bab ii tinjauan pustaka
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen
2.1.1 Batasan Manajemen
Menurut Muninjaya (1999), batasan manajemen adalah ilmu atau seni
tentang bagaimana menggunakan sumber daya secara efisien, efektif, dan
rasional untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Berdasarkan batasan tersebut, manajemen mengandung tiga prinsip
pokok yang menjadi ciri utama penerapannya yaitu efisien dalam pemanfaatan
sumber daya, efektif dalam memilih alternatif kegiatan untuk mencapai tujuan
organisasi serta rasional dalam pengambilan keputusan manajerial.
2.1.2 Penerapan Manajemen Di Bidang Kesehatan
Manajemen adalah ilmu terapan yang dapat dimanfaatkan di dalam
berbagai jenis organisasi untuk membantu manajer memecahkan masalah
organisasi. Atas dasar pemikiran tersebut, manajemen juga dapat diterapkan di
bidang kesehatan untuk membantu manajer organisasi kesehatan memecahkan
masalah kesehatan masyarakat (Muninjaya, 1999).
Manajemen kesehatan harus dikembangkan di tiap-tiap organisasi
kesehatan di Indonesia seperti Kantor Depkes, Dinas kesehatan di daerah,
Rumah Sakit, dan Puskesmas dan jajarannya. Untuk memahami penerapan
manajemen kesehatan di Rumah Sakit, Dinas Kesehatan dan Puskesmas perlu
dilakukan kajian proses penyusunan rencana tahunan Depkes dan Dinas
Kesehatan di daerah, baik yang menggunakan Anggaran Pembangunan
8
Depkes Pusat (APBN) maupun Anggaran Pembangunan Daerah (APBD) baik
yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
(DAK) dan Pendapatan Asli Daerah (PAK). Selain itu rapat rencana kerja
bulanan yang disusun dalam bentuk rencana kerja operasional, prosedur tetap
(protap) pelayanan kesehatan, koordinasi dan komunikasi melalui pertemuan
rutin, mekanisme supervisi yang dilaksanakan oleh pimpinan, sistem
pencatatan dan pelaporan (rekaman data) yang dibuat oleh masing-masing
organisasi kesehatan atau unit pelayanan RS dan sistem pencatatan dan
pelaporan kegiatan program di Dinkes Provinsi dan Kabupaten/Kota
(Muninjaya, 1999).
Khusus untuk tingkat Puskesmas, penerapan manajemen dapat dipelajari
melalui perencanaan yang disusun setiap lima tahun, pembagian dan uraian
tugas staf Puskesmas sesuai dengan masing-masing tugas pokoknya.
Pelaksanaan tugas pokok staf di Puskesmas bersifat koordinatif dan integratif.
Lokakarya Mini Puskesmas adalah bentuk penerapan manajemen yang
sifatnya koordinatif untuk pengembangan pelaksanaan tugas pokok staf dalam
setahun. Local Area Monitoring (LAM) atau Pemantauan Wilayah Setempat
(PWS) adalah sistem pemantauan yang dikembangkan di wilayah kerja
Puskesmas untuk mengetahui perkembangan masalah kesehatan masyarakat
dan bentuk intervensinya (Muninjaya, 1999).
2.1.3 Ruang Lingkup Manajemen Kesehatan
Dalam bidang kesehatan, jenis manajemen disesuaikan dengan ruang
lingkup kegiatan dan sumber daya yang dikelolanya. Bidang yang mengurus
9
personalia (manajemen personalia), keuangan (manajemen keuangan), logistik
obat dan peralatan (manajemen logistik), pelayanan kesehatan (manajemen
pelayanan kesehatan) dan sistem informasi manajemen (Muninjaya, 1999).
2.2 Program Pelayanan Terpadu
2.2.1 Sistem Pelayanan Terpadu
Sistem adalah rangkaian komponen yang berhubungan satu sama lain
dan mempunyai suatu tujuan yang jelas. Komponen suatu sistem terdiri dari
input, proses, output, effect, outcome dan mekanisme umpan balik. Hubungan
antara komponen-komponen sistem ini berlangsung dalam satu tatanan
lingkungan (Muninjaya, 1999).
Komponen-komponen dari sistem :
a. Input, yaitu sumber daya atau masukan yang dikonsumsikan oleh suatu
sistem. Sumber daya suatu sistem adalah man, money, material, method,
minute, dan market, disingkat dengan 6 M.
b. Proses, yaitu semua kegiatan sistem. Melalui proses akan diubah input
menjadi output.
c. Output, yaitu hasil langsung (keluaran) suatu sistem. Yang menjadi output
dalam sistem pelayanan terpadu adalah produk program pelayanan
terpadu.
d. Effect, yaitu hasil tidak langsung yang pertama dari proses suatu sistem.
Pada umumnya effect suatu sistem dapat dikaji pada perubahan
pengetahuan, sikap, perilaku kelompok masyarakat yang dijadikan sasaran
program.
10
e. Outcome, yaitu dampak atau hasil tidak langsung dari proses suatu sistem.
2.2.2 Manajemen Program Pelayanan Terpadu
Fungsi manajemen (Muninjaya, 1999) dalam melaksanakan program
pelayanan terpadu :
a. Perencanaan
Perencanaan kesehatan adalah sebuah proses untuk merumuskan
masalah-masalah kesehatan yang berkembang di masyarakat, menentukan
kebutuhan dan sumber daya yang tersedia, menetapkan tujuan program
yang paling pokok dan menyusun langkah-langkah praktis untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan tersebut.
1. Manfaat Perencanaan
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh oleh staf dan
pimpinan jika organisasi memiliki sebuah perencanaan. Mereka akan
mengetahui :
a. Tujuan yang ingin dicapai organisasi dan cara mencapainya.
b. Jenis dan struktur organisasi yang dibutuhkan.
c. Jenis dan jumlah staf yang diinginkan, dan uraian tugasnya.
d. Sejauh mana efektivitas kepemimpinan dan pengarahan yang
diperlukan.
e. Bentuk dan standar pengawasan yang akan dilakukan.
Selain itu, dengan perencanaan akan diperoleh keuntungan sebagai
berikut :
11
a. Perencanaan akan menyebabkan berbagai macam aktifitas organisasi
untuk mencapai tujuan tertentu dan dapat dilakukan secara teratur.
b. Perencanaan akan mengurangi atau menghilangkan jenis pekerjaan
yang tidak produktif.
c. Perencanaan dapat dipakai untuk mengukur hasil kegiatan yang telah
dicapai karena dalam perencanaan ditetapkan berbagai standar.
d. Perencanaan memberikan suatu landasan pokok fungsi manajemen
lainnya, terutama untuk fungsi pengawasan.
Sebaliknya, pimpinan dan staf organisasi juga perlu memahami
bahwa perencanaan juga memiliki kelemahan yaitu :
a. Perencanaan mempunyai keterbatasan mengukur informasi dan
fakta-fakta di masa yang akan datang dengan cepat.
b. Perencanaan yang baik memerlukan sejumlah dana.
c. Perencanaan mempunyai hambatan psikologis bagi pimpinan dan
staf karena harus menunggu dan melihat hasil yang akan dicapai.
d. Perencanaan menghambat timbulnya inisiatif. Gagasan baru untuk
mengadakan perubahan harus ditunda sampai tahap perencanaan
berikutnya.
e. Perencanaan juga akan menghambat tindakan baru yang harus
diambil oleh staf.
2. Langkah-Langkah Perencanaan
Sebagai suatu proses, perencanaan kesehatan mempunyai
beberapa langkah meliputi : analisis situasi, mengidentifikasi masalah
dan prioritas masalah, menentukan tujuan program, mengkaji hambatan
12
dan kelemahan program, dan menyusun Rencana Kerja Operasional
(RKO).
b. Pengorganisasian
Pengorganisasian adalah langkah untuk menetapkan, menggolong-
golongkan dan mengatur berbagai macam kegiatan, menetapkan tugas-
tugas pokok dan wewenang, dan pendelegasian wewenang oleh pimpinan
kepada staf dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Manfaat pengorganisasian :
1. Pembagian tugas untuk perorangan dan kelompok. Tugas pokok staf dan
prosedur kerja merupakan dokumen dari fungsi pengorganisasian,
digunakan sebagai panduan kinerja staf.
2. Hubungan organisatoris antar manusia yang menjadi anggota atau staf
sebuah organisasi. Hubungan ini akan terlihat pada struktur organisasi.
3. Pendelegasian wewenang. Manajer atau pimpinan organisasi akan
melimpahkan wewenang kepada staf sesuai dengan tugas-tugas pokok
yang diberikan kepada mereka.
4. Pemanfaatan staf dan fasilitas fisik yang dimiliki organisasi. Tugas staf
dan pemanfaatan fasilitas fisik harus diatur dan diarahkan semaksimal
mungkin untuk membantu staf, baik secara individual maupun kelompok
mencapai tujuan organisasi.
c. Pergerakan dan Pelaksanaan
Di dalam beberapa buku manajemen sering dijumpai istilah lain
untuk fungsi pergerakan dan pelaksanaan yaitu actuating (memberi
bimbingan), motivating (membangkitkan motivasi), directing (memberikan
13
arah), influencing (mempengaruhi), commanding (memberikan komando
atau perintah). Beberapa istilah dikemas untuk fungsi aktuasi karena istilah
tersebut dianggap mempunyai pengertian yang sama yaitu menggerakkan
dan mengarahkan pelaksanaan program.
Tujuan fungsi aktuasi antara lain : menciptakan kerja sama yang lebih
efisien, mengembangkan kemampuan dan keterampilan staf,
menumbuhkan rasa memiliki dan menyukai pekerjaan, mengusahakan
suasana lingkungan kerja yang meningkatkan motivasi dan prestasi kerja
staf dan membuat organisasi berkembang secara dinamis.
d. Pengawasan dan Pengendalian
Dua jenis standar pengawasan :
1. Standar norma
Standar ini dibuat berdasarkan pengalaman staf melaksanakan
kegiatan program yang sejenis atau yang dilakukan dalam situasi yang
sama di masa lalu.
2. Standar kriteria
Standar ini diterapkan untuk kegiatan pelayanan oleh petugas
yang sudah mendapat pelatihan. Standar ini terkait dengan tingkat
profesionalisme staf.
Manfaat pengawasan :
1. Dapat mengetahui sejauh mana kegiatan program sudah dilaksanakan
oleh staf, apakah sesuai dengan standar atau rencana kerja, apakah
sumber dayanya (staf, sarana dan dana dan sebagainya) sudah
digunakan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, fungsi
14
pengawasan dan pengendalian bermanfaat untuk meningkatkan
efisiensi kegiatan program.
2. Dapat mengetahui adanya penyimpangan pada pemahaman staf
melaksanakan tugas-tugasnya.
3. Dapat mengetahui apakah waktu dan sumber daya lainnya mencukupi
kebutuhan dan telah dimanfaatkan secara efisien.
4. Dapat mengetahui sebab-sebab terjadinya penyimpangan.
5. Dapat mengetahui staf yang perlu diberikan penghargaan,
dipromosikan atau diberi pelatihan lanjutan.
e. Evaluasi
Evaluasi ada beberapa macam :
1. Evaluasi terhadap input, dilaksanakan sebelum kegiatan sebuah
program dilaksanakan, bertujuan untuk mengetahui apakah sumber
daya yang dimanfaatkan sudah sesuai dengan standar dan kebutuhan.
Kegiatan evaluasi ini juga bersifat pencegahan.
2. Evaluasi proses dilaksanakan pada saat kegiatan sedang berlangsung,
untuk mengetahui apakah metode yang dipilih sudah efektif,
bagaimana dengan motivasi staf dan komunikasi diantara staf dan
sebagainya.
3. Evaluasi terhadap output (summative evaluation, impact evaluation)
dilaksanakan setelah pekerjaan selesai dilaksanakan untuk mengetahui
output, effect, atau outcome sudah sesuai dengan target yang
ditetapkan sebelumnya.
15
2.3 Kegiatan Pokok Program Pemberantasan Penyakit ISPA
Dalam pelaksanaannya kegiatan P2 ISPA mengacu kepada pendekatan
Manajemen Pemberantasan Penyakit Menular Berbasis Wilayah atau dengan kata
lain diarahkan menanggulangi secara komprehensif faktor-faktor yang berhubungan
dengan kesakitan dan kematian balita termasuk faktor lingkungan, faktor resiko
kependudukan dan penanganan kasus yang dilakukan secara terpadu dengan mitra
kerja terkait yang didukung surveilans yang baik serta tercermin dalam perencanaan
dan penganggaran secara terpadu (P2KT) (Depkes RI, 2002).
Kegiatan-kegiatan pokok program ISPA antara lain :
1. Promosi Penanggulangan Pneumonia Balita
Promosi penanggulangan pneumonia balita diartikan sebagai upaya
pemberdayaan masyarakat agar mau dan mampu serta mandiri untuk
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki. Disamping itu promosi
penanggulangan pneumonia balita dimaksudkan menciptakan iklim untuk
berkembang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan terutama dalam
penanggulangan pneumonia balita (Depkes RI, 2002).
Promosi P2 ISPA di Indonesia mencakup kegiatan advokasi, bina suasana
dan gerakan masyarakat. Tujuan yang diharapkan dari kegiatan promosi
pneumonia balita secara umum adalah meningkatnya pengetahuan, sikap dan
tindakan masyarakat dalam upaya penanggulangan pneumonia balita (Depkes RI,
2002).
16
Sasaran promosi dalam P2 ISPA mencakup :
a. Sasaran Primer
Sasaran primer adalah individu atau kelompok yang diharapkan berubah
perilakunya dengan dilaksanakannya promosi penanggulangan pneumonia
balita. Sasaran primer tersebut antara lain : ibu balita, pengasuh balita, ayah
balita, kakek/nenek balita, keluarga serumah balita, tetangga dan masyarakat.
Sasaran ibu balita merupakan sasaran utama, mengingat ibu mempunyai
peranan besar dalam perawatan anaknya. Ibu pada umumnya merupakan
orang pertama yang mengetahui gejala atau tanda penyakit pada anak.
Disamping itu peranan ayah juga ikut menentukan dalam pencarian
pengobatan (Depkes RI, 2002).
b. Sasaran Sekunder
Sasaran sekunder adalah individu, kelompok dan organisasi yang
mempengaruhi perubahan perilaku sasaran primer. Sasaran sekunder tersebut
meliputi : petugas kesehatan, petugas lintas program, petugas lintas sektor,
tokoh masyarakat dan tokoh agama.
c. Sasaran Tersier
Sasaran tersier adalah individu, kelompok dan organisasi yang memiliki
kewenangan untuk membuat kebijakan dan keputusan dalam penyelenggaraan
promosi penanggulangan pneumonia balita. Sasaran tersier tersebut adalah :
kepala wilayah/daerah, pimpinan dan atau anggota DPRD, pimpinan dan atau
staf Bappeda, penyandang dana (lokal, nasional dan internasional) dan
pimpinan media massa.
17
2. Kemitraan
Kemitraan merupakan faktor penting untuk menunjang keberhasilan
program pembangunan. Pembangunan kemitraan dalam program P2 ISPA
diarahkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat, peran lintas program dan
lintas sektor terkait serta peran pengambil keputusan termasuk penyandang dana.
Dengan kata lain intervensi P2 ISPA tidak hanya tertuju pada penderita saja tetapi
juga terhadap faktor risiko (lingkungan dan kependudukan) dan faktor lain yang
berpengaruh melalui dukungan peran aktif sektor lain yang kompeten (Depkes
RI, 2002).
Unsur kemitraan sebagai bagian dalam penanggulangan pneumonia balita
yang memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan dan memberikan
pelayanan kesehatan yang terbaik bagi balita. Kerjasama dan peran serta lintas
program dan lintas sektoral mutlak diperlukan untuk ikut mendeteksi secara dini
pneumonia balita dengan menyebarluaskan kepada masyarakat melalui berbagai
cara komunikasi promosi (Depkes RI, 2002).
Tujuaan kemitraan adalah untuk meningkatkan peran institusi lintas
program atau sektor, sektor swasta termasuk organisasi profesional, sarana
pelayanan kesehatan dasar swasta dan masyarakat sehingga sadar, memahami,
mau, sepakat, dan mampu menyelenggarakan intensifikasi pemberantasan
penyakit menular terutama pneumonia secara berkesinambungan (Depkes RI,
2002).
3. Peningkatan Penemuan dan Tatalaksana Kasus
Dalam kebijakan dan strategi program P2 ISPA, penemuan dan
tatalaksana penderita dilaksanakan di rumah tangga dan masyarakat (keluarga,
18
kader dan Posyandu), di tingkat pelayanan kesehatan tingkat pertama atau dasar
(Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan pelayanan kesehatan di desa) dan di
sarana kesehatan rujukan (rumah sakit). Dengan demikian yang melaksanakan
kegiatan secara langsung adalah tenaga kesehatan di sarana-sarana kesehatan
tersebut dan kader Posyandu di masyarakat (Depkes RI, 2002).
Penemuan penderita dilaksanakan melalui kegiatan yang menunjang upaya
masyarakat untuk mencari pengobatan kasus pneumonia secara tepat dan deteksi
dini oleh petugas di sarana kesehatan. Untuk itu dimungkinkan memperluas
sasaran kegiatan penemuan penderita pneumonia ke berbagai sarana pelayanan
kesehatan (sarkes), tidak hanya sarkes milik pemerintah namun juga sarkes
swasta (praktek dokter, poliklinik swasta, RS Swasta) (Depkes RI, 2002).
Sedangkan tatalaksana kasus ISPA dilaksanakan melalui pendekatan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di sarana kesehatan tingkat dasar.
Disamping itu perlu dilakukan audit kasus dalam upaya peningkatan kualitas
tatalaksana kasus yang dilakukan dengan koordinasi tingkat Kabupaten/Kota
(Depkes RI, 2002).
4. Peningkatan Kualitas Sumber Daya
a. Sumber daya manusia
Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat dalam program P2 ISPA
meliputi kader, petugas kesehatan yang memberikan tatalaksana ISPA di
sarana pelayanan kesehatan (Polindes, Pustu, Puskesmas, RS, Poli klinik),
pengelola program ISPA di Puskesmas, Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat.
Upaya peningkatan kualitas SDM P2 ISPA dilakukan di berbagai jenjang
melalui kegiatan diantaranya :
19
1. Tingkat Puskesmas antara lain : pelatihan ISPA bagi kader, pelatihan
tatalaksana penderita (diintegrasikan dalam pelatihan MTBS), dan
pelatihan autopsi verbal.
2. Tingkat Kabupaten antara lain : pelatihan tatalaksana penderita
(diintegrasikan dalam pelatihan MTBS), pelatihan manajemen program P2
ISPA, pelatihan autopsi verbal, pelatihan audit kasus dan pelatihan audit
manajemen.
3. Tingkat Propinsi antara lain : pelatihan tatalaksana penderita
(diintegrasikan dalam pelatihan MTBS), pelatihan manajemen program P2
ISPA, pelatihan autopsi verbal, pelatihan audit kasus, pelatihan audit
manajemen, pelatihan promosi P2 ISPA dan pelatihan tatalaksana kasus
ISPA balita di sarana rujukan.
b. Logistik
Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan
program P2 ISPA. Aspek logistik P2 ISPA mencakup peralatan, bahan dan
sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan program P2
ISPA. Untuk kegiatan komunikasi dan penyebaran informasi, logistik yang
telah disediakan oleh program P2 ISPA meliputi media cetak dan elektronik
(Depkes RI, 2002).
5. Surveilans ISPA
Secara umum surveilans epidemiologi adalah kegiatan yang terus menerus
dan sistematis untuk pengumpulan, pengolahan dan analisis data kesehatan,
untuk menggambarkan dan memantau kejadian-kejadian kesehatan. Surveilans
epidemiologi ISPA diarahkan untuk mendapatkan data dan informasi yang dapat
20
digunakan sebagai landasan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
program pemberantasan ISPA secara efektif dan efisien serta mampu
mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan yang bakal muncul (Depkes RI,
2002).
6. Pemantauan dan Evaluasi
Kegiatan pokok ini terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu pemantauan
(monitoring) dan penilaian (evaluasi).
a. Pemantauan
Pemantauan P2 ISPA dimaksudkan untuk memantau secara teratur
kegiatan dan pelaksanaan program agar dapat diketahui apakah kegiatan
program dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan digariskan
oleh kebijakan program.
b. Evaluasi
Evaluasi P2 ISPA dimaksudkan untuk menilai apakah pencapaian hasil
kegiatan telah memenuhi target yang diharapkan, mengidentifikasi masalah
dan hambatan yang dihadapi serta menyusun langkah-langkah perbaikan
selanjutnya termasuk perencanaan dan penganggaran.
7. Peningkatan Manajemen Program
Aspek manajemen program P2 ISPA yang masih memerlukan perhatian
untuk terus ditingkatkan diantaranya aspek perencanaan, pembiayaan dan
administrasi. Peningkatan manajemen program pada aspek perencanaan
dilakukan melalui penerapan Perencanaan dan Penganggaran Kesehatan Terpadu
(P2KT) dalam perencanaan kegiatan program P2 ISPA. Dalam meningkatkan
manajemen pembiayaan, diupayakan penggalian potensi sumber biaya dari
21
masyarakat, swasta, organisasi non pemerintah dan lembaga-lembaga donor
mengingat kemampuan pemerintah dalam penyediaan biaya untuk program P2
ISPA cukup terbatas (Depkes RI, 2002).
8. Pengembangan Program
Dalam upaya pencapaian tujuan pemberantasan penyakit ISPA khususnya
pneumonia, perlu dilakukan pengembangan program sesuai dengan tuntutan
perkembangan di masyarakat. Pengembangan program P2 ISPA dilakukan
diantaranya melalui kegiatan penelitian, uji coba konsep-konsep intervensi baru
seperti pendekatan tatalaksana penderita, pencegahan dan penanggulangan faktor
risiko baik lingkungan maupun kependudukan, peningkatan kemitraan,
peningkatan manajemen dan sebagainya serta kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya
seperti pertemuan kajian program, seminar, workshop dan sebagainya (Depkes
RI, 2002).
2.4. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)
2.4.1 Pengertian ISPA dan Pneumonia
Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut
dan mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas dalam lokakarya
Nasional ISPA di Cipanas. Dalam lokakarya Nasional ISPA tersebut terdapat
dua pendapat berbeda, pendapat pertama memilih istilah ISPA (Infeksi
Saluran Pernafasan Akut) dan pendapat kedua memilih istilah ISNA ( Infeksi
Saluran Nafas Akut). Pada akhir lokakarya diputuskan untuk memilih istilah
ISPA dan sampai sekarang istilah ini yang digunakan (Depkes RI, 2002)
22
Menurut Depkes RI (1988), Istilah ISPA mengandung 2 unsur yaitu
saluran pernafasan dan akut. Yang dimaksud dengan saluran pernafasan
adalah organ mulai dari hidung sampai alveoli paru beserta organ-organ
adneksanya seperti sinus, ruang telinga tengah dan pleura. Sedangkan infeksi
akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas waktu 14
hari diambil untuk menunjukkan berlangsungnya proses akut, walaupun pada
beberapa kasus proses ini lebih dari 14 hari, misalnya pertusis.
Menurut Depkes RI (2002), ISPA adalah penyakit infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari
hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan
adneksanya. Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan
paru-paru (alveoli).
2.4.2 Klasifikasi ISPA dan Pneumonia
a. Klasifikasi ISPA
Menurut Depkes RI (1988), ISPA terdiri dari sekelompok kondisi
klinik dengan etiologi dan perjalanan klinik yang berbeda. ISPA
diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan lokasi anatomik :
a. Infeksi saluran pernafasan akut bagian atas
Infeksi akut yang menyerang hidung sampai epiglotis dengan organ
adneksanya, misalnya pada : rinitis akut, faringitis akut, sinusitis akut.
b. Infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah
23
Infeksi akut yang menyerang organ saluran pernafasan mulai dari
bagian bawah epiglotis sampai alveoli paru, misalnya trakeitis,
bronkitis akut, bronkiolitis serta pneumonia.
2. Berdasarkan etiologi :
ISPA karena virus misalnya golongan Miksovirus (termasuk
didalamnya virus influenza, virus parainfluenza dan virus campak),
Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma serta Herpes virus.
ISPA karena bakteri misalnya Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus,
Pneumokokus, Hemofilus influenza, Bordetela pertusis,
Korinebakterium difteria.
3. Berdasarkan derajat keparahan penyakit
ISPA ringan penatalaksanaannya cukup dengan tindakan
penunjang, tanpa pengobatan Antimikroba, ISPA sedang
penatalaksanaannya memerlukan pengobatan dengan Antimikroba,
tetapi tidak perlu dirawat cukup berobat jalan dan ISPA berat penderita
harus dirawat di Rumah Sakit atau Puskesmas dengan sarana perawatan.
b. Klasifikasi Pneumonia
Menurut Depkes RI (2002), dalam penentuan klasifikasi penyakit
dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun
dan kelompok untuk umur < 2 bulan. Untuk kelompok umur 2 bulan - < 5
tahun klasifikasi dibagi atas pneumonia berat, pneumonia dan bukan
pneumonia. Untuk kelompok umur < 2 bulan klasifikasi dibagi atas
pneumonia berat dan bukan pneumonia.
24
2.4.3 Tanda -Tanda ISPA dan Pneumonia
a. Tanda dan gejala ISPA
ISPA ringan seperti batuk, pilek, serak dengan atau tanpa demam,
termasuk juga keluarnya cairan dari telinga (congekan) yang lebih dari 2
minggu tanpa rasa sakit pada telinga, ISPA sedang seperti tanda-tanda
ISPA ringan ditambah dengan satu atau lebih gejala seperti nafas cepat (50
kali/menit) merupakan tanda utama, wheezing (napas berbunyi), cuping
hidung kembang kempis saat bernapas, suhu tubuh 39oC, sakit telinga
keluar cairan dari telinga (congekan) yang belum lebih dari 2 minggu dan
campak, serta ISPA berat seperti tanda dan gejala ISPA ringan dan sedang
ditambah dengan gejala penarikan dada ke dalam pada saat penarikan
nafas (chest indrawing), stridor (pernapasan ngorok), tidak mau atau tidak
mampu makan, kulit kebiru-biruan, kejang, dehidrasi, kesadaran menurun
dan terdapatnya selaput difteri (Depkes RI, 1988).
b. Tanda dan gejala pneumonia
Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernafas disertai nafas atau tarikan dinding nafas dada bagian
bawah ke dalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan - < 5 tahun.
Untuk kelompok umur < 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai
dengan adanya nafas cepat (fast breathing), yaitu frekuensi pernafasan
sebanyak 60 kali per menit atau lebih atau adanya tarikan yang kuat pada
dinding bagian bawah kedalam (severe chest indrawing) (Depkes RI,
2002).
25
Klasifikasi pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernafas disertai adanya nafas sesuai umur. Batas nafas cepat
(fast breathing) pada anak usia 2 bulan - < 1 tahun adalah 50 kali per menit
dan 40 kali per menit untuk anak usia 1 – < 5 tahun (Depkes RI, 2002).
Klasifikasi bukan pneumonia mencakup kelompok penderita balita
dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas
dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam (Depkes RI, 2002).
2.4.4 Etiologi
a. Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan
riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus Streptokokus,
Stafilakokus, Pnemokokus, Hemofilus, Bordetella dan Korinebakterium.
Virus penyebab ISPA antara lain adalah Miksovirus, Adenovirus,
Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma serta Herpesvirus (Depkes RI,
2002).
b. Etiologi Pneumonia
Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa di negara
berkembang Streptokokus pneumonia dan Hemofilus influenza merupakan
bakteri yang selalu ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu
73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan
di negara maju, pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus
(Depkes RI, 2002).
26
2.4.5 Faktor Risiko
Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai negara termasuk Indonesia
dan berbagai publik ilmiah, dilaporkan berbagai faktor baik yang
meningkatkan insiden (morbiditas) maupun kematian (mortalitas) akibat
pneumonia (Depkes RI, 2002).
Faktor risiko yang meningkatkan insidens pneumonia antara lain : umur
kurang 2 bulan, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI
memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak
memadai dan defisiensi vitamin A.
Faktor risiko yang meningkatkan angka kematian pneumonia antara
lain : umur kurang 2 bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat
badan lahir rendah, tingkat pengetahuan ibu rendah, tingkat jangkauan
pelayanan kesehatan rendah, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak
memadai, menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat dalam
praktek pencarian pengobatan yang salah.
2.4.6 Pencegahan Penyakit ISPA
Pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain :
menjaga sirkulasi udara bersih dalam ruangan dengan membuka jendela
(ventilasi cukup), menjaga kebersihan rumah dan lingkungan sekitar, hindari
polusi udara dalam rumah dan lingkungan sekitar, hindari jumlah hunian
dalam suatu kamar tidur tidak lebih dari 3 orang, memplester lantai rumah
(Dwienativa, 2006).
27
Usaha pencegahan penyakit ISPA (pneumonia) antara lain : mintalah
imunisasi lengkap untuk bayi (campak, difteri, pertusis), berikan makanan
bergizi setiap hari pada balita, jaga kebersihan rumah dan lingkungan,
mengurangi polusi udara di dalam atau di luar rumah, jauhkan balita dari
penderita batuk, hindarkan anak menghisap debu atau asap (seperti asap rokok
dan asap dapur), usahakan rumah dapar berganti udara (buka jendela, buat
lubang angin di setiap ruangan) atau ventilasi dan sirkulasi udara bersih yang
memadai serta pemberian ASI eksklusif (Gustini, 2007).
2.4.7 Penatalaksanaan Kasus ISPA
Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk
standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi
penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi
penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan
kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman
sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi penderita ISPA.
Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan (Rasmaliah, 2006)
sebagai berikut :
a. Pemeriksaan
Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit anak
dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada ibunya, melihat dan
mendengarkan anak. Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak
menangis (bila menangis akan meningkatkan frekuensi nafas), untuk ini
diusahakan agar anak tetap dipangku oleh ibunya. Menghitung nafas tanpa
28
membuka baju anak. Bila baju anak tebal, mungkin perlu membuka sedikit
untuk melihat gerakan dada. Untuk melihat tarikan dada bagian bawah, baju
anak harus dibuka sedikit. Tanpa pemeriksaan auskultasi dengan steteskop
penyakit pneumonia dapat didiagnosis dan diklasifikasikan.
b. Pengobatan
1. Pneumonia berat
Dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigen dan
sebagainya.
2. Pneumonia
Diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak
mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian
kotrimoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat pengganti
ampisilin, amoksilin atau penisilin prokain.
3. Bukan pneumonia
Tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah, untuk
batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang
tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein, dekstrometofan
dan antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu
parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan
tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran
kelenjar getah bening di leher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh
kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10
hari.
29
c. Perawatan dirumah
Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi
anaknya yang menderita ISPA :
1. Mengatasi panas (demam)
Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam diatasi dengan
memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan
dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6
jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan
dosisnya, kemudian digerus dan diminum. Memberikan kompres, dengan
menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
2. Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu
jeruk nipis ½ sendok teh di campur dengan kecap atau madu ½ sendok
teh, diberikan tiga kali sehari.
3. Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang
yang lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI
pada bayi yang menyusui tetap diteruskan.
4. Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih
banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak,
kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan
rapat, lebih-lebih pada anak yang demam. Jika pilek, bersihkan hidung
30
yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindarkan
komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat tinggal yang
sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama
perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk
membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang
mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas usahakan agar obat
tersebut diberikan dengan benar selama 5 hari penuh. Dan untuk
penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak
harus dibawa kembali ke petugas kesehatan untuk dilakukan pemeriksaan
ulang.
d. Pencegahan dan pemberantasan
Pencegahan dapat dilakukan dengan antara lain : menjaga keadaan
gizi agar tetap sehat, immunisasi, menjaga kebersihan perorangan dan
lingkungan serta mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.
Menurut Rasmaliah (2006), pemberantasan yang dapat dilakukan
adalah :
a. Penyuluhan kesehatan yang terutama ditujukan pada para ibu
b. Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus-kasus pneumonia
berat/penyakit dengan tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh
perawat/paramedik dan merujuknya ke rumah sakit bila dianggap perlu.
c. Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa dirujuk
ke rumah sakit.
31
d. Bersama dengan staf Puskesmas memberikan penyuluhan kepada ibu-
ibu yang mempunyai anak balita perihal pengenalan tanda-tanda
penyakit pneumonia serta penunjang di rumah.
e. Melatih semua petugas kesehatan di wilayah kerja Puskesmas yang
diberi wewenang mengobati penderita penyakit ISPA.
f. Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumonia serta dapat
memberikan penyuluhan terhadap ibu-ibu tentang penyakit ISPA.
g. Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi
keberhasilan pemberantasan penyakit ISPA, mendeteksi hambatan yang
ada serta menanggulanginya termasuk aktifitas pencatatan dan
pelaporan serta pencapaian target.
h. Pengelolaan kasus ysng disempurnakan dan immunisasi
2.5 Instrumen Penelitian
2.5.1 Wawancara
Wawancara mendalam atau indepth interview merupakan salah satu
teknik pengumpulan data kualitatif, dimana wawancara dilakukan antara
kepala Puskesmas, kepala unit UKP, kepala MTBS dan pengelola P2 ISPA di
Puskesmas Jayapura serta ahli P2 ISPA Dati II/Provinsi dengan pewawancara
yang terampil, yang ditandai dengan penggalian informasi yang mendalam
dan menggunakan pertanyaan terbuka.
Penggunaan wawancara mendalam sangat baik dilakukan pada
keadaan-keadaan seperti masalah sensitif, masalah rumit, tekanan kelompok
sebaya, respon terpencar, dan status responden. Dari hal-hal tersebut, untuk
32
memperoleh informasi akan sulit dengan teknik Focus Group Discussion
(FGD) (Kresno dkk, 1999).
Kelemahan dalam wawancara mendalam seperti dilakukan diberbagai
tempat, kesenjangan pengetahuan responden dan pewawancara, observasi dan
umpan balik terbatas.
2.5.2 Focus Group Discussion (FGD)
Focus Group Discussion (FGD) adalah salah satu teknik dalam
mengumpulkan data kualitatif, dimana peserta diskusi yaitu bidan dan perawat
diajak berdiskusi dengan pengarahan dari seorang fasilitator (peneliti)
mengenai pelaksanaan program P2 ISPA khusus untuk pola tatalaksana
penderita penyakit ISPA.
Dalam pelaksanaan FGD terdapat karakteristik (Kresno dkk, 1999) :
a. Peserta terdiri dari 6 – 12 orang
Kelompok harus cukup kecil sehingga memungkinkan setiap
individu untuk mendapat kesempatan mengeluarkan pendapatnya, tetapi
disamping itu juga cukup memperoleh pandangan anggota yang bervariasi.
Dalam pelaksanaan FGD ini, pesertanya terdiri dari 3 bidan desa dan 3
perawat.
b. Peserta tidak saling mengenal
Tujuan dari FGD ini adalah memperoleh informasi, khusus dari
tenaga pelaksana dari program P2 ISPA. Untuk peserta FGD mempunyai
ciri-ciri yang sama. Tujuan yang sama ini ditentukan oleh tujuan dari
33
penelitian, dimana ciri yang sama ini digunakan dalam pemilihan peserta
FGD.
Peserta FGD terdiri dari orang yang tidak saling kenal mengenal.
Tapi, pada masyarakat pedesaan karakteristik ini susah dilakukan karena
hubungan kekerabatan dan sosialisasi antar masyarakat masih kental. Untuk
mengatasinya, dipilih peserta yang sehari-harinya tidak berinteraksi secara
teratur dalam kelompok yang sama. Pentingnya peran selaku moderator
untuk dapat menjalankan diskusi supaya tidak ada pendapat yang dominan
dari peserta.
c. FGD adalah suatu proses pengumpulan data
FGD bertujuan untuk mengumpulkan data mengenai persepsi peserta
mengenai pelaksanaan program P2 ISPA.
Keuntungan dan kerugian FGD seperti :
a. Keuntungan
1. Sinergisme
Yaitu suatu kelompok mampu menghasilkan informasi, ide dan
pandangan yang lebih luas.
2. Snowballing
Komentar yang didapat secara acak dari responden dapat memacu
mulainya suatu reaksi rantai respon yang menghasilkan ide baru.
3. Stimulation
Pengalaman dalam kelompok sendiri merupakan sesuatu yang
menyenangkan dan mendorong partisipasi.
34
4. Security
Respon merasa aman didalam kelompok dan merasa lebih bebas
mengutarakan perasaan/pikiran.
5. Spontanitas
Respon tidak diharapkan menjawab setiap pertanyaan, karena itu
diharapkan bahwa jawaban lebih memiliki arti, karena melalui suatu
proses kelompok.
b. Kerugian FGD
Teknik FGD mudah dilakukan, tetapi sulit melakukan interpretasi
data dan memerlukan fasilitator/moderator yang memiliki keterampilan
tinggi (Kresno dkk, 1999).
35