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat yang diperlukan

    untuk dipilih. Artinya setiap distrik atau daerah pemilihan akan diwakili oleh

    hanya satu orang wakil, oleh karena itu sistem ini dinamakan juga single

    member constituencies.41

    39Eko Priyo Purnomo, Heru Kusuma Bakti,Sistem Perwakilan

    https://www.researchgate.net/publication/325525338_SISTEM_PERWAKILAN_PEMILIHAN_DAN

    _VOTING_YANG_ADA_DI_INDONESIA/link/5b11efeda6fdcc4611dbee0a/download , Diakses 12

    Desember 2019. 40Ibid, hlm. 54 41Jimly asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Cet. 5 Rajawali Pers :

    2013, hlm. 424

    https://www.researchgate.net/publication/325525338_SISTEM_PERWAKILAN_PEMILIHAN_DAN_VOTING_YANG_ADA_DI_INDONESIA/link/5b11efeda6fdcc4611dbee0a/downloadhttps://www.researchgate.net/publication/325525338_SISTEM_PERWAKILAN_PEMILIHAN_DAN_VOTING_YANG_ADA_DI_INDONESIA/link/5b11efeda6fdcc4611dbee0a/download

  • 23

    Sistem yang kedua yaitu sistem perwakilan berimbang/proporsional,

    persentase kursi dibagi ke tiap-tiap partai politik,sesuai dengan presentase

    jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Pembagian kursi tersebut

    tergantung pada pada seberapa jumlah suara yang didapat setiap partai

    politik.42

    3. Konsep Lembaga Perwakilan

    Sejak awal munculnya gagasan demokrasi perwakilan, muncul

    pemikiran untuk menciptakan wadah demokrasi perwakilan yang bertugas

    menghasilkan keputusan-keputusan penting dalam urusan bernegara demi

    kesejahteraan warga yang diwakili. Pada umumnya dikenal ada 2 (dua)

    macam lembaga perwakilan atau parlemen, yaitu parlemen dua kamar

    (bicameral parliament)) dan parlemen satu kamar (unicameral parliament).43

    Adapun pejelasan kedua konsep lembaga perwakilan tersebut ialah sebagai

    berikut :

    a. Unikameral

    Sistem unikameral, sistem ini terpusat pada satu badan legislatif

    tertinggi dalam struktur negara. Isi aturan menganai fungsi dan tugas

    parlemen unikameral ini beragam dan bervariasi dari satu negara ke negara

    lain, tetapi pada pokoknya bahwa secara kelembagaan fungsi legislatif

    42Jimly Asshidiqie, Konstitusi Bernegara Praksis Kenegaraan Bermartabat Dan Demokratis, Malang,

    Setara Press :Cet.22016, hlm. 225-226. 43Menurut Mahmuf MD, dalam, Miki Pirmansyah, Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam

    Sistem Bikameral Di Indonesia, Jurnal Cita Hukum, Vol. I No. 1 Juni 2014, hlm. 167

  • 24

    tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang dipilih

    oleh rakyat. Dalam sistem unikameral, struktur parlemen tipe unikameral (satu

    kamar) ini, tidak dikenal adanya dua badan yang terpisah seperti adanya DPR

    dan Senat, ataupun Majelis Tinggi dan Majelis Rendah, namun justru sistem

    unikameral inilah yang sesungguhnya lebih popular karena sebagian besar

    dunia sekarang sedang menganut sistem ini. Meskipun banyak negara-negara

    yang memakai sistem ini, tetapi sistem satu kamar ini hanya popular

    dikalangan negara yang berukuran kecil, karena masalah keseimbangan

    kekuatan politik sangat kecil kesulitannya untuk memecahkannya daripada

    dalam suatu negara besar.44 Prinsip ini oleh kalangan penganutnya dianggap

    sesuai dengan konsep demokrasi. Lagi pula prosedur pengambilan

    keputusanya berjalan relatif cepat.45 Dari sistem unikameral kita beranjak

    pada satu sistem yang lainya yaitu sistem bikameral.

    b. Bikameral.

    Model pada bentuk bikameral pada hakikatnya mengidealkan adanya

    dua kamar di dalam lembaga perwakilan. Doktrin ini berasal dari teori klasik

    Aristoteles dan Polybus yang berargumentasi, bahwa pemerintahan yang baik

    adalah gabungan antara prinsip demokrasi dan oligarki. Namun, pandangan

    mengenai bikameral ini dikemukakan pertama kali oleh Jeremy Betham. Dan

    44Unknown, Lembaga Perwakilan Dalam Negara Kesatuan,

    https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/10957/05.3%20bab%203.pdf?sequence=7&isAllo

    wed=y , Diakses 18 Desember 2019, hlm 62-63. 45Miriam Budiarjo, Op. Cit, hlm. 319

    https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/10957/05.3%20bab%203.pdf?sequence=7&isAllowed=yhttps://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/10957/05.3%20bab%203.pdf?sequence=7&isAllowed=y

  • 25

    bentuk parlemen dua kamar inilah yang banyak digunakan oleh negara

    modern saat ini.46 selanjutnya, sistem bikameral berkembangan menjadi

    beberapa turunan sebagimana pandangan Giovani Sartori membagi model

    bikameral ini menjadi tiga jenis, yaitu (1) Sistem Bikameral yang lemah

    (asymmetric bicameralism/weak bicameralism/soft bicameralism), yaitu

    apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kamar lainnya; (2)

    Sistem Bikameral yang simetris atau relatif sama kuat (symmetric

    bicameralis/strong bicameralism) apabila kekuatan antara kedua kamarnya

    nyaris sama kuat; dan (3) perfect bicameralism, yaitu apablia kekuatan antata

    kedua kamar betul- betul seimbang.47

    4. Dewan Perwakilan Rakyat.

    DPR adalah lembaga negara sebagai lembaga perwakilan

    rakyat(parlemen). Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014

    memberikan definisi bahwa Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya

    disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimanadimaksud

    dalam UndangUUD NRI 1945.48

    DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yangberkedudukan sebagai

    46Saldi Isra, DalamYokotani, Sistem Bikameral Di Lembaga Legislatif Berdasarkan Tugas Dan

    Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (Perbandingan dengan Amerika Serikat, Inggris, dan

    Argentina), Jurnal Hukum Progresif: Volume XI/No.1/Juni 2017, hlm. 1851. 47Yokotani, Sistem Bikameral Di Lembaga Legislatif Berdasarkan Tugas Dan Kewenangan Dewan

    Perwakilan Daerah (Perbandingan dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Argentina) Jurnal Hukum

    Progresif: Volume XI/No.1/Juni 2017, hlm. 1851-1852 48 Pasal 1 Angka 2, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis

    Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

    Perwakilan Rakyat Daerah

  • 26

    lembaga negara. DPR beranggotakan para wakilrakyat dari partai politik yang

    dipilih melalui pemilihan umum. Seluruhanggota Dewan Perwakilan kakyat

    menjadi anggota MPR. DPRmempunyai fungsi:

    a) Legislasi, yaitu membentuk undang-undang;

    b) Anggaran, yaitu menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

    c) Pengawasan, yaitu mengawasi jalannya pemerintahan.49

    Menurut Akbar Kalelola DPR adalah lembaga yang anggotanya dipilih

    oleh rakyat dalam pemilu, memiliki fungsi legislasi(membuat undang-undang),

    menyusun anggaran dan pengawasan kerja pemerintah.50 Sedang ahli yang lain

    memberikan definisi yang hampir mirip sebagaimana didefinikan oleh Charles

    Simabura, DPR ialah lembaga negara penampung aspirasi serta pemikiran rakyat

    dan juga jembatan yuridis antara rakyat denganpemerintahaneksekutif di dalam

    tata ruang kekuasaan lembaga negara. Kehadiran lembagaperwakilan rakyat

    merupakan wujud dari demokrasi.51Kehadiran lembaga perwakilan ini tentunya

    merupakan sarana guna menampung berbagai aspirasi rakyat yang sangat

    beraneka ragam. Jelas bahwasanya Dewan Perwakilan Rakyat yang ada harus

    mampu menjadi suatu badan yang sangat representatif bagi berbagai kalangan

    terlepas itu perempuan maupun lelaki, Jangan sampai adanya badan perwakilan

    49Sri Soemantri, dalam, Zaki ulya, Hukum Kelembagaan Negara (Kajian teoritis perkembangan

    lembaga negara pasca reformasi, Langsa : 2017, hlm 33. 50Akbar Kaelola, Kamus Istilah Politik, Cakrawala, Yogyakarta : 2009, hlm 86. 51Charles Simabura, Parlemen Indonesia:Lintasan Sejarah dan Sistemnya, RajaGrafindoPersada,

    Jakarta : 2011, hlm 23.

  • 27

    tersebut malah mensubordinasi salah satu kalangan terkhusus

    perempuan.Keterlibatan dan partisipasi perempuan baik di parpol maupun di

    lembaga legislatif mutlak dibutuhkan. Sebab partisipasi wanita akan memberikan

    sumbangan yang lebih lengkap dan sempurna pada partai maupun dewan dalam

    melaksanakan amanat umat.52 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang

    partai politik, merupakan titik tolok dimana ada kemajuan terkait keterlibatan

    aktif peremouan di partai politik.

    Jika kita berbicara mengenai keterlibatan perempuan Indonesia dalam ranah atau

    dunia publik (Politik), maka yang diperbincangkan sebenarnya bukan suatu yang

    secara historis asing sama sekali dalam perjalanan perempuanIndonesia.53 Adapun

    keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan rakyat dari masa kemasa ialah

    sebagai berikut :

    Jumlah Keterwakilan perempuan di DPR RI sebelum Reformasi, pemilu 1971

    sebanyak 7,8%, pada pemilu 1977 sebanyak 6,3%, pada pemilu 1982 sebanyak

    8,5%, pada pemilu 1987sebanyak 13%, pada pemilu 1992 sebanyak 12,5%.54

    Pada masa Era Reformasi keterwakilan perempuan secara berturut-turut

    sebagaimana berikut, pemilu 1999 sebanyak 9%, pemilu 2004 sebanyak 11%,

    52Catur Wido Haruni, Kiprah Wanita Dalam DUnia Politik Dan Hukum, Jurnal Legality, Vol.

    5/IV/Agustus 1996, hlm 71. 53Louise Edward dalam Mizbah Zulfa Elizabeth, Resistensi Perempuan Parlemen Perjuangan Menuju

    Kesetaraan Gender, LP3S, Depok : 2018, hlm 1. 54Mizbah Zulfa Elizabeth, Op. Cit, hlm. 53

  • 28

    pemilu 2009 sebanyak 18%, pemilu 2014 sebanyak 17%,55 dan pada pemilu 2019

    sebanyak 20,5%

    C. Affirmative Action

    1. Affirmative ActionYang Pernah Berlaku di Indonesia

    Affirmative action ialah sutau kebijakan yang digunakan untuk

    mendorong suatu hal yang dianggap tertinggal. Berkenaan dengan hal tersebut

    di Indonesia sendiri pernah melakukan kebijakan afirmasi dibeberapa sektor

    diantaranya kebijakan afirmasi pendidikan tinggi untuk papua yang

    dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi pemuda di papua dalam

    mengenyam pendidikan tinggi serta untuk menjawab tantangan rendahnya

    tingkat strata satu pemuda-pemuda Papua.56Pengaturan terkait dengan

    kebijakan afirmasi terdapat pula dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 4

    Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, dan Pasal 28 Perturan Pemerintah

    Nomor 43 Tahun 1998 Tentang Upaya peningkatan Kesejahteraan Sosial

    Penyandang Cacat.57

    55Lampiran peraturan menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak republik Indonesia

    nomor 10 tahun 2015 tentang grand design peningkatan keterwakilan perempuan di dewan

    perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah pada pemilu

    tahun 2019. 56Ardian Bakhtiar Rivai, Kebijakan Afirmasi Pendidikan Tinggi Untuk Papua, Jurnal CosmoGov,

    Vol.1 No.2, Oktober 2015, ISSN 2442-5958, hlm. 285

    57 Zulfah Latuconsina, Afirmasi Kebijakan Pemerintah dalam Fasilitasi Kerja bagi Penyandang

    Disabilitas ,Pandecta. Vol. 9, Nomor 2, Desember 2014, ISSN 1907-8919, hlm 205

  • 29

    2. Affirmative ActionTerhadap Perempuan di DPR

    Sebagai bagian gerakan demokrasi, perjuangan perempuan untuk

    meningkatkan jumlah perempuan di parlemen (DPR) harus dilakukan dengan

    cara-cara demokratis, yakni melalui pemilu yang jujur dan adil. Di sinilah

    perlunya gerakan peningkatan keterwakilan perempuan memilih sistem

    pemilu yang memberi kesempatan lebih terbuka bagi para calon perempuan

    untuk memasuki parlemen.58 Perjuangan terkait dengan usaha untuk

    melakukan peningkatan keterwakilan perempuan di DPR terlihat dari adanya

    kebijakan afirmatif bagi perempuan untuk melenggang masuk DPR.

    Pengaturan yang lebih penting dalam rangka affirmative actionagar

    perempuan dapat semakin berkiprah di lembaga legislatif adalah ketentuan

    awal dimana memang memiliki dampak politik besar terhadap upaya

    marginalisasi perempuan dibidang politik. Hal ini merupakan satu revolusi

    yang harus dilakukan parpol, yang tidak hanya bicara masalah 30%.59 Kuota

    bagi perempuan yang diatur dalam pasal 65 ayat 1 UU nomor 12 Tahun 2003

    adalah bukan sebuah jatah, tapi perjungan untuk implementasinya. Ia

    merupakan sarana dan salah satu pintu pembuka halangan yang selama ini

    dihadapi oleh perempuan untuk berpartisipasi di bidang politik.60

    58Op.cit, Ramlan Subakti, dkk, Hlm 5. 59Nur Zuriah, Refleksi Hak-Hak Politik Perempuan Peluang dan Prospeknya, Jurnal Legality, Vol 12.

    No. 1 maret-Agustus 2004, hlm. 3 60Ibid

  • 30

    Mengenai daftar bakal paling sedikit 30% keterwakilan perempuan

    secara berturut-turut perubahan Undang-Undang pemilu tetap mengatur terkait

    hal terbsebut. Pasal 53 UU Pemilu No 10 Tahun 2008 menyatakan: ‟Daftar

    bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 memuat paling sedikit 30%

    (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan‟.

    Ketentuan lebih maju lagi dalam affirmative actionadalah adanya penerapan

    zipper system. Sistem tersebut mengatur bahwa setiap 3 (tiga) bakal calon

    terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan. Pasal 55 ayat (2) UU

    No. 10 Tahun 2008 menyatakan: „‟Di dalam daftar bakal calon sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-

    kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”. Pada ayat (1) mengatur

    bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor

    urut.61

    D. Pengaturan Keterwakilan Perempuan di Parlemen di Beberapa Negara.

    1. Prancis

    Aturan terkait dengan kuota perempuan di parlemen Prancis termaktub dalam

    Electoral Code Of France 2015, Law No. 88-227

    Members of the National Assembly are elected in 577 single-member

    constituencies, according to a two-round majoritarian system. The

    difference between the number of candidates of each sex that a party or

    61Ignatius Mulyono, Ketua Badan Legislasi DPRRI, Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel RUU

    PemiluPeluang untuk Keterwakilan Perempuan, Dep. Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan

    Anak DPP Partai Demokrat di Hotel Crown, Jakarta, 2 Februari 2010.

  • 31

    group of parties present for single-member constituency elections can not

    be greater than 2% (Law No. 88-227, Article 9 (1)).

    Non-compliance with 50% parity rule (only 2% difference allowed

    between the number of female and male candidates) will result in a

    financial penalty calculated in the following way: the public funding

    provided to parties based on the number of votes they receive in the first

    round of elections will be decreased ‘by a percentage equivalent to three

    quarters of the difference between the total number of candidates of each

    sex, out of the total number of candidates’. (Article 9-1).62

    Artinya :Anggota Majelis Nasional dipilih di 577 daerah pemilihan

    dengan 1 anggota, menurut sistem mayoritas dua putaran.

    Perbedaan antara jumlah kandidat dari setiap jenis kelamin oleh

    suatu partai atau kelompok partai untuk pemillihan konstituan

    yang beranggotakan tunggal tidak boleh lebih dari 2% (UU No

    88-227, Pasal 9 (1)). Ketidakpatuhan dengan 50% aturan

    paritas (hanya selisih 2% saja yang dibolehkan perbedaan

    jumlah kandidat wanita dan pria) akan menyebabkan penalty

    finalsial dengan penghitungan sebagai berikut : dana public yang

    diberikan kepada partai berdasarkan jumlah suara yang mereka

    terima diputaran pertama pada pemilihan, akan dikurangi dengan

    presentase yang setara dengan 3 4⁄ dari selisih antara jumlah total

    kandidat dari tiap jenis kelamin, dari total jumlah kandidat (Pasal

    9-1).

    2. Belgia

    Di Belgia, Electoral Act yang diundangkan tanggal 24 Mei 1994 membatasi

    setiap parpol untuk tidak mengajukan caleg yang berjenis kelamin sama

    62IDEA, https://www.idea.int/data-tools/data/gender-quotas/country-view/86/35, diakses 13 Desember

    2019

    https://www.idea.int/data-tools/data/gender-quotas/country-view/86/35

  • 32

    lebih dari 2/3 bagian. Jika sebuah parpol tidak mampu melaksanakan UU

    ini, daftar caleg harus dibiarkan kosong atau bahkan dianggap tidak sah

    (Global Database of Quotas for Women, dikutip oleh Norris,

    2003).63Belgium (Kingdom of Belgium) has a Bicameral parliament with

    legislated quotas for the single/lower house and upper house and at the sub-

    national level. 63 of 150 (42%) seats in the Chambre des Représentants /

    House of Representatives are held by women.64(Kerajaan Belgia memiliki

    parlemen bicameral dengan kuota untuk diberikan kepada majelis

    rendah/majlis tinggi dan majlis tinggi ditingkat regional. 63 dari 150 kursi

    (42%) dari kursi di Chambre des Represantants/House of Representatitive

    dimiliki oleh wanita.)

    Aturan terkait dengan jumlah kuota di parlemen Belgia diatur dalam Code

    Electoral Algemeen Kieswetboek 2007 sebagaimana berikut :

    150 members of the House of Representatives are elected using the list

    proportional representation system in multi-member constituencies. On

    electoral lists, the difference between the number of candidates of each

    sex should not be more than one. This also applies to the list of alternates.

    The 2 top candidates on candidate lists and on the lists of alternates

    cannot be of the same sex (Electoral Code, Article 117bis).The two top

    candidates on candidate lists and on the lists of alternates cannot be of the

    same sex (Electoral Code, Article 117bis).65

    Artinya :

    63IbidAndayani (Pengajar IAIN Sunan Kalijaga), Efektivitas kuota Perempuan dalam Pemilihan

    Umum, Kompas : 19 Januari 2004. 64IDEA, https://www.idea.int/data-tools/data/gender-quotas/country-view/60/35, diakses 13 Desember

    2019 65Code Electoral Algemeen Kieswetboek 2007

    https://www.idea.int/data-tools/data/gender-quotas/country-view/60/35

  • 33

    150 anggota DPR dipilih menggunakan sistem daftar perwakilan

    proporsional di konstituensi multi-anggota. Pada daftar pemilihan,

    perbedaan antara jumlah kandidat perjenis kelamin tidak boleh

    lebih dari satu. Ini juga berlaku untuk daftar alternatif. 2 kandidat

    teratas dalam daftar kandidat pada daftar alternatif mungkin tidak

    berjenis kelamin sama (Kode Pemilihan, Pasal 117bis). Parpol

    tidak dapat menyangkal pada daftar pemilihan, perbedaan antara

    jumlah jenis kelamin tidak boleh lebih dari satu. Ini juga berlaku

    untuk daftar alternative. 2 pada daftar kandidat dan daftar

    alternative mungkin tidak memiliki jenis kelamin yang sama

    (Pasal 117bis). 2 kandidat teratas pada daftar kandidat dan pada

    daftar alternatif tidak boleh memiliki jenis kelamin yang sama

    (Pasal 117bis).

    3. Timor Leste

    para perempuan di parlemen Timor Leste juga berhasil meloloskan UU

    Pemilihan Parlemen pada 2012. UU ini memberikan peluang lebih lebar bagi

    perempuan yang hendak duduk di kursi dewan. Sebab partai wajib mengusung

    satu perempuan di antara tiga kandidat. Dengan cara itu, jumlah perempuan

    yang duduk di parlemen meningkat hingga 39 persen dari sebelumnya yang

    hanya 27 persen.66 Aturan terkait dengan kuota perempuan terkandung dalam

    pasal 12 ayat 3 Undang-Undang No. 9 Tahun 2017 Timur Leste Tentang

    Pemilihan Parlemen Nasioanal sebagaimana berikut :

    66kolaborasi antara Jaring.id dengan radio Rakambia, Timor Leste, Suara Nyaring Perempuan

    Parlemen Timor Leste, https://jaring.id/politik , Diakses 20 Desember 2019.

    https://jaring.id/politik/suara-nyaring-perempuan-parlemen-timor-leste/

  • 34

    As listas de candidatos efetivos e suplentes devem incluir, pelo menos,

    uma mulher por cada conjunto de três candidatos, sob pena de rejeição. 67

    (Daftar kandidat penuh dan alternatif harus menyertakan setidaknya satu

    wanita untuk setiap set tiga kandidat, di bawah penalti penolakan.)

    67Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 Timor Leste tentang perubahan Ke empat Undang-undang

    Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pemilihan Parlemen Nasional (LEI N.º 9/2017de 5 de Maio Quarta

    Alteração À Lei N.º 6/2006, (Lei Eleitoral Para O Parlamento Nacional)