bab ii tinjauan pustaka

31
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Makan pada Remaja 2.1.1 Contoh Kasus Nn. S seorang pelajar di sebuah Sekolah Menengah Atas swasta di Surabaya. Usia 18 tahun, Nn. S bingung dengan kebiasaan yang ia lakukan dua tahun belakangan ini. Sejak usia 16 tahun dia merasa badannya terlalu gemuk dan makan terlalu banyak. Pada mulanya Nn. S mengikuti kontes "putri- putrian" di sekolahnya, pada saat itu ia tidak masuk nominasi. Teman-temannya mengatakan bahwa ia terlalu gemuk untuk menang, Semenjak itu kebiasaan makan Nn.S berubah. Ia makan sedikit sekali untuk mencapai berat badan ideal, bahkan sesekali saya tidak makan sama sekali seharian. Kebiasaan itu terus berlangsung sampai sekarang. Selama ini keadaan Nn. S terlihat baik-baik saja, tidak seorangpun mengetahui ketakutan Nn.S akan kegemukan. Orang tuanya tidak mengetahui, karena selama sekolah Nn. S memutuskan untuk kost. Kekhawatiran Nn.S mulai timbul setelah selama tiga bulan ini ia tidak datang bulan, padahal ia masih sendiri. Selain itu badannya terasa sangat lemas dan sudah beberapa hari tidak bisa buang air besar. Setiap kali ingin makan, Nn. S berfikir dia akan gemuk dan itu sangat menakutkan bagi dirinya.

Upload: wahyu-dini-candras

Post on 23-Dec-2015

218 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

nursing

TRANSCRIPT

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Makan pada Remaja

2.1.1 Contoh Kasus

Nn. S seorang pelajar di sebuah Sekolah Menengah Atas swasta di Surabaya. Usia

18 tahun, Nn. S bingung dengan kebiasaan yang ia lakukan dua tahun belakangan ini.

Sejak usia 16 tahun dia merasa badannya terlalu gemuk dan makan terlalu banyak.

Pada mulanya Nn. S mengikuti kontes "putri-putrian" di sekolahnya, pada saat itu ia

tidak masuk nominasi. Teman-temannya mengatakan bahwa ia terlalu gemuk untuk

menang, Semenjak itu kebiasaan makan Nn.S berubah. Ia makan sedikit sekali untuk

mencapai berat badan ideal, bahkan sesekali saya tidak makan sama sekali seharian.

Kebiasaan itu terus berlangsung sampai sekarang. Selama ini keadaan Nn. S terlihat

baik-baik saja, tidak seorangpun mengetahui ketakutan Nn.S akan kegemukan. Orang

tuanya tidak mengetahui, karena selama sekolah Nn. S memutuskan untuk kost.

Kekhawatiran Nn.S mulai timbul setelah selama tiga bulan ini ia tidak datang bulan,

padahal ia masih sendiri. Selain itu badannya terasa sangat lemas dan sudah beberapa

hari tidak bisa buang air besar. Setiap kali ingin makan, Nn. S berfikir dia akan gemuk

dan itu sangat menakutkan bagi dirinya.

2.1.2 Pengertian

Gangguan makan hadir ketika seseorang mengalami suatu gangguan yang cukup

parah dalam tingkah laku makan, seperti mengurangi kadar makanan dengan ekstrem

atau makan terlalu banyak yang ekstrem, atau perasaan menderita atau keprihatinan

tentang berat atau bentuk tubuh yang ekstrem. Secara garis besar ada dua tipe utama

gangguan makan, yaitu Anoreksia Nervosa dan Bulimia Nervosa (Townsend, 2008).

a. Anoreksia Nervosa

Sindrom klinis di mana seseorang mengalami rasa takut yang tidak wajar terhadap

kegemukan. Hal ini dicirikan oleh distorsi yang kasar dari bayangan tubuh, memikirkan

secara berlebihan tentang makanan, dan penolakan untuk makan.

3

b. Bulimia Nervosa

Perilaku makan yang menyimpang (umumnya disebut dengan “sindrom binge dan

purge”) yang dicirikan oleh kelebihan makan yang ekstrem, diikuti oleh muntah-muntah

yang disebabkan oleh diri sendiri dan penyalahgunaan obat-obat pencahar dan diuretik.

2.1.3 Psikopatologi

1. Etiologi gangguan makan: anoreksia nervosa dan bulimia nervosa

Menurut Becker et al (2009) etiologi anoreksia nervosa dan bulimia nervosa sama

yaitu akibat:

a. depresi

Penderita nervosa dan bulimia nervosa memiliki perasaan ketidakpuasan

terhadap bentuk tubuh yang tidak sesuai pengharapannya maka menimbulkan

depresi sehingga timbul perilaku berusaha bagaimana caranya untuk mengurangi

berat badan sesuai yang mereka inginkan;

b. ansietas

Rasa cemas yang berlebih terhadap bentuk tubuh yang ideal menurut

pandangannya membuat seseorang melakukan segala cara untuk mengurangi

berat badannya; dan

c. perilaku terasuk (obsessive)

Perilaku seseorang yang obsesif yaitu ingin segala sesuatu yang diinginkan

tercapai membuat seseorang melakukan segala cara untuk mendapatkan apa

yang diinginkannya.

Sedangkan menurut Videbeck (2008) etiologi anoreksia nervosa dan bulimia

nervosa adalah:

a. gangguan nucleus hipotalamus

Dua set nucleus hipotalamus sangat penting pada bnayak aspek rasa lapar dan

kenyang (kepuasan akan nafsu makan) yaitu hipotalamus lateral dan hipotalamus

ventromedial;

4

b. penurunan norepinefrin

Norepinefrin pada orang normal yaitu untuk membuat zat gizi dimetabolisme

dan digunakan oleh tubuh. Sedangkan penurunan norepinefrin menyebabkan

sedikit zat gizi yang dimetabolisme;

c. kadar serotonin rendah

Normalnya kadar serotonin neurotransmitter dan triptofan prekusor tinggi yang

berfungsi meningkatkan rasa kenyang, dan mengirim sinyal tubuh bahwa kita

telah cukup makan, namun pada bulimia kadar serotonin rendah sehingga timbul

rasa lapar berlebih dan tidak berhenti makan.

2. Proses gangguan makan: anoreksia nervosa dan bulimia nervosa

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya anoreksia dan bulimia

nervosa ada dua faktor, yaitu faktor predisposisi (faktor risiko) dan faktor presipitasi

(faktor pencetus).

a. Faktor predisposisi

Menurut Videbeck (2008) faktor risiko gangguan makan pada

1). Anoreksia nervosa

Faktor risiko bilogis: obesitas, diet pada usia dini

Faktor risiko perkembangan: masalah dalam mengembangkan otonomi dan

memegang kendali terhadap diri sendiri dan lingkungan, masalah

mengembangkan identitas yang unik, ketidakpuasan dengan citra tubuh.

Faktor risiko keluarga: keluarga kaku terhadap nilai dan peraturan,

overprotektif, tidak mampu menghadapi konflik

Faktor risiko sosiokultural: ideal budaya tentang tubuh yang langsing, media

berfokus pada kecantikan, kelangsingan, kebugaran, preokupasi dengan

pencapaian tubuh ideal

2). Bulimia nervosa

Faktor risiko biologi: obesitas, diet dini, kemungkinan gangguan serotonin dan

norepinefrin.

Faktor risiko perkembangan: masalah separasi individuasi, perpisahan secara

fisik atau emosional menimbulkan stress, ketidakpuasan dengan citra tubuh

5

Faktor risiko keluarga: keluarga kacau, dengan batasan longgar, berorientasi

pada pencapaian, merasa kurang diperhatikan, perhatian orang tua terhadap

berat badan

Faktor risiko sosiokultural: ideal budaya tentang tubuh yang langsing, media

berfokus pada kecantikan, kelangsingan, kebugaran, preokupasi dengan

pencapaian tubuh ideal, diejek karena berat badan.

b. Faktor Presipitasi

Faktor pencetus terjadinya gangguan makan adalah perilaku diet, citra tubuh,

rasa percaya diri, kekerasan fisik, ejekan.

3. Tanda dan Gejala: anoreksia nervosa dan bulimia nervosa

a. kehilangan banyak berat badan

b. berbicara tentang berat badan dan makanan sepanjang waktu

c. berat dan jumlah kalori makanan

d. mengikuti diet ketat

e. kekhawatiran kenaikan berat badan

f. tidak akan makan di depan orang lain

g. mengabaikan / menyangkal kelaparan

h. tindakan moody

i. merasa tertekan

j. merasa tersinggung

k. tidak bersosialisasi

l. memakai pakaian longgar untuk menyembunyikan tampilan

4. Komplikasi gangguan makan: anoreksia nervosa dan bulimia nervosa

Berdasarkan National Institute of Mental Health (NIMH) (2007) komplikasi

sistemik yaitu perdarahan pada paru-paru serta ketidakseimbangan cairan dan

elektrolit, abnormalitas jantung, dan edema disebablan adanya penurunan cadangan

lemak di dalam tubuh. Pada bulimia nervosa komplikasi berupa amenorrhea, edema

dan kerusakan fungsi hati, dari proses pemuntahan sendiri akan menyebabkan

berkurangnya kalium, klor dan ion hydrogen sehingga menyebabkan kelemahan otot,

konstipasi dan rasa pusing.

6

2.1.4 Diagnosa Keperawatan dan Diagnosa Medis

1. Diagnosa Medis

1). Anoreksia nervosa

2). Bulimia nervosa

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Umum untuk gangguan makan adalah sebagai berikut:

1). Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

2). Ketidakseimbangan volume cairan: kurang dari kebutuhan tubuh

3). Koping individu tidak efektif

4). Gangguan citra tubuh/harga diri

2.1.5 Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Medis

a. pengobatan

1). olanzapine, menaikkan indeks massa tubuh da mengurangi obessionality,

termasuk pikiran obsesif tentang makanan

2). Antidepresan, juga dipakai SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors),

terutama bila salah satu komponen penyakitnya adalah latihan yang

dipaksakan (Imipramin, Desipramin, Fluoksetin, Sertralin).

3). Penggantian estrogen untuk amenore

b. Terapi

1). Terapi perilaku kognitif (CBT)

2). Terapi Kognitif Remediasi (CRT)

3). Yoga

2. Penatalaksanaan Keperawatan

a. Anoreksia Nervosa

Menurut Videbeck (2008) penatalaksanaan ini berfokus pada perbaikan berat

badan, rehabilitasi nutrisi, rehidrasi, dan koreksi ketidakseimbangan elektrolit.

Klien diberi makanan dengan gizi seimbang secara bertahap ditingkatkan asupan

kalorinya sampai pada tingkat normal.

1). Psikofarmakologi:

7

Beberapa kelas obat-obatan telah diteliti, tetapi sedikit yang menunjukkan

keberhasilan secara klinis. Amitriptilin dan Siproheptadin antihistamin dalam

dosis tinggi (sampai 28mg/hari) dapat meningkatkan penambahan berat badan

pada pasien rawat inap dengan anoreksia nervosa.

2). Psikoterapi:

Terapi keluarga dapat bermanfaat bagi keluarga dari klien yang berusia

kurang dari 18 tahun dan dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan

meningkatkan komunikasi.

b. Bumilia Nervosa

Sebagian besar klien bumilia diterapi rawat jalan. Masuk rumah sakit jika

diindikasikan perilaku makan berlebihan dan pengurasan tidak terkontrol serta

status medis klien memburuk.

1). Psikoterapi:

Terapi Kognitif-Perilaku ditemukan sebagai terapi paling efektif untuk

bulimia. Strategi yang digunakan yaitu untuk mengubah pemikiran klien

(kognisi) dan tindakan (perilaku) tentang makanan berfokus pada tindakan

menghentikan siklus diet, makan berlebihan dan pengurasan serta mengubah

pemikiran dan keyakinan disfungsional klien tentang makanan, berat badan,

citra tubuh dan seluruh konsep diri. Terapi ini bisa dilakukan bersamaan dengan

pemberian psikoedukasi. Ageras et al (2000) dalam Videbeck (2008)

menyatakan bahwa terapi kognitif-perilaku ini menghasilkan perbaikan yang

lebih cepat pada klien bumilia daripada psikoterapi interpersonal.

2). Psikofarmakologi:

Sejak tahun 1980-an beberapa studi yang terkontrol dilakukan untuk

mengevaluasi keefektifan anti-depresan untuk mengobati bulimia. Obat-obatan

tersebut seperti despiramin, imipramin, amitriptilin, notriptilin, fenelzin dan

fluoksetin. Pada semua studi antidepresan lebih efektif daripada plasebo dalam

mengurangi makan yang berlebihan. Obat juga dapat memperbaiki mood dan

mengurangi preokupasi dengan bentuk dan berat badan.

8

2.2 Gangguan Seksual pada Remaja

2.2.1 Contoh kasus

An. H (15 tahun) adalah seorang pelajar SMP kelas 3 di suatu instansi

pendidikan Jakarta. An. H merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara. Dia tinggal

bersama ibunya dan 3 kakak perempuannya. Sekitar 3 tahun lalu orang tua dari An. H

cerai. An. H berpenampilan rapi dan maskulin. An. H memiliki kebiasaan pergi ke salah

sau tempat fitnes center di Jakarta, yang notabene tempat itu merupakan tempat dari

komunitas gay. Suatu ketika dia memiliki seorang teman laki-laki yang menurutnya

dapat mengerti dirinya. An H mungkin rindu dengan sosok ayahnya. Lama kelamaan

An H mulai nyaman dengan teman laki-lakinya tersebut, dia sering pergi bersama ke

mal atau tempat lainnya dengan perilaku mesra dan bergandengan tangan. Di kota besar

seperti Jakarta, gay merupakan suatu trend gaya hidup.

2.2.2 Pengertian

Homoseksual adalah laki-laki dan perempuan yang secara emosional dan

seksual tertarik terhadap sesama jenis (Carrol, 2005). Homoseksual terdiri dari gay dan

lesbian. Homoseksual adalah orang yang merasakan atau hanya tertarik dengan jenis

kelamin yang sama, pria suka sama pria. Disebut gay bila penderitanya laki-laki dan

lesbian untuk penderita perempuan. Pada kasus homoseksual, individu atau penderita

yang mengalami disorientasi seksual tersebut mendapatkan kenikmatan fantasi seksual

melalui pasangan sesama jenis.

Orientasi seksual ini dapat terjadi akibat bawaan genetik kromosom dalam tubuh

atau akibat pengaruh lingkungan seperti trauma seksual yang didapatkan dalam proses

perkembangan hidup individu, maupun dalam bentuk interaksi dengan kondisi

lingkungan yang memungkinkan individu memiliki kecenderungan terhadapnya.

2.2.3 Psikopatologi / Psikodinamika

1. Faktor predisposisi

9

a. Biologi

Kombinasi atau rangkaian tertentu di dalam genetik (kromosom), otak ,

hormon, dan susunan syaraf diperkirakan mempengaruhi terbentuknya

homoseksual.

b. Psikologis

Pada saat ini di kota-kota besar terkadang dapat dikatakan bahwa keluarga kita

pada umumnya bahwa keluarga kita pada umumnya tidak sempat lagi

memperhatikan kebutuhan remaja akan penerapan moral dan pendidikan

agama pada putra-putrinya, selain itu diakibatkan tidak harmonisnya hubungan

antara remaja dengan orang tua. Misalnya akibat broken home atau orang tua

tinggalnya berjauhan padahal pada saat tertentu remaja sangat membutuhkan

orang tua tetapi mereka tidak disisinya.

c. Sosial budaya

Terjadi perubahan sosial dapat menyebabkan pergeseran nilai-nilai pada

remaja. Remaja mulai menyaksikan TV, VCD yang menayangkan film dengan

adegan kissing atau berkumpul di tepi pantai. Adegan-adegan itu mereka

saksikan hampir setipa hari pada saatnya mereka seharusnya belajar dan

beribadah.

2. Faktor presipitasi

a. Stressor sosial budaya

Homoseksual ini tidak dapat diterima oleh masyarakat dan tidak sesuai dengan

tata cara serta norma-norma agama.

b. Stressor psikologis

Remaja gagal mengidentifikasi dan mengasimilasi - apa, siapa, dan bagaimana

- menjadi dan menjalani peranan sesuai dengan identitas seksual mereka

berdasarkan nilai-nilai universal pria dan wanita. Hal ini dikarenakan dalam

proses pembentukan identitas seksual, seorang anak pertama-tama akan

melihat pada: orang tua mereka sendiri yang berjenis kelamin sama dengannya

dan kemudian mereka juga melihat pada teman bermain yang berjenis kelamin

sama dengannya.

10

3. Penilaian terhadap stressor

a. Respon kognitif: tidak dapat membedakan peran dirinya sebagai laki-laki atau

perempuan sesuai dengan identitas seksualnya

b. Respon afektif: biasanya akan menimbulkan perasaan berdosa dan menjadi

penganggu ketenangan batin

c. Respon perilaku: remaja lebih suka berteman atau menjalin hubungan dengans

sesama jenis

4. Sumber koping

a. Kemampuan personal: kemampuan untuk meningkatkan rasa percaya diri

terhadap identitas seksualnya. Kemampuan lainnya klien dapat mengambil

keputusan untuk melakukan peran sesuai dengan peranan yang sesuai

identitas seksualnya.

b. Dukungan sosial: dukungan untuk individu yang di dapat dari keluarga,

teman, kelompok, atau orang-orang disekitar klien. Dukungan ini untuk

membantu klien mengetahui peranan yang sesuai dengan identitas

seksualnya.

c. Asset material: ketersediaan materi antara lain yaitu akses pelayanan

kesehatan, dana atau finansial yang memadai, asuransi, jaminan pelayanan

kesehatan dan lain-lain.

d. Keyakinan positif: merupakan keyakinan spiritual dan gambaran positif

seseorang sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang dapat

mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh stressor.

Keyakinan yang harus ditingkatkan bahwa klien memiliki kodratnya masing-

masing sesuai identitasnya sehingga tidak meyukai sesama jenis.

5. Mekanisme koping

Mekanisme koping yang mungkin digunakan klien untuk mengekspresikan masalah

seksualnya, antara lain :

a. Fantasi, mungkin digunakan untuk meningkatkan kepuasan sekasual

b. Denial, mungkin digunakan untuk tidak mengakui adanya konflik atau

ketidakpuasan seksual

11

c. Rasionalisasi, mungkin digunakan untuk memperoleh pembenaran atau

penerimaan tentang motif, perilaku, perasaan dan dorongan seksual

d. Menarik Diri, mungkin dilakukan untuk mengatasi perasaan lemah, perasaan

ambivalensi terhadap hubungan intim yang belum terselesaikan secara tuntas.

2.2.4 Diagnosa

2.2.4.1 Diagnosa Medis: -

2.2.4.2 Diagnosa Keperawatan

1. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur dan fungsi tubuh,

depresi

2. Perubahan pola seksualitas berhubungan dengan pilihan seksual yang

berbeda, penyesuaian diri terhadap seksual terlambat

3. Isolasi sosial berhubungan dengan harga diri rendah dengan diasingkan oleh

masyarakat, diskriminasi dan pelecehan verbal atau intimidasi, memiliki

perasaan komunitas yang rendah.

2.2.5 Penatalaksanaan

2.2.5.1 Farmakoterapi:

1. Pengobatan dengan estrogen (eastration)

Estrogen dapat mengontrol dorongan-dorongan seksual yang tadinya tidak

terkontrol menjadi lebih terkontrol. Arah keinginan seksual tidak diubah.

Diberikan peroral. Efek samping tersering adalah ginecomasti.

2. Pengobatan dengan neuroleptik

a. Phenothizine

Memperkecil dorongan sexual dan mengurangi kecemasan. Diberikan

peroral.

b. Fluphenazine enanthate

Preparat modifikasi Phenothiazine. Dapat mengurangi dorongan sexual

lebih dari dua-pertiga kasus dan efeknya sangat cepat. Diberikan IM

dosis 1cc 25 mg. Efektif untuk jangka waktu 2 pekan.

c. Pengobatan dengan trnsquilizer

12

Diazepam dan Lorazepam berguna untuk mengurangi gejala-gejalan

kecemasan dan rasa takut. Perlu diberikan secara hati-hati karena dalam

dosis besar dapat menghambat fungsi sexual secara menyeluruh. Pada

umumnya obat-obat neuroleptik dan transquilizer berguna sebagai

terapi adjuvant untuk pendekatan psikologik.

2.2.5.2 Intervensi Keperawatan

Dx Kep Tujuan Intervensi

Disfungsi seksual

berhubungan

dengan

perubahan

struktur dan

fungsi tubuh,

depresi

1. Jangka Pendek :

a. Klien akan mengidentifikasi

stresor yang berperan dalam

penurunan fungsi seksual

dalam 1 minggu

b. Klien akan mendiskusikan

patofisiologi proses

penyakitnya yang

menimbulkan disfungsi

seksual dalam 1 minggu

2. Jangka Panjang :

Klien dapat mempersepsikan

dengan baik dengan masalah

seksual

1. Kaji riwayat seksual dan

tingkat kepuasan sebelumnya

dalam hubungan seksual

2. Kaji persepsi klien

terhadap masalah

3. Bantu klien menetapkan

dimensi waktu yang

berhubungan dengan awitan

masalah dan diskusikan apa

yang terjadi dalam situasi

kehidupannya pada waktu itu

4. Kaji alam perasaan dan

tingkat energi klien

5. Tinjau aturan

pengobatan, observasi efek

samping

6. Dorong klien untuk

menanyakan hal-hal yang

berkenaan dengan seksual dan

fungsi yang mungkin

menyusahkan dirinya

Perubahan pola

seksualitas

berhubungan

dengan pilihan

1. Jangka Pendek :

a. Klien akan mengatakan

aspek-aspek seksualitas yang

ingin diubah

1. Ambil riwayat seksual,

perhatikan ekspresi area

ketidakpuasan klien terhadap

pola seksual

13

seksual yang

berbeda,

penyesuaian diri

terhadap seksual

terlambat

b. Klien dan pasangannya akan

saling berkomunikasi tentang

cara-cara dimana masing-

masing meyakini hubungan

seksual mereka dapat

diperbaiki

2. Jangka Panjang :

a. Klien akan memperlihatkan

kepuasan dengan pola

seksualitasnya sendiri

b. Klien dan pasangannya akan

memperlihatkan kepuasan

dengan hubungan seksualnya

2. Kaji area-area stress dalam

kehidupan klien dan periksa

hubungan dengan pasangan

seksualnya

3. Catat faktor-faktor budaya,

sosial, etnik dan religius yang

mungkin menambah konflik

yang berkenaan dengan

praktik seksual yang berbeda

4. Terima dan jangan

menghakimi

5. Bantu therapy dengan

perencanaan modifikasi

perilaku untuk membantu

klien yang berhasrat untuk

menurunkan perilaku-perilaku

seksual yang berbeda

6. Jika perubahan pola

seksualitas berhubungan

dengan penyakit atau

pengobatan medis, berikan

informasi untuk klien dan

pasangannya berkenaan

dengan hubungan antara

penyakit dan perubahan

seksual

Isolasi sosial

berhubungan

dengan harga diri

rendah dengan

diasingkan oleh

masyarakat,

klien mampu berinteraksi

dengan masyarakat dalam 3x24

jam

1. Membina hubungan saling

percaya denga klien

2. Mengkaji penyebab isolasi

sosial

3. Informasikan pada klien

pentingnya berinteraksi

14

diskriminasi dan

pelecehan verbal

atau intimidasi,

memiliki

perasaan

komunitas yang

rendah

dengan orang lain

4. Berikan dukunagan yang

positif dan dukungan emosi

5. Bantu klien berinteraksi

dengan orang lain secara

bertahap

2.3 Gangguan Tidur

2.3.1 Contoh Kasus

An. D merupakan anak perempuan dari pasangan keluarga Tn. s dan Ny. a yang

saat ini sudah berumur 15 tahun dan duduk dibangku SMA. An. D merupakan anak

kelima dari delapan bersaudara jadi orang tuanya tidak begitu memperdulikan dan

memperhatikan an. d. Orang tua an.d juga hanya sebagai buruh tani didesa tempat An.d

tinggal. A.d setiap harinya memiliki rutinitas yaitu sekolah dan les, mulai pukul 07:00-

17:00 WIB, setelah pulang sekolah An.d harus menjaga adik-adiknya yang masih kecil.

Pada akhir-akhir ini An.d mengeluhkan kepada orang tuannya bahwa an.d susah untuk

memulai untuk tidur dibawah jam 10. An.d juga mengeluhkan bahwa dirinya susah

untuk bangun ketika jam 5 pagi. An.d disekolah merasa belajarnya kurang efektif dan

tidak semangat lagi, malas, dan tidak bisa berkosentrasi dengan baik dalam waktu

proses belajar. Semakin hari kebiasaan ini sering dirasakan oleh An.d dan hanya

membuat keadaan an.d semakin terpuruk akibat istirahat tidur an.d tidak bisa optimal.

An.d memiliki gangguan tidur insomnia inisal dimana kesulitan untuk memulai tidur,

hal tersebut membuat an.d cemas dan takut karena an.d harus sekolah, serta an.d cemas

dan takut ketika disekolahan selama proses pembelajaran an.d tidak dapat berkosentrasi

dengan baik oleh materi yang akan disampaikan oleh gurunya.

2.3.2 Pengertian

Gangguan tidur merupakan suatu kumpulan kondisi yang dicirikan dengan adanya

gangguan dalam jumlah, kualitas, atau waktu tidur pada seorang individu. Pada

kelompok remaja, kurangnya durasi tidur juga dapat terjadi akibat adanya perubahan

gaya hidup. Kualitas tidur inadekuat adalah fragmentasi dan terputusnya tidur akibat

periode singkat terjaga di malam hari yang sering dan berulang.

15

2.3.3 Psikopatologi/psikodinamika

a. Faktor predisposisi

1) Faktor biologis:

Riwayat genetik, status nutrisi, status kesehatan secara umum, sensitivitas

biologi, terpapar racun, dan ketidakseimbangan neurotransmitter.

2) Faktor psikologis:

Meliputi intelektualitas, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri,

motivasi dan pertahanan psikologis. Pengalaman masa lalu termasuk

didalamnya kegagalan mencapai tugas perkembangan. Kegagalan dalam

melaksanakan tugas perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak

dapat percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesimis,

putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang

lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan.

3) Faktor sosiokultural:

Meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan keyakinan.

b. Faktor presipitasi

1) Stressor psikologis

Stres dapat meningkat bisa disebabkan oleh kondisi kronis yang meliputi

ketegangan keluarga yang terus-menerus, ketidakpuasan kerja dan

kesendirian. Ansietas berat yang berkepanjangan yang terjadi secara

bersamaan dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan

berpisah dengan orang lain dan kegagalan seseorang untuk memenuhi

kebutuhannya akan mempengaruhi hubungan individu dengan orang lain.

Selain itu penolakan dari orang lain dan ketidaksetujuan seseorang demi

mempertahankan harga diri akan mempengaruhi pola interaksi dengan

lingkungan.

2) Stressor sosial budaya

Kejadian stresful yang berkontribusi terhadap terjadinya gangguan tidur

ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari

orang-orang yang berarti. Ketertarikan terhadap etnik tertentu akan

merefleksikan suatu usaha orang-orang yang terisolasi untuk berhubungan

16

dengan orang-orang dengan identitas khusus. Ketegangan yang terjadi

didalam sebuah keluarga adalah kesulitan anggota keluarga untuk mencapai

tugas perkembangan yang dihubungkan dengan keintiman atau kerukunan.

c. Respon terhadap stress

1) Kognitif:

Klien dengan gangguan tidur selalu banyak pikiran, banyak masalah yang

dialaminya dan tidak dapat berkonsentrasi penuh.

2) Afektif:

Respon afektif pada pasien yang mengalami gangguan tidur berjalan

lambat, selalu gugup, tergesa-gesa, cemas dan tidak bisa mengendalikan

emosinya.

3) Fisiologis:

Pasien gangguan tidur menunjukkan respon fisiologis yang lemah, lesu,

tidak bisa tidur, dan malas untuk melakukan aktivitas sehari-harinya.

4) Perilaku:

Pasien gangguan tidur menunjukkan perilaku terlihat males dengan kegiatan

sehari-hari, kehilangan rasa semangat untuk memulai aktivitas sehari-

harinya.

5) Social:

Pasien yang mengalami gangguan tidur memiliki sifat acuh terhadap

lingkungan yang ada disekitarnya dan memiliki kemampuan sosial kurang.

d. Kemampuan mengatasi masalah/ sumber koping

1) Kemampuan personal : Kemampuan yang diharapkan pada klien dengan

gangguan tidur yaitu kemampuan untuk dapat berinteraksi dengan orang

lain. Kemampuan lanjutan yang harus dikuasai untuk mengatasi gangguan

tidur adalah kemampuan mengungkapkan atau menyampaikan sesuatu hal

yang menyenangkan atau paling berkesan yang pernah dialami.

2) Dukungan social: Dukungan sosial adalah dukungan untuk individu yang di

dapat dari keluarga, teman, kelompok, atau orang-orang disekitar klien dan

dukungan terbaik yang diperlukan oleh klien adalah dukungan keluarga.

Peran keluarga sangat penting untuk dapat memberikan dukungan sosial

pada anak remaja yang mengalami gangguan tidur.

17

3) Asset material:Ketersediaan materi antara lain yaitu akses pelayanan

kesehatan, dana atau finansial yang memadai, asuransi, jaminan pelayanan

kesehatan dan lain-lain.

4) Keyakinan positif: Keyakinan positif merupakan keyakinan spiritual dan

gambaran positif seseorang sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang

dapat mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh

tekanan yang sedang dialaminnya. Keyakinan yang harus dikuatkan pada

klien dengan gangguan tidur khususnya pada remaja dalah keyakinan untuk

menjadi lebih baik dengan memiliki motivasi.

e. Mekanisme koping

Keterangan dari rentang respon sosial:

1) Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma

social dan kebudayaan secara umum yang berlaku di masyarakat. Dalam

rentang respon sosial, respon adaptif terdiri dari :

a) Solitude (menyendiri)

Suatu respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang

telah dilakukan atau yang telah dialami di lingkungan sosialnya dan

suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya.

Solitude umumnya dilakukan setelah melakukan suatu kegiatan.

b) Otonomi

Rentang Respon Sosial

Respon adaptif Respon maladaptif

Solitude Menarik diri

Otonomi Manipulasi

Bekerja sama Impulsif

Saling ketergantungan Narkisisme

Tergantung

Curiga

18

Kemampuan individu untuk dapat menentukan dan menyampaikan ide-

ide pikiran, perasaan dalam melakukan hubungan sosial.

c) Bekerja sama (mutualisme)

Suatu kondisi dimana dalam hubungan interpersonal individu tersebut

mampu untuk saling memberi dan menerima.

d) Saling ketergantungan (interdependen)

Suatu kondisi saling ketergantungan antara individu dengan orang lain

dalam membina hubungan interpersonal.

2) Respon maladaptif adalah respon yang menimbulkan gangguan dengan

berbagai tingkat keparahan. Dalam rentang respon sosial, respon maladaptif

terdiri dari:

a) Menarik diri

Suatu keadaan dimana seseorang dapat menemukan kesulitan dalam

membina hubungan secara terbuka dengan orang lain yang ada

disekelilingnya.

b) Manipulasi

Suatu gangguan yang terjadi dalam hubungan sosial yang terdapat pada

individu dan menganggap orang lain sebagai objek. Individu tersebut

tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.

c) Impulsif

Individu impulsif tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu

belajar dari pengalaman, dan tidak dapat diandalkan.

d) Narkisisme

Individu narkisisme memiliki harga diri yang rapuh, secara terus

menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap

egosentris, pencemburu, marah jika orang lain tidak mendukung.

e) Tergantung (dependen)

Seseorang gagal dalam mengembangkan rasa percaya diri atau

kemampuannya untuk dapat berfungsi secara sukses.

19

f) Curiga

Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri dengan orang lain.

Kecurigaan dan ketidakpercayaan diperlihatkan dengan tanda-tanda

cemburu, iri hati, dan berhati-hati.

2.3.4 Diagnosa yang dapat muncul

Diagnosa keperawatan:

Gangguan pola tidur

2.3.5 Penatalaksanaan

Secara umum, langkah awal untuk mengatasi gangguan tidur akibat kondisi

medik atau psikiatrik adalah dengan mengoptimalkan terapi terhadap penyakit yang

mendasarinya. Cara farmakologik dan nonfarmakologik diperlukan untuk terapi

gangguan tidur, namun penatalaksanaan utama umumnya mencakup aspek

nonfarmakologik. Pada beberapa gangguan tidur tertentu, dibutuhkan penanganan

penanganan khusus.

a. Tatalaksana non farmakologik gangguan tidur antara lain adalah melalui

pengaturan higiene tidur, terapi pengontrolan stimulus, sleep restriction therapy,

terapi relaksasi dan biofeedback.

b. Higiene tidur bertujuan untuk memberikan lingkungan dan kondisi yang

kondusif untuk tidur, dan merupakan aspek yang mutlak dimanipulasi pada

tatalaksana gangguan tidur.

c. Terapi pengontrolan stimulus bertujuan untuk memutus siklus masalah yang

sering dikaitkan dengan kesulitan memulai atau jatuh tidur.

d. Sleep Restriction Therapy merupakan pembatasan waktu di tempat tidur yang

dapat membantu mengkonsolidasikan tidur. Terapi ini bermanfaat untuk pasien

yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur.

e. Terapi relaksasi dan biofeedback merupakan terapi hipnosis diri, relaksasi

progresif, dan latihan nafas dalam sehingga terjadi keadaan Universitas

Sumatera Utara relaks cukup efektif untuk memperbaiki tidur. Pasien

membutuhkan latihan yang cukup dan serius.

20

f. Beberapa gangguan tidur memerlukan perhatian khusus dalam

penatalaksanaanya. Pada psychophysiologic insomnia, terapi atau

penanganannya antara lain adalah melakukan edukasi kepada individu tentang

prinsip higiene tidur, dan diajarkan bagaimana teknik relaksasi untuk

mengurangi ansietas. Medikasi hipnosis jarang dibutuhkan.

g. Terapi parasomnia meliputi edukasi kepada orang tua dan memberikan

dukungan, menghindari faktor yang dapat mempengaruhi. Farmakoterapi dan

atau psikoterapi jarang dibutuhkan.