bab ii tinjauan pustaka a. agresivitas 1. pengertian ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/5412/3/bab...

38
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Agresivitas 1. Pengertian Agresivitas Agresi dapat diartikan sebagai setiap tindakan yang dimaksudkan untuk melukai atau menyakiti orang lain (Taylor dkk, 2009). Unsur penting dari agresi yaitu adanya faktor tujuan dan kesengajaan. Krahe (2005) menjelaskan lebih lanjut bahwa agresi adalah tindakan individu yang secara sengaja bertujuan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tindakan tersebut. Buss dan Perry (1992) mengatakan yang dimaksud dengan agresif adalah tingkah laku individu yang maksudkan untuk melukai atau menyakiti individu lain yang tidak menginginkan adanya perilaku tersebut. Buss dan Perry (1992) mengungkapkan bahwa perilaku agresif individu sudah dapat terlihat sejak masa kanak-kanak. Setiap manusia pasti pernah berperilaku agresif. Krahe (2005) mengungkapkan bahwa motif utama perilaku agresif adalah keinginan untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negative dengan menyakiti atau melukai orang lain. Baron, R.A., & Byrne (1991) menjelaskan bahwa perilaku agresif dapat merujuk ke tindakan agresivitas, menurut salah satu pendekatan terhadap agresivitas yaitu pendekatan belajar yang menolak keberadaan faktor-faktor bawaan yang diyakini sebagai sumber agresivitas. Artinya, agresi itu sebagai

Upload: others

Post on 22-Oct-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Agresivitas

    1. Pengertian Agresivitas

    Agresi dapat diartikan sebagai setiap tindakan yang dimaksudkan untuk

    melukai atau menyakiti orang lain (Taylor dkk, 2009). Unsur penting dari agresi

    yaitu adanya faktor tujuan dan kesengajaan. Krahe (2005) menjelaskan lebih

    lanjut bahwa agresi adalah tindakan individu yang secara sengaja bertujuan

    untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan

    datangnya tindakan tersebut.

    Buss dan Perry (1992) mengatakan yang dimaksud dengan agresif adalah

    tingkah laku individu yang maksudkan untuk melukai atau menyakiti individu

    lain yang tidak menginginkan adanya perilaku tersebut. Buss dan Perry (1992)

    mengungkapkan bahwa perilaku agresif individu sudah dapat terlihat sejak

    masa kanak-kanak. Setiap manusia pasti pernah berperilaku agresif. Krahe

    (2005) mengungkapkan bahwa motif utama perilaku agresif adalah keinginan

    untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negative dengan menyakiti atau

    melukai orang lain.

    Baron, R.A., & Byrne (1991) menjelaskan bahwa perilaku agresif dapat

    merujuk ke tindakan agresivitas, menurut salah satu pendekatan terhadap

    agresivitas yaitu pendekatan belajar yang menolak keberadaan faktor-faktor

    bawaan yang diyakini sebagai sumber agresivitas. Artinya, agresi itu sebagai

  • 2

    tingkah laku yang dipelajari atau hasil belajar yang melibatkan faktor-faktor

    eksternal pada proses pembentukan agresi tersebut.

    Berdasarkan definisi yang diungkapkan oleh beberapa tokoh di atas dapat

    disimpulkan bahwa pengertian dari agresivitas adalah tingkah laku individu

    yang menyakiti atau melukai seseorang dengan tujuan untuk melukai atau

    mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tindakan

    tersebut.

    2. Jenis-jenis Agresivitas

    Terdapat beberapa jenis agresivitas menurut Buss dan Perry (1992) yaitu:

    a. Agresi fisik (physical aggression)

    Agresi yang dilakukan untuk melukai seseorang secara fisik, seperti

    menyakiti orang lain secara fisik dan melukai orang lain secara fisik. Contoh

    tindakan tersebut adalah memukul, menendang, dan menyerang.

    b. Agresi verbal (verbal aggression)

    Agresi yang dilakukan kepada seseorang melalui cara verbal, contohnya

    adalah memaki orang lain, membentak, bersikap sarkatis, dan menyebarkan

    gosip.

    c. Kemarahan (anger)

    Perasaan tidak senang yang dirasakan oleh seseorang akibat dari reaksi fisik

    ataupun cedera fisik yang dialami oleh seseorang.Contohnya, perasaan

    benci, kesal, dan tidak mampu mengendalikan amarah.

  • 3

    d. Permusuhan (hostility)

    Sikap negatif kepada orang lain yang muncul karena penilaian negatif dari

    diri kita sendiri.

    Schneiders (dalam Aman, 2004) menjelaskan jenis-jenis perilaku agresif yaitu;

    a. Otoriter yaitu orang memiliki ciri kepribadian kaku dalam memegang nilai-

    nilai konvensional dan tidak bisa toleransi terhadap kelemahankelemahan yang

    ada dalam diri sendiri maupun orang lain.

    b. Superior yaitu individu merasa yang paling baik di banding dengan individu

    lain.

    c. Egosentris yaitu individu mengutamakan keperluan pribadi tanpa

    memperhatikan kepentingan diri sendiri seperti yang ditunjukan dengan

    kekuasaan dan kepemilikan.

    d. keinginan untuk menyerang baik terhadap, benda maupun manusia, yaitu

    mempunyai kecenderungan untuk melampiaskan keinginannnya dan

    perasaanya yang tidak nyaman ataupun tidak puas pada lingkungan

    disekitarnya dengan melakukan penyerangan terhadap individu ataupun benda

    lain disekitarnya.

    Menurut allport dan adorno (dalam Koeswara, 1988) agresif dibedakan menjadi dua

    jenis

    a) Prasangka (Thinking ill others) Definisi ini mengimplikasikan bahwa dengan

    prasangka individu atau kelompok menganggap buruk atau memandang

    negatif secara tidak rasional. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana individu

    berprasangka terhadap segala sesuatu yang dihadapinya.

  • 4

    b) Otoriter yaitu orang-orang yang memiliki ciri-ciri kepribadian yang cenderung

    kaku dalam memegang keyakinannya, cenderung memegang nilai-nilai

    konvesional, tidak bisa tolirensi terhadap kelemahanyang ada dalam dirinya

    sendirimaupun dalam diri orang lain, cenderung bersifat menghukum, selau

    curiga dan sangat menaruh hormat dan pengabdian pada otoritas secara tidak

    wajar.

    Disimpulkan bahwa terdapat beberapa jenis dalam agresivitas yaitu

    perlawanan disiplin, superioritas, egosentrisme, keinginan untuk menyerang

    manusia, agresi fisik (physical aggression), agresi verbal (verbal aggression),

    kemarahan (anger), serta permusuhan (hostility). Jenis yang penulis gunakan

    untuk menyusun skala agresivitas adalah milik Buss dan Perry (1992) yaitu

    agresi fisik (physical aggression), agresi verbal (verbal aggression), kemarahan

    (anger), serta permusuhan (hostility). Dipilihnya jenis tersebut karena sesuai

    untuk mengungkap agresivitas remaja sebagaimana subjek penelitian ini.

    3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Agresivitas

    Menurut Koesworo (2008) faktor yang dianggap memengaruhi

    agresivitas pada individu adalah frustasi, stres, deindividuasi, kekuasaan dan

    kepatuhan, kehadiran senjata, provokasi, obat-obatan dan alkohol, dan pelatihan

    pengelolaan kemarahan.

    a. Frustasi

    Frustasi adalah ketika individu gagal mendapatkan atau mencapai apa yang

    diinginkan atau mendapatkan hambatan untuk mencapai tujuan yang

    diinginkan. Frustasi mampu mengarahkan individu kepada bertindak

  • 5

    agresif. frustasi merupakan situasi yang tidak menyenangkan dan

    individupun ingin menghindari hal tersebut dengan berbagai cara, termasuk

    dengan perilaku agresif.

    Teori frustrasi-agresi yang dipelopori oleh Dollard dkk (dalam Baron &

    Byrne, 2003). Teori ini menyatakan bahwa frustrasi menyebabkan berbagai

    kecenderungan, yang salah satunya adalah kecenderungan agresi, dan agresi

    timbul karena adanya frustrasi Apabila frustrasi meningkat, maka

    kecenderungan perilaku agresifpun akan meningkat. Kekuatan dorongan

    agresi yang disebabkan oleh frustrasi, tergantung besarnya kepuasan yang

    diharapkan dan tidak dapat diperoleh. Frustasi, terhambatnya atau

    tercegahnya upaya pencapaian tujuan kerap menjadi penyebab agresi.

    Tetapi agresi tidak selalu muncul karena frustasi. Manusia, misalnya petinju

    dan tentara, dapat melakukan agresi karena alasan lain. ( Miller dalam

    Sarlito,2009)

    b. Stres

    Para pakar dalam bidang fisiologis mendefinisikan stress sebagai reaksi,

    respon, atau adaptasi fisiologis terhadap stimulus eksternal ataupun

    perubahan lingkungan. Stres dapat muncul dari internal (dalam diri)

    maupun eksternal (luar diri) dimana stress akan menghasilkan perasaan

    yang tidak menyenangkan dan menuntut penyesuaian secara behavioral

    (dalam bentuk perilaku), tuntutan tersebut yang akan merujuk pada perilaku

    agresif.

    c. Deindividuasi

  • 6

    Deindividuisasi atau depersonalisasi dapat mengarahkan individu pada

    keleluasaan dalam melakukan agresi, sehingga perilaku agresif dapat terjadi

    lebih intens. Definisi dari deindividuasi adalah kondisi dimana individu

    tidak diketahui identitasnya dan individu akan bertindak lebih anti sosial.

    Keadaan deindividuasi dapat membawa perilaku individu ke luar dari

    batasan norma

    d. Kekuasaan dan Kepatuhan

    Kekuasaan apabila disalahgunakan oleh individu, akan merujuk pada agresi.

    Dasar pemikiran bahwa menggunakan kekuasaan dan mengubahnya

    menjadi kekuatan yang memaksa memiliki dampak yang langsung atau

    tidak langsung pada perilaku agresif.

    e. Efek Senjata

    Penyebaran senjata merupakan salah satu alasan mengapa seseorang dapat

    berprilaku agresif. Contohnya adalah senjata nuklir yang menimbulkan

    konflik antar negara. Fungsi senjata tidaklah memainkan peranan utama

    dalam agresi, tapi adanya efek kehadiran dari senjata tersebut yang dapat

    menimbulkan agresi.

    f. Provokasi

    Provokasi juga merupakan pemicu agresi. Provokasi dapat meningkatkan

    emosi seseorang. Schachter mengungkapkan bahwa kemungkinan

    tercetusnya agresi akan lebih besar apabila individu yang

    menerimaprovokasi mengalami peningkatan emosi. Hasil penelitian

    Zillman dan Byrant (dalam Koesworo, 2008) mengatakan bahwa subjek-

  • 7

    subjek yang taraf emosinya tinggi menunjukkan tingkat agresivitas yang

    lebih tinggi dibandingkan dengan subjek-subjek yang taraf emosinya rendah

    ketika para subjek diberikan perlakuan provokatif.

    Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan faktor-faktor yang

    mempengaruhi agresivitas yaitu frustasi, stress, deindividuasi, kekuasaan dan

    kepatuhan, efek senjata, provokasi

    4. Intervensi untuk Menurunkan Agresivitas

    Terdapat beberapa intervensi untuk menurunkan agresivitas, antara lain:

    a. Doing Anger Differently (DAD)

    Penelitian yang dilakunan Currie (2004) dengan program Doing Anger

    Differently (DAD) terbukti efektif menurunkan perilaku agresif remaja

    berisiko dengan memberikan latihan selama 10 minggu (20 sesi) melalui

    bermain alat musik perkusi sebagai sarana mengalihkan ekspresi amarah

    dan melatih remaja melambangkan perasaan negatifnya hingga mampu

    menyadari dan mencari alternatif respon terhadap amarah selain berperilaku

    agresif.

    b. Student Created Aggression Replacement Education (SCARE)

    Hermann & Mc Whirter (2003) melalui program Studen tCreated

    Aggression Replacement Education (SCARE) sebanyak 15 sesi,

    menemukan bahwa remaja berisiko yang telah mengikuti program tersebut

    memiliki tingkat amarah dan perilaku agresif yang signifikan lebih rendah

    dan memiliki tingkat kontrol amarah yang lebih tinggi pada akhir perlakuan

    dan setelah satu tahun program berlangsung.

  • 8

    c. Cognitive Behavior Therapy (CBT atau Terapi Kognitif Perilaku)

    Penelitian yang dilakukan oleh Clarinda (2014) bertujuan untuk

    menurunkan agresivitas verbal yang terjadi pada anak-anak melalui

    cognitive behavior therapy (CBT).Agresi verbal yang dilakukan anak

    memiliki irrational beliefbahwa ada yang memintanya untuk berkata kasar

    dengan tujuan menyakiti orang lain. Intervensi terdiri dari 10 sesi dengan

    durasi seminggu sekali.

    d. Pelatihan Pengelolaan Kemarahan

    Lench (2004) telah melakukan penelitian dengan tema “Anger

    Management: Diagnostic Differences and Treatment Implications”. Hasil

    dari penelitiannya kelompok yang mendapatkan pelatihan pengelolaan

    kemarahan mendapatkan penurunan nilai agresivitas dibandingkan dengan

    yang tidak mendapatkan pelatihan.

    Disimpulkan bahwa terdapat beberapa intervensi untuk menurunkan

    agresivitas, antara lain Doing Anger Differently (DAD), Student Created

    Aggression Replacement Education (SCARE), Cognitive Behavior Therapy (CBT),

    dan pelatihan pengelolaan kemarahan. Diketahui bahwa pelatihan pengelolaan

    kemarahan merupakan salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk

    menurunkan agresivitas.

  • 9

    B. Pelatihan Pengelolaan Kemarahan

    1. Definisi Pelatihan Pengelolaan Kemarahan

    Kata pelatihan digunakan karena pada individu akan diajarkan suatu

    perilaku baru yang bersifat praktis, yaitu keterampilan yang digunakan dalam

    kehidupan sehari-hari dan dipelajari dalam waktu singkat. Prinsip belajar yang

    dipakai dalam pelatihan adalah prinsip belajar orang dewasa. Pada kegiatan

    pelatihan, tanggung jawab akan proses belajar sepenuhnya berada ditangan

    peserta. Hal ini sebagaimana proses belajar, aspek yang dituju bukan hanya

    aspek kognitif, namun juga aspek afektif dan psikomotor. Perubahan yang

    meliputi ketiga aspek tersebut akan tercapai apabila peserta pelatihan dilibatkan

    dalam proses, melalui bermain peran, dan bukan hanya dengan

    mendemontrasikan beberapa keterampilan saja. Disamping itu, demontrasi atas

    contoh-contoh yang diberikan akan lebih efektif apabila contoh itu berupa

    persoalan-persoalan yang nyata serta berhubungan dengan peserta dan langsung

    dalam diri peserta. Hal tersebut menyebabkan dalam pelatihan, peserta tidak

    sekedar diajari tetapi diberi motivasi untuk mencari pengetahuan, keterampilan,

    perilaku yang lebih baru dengan menggali sumber daya dalam dirinya (Larasati,

    2012).

    Menurut Jewel dan Siegall (Martin & Pear, 2007), pelatihan merupakan

    pengalaman belajar yang terstruktur dengan tujuan untuk mengembangkan

    kemampuan, keterampilan khusus, pengetahuan dan sikap tertentu. Martin &

    Pear (2007) selanjutnya menjelaskan definisi pelatihan sebagai proses

    pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan

  • 10

    terorganisir. Pelatihan merupakan proses teaching-learning untuk memperoleh

    keterampilan khusus.

    Pelatihan berkaitan erat dengan masalah belajar, artinya belajar adalah

    suatu proses atau adanya usaha dimana suatu organisme berubah perilakunya

    sebagai akibat dari pengalaman karena adanya interaksi dengan lingkungan.

    Perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman merupakan hasil

    belajar.Penggunaan pelatihan sebagai salah satu bentuk kegiatan belajar

    diharapkan dapat merubah perilaku, yang disebabkan adanya penghayatan

    pengalaman dalam mengikuti pelatihan (Larasati, 2012).

    Anastasi (2012) mendefinisikan latihan dalam arti sempit merupakan

    keterampilan atau informasi tertentu, sedangkan dalam arti luas latihan

    merupakan upaya pengembangan seperti usaha yang dilakukan dalam dunia

    pendidikan. Latihan harus dikembangkan melalui tiga langkah yaitu: 1) analisa

    tugas, yaitu menetapkan materi yang harus dipelajari; 2) penyusunan tahapan

    latihan, yaitu pemilihan teknik dan media instruksi; 3) evaluasi latihan, yaitu

    untuk mengetahui pencapaian tujuan yang ditetapkan. Pelatihan merupakan

    kumpulan rencana yang teratur dari pengalaman pendidikan untuk melakukan

    modifikasi. Setiap pelatihan terdapat beberapa komponen yang perlu dipenuhi

    yaitu sasaran pelatihan, pelatih, bahan pelatihan, metode pelatihan, media

    pelatihan, dan peserta yang masing-masing saling mempengaruhi dan

    menunjang keberhasilan pelatihan.

    Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah

    mengajarkan suatu perilaku baru yang bersifat praktis, yaitu keterampilan yang

  • 11

    digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dipelajari dalam waktu

    singkat.Pelatihan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengelolaan

    kemarahan.

    Marah dalam kamus bahasa Indonesia adalah perasaan tidak senang

    karena merasa diperlakukan dengan tidak sepantasnya (Tim Prima Pena, 2015).

    Davidoff (2008) menjelaskan bahwa marah sebagai suatu emosi yang memiliki

    ciri-ciri aktivitas system syaraf simpatetik yang tinggi dan adanya perasaan

    tidak suka yang sangat kuat yang disebabkan karena kesalahan yang mungkin

    nyata ataupun tidak.

    Pengelolaan kemarahan (anger management) menurut Depdikbud

    (1995) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah suatu teknik, cara, dan

    perbuatan untuk mengendalikan, menyelenggarakan, mengurus dan mengatur.

    Menurut Goleman (2002) pelatihan pengelolaan kemarahan adalah upaya

    mengajarkan tentang kemampuan atau teknik untuk mengatur perasaan,

    menenangkan diri, melepaskan diri dari kecemasan, kemurungan, atau

    ketersinggungan, dengan tujuan untuk keseimbangan emosi (keseimbangan

    antara perasaan dan lingkungan).Alder (2001) menyebutkan bahwa pengelolaan

    kemarahan adalah suatu tindakan yang menyebabkan seseorang mengatur

    emosi atau mengelola keadaan.Kemampuan ini meliputi kecakapan untuk tetap

    tenang, menghilangkan kegelisahan, kesedihan atau sesuatu yang

    menjengkelkan. Orang dengan pengelolaan emosi yang baik akan mampu

    mengenali perasaannya dan mengatur penyaluran perasaan tersebut.

  • 12

    Pelatihan pengelolaan kemarahan menurut teori yang dikembangkan

    oleh Freud (dalam Shapiro, 1999) adalah mengajarkan suatu perilaku baru yang

    bersifat praktis kepada individu agar pengelolaan terhadap dorongan-dorongan

    id.Pengelolaan dorongan-dorongan ini dilakukan melalui pengembangan ego

    sebagai penengah antara id dan super ego. Ego akan berperan sebagi manajer

    emosi dengan cara “membisikkan” alasan-alasan dan suatu gaya adaptif yang

    memungkinkan seseorang mendapatkan apa yang diinginkannya dengan cara

    yang bisa diterima oleh orang lain, yang tidak akan merugikan, baik dunia luar

    maupun aturan-aturan dan sanksi-sanksi yang ada dalam dunianya sendiri.

    Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan

    pengelolaan kemarahan adalah mengajarkan suatu kempuan perilaku baru yang

    bersifat praktis atau teknik untuk melakukan tindakan mengatur pikiran,

    perasaan, nafsu amarah dengan cara yang tepat dan positif serta dapat diterima

    di lingkungan.

    2. Konsep Operasional Pelatihan Pengelolaan Kemarahan

    Davidoff (2008) menjelaskan bahwa marah sebagai suatu emosi yang

    memiliki ciri-ciri aktivitas sistem syaraf simpatetik yang tinggi dan adanya

    perasaan tidak suka yang sangat kuat yang disebabkan karena kesalahan yang

    mungkin nyata ataupun tidak. Marah dalam kamus bahasa Indonesia adalah

    perasaan tidak senang karena merasa diperlakukan dengan tidak sepantasnya

    (Tim Prima Pena, 2015).

    Chaplin (1998) dalam dictionary of psychology, bahwa marah adalah

    reaksi emosional akut yang timbul karena sejumlah situasi yang merangsang,

  • 13

    termasuk ancaman, agresi lahiriyah, pengekangan diri, serangan lisan,

    kekecewaan, atau frustasi dan dicirikan kuat oleh reaksi pada sistem otomik,

    khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatetik, dan secara emplisit

    disebabkan oleh reaksi seragam, baik baik yang bersifat somatis atau

    jasmaniyah maupun yang verbal atau lisan.

    Maltz (1977) marah adalah frustasi, suatu jenis frustasi yang meledak

    dimana seseorang mengubah suatu perasaan terluka yang fasif menjadi menjadi

    suatu tindakan penghancur disengaja yang aktif.

    Al-jurjani (2001) menjelaskan marah adalah perbuatan yang terjadi pada

    waktu mendidihnyadarah didalam hati untuk memperoleh kepuasan apa yang

    terdapat didalam dada. Sedangkan Imam nawawi mendefinisikan marah dari

    perspektif ilmu tassawuf, sebagai tekanan nafsu dari hati yang menalirkan

    darahpada bagian wajahyang menimbulkan kebencian pada diri seseorang.

    Charles rycroft (1979) memberikan definisi marah sebagai suatu reaksi

    emosional kuat yang didatangkan oleh ancaman, campur tangan, serangan kata-

    kata, penyerangan jelas, atau frustasi dan dicirikan dengan reaksi gawat dari

    sistem syaraf yang bebas dengan balasa-balasan serangan atau tersembunyi.

    Marah adalah suatu pola perilaku yang dirancang untuk mengingatkan

    pengganggu untuk menghentikan perilaku mengancam mereka. Kontak fisik

    jarang terjadi tanpa ekspresi kemarahan paling tidak oleh salah seorang

    partisipan Morris, (1967). Kemarahan yang tejadi pada seseorang akan sangat

    berbahaya. Kemarahan akan membinasakan hati dan kebijaksanaan. Barang

    siapa yang tidak dapat menguasainya maka ia tidak akan dapat mengendalikan

  • 14

    pikirannya. Mills (2005), Meskipun sebagian besar pelaku menjelaskan bahwa

    rasa marah timbul karena "apa yang telah terjadi pada mereka". Ahli psikologi

    menunjukkan bahwa orang yang marah sangat mungkin melakukan kesalahan

    karena kemarahan menyebabkan kehilangan kemampuan pengendalian diri dan

    penilaian objektif sehingga orang marah identik dengan tindakan agresif

    Raymond, (2000). Saat seseorang marah maka akan mengakibatkan antara lain

    peningkatan denyut jantung, tekanan darah, serta tingkat adrenalin dan

    noradrenalin (Medicine.net).

    Wade (2007) terdapat beberapa aspek dari pengelolaan marah, yaitu:

    a. Mengenali emosi marah, emosi marah merupakan kemampuan untuk

    mengendalikan perasaan marah sewaktu perasaan marah itu muncul,

    sehingga seseorang tidak dikuasai oleh marah. Seseorang yang memiliki

    kemampuan dalam mengenali emosi marah dapat bereaksi secara tepat dan

    pada saat yang tepat terhadap kemarahan yang muncul.

    b. Mengendalikan marah, seseorang yang dapat mengendalikan marah tidak

    membiarkan dirinya dikuasai oleh marah, sehingga sehingga emosi marah

    tidak berlebihan dan tidak terjadi pada tingkat intensitas yang tinggi.

    c. Meredakan marah, merupakan suatu kemampuan untuk menenangkan diri

    sendiri setelah individu marah.

    d. Mengungkapkan marah secara asertif, orang yang asertif dapat

    mengungkapkan perasaan marahnya secara jujur dan tepat tanpa melukai

    perasaan orang lain.

  • 15

    Menurut Mawardi (2002) terdapat aspek-aspek di dalam mengelola

    emosi marah, antara lain:

    a. Menerima perasaan marah

    Apabila dimasa mendatang kita merasa marah, terima saja.Jangan

    mengingkari perasaan, menolaknya atau mencoba untuk menutupinya.

    b. Menggali sumber marah

    Sumber marah apabila dapat diketahui dengan jelas, maka individu dapat

    lebih mudah mengelolanya.

    c. Mengekspresikan perasaan marah secara tepat

    Mengungkapkan dan mengkomunikasikan secara verbal dengan asertif.

    d. Melupakan masalah yang membuat marah

    Pengelolaan Kemarahan berdasarkan aspek milik Beck & Weishaar

    (1989) yaitu:

    a. Mengenali kejadian yang menyebabkan reaksi yang berupa amarah.

    b. Mengenali dan memonitor distrosi-distrosi kognitif yang muncul dalam

    suatu peristiwa atau kejadian.

    c. Mengubah cara berfikir dalam menginterpretasi dan mengevaluasi suatu

    kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat.

    Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa terdapat beberapa aspek

    dalam mengelola kemarahan yaitu: mengenali emosi marah, mengendalikan

    marah, meredakan marah, mengungkapkan marah secara asertif, menerima

    perasaan marah, menggali sumber marah, mengekspresikan perasaan marah

    secara tepat, melupakan masalah yang membuat marah, mengenali kejadian

  • 16

    yang menyebabkan reaksi yang berupa amarah, mengenali dan memonitor

    distrosi-distrosi kognitif yang muncul dalam suatu peristiwa atau kejadian, serta

    mengubah cara berfikir dalam menginterpretasi dan mengevaluasi suatu

    kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat.

    Teknik-teknik yang sering digunakan untuk pengelolaan kemarahan

    adalah C.A.R.E. Hershorn (2002) menjelaskan ketiga langkahnya sebagai

    berikut:

    a. Commitment to Change (komitmen untuk mengubah diri)

    Langkah pertama adalah komitmen untuk berubah.Individu yang

    bermasalah dalam hal mengelola kemarahan haruslah mempunyai sebuah

    komitmen yang kuat untuk mengubah dirinya. Adanya komitmen yang kuat

    membuat individu akan semakin termotivasi untuk belajar mengelola emosi

    marah dan menerapkan teknik-tekniknya dalam kehidupan nyata.

    b. Awareness of Your Early Warning Signs (kesadaran akan pertanda

    kemarahan)

    Setiap orang memegang kendali pada saat bertindak atas dasar

    kemarahan.Tidak ada orang yang “meledak” atau “membentak” begitu saja,

    setiap amarahpasti memiliki tanda-tanda peringatan awal.Tanda-tanda itu

    dapat bersifat fisiologis, tingkah laku, dan kognitif.Dengan belajar

    mengenali tanda-tanda peringatan awal kemarahan, seseorang dapat lebih

    sungguh-sungguh memegang kendali atas tindakan kemarahannya. Tanda-

    tanda peringatan awal kemarahan meliputi tiga macam pertanda yaitu:

    1) Fisiologis

  • 17

    Pertanda fisiologis yang sering muncul antara lain: merasa wajah

    menjadi panas memerah, aliran darah yang cepat di urat nadi, jantung

    berdebar-debar, napas menjadi lebih cepat, pendek atau tidak stabil,

    badan terasa panas atau dingin, leher terasa nyeri, rahang menjadi kaku,

    otot mengeras dan tegang.

    2) Tingkah laku

    Pertanda tingkah laku meliputi: mengepalkan tinju, gigi menggerutuk,

    berjalan mondar-mandir dalam ruangan, tidak dapat tetap duduk atau

    berdiri, berbicara dengan lebih cepat.

    3) Kognitif

    Pertanda kognitif mencakup pikiran-pikiran seperti: dia melakukan itu

    kepadaku karena dengki, dia melakukan itu dengan sengaja, aku tidak

    dapat percaya dia melakukan hal itu, tidak ada orang yang bicara

    kepadaku seperti itu, aku akan menunjukkan kepada dia, hal ini tidak

    bisa diterima

    c. Relaxation (relaksasi)

    Relaksasi dan kemarahan merupakan reaksi yang saling

    berlawanan.Keduanya melibatkan gelombang otak dan reaksi tubuh yang

    berbeda, sehingga tidak mungkin terjadi bersamaan. Relaksasi merupakan

    alat bantu yang ampuh untuk mengurangi stres secara umum, mengurangi

    kemarahan ketika tanda-tanda peringatan awal kemarahan muncul, dan

    membantu mereka yang mengalami kesulitan tidur. Setiap individu dapat

  • 18

    memperoleh manfaatnya dengan melakukan relaksasi setiap hari. Ada

    beberapa bentuk relaksasi, yaitu:

    1) Relaksasi otot, indera, dan kognitif. Relaksasi otot merupakan relaksasi

    yang disarankan untuk pemula karena relaksasi ini paling mudah untuk

    dilakukan.

    2) Emosi, pikiran, dan tingkah laku merupakan tiga hal yang saling

    mempengaruhi. Siklus perasaan, pikiran dan tindakan saling mendorong

    dan memperkuat dirinya sendiri. Semakin seseorang memikirkan

    tentang kemarahannya semakin ia menjadi marah. Hal ini membawanya

    bertindak atas dasar kemarahannya tersebut.

    Beck & Weishaar (1989) menjelaskan tentang pelatihan yang dapat

    digunakan dalam pengelolaan kemarahan, yaitu:

    a. Cognitive

    Pelatihan kognitif adalah pendekatan pemberi bantuan yang bertujuan

    mengubah suasana hati (mood) dan perilaku dengan mempengaruhi pola

    berfikirnya.Bentuk dari pelatihan kognitif berupa catatan harian pemikiran

    dwifungsional. Pada dasarnya pelatihan kognitif bertujuan untuk

    meningkatkan aspek:

    1) Mengenali kejadian yang menyebabkan reaksi yang berupa amarah.

    2) Mengenali dan memonitor distrosi-distrosi kognitif yang muncul dalam

    suatu peristiwa atau kejadian, kemudian berusaha mencari

    kebenarannya yaitu dengan mencari hubungan antara kognisi dan

    afeksi.

  • 19

    3) Mengubah cara berfikir dalam menginterpretasi dan mengevaluasi suatu

    kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat.

    b. Asertive

    Asertivitas adalah perilaku interpersonal yang mengandung pengungkapan

    pikiran dan perasaan secara jujur dan relatif langsung langsung yang

    dilakukan dengan memperhatikan perasaan dan kesejahteraan orang lain.

    Seseorang dapat dikatakan berperilaku asertif jika mempertahankan dirinya

    sendiri, mengekspresikan perasaan yang sebenarnya, dan tidak memberikan

    orang lain mengambil keuntungan dari dirinya. Pada saat bersamaan,

    individu juga mempertimbangkan bagaimana perasaan orang lain.

    Keuntungan berperilaku asertif, yaitu mendapatkan apa yang diinginkan

    dan biasanya tanpa membuat orang lain marah.

    Pembelajaran tentang ketrampilan mengelola kemarahan merupakan

    suatu bentuk intervensi yang efektif dalam mengurangi tingkat agresivitas

    seseorang.Fokus pendekatan pengelolaan kemarahan adalah menunjukkan pada

    individu, tentang model-model kemarahan yang lebih dapat diterima secara

    sosial.Penulis dalam melakukan pelatihan mengelola kemarahan menggunakan

    commitment to change (komitmen untuk mengubah diri), awareness of your

    early warning signs (kesadaran akan pertanda kemarahan), relaxation

    (relaksasi). Alasan digunakan semuanya agar hasil pelatihan dapat maksimal.

    3. Tujuan dan Manfaat Pelatihan Pengelolaan Kemarahan

    Tujuan dari pengelolaan kemarahan adalah membentuk keseimbangan

    emosi, bukan menekan emosi, setiap perasaan mempunyai nilai dan makna,

  • 20

    menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju

    kesejahteraan emosi (Goleman, 2002). Bhave & Saini (2009) juga berpendapat

    bahwa dengan mempelajari bagaimana mengelola emosi marah yang baik dapat

    membantu individu mengekspresikan marah dengan cara yang positif. Emosi

    marah dapat membantu individu dalam mengambil tindakan dan dapat

    memberikan sinyal peringatan pada diri untuk bertindak dan memperbaiki

    situasi dengan cara positif (Thomas dalam Bhave & Saini, 2009). Kemampuan

    pengelolaan kemarahan dapat membantu individu dalam melakukan kontrol diri

    (self-control) terhadap respon internal dan eksternal sebagai akibat dari emosi

    marah yang dirasakan dan memberikan motivasi positif untuk memecahkan

    masalah sehingga dapat tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungan (Bhave &

    Saini, 2009).

    Nindita (2012) menjelaskan tujuan dari pengelolaan kemarahan adalah

    memberikan pilihan ekspresi marah dalam cara yang sehat. Individu yang

    mampu mempelajari berbagai cara dalam mengendalikan emosi marah akan

    tampil lebih percaya diri, sedangkan individu tidak mempelajari menegndalikan

    emosi marah memiliki kecenderungan untuk merasakan frustasi dan individu

    akan lebih sering memiliki konflik dengan orang lain dan bahkan dirinya sendiri

    Golden dalam (Fadhila, 2012).

    Menurut Goleman (2002) terdapat beberapa manfaat pelatihan

    pengelolaan kemarahan, antara lain:

    a. Lebih bertanggung jawab.

  • 21

    b. Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan dan

    menaruh perhatian.

    c. Kurang impulsif.

    d. Lebih menguasai diri.

    e. Meningkatnya prestasi.

    Lebih lanjut Goleman (2002) menjelaskan manfaat pelatihan

    pengelolaan kemarahan yaitu:

    a. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan marah.

    b. Berkurangnya ejekan verbal.

    c. Lebih mampu mengungkapkan marah dengan tepat, tanpa berkelahi.

    d. Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri.

    e. Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, keluarga.

    f. Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.

    Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan

    dari pengelolaan kemarahan adalah agar individu dapat memiliki kemampuan

    mengontrol emosi marah, meredakan emosi marah serta membantu individu

    mengekspresikan emosi marah secara positif, sehingga dapat tumbuh dan

    beradaptasi dengan lingkungan.Terdapat beberapa manfaat emosi secara

    produktif, antara lain: lebih bertanggung jawab, lebih mampu memusatkan

    perhatian pada tugas yang dikerjakan dan menaruh perhatian, kurang impulsive,

    lebih menguasai diri, meningkatnya prestasi, toleransi yang lebih tinggi

    terhadap frustasi dan pengelolaan marah, berkurangnya ejekan verbal, lebih

    mampu mengungkapkan marah dengan tepat, tanpa berkelahi, berkurangnya

  • 22

    perilaku agresif atau merusak diri sendiri, perasaan yang lebih positif tentang

    diri sendiri, keluarga, serta berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam

    pergaulan.

    C. Pelatihan Pengelolaan Kemarahan untuk Menurunkan

    Agresivitas pada Siswa

    Remaja menurut Hurlock (2003) umumnya sulit mengontrol emosinya

    sehingga cenderung melakukan agresivitas. Agresi dapat diartikan sebagai setiap

    tindakan yang dimaksudkan untuk melukai atau menyakiti orang lain (Taylor dkk,

    2009). Unsur penting dari agresi yaitu adanya faktor tujuan dan kesengajaan.

    Menurut teori integrasi kognitif tentang trait‐anger yang diajukan, individu yang

    memiliki trait‐anger yang tinggi lebih cenderung mengalami bias dalam

    menginterpretasi suatu situasi provokatif yang selanjutnya memicu proses yang

    secara spontan meningkatkan amarah dan dorongan agresinya. Pengelolaan amarah

    dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan remaja mengendalikan diri

    melalui proses kognitif sehingga diharapkan kecenderungan amarah dan perilaku

    agresifnya dapat dikurangi. Perasaan marah memicu seseorang untuk

    melampiaskannya pada orang lain atau objek tertentu. Kemarahan yang dirasakan

    tersebut dapat dikelola agar kemarahan itu tidak selalu termanifestasikan dalam

    tindakan agresif. Adanya pengelolaan kemarahan penting untuk dipelajari remaja

    (Taylor dkk, 2009).

    Kemarahan atau tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan tanpa

    menyakiti orang lain akan memberikan kegelapan pada individu dan akan

  • 23

    menimbulkan masalah, frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagalnya

    mencapai tujuan yang tidak relistis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan

    (Gie 1999). Agresif adalah prilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan

    untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol (Martin & Pear

    2007). Frustasi merupakan suatu keadaan ketegangan yang tak menyenangkan

    dipenuhi perasaan simpatetis yang semakin meninggi yang disebabkan oleh

    rintangan dan hambatan Koesworo (2008). Pengalaman frustasi seseorang dapat

    menyebabkan timbulnya keinginan untuk bertindak agresi mengarah pada suber-

    sumber eksternal yang menjadi sebab frustasi. Keinginan itu akhirnya dapat

    memicu timbulnya perilaku agresi yang nyata (Krahe, 2005). Sumber yang berasal

    dari dalam termasuk kekurangan diri sendiri seperti kurangnya rasa percaya diri

    atau ketakutan pada situasi sosial yang menghalangi pencapaian tujuan.

    Agresivitas tidak ada sangkut pautnya dengan masalah instink, tetapi

    ditentukan oleh kondisi-kondisi ekstenal (frustasi), sehingga kondisi tersebut

    akan menimbulkan motif yang kuat pada seseorang untuk bertindak agresi.

    Salah satu teori yang diajukan oleh kelompok ini adalah teori frustasi

    agresi, yang dipelopori oleh (Dollard dan koleganya 1939). Menurut

    kelompok tersebut frustasi selalu meninmbulkan agresi dan agresi semata-mata

    adalah hasil dari frustasi. Oleh karena itu bila frustasi menigkat, maka agresivitas

    menigkat pula. Intensitas frustasi bergantung pada beberapa faktor, antara lain

    seberapa besar kemauamenacapai tujuan, seberapa besar penghalang

    yang ditemui, dan seberapa banyak frustasi yang dialami. Menurut Watson

    1984 menyatakan, bahwa frustasi menimbulkan sejumlah respon yang

  • 24

    berbeda dan tidak selalu menimbulkan agresivitas. Jadi agresivitas hanyalah

    salah satu bentuk respon yang munculun seseorang.

    Mardin ( 1990 ) mereka yang memiliki mental lemah harus menyadari bahwa

    beberpa kekecewaan dapat mengorbankan hidupnya. Mereka mungkin tidak

    mengetahui, ternyata banyak manusia akibat dari marah yang berlebihan sehingga

    ia mati karena serangan jantung. Amarah juga bisa menyababkan berkurangnya

    nafsu makan, serta terganggunya otot dan saraf selam berjam-jam bahkan berhari-

    hari. Perasaan marah memang memicu seseorang untuk melampiaskannya pada

    orang lain atau objek tertentu. Umumnya kemarahan yang dialami menyebabkan

    individu melakukan agresivitas, menyerang orang lain dengan maksud menyakiti.

    Hal tersebut menyebabkan pembelajaran tentang ketrampilan mengontrol

    kemarahan (pengelolaan kemarahan) menjadi salah satu bentuk intervensi yang

    efektif dalam mengurangi tingkat agresivitas seseorang (Krahe, 2005).

    Goleman (2002) menejelaskan beberapa manfaat dari pelatihan pengelolaan

    kemarahan adalah, kurang impulsif, lebih menguaisai diri, toleransi yang lebih

    tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan kemarahan, lebihmampu mengungkapkan

    kemarahan dengan tepat, tampa berkelahi, serta berkurangnya perilaku agresif atau

    merusak diri.

    Marah disebabkan adanya impuls, ada yang eksternal maupun internal.

    Eksternal seperti dari lingkungan yang tidak kondusif dan keras dan makanan yang

    berprotein tinggi. Internal dari faktor hormonal dan kadar oksigen yang rendah.

    Impuls ini akan meningkatkan agresivitas seseorang. Saat kendali emosi seseorang

    rendah karena penyakit dan memang kepribadiannya yang kurang stabil, impuls

  • 25

    lebih mudah memicu agresivitas. Jadi, perjalanan penyakit seseorang bisa

    menyebabkan rendahnya kendali emosi.

    Secara kajian biologi molekular, saat marah terjadi peningkatan konsentrasi

    neurotransmitter dompamine pada neuron otak. Semua terjadi pada limbic system

    (pusat emosi) di hypothalamus, setelah itu diteruskan ke hypophycis. Baru

    kemudian diteruskan ke bagian tubuh lainnya, seperti dihasilkannya hormon-

    hormon yang memacu denyut jantung, pupil mata membesar, dan lain-lain. Hormon

    tersebut contohnya seperti epinefrin, serotonin, dan testosteron. Pada orang tua,

    hormon testosteron dan progesteron-nya sudah mulai menurun. Hal tersebut

    mengurangi ambang batas kesabarannya sehingga dipicu sedikit akan mudah

    marah. Saat hormon seperti testosteron dan progesteron sedang dalam kondisi tidak

    seimbang, emosi seseorang akan kurang stabil (Bhave, S.Y & Saini, S. 2009).

    Pelatihan pengelolaan kemarahan adalah suatu teknik yang dirancang khusus

    untuk membantu individu dalam mengelola kemarahan secara konstruktif.

    Ketrampilan pengelolaan kemarahan bagi remaja penting untuk diajarkan karena

    sebagian besar dari mereka memiliki kerentanan tinggi dalam melakukan perilaku

    antisosial, terutama agresi. Respon antisosial atau agresi muncul karena kurangnya

    kemampuan remaja dalam mengendalikan kemarahannya. Perasaan marah dapat

    mendorong seseorang untuk menyerang orang yan menjadi sumber kemarahannya.

    Kemarahan juga dapat dilampiaskan pada orang yang tidak bersalah ataupun objek-

    objek di sekitar pelaku (Dayakisni dan Hudaniah, 2006).

    Hasil penelitian Lench (2004) yang berjudul “Anger Management:

    Diagnostic Differences and Treatment Implications” menunjukkan kelompok yang

  • 26

    mendapatkan pelatihan pengelolaan kemarahan mendapatkan penurunan nilai

    agresivitas dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan pelatihan. Wilkowski &

    Robinson (2008) menyatakan bahwa amarah merupakan kondisi perasaan internal

    yang secara khusus berkaitan dengan meningkatnya dorongan untuk menyakiti

    orang lain, sedangkan agresi terkait langsung dengan tindakan nyata menyakiti

    orang lain.

    Nindita (2012) menjelaskan tujuan dari pengelolaan kemarahan adalah

    memberikan pilihan ekspresi marah dalam cara yang sehat. Individu yang mampu

    mempelajari berbagai cara dalam mengendalikan emosi marah akan tampil lebih

    percaya diri, sedangkan individu tidak mempelajari menegndalikan emosi marah

    memiliki kecenderungan untuk merasakan frustasi dan individu akan lebih sering

    memiliki konflik dengan orang lain dan bahkan dirinya sendiri Golden dalam

    (Fadhila, 2012).

    Siswa SMP sebagai remaja awal sudah mulai mengambil peran banyak

    dalam lingkungan sosialnya. Bergaul dengan teman sebaya, melakukan

    penyesuaian diri dengan lingkungan baik di sekolah maupun di masyarakat.

    Tuntutan penyesuaian yang dituntut oleh masyarakat sangat membebani yang

    menimbulkan tekanan-tekanan pada siswa. Tekanantekanan itu membuat siswa

    mengalami masa sulit dan menimbulkan emosi marah.

    Masa remaja merupakan masa transisi dimana masa ini merupakan puncak

    emosional dan ketidakmampuan siswa (remaja) dalam mengelola emosi, khususnya

    emosi marah yang dapat menghambat perkembangan emosi siswa. Berdasarkan

    hasil pengamatan peneliti, wawancara dengan siswa dan guru Bimbingan dan

  • 27

    Konseling serta data yang tercatat dibuku mengenai adanya kasus yang terjadi pada

    siswa SMP Negeri 2 Tampaksiring yang menunjukkan beberapa siswa belum bisa

    mengelola emosinya dengan baik. Asumsi ini berdasarkan pada perilaku siswa yang

    kurang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya, kurang bisa mengontrol diri,

    dan mudah marah, mudah marah lantaran cuma hal-hal yang kecil, seperti melihat

    wajah antara siswa satu dengan siswa lain yang berujung dengan percekcokan

    sampai perkelahian. Ada juga perilaku yang kurang menyenangkan seperti suka

    mengolok-olok, mengejek, membentak, memukul bersuara keras, dan masih

    banyak lagi. Perilaku tersebut menunjukkan bahwa kemampuan mengelola emosi

    beberapa siswa belum optimal.

    Perkembangan kemampuan mengelola emosi marah siswa didasarkan pada

    faktor internal dan eksternal. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi

    sosio-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga, teman sebaya, dan

    lingkungan masyarakat. Peneliti berasumsi bahwa kemampuan mengelola emosi

    marah dapat ditingkatkan melalui teknik anger management. Anger management

    adalah suatu kemapuan atau teknik untuk melakukan tindakan mengatur pikiran,

    perasaan, nafsu amarah dengan cara yang tepat dan positif serta dapat diterima di

    lingkungan, sehingga dapat mencegah sesuatu yang buruk atau merugikan diri

    sendiri dan orang lain. Anger management sangat efektif menangani masalah

    emosi. Anger management dapat menjadi teknik untuk membantu pemahaman

    siswa mengenai mengelola emosi marahnya sehingga siswa dapat keluar dari

    masalahnya dan menemukan alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan

    kemampuan mengelola emosi marahnya yang dialami.

  • 28

    Kegiatan pertama di hari pertama adalah Pembukaan dan Perkenalan.Pada

    kegiatan ini dilakukan aktivitas berupa Pembukaan, Ice breaking, Penjelasan alur

    pelatihan, Diskusi tentang harapan peserta, serta Penetapan kontrak belajar.

    Selanjutnya dilakukan Pemahaman Tentang Kemarahan yang diisi dengan kegiatan

    pemutaran cuplikan film Anger Management, sharing kelompok, penyampaian

    materi pemahaman tentang kemarahan dan bagaimana kemarahan menjadi

    masalah, serta diskusi kelompok. Kegiatan Pembukaan dan Perkenalan bertujuan

    untuk membuka pertemuan awal, membangun rapport, serta membangun

    kohesivitas kelompok. Acuan materi ini adalah Buss dan Perry (1992). Kegiatan

    pemahaman tentang kemarahan bertujuan mengajak peserta semakin memahami

    definisi kemarahan dan berbagai jenis kemarahan.

    Sesi yang kedua yaitu mengenali berbagai faktor pemicu

    kemarahan.Kegiatannya meliputi penyampaian materi tentang mengenali berbagai

    faktor pemicu kemarahan, sharing kelompok, mengerjakan lembar penugasan I

    serta diskusi kelompok. Tujuan sesi ini adalah mengajak peserta semakin mengenali

    faktor-faktor pemicu agresivitas, baik itu yang berasal dari dalam maupun luar

    dirinya.

    Sesi ketiga yaitu Commitment to Change (komitmen untuk mengubah

    diri).Tujuan dari kegiatan ini adalah peserta menyadari bahwa komitmen untuk

    mengubah diri menjadi lebih baik merupakan hal yang penting.Fasilitator

    menyampaikan materi tentang komitmen untuk mengubah diri.Peserta diajak untuk

    semakin memiliki komitmen untuk mengubah diri menjadi lebih baik dalam

    mengelola kemarahan.

  • 29

    Kegiatan yang selanjutnya yaitu Awareness of Your Early Warning Signs

    (kesadaran pertanda kemarahan).Penyampaian Materi “Mengenali tanda-tanda

    kemarahan”, Mengerjakan lembar penugasan, serta Diskusi kelompok. Acuan

    pengelolaan kemarahan yang dipelajari dalam sesi ini berdasarkan aspek milik

    Beck & Weishaar (1989) yaitu mengenali kejadian yang menyebabkan reaksi yang

    berupa amarah.Tujuannya peserta menyadari berbagai sensasi fisik, perilaku, dan

    respon-respon kognitif yang biasa muncul saat kemarahan mulai dirasakan.

    Sesi berikutnya yaitu mempelajari teknik-teknik relaksasi untuk meredakan

    gejolak kemarahan.Kegiatannya meliputi Penyampaian materi “pengertian

    relaksasi”, Sharing kelompok, Latihan relaksasi, Sharing kelompok, Mengerjakan

    lembar penugasan IV, Refleksi.Tujuannya agar peserta mampu menerapkan teknik-

    teknik relaksasi. Salah satu cara yang bisa mengendalikan rasa marah adalah

    dengan melakukan relaksasi pernapasan (deep breathing). Menurut Charlesworth

    dan Nathan (1996) relaksasi merupakan suatu teknik untuk membantu seseorang

    mencapai keadaan rileks dengan cepat dalam berbagai situasi. Terry Mason

    (www.healthanswers.com) mengungkapkan bahwa relaksasi merupakan suatu

    filosofi dan metode yang menekankan pada kekuatan pikiran dan badan. Seringkali

    relaksasi juga dilakukan dengan mendengarkan suara, mengulangi kata-kata atau

    pun dengan berdoa. Selain itu sensasi tubuh juga sangat diperhatikan sebagai fokus

    dalam meningkatkan metabolisme serta mencapai keadaan rileks.

    Teknik relaksasi menurut Townsend (1993) dikenal dengan berbagai macam

    bentuk, yaitu latihan pernafasan (deep breathing therapy), peregangan otot

  • 30

    (progressive relaxation), meditasi, imajinasi (mental imagery), biofeedback dan

    latihan fisik (physical exercise).

    Rilaksasi pernafasan merupakan teknik yang paling sederhana dan mudah

    bagi seseorang terutama dalam keadaan darurat yang membutuhkan pengendalian

    amarah dengan cepat. Selain itu, teknik ini memiliki kelebihan dapat dilakukan

    dimana saja dan kapan saja. Teknik ini akan lebih bermanfaat jika dilakukan selama

    tiga sampai empat kali dalam sehari ketika mengalami ketegangan berpikir akibat

    sesuatu hal yang tidak menyenangkan.

    Relaksasi dan kemarahan merupakan reaksi yang saling berlawanan.

    Keduanya melibatkan gelombang otak dan reaksi tubuh yang berbeda, sehingga

    tidak mungkin terjadi bersamaan. Relaksasi merupakan alat bantu yang ampuh

    untuk mengurangi stres secara umum, mengurangi kemarahan ketika tanda-tanda

    peringatan awal kemarahan muncul, dan membantu mereka yang mengalami

    kesulitan tidur. Dengan melakukan relaksasi setiap hari, setiap individu dapat

    memperoleh manfaatnya. Relaksasi pernafasan merupakan relaksasi yang

    disarankan untuk pemula karena relaksasi ini paling mudah untuk dilakukan.

    Emosi, pikiran, dan tingkah laku merupakan tiga hal yang saling mempengaruhi.

    Siklus perasaan, pikiran dan tindakan saling mendorong dan memperkuat dirinya

    sendiri. Semakin seseorang memikirkan tentang kemarahannya semakin ia menjadi

    marah. Hal ini membawanya bertindak atas dasar kemarahannya tersebut.

    Relaksasi merupakan upaya untuk mengendurkan ketegangan jasmaniah,

    yang pada akhirnya mengendurkan ketegangan. Salah satu cara rilekasasi adalah

    bersifat responsive yaitu dengan mengatur aktifitas bernafas. Latihan relaksasi

  • 31

    pernafasan dilakukan dengan mengatur mekanisme pernafasan baik tempo atau

    irama dan intensitas yang lebih lambat dan dalam. Keteraturan dalam bernafas

    menyebabkan sikap mental dan badan yang rileks sehingga menyebabkan otot

    lentur dan dapat menerima situasi yang merangsang luapan amarah tampa

    membuatnya kaku (wiramihrdja, 2007).

    Tehnik relaksasi juga dapat mengatur emosi dan menjaga keseimbangan

    emosi, sehingga emosi marah tidak berlebihan dan tidak terjadi pada tingkat

    intensitas yang tinggi (goleman, 1997). Relakssi pernafasan merangsang tubuh

    untuk melepaskan opioid endogen yaitu endorphin dan enkefalin, dilepaskannya

    hormone endorphin dapat memperkuat daya tahan tubuh, menjaga sel otak tetep

    muda, melawan penuaan, menurunkan amarah dalam hubungan antar manusia,

    (Smelzer & Bare, 2002). Saat marah terjadi peningkatan konsentrasi

    neurotransmitter dompamine pada neuron otak. Semua terjadi pada limbic system

    (pusat emosi) di hypothalamus, setelah itu diteruskan ke hypophycis. dihasilkannya

    hormon-hormon yang memacu denyut jantung, pupil mata membesar, dan lain-lain.

    Hormon tersebut contohnya seperti epinefrin, serotonin, dan testosterone

    (Davidoff. 2008). Hal tersebut mengurangi ambang batas kesabarannya sehingga

    dipicu sedikit akan mudah marah. Saat hormon seperti testosteron dan progesteron

    sedang dalam kondisi tidak seimbang, emosi seseorang akan kurang stabil. Dalam

    relaksasi Adapun peranaan dari hormon endorfin salah satunya adalah untuk

    mengurangi rasa sakit dan bisa memicu rasa senang, tenang, atau juga bahagia,

    sehingga ketika mengalami emosi marah tehnik relaksi dapat mebuat tenang karena

  • 32

    hormone endorfen akan mendorong perasaan bahagia mencul dan menurunkan

    perasaan marah sehingga menjadi tenang ((Kazdin, 2001)).

    D. Landasan Teori

    Marah sering disebut juga sebagai perasaan ketidaknyamana dan menjadi

    sumber dari munculnya agresivitas. Perasaan marah memang memicu seseorang

    untuk melampiaskannya pada orang lain atau objek tertentu. Umumnya kemarahan

    yang dialami menyebabkan individu melakukan agresivitas, menyerang orang lain

    dengan maksud menyakiti. Artinya, ada faktor kesengajaan yang dilakukan orang

    tersebut. Meskipun demikian, kemarahan tidak selalu termanifestasi dalam

    tindakan agresif, seperti misalnya dengan menyakiti orang yang memicu

    munculnya rasa marah tersebut (Sarwono & Meinamo, 2009; Taylor, 2009). Hal

    tersebut menyebabkan pembelajaran tentang ketrampilan mengontrol kemarahan

    (pengelolaan kemarahan) menjadi salah satu bentuk intervensi yang efektif dalam

    mengurangi tingkat agresivitas seseorang (Krahe, 2005).

    Fokus pendekatan pengelolaan kemarahan adalah menunjukkan pada

    individu model-model kemarahan yang lebih bisa diterima secara sosial (Hershorn,

    2002). Pengelolaan kemarahan bagi remaja bertujuan untuk menolong remaja-

    remaja yang memiliki tingkat agresi tinggi untuk mempelajari cara-cara

    pengendalian emosi. Pengelolaan kemarahan ini penting untuk dipelajari karena

    remaja yang memiliki tingkat agresi tinggi cenderung merasakan kemarahan

    dengan frekuensi dan intensitas tinggi dalam berbagai situasi. Umumnya remaja

  • 33

    menekan ataupun mengkspresikan kemarahan secara terbuka, dan cenderung

    mengalami berbagai konsekuensi negatif dari kemarahan yang mereka rasakan.

    Remaja yang tidak bisa mengendalikan kemarahannya memiliki resiko tinggi untuk

    melakukan agresi atau tindak kekerasan terhadap teman-teman sebayanya

    (McWhirter, 2004).

    Program-program pengelolaan kemarahan secara teknis memiliki variasi dan

    penekanan yang berbeda-beda. Namun pada dasarnya pengelolaan kemarahan

    terdiri dari dua aspek, yaitu aspek internal yang terkait dengan diri individu, dan

    aspek eksternal yang berhubungan dengan orang lain atau lingkungan sekitar.

    Kontrol terhadap aspek internal dapat ditingkatkan melalui teknik relaksasi,

    pengenalan terhadap tanda-tanda kemarahan, dan restrukturisasi kognitif. Teknik-

    teknik tersebut bertujuan untuk mengendalikan kemarahan yang bergejolak dalam

    diri individu. Pengelolaan aspek eksternal ditingkatkan melalui teknik problem

    solving, komunikasi asertif, dan ketrampilan empati. Ketiganya memberi arahan

    bagi individu dalam menyelesaikan konflik interpersonal yang terjadi. Aspek

    eksternal inilah yang terkait erat dengan perkembangan ketrampilan prososial

    individu, karena melibatkan hubungan interpersonal dengan orang lain.

    Terdapat beberapa aspek agresivitas menurut Buss dan Perry (1992) yaitu

    agresi fisik (physical aggression), agresi verbal (verbal aggression), kemarahan

    (anger), dan permusuhan (hostility). Aspek pengelolaan kemarahan yang

    digunakan dalam penelitian ini berdasarkan dimensi milik Beck & Weishaar (1989)

    yaitu mengenali kejadian yang menyebabkan reaksi yang berupa amarah,

    mengenali dan memonitor distrosi-distrosi kognitif yang muncul dalam suatu

  • 34

    peristiwa atau kejadian, serta mengubah cara berfikir dalam menginterpretasi dan

    mengevaluasi suatu kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat.

    Adanya pelatihan menyebabkan individu mengenali kejadian yang

    menyebabkan reaksi yang berupa amarah. Kemampuan individu mengenali

    kejadian yang menyebabkan reaksi yang berupa amarah membuat dirinya

    mengenali agresi fisik (physical aggression), agresi verbal (verbal aggression),

    kemarahan (anger), dan permusuhan (hostility) yang biasanya dirinya lakukan

    (Wahyudi, H. 2008). Hal ini menunjukkan keterkaitan antara aspek pelatihan

    mengelola kemarahan dengan agresivitas.

    Kemarahan dialami dalam tubuh dan juga dalam pikiran. Sebenarnya, ada

    serangkaian peristiwa fisiologis (tubuh) yang kompleks yang terjadi ketika tubuh

    menjadi marah. Emosi kurang lebih mulai di dalam dua struktur berbentuk almond

    di otak yang disebut amigdala. Amigdala adalah bagian dari otak yang bertanggung

    jawab untuk mengidentifikasi ancaman terhadap kesejahteraan, dan untuk

    mengirimkan alarm ketika ancaman diidentifikasi yang mengakibatkan tubuh

    mengambil langkah-langkah untuk melindungi diri sendiri. Amigdala sangat efisien

    dalam memperingatkan tubuh tentang ancaman, yang membuat tubuh bereaksi

    sebelum korteks (bagian otak yang bertanggung jawab atas pemikiran dan

    penilaian) mampu memeriksa kewajaran reaksi. Dengan kata lain, otak terhubung

    sedemikian rupa sehingga mempengaruhi tubuh untuk bertindak sebelum dapat

    dengan benar mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan. Ini bukan alasan

    untuk berperilaku buruk. Orang dapat dan memang mengendalikan impuls agresif

    mereka dan pengendalian bisa dengan beberapa latihan. Sebaliknya, itu berarti

  • 35

    bahwa belajar mengelola kemarahan dengan benar adalah keterampilan yang harus

    dipelajari (https://www.mentalhelp.net/articles/physiology-of-anger/)

    Saat marah, otot-otot tubuh menegang. Di dalam otak, bahan kimia

    neurotransmitter yang dikenal sebagai katekolamin dilepaskan menyebabkan tubuh

    mengalami ledakan energi yang berlangsung hingga beberapa menit. Ledakan

    energi ini berada di belakang keinginan marah yang umum untuk mengambil

    tindakan perlindungan segera. Pada saat yang sama, detak jantung akan meningkat,

    tekanan darah meningkat, dan laju pernapasan meningkat. Wajah akan memerah

    ketika peningkatan aliran darah memasuki anggota tubuh dan ekstremitas sebagai

    persiapan untuk tindakan fisik. Perhatian menyempit dan menjadi terkunci pada

    target kemarahan. Dalam suksesi cepat, neurotransmiter otak tambahan dan hormon

    (di antaranya adrenalin dan noradrenalin) dilepaskan yang memicu kemarahan

    (https://www.mentalhelp.net/articles/physiology-of-anger/).

    Saat marah korteks prefrontal otak tidak bias dikendalikan, yang terletak

    tepat di belakang dahi. Jika amigdala menangani emosi, korteks prefrontal

    menangani penilaian. Korteks prefrontal kiri dapat mematikan emosi. Mengontrol

    kemarahan berarti mempelajari cara-cara untuk membantu korteks prefrontal

    menguasai amygdala sehingga akan memiliki kendali atas bagaimana tubuh

    bereaksi terhadap perasaan marah. Terdapat banyak tehenik untuk menurunkan

    kemarahan salah satunya adalah relaksasi

    (https://www.mentalhelp.net/articles/physiology-of-anger/) .

    Jika kemarahan memiliki fase persiapan fisiologis di mana sumber daya

    dimobilisasi untuk berkelahi. Tubuh mulai rileks kembali ke keadaan istirahat kita

  • 36

    ketika target kemarahan kita tidak lagi dapat diakses atau ancaman langsung.

    Gairah yang disebabkan adrenalin yang terjadi selama kemarahan berlangsung

    sangat dan menurunkan ambang kemarahan, sehingga memudahkan kita untuk

    marah lagi di kemudian hari. Gairah yang bertahan lama yang membuat kita tetap

    prima karena kemarahan yang lebih besar juga dapat mengganggu kemampuan kita

    untuk mengingat dengan jelas perincian ledakan kemarahan kita. Gairah sangat

    penting untuk mengingat secara efisien. Seperti yang diketahui oleh setiap siswa,

    sulit untuk mempelajari materi baru saat mengantuk. Tingkat gairah sedang

    membantu otak untuk belajar dan meningkatkan daya ingat, konsentrasi, dan

    kinerja. Ada tingkat optimal gairah yang menguntungkan memori, dan ketika gairah

    melebihi tingkat optimal, itu membuat lebih sulit untuk memori baru terbentuk.

    Tingkat gairah yang tinggi (seperti hadir ketika kita marah) secara signifikan

    mengurangi kemampuan Anda untuk berkonsentrasi. Inilah sebabnya mengapa

    sulit untuk mengingat rincian argumen yang benar-benar eksplosif saat sedang

    keadaan marah (https://www.mentalhelp.net/articles/physiology-of-anger/).

    Adanya relaksasi yang dilakukan membuat berlahan-lahan individu mampu

    menyadari perubahan-perubahan fisik yang dialaminya saat marah. Denyut jantung

    dan tingkat pernapasan naik dan pembuluh darah sempit (membatasi aliran darah).

    Tanggapan ini memungkinkan energi mengalir ke bagian tubuh yang perlu

    mengambil tindakan, misalnya otot-otot dan jantung. Marah mungkin memainkan

    peran dalam mengembangkan tekanan darah tinggi, sakit kepala, dan sakit perut

    (Kazdin, 2001). .

  • 37

    Berbeda dengan respon marah, respon relaksasi memperlambat denyut

    jantung, menurunkan tekanan darah, dan menurunkan konsumsi oksigen dan kadar

    hormon stres. Karena relaksasi adalah kebalikan dari marah, teorinya adalah bahwa

    secara sukarela menciptakan respon relaksasi melalui penggunaan teknik relaksasi

    secara teratur dapat menangkal efek negatif dari stres. Relakssi merangsang tubuh

    untuk melepaskan opioid endogen yaitu endorphin dan enkefalin, dilepaskannya

    hormone endorphin dapat memperkuat daya tahan tubuh, menjaga sel otak tetep

    muda, melawan penuaan, menurunkan amarah dalam hubungan antar manusia,

    (Smelzer & Bare, 2002).

    Perubahan fisik tersebut secara berlahan akan normal dengan adanya

    relaksasi yang dilakukan. Contohnya adalah saat marah umunya jantung berdetang

    lebih cepat dari biasanya dan keluar keringat dingin. Adanya relaksasi dapat

    membuat individu merasakan detak jantungnya kembali normal dan tidak lagi

    keluar keringat dingin. Kerangka berfikir penelitian ini dapat dilihat dalam giagram

    alur berikiut:

    Tehnik pelatihan kemarahan

    Commitment to change (komitmen untuk mengubah diri)

    Awarness of your early warning signs (kesadaran akan pertanda kemarahan)

    relaxation

    Aspek Agresivitas:

    Agresi fisik (physical aggression)

    Agresi verbal (verbal aggression)

    Kemarahan (anger)

    Permusuhan (hostility)

    Aspek Mengelola Kemarahan:

    Mengenali kejadian yang menyebabkan reaksi yang berupa amarah

    Mengubah cara berfikir dalam menginterpretasi dan mengevaluasi suatu

    kejadian dengan cara-cara yang lebih

    sehat

    Pelatihan Manajemen

    Kemarahan

  • 38

    E. Hipotesis

    Gambar 2.1 Kerangka berfikir

    E. Hipotesis

    Terdapat dua hipotesis dalam penelitian ini:

    1. Ada perbedaan tingkat agresivitas antara kelompok kontrol dengan kelompok

    eskperimen setelah pelatihan. Setelah penelitian, agresivitas pada remaja yang

    mendapat pelatihan pengelolaan kemarahan lebih rendah daripada remaja yang

    tidak mendapat pelatihan pengelolaan kemarahan.

    2. Ada perbedaan tingkat agresivitas pada kelompok eksperimen antara sebelum

    pelatihan (pretest) dengan setelah pelatihan (posttest). Tingkat agresivitas pada

    kelompok eksperimen sebelum pelatihan lebih tinggi dibandingkan setelah

    pelatihan.

    Agresivitas Menurun

    Lebih mampu mengenali kejadian yang menyebabkan reaksi yang berupa amarah

    Mampu mengubah cara berfikir dalam menginterpretasi dan mengevaluasi suatu

    kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat