bab ii. tinjauan pustaka
DESCRIPTION
contoh tinjauan pustakaTRANSCRIPT
I. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ransum Sapi Potong
Ransum merupakan campuran dari beberapa bahan pakan yang diberikan
pada ternak dengan tujuan dapat memenuhi kebutuhan ternak selama 24 jam.
Ransum juga harus dapat memenuhi zat gizi yang dibutuhkkan ternak untuk
berbagai fungsi tubuhnya. Ransum merupakan salah satu faktor yang penting
dalam menentukan kecepatan pertumbuhan seekor ternak. Oleh karena itu ransum
yang cukup mengandung gizi secara optimal baik kualitas maupun kuantitasnya
sangat diperlukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan
potensi genetiknya. Selain itu ransum juga merupakan salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan suatu usaha peternakan, karena biaya ransum dapat
mencapai 70 % dari biaya produksi, sehingga keuntungan usaha dapat
dipengaruhi oleh penggunaan ransum (Tilman et al., 1993).
Ransum pada umumnya terdiri dari hijauan dan konsentrat, pemberian
ransum berupa kombinasi kedua bahan itu akan memberi peluang terpenuhinya
zat - zat gizi dan biayanya relatif rendah. Ternak ruminansia membutuhkan
sejumlah serat kasar dalam ransumnya agar proses pencernaan berlangsung secara
optimal, sumber utama dari serat kasar adalah hijauan. Untuk penggemukan
ternak ruminansia kebutuhan minimal akan hijauan berkisar antara 0,5 - 0,8%
bahan kering dari bobot badan ternak yang digemukkan, dan pemberian
konsentrat lebih dari 60% dalam komponen ransumnya (Siregar, 1994).
Secara umum, komposisi zat - zat makanan (dalam persentasi bahan
kering) yang dibutuhkan oleh sapi dan harus tersedia dalam pakannya sebagai
8
berikut: Karbohidrat 18%, Protein Kasar 12%, Lemak kasar 3-5%, Unsur - unsur
mikro berupa Vitamin dan Mineral. (Abidin, 2002)
Ransum seimbang adalah ransum yang diberikan selama 24 jam yang
mengandung semua zat nutrien (jumlah dan macam nutriennya) dan perbandingan
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi sesuai dengan tujuan pemeliharaan
ternak (Chuzaemi, 2002). Pengetahuan tentang kualifikasi bahan pakan diperlukan
untuk menyusun ransum seimbang. Penyusunan ransum seimbang yang sesuai
dengan kebutuhan ternak, diharapakan akan dapat menghasilkan produksi yang
optimal.
B. Limbah Tebu Sebagai Bahan Pakan Sapi Potong
Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman perkebunan
semusim, yang mempunyai sifat tersendiri, sebab di dalam batangnya terdapat
zat gula. Tebu termasuk keluarga rumput-rumputan (famili Graminae). Akar
tanaman tebu adalah akar serabut dan tanaman ini termasuk dalam kelas
monocotyledone (Supriyadi, 1992).
Klasifikasi botani tanaman tebu adalah sebagai berikut (Slamet, 2004) :
Gambar 1. Tebu (Saccharum officinarum)
9
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Agiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Famili : Poaceae
Genus : Saccharum
Spesies : Saccharum Oficinarum
Tanaman tebu mempunyai batang yang tinggi kurus, tidak bercabang, dan
tumbuh tegak. Tanaman yang tumbuh baik tinggi batangnya dapat mencapai 3-5
meter atau lebih. Pada batangnya terdapat lapisan lilin yang berwarna putih
keabu-abuan. Batangnya beruas-ruas dengan panjang ruas 10-30 cm. Daun
berpangkal pada buku batang dengan kedudukan yang berseling (Penebar
Swadaya, 2000). Tebu dapat hidup dengan baik pada ketinggian tempat 5 – 500
meter di atas permukaan laut (mdpl), pada daerah beriklim panas dan lembab
dengan kelembaban > 70 %, hujan yang merata setelah tanaman berumur 8 bulan
dan suhu udara berkisar antara 28 – 340C (Slamet, 2004).
Pucuk batang tebu dapat digunakan sebagai pengganti rumput gajah
sebagai hijauan pakan ternak tanpa menimbulkan pengaruh negatif terhadap
pertambahan bobot badan ternak. Pucuk tebu juga dapat digunakan untuk pakan
penggemukan sapi, baik sebagai satu-satunya sumber hijauan makanan ternak
maupun sebagai hijauan campuran dengan rumput gajah. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa pucuk tebu segar dapat menggantikan sebagian atau
seluruh rumput yang diberikan kepada pedet lepas sapih, sapi yang digemukkan
atau sapi perah yang sedang berproduksi, tanpa memberikan pengaruh negatif
terhadap kondisi tubuh maupun produksi ternak Namun demikian, pucuk tebu ini
10
kandungan gizinya kurang memadai untuk pakan ternak, sehingga harus ditambah
dengan pakan suplemen. Pucuk tebu yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak
adalah ujung atas batang tebu berikut 5-7 helai daun yang dipotong dari tebu yang
dipanen untuk tebu bibit atau bibit giling. Bila dilihat dari kandungan nutrisinya,
protein kasar pucuk tebu lebih tinggi bila dibandingkan kandungan protein kasar
jerami padi maupun jerami jagung, akan tetapi kandungan serat kasarnya adalah
yang tertinggi.
Ampas tebu (bagase) adalah bahan sisa berserat dari batang tebu yang
telah mengalami ekstraksi niranya dan banyak mengandung parenkim serta tidak
tahan disimpan karena mudah terserang jamur. Istilah bagase (bagasse) ini mula-
mula dipakai di negara Prancis untuk ampas dari perasan minyak zaitun (olive),
lalu oleh Persatuan Teknisi Gula Internasional dipakai untuk residu hasil perasan
tebu (Muharam, 1995).
Ampas tebu merupakan hasil samping dari proses ekstraksi cairan tebu.
Dimanfaatkan sebagai bahan bakar pabrik, bahan industri kertas, papan partikel
dan media untuk budidaya jamur atau dikomposisikan untuk pupuk (Slamet,
2004).
Molasses (Tetes tebu) digunakan karena banyak mengandung karbohidrat
sebagai sumber energi dan mineral (baik mineral makro ataupun mineral mikro).
Molasses merupakan limbah dari pabrik gula yang kaya akan karbohidrat yang
mudah larut (48 - 68 % berupa gula) untuk sumber energi dan mineral disamping
membantu siksasi nitrogen urea dalam rumen juga dalam permentasinya
menghasilkan asam-asam lemak atsiri yang merupakan sumber energi yang
11
penting untuk biosintesa dalam rumen, disukai ternak dan tetes tebu memberikan
pengaruh yang menguntungkan terhadap daya cerna.
Bila tebu dipotong akan terlihat serat jaringan pembuluh (vascular bundle)
dan sel parenkim serta terdapat cairan yang mengandung gula. Serat dan kulit
batang sekitar 12,5% dari berat tebu. Ampas adalah hasil samping dari proses
ekstraksi (pemerahan) cairan tebu. Dari satu pabrik dapat dihasilkan ampas tebu
sekitar 35-40% dari berat tebu yang digiling (Penebar Swadaya, 2000). Menurut
Muharram (1995), tanaman tebu umumnya menghasilkan 24-36% bagase
tergantung pada kondisi dan macamnya. Bagase mengandung air 48-52% (rata-
rata 50%), gula 2,5-6% (rata-rata 3,3 %), dan serat 44-48% (rata-rata 47,7%).
Menurut Welpriadi (Skripsi 2013), penggunaan daun tebu 25 % dan ampas tebu
29 % dalam ransum.
C. Bungkil Inti Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak
Bungkil inti sawit (palm kernel cake) merupakan limbah industri kelapa
sawit yang dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Bungkil inti sawit merupakan
hasil ikutan ekstraksi inti sawit palm kernel yang diperoleh melalui proses kimia
dan mekanik (Hutagalung dkk. 1982) secara fisik proses ekstraksi tidak mampu
membuang seluruhnya material kulit, sehingga kandungan kulit selalu tercampur
dalam produk bungkil inti sawit dalam kisaran 15 – 17 %. Besar kecilnya
kontaminasi material kulit banyak ditentukan oleh efisiensi pemecahan dan
penyaringan material kulit selama proses ekstraksi. Oleh sebab itu, secara fisik
bungkil inti sawit kurang palatabel bagi ternak. Hasil analisa proksimat bungkil
inti sawit, antara lain protein kasar 14,5 % - 19,6 %, serat kasar 13 % - 20 %, dan
bahan kering 88 % - 94,5 % (Suharja, 2008).
12
D. Tithonia (T. diversifolia, L) Sebagai Bahan Pakan Ternak
Tithonia diversifolia merupakan tanaman semak atau perdu famili
asteraceae berasal dari Mexico yang tumbuh di daerah tropis lembab dan semi
lembab di Amerika Tengah dan Selatan, Asia dan Afrika. Tanaman ini mudah
tumbuh kembali lagi setelah pemotongan dan banyak ditemui di Indonesia. JAMA
et al. (2000) mengatakan bahwa Tithonia diversifolia digunakan petani Afrika
sebagai mulsa atau pupuk hijau karena mengandung N, P, K yang tinggi, penahan
erosi, pakan ternak, disamping itu ekstrak Tithonia diversifolia juga bermanfaat
untuk perlakuan pada penderita hepatitis, fungisida dan juga dapat mengontrol
perkembangan amuba disentri.
Tithonia diversifolia juga bisa dipakai sebagai suplemen pakan ruminansia
terutama selama musim kering dimana ketersediaan hijauan pakan terbatas
(OSUGA et al., 2006). Daun Tithonia diversifolia mengandung protein sekitar
20% dari total bahan kering dan juga mengandung bermacam jenis unsur mineral
makro seperti mineral Ca, Mg serta beberapa unsur mikro mineral yang sangat
bermanfaat (MAHECHA dan ROSALES, 2005).
Gambar 2. Tithonia diversifolia
13
Sistematika tanaman Tithonia menurut Wikipedia, Indonesia (2010) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Tithonia
Species : Tithonia diversifolia (L)
Nama Indonesia : Kembang Bulan, bunga matahari hutan, Bunga kuning
Inggris : Tree margold
Cina : Wang ye kui
E. Pembuatan Silase Ransum Komplit
Silase adalah pakan yang telah diawetkan dengan cara fermentasi yang
diproses dari bahan baku yang berupa tanaman hijauan, limbah industri
pertanian, serta bahan pakan alami lainya, dengan jumlah kadar/kandungan air
pada tingkat tertentu kemudian dimasukan dalam sebuah tempat yang tertutup
rapat kedap udara, yang biasa disebut dengan silo, selama 21 hari. Didalam silo
tersebut akan terjadi beberapa tahap proses anaerob (proses tanpa udara/oksigen),
dimana bakteri asam laktat dan yeast akan mengkonsumsi zat gula yang terdapat
pada bahan baku, sehingga terjadilah proses silase (Tony, 2007).
14
Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk memaksimumkan pengawetan
kandungan nutrisi yang terdapat pada hijauan atau bahan pakan ternak lainnya,
agar bisa disimpan dalam kurun waktu yang lama, untuk kemudian diberikan
sebagai pakan bagi ternak. Sayangnya fermentasi yang terjadi didalam silo
(tempat pembuatan silase), sangat tidak terkontrol prosesnya, akibatnya
kandungan nutrisi pada bahan yang di awetkan menjadi berkurang jumlahnya.
Maka untuk memperbaiki berkurangnya nutrisi tersebut, beberapa jenis zat
tambahan (additive) harus digunakan agar kandungan nutrisi dalam silase tidak
berkurang secara drastis, bahkan bisa meningkatkan pemenuhan kebutuhan nutrisi
bagi ternak yang memakannya (Akbar, 2009).
Menurut Akbar (2009), manipulasi dengan penambahan bahan additive ini
bisa dilakukan secara langsung dengan memberikan tambahan bahan‐bahan yang
mengandung karbohidrat yang siap diabsorpsi oleh mikroba, antara lain :
Molases : 2,5 kg /100 kg hijauan.
Onggok (tepung) : 2,5 kg/100 kg hijauan.
Tepung jagung : 3,5 kg/100 kg hijauan.
Dedak halus : 5,0 kg/100 kg hijauan.
Ampas sagu : 7,0 kg/100 kg hijauan
F. Konsumsi Ransum
Jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seekor ternak sangat besar
pengaruhnya terhadap pertumbuhan. Bila makanan yang dikonsumsi tinggi,
pertumbuhan akan lebih cepat dan hewan akan mencapai berat badan tertentu
pada umur muda. Sebaliknya bila konsumsi makanannya rendah, akan
memberikan pertumbuhan yang lambat (Tilman dkk, 1986). Begitu juga dalam
15
penyediaan makanan bagi ternak perlu diketahui kemampuan ternak tersebut
untuk mengkonsumsi suatu jenis bahan makanan agar tidak terjadi pemborosan.
Parakkasi (1999) menyatakan bahwa tingkat konsumsi bahan kering
ruminansia dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : a) faktor hewan (berat
badan, umur dan kondisi stres yang disebabkan oleh lingkungan) b) faktor
makanan yaitu sifat fisik dan komposisi kimia makanan.
G. Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan sapi ditentukan oleh berbagai faktor, terutama
jenis sapi, jenis kelamin, umur, ransum atau pakan yang diberikan, kesehatan
ternak dan teknik pengelolaannya. Diantara jenis sapi lokal, sapi Ongole dan sapi
Bali mempunyai pertambahan bobot badan yang lebih tinggi. Soeparno (1998)
dan Tilman et al. (1991) menyatakan bahwa faktor genetis dan asupan gizi sangat
berpengaruh terhadap perrtumbuhan ternak. Selanjutnya ditambahkan Tilman dkk
(1991) bahwa pertumbuhan diukur dengan kenaikan bobot badan yang didapatkan
dengan penimbangan secara berulang-ulang dan dipelihara dengan bobot badan
seetiap hari, setiap minggu, dan setiap waktu lainnya.
H. Efisiensi Ransum
Efisiensi ransum adalah nilai yang diperoleh dari perbandingan rata-rata
pertambahan bobot badan per ekor per hari dengan rata-rata konsumsi bahan
kering pakan per ekor per hari. Efesiensi ransum menggambarkan sejumlah
ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah bobot ransum. Ternak
yang memiliki pertumbuhan cepat, efisiensi ransum akan lebih baik daripada
ternak yang pertumbuhannya lambat. Efesiensi ransum pada penggemukan sapi
muda jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penggemukan sapi dewasa. Hal ini
16
menyebabkan pertambahan bobot badan dan efisiensi ransum pada sapi muda
sangat tinggi dibanding dengan sapi dewasa. Meningkatnya pakan penguat atau
semakin baiknya kualitas ransum akan menyebabkan semakin baik pula efisiensi
penggunannya oleh ternak (Nursjamsiah, 1994).
Nilai efisiensi ransum menunjukan besarnya dalam mengefisiensikan
pakan menjadi beberapa bentuk hasil ternak, diantaranya daging yang
diperlihatkan dalam pertambahan bobot badan. Efisiensi dapat dijadikan suatu
kriteria untuk menentukan kualitas ransum yang diberikan kepada ternak yaitu
dengan mengukur tingkat pertambahan bobot badan dan jumlah pakan per satuan
waktu pada ternak bersangkutan. Meningkatnya nilai efisensi penggunaan ransum
karena dengan semakin tingginya kandungan protein dalam ransum akan
menyebabkan semakin tinggi pula nilai manfaatnya (Mariam, 1994).
Parakkasi (1999) menyatakan bahwa penambahan protein dalam ransum
dapat meningkatkan pertambahan bobot badan, sedangkan penambahan serat
kasar dalam ransum dapat menurunkan pertambahan bobot badan. Efisiensi
ransum dapat ditingkatkan dengan menambahkan lemak pada pakan tetapi akan
berakibat menurunkan konsumsi ransum. Penambahan lemak dalam ransum dapat
meningkatkan efisiensi karena lemak dalam ransum tersebut akan dideposit dalam
tubuh sehingga akan meningkatkan bobot badan.
Selain itu, nilai efisiensi penggunaan ransum menunjukkan banyaknya
pertambahan bobot badan yang dihasilkan dari satu kilogram ransum. Efisiensi
ransum merupakan kebalikan dari konversi ransum, semakin tinggi nilai efisiensi
ransum maka jumlah ransum yang diperlukan untuk menghasilkan satu kilogram
daging semakin sedikit (Card dan Nesheim, 1972).
17
I. Income Over Feed Cost (IOFC)
Income Over Feed Cost merupakan salah satu tolok ukur yang dapat
digunakan untuk penanganan produksi. Rasyaf (1994) menyatakan bahwa Income
Over Feed Cost adalah pendapatan usaha peternakan itu dibandingkan dengan
biaya makanan. Ditambahkan oleh Sugandi (1973) bahwa salah satu cara untuk
melihat apakah suatu bahan makanan cukup ekonomis dan cukup menguntungkan
adalah dengan menghitung income over feed cost (IOFC).
Biaya ransum yang tinggi mengakibatkan keuntungan yang diperoleh
peternakan relatif kecil, terutama peternakan dengan skala kecil. Sebenarnya biaya
ransum ini tergantung pada harga dan konsumsi ransum. Harga ransum tergantung
pada harga bahan pakan. Salah satu usaha untuk memperoleh keuntungan besar
(komersil) adalah dengan menekan biaya pakan yaitu dengan mencari bahan baku
yang tidak bersaing dengan kebutuhan pangan, menggunakan bahan berkualitas
tetapi lebih murah, mudah didapat dan tersedia setiap saat serta menggunakan
berbagai macam bahan pakan untuk saling melengkapi nilai gizi agar lebih
sempurna (Nort, 1984).
Perhitungan Income Over Feed Cost pada setiap penelitian memberikan
hasil yang semu, karena bahan pakan dan harga jual pada suatu tempat berbeda -
beda. Income Over Feed Cost ini dipengaruhi oleh besarnya pendapatan yang
diperoleh dan besarnya biaya ransum yang dikeluarkan. Semakin besar
pendapatan dan sebaliknya semakin rendah biaya ransum akan memperbesar
Income Over Feed Cost. (Djulardi,1995).
18