bab ii tinjauan pustaka a. agresivitas 1. pengertian ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/5412/3/bab...
TRANSCRIPT
-
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Agresivitas
1. Pengertian Agresivitas
Agresi dapat diartikan sebagai setiap tindakan yang dimaksudkan untuk
melukai atau menyakiti orang lain (Taylor dkk, 2009). Unsur penting dari agresi
yaitu adanya faktor tujuan dan kesengajaan. Krahe (2005) menjelaskan lebih
lanjut bahwa agresi adalah tindakan individu yang secara sengaja bertujuan
untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tindakan tersebut.
Buss dan Perry (1992) mengatakan yang dimaksud dengan agresif adalah
tingkah laku individu yang maksudkan untuk melukai atau menyakiti individu
lain yang tidak menginginkan adanya perilaku tersebut. Buss dan Perry (1992)
mengungkapkan bahwa perilaku agresif individu sudah dapat terlihat sejak
masa kanak-kanak. Setiap manusia pasti pernah berperilaku agresif. Krahe
(2005) mengungkapkan bahwa motif utama perilaku agresif adalah keinginan
untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negative dengan menyakiti atau
melukai orang lain.
Baron, R.A., & Byrne (1991) menjelaskan bahwa perilaku agresif dapat
merujuk ke tindakan agresivitas, menurut salah satu pendekatan terhadap
agresivitas yaitu pendekatan belajar yang menolak keberadaan faktor-faktor
bawaan yang diyakini sebagai sumber agresivitas. Artinya, agresi itu sebagai
-
2
tingkah laku yang dipelajari atau hasil belajar yang melibatkan faktor-faktor
eksternal pada proses pembentukan agresi tersebut.
Berdasarkan definisi yang diungkapkan oleh beberapa tokoh di atas dapat
disimpulkan bahwa pengertian dari agresivitas adalah tingkah laku individu
yang menyakiti atau melukai seseorang dengan tujuan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tindakan
tersebut.
2. Jenis-jenis Agresivitas
Terdapat beberapa jenis agresivitas menurut Buss dan Perry (1992) yaitu:
a. Agresi fisik (physical aggression)
Agresi yang dilakukan untuk melukai seseorang secara fisik, seperti
menyakiti orang lain secara fisik dan melukai orang lain secara fisik. Contoh
tindakan tersebut adalah memukul, menendang, dan menyerang.
b. Agresi verbal (verbal aggression)
Agresi yang dilakukan kepada seseorang melalui cara verbal, contohnya
adalah memaki orang lain, membentak, bersikap sarkatis, dan menyebarkan
gosip.
c. Kemarahan (anger)
Perasaan tidak senang yang dirasakan oleh seseorang akibat dari reaksi fisik
ataupun cedera fisik yang dialami oleh seseorang.Contohnya, perasaan
benci, kesal, dan tidak mampu mengendalikan amarah.
-
3
d. Permusuhan (hostility)
Sikap negatif kepada orang lain yang muncul karena penilaian negatif dari
diri kita sendiri.
Schneiders (dalam Aman, 2004) menjelaskan jenis-jenis perilaku agresif yaitu;
a. Otoriter yaitu orang memiliki ciri kepribadian kaku dalam memegang nilai-
nilai konvensional dan tidak bisa toleransi terhadap kelemahankelemahan yang
ada dalam diri sendiri maupun orang lain.
b. Superior yaitu individu merasa yang paling baik di banding dengan individu
lain.
c. Egosentris yaitu individu mengutamakan keperluan pribadi tanpa
memperhatikan kepentingan diri sendiri seperti yang ditunjukan dengan
kekuasaan dan kepemilikan.
d. keinginan untuk menyerang baik terhadap, benda maupun manusia, yaitu
mempunyai kecenderungan untuk melampiaskan keinginannnya dan
perasaanya yang tidak nyaman ataupun tidak puas pada lingkungan
disekitarnya dengan melakukan penyerangan terhadap individu ataupun benda
lain disekitarnya.
Menurut allport dan adorno (dalam Koeswara, 1988) agresif dibedakan menjadi dua
jenis
a) Prasangka (Thinking ill others) Definisi ini mengimplikasikan bahwa dengan
prasangka individu atau kelompok menganggap buruk atau memandang
negatif secara tidak rasional. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana individu
berprasangka terhadap segala sesuatu yang dihadapinya.
-
4
b) Otoriter yaitu orang-orang yang memiliki ciri-ciri kepribadian yang cenderung
kaku dalam memegang keyakinannya, cenderung memegang nilai-nilai
konvesional, tidak bisa tolirensi terhadap kelemahanyang ada dalam dirinya
sendirimaupun dalam diri orang lain, cenderung bersifat menghukum, selau
curiga dan sangat menaruh hormat dan pengabdian pada otoritas secara tidak
wajar.
Disimpulkan bahwa terdapat beberapa jenis dalam agresivitas yaitu
perlawanan disiplin, superioritas, egosentrisme, keinginan untuk menyerang
manusia, agresi fisik (physical aggression), agresi verbal (verbal aggression),
kemarahan (anger), serta permusuhan (hostility). Jenis yang penulis gunakan
untuk menyusun skala agresivitas adalah milik Buss dan Perry (1992) yaitu
agresi fisik (physical aggression), agresi verbal (verbal aggression), kemarahan
(anger), serta permusuhan (hostility). Dipilihnya jenis tersebut karena sesuai
untuk mengungkap agresivitas remaja sebagaimana subjek penelitian ini.
3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Agresivitas
Menurut Koesworo (2008) faktor yang dianggap memengaruhi
agresivitas pada individu adalah frustasi, stres, deindividuasi, kekuasaan dan
kepatuhan, kehadiran senjata, provokasi, obat-obatan dan alkohol, dan pelatihan
pengelolaan kemarahan.
a. Frustasi
Frustasi adalah ketika individu gagal mendapatkan atau mencapai apa yang
diinginkan atau mendapatkan hambatan untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Frustasi mampu mengarahkan individu kepada bertindak
-
5
agresif. frustasi merupakan situasi yang tidak menyenangkan dan
individupun ingin menghindari hal tersebut dengan berbagai cara, termasuk
dengan perilaku agresif.
Teori frustrasi-agresi yang dipelopori oleh Dollard dkk (dalam Baron &
Byrne, 2003). Teori ini menyatakan bahwa frustrasi menyebabkan berbagai
kecenderungan, yang salah satunya adalah kecenderungan agresi, dan agresi
timbul karena adanya frustrasi Apabila frustrasi meningkat, maka
kecenderungan perilaku agresifpun akan meningkat. Kekuatan dorongan
agresi yang disebabkan oleh frustrasi, tergantung besarnya kepuasan yang
diharapkan dan tidak dapat diperoleh. Frustasi, terhambatnya atau
tercegahnya upaya pencapaian tujuan kerap menjadi penyebab agresi.
Tetapi agresi tidak selalu muncul karena frustasi. Manusia, misalnya petinju
dan tentara, dapat melakukan agresi karena alasan lain. ( Miller dalam
Sarlito,2009)
b. Stres
Para pakar dalam bidang fisiologis mendefinisikan stress sebagai reaksi,
respon, atau adaptasi fisiologis terhadap stimulus eksternal ataupun
perubahan lingkungan. Stres dapat muncul dari internal (dalam diri)
maupun eksternal (luar diri) dimana stress akan menghasilkan perasaan
yang tidak menyenangkan dan menuntut penyesuaian secara behavioral
(dalam bentuk perilaku), tuntutan tersebut yang akan merujuk pada perilaku
agresif.
c. Deindividuasi
-
6
Deindividuisasi atau depersonalisasi dapat mengarahkan individu pada
keleluasaan dalam melakukan agresi, sehingga perilaku agresif dapat terjadi
lebih intens. Definisi dari deindividuasi adalah kondisi dimana individu
tidak diketahui identitasnya dan individu akan bertindak lebih anti sosial.
Keadaan deindividuasi dapat membawa perilaku individu ke luar dari
batasan norma
d. Kekuasaan dan Kepatuhan
Kekuasaan apabila disalahgunakan oleh individu, akan merujuk pada agresi.
Dasar pemikiran bahwa menggunakan kekuasaan dan mengubahnya
menjadi kekuatan yang memaksa memiliki dampak yang langsung atau
tidak langsung pada perilaku agresif.
e. Efek Senjata
Penyebaran senjata merupakan salah satu alasan mengapa seseorang dapat
berprilaku agresif. Contohnya adalah senjata nuklir yang menimbulkan
konflik antar negara. Fungsi senjata tidaklah memainkan peranan utama
dalam agresi, tapi adanya efek kehadiran dari senjata tersebut yang dapat
menimbulkan agresi.
f. Provokasi
Provokasi juga merupakan pemicu agresi. Provokasi dapat meningkatkan
emosi seseorang. Schachter mengungkapkan bahwa kemungkinan
tercetusnya agresi akan lebih besar apabila individu yang
menerimaprovokasi mengalami peningkatan emosi. Hasil penelitian
Zillman dan Byrant (dalam Koesworo, 2008) mengatakan bahwa subjek-
-
7
subjek yang taraf emosinya tinggi menunjukkan tingkat agresivitas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan subjek-subjek yang taraf emosinya rendah
ketika para subjek diberikan perlakuan provokatif.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan faktor-faktor yang
mempengaruhi agresivitas yaitu frustasi, stress, deindividuasi, kekuasaan dan
kepatuhan, efek senjata, provokasi
4. Intervensi untuk Menurunkan Agresivitas
Terdapat beberapa intervensi untuk menurunkan agresivitas, antara lain:
a. Doing Anger Differently (DAD)
Penelitian yang dilakunan Currie (2004) dengan program Doing Anger
Differently (DAD) terbukti efektif menurunkan perilaku agresif remaja
berisiko dengan memberikan latihan selama 10 minggu (20 sesi) melalui
bermain alat musik perkusi sebagai sarana mengalihkan ekspresi amarah
dan melatih remaja melambangkan perasaan negatifnya hingga mampu
menyadari dan mencari alternatif respon terhadap amarah selain berperilaku
agresif.
b. Student Created Aggression Replacement Education (SCARE)
Hermann & Mc Whirter (2003) melalui program Studen tCreated
Aggression Replacement Education (SCARE) sebanyak 15 sesi,
menemukan bahwa remaja berisiko yang telah mengikuti program tersebut
memiliki tingkat amarah dan perilaku agresif yang signifikan lebih rendah
dan memiliki tingkat kontrol amarah yang lebih tinggi pada akhir perlakuan
dan setelah satu tahun program berlangsung.
-
8
c. Cognitive Behavior Therapy (CBT atau Terapi Kognitif Perilaku)
Penelitian yang dilakukan oleh Clarinda (2014) bertujuan untuk
menurunkan agresivitas verbal yang terjadi pada anak-anak melalui
cognitive behavior therapy (CBT).Agresi verbal yang dilakukan anak
memiliki irrational beliefbahwa ada yang memintanya untuk berkata kasar
dengan tujuan menyakiti orang lain. Intervensi terdiri dari 10 sesi dengan
durasi seminggu sekali.
d. Pelatihan Pengelolaan Kemarahan
Lench (2004) telah melakukan penelitian dengan tema “Anger
Management: Diagnostic Differences and Treatment Implications”. Hasil
dari penelitiannya kelompok yang mendapatkan pelatihan pengelolaan
kemarahan mendapatkan penurunan nilai agresivitas dibandingkan dengan
yang tidak mendapatkan pelatihan.
Disimpulkan bahwa terdapat beberapa intervensi untuk menurunkan
agresivitas, antara lain Doing Anger Differently (DAD), Student Created
Aggression Replacement Education (SCARE), Cognitive Behavior Therapy (CBT),
dan pelatihan pengelolaan kemarahan. Diketahui bahwa pelatihan pengelolaan
kemarahan merupakan salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk
menurunkan agresivitas.
-
9
B. Pelatihan Pengelolaan Kemarahan
1. Definisi Pelatihan Pengelolaan Kemarahan
Kata pelatihan digunakan karena pada individu akan diajarkan suatu
perilaku baru yang bersifat praktis, yaitu keterampilan yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari dan dipelajari dalam waktu singkat. Prinsip belajar yang
dipakai dalam pelatihan adalah prinsip belajar orang dewasa. Pada kegiatan
pelatihan, tanggung jawab akan proses belajar sepenuhnya berada ditangan
peserta. Hal ini sebagaimana proses belajar, aspek yang dituju bukan hanya
aspek kognitif, namun juga aspek afektif dan psikomotor. Perubahan yang
meliputi ketiga aspek tersebut akan tercapai apabila peserta pelatihan dilibatkan
dalam proses, melalui bermain peran, dan bukan hanya dengan
mendemontrasikan beberapa keterampilan saja. Disamping itu, demontrasi atas
contoh-contoh yang diberikan akan lebih efektif apabila contoh itu berupa
persoalan-persoalan yang nyata serta berhubungan dengan peserta dan langsung
dalam diri peserta. Hal tersebut menyebabkan dalam pelatihan, peserta tidak
sekedar diajari tetapi diberi motivasi untuk mencari pengetahuan, keterampilan,
perilaku yang lebih baru dengan menggali sumber daya dalam dirinya (Larasati,
2012).
Menurut Jewel dan Siegall (Martin & Pear, 2007), pelatihan merupakan
pengalaman belajar yang terstruktur dengan tujuan untuk mengembangkan
kemampuan, keterampilan khusus, pengetahuan dan sikap tertentu. Martin &
Pear (2007) selanjutnya menjelaskan definisi pelatihan sebagai proses
pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan
-
10
terorganisir. Pelatihan merupakan proses teaching-learning untuk memperoleh
keterampilan khusus.
Pelatihan berkaitan erat dengan masalah belajar, artinya belajar adalah
suatu proses atau adanya usaha dimana suatu organisme berubah perilakunya
sebagai akibat dari pengalaman karena adanya interaksi dengan lingkungan.
Perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman merupakan hasil
belajar.Penggunaan pelatihan sebagai salah satu bentuk kegiatan belajar
diharapkan dapat merubah perilaku, yang disebabkan adanya penghayatan
pengalaman dalam mengikuti pelatihan (Larasati, 2012).
Anastasi (2012) mendefinisikan latihan dalam arti sempit merupakan
keterampilan atau informasi tertentu, sedangkan dalam arti luas latihan
merupakan upaya pengembangan seperti usaha yang dilakukan dalam dunia
pendidikan. Latihan harus dikembangkan melalui tiga langkah yaitu: 1) analisa
tugas, yaitu menetapkan materi yang harus dipelajari; 2) penyusunan tahapan
latihan, yaitu pemilihan teknik dan media instruksi; 3) evaluasi latihan, yaitu
untuk mengetahui pencapaian tujuan yang ditetapkan. Pelatihan merupakan
kumpulan rencana yang teratur dari pengalaman pendidikan untuk melakukan
modifikasi. Setiap pelatihan terdapat beberapa komponen yang perlu dipenuhi
yaitu sasaran pelatihan, pelatih, bahan pelatihan, metode pelatihan, media
pelatihan, dan peserta yang masing-masing saling mempengaruhi dan
menunjang keberhasilan pelatihan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah
mengajarkan suatu perilaku baru yang bersifat praktis, yaitu keterampilan yang
-
11
digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dipelajari dalam waktu
singkat.Pelatihan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengelolaan
kemarahan.
Marah dalam kamus bahasa Indonesia adalah perasaan tidak senang
karena merasa diperlakukan dengan tidak sepantasnya (Tim Prima Pena, 2015).
Davidoff (2008) menjelaskan bahwa marah sebagai suatu emosi yang memiliki
ciri-ciri aktivitas system syaraf simpatetik yang tinggi dan adanya perasaan
tidak suka yang sangat kuat yang disebabkan karena kesalahan yang mungkin
nyata ataupun tidak.
Pengelolaan kemarahan (anger management) menurut Depdikbud
(1995) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah suatu teknik, cara, dan
perbuatan untuk mengendalikan, menyelenggarakan, mengurus dan mengatur.
Menurut Goleman (2002) pelatihan pengelolaan kemarahan adalah upaya
mengajarkan tentang kemampuan atau teknik untuk mengatur perasaan,
menenangkan diri, melepaskan diri dari kecemasan, kemurungan, atau
ketersinggungan, dengan tujuan untuk keseimbangan emosi (keseimbangan
antara perasaan dan lingkungan).Alder (2001) menyebutkan bahwa pengelolaan
kemarahan adalah suatu tindakan yang menyebabkan seseorang mengatur
emosi atau mengelola keadaan.Kemampuan ini meliputi kecakapan untuk tetap
tenang, menghilangkan kegelisahan, kesedihan atau sesuatu yang
menjengkelkan. Orang dengan pengelolaan emosi yang baik akan mampu
mengenali perasaannya dan mengatur penyaluran perasaan tersebut.
-
12
Pelatihan pengelolaan kemarahan menurut teori yang dikembangkan
oleh Freud (dalam Shapiro, 1999) adalah mengajarkan suatu perilaku baru yang
bersifat praktis kepada individu agar pengelolaan terhadap dorongan-dorongan
id.Pengelolaan dorongan-dorongan ini dilakukan melalui pengembangan ego
sebagai penengah antara id dan super ego. Ego akan berperan sebagi manajer
emosi dengan cara “membisikkan” alasan-alasan dan suatu gaya adaptif yang
memungkinkan seseorang mendapatkan apa yang diinginkannya dengan cara
yang bisa diterima oleh orang lain, yang tidak akan merugikan, baik dunia luar
maupun aturan-aturan dan sanksi-sanksi yang ada dalam dunianya sendiri.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan
pengelolaan kemarahan adalah mengajarkan suatu kempuan perilaku baru yang
bersifat praktis atau teknik untuk melakukan tindakan mengatur pikiran,
perasaan, nafsu amarah dengan cara yang tepat dan positif serta dapat diterima
di lingkungan.
2. Konsep Operasional Pelatihan Pengelolaan Kemarahan
Davidoff (2008) menjelaskan bahwa marah sebagai suatu emosi yang
memiliki ciri-ciri aktivitas sistem syaraf simpatetik yang tinggi dan adanya
perasaan tidak suka yang sangat kuat yang disebabkan karena kesalahan yang
mungkin nyata ataupun tidak. Marah dalam kamus bahasa Indonesia adalah
perasaan tidak senang karena merasa diperlakukan dengan tidak sepantasnya
(Tim Prima Pena, 2015).
Chaplin (1998) dalam dictionary of psychology, bahwa marah adalah
reaksi emosional akut yang timbul karena sejumlah situasi yang merangsang,
-
13
termasuk ancaman, agresi lahiriyah, pengekangan diri, serangan lisan,
kekecewaan, atau frustasi dan dicirikan kuat oleh reaksi pada sistem otomik,
khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatetik, dan secara emplisit
disebabkan oleh reaksi seragam, baik baik yang bersifat somatis atau
jasmaniyah maupun yang verbal atau lisan.
Maltz (1977) marah adalah frustasi, suatu jenis frustasi yang meledak
dimana seseorang mengubah suatu perasaan terluka yang fasif menjadi menjadi
suatu tindakan penghancur disengaja yang aktif.
Al-jurjani (2001) menjelaskan marah adalah perbuatan yang terjadi pada
waktu mendidihnyadarah didalam hati untuk memperoleh kepuasan apa yang
terdapat didalam dada. Sedangkan Imam nawawi mendefinisikan marah dari
perspektif ilmu tassawuf, sebagai tekanan nafsu dari hati yang menalirkan
darahpada bagian wajahyang menimbulkan kebencian pada diri seseorang.
Charles rycroft (1979) memberikan definisi marah sebagai suatu reaksi
emosional kuat yang didatangkan oleh ancaman, campur tangan, serangan kata-
kata, penyerangan jelas, atau frustasi dan dicirikan dengan reaksi gawat dari
sistem syaraf yang bebas dengan balasa-balasan serangan atau tersembunyi.
Marah adalah suatu pola perilaku yang dirancang untuk mengingatkan
pengganggu untuk menghentikan perilaku mengancam mereka. Kontak fisik
jarang terjadi tanpa ekspresi kemarahan paling tidak oleh salah seorang
partisipan Morris, (1967). Kemarahan yang tejadi pada seseorang akan sangat
berbahaya. Kemarahan akan membinasakan hati dan kebijaksanaan. Barang
siapa yang tidak dapat menguasainya maka ia tidak akan dapat mengendalikan
-
14
pikirannya. Mills (2005), Meskipun sebagian besar pelaku menjelaskan bahwa
rasa marah timbul karena "apa yang telah terjadi pada mereka". Ahli psikologi
menunjukkan bahwa orang yang marah sangat mungkin melakukan kesalahan
karena kemarahan menyebabkan kehilangan kemampuan pengendalian diri dan
penilaian objektif sehingga orang marah identik dengan tindakan agresif
Raymond, (2000). Saat seseorang marah maka akan mengakibatkan antara lain
peningkatan denyut jantung, tekanan darah, serta tingkat adrenalin dan
noradrenalin (Medicine.net).
Wade (2007) terdapat beberapa aspek dari pengelolaan marah, yaitu:
a. Mengenali emosi marah, emosi marah merupakan kemampuan untuk
mengendalikan perasaan marah sewaktu perasaan marah itu muncul,
sehingga seseorang tidak dikuasai oleh marah. Seseorang yang memiliki
kemampuan dalam mengenali emosi marah dapat bereaksi secara tepat dan
pada saat yang tepat terhadap kemarahan yang muncul.
b. Mengendalikan marah, seseorang yang dapat mengendalikan marah tidak
membiarkan dirinya dikuasai oleh marah, sehingga sehingga emosi marah
tidak berlebihan dan tidak terjadi pada tingkat intensitas yang tinggi.
c. Meredakan marah, merupakan suatu kemampuan untuk menenangkan diri
sendiri setelah individu marah.
d. Mengungkapkan marah secara asertif, orang yang asertif dapat
mengungkapkan perasaan marahnya secara jujur dan tepat tanpa melukai
perasaan orang lain.
-
15
Menurut Mawardi (2002) terdapat aspek-aspek di dalam mengelola
emosi marah, antara lain:
a. Menerima perasaan marah
Apabila dimasa mendatang kita merasa marah, terima saja.Jangan
mengingkari perasaan, menolaknya atau mencoba untuk menutupinya.
b. Menggali sumber marah
Sumber marah apabila dapat diketahui dengan jelas, maka individu dapat
lebih mudah mengelolanya.
c. Mengekspresikan perasaan marah secara tepat
Mengungkapkan dan mengkomunikasikan secara verbal dengan asertif.
d. Melupakan masalah yang membuat marah
Pengelolaan Kemarahan berdasarkan aspek milik Beck & Weishaar
(1989) yaitu:
a. Mengenali kejadian yang menyebabkan reaksi yang berupa amarah.
b. Mengenali dan memonitor distrosi-distrosi kognitif yang muncul dalam
suatu peristiwa atau kejadian.
c. Mengubah cara berfikir dalam menginterpretasi dan mengevaluasi suatu
kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat.
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa terdapat beberapa aspek
dalam mengelola kemarahan yaitu: mengenali emosi marah, mengendalikan
marah, meredakan marah, mengungkapkan marah secara asertif, menerima
perasaan marah, menggali sumber marah, mengekspresikan perasaan marah
secara tepat, melupakan masalah yang membuat marah, mengenali kejadian
-
16
yang menyebabkan reaksi yang berupa amarah, mengenali dan memonitor
distrosi-distrosi kognitif yang muncul dalam suatu peristiwa atau kejadian, serta
mengubah cara berfikir dalam menginterpretasi dan mengevaluasi suatu
kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat.
Teknik-teknik yang sering digunakan untuk pengelolaan kemarahan
adalah C.A.R.E. Hershorn (2002) menjelaskan ketiga langkahnya sebagai
berikut:
a. Commitment to Change (komitmen untuk mengubah diri)
Langkah pertama adalah komitmen untuk berubah.Individu yang
bermasalah dalam hal mengelola kemarahan haruslah mempunyai sebuah
komitmen yang kuat untuk mengubah dirinya. Adanya komitmen yang kuat
membuat individu akan semakin termotivasi untuk belajar mengelola emosi
marah dan menerapkan teknik-tekniknya dalam kehidupan nyata.
b. Awareness of Your Early Warning Signs (kesadaran akan pertanda
kemarahan)
Setiap orang memegang kendali pada saat bertindak atas dasar
kemarahan.Tidak ada orang yang “meledak” atau “membentak” begitu saja,
setiap amarahpasti memiliki tanda-tanda peringatan awal.Tanda-tanda itu
dapat bersifat fisiologis, tingkah laku, dan kognitif.Dengan belajar
mengenali tanda-tanda peringatan awal kemarahan, seseorang dapat lebih
sungguh-sungguh memegang kendali atas tindakan kemarahannya. Tanda-
tanda peringatan awal kemarahan meliputi tiga macam pertanda yaitu:
1) Fisiologis
-
17
Pertanda fisiologis yang sering muncul antara lain: merasa wajah
menjadi panas memerah, aliran darah yang cepat di urat nadi, jantung
berdebar-debar, napas menjadi lebih cepat, pendek atau tidak stabil,
badan terasa panas atau dingin, leher terasa nyeri, rahang menjadi kaku,
otot mengeras dan tegang.
2) Tingkah laku
Pertanda tingkah laku meliputi: mengepalkan tinju, gigi menggerutuk,
berjalan mondar-mandir dalam ruangan, tidak dapat tetap duduk atau
berdiri, berbicara dengan lebih cepat.
3) Kognitif
Pertanda kognitif mencakup pikiran-pikiran seperti: dia melakukan itu
kepadaku karena dengki, dia melakukan itu dengan sengaja, aku tidak
dapat percaya dia melakukan hal itu, tidak ada orang yang bicara
kepadaku seperti itu, aku akan menunjukkan kepada dia, hal ini tidak
bisa diterima
c. Relaxation (relaksasi)
Relaksasi dan kemarahan merupakan reaksi yang saling
berlawanan.Keduanya melibatkan gelombang otak dan reaksi tubuh yang
berbeda, sehingga tidak mungkin terjadi bersamaan. Relaksasi merupakan
alat bantu yang ampuh untuk mengurangi stres secara umum, mengurangi
kemarahan ketika tanda-tanda peringatan awal kemarahan muncul, dan
membantu mereka yang mengalami kesulitan tidur. Setiap individu dapat
-
18
memperoleh manfaatnya dengan melakukan relaksasi setiap hari. Ada
beberapa bentuk relaksasi, yaitu:
1) Relaksasi otot, indera, dan kognitif. Relaksasi otot merupakan relaksasi
yang disarankan untuk pemula karena relaksasi ini paling mudah untuk
dilakukan.
2) Emosi, pikiran, dan tingkah laku merupakan tiga hal yang saling
mempengaruhi. Siklus perasaan, pikiran dan tindakan saling mendorong
dan memperkuat dirinya sendiri. Semakin seseorang memikirkan
tentang kemarahannya semakin ia menjadi marah. Hal ini membawanya
bertindak atas dasar kemarahannya tersebut.
Beck & Weishaar (1989) menjelaskan tentang pelatihan yang dapat
digunakan dalam pengelolaan kemarahan, yaitu:
a. Cognitive
Pelatihan kognitif adalah pendekatan pemberi bantuan yang bertujuan
mengubah suasana hati (mood) dan perilaku dengan mempengaruhi pola
berfikirnya.Bentuk dari pelatihan kognitif berupa catatan harian pemikiran
dwifungsional. Pada dasarnya pelatihan kognitif bertujuan untuk
meningkatkan aspek:
1) Mengenali kejadian yang menyebabkan reaksi yang berupa amarah.
2) Mengenali dan memonitor distrosi-distrosi kognitif yang muncul dalam
suatu peristiwa atau kejadian, kemudian berusaha mencari
kebenarannya yaitu dengan mencari hubungan antara kognisi dan
afeksi.
-
19
3) Mengubah cara berfikir dalam menginterpretasi dan mengevaluasi suatu
kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat.
b. Asertive
Asertivitas adalah perilaku interpersonal yang mengandung pengungkapan
pikiran dan perasaan secara jujur dan relatif langsung langsung yang
dilakukan dengan memperhatikan perasaan dan kesejahteraan orang lain.
Seseorang dapat dikatakan berperilaku asertif jika mempertahankan dirinya
sendiri, mengekspresikan perasaan yang sebenarnya, dan tidak memberikan
orang lain mengambil keuntungan dari dirinya. Pada saat bersamaan,
individu juga mempertimbangkan bagaimana perasaan orang lain.
Keuntungan berperilaku asertif, yaitu mendapatkan apa yang diinginkan
dan biasanya tanpa membuat orang lain marah.
Pembelajaran tentang ketrampilan mengelola kemarahan merupakan
suatu bentuk intervensi yang efektif dalam mengurangi tingkat agresivitas
seseorang.Fokus pendekatan pengelolaan kemarahan adalah menunjukkan pada
individu, tentang model-model kemarahan yang lebih dapat diterima secara
sosial.Penulis dalam melakukan pelatihan mengelola kemarahan menggunakan
commitment to change (komitmen untuk mengubah diri), awareness of your
early warning signs (kesadaran akan pertanda kemarahan), relaxation
(relaksasi). Alasan digunakan semuanya agar hasil pelatihan dapat maksimal.
3. Tujuan dan Manfaat Pelatihan Pengelolaan Kemarahan
Tujuan dari pengelolaan kemarahan adalah membentuk keseimbangan
emosi, bukan menekan emosi, setiap perasaan mempunyai nilai dan makna,
-
20
menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju
kesejahteraan emosi (Goleman, 2002). Bhave & Saini (2009) juga berpendapat
bahwa dengan mempelajari bagaimana mengelola emosi marah yang baik dapat
membantu individu mengekspresikan marah dengan cara yang positif. Emosi
marah dapat membantu individu dalam mengambil tindakan dan dapat
memberikan sinyal peringatan pada diri untuk bertindak dan memperbaiki
situasi dengan cara positif (Thomas dalam Bhave & Saini, 2009). Kemampuan
pengelolaan kemarahan dapat membantu individu dalam melakukan kontrol diri
(self-control) terhadap respon internal dan eksternal sebagai akibat dari emosi
marah yang dirasakan dan memberikan motivasi positif untuk memecahkan
masalah sehingga dapat tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungan (Bhave &
Saini, 2009).
Nindita (2012) menjelaskan tujuan dari pengelolaan kemarahan adalah
memberikan pilihan ekspresi marah dalam cara yang sehat. Individu yang
mampu mempelajari berbagai cara dalam mengendalikan emosi marah akan
tampil lebih percaya diri, sedangkan individu tidak mempelajari menegndalikan
emosi marah memiliki kecenderungan untuk merasakan frustasi dan individu
akan lebih sering memiliki konflik dengan orang lain dan bahkan dirinya sendiri
Golden dalam (Fadhila, 2012).
Menurut Goleman (2002) terdapat beberapa manfaat pelatihan
pengelolaan kemarahan, antara lain:
a. Lebih bertanggung jawab.
-
21
b. Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan dan
menaruh perhatian.
c. Kurang impulsif.
d. Lebih menguasai diri.
e. Meningkatnya prestasi.
Lebih lanjut Goleman (2002) menjelaskan manfaat pelatihan
pengelolaan kemarahan yaitu:
a. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan marah.
b. Berkurangnya ejekan verbal.
c. Lebih mampu mengungkapkan marah dengan tepat, tanpa berkelahi.
d. Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri.
e. Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, keluarga.
f. Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan
dari pengelolaan kemarahan adalah agar individu dapat memiliki kemampuan
mengontrol emosi marah, meredakan emosi marah serta membantu individu
mengekspresikan emosi marah secara positif, sehingga dapat tumbuh dan
beradaptasi dengan lingkungan.Terdapat beberapa manfaat emosi secara
produktif, antara lain: lebih bertanggung jawab, lebih mampu memusatkan
perhatian pada tugas yang dikerjakan dan menaruh perhatian, kurang impulsive,
lebih menguasai diri, meningkatnya prestasi, toleransi yang lebih tinggi
terhadap frustasi dan pengelolaan marah, berkurangnya ejekan verbal, lebih
mampu mengungkapkan marah dengan tepat, tanpa berkelahi, berkurangnya
-
22
perilaku agresif atau merusak diri sendiri, perasaan yang lebih positif tentang
diri sendiri, keluarga, serta berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam
pergaulan.
C. Pelatihan Pengelolaan Kemarahan untuk Menurunkan
Agresivitas pada Siswa
Remaja menurut Hurlock (2003) umumnya sulit mengontrol emosinya
sehingga cenderung melakukan agresivitas. Agresi dapat diartikan sebagai setiap
tindakan yang dimaksudkan untuk melukai atau menyakiti orang lain (Taylor dkk,
2009). Unsur penting dari agresi yaitu adanya faktor tujuan dan kesengajaan.
Menurut teori integrasi kognitif tentang trait‐anger yang diajukan, individu yang
memiliki trait‐anger yang tinggi lebih cenderung mengalami bias dalam
menginterpretasi suatu situasi provokatif yang selanjutnya memicu proses yang
secara spontan meningkatkan amarah dan dorongan agresinya. Pengelolaan amarah
dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan remaja mengendalikan diri
melalui proses kognitif sehingga diharapkan kecenderungan amarah dan perilaku
agresifnya dapat dikurangi. Perasaan marah memicu seseorang untuk
melampiaskannya pada orang lain atau objek tertentu. Kemarahan yang dirasakan
tersebut dapat dikelola agar kemarahan itu tidak selalu termanifestasikan dalam
tindakan agresif. Adanya pengelolaan kemarahan penting untuk dipelajari remaja
(Taylor dkk, 2009).
Kemarahan atau tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan tanpa
menyakiti orang lain akan memberikan kegelapan pada individu dan akan
-
23
menimbulkan masalah, frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagalnya
mencapai tujuan yang tidak relistis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan
(Gie 1999). Agresif adalah prilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan
untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol (Martin & Pear
2007). Frustasi merupakan suatu keadaan ketegangan yang tak menyenangkan
dipenuhi perasaan simpatetis yang semakin meninggi yang disebabkan oleh
rintangan dan hambatan Koesworo (2008). Pengalaman frustasi seseorang dapat
menyebabkan timbulnya keinginan untuk bertindak agresi mengarah pada suber-
sumber eksternal yang menjadi sebab frustasi. Keinginan itu akhirnya dapat
memicu timbulnya perilaku agresi yang nyata (Krahe, 2005). Sumber yang berasal
dari dalam termasuk kekurangan diri sendiri seperti kurangnya rasa percaya diri
atau ketakutan pada situasi sosial yang menghalangi pencapaian tujuan.
Agresivitas tidak ada sangkut pautnya dengan masalah instink, tetapi
ditentukan oleh kondisi-kondisi ekstenal (frustasi), sehingga kondisi tersebut
akan menimbulkan motif yang kuat pada seseorang untuk bertindak agresi.
Salah satu teori yang diajukan oleh kelompok ini adalah teori frustasi
agresi, yang dipelopori oleh (Dollard dan koleganya 1939). Menurut
kelompok tersebut frustasi selalu meninmbulkan agresi dan agresi semata-mata
adalah hasil dari frustasi. Oleh karena itu bila frustasi menigkat, maka agresivitas
menigkat pula. Intensitas frustasi bergantung pada beberapa faktor, antara lain
seberapa besar kemauamenacapai tujuan, seberapa besar penghalang
yang ditemui, dan seberapa banyak frustasi yang dialami. Menurut Watson
1984 menyatakan, bahwa frustasi menimbulkan sejumlah respon yang
-
24
berbeda dan tidak selalu menimbulkan agresivitas. Jadi agresivitas hanyalah
salah satu bentuk respon yang munculun seseorang.
Mardin ( 1990 ) mereka yang memiliki mental lemah harus menyadari bahwa
beberpa kekecewaan dapat mengorbankan hidupnya. Mereka mungkin tidak
mengetahui, ternyata banyak manusia akibat dari marah yang berlebihan sehingga
ia mati karena serangan jantung. Amarah juga bisa menyababkan berkurangnya
nafsu makan, serta terganggunya otot dan saraf selam berjam-jam bahkan berhari-
hari. Perasaan marah memang memicu seseorang untuk melampiaskannya pada
orang lain atau objek tertentu. Umumnya kemarahan yang dialami menyebabkan
individu melakukan agresivitas, menyerang orang lain dengan maksud menyakiti.
Hal tersebut menyebabkan pembelajaran tentang ketrampilan mengontrol
kemarahan (pengelolaan kemarahan) menjadi salah satu bentuk intervensi yang
efektif dalam mengurangi tingkat agresivitas seseorang (Krahe, 2005).
Goleman (2002) menejelaskan beberapa manfaat dari pelatihan pengelolaan
kemarahan adalah, kurang impulsif, lebih menguaisai diri, toleransi yang lebih
tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan kemarahan, lebihmampu mengungkapkan
kemarahan dengan tepat, tampa berkelahi, serta berkurangnya perilaku agresif atau
merusak diri.
Marah disebabkan adanya impuls, ada yang eksternal maupun internal.
Eksternal seperti dari lingkungan yang tidak kondusif dan keras dan makanan yang
berprotein tinggi. Internal dari faktor hormonal dan kadar oksigen yang rendah.
Impuls ini akan meningkatkan agresivitas seseorang. Saat kendali emosi seseorang
rendah karena penyakit dan memang kepribadiannya yang kurang stabil, impuls
-
25
lebih mudah memicu agresivitas. Jadi, perjalanan penyakit seseorang bisa
menyebabkan rendahnya kendali emosi.
Secara kajian biologi molekular, saat marah terjadi peningkatan konsentrasi
neurotransmitter dompamine pada neuron otak. Semua terjadi pada limbic system
(pusat emosi) di hypothalamus, setelah itu diteruskan ke hypophycis. Baru
kemudian diteruskan ke bagian tubuh lainnya, seperti dihasilkannya hormon-
hormon yang memacu denyut jantung, pupil mata membesar, dan lain-lain. Hormon
tersebut contohnya seperti epinefrin, serotonin, dan testosteron. Pada orang tua,
hormon testosteron dan progesteron-nya sudah mulai menurun. Hal tersebut
mengurangi ambang batas kesabarannya sehingga dipicu sedikit akan mudah
marah. Saat hormon seperti testosteron dan progesteron sedang dalam kondisi tidak
seimbang, emosi seseorang akan kurang stabil (Bhave, S.Y & Saini, S. 2009).
Pelatihan pengelolaan kemarahan adalah suatu teknik yang dirancang khusus
untuk membantu individu dalam mengelola kemarahan secara konstruktif.
Ketrampilan pengelolaan kemarahan bagi remaja penting untuk diajarkan karena
sebagian besar dari mereka memiliki kerentanan tinggi dalam melakukan perilaku
antisosial, terutama agresi. Respon antisosial atau agresi muncul karena kurangnya
kemampuan remaja dalam mengendalikan kemarahannya. Perasaan marah dapat
mendorong seseorang untuk menyerang orang yan menjadi sumber kemarahannya.
Kemarahan juga dapat dilampiaskan pada orang yang tidak bersalah ataupun objek-
objek di sekitar pelaku (Dayakisni dan Hudaniah, 2006).
Hasil penelitian Lench (2004) yang berjudul “Anger Management:
Diagnostic Differences and Treatment Implications” menunjukkan kelompok yang
-
26
mendapatkan pelatihan pengelolaan kemarahan mendapatkan penurunan nilai
agresivitas dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan pelatihan. Wilkowski &
Robinson (2008) menyatakan bahwa amarah merupakan kondisi perasaan internal
yang secara khusus berkaitan dengan meningkatnya dorongan untuk menyakiti
orang lain, sedangkan agresi terkait langsung dengan tindakan nyata menyakiti
orang lain.
Nindita (2012) menjelaskan tujuan dari pengelolaan kemarahan adalah
memberikan pilihan ekspresi marah dalam cara yang sehat. Individu yang mampu
mempelajari berbagai cara dalam mengendalikan emosi marah akan tampil lebih
percaya diri, sedangkan individu tidak mempelajari menegndalikan emosi marah
memiliki kecenderungan untuk merasakan frustasi dan individu akan lebih sering
memiliki konflik dengan orang lain dan bahkan dirinya sendiri Golden dalam
(Fadhila, 2012).
Siswa SMP sebagai remaja awal sudah mulai mengambil peran banyak
dalam lingkungan sosialnya. Bergaul dengan teman sebaya, melakukan
penyesuaian diri dengan lingkungan baik di sekolah maupun di masyarakat.
Tuntutan penyesuaian yang dituntut oleh masyarakat sangat membebani yang
menimbulkan tekanan-tekanan pada siswa. Tekanantekanan itu membuat siswa
mengalami masa sulit dan menimbulkan emosi marah.
Masa remaja merupakan masa transisi dimana masa ini merupakan puncak
emosional dan ketidakmampuan siswa (remaja) dalam mengelola emosi, khususnya
emosi marah yang dapat menghambat perkembangan emosi siswa. Berdasarkan
hasil pengamatan peneliti, wawancara dengan siswa dan guru Bimbingan dan
-
27
Konseling serta data yang tercatat dibuku mengenai adanya kasus yang terjadi pada
siswa SMP Negeri 2 Tampaksiring yang menunjukkan beberapa siswa belum bisa
mengelola emosinya dengan baik. Asumsi ini berdasarkan pada perilaku siswa yang
kurang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya, kurang bisa mengontrol diri,
dan mudah marah, mudah marah lantaran cuma hal-hal yang kecil, seperti melihat
wajah antara siswa satu dengan siswa lain yang berujung dengan percekcokan
sampai perkelahian. Ada juga perilaku yang kurang menyenangkan seperti suka
mengolok-olok, mengejek, membentak, memukul bersuara keras, dan masih
banyak lagi. Perilaku tersebut menunjukkan bahwa kemampuan mengelola emosi
beberapa siswa belum optimal.
Perkembangan kemampuan mengelola emosi marah siswa didasarkan pada
faktor internal dan eksternal. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi
sosio-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga, teman sebaya, dan
lingkungan masyarakat. Peneliti berasumsi bahwa kemampuan mengelola emosi
marah dapat ditingkatkan melalui teknik anger management. Anger management
adalah suatu kemapuan atau teknik untuk melakukan tindakan mengatur pikiran,
perasaan, nafsu amarah dengan cara yang tepat dan positif serta dapat diterima di
lingkungan, sehingga dapat mencegah sesuatu yang buruk atau merugikan diri
sendiri dan orang lain. Anger management sangat efektif menangani masalah
emosi. Anger management dapat menjadi teknik untuk membantu pemahaman
siswa mengenai mengelola emosi marahnya sehingga siswa dapat keluar dari
masalahnya dan menemukan alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan mengelola emosi marahnya yang dialami.
-
28
Kegiatan pertama di hari pertama adalah Pembukaan dan Perkenalan.Pada
kegiatan ini dilakukan aktivitas berupa Pembukaan, Ice breaking, Penjelasan alur
pelatihan, Diskusi tentang harapan peserta, serta Penetapan kontrak belajar.
Selanjutnya dilakukan Pemahaman Tentang Kemarahan yang diisi dengan kegiatan
pemutaran cuplikan film Anger Management, sharing kelompok, penyampaian
materi pemahaman tentang kemarahan dan bagaimana kemarahan menjadi
masalah, serta diskusi kelompok. Kegiatan Pembukaan dan Perkenalan bertujuan
untuk membuka pertemuan awal, membangun rapport, serta membangun
kohesivitas kelompok. Acuan materi ini adalah Buss dan Perry (1992). Kegiatan
pemahaman tentang kemarahan bertujuan mengajak peserta semakin memahami
definisi kemarahan dan berbagai jenis kemarahan.
Sesi yang kedua yaitu mengenali berbagai faktor pemicu
kemarahan.Kegiatannya meliputi penyampaian materi tentang mengenali berbagai
faktor pemicu kemarahan, sharing kelompok, mengerjakan lembar penugasan I
serta diskusi kelompok. Tujuan sesi ini adalah mengajak peserta semakin mengenali
faktor-faktor pemicu agresivitas, baik itu yang berasal dari dalam maupun luar
dirinya.
Sesi ketiga yaitu Commitment to Change (komitmen untuk mengubah
diri).Tujuan dari kegiatan ini adalah peserta menyadari bahwa komitmen untuk
mengubah diri menjadi lebih baik merupakan hal yang penting.Fasilitator
menyampaikan materi tentang komitmen untuk mengubah diri.Peserta diajak untuk
semakin memiliki komitmen untuk mengubah diri menjadi lebih baik dalam
mengelola kemarahan.
-
29
Kegiatan yang selanjutnya yaitu Awareness of Your Early Warning Signs
(kesadaran pertanda kemarahan).Penyampaian Materi “Mengenali tanda-tanda
kemarahan”, Mengerjakan lembar penugasan, serta Diskusi kelompok. Acuan
pengelolaan kemarahan yang dipelajari dalam sesi ini berdasarkan aspek milik
Beck & Weishaar (1989) yaitu mengenali kejadian yang menyebabkan reaksi yang
berupa amarah.Tujuannya peserta menyadari berbagai sensasi fisik, perilaku, dan
respon-respon kognitif yang biasa muncul saat kemarahan mulai dirasakan.
Sesi berikutnya yaitu mempelajari teknik-teknik relaksasi untuk meredakan
gejolak kemarahan.Kegiatannya meliputi Penyampaian materi “pengertian
relaksasi”, Sharing kelompok, Latihan relaksasi, Sharing kelompok, Mengerjakan
lembar penugasan IV, Refleksi.Tujuannya agar peserta mampu menerapkan teknik-
teknik relaksasi. Salah satu cara yang bisa mengendalikan rasa marah adalah
dengan melakukan relaksasi pernapasan (deep breathing). Menurut Charlesworth
dan Nathan (1996) relaksasi merupakan suatu teknik untuk membantu seseorang
mencapai keadaan rileks dengan cepat dalam berbagai situasi. Terry Mason
(www.healthanswers.com) mengungkapkan bahwa relaksasi merupakan suatu
filosofi dan metode yang menekankan pada kekuatan pikiran dan badan. Seringkali
relaksasi juga dilakukan dengan mendengarkan suara, mengulangi kata-kata atau
pun dengan berdoa. Selain itu sensasi tubuh juga sangat diperhatikan sebagai fokus
dalam meningkatkan metabolisme serta mencapai keadaan rileks.
Teknik relaksasi menurut Townsend (1993) dikenal dengan berbagai macam
bentuk, yaitu latihan pernafasan (deep breathing therapy), peregangan otot
-
30
(progressive relaxation), meditasi, imajinasi (mental imagery), biofeedback dan
latihan fisik (physical exercise).
Rilaksasi pernafasan merupakan teknik yang paling sederhana dan mudah
bagi seseorang terutama dalam keadaan darurat yang membutuhkan pengendalian
amarah dengan cepat. Selain itu, teknik ini memiliki kelebihan dapat dilakukan
dimana saja dan kapan saja. Teknik ini akan lebih bermanfaat jika dilakukan selama
tiga sampai empat kali dalam sehari ketika mengalami ketegangan berpikir akibat
sesuatu hal yang tidak menyenangkan.
Relaksasi dan kemarahan merupakan reaksi yang saling berlawanan.
Keduanya melibatkan gelombang otak dan reaksi tubuh yang berbeda, sehingga
tidak mungkin terjadi bersamaan. Relaksasi merupakan alat bantu yang ampuh
untuk mengurangi stres secara umum, mengurangi kemarahan ketika tanda-tanda
peringatan awal kemarahan muncul, dan membantu mereka yang mengalami
kesulitan tidur. Dengan melakukan relaksasi setiap hari, setiap individu dapat
memperoleh manfaatnya. Relaksasi pernafasan merupakan relaksasi yang
disarankan untuk pemula karena relaksasi ini paling mudah untuk dilakukan.
Emosi, pikiran, dan tingkah laku merupakan tiga hal yang saling mempengaruhi.
Siklus perasaan, pikiran dan tindakan saling mendorong dan memperkuat dirinya
sendiri. Semakin seseorang memikirkan tentang kemarahannya semakin ia menjadi
marah. Hal ini membawanya bertindak atas dasar kemarahannya tersebut.
Relaksasi merupakan upaya untuk mengendurkan ketegangan jasmaniah,
yang pada akhirnya mengendurkan ketegangan. Salah satu cara rilekasasi adalah
bersifat responsive yaitu dengan mengatur aktifitas bernafas. Latihan relaksasi
-
31
pernafasan dilakukan dengan mengatur mekanisme pernafasan baik tempo atau
irama dan intensitas yang lebih lambat dan dalam. Keteraturan dalam bernafas
menyebabkan sikap mental dan badan yang rileks sehingga menyebabkan otot
lentur dan dapat menerima situasi yang merangsang luapan amarah tampa
membuatnya kaku (wiramihrdja, 2007).
Tehnik relaksasi juga dapat mengatur emosi dan menjaga keseimbangan
emosi, sehingga emosi marah tidak berlebihan dan tidak terjadi pada tingkat
intensitas yang tinggi (goleman, 1997). Relakssi pernafasan merangsang tubuh
untuk melepaskan opioid endogen yaitu endorphin dan enkefalin, dilepaskannya
hormone endorphin dapat memperkuat daya tahan tubuh, menjaga sel otak tetep
muda, melawan penuaan, menurunkan amarah dalam hubungan antar manusia,
(Smelzer & Bare, 2002). Saat marah terjadi peningkatan konsentrasi
neurotransmitter dompamine pada neuron otak. Semua terjadi pada limbic system
(pusat emosi) di hypothalamus, setelah itu diteruskan ke hypophycis. dihasilkannya
hormon-hormon yang memacu denyut jantung, pupil mata membesar, dan lain-lain.
Hormon tersebut contohnya seperti epinefrin, serotonin, dan testosterone
(Davidoff. 2008). Hal tersebut mengurangi ambang batas kesabarannya sehingga
dipicu sedikit akan mudah marah. Saat hormon seperti testosteron dan progesteron
sedang dalam kondisi tidak seimbang, emosi seseorang akan kurang stabil. Dalam
relaksasi Adapun peranaan dari hormon endorfin salah satunya adalah untuk
mengurangi rasa sakit dan bisa memicu rasa senang, tenang, atau juga bahagia,
sehingga ketika mengalami emosi marah tehnik relaksi dapat mebuat tenang karena
-
32
hormone endorfen akan mendorong perasaan bahagia mencul dan menurunkan
perasaan marah sehingga menjadi tenang ((Kazdin, 2001)).
D. Landasan Teori
Marah sering disebut juga sebagai perasaan ketidaknyamana dan menjadi
sumber dari munculnya agresivitas. Perasaan marah memang memicu seseorang
untuk melampiaskannya pada orang lain atau objek tertentu. Umumnya kemarahan
yang dialami menyebabkan individu melakukan agresivitas, menyerang orang lain
dengan maksud menyakiti. Artinya, ada faktor kesengajaan yang dilakukan orang
tersebut. Meskipun demikian, kemarahan tidak selalu termanifestasi dalam
tindakan agresif, seperti misalnya dengan menyakiti orang yang memicu
munculnya rasa marah tersebut (Sarwono & Meinamo, 2009; Taylor, 2009). Hal
tersebut menyebabkan pembelajaran tentang ketrampilan mengontrol kemarahan
(pengelolaan kemarahan) menjadi salah satu bentuk intervensi yang efektif dalam
mengurangi tingkat agresivitas seseorang (Krahe, 2005).
Fokus pendekatan pengelolaan kemarahan adalah menunjukkan pada
individu model-model kemarahan yang lebih bisa diterima secara sosial (Hershorn,
2002). Pengelolaan kemarahan bagi remaja bertujuan untuk menolong remaja-
remaja yang memiliki tingkat agresi tinggi untuk mempelajari cara-cara
pengendalian emosi. Pengelolaan kemarahan ini penting untuk dipelajari karena
remaja yang memiliki tingkat agresi tinggi cenderung merasakan kemarahan
dengan frekuensi dan intensitas tinggi dalam berbagai situasi. Umumnya remaja
-
33
menekan ataupun mengkspresikan kemarahan secara terbuka, dan cenderung
mengalami berbagai konsekuensi negatif dari kemarahan yang mereka rasakan.
Remaja yang tidak bisa mengendalikan kemarahannya memiliki resiko tinggi untuk
melakukan agresi atau tindak kekerasan terhadap teman-teman sebayanya
(McWhirter, 2004).
Program-program pengelolaan kemarahan secara teknis memiliki variasi dan
penekanan yang berbeda-beda. Namun pada dasarnya pengelolaan kemarahan
terdiri dari dua aspek, yaitu aspek internal yang terkait dengan diri individu, dan
aspek eksternal yang berhubungan dengan orang lain atau lingkungan sekitar.
Kontrol terhadap aspek internal dapat ditingkatkan melalui teknik relaksasi,
pengenalan terhadap tanda-tanda kemarahan, dan restrukturisasi kognitif. Teknik-
teknik tersebut bertujuan untuk mengendalikan kemarahan yang bergejolak dalam
diri individu. Pengelolaan aspek eksternal ditingkatkan melalui teknik problem
solving, komunikasi asertif, dan ketrampilan empati. Ketiganya memberi arahan
bagi individu dalam menyelesaikan konflik interpersonal yang terjadi. Aspek
eksternal inilah yang terkait erat dengan perkembangan ketrampilan prososial
individu, karena melibatkan hubungan interpersonal dengan orang lain.
Terdapat beberapa aspek agresivitas menurut Buss dan Perry (1992) yaitu
agresi fisik (physical aggression), agresi verbal (verbal aggression), kemarahan
(anger), dan permusuhan (hostility). Aspek pengelolaan kemarahan yang
digunakan dalam penelitian ini berdasarkan dimensi milik Beck & Weishaar (1989)
yaitu mengenali kejadian yang menyebabkan reaksi yang berupa amarah,
mengenali dan memonitor distrosi-distrosi kognitif yang muncul dalam suatu
-
34
peristiwa atau kejadian, serta mengubah cara berfikir dalam menginterpretasi dan
mengevaluasi suatu kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat.
Adanya pelatihan menyebabkan individu mengenali kejadian yang
menyebabkan reaksi yang berupa amarah. Kemampuan individu mengenali
kejadian yang menyebabkan reaksi yang berupa amarah membuat dirinya
mengenali agresi fisik (physical aggression), agresi verbal (verbal aggression),
kemarahan (anger), dan permusuhan (hostility) yang biasanya dirinya lakukan
(Wahyudi, H. 2008). Hal ini menunjukkan keterkaitan antara aspek pelatihan
mengelola kemarahan dengan agresivitas.
Kemarahan dialami dalam tubuh dan juga dalam pikiran. Sebenarnya, ada
serangkaian peristiwa fisiologis (tubuh) yang kompleks yang terjadi ketika tubuh
menjadi marah. Emosi kurang lebih mulai di dalam dua struktur berbentuk almond
di otak yang disebut amigdala. Amigdala adalah bagian dari otak yang bertanggung
jawab untuk mengidentifikasi ancaman terhadap kesejahteraan, dan untuk
mengirimkan alarm ketika ancaman diidentifikasi yang mengakibatkan tubuh
mengambil langkah-langkah untuk melindungi diri sendiri. Amigdala sangat efisien
dalam memperingatkan tubuh tentang ancaman, yang membuat tubuh bereaksi
sebelum korteks (bagian otak yang bertanggung jawab atas pemikiran dan
penilaian) mampu memeriksa kewajaran reaksi. Dengan kata lain, otak terhubung
sedemikian rupa sehingga mempengaruhi tubuh untuk bertindak sebelum dapat
dengan benar mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan. Ini bukan alasan
untuk berperilaku buruk. Orang dapat dan memang mengendalikan impuls agresif
mereka dan pengendalian bisa dengan beberapa latihan. Sebaliknya, itu berarti
-
35
bahwa belajar mengelola kemarahan dengan benar adalah keterampilan yang harus
dipelajari (https://www.mentalhelp.net/articles/physiology-of-anger/)
Saat marah, otot-otot tubuh menegang. Di dalam otak, bahan kimia
neurotransmitter yang dikenal sebagai katekolamin dilepaskan menyebabkan tubuh
mengalami ledakan energi yang berlangsung hingga beberapa menit. Ledakan
energi ini berada di belakang keinginan marah yang umum untuk mengambil
tindakan perlindungan segera. Pada saat yang sama, detak jantung akan meningkat,
tekanan darah meningkat, dan laju pernapasan meningkat. Wajah akan memerah
ketika peningkatan aliran darah memasuki anggota tubuh dan ekstremitas sebagai
persiapan untuk tindakan fisik. Perhatian menyempit dan menjadi terkunci pada
target kemarahan. Dalam suksesi cepat, neurotransmiter otak tambahan dan hormon
(di antaranya adrenalin dan noradrenalin) dilepaskan yang memicu kemarahan
(https://www.mentalhelp.net/articles/physiology-of-anger/).
Saat marah korteks prefrontal otak tidak bias dikendalikan, yang terletak
tepat di belakang dahi. Jika amigdala menangani emosi, korteks prefrontal
menangani penilaian. Korteks prefrontal kiri dapat mematikan emosi. Mengontrol
kemarahan berarti mempelajari cara-cara untuk membantu korteks prefrontal
menguasai amygdala sehingga akan memiliki kendali atas bagaimana tubuh
bereaksi terhadap perasaan marah. Terdapat banyak tehenik untuk menurunkan
kemarahan salah satunya adalah relaksasi
(https://www.mentalhelp.net/articles/physiology-of-anger/) .
Jika kemarahan memiliki fase persiapan fisiologis di mana sumber daya
dimobilisasi untuk berkelahi. Tubuh mulai rileks kembali ke keadaan istirahat kita
-
36
ketika target kemarahan kita tidak lagi dapat diakses atau ancaman langsung.
Gairah yang disebabkan adrenalin yang terjadi selama kemarahan berlangsung
sangat dan menurunkan ambang kemarahan, sehingga memudahkan kita untuk
marah lagi di kemudian hari. Gairah yang bertahan lama yang membuat kita tetap
prima karena kemarahan yang lebih besar juga dapat mengganggu kemampuan kita
untuk mengingat dengan jelas perincian ledakan kemarahan kita. Gairah sangat
penting untuk mengingat secara efisien. Seperti yang diketahui oleh setiap siswa,
sulit untuk mempelajari materi baru saat mengantuk. Tingkat gairah sedang
membantu otak untuk belajar dan meningkatkan daya ingat, konsentrasi, dan
kinerja. Ada tingkat optimal gairah yang menguntungkan memori, dan ketika gairah
melebihi tingkat optimal, itu membuat lebih sulit untuk memori baru terbentuk.
Tingkat gairah yang tinggi (seperti hadir ketika kita marah) secara signifikan
mengurangi kemampuan Anda untuk berkonsentrasi. Inilah sebabnya mengapa
sulit untuk mengingat rincian argumen yang benar-benar eksplosif saat sedang
keadaan marah (https://www.mentalhelp.net/articles/physiology-of-anger/).
Adanya relaksasi yang dilakukan membuat berlahan-lahan individu mampu
menyadari perubahan-perubahan fisik yang dialaminya saat marah. Denyut jantung
dan tingkat pernapasan naik dan pembuluh darah sempit (membatasi aliran darah).
Tanggapan ini memungkinkan energi mengalir ke bagian tubuh yang perlu
mengambil tindakan, misalnya otot-otot dan jantung. Marah mungkin memainkan
peran dalam mengembangkan tekanan darah tinggi, sakit kepala, dan sakit perut
(Kazdin, 2001). .
-
37
Berbeda dengan respon marah, respon relaksasi memperlambat denyut
jantung, menurunkan tekanan darah, dan menurunkan konsumsi oksigen dan kadar
hormon stres. Karena relaksasi adalah kebalikan dari marah, teorinya adalah bahwa
secara sukarela menciptakan respon relaksasi melalui penggunaan teknik relaksasi
secara teratur dapat menangkal efek negatif dari stres. Relakssi merangsang tubuh
untuk melepaskan opioid endogen yaitu endorphin dan enkefalin, dilepaskannya
hormone endorphin dapat memperkuat daya tahan tubuh, menjaga sel otak tetep
muda, melawan penuaan, menurunkan amarah dalam hubungan antar manusia,
(Smelzer & Bare, 2002).
Perubahan fisik tersebut secara berlahan akan normal dengan adanya
relaksasi yang dilakukan. Contohnya adalah saat marah umunya jantung berdetang
lebih cepat dari biasanya dan keluar keringat dingin. Adanya relaksasi dapat
membuat individu merasakan detak jantungnya kembali normal dan tidak lagi
keluar keringat dingin. Kerangka berfikir penelitian ini dapat dilihat dalam giagram
alur berikiut:
Tehnik pelatihan kemarahan
Commitment to change (komitmen untuk mengubah diri)
Awarness of your early warning signs (kesadaran akan pertanda kemarahan)
relaxation
Aspek Agresivitas:
Agresi fisik (physical aggression)
Agresi verbal (verbal aggression)
Kemarahan (anger)
Permusuhan (hostility)
Aspek Mengelola Kemarahan:
Mengenali kejadian yang menyebabkan reaksi yang berupa amarah
Mengubah cara berfikir dalam menginterpretasi dan mengevaluasi suatu
kejadian dengan cara-cara yang lebih
sehat
Pelatihan Manajemen
Kemarahan
-
38
E. Hipotesis
Gambar 2.1 Kerangka berfikir
E. Hipotesis
Terdapat dua hipotesis dalam penelitian ini:
1. Ada perbedaan tingkat agresivitas antara kelompok kontrol dengan kelompok
eskperimen setelah pelatihan. Setelah penelitian, agresivitas pada remaja yang
mendapat pelatihan pengelolaan kemarahan lebih rendah daripada remaja yang
tidak mendapat pelatihan pengelolaan kemarahan.
2. Ada perbedaan tingkat agresivitas pada kelompok eksperimen antara sebelum
pelatihan (pretest) dengan setelah pelatihan (posttest). Tingkat agresivitas pada
kelompok eksperimen sebelum pelatihan lebih tinggi dibandingkan setelah
pelatihan.
Agresivitas Menurun
Lebih mampu mengenali kejadian yang menyebabkan reaksi yang berupa amarah
Mampu mengubah cara berfikir dalam menginterpretasi dan mengevaluasi suatu
kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat