bab ii tinjauan pustaka a. 1. - sebelas maret university · menurut sukadiyanto (2010: 8)...
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Hakikat Latihan
a. Pengertian Latihan
Sukadiyanto (2010: 7) mengatakan bahwa latihan berasal dalam
kata bahasa Inggris yang dapat mengandung beberapa makna seperti:
practice, exercises, dan training. Di dalam istilah bahasa Indonesia kata-
kata tersebut semuanya mempunyai arti yang sama yaitu latihan. Namun,
dalam bahasa Inggris kenyataanya setiap kata tersebut memiliki maksud
yang berbeda-beda. Beberapa istilah tersebut setelah diaplikasikan di
lapangan memang nampak sama kegiatannya, yaitu aktivitas fisik.
Menurut Giriwijoyo, dkk (2005: 43) bahwa berlatih merupakan proses
latihan yang sistematis yang dilakukan secara berulang-ulang, dan yang
kian hari jumlah beban latihannya kian bertambah.
Menurut Sukadiyanto (2010: 7) pengertian latihan yang berasal
dari kata practice adalah aktivitas untuk meningkatkan keterampilan
(kemahiran) berolahraga dengan menggunakan berbagai peralatan sesuai
dengan tujuan dan kebutuhan cabang olahraganya. Artinya, selama dalam
kegiatan proses berlatih melatih agar dapat menguasai keterampilan
gerak cabang olahraganya selalu dibantu dengan menggunakan berbagai
peralatan pendukung. Sebagai contoh, apabila seseorang pemain
sepakbola agar dapat menggiring bola dalam penguasaan penuh maka
perlu practice dalam menggiring bola. Untuk itu diperlukan alat bantu
13
seperti pancang yang disusun berjarak 1 meter sebanyak 10 pancang.
Pemain tersebut berusaha lari sambil menggiring bola dengan cara zig-
zag melewati pancang-pancang. Dalam proses berlatih melatih practice
sifatnya sebagai bagian dari proses latihan yang berasal exercise. Artinya,
dalam setiap proses latihan yang berasal dari kata exercises pasti ada
bentuk latihan practice.
Selain pendapat di atas, ada beberapa pendapat para ahli di
antaranya McMorris et al. (2006: 97) juga mengemukakan hal yang
berkaitan dengan kata practice, yaitu practice is essential if learning is to
take place. To the congnitivists, practice follows instruction. It is the
keyfactor in the intermediate and autonomous stages of fits and posner,
would see it as being when we move from declarative knowledge
(knowing what to do) to procedural knowledge (developing the ability to
perform the task). Maksud dari pernyataan McMorris et al, praktik adalah
hal yang penting untuk mengembangkan pengetahuan dengan mengikuti
instruksi-instruksi yang diberikan yang akan mengubah pengetahuan
deklaratif (mengetahui apa yang harus dilakukan) hingga pengetahuan
prosedural (mengembangkan kemampuan untuk melakukan tugas).
To achieve excellence in any domain, individuals have to spend a
considerable amount of time trying to improve performance through
practice related activities (Ericsson et al. 1993: 363). Maksud pendapat
tersebut yaitu untuk mencapai berbagai domain yang baik, individu
14
menggunakan banyak waktu mencoba untuk meningkatkan kemampuan
melalui aktivitas yang berhubungan dengan latihan (practice).
Menurut Sukadiyanto (2010: 8) pengertian latihan yang berasal
dari kata exercises adalah perangkat utama dalam proses latihan harian
untuk meningkatkan kualitas fungsi organ tubuh manusia, sehingga
mempermudah olahragawan dalam penyempurnaan geraknya. Latihan
exercises merupakan materi latihan yang dirancang dan disusun oleh
pelatih untuk satu sesi latihan atau satu kali tatap muka dalam latihan.
Birch et al. (2005: 1) mengemukakan latihan yang berasal dari kata
exercise yaitu exercise is defined as repetitive physical activity or
movement aimed at improving or maintaining fitness or health. Maksud
dari pernyataan Birch et al, latihan didefinisikan sebagai aktivitas fisik
yang berulang atau gerakan yang bertujuan untuk meningkatkan atau
mempertahankan kebugaran maupun kesehatan.
Pengertian latihan yang berasal dari kata training adalah
penerapan dari suatu perencanaan untuk meningkatkan kemampuan
berolahraga yang berisikan materi teori dan praktek, metode, dan aturan
pelaksanaan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang akan dicapai (Nossek
1982 cit Sukadiyanto 2010: 8). Sedangkan menurut Sukadiyanto (2010:
8) latihan yang berasal dari kata training adalah suatu proses
penyempurnaan kemampuan berolahraga dengan pendekatan ilmiah,
memakai prinsip pendidikan yang terencana dan teratur, sehingga dapat
meningkatkan kesiapan dan kemampuan olahragawan. Menurut Reilly
15
(2005: 1) training is an essential part of preparing for sports
competition. If training for soccer is to be effective it must be related to
the demands of the game. Latihan merupakan bagian penting dari
persiapan menuju kompetisi olahraga. Apabila latihan sepakbola, yang
efektif seharusnya berhubungan dengan kebutuhan dalam permainan.
Berdasarkan berbagai pendapat mengenai pengertian latihan
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa latihan merupakan aktivitas
fisik yang dilakukan secara sistematis, dalam jangka waktu yang panjang,
dilakukan berulang-ulang, meningkat, dan dengan sebuah metode
tertentu sesuai tujuan yang diinginkan. Proses berlatih yang dilakukan
secara teratur, terencana, berulang-ulang dan semakin lama semakin
bertambah beban, serta dimulai dari yang sederhana ke yang kompleks.
b. Ciri-Ciri Latihan
Salah satu ciri latihan yang baik yang dikemukakan oleh
Sukadiyanto (2010: 9) berasal dari kata practice, exercises, maupun
training, adalah adanya beban latihan. Oleh karena diperlukanya beban
latihan selama proses berlatih melatih agar hasil latihan dapat
berpengaruh terhadap peningkatan kualitas fisik, psikis, sikap, dan sosial
olahragawan, sehingga puncak prestasi dapat dicapai dalam waktu yang
singkat dan dapat bertahan relatif lebih lama.
Menurut Reilly (2007: 4) the effects of training depend on the
physiological stimulus provided by the exercise undertaken. Efek dari
latihan tergantung pada stimulus fisiologis yang diterima dari bentuk
16
latihan yang dilakukan. Menurut Weinberg et al. (2007: ) bahwa proses
latihan adalah lebih banyak lebih baik, yang harus memulai tahapan
awal, dan kemudian dilakukan secara berkelanjutan untuk bersaing di
tingkat yang lebih tinggi.
Menurut Sukadiyanto (2010: 10) beban latihan merupakan
rangsang motorik (gerak) yang dapat diatur dan dikontrol oleh pelatih
maupun olahragawan untuk memperbaiki kualitas fungsional berbagai
peralatan tubuh. Ada dua macam beban latihan, yaitu beban luar dan
beban dalam. Beban luar dilakukan dengan cara memvariasikan
komponen-komponen latihan (intensitas, volume, recovery dan interval).
Sedangkan beban dalam adalah perubahan fungsional yang terjadi pada
peralatan tubuh sebagai akibat dari pengaruh beban luar.
Menurut Sukadiyanto (2010: 11) proses latihan selalu bercirikan
antara lain :
1) Suatu proses untuk mencapai tingkat kemampuan yang lebih
baik dalam berolahraga, yang memerlukan waktu tertentu
(pentahapan), serta memerlukan perencanaan yang tepat dan
cermat.
2) Proses latihan harus teratur dan bersifat progresif. Teratur
maksudnya latihan harus dilakukan secara ajeg, maju, dan
berkelanjutan (kontinyu). Sedang bersifat progresif maksudnya
materi latihan diberikan dari yang mudah ke yang sukar, dari
yang sederhana ke yang lebih sulit (kompleks), dan dari yang
ringan ke yang lebih berat.
3) Pada setiap kali tatap muka (satu sesi/satu unit latihan) harus
memiliki tujuan dan sasaran.
4) Materi latihan harus berisikan materi teori dan praktek, agar
pemahaman dan penguasaan keterampilan menjadi relatif
permanen.
5) Menggunakan metode tertentu, yaitu cara paling efektif yang
direncanakan secara bertahap dengan memperhitungkan faktor
kesulitan, kompleksitas gerak, dan penekanan pada sasaran
latihan.
17
c. Tujuan dan Sasaran Latihan
Tujuan latihan secara umum adalah membantu para pembina,
pelatih, guru olahraga agar dapat menerapkan dan memiliki kemampuan
konseptual serta keterampilan dalam membantu mengungkap potensi
olahragawan mencapai puncak prestasi Sedangkan sasaran latihan secara
umum adalah untuk meningkatkan kemampuan dan kesiapan
olahragawan dalam mencapai puncak prestasi (Sukadiyanto 2010: 12).
Harsono (1988: 37) mengemukakan tujuan serta sasaran utama dari
latihan atau training adalah untuk meningkatkan keterampilan dan
prestasi atlet dengan maksimal.
Menurut Sukadiyanto (2010: 9) sasaran dan tujuan latihan secara
garis besar adalah: (1) meningkatkan kualitas fisik dasar secara umum
dan menyeluruh; (2) mengembangkan dan meningkatkan potensi fisik
yang khusus; (3) menambah dan menyempurnakan teknik; (4)
mengembangkan dan menyempurnakan strategi; (5) meningkatkan
kualitas dan kemampuan psikis olahragawan dalam bertanding.
Tujuan utama latihan adalah untuk membantu atlet meningkatkan
keterampilan dan prestasinya semaksimal mungkin. Untuk dapat
mencapai hal itu ada empat aspek latihan yang perlu diperhatikan dan
dilatih secara seksama oleh atlet, yaitu:
1) Latihan Fisik (physical training), tanpa kondisi fisik yang baik atlet
tidak bias mengikuti latihan-latihan dengans empurna. Latihan fisik
hendaklah menunjang perkembangan fisik secara menyeluruh.
18
2) Latihan Teknik (technical training), latihan untuk mempermahir
teknik-teknik gerakan yang diperlukan untuk melakukan cabang
olahraga yang dilakukan atlet. Latihan teknik juga bermanfaat untuk
membentuk dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan motorik atau
perkembangan neuromuscular.
3) Latihan Taktik (tactical training), bertujuan untuk menunjukan
perkembangan interpreatative atau daya tafsir pada atlet. Teknik
gerakan-gerakan yang sudah dikuasai dengan baik harus dituangkan
dan diorganisir dalam pola-pola permainan, bentuk-bentuk dan
formasi permainan, serta strategi-strategi dan taktik-taktik pertahanan
serta penyerangan, sehingga berkembang menjadi satu kesatuan gerak
yang sempurna.
4) Latihan Mental (psychological training), untuk mempertinggi efisiensi
mental atlet terutama apabila atlet dalam situasi stress yang komplek.
Latihan mental adalah latihan-latihan yang lebih menekan pada
perkembangan kedewasaan atlet serta perkembangan emosional.
Menurut Sukadiyanto (2010: 15) dalam setiap unit (satu tatap
muka atau satu sesi) latihan pembebanan yang diberikan harus mencakup
pembebanan terhadap unsur-unsur fisik, teknik, dan psikis. Hal itu
didasari oleh karena manusia merupakan satu totalitas sistem psiko-fisik
yang kompleks. Sasaran latihan harus mencakup seluruh unsur yang
mendukung pencapaian prestasi olahragawan (baik fisik maupun psikis),
tidak boleh hanya menekankan pada salah satu unsur saja. Jadi proses
19
latihan harus komprehensif sasarannya, bukan lagi bagian per bagian.
Untuk membedakan skala prioritas sasaran pembebanan terletak pada
penyusunan materi dalam latihan inti dan latihan suplemen (tambahan
sebagai pendukung).
Berdasarkan dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
tujuan dan sasaran latihan adalah untuk mengaktualisasikan potensi yang
dimiliki atlet agar dapat meraih prestasi yang maksimal.
d. Prinsip Latihan
Menurut Furqon (1995: 4) prinsip-prinsip latihan adalah garis
pedoman suatu latihan terorganisasi dengan baik yang harus digunakan.
Prinsip-pinsip semacam itu menunjuk pada semua aspek dan kegiatan
latihan, prinsip-prinsip itu menentukan isi, cara dan metode serta
organisasi latihan. Menurut Harsono (1988: 102) bahwa dengan
pengetahuan tentang prinsip-prinsip latihan, atlet akan lebih cepat dalam
meningkatkan prestasi karena akan memperkuat kekayaan akan tujuan
dan tugas latihan.
Prinsip-prinsip latihan adalah garis pedoman suatu latihan
terorganisasi dengan baik yang harus digunakan. Prinsip-pinsip semacam
itu menunjuk pada semua aspek dan kegiatan latihan, prinsip-prinsip itu
menentukan isi, cara dan metode serta organisasi latihan. Menurut
Sukadiyanto (2010: 14) macam-macam prinsip latihan adalah sebagai
berikut: 1) prinsip kesiapan (readiness); 2) prinsip individual; 3) prinsip
adaptasi; 4) prinsip beban berlebih (overload); 5) prinsip progresif
20
(peningkatan); 6) prinsip spesifikasi (kekhususan); 7) prinsip variasi; 8)
prinsip pemanasan dan pendinginan (warm-up and COOL-Down); 9)
prinsip latihan jangka panjang (long term training); 10) prinsip
berkebalikan (reversbillity); 11) prinsip tidak berlebihan (moderat); 12)
prinsip sistematik.
Latihan yang sistematis adalah dilakukan secara teratur, latihan
tersebut berlangsung beberapa kali dalam satu minggu, tergantung pada
standar atlet dan periode latihan. Selanjutnya latihan tersebut dilakukan
berdasarkan suatu sistem yang mengikuti prinsip-prinsip latihan yang
bersikap dasar. Dalam penelitian ini latihan dilaksanakan tiga kali
pertemuan dalam satu minggu yakni Selasa, Kamis, dan Sabtu.
2. Metode Latihan Massed Practice
Massed practice is generally defined as practice that occurs without
rest between trials (Burdick cit Murray et al. 2003: 19). Maksud pendapat
tersebut bahwa massed practice secara umum didefinisikan sebagai bentuk
latihan yang terjadi tanpa istirahat ketika melakukannya. Schmidt cit
Murray et al. 2003: 19) defines massed practice more loosely as, a practice
schedule in which the amount of rest between trials is short relative to the
trial length. Maksud pendapat tersebut yaitu definisi massed practice adalah
sebuah bentuk latihan yang mana jumlah istirahat di antara percobaan relatif
sedikit atau singkat dari pada panjang percobaannya. Massed practice can
be defined as practice in which work is longer than rest periods. In weight
training this would entail 1 minute sets, with only 30 seconds of rest
21
between sets (Schmidt 1999 cit. Wilson 2005: 95). Maksud pendapat
Schmidt yaitu massed practice dapat didefinisikan sebagai kerja lebih
panjang dari pada istirahat. Misalnya di latihan beban melakukan kerja 1
menit setiap set, dengan hanya 30 detik istirahat antar set.
Massed practice adalah suatu bentuk pembelajaran motorik, dimana
bentuk gerakan yang dipelajari akan dilakukan tanpa berhenti. Sesuai
dengan pendapat Schmidt (1991: 58) yang menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan massed practice adalah kegiatan dengan alokasi istirahat
diantara percobaan yang relatif pendek atau tanpa istirahat sama sekali
apabila dibandingkan dengan panjang atau lamanya percobaan (latihan).
Massed practice selalu diartikan sebagai latihan yang dilakukan
dalam beberapa menit sampai beberapa jam atau sejumlah bentuk latihan
yang dilakukan puluhan bahkan sampai ratusan kali percobaan untuk setiap
unit latihannya. Bila dilihat dari kegiatan yang dilakukan, maka massed
practice memiliki ciri yang sama dengan kegiatan yang bersumber energi
aerobik, karena untuk setiap kegiatan yang dilakukan tidak diberikan atau
diselingi dengan masa istirahat. Ini berarti bahwa untuk jumlah satu tugas
gerak harus dilaksanakan sekaligus. Kegiatan ini memiliki konsekuensi lain
yaitu terkurasnya glikogen, alat sebagai cadangan energi yang dapat
menimbulkan rasa lelah pada alat yang bersangkutan. Kelelahan ini dapat
merusak koordinasi sistem syaraf itu sendiri.
Di dalam penelitian yang menggunakan rotary pursuit, Digman cit
Murray et al. 2003: 19) melaporkan bahwa unjuk kerja dibawah kondisi
22
massed practice lebih jelek dibandingkan dengan distributed practice.
Selanjutnya ditambahkan bahwa beberapa sesi unjuk kerja menjadi rusak di
bawah massed practice, ini disebabkan karena kelehan yang dialami pada
saat latihan yang dilakukan. Namun bila melihat dari unjuk kerja yang
diberikan kepada atlet yang sudah terlatih dan mempunyai motivasi yang
tinggi, dikemukakan bahwa kelompok massed practice lebih baik
dibandingkan distributed practice. Pada kelompok massed practice lebih
baik ketika tingkat keterampilan atlet tinggi dan ketika kinerja puncak pada
belajar keterampilan lebih baik digunakan.
Massed practice mungkin lebih disukai bila keterampilan sangat
bermakna, ketika motivasi tinggi, dan bila ada dukungan dari tugas gerak
yang baru. Sejauh tugas gerak yang lama bisa diimbangi tanpa mengurangi
jumlah pembelajaran, efisiensi dari sesi latihan dapat ditingkatkan (Murray
et al. 2003: 19). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
kelompok massed practice lebih tepat digunakan pada saat awal sesi latihan
dan bagi atlet yang telah terlatih. Suatu keterbiasaan terhadap tugas gerak
yang dilakukan akan tercipta pada massed practice karena kegiatannya
dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang.
Setiap gerakan yang dilatih harus dapat dilakukan secara berulang-
ulang untuk memperoleh hasil yang optimal. Karena dengan melalui
pengulangan yang relatif lebih banyak, pelaksanaan gerak dapat ditampilkan
lebih efektif dan efisien, apakah itu berkaitan dengan waktu, ruang, tenaga
dan segala penggunaan sesuatu yang berpengaruh terhadap pencapaian hasil
23
yang optimal (Kiram 1992: 49). Dari pendapat di atas dapat dikemukakan
bahwa segala sesuatu gerakan yang pelaksanaanya dilakukan secara
berulang-ulang atau terus menerus akan dapat memudahkan gerakan itu
dilakukan sehingga akan menciptakan suatu keterbiasaan dan bukan
merupakan suatu beban dari pelaksanaannya.
Latihan massed practice ini lebih cenderung kepada upaya
meningkatkan ketepatan dari tembakan. Hal ini terlihat dari gerakannya
yang dilakukan secara terus menerus atau tanpa berhenti setiap unit
gerakannya. Demikian akan tercipta suatu keterbiasaan dan sudah
mempunyai keyakinan yang kuat terhadap arah tembakan, sehingga bisa
memperkirakan posisi tubuh atau posisi tangan yang strategis, yang lebih
baik agar tembakan bisa masuk ke dalam ring. Kesimpulan yang dapat
diambil dari tugas gerak ini adalah bahwa latihan melalui Massed Practice
lebih cocok untuk mencapai tingkat peak performance, keterampilan yang
dipelajari memiliki arti yang sangat penting atau keterampilan yang dimiliki
atlet memang tinggi. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena
pengkondisian, maupun program motorik sudah terbentuk sebelum tugas itu
sendiri dilakukan.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
metode latihan massed practice merupakan metode aktivitas latihan yang
dilakukan dengan alokasi istirahat diantara percobaan yang relatif singkat
apabila dibandingkan dengan panjang atau lamanya percobaan. Teknis
pelaksanaan massed practice dapat dilakukan dengan prinsip pengaturan
24
giliran latihan dimana siswa melakukan gerakan secara terus-menerus dalam
satu set dan di antara set hanya diselingi istirahat yang singkat. Pelaksanaan
latihan massed practice yang akan diterapkan dalam penelitian ini dapat
dilihat pada penjabaran berikut :
a) Sikap awal: sampel berdiri memegang bola pada garis dan berhadapan
dengan temannya pada jarak 2 meter, siap untuk melakukan passing.
b) Pelaksanaan: sampel melakukan passing ke teman, kemudian siap
menerima bola dari teman dan melakukan passing kembali. Gerakan ini
dilakukan berulang-ulang mulai dari 20-30 kali passing.
3. Metode Latihan Distributed Practice
Distributed practice merupakan ciri berlatih yang lebih singkat dan
interval istirahat yang lebih banyak/sering. Bila melihat dari gerakan yang
dilakukan, bentuk ini identik dengan bentuk latihan fisik untuk
meningkatkan kapasitas daya tahan anaerobik yaitu interval training.
Distributed practice memiliki tugas gerak dengan cara membagi dalam
beberapa pengulangan disertai istirahat sela di antara bagian pengulangan.
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Schmidt dalam Murray et al.
(2003: 19) yang dimaksud dengan distributed practice adalah kegiatan
latihan dengan alokasi jumlah istirahat yang relatif lama antara setiap
percobaan dibandingkan dengan lamanya percobaan yang dilakukan.
Hull (1943: 34) was the first to formally examine the effect of
practice distribution on performance and learning. He found that given an
equal number of trials, distributed practice for both cognitive and motor
25
tasks produced better performance and skill acquisition than massed
practice (Wilson, et al. 2005: 96). Hull (1943: 35) adalah yang pertama kali
pertama meneliti pengaruh dari distributed practice terhadap penampilan
dan pembelajaran. Hull menemukan bahwa memberikan percobaan latihan
kognitif dan tugas gerak dengan cara distributed practice menghasilkan
penampilan dan penguasaan keterampilan yang lebih baik dari pada massed
practice.
Beberapa hasil penelitian tentang latihan yang menggunakan bentuk
ini menyebutkan tidak semua kemampuan motorik sesuai dengan cara ini.
Distributed practice kelihatannya lebih sesuai dengan bentuk-bentuk
gerakan yang bersifat fine motorik. Penelitian yang dilakukan oleh Lorge &
Thorndike dalam Wilson (2005: 97) menyebutkan bahwa penelitian tentang
menggambar melalui cermin, menulis melalui cermin dan code substitution
task, menyimpulkan bahwa subjek yang berlatih dengan memanfaatkan
periode istirahat satu menit atau satu hari di antara percobaan, menghasilkan
unjuk kerja yang lebih baik. Sehingga pada waktu istirahat yang ada pada
kelompok distributed practice dapat melakukan koreksi terhadap tugas
gerak yang dilakukan sebelumnya dan dapat menghela atau mengatur nafas
untuk melakukan tugas gerak berikutnya.
Hakkinen & Kallinen cit. Wilson (2005: 98) investigated the effect of
distribution of volume on neuromuscular adaptations in 10 strength
athletes. The athletes participated in two 3 week conditions. In both
conditions volume was held constant; however, in condition one the volume
26
was distributed in one session. In condition two, the volume was divided
into two sessions, at separate times in the same day. No significant strength
or cross sectional area gains were found in condition one. However, in
condition two, both an increase in strength and cross sectional area were
found. They concluded that the present results with female athletes suggest
that the distribution of the volume of intensive strength training into smaller
units, such as two daily sessions, may create more optimal conditions not
only for muscular hypertrophy but by producing effective training stimuli
especially for the nervous system. These kinds of training conditions may
lead to further strength development in athletes being greater than obtained
during "normal" strength training of the same duration. Penelitian yang
dilakukan oleh Hakkinen & Kallinen mengenai pengaruh dari distribusi
adaptasi volume neueomuskular pada 10 kekuatan atlet tersebut
menghasilkan kondisi yang lebih optimal tidak hanya pada pembesaran otot
saja, tetapi dengan menghasilkan latihan stimuli yang efektif khususnya
pada sistem saraf. Kondisi latihan semacam ini dimungkinkan lebih baik
untuk perkembangan kekuatan pada atlet lebih lanjut.
Walaupun hanya sedikit perbedaan, distributed practice ternyata
menghasilkan unjuk kerja yang lebih unggul dibandingkan dengan massed
practice. Sedangkan apabila dikaitkan dengan sistem energi atau dalam
artian pengerahan tenaga, distributed practice lebih cocok apabila energi
yang dibutuhkan dari tugas gerak tinggi, rumit, tugas dilakukan dalam
27
waktu yang relatif lama, tugas tidak memberikan arti khusus, dan motivasi
berlatih rendah (Wilson, 2005: 98).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
metode latihan distributed practice adalah metode aktivitas latihan dengan
berlatih yang lebih singkat dan interval istirahat yang lebih banyak/sering.
Dapat juga dilakukan dengan prinsip pengaturan giliran latihan, teknisnya
yaitu siswa melakukan gerakan dengan diberikan waktu istirahat secara
berselang-seling. Pelaksanaan gerakan latihan distributed practice yang
akan dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada penjabaran berikut:
a. Sikap awal: satu kelompok sampel yang terdiri dari 6 orang berbaris
berbanjar membentuk huruf I pada garis yang menghadap tembok
sasaran. Sampel yang berada di barisan paling depan atau pada posisi
tempat melakukan passing yang memegang bola, sedangkan urutan
seterusnya masing-masing mengatur jarak untuk melakukan gerakan atau
passing berikutnya.
b. Pelaksanaan: sampel yang berdiri di depan yang melakukan passing ke
dinding pertama, setelah melakukan passing pindah keurutan paling
belakang dan sampel yang kedua siap untuk melakukan passing ke
dinding, begitu seterusnya sampai seluruh sampel melakukan passing.
4. Hakikat Permainan Bola voli
Menurut Suhadi (2004: 7) permainan bola voli pada hakikatnya
adalah memvoli bola dengan menggunakan seluruh anggota badan dan
menyeberangkan melalui net ke lapangan lawan. Permainan bola voli
28
dimainkan dengan menggunakan bola besar oleh dua regu. Tiap regu hanya
boleh memvoli bola tiga kali dan tiap pemain tidak melakukan sentuhan dua
kali berturut-turut, kecuali ketika melakukan blocking.
Permainan bola voli adalah olahraga permainan beregu yang
dimainkan oleh dua regu pada setiap lapangan dengan dipisahkan oleh net,
dengan tujuan dapat menjatuhkan bola ke lantai atau lapangan lawan dan
mencegah adanya usaha yang sama dari lawan (PBVSI 2004: 7). Menurut
Ramesh (2011: 40) bola voli adalah olahraga yang telah mendunia dan bisa
diterima disemua kalangan. Bola voli dapat dijadikan olahraga yang
kompetitif dan juga sebagai olahraga rekreasi. Dalam permainan bola voli
untuk mencapai prestasi optimal tidak hanya komponen teknik dan taktik
saja yang dilatih tetapi komponen fisik juga harus dilatihkan yang meliputi,
ketahanan, kekuatan, kecepatan, fleksibilitas dan koordinasi.
Dari berbagai pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
permainan bola voli adalah olahraga beregu yang memainkan bola dengan
memvoli bola dengan menggunakan seluruh anggota badan kemudian
menyeberangkan melalui net ke lapangan lawan, dan tujuanya adalah
menjatuhkan bola di lapangan lawan untuk mendapatkan nilai.
Dalam permainan bola voli terdapat beberapa macam teknik dasar,
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Servis
Menurut Ahmadi (2007: 20) servis adalah pukulan pertama yang
dilakukan dari belakang garis akhir lapangan permainan melampaui net
29
ke daerah lawan. Servis juga merupakan serangan pertama yang
dilakukan dalam permainan bola voli. Pukulan servis dilakukan pada
permulaan dan setiap terjadinya kesalahan. Karena pukulan servis sangat
berperan memperoleh poin, maka pukulan servis harus menyakinkan,
terarah, keras dan menyulitkan lawan. Dalam permainan bola voli
terdapat berbagai jenis servis, diantaranya servis bawah, servis atas, dan
servis loncat.
b. Passing
Passing adalah upaya seorang pemain yang menggunakan teknik
tertentu untuk mengoper bola yang dimainkan kepada teman satu regu
untuk dimainkan di lapangan sendiri (Ahmadi 2007: 20). Sedangkan
menurut Yunus (1992: 79) passing adalah mengumpan bola teman
sendiri dalam satu regu dengan teknik tertentu sebagai langkah awal
untuk menyusun serangan kepada regu lawan. Passing merupakan salah
satu teknik dalam permainan bola voli yang sangat menentukan
permainan suatu tim voli. Dalam permainan bola voli terdapat dua
macam passing, yaitu passing atas dan passing bawah. Berdasarkan
bermacam-macam teknik dasar passing dalam permainan bola voli,
maka teknik passing dibedakan menjadi passing atas dan passing bawah.
c. Umpan
Menurut Yunus (1992: 101) umpan adalah menyajikan bola
kepada teman dalam satu regu, yang kemudian diharapkan bola tersebut
dapat diserangkan ke daerah lawan dalam bentuk smash.
30
d. Smash
Menurut Ahmadi (2007: 20) smash adalah pukulan bola yang
keras dari atas kebawah, jalanya bola menukik. Menurut Muhajir (2006:
23) teknik smash dalam permainan bola voli dapat diartikan sebagai cara
memainkan bola dengan efisien dan efektif sesuai dengan peratutarn
permainan yang berlaku untuk mencapai suatu hasil yang maksimal.
Dari berbagai macam pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
smash adalah salah satu teknik permainan bola voli dengan cara
memainkan bola secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan
permainan untuk melakukan pukulan keras yang biasanya mematikkan
ke daerah lawan.
e. Block
Block merupakan benteng pertahan utama untuk menangkis
serangan lawan (Yunus 1992: 119). Dalam permainan bola voli block
sangat menentukan hasil pertahanan suatu regu. Basic skill block
merupakan inti dari seluruh pertahanan. Hanya dengan block yang kuat
pemain dapat bertahan dari serangan-serangan lawan.
5. Hakikat Fleksibilitas
a. Pengertian Fleksibilitas
Flexibility is the most neglected physical skill but one of the most
important. Increases in flexibility will help an athlete improve
performance in just about every other physical skill (Reynaud 2011: 15).
Fleksibilitas merupakan keterampilan fisik paling penting. Meningkatkan
31
fleksibilitas akan membantu atlet meningkatkan penampilan dalam setiap
keterampilan fisik yang lainnya.
Flexibility adalah luas gerak satu persendian atau beberapa
persendian. Dalam bahasa Indonesia istilah flexibility sering disebut
fleksibilitas (Suharjana 2013: 109). Menurut Fox (1988) cit Suharjana
(2013: 109) fleksibilitas mencakup dua hal yang saling berhubungan,
yaitu kelentukan dan kelenturan. Kelentukan berhubungan dengan
keadaan fleksibilitas antara tulang dan persendian, sedangkan kelenturan
terkait erat dengan keadaan fleksibilitas antara tingkat elastisitas otot,
tendo dan ligament.
Ismaryati (2009: 41) kelentukan atau fleksibilitas dapat
didefinisikan sebagai kapasitas fungsional dari tulang sendi dalam satu
jarak gerakan, panjangnya ligament, otot dan luasnya tendon kebanyakan
menentukan banyaknya gerakan yang mungkin pada setiap sendinya.
Menurut Barteck (1998) cit Suharjana (2013: 109) fleksibilitas diartikan
sebagai kemampuan seseorang untuk menggerakkan tubuh dalam satu
ruang gerak yang seluas-luas mungkin dari satu atau beberapa
persendian. Menurut Sajoto (1995: 9), kelenturan adalah efektivitas
seseorang dalam menyesuaikan diri untuk segala aktivitas dengan
pengukuran tubuh yang luas.
Sukadiyanto (2010: 207) mengemukakan bahwa fleksibilitas
mengandung pengertian, yaitu luas gerak satu persendian atau beberapa
persendian. Ada dua macam fleksibilitas, yaitu (1) fleksibilitas statis, dan
32
(2) fleksibilitas dinamis. Pada fleksibilitas statis ditentukan dari ukuran
luas gerak (range of motion) satu persendian atau beberapa persendian.
Sedangkan pada fleksibilitas dinamis adalah kemampuan seseorang
dalam bergerak dengan kecepatan yang tinggi.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa fleksibilitas adalah kemampuan melakukan gerakan tubuh dalam
suatu gerak persendian atau beberapa persendian yang merupakan
kapasitas fungsional dari tulang sendi dalam satu jarak gerakan,
panjangnya ligamen, otot dan luasnya tendon. Ada dua macam
fleksibilitas, yaitu pada fleksibilitas statis ditentukan dari ukuran luas
gerak (range of motion) satu persendian atau beberapa persendian.
Sedangkan pada fleksibilitas dinamis adalah kemampuan seseorang
dalam bergerak dengan kecepatan yang tinggi.
Flexibility is difficult to measure, but the classic sit-and-reach test
provides a reasonable indication of an athlete’s range and gives her a
standard to improve on (Reynaud 2011: 15). Fleksibilitas sulit untuk
diukur, namun sit-and-reach test menyediakan alasan yang dapat
diterima untuk memprediksi fleksibilitas atlet dan memberikan standar
pengukurannya.
Pelaksanaan sit-and-reach test menurut Reynaud (2011: 15)
adalah sebagai berikut, this test involves sitting on the floor with legs
stretched out straight ahead. The heels of the feet are placed on each side
of a line, with a tape measure stretched out in front and the heels placed
33
at the 12-inch (30 cm) mark. Both knees should be kept flat on the floor
(the tester may assist by holding them down). With the palms facing
downward and the hands on top of each other or side by side, the player
reaches forward over the legs and feet and along the tape measure as far
as possible. Ensure that the hands remain at the same level, not one
reaching farther forward than the other. After some practice reaches, the
subject reaches out and holds that position for one or two seconds while
the distance is recorded. Make sure there is no bouncing movement—the
stretch must be slow, steady, and held. The measurement can be either a
plus or a minus from the 12-inch mark. If the athlete reaches past her
toes, the measurement is plus X inches; if she can’t reach her toes, the
measurement is minus X inches.
b. Faktor yang Mempengaruhi Fleksibilitas
Sukadiyanto (2010: 206) jika tidak dipengaruhi oleh faktor
latihan, maka tingkat fleksibilitas seseorang hukumnya berbanding
terbalik dengan umur. Artinya semakin bertambah umur seseorang, maka
tingkat fleksibilitasnya akan semakin berkurang atau menurun. Oleh
karena itu fleksibilitas harus selalu dilatihkan minimal dua kali setiap sesi
latihan, yaitu pada saat pemanasan (warm-up) dan pada saat pendinginan
(cooling-down).
Menurut Sukadiyanto (2010: 208) secara garis besar faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap tingkat kemampuan fleksibilitas seseorang
antara lain adalah (1) elastisitas otot, (2) tendo dan ligamenta, (3)
34
susunan tulang, (4) bentuk persendian, (5) suhu atau temperatur tubuh,
(6) umur, (7) jenis kelamin, dan bioritme. Tingkat elastisitas tendo, tendo
dan ligamenta sangat dipengaruhi oleh keadaan suhu tubuh dan
temperatur lingkungan. Semakin panas suhu tubuh dan suhu lingkungan
maka kondisi otot akan relatif lebih elastis daripada suhu tubuhnya
normal. Untuk itu sebelum aktivitas fisik dalam olahraga harus didahului
dengan pemanasan agar suhu tubuh naik, sehingga kondisi otot relatif
fleksibel.
Although volleyball players are mostly on their feet, they often
need to extend their bodies to dig a ball or play a deflected ball. Good
flexibility will help keep an athlete from sustaining injuries such as a
strained groin or hamstring muscle and hopefully protect the joints from
more serious injuries (Reynaud 2011: 15). Walaupun pemain bola voli
ketika bermain lebih banyak berdiri, namun sering juga membungkukkan
badan untuk melakukan passing bola (diging) atau meraih bola hasil
deflected. Fleksibilitas yang baik akan membantu atlet menjaga dari
resiko cedera, misalnya otot hamstring tertarik dan melindungi lutut dari
cedera serius.
6. Hakikat Ekstrakurikuler
a. Pengertian Ekstrakurikuler
Menurut Saputra (1998: 6) kegiatan ekstrakurikuler adalah
kegiatan di luar jam pelajaran sekolah biasa, yang dilakukan di sekolah
atau di luar sekolah dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan siswa,
35
mengenai hubungan antara mata pelajaran, menyalurkan bakat dan minat
serta melengkapi pembinaan manusia seutuhnya.
Ekstrakurikuler adalah kegiatan yang dilakukan siswa sekolah
atau universitas, di luar jam belajar kurikulum standar. Kegiatan-kegiatan
ini ada pada setiap jenjang pendidikan dari sekolah dasar sampai
universitas. Kegiatan ekstrakurikuler ditujukan agar siswa dapat
mengembangkan kepribadian, bakat, dan kemampuannya di berbagai
bidang di luar akademik. Kegiatan ini diadakan secara swadaya dari
pihak sekolah maupun siswa-siswi itu sendiri untuk merintis kegiatan di
luar jam pelajaran sekolah. Kegiatan ekstrakurikuler ini sendiri dapat
berbentuk kegiatan pada seni, olahraga, pengembangan kepribadian, dan
kegiatan lain yang bertujuan positif untuk kemajuan dari siswa-siswi itu
sendiri (Wikipedia 2012: 1).
Berdasarkan beberapa pendapat tentang kegiatan ekstrakurikuler
tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan ekstrakurikuler merupakan
kegiatan di luar jam pelajaran sekolah yang menekankan kepada
kebutuhan siswa agar mengembangkan wawasan, sikap dan keterampilan
siswa diluar akademik serta melengkapi pembinaan manusia seutuhnya.
b. Tujuan Kegiatan Ekstrakurikuler
Mengenai tujuan kegiatan dalam ekstrakurikuler dijelaskan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995: 2) sebagai berikut:
1) Siswa dapat memperdalam dan memperluas pengetahuan
keterampilan mengenai hubungan antara berbagai mata
pelajaran, menyalurkan bakat dan minat, serta melengkapi
upaya pembinaan manusia seutuhnya yang beriman dan
36
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat rohani dan
jasmani, berkepribadian yang mantap dan mandiri, memilki
rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
2) Siswa mampu memanfaatkan pendidikan kepribadian serta
mengaitkan pengetahuan yang diperolehnya dalam program
kurikulum dengan kebutuhan dan keadaan lingkungan
Menurut Saputra (1998: 16) kegiatan ekstrakurikuler bertujuan
memberikan sumbangan pada perkembangan kepribadian anak didik,
khususnya bagi mereka yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
Bahkan Depdikbud menetapkan susunan program tersebut sebagai
peningkatan kualitas siswa pada seluruh jenjang pendidikan. Jadi
perkembangan anak didik tersebut, intelektual dan juga perilaku,
merupakan tujuan mendasar untuk dicapai melalui ekstrakurikuler.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan di luar jam pelajaran
yang dilaksanakan di sekolah maupun di luar sekolah yang bertujuan
untuk menambah wawasan dan keterampilan siswa menurut kegiatan
ekstrakurikuler yang diikuti oleh siswa. Pada hakikatnya tujuan kegiatan
ekstrakurikuler yang ingin dicapai adalah untuk kepentingan siswa.
Dengan kata lain, kegiatan ekstrakurikuler memiliki nilai-nilai
pendidikan bagi siswa dalam upaya pembinaan manusia seutuhnya.
B. Kerangka Pikir
Berdasarkan landasan teori dan penelitian yang relevan di atas, maka
akan dilanjutkan dengan kerangka berpikir peneliti sebagai berikut:
37
1. Pengaruh antara metode latihan massed practice dan distributed practice
terhadap keterampilan dasar passing bola voli
Metode latihan massed practice yang dilakukan terus menerus tanpa
istirahat akan cepat mendatangkan kelelahan dan kemungkinan kebosanan.
Latihan yang dilakukan dengan frekuensi yang tinggi akan cepat
mendatangkan kelelahan sehingga peluang menimbulkan cedera semakin
besar. Tetapi latihan dengan metode massed practice pada keterampilan
dasar passing akan lebih cepat menghasilkan gerakan yang otomatis, karena
akan mempengaruhi otot-otot melakukan adaptasi terhadap rangsangan yang
diberikan secara berulang-ulang.
Metode latihan distributed practice ditinjau dari segi kemampuan
tubuh hasilnya akan efektif karena disaat melakukan aktivitas latihan
terdapat waktu istirahat. Kondisi tubuh menjadi memiliki kesempatan untuk
pemulihan dan menyiapkan energi untuk melakukan aktivitas gerakan
selanjutnya. Metode distributed practice tentunya akan menghasilkan
peningkatan keterampilan yang baik.
2. Perbedaan peningkatan keterampilan dasar passing bola voli siswa
yang memiliki fleksibilitas tinggi dan fleksibilitas rendah
Keterampilan dasar passing bola voli yang dilaksanakan oleh atlet
biasanya dilaksanakan dengan ketepatan yang baik dan bola dapat
dimanfaatkan untuk serangan ke daerah permainan lawan. Namun terkadang
pemain kurang hati-hati dalam pelaksanaan keterampilan dasar passing bola
voli secara baik dan benar yang kemudian mengakibatkan bola kurang
terarah, tidak melampaui net, bahkan serangan menjadi mudah dibendung
38
oleh lawan. Selain itu pemain juga bisa terkena cedera pada saat melakukan
keterampilan dasar bermain bola voli karena teknik yang kurang tepat.
Kemampuan seseorang dalam bergerak dengan kecepatan yang tinggi
dipengaruhi oleh fleksibilitas. Semakin tinggi fleksibilitas seseorang akan
semakin baik kemampuan geraknya, sebaliknya semakin rendah fleksibilitas
maka kemampuan geraknya semakin jelek.
3. Pengaruh interaksi antara metode latihan dan fleksibilitas sendi
punggung dan tungkai terhadap keterampilan dasar passing bola voli
Fleksibilitas merupakan salah satu komponen biomotor utama yang
berperan mempengaruhi baik tidaknya keterampilan. Seseorang yang
memiliki fleksibilitas tinggi secara logika akan lebih baik ketika melakukan
suatu gerak keterampilan. Sebaliknya, seseorang yang memiliki fleksibilitas
rendah tentu kurang terdukung ketika melakukan suatu gerak keterampilan.
Namun faktor untuk meningkatkan suatu hasil keterampilan tidak hanya
sebatas dari komponen biomotor saja, melainkan ada faktor lain yang turut
berperan. Salah satu faktornya adalah metode latihan. Pemilihan metode
latihan yang digunakan oleh pelatih harus memperhatikan karakteristik yang
dimiliki masing-masing siswa atau atletnya, dikarenakan metode latihan
akan mempengaruhi hasilnya.
C. Hipotesis
Berdasarkan kajian teoritik dan kerangka berpikir diatas maka dapat
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1. Ada perbedaan pengaruh metode latihan massed practice dan distributed
practice terhadap keterampilan dasar passing bola voli pada siswa
39
ekstrakurikuler bola voli. Metode latihan massed practice lebih berpengaruh
dalam meningkatkan keterampilan dasar passing bola voli.
2. Ada perbedaan keterampilan dasar passing bola voli pada siswa
ekstrakurikuler bola voli yang memiliki fleksibilitas tinggi dan fleksibilitas
rendah. Fleksibilitas tinggi lebih berpengaruh dalam meningkatkan
keterampilan dasar passing bola voli.
3. Ada interaksi metode latihan dengan fleksibilitas sendi punggung dan
tungkai terhadap keterampilan dasar passing bola voli pada siswa
ekstrakurikuler bola voli. Fleksibilitas tinggi lebih baik dilatih dengan
metode massed practice, sedangkan fleksibilitas rendah lebih tepat dilatih
dengan metode distributed practice.