bab ii tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · 2.1.2 etiologi diabetes melitus kelainan yang...

34
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu bentuk penyakit yang menimpa kira-kira 2% populasi, dan kurang lebih 1 diantara 10.000 anak. DM dapat didefinisikan sebagai defisiensi insulin absolut atau relatif yang menimbulkan cacat pemakaian karbohidrat dengan meningkatnya kadar gula darah seluruhnya. Kadar gula darah dapat dideteksi dengan status berpuasa pada kadar lebih dari 6,7 mmol/l (120 mg/dl) atau 2 jam sesudah dosis 75 g glukosa oral dengan kadar lebih 10 mmol/l (180 mg/dl) (Spector 1993). Pendekatan terminologi menurut Misnadiarly (2006), DM merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia yaitu kondisi tubuh dengan kadar glukosa darah melebihi nilai normal. Kadar glukosa darah lebih dari 200 mg/dl, dan kadar glukosa darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl pada manusia dianggap sebagai batas DM. Saat ambang glukosa dalam ginjal berlebih, glukosa akan keluar melalui urin (glukosuria) dan menyebabkan diuresis osmotik (poliuria), dehidrasi serta peningkatan pemasukan cairan (polidipsia) (Dalimartha 1997). DM menduduki peringkat keempat pada daftar ranking pembunuh manusia. Kongres Federasi Diabetes Internasional di Paris tahun 2003 mengungkapkan bahwa sekitar 194 juta orang di dunia mengidap penyakit ini. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada tahun 2025 jumlah penderitanya akan melonjak sampai 333 juta orang. Di Indonesia predikat diabetesi mengenai lebih dari 2,5 juta orang dan diperkirakan terus bertambah (Mistra 2004). Pengaruh yang menonjol dari ketiadaan insulin diduga diakibatkan terutama oleh ketidakmampuan glukosa untuk memasuki sel-sel tubuh vital seperti otot dan hati tanpa insulin. Sebagai akibatnya glukosa darah meningkat, glukosa muncul dalam urin dan terdapat metabolisme lemak yang berlebihan untuk mengganti karbohidrat yang tidak lagi tersedia. Pemecahan lipid ini dapat berlanjut pada akumulasi asam keton yang dapat berpengaruh jelek terhadap otak dan menimbulkan koma (Spector 1993).

Upload: vohanh

Post on 02-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu bentuk penyakit yang

menimpa kira-kira 2% populasi, dan kurang lebih 1 diantara 10.000 anak. DM

dapat didefinisikan sebagai defisiensi insulin absolut atau relatif yang

menimbulkan cacat pemakaian karbohidrat dengan meningkatnya kadar gula

darah seluruhnya. Kadar gula darah dapat dideteksi dengan status berpuasa pada

kadar lebih dari 6,7 mmol/l (120 mg/dl) atau 2 jam sesudah dosis 75 g glukosa

oral dengan kadar lebih 10 mmol/l (180 mg/dl) (Spector 1993). Pendekatan

terminologi menurut Misnadiarly (2006), DM merupakan penyakit metabolik

yang ditandai dengan hiperglikemia yaitu kondisi tubuh dengan kadar glukosa

darah melebihi nilai normal. Kadar glukosa darah lebih dari 200 mg/dl, dan kadar

glukosa darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl pada manusia dianggap

sebagai batas DM. Saat ambang glukosa dalam ginjal berlebih, glukosa akan

keluar melalui urin (glukosuria) dan menyebabkan diuresis osmotik (poliuria),

dehidrasi serta peningkatan pemasukan cairan (polidipsia) (Dalimartha 1997).

DM menduduki peringkat keempat pada daftar ranking pembunuh

manusia. Kongres Federasi Diabetes Internasional di Paris tahun 2003

mengungkapkan bahwa sekitar 194 juta orang di dunia mengidap penyakit ini.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada tahun 2025 jumlah

penderitanya akan melonjak sampai 333 juta orang. Di Indonesia predikat

diabetesi mengenai lebih dari 2,5 juta orang dan diperkirakan terus bertambah

(Mistra 2004).

Pengaruh yang menonjol dari ketiadaan insulin diduga diakibatkan

terutama oleh ketidakmampuan glukosa untuk memasuki sel-sel tubuh vital

seperti otot dan hati tanpa insulin. Sebagai akibatnya glukosa darah meningkat,

glukosa muncul dalam urin dan terdapat metabolisme lemak yang berlebihan

untuk mengganti karbohidrat yang tidak lagi tersedia. Pemecahan lipid ini dapat

berlanjut pada akumulasi asam keton yang dapat berpengaruh jelek terhadap otak

dan menimbulkan koma (Spector 1993).

4

Glukosa yang dimakan, pada keadaan normal akan mengalami

metabolisme sempurna menjadi karbondioksida dan air kira-kira 50%, 5% diubah

menjadi glikogen dan kira-kira 30-40 % diubah menjadi lemak. Lain keadaanya

pada penderita DM, semua proses tersebut terganggu karena glukosa tidak dapat

masuk ke dalam sel sehingga tidak dapat dimetabolisme, akibatnya energi

terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak (Ganong 2002).

2.1.1 Sejarah Diabetes Mellitus

Menurut Dallimutthe (2004), penyakit DM telah diketahui sejak ribuan

tahun sebelum masehi. Ebers Papyrus menulis bahwa di Mesir sekitar tahun 1550

Sebelum Masehi (SM) terdapat suatu penyakit yang ditandai dengan banyak

kencing. Di India, dalam buku Aryuveda (600 SM) dijumpai penyakit yang sama

dimana urin penderita terasa manis dan disebut urin madu. Aretaceus menulis

bahwa terdapat suatu penyakit yang ditandai dengan urin yang banyak. Willis

adalah orang pertama pada tahun 1674 yang menuliskan penderita dengan urin

banyak dan seperti madu disebut Diabetes Mellitus. Pada tahun 1921, Frederich

Grant Banting, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran di Toronto Kanada,

mengangkat pankreas anjing kemudian mengekstrak pankreas tersebut. Anjing

yang telah diangkat pankreasnya tersebut mengalami peningkatan kadar glukosa

darah, kemudian setelah disuntik dengan ekstrak pankreas kadar glukosa darahnya

turun, oleh karena ekstrak pankreas itu mengandung hormon yang disebut insulin.

Ternyata hormon insulin inilah yang mengatur kadar glukosa dalam darah.

2.1.2 Etiologi Diabetes Melitus

Kelainan yang disebabkan oleh defisiensi insulin disebut Diabetes Mellitus

(DM) (Ganong 2002). Sebagian besar kasus DM disebabkan oleh rusaknya sel

beta pankreas sehingga produksi insulin menjadi terhambat atau tidak ada sama

sekali. Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur, maka

toleransi terhadap glukosa juga meningkat. Intoleransi gula pada usia lanjut

berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa otot,

penyakit penyerta dan penggunaan obat-obatan sehingga terjadi penurunan sekresi

insulin dan resistensi insulin (Misnadiarly 2006). DM merupakan penyakit yang

5

diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Para ahli kesehatan juga

menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau kelamin.

Faktor herediter sering kali juga menyebabkan timbulnya DM melalui

peningkatan kerentanan sel-sel beta terhadap penghancuran oleh virus atau

mempermudah perkembangan antibodi autoimun melawan sel-sel beta. Obesitas

juga merupakan salah satu penyebab terjadinya DM karena obesitas menurunkan

jumlah reseptor insulin di dalam sel target insulin di seluruh tubuh, sehingga

membuat jumlah insulin yang tersedia kurang efektif dalam meningkatkan efek

metabolik insulin yang biasa (Guyton 1997).

Menurut Mistra (2004), penyebab DM antara lain:

Perubahan gaya hidup yang tidak sehat, lingkungan, dan usia

Pola makan yang berubah kearah makanan cepat saji yang memiliki gengsi

dan lemak tinggi

Kebiasaan merokok

Terdapat riwayat keluarga yang terkena DM (turunan)

Stres menghadapi hidup atau persoalan lain

Kegemukan

Kerusakan kelenjar panreas (tidak lagi memproduksi hormon insulin atau

sedikit memproduksi hormon tersebut)

DM dapat disebabkan oleh gangguan endokrin lain, terutama hipofisa dan

kelenjar adrenal serta dapat disebabkan karena kerusakan pankreas, misalnya oleh

pankreatitis kronis atau oleh obat atau sindrom keturunan yang langka.

Disamping itu terdapat DM kelompok lain, misalnya ibu yang mengandung atau

subjek yang mengalami obesitas yang mengembangkan hiperglikemia namun

kembali normal bila kehamilan telah usai atau berat badannya telah berkurang,

meskipun dapat mempertahankan kerentanan yang meningkat terhadap DM

kemudian. Namun bagian terbesar dari diabetes, yakni diabetes primer,

disebabkan oleh penyakit lain yang tak dapat dikenal.

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut Misnadiarly (2006), Diabetes Mellitus diklasifikasikan ke dalam

dua tipe yaitu Diabetes Tipe I yaitu Diabetes Mellitus Tergantung Insulin atau

6

Diabetes Melitus Dependen-Insulin (IDDM) dan Tipe II yaitu Diabetes Tidak

Tergantung Insulin atau Diabetes Mellitus Non-Dependen Insulin (NIDDM).

Istilah tergantung insulin dalam konteks ini berarti bahwa diabetes dapat

diperlihatkan berkaitan dengan penurunan absolut jumlah insulin dalam sirkulasi

atau pankreas dan disembuhkan dengan pemberian insulin. Tidak tergantung

insulin berarti bahwa biasanya tidak diperlihatkan adanya defisiensi absolut dalam

sirkulasi, meskipun diabetes paling tidak dapat tanggap terhadap pemberian terapi

insulin berlebihan (Spector 1993);

a. Tipe I Diabetes Mellitus Tergantung Insulin atau Diabetes Melitus Dependen-

Insulin (IDDM) adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh rusaknya

sel-sel beta penghasil insulin (Ganong 2002). Biasanya produksi insulin ada

atau tidak sama sekali seperti pada juvenile diabetic. Hal ini terjadi karena

ada reaksi autoimun berupa reaksi peradangan pada sel beta (Dallimutthe

2004). Peradangan menyebabkan kerusakan sel beta pankreas, sehingga sel

beta pankreas tidak mampu membuat dan mengeluarkan insulin dalam

kuantitas dan/atau kualitas yang cukup, bahkan kadang-kadang tidak terdapat

sekresi insulin sama sekali. Dalam hal ini reseptor untuk insulin pada IDDM

jumlah dan kualitasnya dalam keadaan normal. Berbagai faktor penentu

etiopatologis IDDM telah dapat diidentifikasi, misalnya konstitusi genetik,

immunologis, faktor lingkungan dan gangguan metabolisme serta

endokrinologi. Menurut PERKENI (2002), Diabetes Mellitus tipe I memiliki

karakteristik mudah terjadi ketoasidosis, pengobatannya harus dengan insulin,

onset akut, penderita biasanya kurus, terjadi pada usia muda, didapatkan

antibodi sel islet, 10% ada riwayat diabetes pada keluarga, 30-50% terjadi

pada kembar identik (Misnadiarly 2006).

b. Tipe II Diabetes Tidak Tergantung Insulin atau Diabetes Mellitus Non-

Dependen Insulin (NIDDM) diduga terjadi akibat insufisiensi insulin dan

retensi jaringan terhadap insulin. Pada penderita NIDDM dapat dijumpai

kadar insulin lebih tinggi akan tetapi karena ada gangguan pada reseptor

insulin, maka transport glukosa ke dalam sel terganggu. Akibatnya kadar

glukosa darah akan terus meningkat. Pada keadaan ini penderita NIDDM

sama dengan diabetes tipe I. Perbedaannya adalah Diabetes Mellitus tipe II

7

disamping kadar glukosanya meninggi, kadar insulinnya normal. Keadaan ini

disebut resisten terhadap insulin (Dallimutthe 2004). Menurut PERKENI

(2002), karakteristik dari Diabetes Mellitus tipe II yaitu sukar terjadi

ketoasidosis, pengobatannya tidak harus menggunakan insulin, onsetnya

lambat, penderitanya gemuk atau tidak gemuk, biasanya terjadi pada umur tua,

tidak ada antibodi sel islet, 30% ada riwayat diabetes pada keluarga, 100%

terjadi pada kembar identik.

Menurut Soehadi (1989), terdapat beberapa faktor yang dapat

menyebabkan NIDDM, yaitu:

1. Faktor pankreas:

- Adanya mutasi gen insulin, akan terbentuk molekul-molekul insulin

yang abnormal dan secara biologis kurang aktif.

- Terlalu banyak proinsulin yang tidak dapat dirubah menjadi insulin.

- Terjadi keterlambatan sekresi insulin, meskipun mungkin produksi

insulin cukup, sehingga glukosa sudah diabsorbsi masuk darah tapi

insulin belum memadai jumlahnya.

2. Faktor darah:

- Adanya insulin angiotensin antagonisme, misalnya antibodi terhadap

insulin.

- Meningkatnya pengikatan insulin oleh protein plasma.

- Meningkatnya enzim yang merusak insulin atau mekanisme lain yang

merusak insulin.

- Meningkatnya hormon-hormon kontra insulin seperti kortisol, hormon

pertumbuhan, katekolamin dan lain-lain.

- Meningkatnya lemak darah.

3. Faktor perifer:

- Jumlah reseptor insulin di sel berkurang (antara 20.000-30.000 buah):

pada obesitas bahkan berkurang hingga 20.000 buah, pada orang

normal jumlah reseptor 35.000 buah/sel.

- Jumlah reseptor cukup tetapi kualitas reseptor jelek sehingga insulin

tidak dapat bekerja secara efektif.

8

- Terdapat kelainan post-reseptor, sehingga proses glikolisis intraseluler

terganggu.

4. Adanya kelainan campuran diantara faktor-faktor yang terdapat pada 1, 2

dan 3.

Peningkatan kadar glukosa darah Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II akan

terus berlanjut, apabila kadar glukosa darah ini terus meninggi hingga melewati

ambang batas ginjal, maka glukosa tersebut akan dikeluarkan melalui urin.

Kejadian ini yang sering dilihat pada penderita Diabetes Mellitus, yaitu poliuri

dan glukosuria.

2.1.4 Gejala Klinis dan Komplikasi Diabetes Mellitus

Gejala klinis DM meliputi gejala-gejala pada stadium kompensasi dan

dekompensasi pankreas, serta gejala-gejala kronik lainnya. Gejala-gejala pada

stadium kompensasi misalnya polifagi, polidipsi, poliuri dan penurunan berat

badan. Adanya gejala klinis hiperglikemia dan glukosuria akan menyebabkan

tekanan osmotik di dalam tubuli ginjal naik dan menghambat reabsorbsi air.

Karena terhambatnya reabsorbsi air ini menyebabkan penderita DM mengalami

poliuria dan akibat adanya poliuria terus-menerus akan menyebabkan dehidrasi

tingkat jaringan. Penderita DM tidak dapat memecah glukosa dalam darah

sehingga akan menggunakan lemak tubuhnya untuk pengganti energi atau

makanan bagi sel sehingga terbentuklah badan-badan keton yang menyebabkan

terjadinya ketonemia dan ketonuria serta tubuh terlihat kurus. Adanya benda-

benda keton di dalam darah akan menimbulkan terjadinya asidosis sehingga

frekuensi nafas meningkat dan penderita mengalami koma (Ressang 1984). Pada

keadaan koma kulit mukosa dan lidah tampak kekeringan, bulbus mata menjadi

lunak, pernafasan menjadi lebih dalam serta nafas bau aseton (Mutschler 1991).

Gejala-gejala kronik yang sering terjadi misalnya lemah badan, anoreksia,

kesemutan, mata kabur, mialgia, artalgia, dan kemampuan seksual berkurang

(Soehadi 1989).

Mistra (2004) menyebutkan bahwa gula darah mungkin telah melewati

ambang normal bila telah terlihat gejala-gejala sebagai berikut:

Berat badan menurun walaupun makan dalam porsi yang tetap

9

Kadang, berat badan cenderung bertambah

Gatal-gatal pada kelamin luar

Sering buang air kecil terutama pada malam hari

Sering kesemutan pada salah satu sisi bagian tubuh, terutama terasa pada

kaki dan tangan

Cepat merasa lapar atau haus

Penglihatan kabur dan akibatnya sering berganti kaca mata

Melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4 kg

Mudah timbul bisul atau abses dengan kesembuhan yang lama

Gairah seksual menurun dan cenderung impotensi

Jika ada luka terutama di kaki biasanya akan sulit sembuh dan cenderung

terus melebar sehingga dapat diamputasi atau berakhir pada kematian

DM mempunyai sejumlah komplikasi karena vaskulopati dan neuropati

atau campuran keduanya (Soehadi 1989). Jika berjalan dalam jangka lama,

jumlah komponen lipid yang berlebihan dalam sirkulasi dapat menjadi faktor

utama dalam meningkatkan kecepatan penderita diabetes untuk mengembangkan

ateroma dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes pada usia yang sama.

Penderita diabetes juga mengalami degenerasi non-ateromatosa pada arteriola dan

kapilernya, terutama di ginjal dan retina, menjurus kepada kegagalan ginjal dan

kebutaan. Penderita diabetes juga memiliki peningkatan resiko infeksi, terutama

dari tuberkulosis atau saluran kencing. Triat maut ateroma, mikroangiopati dan

infeksi menerangkan peningkatan laju mortalitas penderita diabetes bila

dibandingkan dengan populasi secara keseluruhan. Pengobatan yang cukup tentu

saja telah sangat mengurangi laju kematian dari komplikasi akut seperti koma

ketosis namun memiliki dampak yang kurang dramatik terhadap kematian oleh

komplikasi yang panjang (Spector 1993).

Komplikasi yang terjadi misalnya penyakit jantung, serangan otak yang

biasanya diikuti kelumpuhan dan stroke, kerusakan pembuluh-pembuluh darah

periferal biasanya mempengaruhi bagian tubuh bawah dan kaki, kerusakan ginjal

(nephropati), kerusakan saraf (neuropati) yang dapat menyebabkan kelumpuhan

(paralisis), impoten, dan penyakit mata (retinopati) karena retina mata penderita

retinopati diabetik terganggu sehingga terjadi kehilangan sebagian atau

10

keseluruhan penglihatannya. Menurut laporan Komisi Diabetes Mellitus,

penderita DM dapat mengalami 2 kali lebih mudah terkena trombosis serebri, 24

kali mudah terkena penyakit jantung koroner, 17 kali rentan terhadap kegagalan

ginjal dan 5 kali lebih mudah terkena gangren, bilamana dibandingkan dengan

orang non-Diabetes Mellitus. Meskipun gejala-gejala DM dapat diregulasi,

namun komplikasi DM kronis jangka panjang dapat mengurangi lama perkiraan

hidup sampai sepertiganya (Soehadi 1989).

Menurut Mistra (2004), seringnya terjadi penyeburan gula di dalam

pembuluh darah, lambat-laun tetapi pasti akan menyebabkan penyempitan

pembuluh darah secara global. Selanjutnya, berujung pada kerusakan organ-

organ tubuh bagian dalam (komplikasi). Berikut ini komplikasi yang mungkin

terjadi saat terkena DM:

Gangguan atau kerusakan jantung

Gangguan saraf otak yang menyebabkan stroke

Gangguan kelamin, impotensi, atau disfungsi ereksi

Gangguan atau kerusakan paru-paru (TBC)

Gangguan atau kerusakan saraf tepi pada bagian tubuh sehingga sering

kesemutan atau pegal sebelah tubuh

Gangguan atau kerusakan ginjal dan bisa berakhir dengan gagal ginjal

Gangguan atau kerusakan mata, seperti bertambahnya lapisan katarak pada

lensa mata atau kebutaan total

Gangren atau jika luka lama sembuhnya dan cenderung terus membusuk.

Kadang berujung pada vonis amputasi

Pada wanita hamil dapat berakibat keguguran, bayi lahir mati, keracunan

kelahiran, bayi lahir dengan berat sampai 5 kg, dan terlalu banyak air

ketuban.

2.1.5 Diagnosa Diabetes Melitus

Kriteria diagnotik Diabetes Mellitus pada manusia dan gangguan toleransi

glukosa menurut WHO 1985 dalam tulisan Misnadiarly (2006);

1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl atau

2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl atau

11

3. Kadar glukosa darah plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa

75 gram pada TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral).

Cara umum yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit diabetes

didasarkan pada berbagai tes kimiawi terhadap urin dan darah (Guyton 1997).

Pemeriksaan glukosa urin melalui tes sederhana atau tes kuantitatif laboratorium

yang lebih rumit, yang mungkin dapat digunakan untuk menentukan jumlah

glukosa yang hilang dalam urin. Jumlah glukosa yang dikeluarkan dalam urin

orang normal pada umumnya sukar dihitung, sedangkan pada kasus diabetes

glukosa yang dilepaskan jumlahnya dapat sedikit sampai banyak sekali sesuai

dengan berat penyakit dan asupan karbohidratnya. Kadar glukosa darah puasa

sewaktu pagi hari normalnya adalah 80 sampai 90 mg/dl, dan 110 mg/dl

dipertimbangkan sebagai batas atas kadar normal. Penderita diabetes hampir

selalu memiliki konsentrasi glukosa darah puasa diatas 110 mg/dl, bahkan diatas

140 mg/dl, dan uji toleransi glukosa hampir selalu abnormal. Diagnosa juga dapat

dilakukan dengan mencium bau pernafasan penderita DM yang cenderung bau

aseton akibat jumlah asam asetat yang meningkat pada penderita DM berat yang

diubah menjadi aseton, aseton ini mudah menguap dan dikeluarkan dalam udara

ekspirasi sehingga bau aseton dapat tercium pada nafas penderita diabetes. Asam

keton juga dapat ditemukan dalam urin melalui cara kimia dan jumlah asam keton

ini dipakai untuk menentukan tingkat penyakit DM.

2.1.6 Patologi Diabetes Melitus

Menurut Ressang (1984), gambaran patologi anatomis penderita Diabetes

Mellitus yang paling mencolok adalah terjadinya infiltrasi lemak pada hati dan

ginjal sehingga hati dan ginjal terlihat membengkak dan berwarna kekuningan

juga pada miokard sering kali berwarna kekuningan karena infiltrasi lemak dan

degenerasi albuminoid. Pankreas mengecil dan tidak memperlihatkan perubahan-

perubahan makroskopik. Secara mikroskopik gambaran organ pankreas

menunjukkan adanya perubahan secara kualitatif pada pulau-pulau Langerhans.

Jumlah pulaunya berkurang sedangkan sel-sel lainnya menunjukkan

memperlihatkan degenerasi hidrofobik. Disamping itu terlihat sklerosis pada

pulau-pulau pankreas yang disebabkan oleh peradangan atau didahului dengan

12

degenerasi. Hewan percobaan pemberian zat-zat yang mempunyai efek toksik

seperti alloksan dan ditizon atau derivatnya pada sel-sel pulau Langerhans dapat

menimbulkan perubahan pada sel-sel pada diabetes yaitu : pengecilan pulau-pulau

pankreas, pengurangan jumlah sel-sel B, degranulasi, dan vakuolisasi pada sel-sel

tersebut.

2.1.7 Pengobatan Diabetes Melitus

Diabetes Mellitus dapat ditanggulangi dengan pemberian obat, pengaturan

diet secara maksimal untuk mengembalikan kadar glukosa darah, dan pemberian

preparat hormonal. Pemberian obat hanya merupakan pelengkap diet, obat

diberikan bila pengaturan diet secara maksimal tidak berhasil mengembalikan

glukosa darah. Obat yang sering digunakan digolongkan sebagai berikut:

Antidiabetik oral (hipoglikemik oral)

Obat ini digunakan untuk membantu mengurangi kebutuhan insulin yang

diberikan dari luar. Dalam keadaan gawat insulin tetap harus diberikan.

Menurut Ganiswara (1995), antidiabetik oral tidak diindikasikan bagi

penderita yang cenderung mendapat ketoasidosis. Bila hiperglikemia sudah

terkontrol dengan antidiabetik oral dosis rendah maka dapat dilakukan

pengaturan diet saja dan kerja fisik. Penderita yang membutuhkan dosis

antidiabetik oral yang makin meningkat untuk mengontrol peninggian gula

darahnya mungkin menunjukkan adanya kegagalan sekunder. Obat

hipoglikemik oral digolongkan atas:

Golongan sulfonil urea

Obat ini dapat menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang

sekresi insulin di pankreas dan meningkatkan efektivitasnya. Oleh karena

itu obat ini cocok untuk penderita diabetes tipe II. Contoh obat golongan

ini adalah glibenklamida, glikasida, glikuidon dan klorpromida (Sustrani et

al. 2006) serta tolazomida dan tolbutamida (Laurence & Bennet 1992).

Golongan biguanida

Efek utama obat golongan ini adalah mengurangi produksi glukosa pada

hati serta memperbaiki ambilan glukosa perifer. Obat yang termasuk

13

golongan ini adalah fenformin, buformin dan metformin (Ganiswara

1995).

Insulin

Insulin merupakan hormon yang penting untuk kehidupan. Hormon ini

mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Insulin

menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel-sel sebagian besar jaringan,

menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan

glikogen dalam hati dan otot dan mencegah penguraian glikogen,

menstimulasi pembentukan lemak dan protein dari glukosa. Semua proses ini

menyebabkan kadar glukosa darah menurun. Kerja insulin lainnya adalah

menaikkan pengambilan ion kalium ke dalam sel dan menurunkan kerja

katabolik glukokortikoid dan hormon kelenjar tiroid (Mutschler 1991).

Insulin dihasilkan oleh sel β pulau Langerhans yang berada di dalam kelenjar

pankreas. Hormon ini merupakan suatu polipeptida yang terdiri dari 51 asam

amino (Ganiswara 1995). Insulin sering digunakan oleh penderita diabetes

tipe I, sedangkan pada penderita diabetes tipe II digunakan apabila pemberian

obat sudah tidak efektif.

Glukagon

Glukagon adalah suatu polipeptida yang terdiri dari 29 asam amino. Hormon

ini dihasilkan oleh sel alfa pulau Langerhans. Glukagon meningkatkan

glukoneogenesis. Efek ini mungkin sekali disebabkan oleh menyusutnya

simpanan glikogen dalam hepar, karena dengan berkurangnya glikogen dalam

hati proses deaminasi dan transaminasi menjadi lebih aktif. Adanya

peningkatan kedua proses tersebut menyebabkan pembentukan kalori yang

semakin besar juga. Glukagon terutama digunakan pada pengobatan

hipoglikemia yang ditimbulkan oleh insulin. Hormon tersebut dapat diberikan

secara intravena, intramuscular, atau subcutan 1 mg. Bila dalam 20 menit

setelah pemberian glukagon subcutan penderita koma hipoglikemik tetap tidak

sadar, maka glukosa intravena harus segera diberikan karena mungkin

glikogen dalam hepar telah habis atau telah terjadi kerusakan otak yang

menetap (Ganiswara 1995).

14

2.2 Hati

Hati adalah organ terbesar dalam tubuh (Ressang 1984). Hati mendapat

darah dari vena porta dan arteri hepatika yang akan menyuplai 40-50% oksigen

dan kurang lebih setengah dari darah yang bersirkulasi akan menuju hati.

Sebagian kecil darah dari arteri hepatika mengalir langsung masuk ke peripheral

sinusoid (Jones et al. 2006). Vena porta, arteri hepatika dan saluran empedu akan

bergabung dalam satu daerah vena portis (segitiga Kiernaan). Empedu akan

disalurkan dari hati ke duodenum melalui saluran empedu intrahepatik dan

ekstrahepatik (Guyton 1997).

Gambar 1. Lobus hati, dilihat dari anterior (Shier et al. 2002).

2.2.1 Anatomi Hati

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh. Hati terletak di rongga

perut di sebelah kanan, tepat di bawah difragma, berwarna merah kecoklatan.

Hati terdiri dari beberapa lobus, tergantung pada spesiesnya (Harada et al. 1999).

Hati memiliki dua lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi

menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak

terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh

ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar. Ligamentum falsiforme

berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen. Permukaan hati

diliputi oleh peritoneum visceralis, kecuali daerah kecil pada permukaan posterior

yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan

lipatan peritoneum membantu menyokong hati. Di bawah peritoneum terdapat

jaringan penyambung padat yang dinamakan kapsula Glisson, yang meliputi

15

seluruh permukaan organ; kapsula ini pada hilus atau porta hepatik di permukaan

inferior melanjutkan diri ke dalam massa hati, membentuk cabang-cabang vena

porta, arteri hepatika, dan saluran empedu (Wilson & Lester 1992). Hati bersama

dengan jaringan ekstra hepatik dan beberapa hormon berperan dalam menjaga

homeostatik pengaturan kadar glukosa yang stabil dalam darah (Suharmiati 2003).

2.2.2 Histologi Hati

Unit fungsional dasar hati adalah lobus hati, yang berbentuk silindris. Hati

terbagi menjadi beberapa lobus. Secara histologis lobus atau gelambir hati dibalut

oleh kapsula. Ada dua macam kapsula yaitu kapsula fibrosa (Glisson) dan

kapsula serosa. Lobus hati terdiri dari sel hati. Sel hati berbentuk polyhedral,

berdiameter 20-25 mikron pada hewan dewasa, sedangkan pada hewan muda

sekitar 2-7 mikron. Inti bulat terdapat di tengah-tengah dan kadang-kadang

tampak lebih dari satu inti (Hartono 1992). Masing-masing lempeng hati tebalnya

satu sampai dua sel, dan diantara sel yang berdekatan terdapat kanalikuli basilaris

kecil yang mengalir ke duktus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan

lobus hati yang berdekatan. Di dalam septum juga terdapat vena porta kecil yang

menerima darah terutama dari vena saluran pencernaan melalui vena porta. Darah

dari venula ini akan mengalir ke sinusoid hati dan bercabang yang terletak

diantara lempeng-lempeng hati dan kemudian ke vena sentralis. Sirkulasi

demikian menyebabkan sel hati terus-menerus terpapar oleh darah vena porta.

Selain vena porta juga terdapat arteriol hati di dalam septum interlobularis.

Sinusoid vena dan sel-sel hati dilapisi oleh dua tipe sel yaitu sel endotel khusus

dan sel Kupffer yang merupakan makrofag jaringan yang mampu memfagositosis

bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus (Guyton 1997). Sel

Kupffer merupakan makrofag spesifik dalam organ hati yang berasal dari monosit

(Dellman & Brown 1992). Hati merupakan organ yang terlibat dalam

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Hepatosit (sel parenkim hati)

merupakan bagian terbesar dari organ hati. Hepatosit bertanggung jawab terhadap

peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang

terisi darah dan saluran empedu. Sel Kupffer melapisi sinusoid hati dan

merupakan bagian penting dari sistem retikuloendotelial tubuh.

16

Gambar 2. Lobus hati, dilihat dari inferior (Shier et al. 2002).

Menurut struktur dan fungsinya, lobulus hati dibagi menjadi tiga zona atau

daerah yaitu daerah sentrolobuler, daerah tengah (midzonal) dan daerah periportal.

Daerah sentrolobuler merupakan akhir dari mikrosirkulasi yang menerima darah

dari pertukaran gas dan metabolit dengan sel-sel dari daerah tengah dan periportal.

Hal ini menyebabkan daerah sentrolobuler lebih sensitif terhadap gangguan

sirkulasi (iskemia, anoksia, kongesti) dan defisiensi nutrisi. Sebaliknya, daerah

periportal dekat dengan pembuluh darah, menerima darah yang kaya O2 dan

nutrisi. Akan tetapi, apabila ada senyawa yang bersifat toksik dalam darah, maka

daerah ini akan terpapar terlebih dahulu. Hepatosit di daerah periportal

mempunyai lebih banyak mitokondria sedangkan di daerah sentrolobuler

mempunyai jumlah sitokrom p450 yang lebih banyak (Harada et al. 1999).

2.2.3 Fungsi Hati

Hati adalah suatu organ yang besar, dapat meluas, dan organ venosa yang

mampu bekerja sebagai suatu tempat penampungan darah yang bermakna disaat

volume darah berlebihan dan mampu mensuplai darah ekstra di saat kekurangan

volume darah (Guyton 1997).

Beberapa fungsi hati menurut Ressang (1984) adalah :

- sekresi empedu

- metabolisme lemak

- metabolisme zat telur

- metabolisme hidrat arang

- metabolisme besi

17

- fungsi detoksikasi

- pembentukan sel darah merah

- metabolisme dan penyimpanan penyakit

Hati memiliki tiga fungsi yaitu fungsi vaskuler, fungsi metabolik serta

fungsi sekresi dan ekskresi (Dellman & Brown 1992). Fungsi vaskuler

berhubungan dengan proses penyimpanan dan penyaringan darah. Pada fungsi

metabolik, sel hati merupakan suatu tempat reaksi kimia dengan laju metabolisme

yang tinggi. Kemudian juga tempat mengolah dan mensintesa berbagai zat yang

diangkut ke daerah tubuh lain (Herdt 2002). Sedangkan fungsi sekresi dan

ekskresi berperan untuk produksi empedu yang mengalir melalui saluran empedu

ke saluran pencernaan (Guyton 1997).

Menurut Ganiswara (1995), hati berperan dalam pengaturan kadar glukosa

dalam darah. Setelah makanan diabsorbsi di usus, glukosa dialirkan ke hati

melalui vena porta. Sebagian lagi glukosa disimpan dalam bentuk glikogen.

Setelah absorbsi selesai, glikogen dalam hati dipecah lagi menjadi glukosa. Pada

keadaan normal persediaan glikogen dalam hati cukup untuk mempertahankan

kadar glukosa darah selama beberapa jam, namun jika hati terganggu fungsinya

akan mudah terjadi hiperglikemia atau hipoglikemia.

Hati berfungsi sebagai penawar racun, dengan cara memusnahkan racun

tersebut atau dengan menggandeng racun tersebut dengan senyawa lain sehingga

sifat racunnya hilang atau melemah (Girindra 1988). Sebagian besar bahan toksik

memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal. Setelah terjadi proses

penyerapan, bahan toksik tersebut dibawa oleh vena porta hati ke hati. Darah

dipasok melalui vena porta dan arteri hepatika serta disalurkan melalui vena

sentralis kemudian vena hepatika, hingga akhirnya ke dalam vena kava (Lu 1995).

Aliran darah yang membawa obat atau senyawa organik asing melewati sel-sel

hati secara perlahan-lahan (Siswandono & Bambang 1995).

2.2.4 Patologi Hati

Hati merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan. Ada dua

alasan yang menyebabkan hati mudah terkena racun. Pertama, hati menerima

80% suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem

18

gastrointestinal. Substansi zat-zat toksik termasuk tumbuhan, fungi, dan produk

bakteri, juga logam, mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal

ditransportasikan ke hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang

mempunyai biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen dan endogen untuk

dieliminasi oleh tubuh. Proses ini mungkin juga mengaktifkan beberapa zat

menjadi bentuk yang lebih toksik dan dapat menyebabkan terjadinya perlukaan

hati (Carlton & McGavin 1995).

Bahan toksik dapat menyebabkan berbagai jenis kerusakan hati sebagai

berikut:

Degenerasi

Degenerasi sel sering diartikan sebagai kehilangan stuktur normal sel sebelum

kematian sel. Gambaran patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai

kehilangan struktur dan fungsi normal, biasanya progresif yang tidak

ditimbulkan oleh induksi radang dan neoplasia. Degenerasi sel terkadang

merupakan indikasi gangguan metabolisme yang meluas. Jenis umum

degenerasi sel disebut perubahan melemak. Di sini globuli lemak (terutama

trigliserida) dideposisikan pada sitoplasma dalam jumlah besar. Hal ini terjadi

pada kondisi Diabetes Mellitus, malagizi, iskhemik dan anemia hebat (Spector

1993). Degenerasi suram (cloudy swelling), berbutir, albuminoid atau

parenkim sering terlihat pada kejadian keracunan. Hati membesar, tepinya

membulat, konsistensinya rapuh, sedangkan bidang sayatan belang atau

beraspek seperti telah dimasak (Ressang 1984).

Nekrosis

Nekrosis hati adalah kematian sel hati. Kematian sel terjadi bersama dengan

pecahnya membran plasma. Tidak ada perubahan ultrastruktural membran

yang dapat dideteksi sebelum pecah, namun ada beberapa perubahan yang

mendahului kematian sel. Perubahan morfologik awal antara lain berupa

edema sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma dan disagregasi polisom.

Terjadi akumulasi trigliserida sebagai butiran lemak dalam sel. Perubahan

yang terjadi merupakan pembengkakan mitokondria progresif dengan

kerusakan kista, pembengkakan sitoplasma, penghancuran organel dan inti

dan pecahnya membran plasma. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral,

19

pertengahan, perifer) atau masif (Lu 1995). Nekrosis hati merupakan

manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena hati

mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali yang luar biasa. Pada umumnya

nekrosa toksopatik hanya memerlukan waktu singkat untuk menimbulkan

gejala klinis.

Steatosis (perlemakan hati)

Secara patologis hal yang dapat menyebabkan perlemakan adalah hipoksemi

oleh karena hati tidak dapat membakar lemak atau karena adanya toksin yang

menyebabkan penurunan fungsi lipolitik hati. Toksin yang dapat

menyebabkan perlemakan toksik adalah antimon, arsen, alkohol, dan racun

lain yang memerlukan banyak oksigen sehingga lemak tinggal tidak terbakar.

Sirosis Hati

Sirosis hati adalah pengerasan pada hati. Sirosis hati dicirikan dengan

permukaan nodular, granular dan irregular, konsistensinya keras dan terjadi

fibrosis difus. Sirosis dapat disebabkan oleh berbagai hal, akan tetapi dapat

juga kausanya tidak diketahui. Pada umumnya bahan-bahan toksik dan parasit

dapat menyebabkan sirosis hati (Ressang 1984). Menurut Spector (1993),

sirosis berasal dari nekrosis sel tunggal karena kurangnya mekanisme

perbaikan. Kemudian keadaan ini menyebabkan aktivitas fibroplastik dan

pembentukan jaringan parut. Tidak cukupnya aliran darah dalam hati menjadi

salah satu faktor pendukung.

Pasca mati hati menunjukkan tanda-tanda pembusukan. Perubahan warna

coklat menjadi hitam-hijau atau biru-hitam pada bidang caudalnya terjadi karena

H2S di dalam usus bersenyawa dengan besi di dalam darah menjadi FeS. Pada

sisi bidang cranial hati sering terlihat garis-garis pucat disebabkan oleh tekanan

iga. Otolisis postmortal terlihat sebagai sarang-sarang suram, putih kelabu, yang

mirip dengan sarang-sarang nekrosa. Akan tetapi secara mikroskopik sarang-

sarang ini dapat dibedakan dari nekrosa karena pembusukan tidak menimbulkan

reaksi jaringan sama sekali, di sekitar sarang-sarang pasca mati tidak ditemukan

infiltrasi sel-sel radang.

20

2.3 Usus Halus

Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum

(Sturkie 1976). Usus halus merupakan tempat terjadinya pencernaan dan

penyerapan makanan. Selaput lendir usus halus memiliki jonjot yang lembut dan

menonjol seperi jari. Fungsi usus halus selain penggerak aliran pakan dalam usus

juga untuk meningkatkan penyerapan sari makanan (Akoso 1993).

Gambar 3. Tiga bagian dari usus halus, yaitu duodenum,jejunum dan ileum (Shier et al. 2002).

2.3.1 Anatomi Usus Halus

Usus halus merupakan bagian dari sistem pencernaan yang terletak antara

lambung dan usus besar yang merupakan tempat utama terjadinya pencernaan

secara kimiawi dan penyerapan nutrisi. Usus halus dalam kerjanya dibantu oleh

pankreas yang menghasilkan enzim yang digunakan dalam proses pencernaan.

Secara normal usus halus terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum. Duodenum

merupakan bagian proximal dari usus halus yang melewati bagian kaudal dari

permukaan kanan ventrikulus dan membentuk suatu lengkungan seperti huruf

“U”. Diantara lengkungan “U” tersebut terdapat pankreas (Sisson & Grossman

1953) yang menghasilkan enzim amylase, lipase dan tripsin (North 1984).

Jejunum dan ileum tidak memiliki batas yang jelas, untuk menentukan batas

antara usus halus tersebut berdasarkan letak dari Meckel’s divertikulum (Sisson &

Grossman 1953).

Menurut Swenson (1953), panjang usus setiap spesies hewan bervariasi

tergantung dari kebiasaan makan. Herbivora mempunyai usus yang lebih panjang

21

dibandingkan usus halus karnivora, hal ini disebabkan karena daging lebih mudah

dicerna.

2.3.2 Histologi Usus Halus

Usus halus terbagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum, jejunum dan

ileum. Daerah duodenum memiliki lipatan mukosa yang melingkar dan memiliki

banyak vili. Daerah jejunum mirip dengan daerah duodenum. Ukuran vili

jejunum lebih langsing, lebih kecil dan jumlahnya lebih sedikit daripada

duodenum. Daerah ileum mirip dengan jejunum. Vili pada ileum membentuk

kelompok. Daerah ileum tidak memiliki lipatan-lipatan mukosa (Banks &

William 1993). Secara umum, struktur utama dari usus halus adalah membran

mukosa, lamina propia, submukosa, jaringan limfatik, serosa dan lapisan

muskuler. Sel epitel menutupi seluruh permukaan bebas dari membran mukosa

dan berbentuk epitel silindris sebaris (Xu & Cranwell 2003).

Pada lapis mukosa usus halus terdapat suatu bentuk khusus berupa vili-

vili. Vili memperluas permukaan area lumen serta mengefisienkan proses

absorbsi. Selain itu pada mukosa usus juga ditemukan kripta-kripta usus.

Kelenjar-kelenjar yang terdapat pada mukosa memiliki bentuk tubular sederhana.

Pada daerah di bawah epithelium merupakan lamina propia. Lamina propia

mengandung leukosit dan jaringan limfatik berupa nodul-nodul. Ditemukan

nodul-nodul limfatik yang beragregasi membentuk Payer’s patches. Lapis

submukosa usus halus terdiri dari jaringan ikat, pembuluh darah dan pembuluh

limfatik (Xu & Cranwell 2003).

Pada daerah submukosa duodenum terdapat sekelompok kelenjar

berbentuk tubular seperti gulungan yang disebut dengan kelenjar Brunner.

Kelenjar Brunner mensekresikan cairan mucus ke dalam kripta usus. Cairan

mucus ini melubrikasi permukaan epithelium dan melindungi dari asam lambung

(Frappier 1998). Pada daerah mukosa bagian dasar vili usus halus terdapat kripta

Lieberkuhn. Kripta Lieberkuhn berbentuk lurus maupun tubular seperti struktur

kelenjar yang dilapisi oleh sel epitel silindris sebaris.

22

Sel epitel usus halus terdiri dari empat macam sel yaitu (Bloom & Fawcett

1968; Telford & Bridgman 1995):

- Sel penyerap berbentuk silindris dengan mikrovili berfungsi untuk

menyerap sari makanan

- Sel Goblet / sel mangkok, tersebar tidak teratur dan tidak merata pada

epitel permukaan. Sel ini menghasilkan mucus yang berfungsi untuk

melindungi mukosa

- Sel Argentaffin / sel enterokhromafin, menghasilkan serotonin yang

menstimulasi kontraksi otot polos, serta menyalurkan hormon seperti

sekretin, gastrin dan kholesitokinin

- Sel Paneth, berbentuk silindris atau pyramidal dengan inti bulat terletak di

basal. Sel Paneth terletak di ujung kelenjar Liberkuhn, fundus dan sekum

(pada unggas, karnivora dan babi sel ini tidak ada).

Sel epitel yang terdapat dalam kelenjar kripta termasuk stem sel

undifferentiated, sel Goblet, sel Paneth dan sel endokrin. Sel Goblet

mensekresikan mucus dan memiliki fungsi yang sama dengan sel Goblet pada vili

usus. Sel endokrin memproduksi berbagai macam hormon maupun peptide (Xu &

Cranwell 2003).

Sel Paneth merupakan sel eksokrin dengan granul-granul sekretori pada

apikal sitoplasma. Granul-granul sekretori ini menghasilkan lisosim yang

memiliki aktivitas antibakterial dan mengontrol mikrobiota. Stem sel yang belum

terdiferensiasi memiliki kemampuan mitotik yang tinggi. Sel epitel baru yang

tumbuh oleh proses mitosis dari stem sel berpindah ke atas sepanjang vili dan

sering menembus ujung vili (Xu & Cranwell 2003). Peradangan pada usus halus

(enteritis) yang subakut disertai dengan infiltrasi sel limfosit dan yang kronis

bersifat proliferatif bisa terjadi (Nabib 1987).

Dinding usus halus terdiri dari empat lapis yaitu mukosa, sub-mukosa,

tunika muskularis, dan tunika serosa (Swenson dalam Handaruwati 2000).

Mukosa ini diselaputi oleh vili yang berkembang baik dan menyebabkan

gambaran mukosa yang menyerupai beludru. Duodenum memiliki vili yang luas,

berbentuk seperti daun, dan diameternya luas. Vili pada jejunum memiliki bentuk

23

seperti lidah pada bagian jejunum proksimal, dan seperti jari panjang pada bagian

jejunum distal. Sedangkan ileum memiliki vili yang berbentuk menyerupai jari.

Permukaan vili mempunyai tiga macam jenis sel, yaitu sel absorbtif, sel

Goblet, dan sel Argentafin. Kripta Lieberkuhn atau kelenjar usus terdapat pada

permukaan diantara vili yang meluas ke daerah muskularis mukosa. Lamina

propia berbentuk jaringan ikat longgar yang merupakan pusat vili dan

mengelilingi kelenjar usus. Bagian ini terdiri dari serabut kolagen dan elastik

dalam jalinan serabut retikuler dimana dalam jalinan ini terdapat pembuluh darah,

pembuluh limfe, leukosit, fibroblast, otot polos, sel plasma, dan sel mast (Dellman

& Brown 1992). Muskularis mukosa terdiri dari lapis otot tipis yang halus.

Lapisan sub-mukosa berupa jaringan ikat longgar yang didalamnya

terdapat saraf, arteri, pembuluh limfe besar, vena, ganglion dari sistem saraf

parasimpatikus, dan kumpulan badan sel saraf terlokalisasi yang merupakan

elemen dari pleksus sub-mukosa. Pada duodenum terdapat kelenjar sub-mukosa

atau yang disebut kelenjar Brunner (Swenson dalam Handaruwati 2000).

Lapisan tunika muskularis terdiri dari dua lapis, yaitu lapis dalam yang

tersusun melingkar dan lapis luar yang tersusun memanjang. Diantara kedua lapis

tersebut terdapat jaringan ikat longgar yang mengandung Plexus Mientricus atau

Plexus Aurbach. Pleksus ini bersama dengan Plexus Meissner yang terdapat pada

sub-mukosa akan menginervasi kontraksi usus yang mencampur makanan dengan

enzim, kemudian menggerakan makanan yang sudah dicerna agar kontak dengan

permukaan sel-sel absorbsi lalu mendorongnya ke kaudal.

Peristiwa pencernaan serta penyerapan dalam usus halus ditunjang oleh

bentuk-bentuk khusus. Efisiensi penyerapan dapat ditingkatkan oleh tiga bentuk

khusus yang memperluas areal penyerapan terhadap isi usus, yang pertama adalah

dua pertiga bagian depan usus halus memiliki plika sirkularis yang menjulur ke

arah lumen setinggi dua pertiganya. Pada ruminansia lipatan ini bersifat

permanen, tetapi pada hampir semua hewan piara lain tampak pada usus yang

sedang istirahat atau kososng, dan hilang bila usus mengembang. Kedua,

permukaan selaput lendir menunjukkan penjuluran berbentuk jari yang disebut

vili. Tinggi vili ini bervariasi (1,0-1,5 μm), tergantung pada daerah serta jenis

hewan. Ketiga, adalah permukaan penyebaran ditingkatkan oleh mikrovili.

24

Mikrovili merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel vili

(Dellman & Brown 1992).

Permukaan bagian dalam dari usus halus adalah membran mukosa yang

terdiri dari sel epitel kolumnar, beberapa diantaranya akan mengalami modifikasi

dan membentuk sl Goblet guna produksi mukus. Di sebelah luar permukaan

membran mukosa yang menyelimuti usus halus banyak terdapat vili yang berguna

untuk absorbsi zat makanan (Frandson 1992). Dalam keadaan normal selaput

lendir usus terlapisi oleh isi usus yang bercampur dengan getah usus, getah

pankreas, empedu, lendir usus dan kuman-kuman.

2.3.3 Fungsi Usus Halus

Pada usus halus terjadi gerakan peristaltik yang berperan mencampur

digesta dengan cairan pankreas dan empedu. Usus halus menghasilkan enzim

amilase, protease, dan lipase yang berfungsi memecah zat makanan menjadi

bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat diserap tubuh, selain itu usus halus

juga melaksanakan pencernaan kimiawi serta memegang peranan penting dalam

transfer material nutrisi dari lumen ke dalam pembuluh darah dan limfe (Moran

1985).

Usus halus memiliki fungsi sebagai tempat penyaluran makanan dan

penyerapan nutrisi ke dalam pembuluh darah dan pembuluh limfe. Dalam usus,

asam lemah terutama akan berada dalam bentuk ion sehingga tidak mudah

diserap, sedangkan basa lemah akan berada dalam bentuk ion-ion sehingga mudah

diserap. Absorbsi usus akan lebih tinggi lagi dengan lamanya waktu kontak dan

luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus (Lu 1995). Usus halus meliputi

duodenum, jejunum dan ileum. Fungsi duodenum dan jejunum ialah pencernaan

dan penyerapan (absorbsi) sedangkan ileum untuk absorbsi makanan dan cairan.

Duodenum merupakan tempat absorbsi besi dan folat. Duodenum juga menjadi

tempat penting terjadinya pencampuran antara makanan dengan garam empedu

dan enzim pankreas. Jejunum menjadi bagian dari usus halus yang paling banyak

mengabsorbsi mikronutrien. Selain nutrien, obat juga diabsorbsi disini. Motilitas

makanan yang melewati ileum lebih lambat daripada jejunum. Neurohormonal

seperti glucagon-like peptide 1 dan 2, peptide YY dan neurotensin yang dilepas

25

oleh ileum terminal berperan memberikan efek trofik pada mukosa (Andra 2007).

Pencernaan ingesta menjadi bentuk yang siap diserap, dimulai dengan bekerjanya

enzim pankreas, empedu dari hati dan sekreta kelenjar usus. Peristiwa ini

berlangsung di sepanjang usus halus. Efisiensi penyerapan dapat ditingkatkan

oleh tiga bentuk yaitu plika sirkularis pada dua pertiga bagian depan, vili yang

berbentuk jari dengan permukaan selaput lendir dan mikrovili yang merupakan

penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel vili (Dellman & Brown

1992).

Aktivitas pencernaan memerlukan sejumlah enzim dan banyak lendir

untuk melindungi epitel terhadap kerusakan mekanik maupun iritasi enzim.

Lendir dihasilkan oleh kelenjar submukosa dan sel Goblet di antara sel epitel

(Himawan 1998).

2.3.4 Patologi Usus Halus

Gangguan yang sering terjadi pada usus adalah obstruksi, perpindahan

(hernia/eventration) dan peradangan usus (enteritis).

Obstruksi akut pada usus lebih sering terjadi pada usus halus, sedangkan

usus besar lebih sering tertimpa obstruksi kronis. Obstruksi akut dapat

dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, menurut cara perkembangannya:

Oklusi sederhana, berasal dari substansi mekanik dan sumbernya tidak

tentu, namun secara umum dapat dibagi menjadi obstruksi intraluminal,

obstruksi yang terjadi pada dinding usus atau obstruksi yang terjadi dari

tekanan di perbatasan.

Strangulasi, terjadi ketika selain terjadi oklusi pada usus juga terjadi oklusi

pada pembuluh darah, biasanya pada vena namun dapat terjadi pada arteri

dan vena.

Ileum paralitik adalah obstruksi fungsional yang biasanya timbul karena

reflek penghambatan, tetapi mungkin juga terjadi karena metabolik dan

komplikasi dari hipokalemia.

Eventration meliputi perpindahan bagian dari usus -biasanya usus halus-

keluar dari ruang abdominal. Bagian yang berpindah tidak dapat ditutup

peritoneum parietal.

26

Internal hernia, merupakan perpindahan usus melalui foramen normal atau

patologik di dalam ruang abdominal tanpa terbentuk kantung hernia.

Eksternal hernia, secara khas terdiri dari kantung hernia yang dibentuk

sebagai kantung peritoneum parietal, menutupi kulit dan jaringan lunak

tergantung pada lokasi hernia, cincin hernia dan isi hernia. Cincin hernia

adalah pembuka dinding abdominal yang dapat terjadi secara dapatan atau

alami seperti cincin inguinal. Isi hernia biasanya terdiri dari bagian

omentum, bagian usus yang lebih bebas bergerak –biasanya usus halus- dan

kadang-kadang organ viscera lainnya.

Enteritis secara umum terjadi pada bagian manapun dari usus, namun

karena peradangan lebih umum dan parah ketika menimpa usus halus, maka

peradangan pada sekum, kolon dan rektum lebih dikenal dengan sebutan typhlitis,

colitis dan proctitis. Pada banyak kasus, spesifik atau non-spesifik, perubahan

menimpa keseluruhan bagian usus dan terkadang juga menimpa lambung

sehingga dapat disebut gastroenteritis. Penyebabnya antara lain infeksi bakteri,

virus, mikosis, protozoa, riket dan cacing, gangguan vaskular dan metabolik,

toksin bakteri, keracunan zat kimia dan defisiensi nutrisi seperti vitamin B (Jubb

et al. 1993).

2.4 Limpa

Gambar 4. Limpa (Shier et al. 2002).

Tubuh makhluk hidup memiliki kemampuan melawan berbagai jenis

organisme atau toksin yang dapat merusak jaringan dan organ tubuh.

Kemampuan ini disebut kekebalan yang merupakan hasil produksi dari jaringan

27

limfoid di dalam tubuh (Guyton 1997). Sistem jaringan limfoid dapat

diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu organ limfoid primer dan sekunder

(Tizard 1988). Organ limfoid primer merupakan organ yang berfungsi mengatur

produksi dan diferensiasi limfosit dan tempat pengaturan perkembangan limfosit.

Sedangkan organ limfoid sekunder merupakan organ limfoid yang responsif

terhadap stimulasi antigenik atau tempat interaksi limfosit-antigen dan

pengontrolannya. Tizard (1988) dan Guyton (1997) mengelompokkan limpa

sebagai salah satu organ limfoid sekunder. Limpa adalah jaringan limfoid yang

membentuk organ paling besar dalam tubuh hewan. Limpa memiliki kapsula dan

trabekula yang mengandung otot polos yang berperan memobilisasikan darah bila

aktivitas fisiologik meningkat (Hartono 1989).

2.4.1 Anatomi Limpa

Limpa adalah organ limfatik lunak yang terletak di sebelah kiri atas

abdomen, di bawah tulang iga ke-9, 10 dan 11. Sumbu panjangnya paralel dengan

iga ke-10. Limpa memiliki permukaan diafragmatik dan visceral, ujung superior

dan inferior, serta batas anterior, posterior dan inferior. Bagian convex

permukaan diafragmatik berhubungan dengan bagian costal diafragma.

Permukaan visceral membentuk segitiga yang terbagi pada permukaan gastric,

renal dan colic. Bagian punggung limpa memisahkan permukaan gastric

(anterior) dengan permukaan renal (inferior). Pada bagian bawah, terdapat

lengkungan, sebuah hilus, sebagai tempat pembuluh darah dan saraf. Ujung

inferior rata dan berakhir pada flexura kiri colic. Ujung superior (apex)

berhubungan langsung dengan tulang Thoracal 11. Batas anterior memisahkan

diafragma dari permukaan gastric, batas posterior yang bulat memisahkan

diafragma dengan permukaan renal dan batas inferior memisahkan diafragma dari

permukaan colic. Ujung pankreas dapat menyentuh limpa diantara permukaan

colic dan hilus (Leeson CR & Leeson TJ 1989).

28

2.4.2 Histologi Limpa

Secara histologis limpa terdiri dari stoma (kapsula dan trabekula) dan

parenkim (pulpa limpa). Selain itu sediaan histologi limpa juga terdiri dari

banyak sel-sel darah merah dan sel-sel darah putih dan sangat menyerupai

kelenjar-kelenjar limfe. Leeson et al. (1993) menerangkan bahwa kapsul dari

limpa dilapisi oleh serosa yang terdiri dari serat kolagen, serat elastin dan

beberapa otot polos, sedangkan trabekula tebal yang mengandung cabang-cabang

besar arteri dan vena splenikus (lienalis) berjalan dari kapsula ke bagian dalam

organ. Diantara trabekula terdapat anyaman serat retikulin yang menunjang

parenkim limpa. Parenkim limpa terdiri dari dua bagian yaitu pulpa merah dan

pulpa putih.

Pulpa merah. Sebagian besar dari pulpa limpa berwarna merah dan

mengandung banyak darah yang disimpan dalam jalinan retikuler. Pulpa merah

terdiri dari arteriol pulpa, kapiler selubung serta kapiler terminal, sinus venous

atau venula, dan bingkai limpa. Pulpa merah pada limpa ruminansia dan babi

banyak mengandung sel-sel otot polos, sedangkan kuda dan anjing memiliki

miofibroblas, sel yang mirip fibroblas tetapi memiliki sifat mirip otot polos

(Dellman & Brown 1992).

Pulpa putih. Pulpa putih adalah jaringan limfatik yang menyebar di

seluruh limpa sebagai nodulus limpa dan seperti selubung limfatik periarterial.

Nodulus dapat atau tidak dapat memiliki pusat kecambah yang aktif tergantung

pada status fungsinya. Sel-sel utama dalam nodulus adalah limfosit B, sedangkan

limfosit T berbatasan dengn tunika media, dan limfosit B membentuk daerah

perifer pada selubung limfatik (Dellman & Brown 1992).

Daerah marginal. Pada permukaan pulpa putih, retikulum membentuk

beberapa lapis konsentris, yang langsung berbatasan dengan lapis terakhir adalah

daerah marginal. Di daerah ini banyak terdapat makrofag dan populasi limfosit

khusus. Semua unsur dari sel darah, demikian juga antigen, mengadakan kontak

dengan makrofag dan limfosit setempat. Partikel yang mengambang dalam

plasma darah difagositosis secara efisien oleh makrofag, dan merupakan kondisi

ideal untuk penampilan antigen (Dellman & Brown 1992).

29

Ada beberapa teori mengenai hubungan antara arteriol dan venula pada

limpa. Pertama adalah teori terbuka, yaitu darah akan mengalir keluar dari

terminal arterial dalam pulpa merah sampai menemukan permulaan dari aliran

venous. Kedua adalah teori tertutup, yaitu darah dari arteriol terminal masuk

sinusoid atau sinus venous, valvulae aferen dan eferen dari sinus venous secara

periodik membuka dan menutup. Hal ini memungkinkan terjadinya proses

pengaliran, pengisian, penyimpanan dan pengosongan dari sinus venous. Pada

proses penyimpanan sinus membesar dan makrofag mempergunakan kesempatan

ini untuk mengangkut pecahan eritrosit. Teori terakhir adalah teori kombinasi

yang merupakan gabungan antara teori terbuka dan tertutup yaitu bila limpa

dalam kontraksi, sel retikulum epitel merapat sehingga membentuk sinus venous

yang menghubungkan arteriola dan venula. Tapi bila limpa mengembang,

susunan sel retikulum epitel agak merenggang sehingga darah dapat keluar dalam

jaringan (Hartono 1989).

2.4.3 Fungsi Limpa

Fungsi utama limpa ialah menyimpan darah yang tidak ikut dalam

peredaran darah. Pengeluaran darah dari limpa disebabkan oleh kontraksi alat

tubuh yang dapat ditimbulkan oleh emosi, kekurangan zat asam (kenaikan kadar

CO2 darah, gerak badan ataupun kehilangan darah) dan pada perangsangan-

perangsangan nervus simpatikus pada umumnya (Ressang 1984). Menurut Tizard

(2004) dan Boyd (1962), limpa berfungsi menyaring darah dan sebagai tempat

penyimpanan eritrosit dan trombosit dan melaksanakan eritropoiesis pada fetus.

Karena itu, limpa terbagi atas dua bagian : satu bagian untuk menyimpan eritrosit,

untuk penjeratan antigen dan untuk eritropoiesis, yang disebut pulpa merah; dan

bagian yang lain yang di dalamnya terjadi tanggap kebal yang disebut pulpa putih.

Fungsi lain limpa menurut Ressang (1984) adalah :

Membentuk sel-sel darah putih yaitu limfosit, yang ada hubungannya

dengan pembentukan globulin (antibodi).

Pada hewan muda limpa ikut membentuk eritrosit bersama sumsum tulang.

30

Pembinasaan eritrosit tua bersama dengan sumsum tulang dan sel RES

hati. Oleh sebab itu limpa mengandung banyak lipid (kolesterol dan

lesitin) dan besi. Hematin diubah limpa menjadi hemobilirubin.

Menjaring kuman-kuman dari darah. Hal ini karena limpa terdiri dari

banyak sel-sel RES.

Ikut serta dalam metabolisme nitrogen terutama dalam pembentukan asam

kemih.

2.4.4 Patologi Limpa

Perubahan ukuran, warna dan konsistensi limpa biasanya disebabkan oleh

respon limpa terhadap benda asing yang dapat menimbulkan proses-proses reaktif,

sehingga ketika diamati sacara mikroskopis limpa terlihat membengkak. Infeksi

pada tubuh akan merangsang sel-sel limfosit dalam organ limfoid untuk

membentuk antibodi (Volk & Wheleer 1993). Jones et al. (2006) menyatakan

bahwa pembesaran limpa bisa diakibatkan oleh beberapa mekanisme yang

berbeda, yaitu gangguan sirkulasi, penyakit inflamasi, penyakit metabolik dan

neoplasia. Menurut Thomas (1979), perubahan patolgi yang terjadi pada limpa

dianggap berkenaan dengan bangunan trabekula, sinus pada pulpa merah dan

pulpa putih, terutama pada kandungan darah, gambaran fibrosa, jumlah sel dan

deposit lain.

Perubahan ukuran dan warna limpa dapat terlihat dengan pemeriksaan

mikroskopis (histologis) pada sejumlah sel-sel darah yang banyak mengisis ruang

limpa di sinus-sinus dan pulpa, serta pembuluh darah limpa yang membendung

(hiperemi). Konsistensi limpa dapat menjadi keras dan ukurannya membesar oleh

karena pertumbuhan jaringan retikulum dan hiperplasia sel serta pertumbuhan

jaringan Reticulo Endothelial system (RES) sehingga menghasilkan sel-sel besar

dan pucat yang mengisi sinusoid-sinusoid limpa maupun pada folikel limpa

(Thomas 1979). Pada kondisi septisemia, terjadi pembesaran limpa dengan

kongesti akut dan degenerasi dari folikel limfoid serta hiperseluler dari area sinus

(Jubb et al. 1993).

31

2.5 Sambiloto

Gambar 5. Sambiloto (Syukur & Hernani 2002).

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) merupakan tanaman yang

dapat tumbuh di ketinggian 1-1.600 m dpl atau dari dataran rendah sampai daerah

pegunungan. Tanaman ini memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan setempat.

Faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan sambiloto adalah curah hujan dan

suhu. Sambiloto dapat tumbuh dengan baik pada curah hujan 2000-3000

mm/tahun dan suhu udara 25-320C. Kelembapan yang dibutuhkan termasuk

sedang, yaitu antara 70-90% dengan penyinaran agak tinggi (Mahendra 2005).

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) lebih dikenal sebagai tanaman

obat yang dipakai oleh manusia (Soedibyo 1998). Tumbuhan ini tergolong ke

dalam famili Acanthaceae dan termasuk tanaman terna (herba) dengan tinggi

±50cm (Syamsuhidayat & Hutapea 1991). Beberapa jenis tanah yang cocok

untuk pertumbuhan sambiloto yaitu latosol, andosol dan regosol (Syukur &

Hernani 2002).

Ditinjau dari aspek toksikologi, berdasarkan kriteria Gleason, sambiloto

termasuk ke dalam golongan yang Practically Non Toxic, mengingat dosis toksik

akut (LD50) sebesar 1,2 mg/10 g BB. Efek toksisitas yang terlihat adalah depresi

susunan pusat dan anggota gerak (Nuratmi et al. 1996).

32

2.5.1 Klasifikasi Sambiloto

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dalam klasifikasi menurut

Syamsuhidayat dan Hutapea (1991), dikelompokkan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledon

Bangsa : Solanales

Suku : Acanthaceae

Genus : Andrographis

Spesies : Andrographis paniculata Nees

2.5.2 Morfologi Sambiloto

Gambar 6. Sambiloto (Mahendra 2005).

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) mempunyai tinggi sekitar 40

hingga 90 cm; dengan batang bersegi empat, nodus yang membesar dan banyak

bercabang. Daun tunggal dengan letak berhadapan silang, bentuknya lanset

dengan pangkal runcing dan ujung meruncing. Tepi daun rata, permukaan atas

berwarna hijau tua dan permukaan bawah hijau muda. Panjang daun 2-8 cm,

lebar 1-3 cm, bertangkai pendek. Bunga berwarna putih-ungu, keluar di ujung

batang atau ketiak daun, tersusun dalam rangkaian berupa tandan. Buah

bentuknya memanjang sampai jorong dengan panjang sekitar 1,5 cm dan lebar 0,5

cm, pangkal dan ujung tajam, bila masak akan pecah membujur menjadi 4 keping.

Bijinya gepeng kecil, berwarna coklat muda, mudah diperbanyak dengan biji

(Wijayakusumah et al. 1994).

33

Menurut Muhlisah (1998), Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

memiliki daun berbentuk lanset, tepi daun rata, penampang melintang, dengan

letak saling berhadapan. Cabangnya berbentuk segi empat dan tidak berbulu.

Daun bagian atas cabang berbentuk seperti daun pelindung. Memiliki bunga yang

tegak dan bercabang-cabang. Bunga berbentuk tabung dan berbibir (bibir bunga

atas berwarna putih dengan warna kuning di bagian kepala, sementara bibir bunga

bawah berbentuk baji, berwarna ungu). Buah sambiloto berbentuk jorong dengan

ujung yang tajam. Buah yang matang akan pecah menjadi empat keping. Semua

bagian tanaman ini yang terdapat pada permukaan tanah (herba) bisa

dimanfaatkan. Masyarakat umumnya mengolah sambiloto dengan cara dipotong-

potong dan dikeringkan. Budidaya sambiloto dapat dilakukan dengan cara stek.

Tanaman ini ditemukan di dataran rendah dan tinggi, dan di tempat

naungan. Tanaman ini sering ditemukan tumbuh liar di tempat terbuka. Daerah

penyebarannya dari dataran rendah sampai ketinggian 700 m di atas permukaan

laut, tetapi sering ditemukan pula tumbuh di bawah ketinggian 100 m di atas

permukaan laut (Muhlisah 1998).

2.5.3 Kandungan Sambiloto

Daun dan batang tumbuhan ini rasanya sangat pahit karena mengandung

senyawa yang disebut andrographolid yang merupakan senyawa keton terpena.

Kadarnya dalam daun antara 2,5 sampai 4,8 % dari berat kering. Senyawa ini

diduga merupakan salah satu zat aktif dari daun sambiloto yang juga banyak

mengandung unsur-unsur mineral seperti kalium, natrium, dan asam kersik.

Andrographolide ditemukan di limpa, jantung dan otak (Wijayakusumah et al.

1994). Tanaman ini juga mengandung lakton dan flavonoid. Lakton yang

diisolasi dari daun dan percabangannya yaitu andrographolid (zat pahit), 14-

deoxy-andrographolid, neo-andrographolid, 11,12-didehydroandrographolid dan

homoandrographolid. Juga terdapat flavonoid: alkan, keton, dan aldehida selain

mineral seperti kalsium, kalium, natrium, dan asam kersik. Flavonoid diisolasi

terbanyak dari akar yaitu polymethoxyflavone, andrographin, panicolin, mono-o-

methylwhigtin dan apigenin 7,4 dimethyl eter (Wijayakusumah et al. 1994).

Flavonoid merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh

34

suatu tanaman, yang biasanya ditemui pada bagian daun, akar, kayu, kulit, tepung

sari, bunga dan biji. Kandungan sambiloto yang lain adalah saponin dan tanin

(Syamsuhidayat & Hutapea 1991).

2.5.4 Khasiat Sambiloto

Andrographolid yang terkandung dalam lakton yang diisolasi dari daun

(Wijayakusumah et al. 1991) bekerja sebagai zat anti inflamasi dengan cara

menstimulir kerja kelenjar adrenal dalam menghasilkan hormon

glukokortikosteroid (Wenlong & Nie 1973). Hormon ini mempunyai peranan

penting dalam menghambat proses peradangan (inflamasi), migrasi leukosit,

deposit fibrin dan pembentukan jaringan ikat. Hormon glukokortikosteroid

menghambat peradangan dengan cara menghambat pembentukan media

peradangan seperti prostaglandin tromboxanes dan leukotrienes yang

mempengaruhi metabolisme asam arachidonat parasit (Cunningham 1994).

Selain sebagai anti inflamasi, andrographolid juga bertindak sebagai

immunostimulan khususnya dalam proses fagositosis. Hal tersebut telah

dilakukan percobaan menggunakan sambiloto secara invitro dan invivo yang

dilakukan dengan menggunakan zat aktif andrografolid dan ekstrak sambiloto

dalam media larutan (cair) dengan menggunalkan mencit (mice). Hasil penelitian

itu menyatakan bahwa andrographolid dan sambiloto, keduanya dapat

menstimulasi kekebalan terhadap antigen, baik yang spesifik maupun nonspesifik

(Mills & Bone 2000). Kekebalan spesifik ditandai dengan adanya peningkatan

jumlah sel-sel limfosit dalam peredaran darah, sedangkan kekebalan nonspesifik

ditandai dengan adanya peningkatan jumlah sel heterofil, eosinofil, basofil dan

makrofag yang akan memfagosit benda asing yang masuk ke tubuh. Menurut

Deng (1978), dehidroandrographolid juga berkhasiat sebagai anti radang dengan

meningkatkan sintesa dan pituitary otak yang mengirimkan sinyal ke kelenjar

adrenal untuk memproduksi kortisol yang merupakan anti radang alami.

Flavonoid merupakan pigmen yang tersebar luas dalam bentuk senyawa

glikogen dan aglikon yang larut dalam air. Salah satu fungsi flavonoid dalam

tanaman adalah sebagai hormon pertumbuhan dan inhibitor enzim dengan

mengkompleks protein. Flavonoid dapat menghambat perkembangan parasit

35

dengan bertindak sebagai inhibitor enzim. Mekanisme penghambatan yaitu

dengan cara menghambat produksi enzim dan sintesis asam-asam nukleat atau

protein (Rohimah 1997), melalui mekanisme tersebut pertumbuhan dan

perkembangan parasit kemungkinan dapat ditekan.

Saponin mempunyai dua jenis yaitu: glikosida triterpenoida alkohol dan

glikosida struktur steroid. Saponin dapat mengurangi rasa sakit, mampu

membunuh kuman dan merangsang pertumbuhan sel-sel baru pada kulit.

Demikian pula dengan tanin, memiliki dua jenis, yaitu: tannin terhidrolisis dan

tannin terkondensasi. Tannin memiliki sifat astringent yang berfungsi sebagai

antidiare (Syamsuhidayat & Hutapea 1991).

Sastrapaja et al. (1978) menyatakan bahwa tanaman sambiloto memiliki

sifat antipiretik (meredam demam), analgesik (penghilang rasa sakit),

menghilangkan panas dalam, detoksikan (penawar racun), anti radang dan

detumescent ( mengecilkan pembengkakan). Tanaman ini dapat berperan dalam

piknosis (penyusutan inti sel dalam bentuk padat dan terjadi ketika sel mati).

Sambiloto mempunyai sifat bakteriostatik dan meningkatkan daya fagositosis sel

darah putih. Menurut Nuratmi et al. (1996), sambiloto digunakan sebagai anti

piretika, anti inflamasi, anti diuretika, analgesik, obat rematik, menurunkan

kontraksi usus, anti diabetes, menambah nafsu makan dan memperbaiki saluran

pencernaan.

2.5.5 Mekanisme Kerja Zat Aktif Sambiloto

Mekanisme kerja andrographolid dalam tubuh yaitu dapat menimbulkan

efek anti inflamasi dengan menstimulasi Adenocorticotrophic Hormone (ACTH)

pada kelenjar hipofise anterior, selanjutnya ACTH akan merangsang korteks

adrenal untuk membentuk kortisol yang memiliki efek anti inflamasi (Wenlong &

Nie 1973). Zat andrographolid dari tanaman sambiloto diketahui dapat

meningkatkan sistem kekebalan dengan menghasilkan sel darah putih untuk

menghancurkan bakteri dan benda asing lainnya, serta mengaktifkan sistem limpa

(Wibudi 2006).

36

2.6 Streptozotosin

Streptozotosin mempunyai rumus kimia C8H15N3O7. Biasanya digunakan

sebagai anti kanker atau anti neoplastik karena sifatnya sebagai alkilating agent,

terutama untuk mengobati kanker pankreas atau islet-cell carcinoma, namun juga

dapat menyebabkan rusaknya sel penghasil insulin (Johnson 2002).

Streptozotosin (STZ, Zanosar) merupakan senyawa hasil sintesis Streptomycetes

achromogenes dan dapat digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan

coba, baik Diabetes Mellitus tergantung insulin (IDDM) atau tidak tergantung

insulin (NIDDM). Selain itu STZ juga berfungsi sebagai antibakteri spectrum

luas, antitumor maupun sebagai bahan karsinogenik (Cooperstein & Watkins

1981). STZ terdiri dari 1-methyl-1-nitrosurea. Menurut Gordon dan Dan (1991),

tikus yang diberi STZ akan mengalami kerusakan pada sel β pankreas yang

menyebabkan perubahan yang nyata dalam metabolisme hepatik fase I dan fase II.

Menurut Szkudelski (2001), efek diabetogenik STZ didapatkan dengan

meningkatkan konsentrasi radikal bebas intraseluler atau dengan menurunkan

kemampuan sel β untuk mempertahankan antioksidan. Dosis yang digunakan

pada tikus untuk menginduksi IDDM secara intravena diantara 40-60 mg/kg BB,

dapat juga diberikan secara intraperitoneal dengan dosis yang sama atau lebih

tinggi, dan kurang efektif jika diberikan di bawah dosis 40 mg/dL. Pemberian

STZ sebanyak 50 mg/kg BB secara intraperitoneal pada tikus dapat meningkatkan

kadar glukosa darah sampai sekitar 15 mM (270 mg/dL) setelah 2 minggu. STZ

adalah donor nitrit oksida (NO) yang ditemukan sebagai penyebab kerusakan sel

pankreas, dengan cara meningkatkan aktivitas guanilil siklase. STZ dapat

menghambat siklus Krebs, dan akibatnya konsumsi oksigen berkurang. Hal ini

menyebabkan pembatasan produksi ATP dalam mitokondria yang menyebabkan

deplesi nukleotida dalam sel β.

Penggunaan STZ dapat menimbulkan efek samping, diantaranya anorexia,

nausea, vomit, pembengkakan pada kaki dan alopesia (Johnson 2002).