bab ii tinjauan pustaka

42
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manajemen 2.1.1 Batasan Manajemen Menurut Muninjaya (1999), batasan manajemen adalah ilmu atau seni tentang bagaimana menggunakan sumber daya secara efisien, efektif, dan rasional untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan batasan tersebut, manajemen mengandung tiga prinsip pokok yang menjadi ciri utama penerapannya yaitu efisien dalam pemanfaatan sumber daya, efektif dalam memilih alternatif kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta rasional dalam pengambilan keputusan manajerial. 2.1.2 Penerapan Manajemen Di Bidang Kesehatan Manajemen adalah ilmu terapan yang dapat dimanfaatkan di dalam berbagai jenis organisasi untuk membantu manajer memecahkan masalah 8

Upload: rian-oktariansyah

Post on 02-Aug-2015

135 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II Tinjauan Pustaka

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen

2.1.1 Batasan Manajemen

Menurut Muninjaya (1999), batasan manajemen adalah ilmu atau seni

tentang bagaimana menggunakan sumber daya secara efisien, efektif, dan

rasional untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Berdasarkan batasan tersebut, manajemen mengandung tiga prinsip

pokok yang menjadi ciri utama penerapannya yaitu efisien dalam pemanfaatan

sumber daya, efektif dalam memilih alternatif kegiatan untuk mencapai tujuan

organisasi serta rasional dalam pengambilan keputusan manajerial.

2.1.2 Penerapan Manajemen Di Bidang Kesehatan

Manajemen adalah ilmu terapan yang dapat dimanfaatkan di dalam

berbagai jenis organisasi untuk membantu manajer memecahkan masalah

organisasi. Atas dasar pemikiran tersebut, manajemen juga dapat diterapkan di

bidang kesehatan untuk membantu manajer organisasi kesehatan memecahkan

masalah kesehatan masyarakat (Muninjaya, 1999).

Manajemen kesehatan harus dikembangkan di tiap-tiap organisasi

kesehatan di Indonesia seperti Kantor Depkes, Dinas kesehatan di daerah,

Rumah Sakit, dan Puskesmas dan jajarannya. Untuk memahami penerapan

manajemen kesehatan di Rumah Sakit, Dinas Kesehatan dan Puskesmas perlu

dilakukan kajian proses penyusunan rencana tahunan Depkes dan Dinas

Kesehatan di daerah, baik yang menggunakan Anggaran Pembangunan

8

Page 2: Bab II Tinjauan Pustaka

Depkes Pusat (APBN) maupun Anggaran Pembangunan Daerah (APBD) baik

yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus

(DAK) dan Pendapatan Asli Daerah (PAK). Selain itu rapat rencana kerja

bulanan yang disusun dalam bentuk rencana kerja operasional, prosedur tetap

(protap) pelayanan kesehatan, koordinasi dan komunikasi melalui pertemuan

rutin, mekanisme supervisi yang dilaksanakan oleh pimpinan, sistem

pencatatan dan pelaporan (rekaman data) yang dibuat oleh masing-masing

organisasi kesehatan atau unit pelayanan RS dan sistem pencatatan dan

pelaporan kegiatan program di Dinkes Provinsi dan Kabupaten/Kota

(Muninjaya, 1999).

Khusus untuk tingkat Puskesmas, penerapan manajemen dapat dipelajari

melalui perencanaan yang disusun setiap lima tahun, pembagian dan uraian

tugas staf Puskesmas sesuai dengan masing-masing tugas pokoknya.

Pelaksanaan tugas pokok staf di Puskesmas bersifat koordinatif dan integratif.

Lokakarya Mini Puskesmas adalah bentuk penerapan manajemen yang

sifatnya koordinatif untuk pengembangan pelaksanaan tugas pokok staf dalam

setahun. Local Area Monitoring (LAM) atau Pemantauan Wilayah Setempat

(PWS) adalah sistem pemantauan yang dikembangkan di wilayah kerja

Puskesmas untuk mengetahui perkembangan masalah kesehatan masyarakat

dan bentuk intervensinya (Muninjaya, 1999).

2.1.3 Ruang Lingkup Manajemen Kesehatan

Dalam bidang kesehatan, jenis manajemen disesuaikan dengan ruang

lingkup kegiatan dan sumber daya yang dikelolanya. Bidang yang mengurus

9

Page 3: Bab II Tinjauan Pustaka

personalia (manajemen personalia), keuangan (manajemen keuangan), logistik

obat dan peralatan (manajemen logistik), pelayanan kesehatan (manajemen

pelayanan kesehatan) dan sistem informasi manajemen (Muninjaya, 1999).

2.2 Program Pelayanan Terpadu

2.2.1 Sistem Pelayanan Terpadu

Sistem adalah rangkaian komponen yang berhubungan satu sama lain

dan mempunyai suatu tujuan yang jelas. Komponen suatu sistem terdiri dari

input, proses, output, effect, outcome dan mekanisme umpan balik. Hubungan

antara komponen-komponen sistem ini berlangsung dalam satu tatanan

lingkungan (Muninjaya, 1999).

Komponen-komponen dari sistem :

a. Input, yaitu sumber daya atau masukan yang dikonsumsikan oleh suatu

sistem. Sumber daya suatu sistem adalah man, money, material, method,

minute, dan market, disingkat dengan 6 M.

b. Proses, yaitu semua kegiatan sistem. Melalui proses akan diubah input

menjadi output.

c. Output, yaitu hasil langsung (keluaran) suatu sistem. Yang menjadi output

dalam sistem pelayanan terpadu adalah produk program pelayanan

terpadu.

d. Effect, yaitu hasil tidak langsung yang pertama dari proses suatu sistem.

Pada umumnya effect suatu sistem dapat dikaji pada perubahan

pengetahuan, sikap, perilaku kelompok masyarakat yang dijadikan sasaran

program.

10

Page 4: Bab II Tinjauan Pustaka

e. Outcome, yaitu dampak atau hasil tidak langsung dari proses suatu sistem.

2.2.2 Manajemen Program Pelayanan Terpadu

Fungsi manajemen (Muninjaya, 1999) dalam melaksanakan program

pelayanan terpadu :

a. Perencanaan

Perencanaan kesehatan adalah sebuah proses untuk merumuskan

masalah-masalah kesehatan yang berkembang di masyarakat, menentukan

kebutuhan dan sumber daya yang tersedia, menetapkan tujuan program

yang paling pokok dan menyusun langkah-langkah praktis untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan tersebut.

1. Manfaat Perencanaan

Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh oleh staf dan

pimpinan jika organisasi memiliki sebuah perencanaan. Mereka akan

mengetahui :

a. Tujuan yang ingin dicapai organisasi dan cara mencapainya.

b. Jenis dan struktur organisasi yang dibutuhkan.

c. Jenis dan jumlah staf yang diinginkan, dan uraian tugasnya.

d. Sejauh mana efektivitas kepemimpinan dan pengarahan yang

diperlukan.

e. Bentuk dan standar pengawasan yang akan dilakukan.

Selain itu, dengan perencanaan akan diperoleh keuntungan sebagai

berikut :

11

Page 5: Bab II Tinjauan Pustaka

a. Perencanaan akan menyebabkan berbagai macam aktifitas organisasi

untuk mencapai tujuan tertentu dan dapat dilakukan secara teratur.

b. Perencanaan akan mengurangi atau menghilangkan jenis pekerjaan

yang tidak produktif.

c. Perencanaan dapat dipakai untuk mengukur hasil kegiatan yang telah

dicapai karena dalam perencanaan ditetapkan berbagai standar.

d. Perencanaan memberikan suatu landasan pokok fungsi manajemen

lainnya, terutama untuk fungsi pengawasan.

Sebaliknya, pimpinan dan staf organisasi juga perlu memahami

bahwa perencanaan juga memiliki kelemahan yaitu :

a. Perencanaan mempunyai keterbatasan mengukur informasi dan

fakta-fakta di masa yang akan datang dengan cepat.

b. Perencanaan yang baik memerlukan sejumlah dana.

c. Perencanaan mempunyai hambatan psikologis bagi pimpinan dan

staf karena harus menunggu dan melihat hasil yang akan dicapai.

d. Perencanaan menghambat timbulnya inisiatif. Gagasan baru untuk

mengadakan perubahan harus ditunda sampai tahap perencanaan

berikutnya.

e. Perencanaan juga akan menghambat tindakan baru yang harus

diambil oleh staf.

2. Langkah-Langkah Perencanaan

Sebagai suatu proses, perencanaan kesehatan mempunyai

beberapa langkah meliputi : analisis situasi, mengidentifikasi masalah

dan prioritas masalah, menentukan tujuan program, mengkaji hambatan

12

Page 6: Bab II Tinjauan Pustaka

dan kelemahan program, dan menyusun Rencana Kerja Operasional

(RKO).

b. Pengorganisasian

Pengorganisasian adalah langkah untuk menetapkan, menggolong-

golongkan dan mengatur berbagai macam kegiatan, menetapkan tugas-

tugas pokok dan wewenang, dan pendelegasian wewenang oleh pimpinan

kepada staf dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

Manfaat pengorganisasian :

1. Pembagian tugas untuk perorangan dan kelompok. Tugas pokok staf dan

prosedur kerja merupakan dokumen dari fungsi pengorganisasian,

digunakan sebagai panduan kinerja staf.

2. Hubungan organisatoris antar manusia yang menjadi anggota atau staf

sebuah organisasi. Hubungan ini akan terlihat pada struktur organisasi.

3. Pendelegasian wewenang. Manajer atau pimpinan organisasi akan

melimpahkan wewenang kepada staf sesuai dengan tugas-tugas pokok

yang diberikan kepada mereka.

4. Pemanfaatan staf dan fasilitas fisik yang dimiliki organisasi. Tugas staf

dan pemanfaatan fasilitas fisik harus diatur dan diarahkan semaksimal

mungkin untuk membantu staf, baik secara individual maupun kelompok

mencapai tujuan organisasi.

c. Pergerakan dan Pelaksanaan

Di dalam beberapa buku manajemen sering dijumpai istilah lain

untuk fungsi pergerakan dan pelaksanaan yaitu actuating (memberi

bimbingan), motivating (membangkitkan motivasi), directing (memberikan

13

Page 7: Bab II Tinjauan Pustaka

arah), influencing (mempengaruhi), commanding (memberikan komando

atau perintah). Beberapa istilah dikemas untuk fungsi aktuasi karena istilah

tersebut dianggap mempunyai pengertian yang sama yaitu menggerakkan

dan mengarahkan pelaksanaan program.

Tujuan fungsi aktuasi antara lain : menciptakan kerja sama yang lebih

efisien, mengembangkan kemampuan dan keterampilan staf,

menumbuhkan rasa memiliki dan menyukai pekerjaan, mengusahakan

suasana lingkungan kerja yang meningkatkan motivasi dan prestasi kerja

staf dan membuat organisasi berkembang secara dinamis.

d. Pengawasan dan Pengendalian

Dua jenis standar pengawasan :

1. Standar norma

Standar ini dibuat berdasarkan pengalaman staf melaksanakan

kegiatan program yang sejenis atau yang dilakukan dalam situasi yang

sama di masa lalu.

2. Standar kriteria

Standar ini diterapkan untuk kegiatan pelayanan oleh petugas

yang sudah mendapat pelatihan. Standar ini terkait dengan tingkat

profesionalisme staf.

Manfaat pengawasan :

1. Dapat mengetahui sejauh mana kegiatan program sudah dilaksanakan

oleh staf, apakah sesuai dengan standar atau rencana kerja, apakah

sumber dayanya (staf, sarana dan dana dan sebagainya) sudah

digunakan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, fungsi

14

Page 8: Bab II Tinjauan Pustaka

pengawasan dan pengendalian bermanfaat untuk meningkatkan

efisiensi kegiatan program.

2. Dapat mengetahui adanya penyimpangan pada pemahaman staf

melaksanakan tugas-tugasnya.

3. Dapat mengetahui apakah waktu dan sumber daya lainnya mencukupi

kebutuhan dan telah dimanfaatkan secara efisien.

4. Dapat mengetahui sebab-sebab terjadinya penyimpangan.

5. Dapat mengetahui staf yang perlu diberikan penghargaan,

dipromosikan atau diberi pelatihan lanjutan.

e. Evaluasi

Evaluasi ada beberapa macam :

1. Evaluasi terhadap input, dilaksanakan sebelum kegiatan sebuah

program dilaksanakan, bertujuan untuk mengetahui apakah sumber

daya yang dimanfaatkan sudah sesuai dengan standar dan kebutuhan.

Kegiatan evaluasi ini juga bersifat pencegahan.

2. Evaluasi proses dilaksanakan pada saat kegiatan sedang berlangsung,

untuk mengetahui apakah metode yang dipilih sudah efektif,

bagaimana dengan motivasi staf dan komunikasi diantara staf dan

sebagainya.

3. Evaluasi terhadap output (summative evaluation, impact evaluation)

dilaksanakan setelah pekerjaan selesai dilaksanakan untuk mengetahui

output, effect, atau outcome sudah sesuai dengan target yang

ditetapkan sebelumnya.

15

Page 9: Bab II Tinjauan Pustaka

2.3 Kegiatan Pokok Program Pemberantasan Penyakit ISPA

Dalam pelaksanaannya kegiatan P2 ISPA mengacu kepada pendekatan

Manajemen Pemberantasan Penyakit Menular Berbasis Wilayah atau dengan kata

lain diarahkan menanggulangi secara komprehensif faktor-faktor yang berhubungan

dengan kesakitan dan kematian balita termasuk faktor lingkungan, faktor resiko

kependudukan dan penanganan kasus yang dilakukan secara terpadu dengan mitra

kerja terkait yang didukung surveilans yang baik serta tercermin dalam perencanaan

dan penganggaran secara terpadu (P2KT) (Depkes RI, 2002).

Kegiatan-kegiatan pokok program ISPA antara lain :

1. Promosi Penanggulangan Pneumonia Balita

Promosi penanggulangan pneumonia balita diartikan sebagai upaya

pemberdayaan masyarakat agar mau dan mampu serta mandiri untuk

membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki. Disamping itu promosi

penanggulangan pneumonia balita dimaksudkan menciptakan iklim untuk

berkembang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan terutama dalam

penanggulangan pneumonia balita (Depkes RI, 2002).

Promosi P2 ISPA di Indonesia mencakup kegiatan advokasi, bina suasana

dan gerakan masyarakat. Tujuan yang diharapkan dari kegiatan promosi

pneumonia balita secara umum adalah meningkatnya pengetahuan, sikap dan

tindakan masyarakat dalam upaya penanggulangan pneumonia balita (Depkes RI,

2002).

16

Page 10: Bab II Tinjauan Pustaka

Sasaran promosi dalam P2 ISPA mencakup :

a. Sasaran Primer

Sasaran primer adalah individu atau kelompok yang diharapkan berubah

perilakunya dengan dilaksanakannya promosi penanggulangan pneumonia

balita. Sasaran primer tersebut antara lain : ibu balita, pengasuh balita, ayah

balita, kakek/nenek balita, keluarga serumah balita, tetangga dan masyarakat.

Sasaran ibu balita merupakan sasaran utama, mengingat ibu mempunyai

peranan besar dalam perawatan anaknya. Ibu pada umumnya merupakan

orang pertama yang mengetahui gejala atau tanda penyakit pada anak.

Disamping itu peranan ayah juga ikut menentukan dalam pencarian

pengobatan (Depkes RI, 2002).

b. Sasaran Sekunder

Sasaran sekunder adalah individu, kelompok dan organisasi yang

mempengaruhi perubahan perilaku sasaran primer. Sasaran sekunder tersebut

meliputi : petugas kesehatan, petugas lintas program, petugas lintas sektor,

tokoh masyarakat dan tokoh agama.

c. Sasaran Tersier

Sasaran tersier adalah individu, kelompok dan organisasi yang memiliki

kewenangan untuk membuat kebijakan dan keputusan dalam penyelenggaraan

promosi penanggulangan pneumonia balita. Sasaran tersier tersebut adalah :

kepala wilayah/daerah, pimpinan dan atau anggota DPRD, pimpinan dan atau

staf Bappeda, penyandang dana (lokal, nasional dan internasional) dan

pimpinan media massa.

17

Page 11: Bab II Tinjauan Pustaka

2. Kemitraan

Kemitraan merupakan faktor penting untuk menunjang keberhasilan

program pembangunan. Pembangunan kemitraan dalam program P2 ISPA

diarahkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat, peran lintas program dan

lintas sektor terkait serta peran pengambil keputusan termasuk penyandang dana.

Dengan kata lain intervensi P2 ISPA tidak hanya tertuju pada penderita saja tetapi

juga terhadap faktor risiko (lingkungan dan kependudukan) dan faktor lain yang

berpengaruh melalui dukungan peran aktif sektor lain yang kompeten (Depkes

RI, 2002).

Unsur kemitraan sebagai bagian dalam penanggulangan pneumonia balita

yang memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan dan memberikan

pelayanan kesehatan yang terbaik bagi balita. Kerjasama dan peran serta lintas

program dan lintas sektoral mutlak diperlukan untuk ikut mendeteksi secara dini

pneumonia balita dengan menyebarluaskan kepada masyarakat melalui berbagai

cara komunikasi promosi (Depkes RI, 2002).

Tujuaan kemitraan adalah untuk meningkatkan peran institusi lintas

program atau sektor, sektor swasta termasuk organisasi profesional, sarana

pelayanan kesehatan dasar swasta dan masyarakat sehingga sadar, memahami,

mau, sepakat, dan mampu menyelenggarakan intensifikasi pemberantasan

penyakit menular terutama pneumonia secara berkesinambungan (Depkes RI,

2002).

3. Peningkatan Penemuan dan Tatalaksana Kasus

Dalam kebijakan dan strategi program P2 ISPA, penemuan dan

tatalaksana penderita dilaksanakan di rumah tangga dan masyarakat (keluarga,

18

Page 12: Bab II Tinjauan Pustaka

kader dan Posyandu), di tingkat pelayanan kesehatan tingkat pertama atau dasar

(Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan pelayanan kesehatan di desa) dan di

sarana kesehatan rujukan (rumah sakit). Dengan demikian yang melaksanakan

kegiatan secara langsung adalah tenaga kesehatan di sarana-sarana kesehatan

tersebut dan kader Posyandu di masyarakat (Depkes RI, 2002).

Penemuan penderita dilaksanakan melalui kegiatan yang menunjang upaya

masyarakat untuk mencari pengobatan kasus pneumonia secara tepat dan deteksi

dini oleh petugas di sarana kesehatan. Untuk itu dimungkinkan memperluas

sasaran kegiatan penemuan penderita pneumonia ke berbagai sarana pelayanan

kesehatan (sarkes), tidak hanya sarkes milik pemerintah namun juga sarkes

swasta (praktek dokter, poliklinik swasta, RS Swasta) (Depkes RI, 2002).

Sedangkan tatalaksana kasus ISPA dilaksanakan melalui pendekatan

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di sarana kesehatan tingkat dasar.

Disamping itu perlu dilakukan audit kasus dalam upaya peningkatan kualitas

tatalaksana kasus yang dilakukan dengan koordinasi tingkat Kabupaten/Kota

(Depkes RI, 2002).

4. Peningkatan Kualitas Sumber Daya

a. Sumber daya manusia

Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat dalam program P2 ISPA

meliputi kader, petugas kesehatan yang memberikan tatalaksana ISPA di

sarana pelayanan kesehatan (Polindes, Pustu, Puskesmas, RS, Poli klinik),

pengelola program ISPA di Puskesmas, Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat.

Upaya peningkatan kualitas SDM P2 ISPA dilakukan di berbagai jenjang

melalui kegiatan diantaranya :

19

Page 13: Bab II Tinjauan Pustaka

1. Tingkat Puskesmas antara lain : pelatihan ISPA bagi kader, pelatihan

tatalaksana penderita (diintegrasikan dalam pelatihan MTBS), dan

pelatihan autopsi verbal.

2. Tingkat Kabupaten antara lain : pelatihan tatalaksana penderita

(diintegrasikan dalam pelatihan MTBS), pelatihan manajemen program P2

ISPA, pelatihan autopsi verbal, pelatihan audit kasus dan pelatihan audit

manajemen.

3. Tingkat Propinsi antara lain : pelatihan tatalaksana penderita

(diintegrasikan dalam pelatihan MTBS), pelatihan manajemen program P2

ISPA, pelatihan autopsi verbal, pelatihan audit kasus, pelatihan audit

manajemen, pelatihan promosi P2 ISPA dan pelatihan tatalaksana kasus

ISPA balita di sarana rujukan.

b. Logistik

Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan

program P2 ISPA. Aspek logistik P2 ISPA mencakup peralatan, bahan dan

sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan program P2

ISPA. Untuk kegiatan komunikasi dan penyebaran informasi, logistik yang

telah disediakan oleh program P2 ISPA meliputi media cetak dan elektronik

(Depkes RI, 2002).

5. Surveilans ISPA

Secara umum surveilans epidemiologi adalah kegiatan yang terus menerus

dan sistematis untuk pengumpulan, pengolahan dan analisis data kesehatan,

untuk menggambarkan dan memantau kejadian-kejadian kesehatan. Surveilans

epidemiologi ISPA diarahkan untuk mendapatkan data dan informasi yang dapat

20

Page 14: Bab II Tinjauan Pustaka

digunakan sebagai landasan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan

program pemberantasan ISPA secara efektif dan efisien serta mampu

mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan yang bakal muncul (Depkes RI,

2002).

6. Pemantauan dan Evaluasi

Kegiatan pokok ini terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu pemantauan

(monitoring) dan penilaian (evaluasi).

a. Pemantauan

Pemantauan P2 ISPA dimaksudkan untuk memantau secara teratur

kegiatan dan pelaksanaan program agar dapat diketahui apakah kegiatan

program dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan digariskan

oleh kebijakan program.

b. Evaluasi

Evaluasi P2 ISPA dimaksudkan untuk menilai apakah pencapaian hasil

kegiatan telah memenuhi target yang diharapkan, mengidentifikasi masalah

dan hambatan yang dihadapi serta menyusun langkah-langkah perbaikan

selanjutnya termasuk perencanaan dan penganggaran.

7. Peningkatan Manajemen Program

Aspek manajemen program P2 ISPA yang masih memerlukan perhatian

untuk terus ditingkatkan diantaranya aspek perencanaan, pembiayaan dan

administrasi. Peningkatan manajemen program pada aspek perencanaan

dilakukan melalui penerapan Perencanaan dan Penganggaran Kesehatan Terpadu

(P2KT) dalam perencanaan kegiatan program P2 ISPA. Dalam meningkatkan

manajemen pembiayaan, diupayakan penggalian potensi sumber biaya dari

21

Page 15: Bab II Tinjauan Pustaka

masyarakat, swasta, organisasi non pemerintah dan lembaga-lembaga donor

mengingat kemampuan pemerintah dalam penyediaan biaya untuk program P2

ISPA cukup terbatas (Depkes RI, 2002).

8. Pengembangan Program

Dalam upaya pencapaian tujuan pemberantasan penyakit ISPA khususnya

pneumonia, perlu dilakukan pengembangan program sesuai dengan tuntutan

perkembangan di masyarakat. Pengembangan program P2 ISPA dilakukan

diantaranya melalui kegiatan penelitian, uji coba konsep-konsep intervensi baru

seperti pendekatan tatalaksana penderita, pencegahan dan penanggulangan faktor

risiko baik lingkungan maupun kependudukan, peningkatan kemitraan,

peningkatan manajemen dan sebagainya serta kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya

seperti pertemuan kajian program, seminar, workshop dan sebagainya (Depkes

RI, 2002).

2.4. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)

2.4.1 Pengertian ISPA dan Pneumonia

Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut

dan mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas dalam lokakarya

Nasional ISPA di Cipanas. Dalam lokakarya Nasional ISPA tersebut terdapat

dua pendapat berbeda, pendapat pertama memilih istilah ISPA (Infeksi

Saluran Pernafasan Akut) dan pendapat kedua memilih istilah ISNA ( Infeksi

Saluran Nafas Akut). Pada akhir lokakarya diputuskan untuk memilih istilah

ISPA dan sampai sekarang istilah ini yang digunakan (Depkes RI, 2002)

22

Page 16: Bab II Tinjauan Pustaka

Menurut Depkes RI (1988), Istilah ISPA mengandung 2 unsur yaitu

saluran pernafasan dan akut. Yang dimaksud dengan saluran pernafasan

adalah organ mulai dari hidung sampai alveoli paru beserta organ-organ

adneksanya seperti sinus, ruang telinga tengah dan pleura. Sedangkan infeksi

akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas waktu 14

hari diambil untuk menunjukkan berlangsungnya proses akut, walaupun pada

beberapa kasus proses ini lebih dari 14 hari, misalnya pertusis.

Menurut Depkes RI (2002), ISPA adalah penyakit infeksi akut yang

menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari

hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

adneksanya. Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan

paru-paru (alveoli).

2.4.2 Klasifikasi ISPA dan Pneumonia

a. Klasifikasi ISPA

Menurut Depkes RI (1988), ISPA terdiri dari sekelompok kondisi

klinik dengan etiologi dan perjalanan klinik yang berbeda. ISPA

diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Berdasarkan lokasi anatomik :

a. Infeksi saluran pernafasan akut bagian atas

Infeksi akut yang menyerang hidung sampai epiglotis dengan organ

adneksanya, misalnya pada : rinitis akut, faringitis akut, sinusitis akut.

b. Infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah

23

Page 17: Bab II Tinjauan Pustaka

Infeksi akut yang menyerang organ saluran pernafasan mulai dari

bagian bawah epiglotis sampai alveoli paru, misalnya trakeitis,

bronkitis akut, bronkiolitis serta pneumonia.

2. Berdasarkan etiologi :

ISPA karena virus misalnya golongan Miksovirus (termasuk

didalamnya virus influenza, virus parainfluenza dan virus campak),

Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma serta Herpes virus.

ISPA karena bakteri misalnya Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus,

Pneumokokus, Hemofilus influenza, Bordetela pertusis,

Korinebakterium difteria.

3. Berdasarkan derajat keparahan penyakit

ISPA ringan penatalaksanaannya cukup dengan tindakan

penunjang, tanpa pengobatan Antimikroba, ISPA sedang

penatalaksanaannya memerlukan pengobatan dengan Antimikroba,

tetapi tidak perlu dirawat cukup berobat jalan dan ISPA berat penderita

harus dirawat di Rumah Sakit atau Puskesmas dengan sarana perawatan.

b. Klasifikasi Pneumonia

Menurut Depkes RI (2002), dalam penentuan klasifikasi penyakit

dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun

dan kelompok untuk umur < 2 bulan. Untuk kelompok umur 2 bulan - < 5

tahun klasifikasi dibagi atas pneumonia berat, pneumonia dan bukan

pneumonia. Untuk kelompok umur < 2 bulan klasifikasi dibagi atas

pneumonia berat dan bukan pneumonia.

24

Page 18: Bab II Tinjauan Pustaka

2.4.3 Tanda -Tanda ISPA dan Pneumonia

a. Tanda dan gejala ISPA

ISPA ringan seperti batuk, pilek, serak dengan atau tanpa demam,

termasuk juga keluarnya cairan dari telinga (congekan) yang lebih dari 2

minggu tanpa rasa sakit pada telinga, ISPA sedang seperti tanda-tanda

ISPA ringan ditambah dengan satu atau lebih gejala seperti nafas cepat (50

kali/menit) merupakan tanda utama, wheezing (napas berbunyi), cuping

hidung kembang kempis saat bernapas, suhu tubuh 39oC, sakit telinga

keluar cairan dari telinga (congekan) yang belum lebih dari 2 minggu dan

campak, serta ISPA berat seperti tanda dan gejala ISPA ringan dan sedang

ditambah dengan gejala penarikan dada ke dalam pada saat penarikan

nafas (chest indrawing), stridor (pernapasan ngorok), tidak mau atau tidak

mampu makan, kulit kebiru-biruan, kejang, dehidrasi, kesadaran menurun

dan terdapatnya selaput difteri (Depkes RI, 1988).

b. Tanda dan gejala pneumonia

Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau

kesukaran bernafas disertai nafas atau tarikan dinding nafas dada bagian

bawah ke dalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan - < 5 tahun.

Untuk kelompok umur < 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai

dengan adanya nafas cepat (fast breathing), yaitu frekuensi pernafasan

sebanyak 60 kali per menit atau lebih atau adanya tarikan yang kuat pada

dinding bagian bawah kedalam (severe chest indrawing) (Depkes RI,

2002).

25

Page 19: Bab II Tinjauan Pustaka

Klasifikasi pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau

kesukaran bernafas disertai adanya nafas sesuai umur. Batas nafas cepat

(fast breathing) pada anak usia 2 bulan - < 1 tahun adalah 50 kali per menit

dan 40 kali per menit untuk anak usia 1 – < 5 tahun (Depkes RI, 2002).

Klasifikasi bukan pneumonia mencakup kelompok penderita balita

dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas

dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke

dalam (Depkes RI, 2002).

2.4.4 Etiologi

a. Etiologi ISPA

Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan

riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus Streptokokus,

Stafilakokus, Pnemokokus, Hemofilus, Bordetella dan Korinebakterium.

Virus penyebab ISPA antara lain adalah Miksovirus, Adenovirus,

Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma serta Herpesvirus (Depkes RI,

2002).

b. Etiologi Pneumonia

Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa di negara

berkembang Streptokokus pneumonia dan Hemofilus influenza merupakan

bakteri yang selalu ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu

73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan

di negara maju, pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus

(Depkes RI, 2002).

26

Page 20: Bab II Tinjauan Pustaka

2.4.5 Faktor Risiko

Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai negara termasuk Indonesia

dan berbagai publik ilmiah, dilaporkan berbagai faktor baik yang

meningkatkan insiden (morbiditas) maupun kematian (mortalitas) akibat

pneumonia (Depkes RI, 2002).

Faktor risiko yang meningkatkan insidens pneumonia antara lain : umur

kurang 2 bulan, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI

memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak

memadai dan defisiensi vitamin A.

Faktor risiko yang meningkatkan angka kematian pneumonia antara

lain : umur kurang 2 bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat

badan lahir rendah, tingkat pengetahuan ibu rendah, tingkat jangkauan

pelayanan kesehatan rendah, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak

memadai, menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat dalam

praktek pencarian pengobatan yang salah.

2.4.6 Pencegahan Penyakit ISPA

Pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain :

menjaga sirkulasi udara bersih dalam ruangan dengan membuka jendela

(ventilasi cukup), menjaga kebersihan rumah dan lingkungan sekitar, hindari

polusi udara dalam rumah dan lingkungan sekitar, hindari jumlah hunian

dalam suatu kamar tidur tidak lebih dari 3 orang, memplester lantai rumah

(Dwienativa, 2006).

27

Page 21: Bab II Tinjauan Pustaka

Usaha pencegahan penyakit ISPA (pneumonia) antara lain : mintalah

imunisasi lengkap untuk bayi (campak, difteri, pertusis), berikan makanan

bergizi setiap hari pada balita, jaga kebersihan rumah dan lingkungan,

mengurangi polusi udara di dalam atau di luar rumah, jauhkan balita dari

penderita batuk, hindarkan anak menghisap debu atau asap (seperti asap rokok

dan asap dapur), usahakan rumah dapar berganti udara (buka jendela, buat

lubang angin di setiap ruangan) atau ventilasi dan sirkulasi udara bersih yang

memadai serta pemberian ASI eksklusif (Gustini, 2007).

2.4.7 Penatalaksanaan Kasus ISPA

Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk

standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi

penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi

penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan

kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman

sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi penderita ISPA.

Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan (Rasmaliah, 2006)

sebagai berikut :

a. Pemeriksaan

Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit anak

dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada ibunya, melihat dan

mendengarkan anak. Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak

menangis (bila menangis akan meningkatkan frekuensi nafas), untuk ini

diusahakan agar anak tetap dipangku oleh ibunya. Menghitung nafas tanpa

28

Page 22: Bab II Tinjauan Pustaka

membuka baju anak. Bila baju anak tebal, mungkin perlu membuka sedikit

untuk melihat gerakan dada. Untuk melihat tarikan dada bagian bawah, baju

anak harus dibuka sedikit. Tanpa pemeriksaan auskultasi dengan steteskop

penyakit pneumonia dapat didiagnosis dan diklasifikasikan.

b. Pengobatan

1. Pneumonia berat

Dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigen dan

sebagainya.

2. Pneumonia

Diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak

mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian

kotrimoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat pengganti

ampisilin, amoksilin atau penisilin prokain.

3. Bukan pneumonia

Tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah, untuk

batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang

tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein, dekstrometofan

dan antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu

parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan

tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran

kelenjar getah bening di leher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh

kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10

hari.

29

Page 23: Bab II Tinjauan Pustaka

c. Perawatan dirumah

Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi

anaknya yang menderita ISPA :

1. Mengatasi panas (demam)

Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam diatasi dengan

memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan

dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6

jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan

dosisnya, kemudian digerus dan diminum. Memberikan kompres, dengan

menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).

2. Mengatasi batuk

Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu

jeruk nipis ½ sendok teh di campur dengan kecap atau madu ½ sendok

teh, diberikan tiga kali sehari.

3. Pemberian makanan

Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang

yang lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI

pada bayi yang menyusui tetap diteruskan.

4. Pemberian minuman

Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih

banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak,

kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.

Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan

rapat, lebih-lebih pada anak yang demam. Jika pilek, bersihkan hidung

30

Page 24: Bab II Tinjauan Pustaka

yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindarkan

komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat tinggal yang

sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama

perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk

membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang

mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas usahakan agar obat

tersebut diberikan dengan benar selama 5 hari penuh. Dan untuk

penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak

harus dibawa kembali ke petugas kesehatan untuk dilakukan pemeriksaan

ulang.

d. Pencegahan dan pemberantasan

Pencegahan dapat dilakukan dengan antara lain : menjaga keadaan

gizi agar tetap sehat, immunisasi, menjaga kebersihan perorangan dan

lingkungan serta mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.

Menurut Rasmaliah (2006), pemberantasan yang dapat dilakukan

adalah :

a. Penyuluhan kesehatan yang terutama ditujukan pada para ibu

b. Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus-kasus pneumonia

berat/penyakit dengan tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh

perawat/paramedik dan merujuknya ke rumah sakit bila dianggap perlu.

c. Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa dirujuk

ke rumah sakit.

31

Page 25: Bab II Tinjauan Pustaka

d. Bersama dengan staf Puskesmas memberikan penyuluhan kepada ibu-

ibu yang mempunyai anak balita perihal pengenalan tanda-tanda

penyakit pneumonia serta penunjang di rumah.

e. Melatih semua petugas kesehatan di wilayah kerja Puskesmas yang

diberi wewenang mengobati penderita penyakit ISPA.

f. Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumonia serta dapat

memberikan penyuluhan terhadap ibu-ibu tentang penyakit ISPA.

g. Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi

keberhasilan pemberantasan penyakit ISPA, mendeteksi hambatan yang

ada serta menanggulanginya termasuk aktifitas pencatatan dan

pelaporan serta pencapaian target.

h. Pengelolaan kasus ysng disempurnakan dan immunisasi

2.5 Instrumen Penelitian

2.5.1 Wawancara

Wawancara mendalam atau indepth interview merupakan salah satu

teknik pengumpulan data kualitatif, dimana wawancara dilakukan antara

kepala Puskesmas, kepala unit UKP, kepala MTBS dan pengelola P2 ISPA di

Puskesmas Jayapura serta ahli P2 ISPA Dati II/Provinsi dengan pewawancara

yang terampil, yang ditandai dengan penggalian informasi yang mendalam

dan menggunakan pertanyaan terbuka.

Penggunaan wawancara mendalam sangat baik dilakukan pada

keadaan-keadaan seperti masalah sensitif, masalah rumit, tekanan kelompok

sebaya, respon terpencar, dan status responden. Dari hal-hal tersebut, untuk

32

Page 26: Bab II Tinjauan Pustaka

memperoleh informasi akan sulit dengan teknik Focus Group Discussion

(FGD) (Kresno dkk, 1999).

Kelemahan dalam wawancara mendalam seperti dilakukan diberbagai

tempat, kesenjangan pengetahuan responden dan pewawancara, observasi dan

umpan balik terbatas.

2.5.2 Focus Group Discussion (FGD)

Focus Group Discussion (FGD) adalah salah satu teknik dalam

mengumpulkan data kualitatif, dimana peserta diskusi yaitu bidan dan perawat

diajak berdiskusi dengan pengarahan dari seorang fasilitator (peneliti)

mengenai pelaksanaan program P2 ISPA khusus untuk pola tatalaksana

penderita penyakit ISPA.

Dalam pelaksanaan FGD terdapat karakteristik (Kresno dkk, 1999) :

a. Peserta terdiri dari 6 – 12 orang

Kelompok harus cukup kecil sehingga memungkinkan setiap

individu untuk mendapat kesempatan mengeluarkan pendapatnya, tetapi

disamping itu juga cukup memperoleh pandangan anggota yang bervariasi.

Dalam pelaksanaan FGD ini, pesertanya terdiri dari 3 bidan desa dan 3

perawat.

b. Peserta tidak saling mengenal

Tujuan dari FGD ini adalah memperoleh informasi, khusus dari

tenaga pelaksana dari program P2 ISPA. Untuk peserta FGD mempunyai

ciri-ciri yang sama. Tujuan yang sama ini ditentukan oleh tujuan dari

33

Page 27: Bab II Tinjauan Pustaka

penelitian, dimana ciri yang sama ini digunakan dalam pemilihan peserta

FGD.

Peserta FGD terdiri dari orang yang tidak saling kenal mengenal.

Tapi, pada masyarakat pedesaan karakteristik ini susah dilakukan karena

hubungan kekerabatan dan sosialisasi antar masyarakat masih kental. Untuk

mengatasinya, dipilih peserta yang sehari-harinya tidak berinteraksi secara

teratur dalam kelompok yang sama. Pentingnya peran selaku moderator

untuk dapat menjalankan diskusi supaya tidak ada pendapat yang dominan

dari peserta.

c. FGD adalah suatu proses pengumpulan data

FGD bertujuan untuk mengumpulkan data mengenai persepsi peserta

mengenai pelaksanaan program P2 ISPA.

Keuntungan dan kerugian FGD seperti :

a. Keuntungan

1. Sinergisme

Yaitu suatu kelompok mampu menghasilkan informasi, ide dan

pandangan yang lebih luas.

2. Snowballing

Komentar yang didapat secara acak dari responden dapat memacu

mulainya suatu reaksi rantai respon yang menghasilkan ide baru.

3. Stimulation

Pengalaman dalam kelompok sendiri merupakan sesuatu yang

menyenangkan dan mendorong partisipasi.

34

Page 28: Bab II Tinjauan Pustaka

4. Security

Respon merasa aman didalam kelompok dan merasa lebih bebas

mengutarakan perasaan/pikiran.

5. Spontanitas

Respon tidak diharapkan menjawab setiap pertanyaan, karena itu

diharapkan bahwa jawaban lebih memiliki arti, karena melalui suatu

proses kelompok.

b. Kerugian FGD

Teknik FGD mudah dilakukan, tetapi sulit melakukan interpretasi

data dan memerlukan fasilitator/moderator yang memiliki keterampilan

tinggi (Kresno dkk, 1999).

35