bab ii tinjauan pustaka 2.1 uraian umum 2.1.1 pengertian …eprints.umm.ac.id/58511/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Umum
2.1.1 Pengertian Beton
Menurut SNI 2847:2013, beton adalah campuran semen portland atau
semen hidrolis lainnya, agregat halus, agregat kasar, dan air, dengan atau tanpa
bahan tambahan (admixture). Seiring dengan penambahan umur, beton akan
semakin mengeras dan akan mencapai kekuatan rencana (f’c) pada usia 28 hari.
Beton memliki daya kuat tekan yang baik oleh karena itu beton banyak dipakai atau
dipergunakan untuk pemilihan jenis struktur terutama struktur bangunan, jembatan
dan jalan. Beton terdiri dari ± 15 % semen, ± 8 % air, ± 3 % udara, selebihnya pasir
dan kerikil. Campuran tersebut setelah mengeras mempunyai sifat yang berbeda-
beda, tergantung pada cara pembuatannya. Perbandingan campuran, cara
pencampuran, cara mengangkut, cara mencetak, cara memadatkan, dan sebagainya
akan mempengaruhi sifat-sifat beton. (Wuryati, 2001). Beton merupakan bahan
utama dalam setiap pembangunan gedung. Beton merupakan hasil dari
pencampuran bahan-bahan agregat halus dan agregat kasar yaitu pasir, batu kerikil
dengan menambahkan secukupnya bahan perekat yaitu semen dan air sebagai
bahan pembantu agar terjadinya reaksi kimia selama proses pengerasan dan
perawatan beton. Beton bertulang adalah beton yang terdiri dari beton dan baja
tulangan.
Agregat halus dan kasar, disebut sebagai bahan susun kasar campuran,
merupakan komponen utama beton. Nilai kekuatan serta daya tahan (durability)
beton merupakan fungsi dari banyak faktor, diantaranya ialah nilai banding
campuran dan mutu bahan susun, metode pelaksanaan pengecoran, pelaksanaan
finishing, temperatur, dan kondisi perawatan pengerasannya beton mempunyai
perbandingan terbalik antara kuat tekan dan kuat tariknya. Beton mempunyai kuat
tekan yang sangat tinggi tetapi sangat lemah dalam kuat tariknya. Nilai kuat
tariknya hanya berkisar antara 9%-15% saja dari kuat tekannya. Sedangkan baja
mempunyai kuat tarik yang sangat tinggi. Maka hal ini dikombinasikan antara beton
7
yang mempunyai kuat tekan tinggi dan baja yang mempunyai kuat tarik yang tinggi
untuk mendapatkan suatu struktur bangunan yang komposit, Dengan sendirinya
untuk mengatur kerjasama antara dua macam bahan yang berbeda sifat dan
perilakunya dalam rangka membentuk satu kesatuan perilaku struktural untuk
mendukung beban, diperlukan cara hitungan berbeda apabila hanya digunakan satu
macam bahan saja seperti halnya pada struktur baja, kayu, aluminium, dan
sebagainya.
Agar kerjasama antara bahan beton dan baja tulangan dapat berkerja dengan
baik maka diperlukan syarat-syarat keadaan sebagai berikut : (1) lekatan sempurna
antara batang tulangan baja dengan beton keras yang membungkusnya sehingga
tidak terjadi penggelinciran diantara keduanya; (2) beton yang mengelilingi batang
tulangan baja bersifat kedap sehingga mampu melindungi dan mencegah terjadinya
karat baja; (3) angka muai kedua bahan hampir sama, di mana untuk setiap kenaikan
suhu satu derajat Celcius angka muai beton 0,000010 sampai 0,000013 sedangkan
baja 0,000012, sehingga tegangan yang timbul karena perbedaan nilai dapat
diabaikan, Namun dari lekatan yang sempurna antara kedua bahan tersebut di
daerah tarik suatu komponen struktur akan sering terjadi retak-retak halus pada
beton di dekat baja tulangan. Pada umumnya penyebab utama dari pada timbulnya
retakan ini adalah penguapan yang sangat cepat dari permukaan beton. Ketika
kecepatan dari penguapan melampaui kecepatan merembesnya air, yang pada
umunya ke atas permukaan beton, maka terjadilah retakan halus seperti yang
dimaksud di atas. Retak halus ini dapat kita abaikan sejauh tidak mempengaruhi
penampilan struktural komponen yang bersangkutan.
2.1.2 Keunggulan Beton
Menurut (Tjokrodimuljo, 2007) beton memiliki beberapa kelebihan antara
lain sebagai berikut ini :
1. Harga yang relatif lebih murah karena menggunakan bahan-bahan dasar yang
umumnya mudah didapat
8
2. Termasuk bahan yang awet, tahan aus, tahan panas, tahan terhadap pengkaratan
atau pembusukan oleh kondisi lingkungan, sehingga biaya perawatan menjadi
lebih murah
3. Mempunyai kuat tekan yang cukup tinggi sehingga jika dikombinasikan
dengan baja tulangan yang mempunyai kuat tarik tinggi sehingga dapat
menjadi satu kesatuan struktur yang tahan tarik dan tahan tekan, untuk itu
struktur beton bertulang dapat diaplikasikan atau dipakai untuk pondasi,
kolom, balok, dinding, perkerasan jalan, landasan pesawat udara, penampung
air, pelabuhan, bendungan, jembatan dan sebagainya
4. Pengerjaan atau workability mudah karena beton mudah untuk dicetak dalam
bentuk dan ukuran sesuai keinginan. Cetakan beton dapat dipakai beberapa kali
sehingga secara ekonomi menjadi lebih murah.
2.1.3 Kelemahan Beton
Walaupun beton mempunyai beberapa kelebihan, beton jua memiliki
beberapa kekurangan, menurut (Tjokrodimuljo, 2007) kekurangan beton adalah
sebagai berikut ini.
1. Bahan dasar penyusun beton agregat halus maupun agregat kasar bermacam-
macam sesuai dengan lokasi pengambilannya, sehingga cara perencanaan dan
cara pembuatannya bermacam-macam
2. Beton mempunyai beberapa kelas kekuatannya sehingga harus direncanakan
sesuai dengan bagian bangunan yang akan dibuat, sehingga cara perencanaan
dan cara pelaksanaan bermacam-macam pula
3. Beton mempunyai kuat tarik yang rendah, sehingga getas atau rapuh dan
mudah retak. Oleh karena itu perlu diberikan cara-cara untuk mengatasinya,
misalnya dengan memberikan baja tulangan, serat baja dan sebagainya agar
memiliki kuat tarik yang tinggi.
2.1.4 Jenis Beton
Pada umunya beton sering digunakan sebagai struktur dalam konstruksi
suatu bangunan. Dalam teknik sipil, beton digunakan untuk bangunan fondasi,
9
kolom, balok dan pelat. Menurut Mulyono (2005). terdapat beberapa jenis beton
yang dipakai dalam konstruksi suatu bangunan yaitu sebagai berikut ini.
1. Beton normal adalah beton yang menggunakan agregat normal
2. Beton bertulang adalah beton yang menggunakan tulangan dengan jumlah dan
luas tulangan tanpa pratekan dan direncanakan berdasarkan asumsi bahwa
kedua material bekerja secara bersama-sama dalam menahan gaya yang
bekerja
3. Beton pracetak adalah beton yang elemen betonnya tanpa atau dengan tulangan
yang dicetak di tempat yang berbeda dari posisi akhir elemen dalam strukur
4. Beton pratekan dalah beton dimana telah diberikan tegangan dalam bentuk
mengurangi tegangan tarik potensial dalam beton akibat pemberian beban yang
bekerja.
5. Beton ringan adalah beton yang memakai agregat ringan atau campuran antara
agregat kasar ringan dan pasir alami sebagai pengganti ageragat halus ringan
dengan ketentuan tidak boleh melampaui berat isi maksimum beton 1850
kg/m3 kering udara dan harus memenuhi ketentuan kuat tekan dan kuat tarik
beton ringan untuk tujuan struktural.
2.2 Perencanaan Pelat
2.2.1 Perencanaan Plat Atap
Plat atap merupakan plat yang hampir sama dengan plat lantai, hanya saja
perbedaanya terletak pada ketebalan plat dan beban–beban yang dipikul oleh
pelat,struktur ini termasuk struktur yang tidak terlindungi sehingga memiliki
ketebalan selimut beton yang lebih besar dibandingkan struktur plat lantai.
Beban–beban yang bekerja pada pelat atap,yaitu :
• Beban Mati (WD) :
1. Berat sendiri pelat atap
2. Berat pengantung plafon dan plafon
• Beban Hidup (WL)
1. Beban manusia, diambil 100 𝑘𝑔
𝑚2
2. Beban akibat hujan, diperkirakan 10 cm (ppurg,1983)
10
2.2.2 Perencanaan Pelat Lantai
Plat beton bertulang dalam suatu struktur dipakai pada lantai, pada plat
ruang ditumpu balok pada keempat sisinya terbagi dua berdasarkan geometrinya
antara lain :
1. Pelat satu arah (One Way Slab)
2. Pelat dua arah (Two Way Slab)
Syarat-syarat dalam perencanaan pelat beton sebagai berikut :
1. Tebal minimum untuk pelat satu arah (SNI-03-2847-2002)
2. Tebal minimum untuk pelat satu arah ditentukan (lihat dalam Tabel 2.1)
Tabel 2.1 Tabel Minimum Pelat Satu Arah Lendutan
Tebal Minimum ( h )
Komponen
struktur
Dua tumpuan
sederhana Satu ujung menerus
Kedua ujung
menerus kantilever
Komponen yang tidak menahan atau tidak disatukan
dengan partisi atau konstruksi lain yang mungkin akan rusak oleh lendutan
yang besar
Plat masif
satu arah ln/20 1n/24 1n/28 1n/10
Balok atau
plat rusuk satu
arah
1n/16
1n/18,5
1n/21
1n/8
(Sumber: SNI-03-2847-2002)
Catatan :
• Panjang bentang dalam mm
• Nilai yang diberikan harus digunakan langsung untuk komponen struktur dengan
beton normal (wc = 2400 𝑘𝑔
𝑚3)dan tulangan BJTD 40. Untuk kondisi lain, nilai
diatas harus dimodifikasi sebagai berikut :
1. Untuk struktur beton ringan dengan berat jenis diantara 1500 𝑘𝑔
𝑚3 sampai 2000 𝑘𝑔
𝑚3
, nilai tadi harus dikalikan dengan (1,65-0,0003 wc) tetapi tidak kurang dari 1,09
dimana wc adalah berat jenis dalam 𝑘𝑔
𝑚3.
2. Untuk fy selain 400 MPa, nilainya harus dikalikan dengan ( 0,4 + fy/700 ). (SNI-
03-2847-2002 pasal 11.5, hal 63)
11
• Untuk pelat dua arah yaitu dalam segala hal tebal minimum pelat tidak boleh
kurang dari harga berikut :
1. Untuk αm < 2,0 yaitu 120mm
2. Untuk αm > 2,0 yaitu 90mm
• Spasi tulangan (SK SNI-03-2847-2002)
1. Jarak bersih antara tulangan sejajar dalam lapis yang sama, tidak boleh kurang
dari db ataupun 25 mm.
2. Bila tulangan sejajar tersebut diletakkan dalam dua lapis atau lebih, tulangan
pada lapis atas harus diletakkan tepat di atas tulangan di bawahnya dengan
spasi bersih antar lapisan tidak boleh kurang dari 25 mm.
3. Pada komponen struktur tekan yang diberi tulangan spiral atau sengkang
pengikat, jarak bersih antar tulangan longitudinal tidak boleh kurang dari
1,5db ataupun 40 mm 40 dari 278.
4. Pembatasan jarak bersih antar batang tulangan ini juga berlaku untuk jarak
bersih antara suatu sambungan lewatan dengan sambungan lewatan lainnya
atau dengan batang tulangan yang berdekatan.
5. Pada dinding dan pelat lantai yang bukan berupa konstruksi pelat rusuk,
tulangan lentur utama harus berjarak tidak lebih dari tiga kali tebal dinding
atau pelat lantai, ataupun 500 mm.
6. Bundel tulangan:
a. Kumpulan dari tulangan sejajar yang diikat dalam satu bundel sehingga
bekerja dalam satu kesatuan tidak boleh terdiri lebih dari empat tulangan
per bundel.
b. Bundel tulangan harus dilingkupi oleh sengkang atau sengkang pengikat.
c. Pada balok, tulangan yang lebih besar dari D-36 tidak boleh dibundel.
d. Masing-masing batang tulangan yang terdapat dalam satu bundel tulangan
yang berakhir dalam bentang komponen struktur lentur harus diakhiri pada
titik-titik yang berlainan, paling sedikit dengan jarak 40 db secara
berselang.
12
e. Jika pembatasan jarak dan selimut beton minimum didasarkan pada
diameter tulangan db, maka satu unit bundel tulangan harus
diperhitungkan sebagai tulangan tunggal dengan diameter yang didapat
dari luas ekuivalen penampang gabungan.
f. Selimut beton pada tulangan harus memenuhi ketentuan dan standar (SNI-
03-2847-2002)
Tabel 2.2 Tebal Selimut Beton Minimum Untuk Beton Bertulang
Tebal selimut beton
minimum
(mm)
a) Beton yang dicor langsung diatas tanah dan selalu berhubugan dengan
tanah 75
b) Beton yang berhubungan dengan tanah atau cuaca :
1) Batang D-19 atau D-56 50
2) Batang D-16 atau jaring kawat polos P16 atau kawat ulir D16 yang lebih
kecil
40
c) Beton yang tidak langsung berhubungan dengan cuaca atau beton yang
tidak langsung berhubungan dengan tanah :
3) Pelat, Dinding, Pelat rusuk
Batang D-44 dan D-56 40
Batang D-36 dan batang yang lebih kecil 20
4) Balok, Kolom
Tulangan utama, pengikat, sengkang,
lilitan spiral
40
5) Komponen struktur cangkang, pelat lipat :
Batang D-19 yang lebih besar 20
Batang D-16, jarring kawat polos P16
atau ulir D16 dan yang lebih kecil
15
(Sumber: SNI-03-2847-2002, 41)
• Pelat satu arah (One way slab)
Pelat satu arah yaitu suatu pelat yang memiliki panjang lebih besar atau
lebih lebar yang bertumpu menerus melalui balok-balok. Maka hampir semua
beban lantai dipikul oleh balok-balok yang sejajar. Suatu pelat dikatakan pelat satu
arah apabila.
13
Gambar 2.1 Tinjauan Arah Ly dan Lx
Dalam perencanaan struktur pelat satu arah, langkah-langkahnya adalah sebagai
berikut:
1. Menentukan tebal pelat
2. Menghitung beban mati pelat termasuk beban sendiri pelat dan beban hidup serta
menghitung momen rencana (Wu).
WU = 1,2 WD + 1,6 WL
WD = Jumlah beban mati (𝑘𝑔
𝑚)
WL = Jumlah beban hidup (𝑘𝑔
𝑚)
1. Menghitung momen rencana (Mu) baik dengan cara tabel atau analis.Perkiraan
tinggi efektif (deff)
deff = h – p – Øs – ½ D……………………………….….....(1 Lapis)
deff = h – p - Øs – ½ D – jarak tulangan minimum – ½ D.....(2 Lapis)
2. Menghitung K perlu
𝐾 =𝑀𝑢
Øb. deff 2
Dimana :
K = Faktor panjang efektif komponen struktur tekan (Mpa)
Mu = Momen terfaktor pada penampang (N/mm)
b = lebar penampang (mm)
deff = tinggi efektif pelat (mm)
Ø = faktor kuat rencana (0,8)
14
3. Menentukan rasio penulangan (ρ) dari tabel. (Istimawan : 462 dst.)
4. Jika ρ > ρmax, maka ditambahkan balok anak untuk memperkecil momen.
5. Hitung As yang diperlukan
𝐴𝑠 = 𝜌 . 𝑏 . 𝑑𝑒𝑓𝑓
Dimana :
As = Luas tulangan (mm2)
ρ = Rasio penulangan
deff = Tinggi efektif pelat (mm)
6. Tulangan susut/pembagi
As = 0,0020.b.h (untuk fy = 400 MPa)
As = 0,0018.b.h (untuk fy = 240 MPa)
Dimana :
b = Lebar satuan pelat
h = Tebal pelat
• Pelat dua arah (Two way slab)
Gambar 2.2 Tinjauan Arah Ly dan Lx
Pelat dua arah adalah pelat yang bertumpu digelagar pada keempat sisinya
dan suatu pelat dikatakan pelat dua arah apabila 𝐿𝑦
𝐿𝑥 ≥ 2 dimana Ly dan Lx adalah
panjang dari sisinya.
Berikut adalah langkah-langkah dalam perhitungan pelat dua arah :
15
1. Dimensi balok
Tebal minimum tanpa balok interior yang menghubungkan tumpuan- tumpuannya,
harus memenuhi ketentuan dari tabel 2.5
Tabel 2.3 Tebal Minimum Dari Pelat Tanpa Balok Interior
Tegangan Leleh
fya (Mpa)
Tanpa penebalanb Dengan penebalanb
Panel Luar Panel
dalam Panel Luar
Panel
dalam
Tanpa balok
pinggir
Dengan balok
pinggir
Tanpa balok
pinggir
Dengan balok
pinggir
300 Ln/33 Ln/36 Ln/36 Ln/36 Ln/40 Ln/40
400 Ln/30 Ln/33 Ln/33 Ln/33 Ln/36 Ln/36
500 Ln/30 Ln/33 Ln/33 Ln/33 Ln/36 Ln/36
(Sumber : SNI-03-2847-2002;66)
• Menentukan tebal pelat
1. Untuk αm ≤ 0,2
a. Pelat tanpa penebalan, tebal pelat minimum 120 mm.
b. Pelat dengan penebalan, tebal pelat minimum 100 mm.
2. Untuk 0,2 < αm ≤ 2,0
Tebal pelat minimum harus memenuhi :
ℎ =𝑖𝑛(0,8 +
𝑓𝑦1500
)
36𝛽 + 5𝛽(𝑎𝑚 − 0,2)
dan tidak boleh < 120 mm (SNI 03–2847–2002;66)
3. Untuk αm > 2,0
Tebal pelat minimum harus memenuhi :
ℎ =𝑖𝑛(0,8 +
𝑓𝑦1500
)
36𝛽 + 9𝛽
dan tidak boleh < 90 mm (SNI 03–2847–2002;66)
16
• Mencari nilai αm dari masing-masing panel untuk mengecek apakah pemakaian
hcoba telah memenuhi persyaratan.
Gambar 2.3 Panel Pelat Yang Ditinjau
Untuk αm < 2,0 tebal pelat minimum adalah 120 mm
Untuk αm > 2,0 tebal pelat minimum adalah 90 mm
• Cek nilai haktual dari hasil nilai αm yang telah didapat
Nilai h boleh dipakai apabila lebih besar dari haktual. Apabila dalam
perhitungan nilai hbeton lebih kecil, maka nilai tebal pelat yang dicoba
direncanakan ulang (diperbesar) dan perhitungannya diulangi kembali.
Menghitung beban yang bekerja pada pelat (beban mati dan beban hidup).
Kemudian hasil perhitungan akibat beban mati dan beban hidup dikali dengan
faktor beban untuk mendapatkan nilai beban terfaktor.
𝑊𝑢 = 1,2 𝐷𝐿 + 1,6 𝐿𝐿
Mencari momen yang bekerja pada arah x dan y, dengan cara penyaluran
“metode amplop” (Gideon Kusuma, 1996).
17
Tabel 2.4 Momen Pelat Dua Arah Akibat Beban Terbagi Rata
18
• Mencari tebal efektif pelat (SK SNI-03-2847-2002)
Rasio tulangan dalam beton (ρ) dan memperkirakan besarnya diameter
tulangan utama dan untuk menentukan tinggi efektif arah x (dx) adalah :
Dx = h - p - ½ Ø tulangan arah x
Dy = h - p - ½ Ø tulangan arah y – Øx
• Mencari nilai koefisien tahanan (k)
Faktor reduksi Ө = 0,80
• Mencari rasio penulangan (ρ)
Rasio penulangan ini didapat berdasarkan koefisien tahanan (k) yang telah
didapat sebelumnya. Dengan menggunkan tabel A-11 (Dipohusodo I, Struktur
Beton Bertulang, Penerbit Gramedia Pustaka Utama hal 446)
• Mencari luas tulangan (As)
𝐴𝑠 = 𝑝. 𝑏. 𝑑
• Mencari jumlah tulangan (n)
• Mencari jarak antar tulangan (s)
• Mamasang tulangan
Untuk arah y sama dengan langkah-langkah pada arah x, hanya perlu diingat
bahwa tinggi efektif arah y (dy) tidak sama dengan yang digunakan dalam arah x
→ dy = h – p – Øarah x – Ø arah y
19
2.3 Perencanaan Balok
Balok adalah elemen struktur yang memikul beban dari plat untuk
diteruskan kepada kolom. Selain daripada itu, balok juga berfungsi sebagai rangka
penguat horizonal bangunan dan pengikat antar kolom.
Untuk menghindari kehancuran yang bersifat mendadak tanpa diawali tanda-tanda
keruntuhan, Berdasarkan SNI (2847-2013) menjelaskan bahwa rasio tulangan yang
dipakai adalah sebagai berikut :
𝜌 =𝐴𝑠
𝑏. 𝑑
𝜌𝑏 =𝛽1(𝑓𝑐 ′)
𝑓𝑦 (
600
600+ 𝑓𝑦)
𝜌𝑚𝑎𝑘𝑠 = 0,75 𝑥 𝜌𝑏
Dimana :
𝜌 = Rasio 𝐴𝑠 terhadap 𝑏𝑑
𝐴𝑠 = Luas tulangan tarik longitudinal non-prategang (mm2)
𝑏 = Lebar muka tekan komponen struktur (mm)
𝑑 = Jarak serat tekan terjauh ke pusat tulangan tarik longitudinal (mm)
𝜌𝑏 = Rasio 𝐴𝑠 terhadap 𝑏𝑑 yang menghasilkan kondisi regangan seimbang
𝛽1 = Rasio dimensi panjang terhadap pendek : bentang bersih untuk pelat dua
arah.
𝑓𝑦 = Mutu Baja (Mpa)
Gambar 2.4 Pemeriksaan Kompabilitas
20
Menurut, Istimawan,D (1994) Untuk pengecekan tulangan tarik sudah
luluh atau belum, maka ditetapkan beberapa ketentuan. Tulangan mencapai luluh
apabila Ɛs > ɛy. Sedangkan untuk kekuatan balok itu sendiri dengan metode beban
ultimit maka ditetapkan, ɸMn ≥ Mu
𝑀𝑛 = 𝐴𝑠. 𝑓𝑦 (𝑑 −𝑎
2)
𝑎 =𝐴𝑠𝑓𝑦
0,85 𝑓𝑐′𝑏
Dimana :
𝑀𝑛 = Kekuatan lentur nominal pada penampang,
𝐴𝑠 = Luas tulangan tarik longitudinal non-prategang (mm2),
𝑓𝑦 = Mutu Baja (Mpa),
𝑓’𝑐 = Mutu beton (Mpa)
𝑏 = Lebar muka tekan komponen struktur (mm)
𝑎 = Kedalaman blok tegangan yang harus terjadi bila dikehendaki
keseimbangan gaya-gaya arah horisontal.
2.4 Perencanaan Kolom
Analisis dan desain dari penampang kolom yang mengalami lentur dua arah
tidak mudah dilakukan hanya dengan hanya menggunakan prinsip-prinsip dasar
kesetimbangan statika. Sumbu netral akan terletak pada suatu sudut tertentu dari
sumbu x dan sumbu y, sehingga akan dibutuhkan perhitungan yang cukup panjang
dan rumit untuk menentukan lokasi sumbu netral tersebut, regangan, dan gaya
dalam beserta letak titik tangkap gaya tersebut. Kuat lentur dua arah dari kolom
yang memikul beban aksial dapat direpresentasikan sebagai diagram interaksi tiga
dimensi Setiawan, A., (2016 hal 188-189).
Apabila Pn bekerja pada sumbu y dengan eksentrisitas ex, akan dihasilkan
momen terhadap sumbu x yang besarnya adalah Mnx = Pn.ex. atau Pn dapat pula
bekerja pada sumbu x dengan eksentrisitas ey yang menghasilkan momen Mny =
Pn.ey. Namun beban Pn dapat juga bekerja pada suatu titik yang bekerja Key
terhadap sumbu x, dan berjarak ex terhadapa sumbu y. Pada kasus yang terakhir ini,
21
akan timbul beban kombinasi antara Pn, Mnx = Pn.ey dan Mny = Pn.ey. Kolom
pada kondisi ini dikatakan mengalami lentur dua arah (Biaxial Bending).
Untuk kolom persegi yang mengalami lentur dua arah, terdapat beberapa metode
pendekatan yang dapat digunakan. Salah satu metodenya yaitu metode Resiprokal
Bresler. Metode ini adalah metode analisis pendekatan yang dikembangkan oleh
Boris Bresler dan sering disebut sebagai metode Resiprokal Bresler. Menurut
metode ini, kapasitas beban dari kolom yang mengalami lentur dua arah dapat
ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :
1
𝑃𝑛=
1
𝑝𝑛𝑥+
1
𝑃𝑛𝑦−1
𝑃𝑜
Dimana :
Pn = beban tekan nominal kolom pada saat lentur dua arah terjadi
Pnx = beban tekan nominal yang bekerja dengan eksentrisitas ey, dengan ex = 0
Pny = beban tekan nominal yang bekerja dengan eksentrisitas ex, dengan ey = 0
Po = beban tekan aksial murni dengan ex = ey = 0
Nilai-nilai Pnx, Pny, Po, apa dihitung dengan metode-metode yang telah
dijelaskan sebelumnya untuk kasus lentur satu arah. Persamaan Bresler ini berlaku
apabila nilai Pn sama dengan atau lebih besar daripada 0,10Po. Persamaan ini tidak
berlaku apabila beban aksial yang bekerja adalah berupa beban aksial tarik.
Berdasarkan, Istimawan,D (1994) penetapan kriteria kelangsingan kolom adalah
sebagai berikut :
𝑘. 𝑙𝑢
𝑟
Dimana :
K = Faktor panjang efektif komponen struktur tekan,
lu = Panjang komponen struktur tekan yang di topang,
r = jari-jari putaran (radius of gyration) potongan lintang komponen struktur
tekan = √ⅈ
𝐴 ; ditetapkan 0,30 h dimana h ukuran dimensi kolom persegi pada arah
berkerjanya momen; atau 0,25D, dimana D adalah diameter kolom bulat (SK SNI
T-151-1991-03 pasal 3.3.11 ayat 3).
22
a. Untuk komponen struktur tekan yang tidak dibreising terhadap goyangan
menyamping :
𝑘. 𝑙𝑢
𝑟 ≤ 22
Panjang efektif K.lu diperlukan sebagai panjang modifikasi kolom untuk
memperhitungkan efek tahanan ujung yang bukan sendi, Faktor panjang efekstif
tahanan ujung K bervadasi anatara nilai 0,50 – 2,0 tergantung kondisinya, untuk
keadaan tipikal adalah sebagai nilai-nilai berikut ini ;
Kedua ujung sendi, tidak tergerak lateral k = 1,0
Kedua ujung dijepit k = 0,50
Satu ujung jepit, ujung lain bebas k = 2,0
Kedua ujung dijepit, ada gerak lateral k = 1,0
b. Untuk komponen struktur tekan yang dibreising terhadap goyangan
menyamping :
𝑘. 𝑙𝑢
𝑟≤ 34− 12 [
𝑀1𝑏
𝑀2𝑏] ≤ 40
Dimana :
M1b dan M2b adalah momen-momen ujung terfaktor pada kolom yang posisinya
berlawanan, Momoe tersebut terjadi akibat beban yang tidak menimbulkan
goyangan ke samping yang besar, dihitung dengan analisis struktur elastis.
Menurut SNI (2847-2013), faktor panjang efektif tahanan ujung k,
dijelaskan pada Tabel 2.13
Tabel 2.5 Faktor Panjang Efektif Kolom
Kondisi K
Kedua ujung sendi, tidak bergerak lateral 1.0
Kedua ujung jepit 0.5
Satu ujung, ujung lain bebas 2.0
Kedua ujung jepit 1.0
Sumber : Istimawan (1994)
23
Nilai k dapat pula ditentukan dengan menggunakan nomogram, dengan
terlebih dahulu menghitung faktor tahanan ujung atau kekakuan relatif ѱA dan ѱB
pada sisi atas dan bawah pada kolom, yaitu :
Gambar 2.5 Nomogram Panjang Efektif (k) Kolom
2.5 Sistem Rangka Pemikul Momen
Menurut SNI 1726:2012 sistem struktur yang pada dasarnya memiliki
rangka pemikul beban gravitasi secara lengkap, sedangkan beban lateral yang
diakibatkan oleh gempa dipikul oleh rangka pemikul momen melalui mekanisme
lentur. Sistem rangka pemikul momen ini dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu :
2.5.1 Sistem Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB)
Suatu sistem rangka yang memenuhi ketentuan-ketentuan pasal 3 hingga
pasal 20 SNI 03-2847-2002. Sistem rangka ini pada dasarnya memiliki tingkat
daktiltas terbatas dan hanya cocok digunakan di daerah dengan resiko gempa yang
rendah.
2.5.2 Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah (SRPMM)
Suatu sistem rangka yang selain memenuhi ketentuan-ketentuan untuk
rangka pemikul momen biasa juga memenuhi ketentuan-ketentuan detailing.
Sistem ini pada dasarnya memiliki tingkat daktilitas sedang.
24
2.5.3 Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK)
Sistem rangka pemikul momen khusus dimana struktur rangka beton
bertulang direncanakan berperilaku daktail penuh artinya semua kapasitas daktilitas
strukturnya dikerahkan secara maksimal.
2.5.4 Persyaratan Detailing Komponen Struktur Lentur
1. Persyaratan Geometri
Komponen struktur didefinisikan sebagai komponen struktur diaman gaya
aksial tekan terfaktor yang bekerja pada penampangnya tidak melebihi 0,1 Agfc’
dengan Ag adlah luas penampang komponen struktur. Ada beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi untuk komponen lentur, yaitu :
• Bentang komponen struktur tidak boleh kurang dari empat kali tinggi efektifnya.
• Perbandingan lebar terhadap tinggi komponen struktur tidak boleh kurang dari
0,3.
• Lebar penampang haruslah
a) ≥ 250 mm
b) ≤ lebar kolom ditambah jarak pada sisi kolom yang tidak melebihi tiga per empat
tinggi komponen struktur lentur. Persyaratan ini terkait dengan transfer momen
akibat gempa dari elemen struktur balok ke kolom.
Gambar 2.6 Ketentuan Dimensi Balok
2. Persyaratan Tulangan Lentur
Ada beberapa persyaratan tulangan lentur yang perlu diperhatikan pada
perencanaan komponen lentur SRPMK, diantaranya yaitu :
• Masing-masing luas tulangan atas dan bawah harus lebih besar dari luas tulangan
minimum yang disyaratkan yaitu (0,25bwd√fc)/fy atau (1,4bwd)fy dengan bw dan d
25
masing-masing adalah lebar dan tinggi efektif penampang komponen lentur.
Rasio tulangan lentur maksimum ρmaks 0,025.
• Kuat lentur positif balok pada kolom harus lebih besar atau sama sengan
setengah kuat lentur negatifnya. Kuat lentur negatif dan positif setiap
penampang di sepanjang bentang harus tidak kurang dari seperempat kuat lentur
pada bentang.
• Sambungan untuk penyambung tulangan lentur harus diberi tulangan sengkang
di sepanjang sambungan, pemasangan tulangan sengkang ini penting untuk
mengekang beton di daerah sambungan.
• Sambungan tidak boleh ditempatkan pada :
a. Daerah hubungan balok-kolom.
b. Daerah hingga jark dua kali tinggi balok h dari muka kolom.Lokasi yang
berdasarkan hasil analisis memperlihatkan kemungkinan terjadinya lelh
lentur akibat perpindahan lateral inelastis struktur portal bangunan.
Gambar 2.7 Persyaratan Sambungan Lewatan
3. Persyaratan Tulangan Transversal
Tulangan transversal pada komponen lentur dibutuhkan terutama untuk
menahan geser, mengekang daerah inti penampang beton dan menyediakan tahan
lateral bag batang-batang tulangan lentur di mana tegangan leleh dapat terbentuk.
Karena pengelupasan selimut beton dapat terjadi saat gempa kuat, maka semua
tulangan transversal pada elemen SRPMK harus dibentuk tulangan sengkang
tertutup. Beberapa persyaratan harus dipenuhi untuk pemasangan tulangan
sengkang tertutup, yaitu :
• Sengkang tertutup harus dipasang :
a. Pada daerah dua kali tinggi balok dari muka tumpuan.
26
b. Di sepanjang daerah dua kali tinggi balok pada kedua sisi dari suatu
penampang yang berpotensi membentuk sendi plastis.
• Sengkang tertutup pertama harus dipasang tidak lebih dari 50 mm dari muka
tumpuan.
a. d/4 dengan d adalah tinggi efektif penampang komponen lrntur.
b. Delapan kali diameter terkecil tulangan lentur.
c. 24 kali diameter batang tulangan sengkan tertutup.
d. 300 mm.
Gambar 2.8 Persyaratan Tulangan Tranversal
2.5.5 Persyaratan Kuat Geser untuk Komponen Stuktur Lentur
Kuat geser perlu Ve untuk perencanaan geser bagi komponen struktur lentur
SRPMK harus ditentukan dari peninjjauan gaya statik pada komponen struktur
antara dua muka tumpuan.
𝑉𝑒 = 𝑀𝑝𝑟1 + 𝑀𝑝𝑟2
𝐿 ±
𝑊𝑢 𝐿
2
Dimana :
Ve = kuat geser diujung balok
Mpr1 = kuat lentur maksimum
Mpr2 = kuat lentur maksimum
Wu = pengaruh beban gravitasi
L = panjang bentang bersih balok
Momen ujung Mpr dihitung berdasarkan nilai kuat tarik baja tulangan yang
telah diperbesar dengan menerapkan faktor kuat lebih bahan yaitu sebesar 1,25 fy.
27
2.5.6 Syarat Detailing Struktur Kombinasi Lentur dan Aksial
1. Persyaratan Geometri
Komponen struktur yang diabhas dalam pasal ini adalah komponen struktur
kolom, yang menerima kombinasi lentur dan beban aksial. Besarnya beban aksial
terfaktor yang bekerja pada komponen struktur kolom tidak kurang dari 0,1 Agfc’.
Beberapa persyaratan geometri juga harus dipenuhi oleh komponen struktur kolom
SRPMK, diantaranya :
• Ukuran penampang tidak kurang dari 300 mm.
• Perbandingan ukuran kecil penampang terhadap ukuran dlaam arah tegak
lurusnya tidak kurang dari 0,4.
Gambar 2.9 Persyaratan Geometri Kolom
2. Perencanaan Lentur
Berdasarkan SNI Beton, kuat lentur kolom SRMPK harus memenuhi
ketentuan kolom kuat balok lemah.
ΣMe ≥(6/5) ΣMg ................................................................................... (2.54)
Dengan :
ΣMe = jumlah Mn kolom yang merangka pdaa hubungan balok kolom. Mn harus
dihitung untuk gaya aksial, terfaktor sesuai dengan arah gaya lateral yang ditinjau
dan yang menghasilkan Mn terkecil.
ΣMg = jumlah Mn balok yang merangka pada hubungan balok kolom. Pada
konstruksi balok T, di mana pelat dalam keadaan tertarik pada muka kolom.
Tulangan pelat yang berada dalam daerah lebar efektif pelat harus diperhitungkan
28
dalam menentukan Mn balok bila tulangan tersebut terangkur dengan baik pada
penampang kritis lentur.
Untuk perhitungan Mn pada balok T, berdasarkan SNI Beton lebar efektif pelat
pada konstruksi balok T tidak boleh melebihi seperempat bentang balok, selain itu,
lebar efektif dari masing-masing sisi badan balok T tidak boleh melebihi :
• 8 kali tebal pelat.
• ½ jarak bersi anta balok-balok yang bersebelahan.
Untuk balok tepi, lebar efektif sayap dai sisi badan tidak boleh lebih dari :
• 1/12 dari bentang balok.
• 6 kali lebih tebal pelat.
• ½ jarak bersih antara balok-balok yang bersebelahan.
3. Persyaratan Tulangan Transversal
Tulangan transversal pada kolom utama berfungsi unttuk mengekang daerah
inti kolom, pada saat kolom menerima gaya aksial tekan, inti kolom cenderung
mengembang karena adanya pengaruh rasio Poisson dan sifat dilatasi material
beton (Imran dan Pantazopoulou, 2001).
Gambar 2.10 Sambungan Lewatan Pada Kolom
Richart Dkk. (1928) memberikan persamaan untuk mengestimasi nilai kuat
tekan aksial beton yang terkekang oleh tegangan lateral fl :
flcc = f
ic +4,1 fl ........................................................................................ (2.55)
29
dengan flcc adalah nilai kuat tekan beton yang terkekang.
Menurut SNI Beton (BSN, 2002b) mesyaratkan bahwa jumlah tulangan spiral atau
sengkang tertutup yang dipsanag di daerah-daerah tertentu kolom yang berpotensi
membentuk sendi plastis harus memenuhi ketentuan-ketentuan berikut :
• Rasio tulangan sengkang ρsi tidak boleh kurang dari
ρs = 0,12 𝑓𝑐 ′
𝑓𝑦ℎ ...................................................................... (2.56)
ρs* = 0,45 (
𝐴𝑔
𝐴𝑐 – 1)
𝑓𝑐 ′
𝑓𝑦ℎ ........................................................ (2.57)
• Kuas penampang sengkangtidak boleh kurang dari persamaan-persamaan
berikut :
a. Untuk potongan penampang yang arah normalnya x
Ashx* = 0,3 (shcx 𝑓𝑐 ′
𝑓𝑦ℎ) (
𝐴𝑔
𝐴𝑐ℎ -1) ............................................. (2.58)
Ashx = 0,09 (shcx 𝑓𝑐 ′
𝑓𝑦ℎ) .......................................................... (2.59)
b. Untuk potongan penampang yang arah normalnya y
Ashy* = 0,3 (shcy 𝑓𝑐 ′
𝑓𝑦ℎ) (
𝐴𝑔
𝐴𝑐ℎ -1) ............................................. (2.60)
Ashx = 0,09 (shcy 𝑓𝑐 ′
𝑓𝑦ℎ) .......................................................... (2.61)
Dimana :
Ashx = luas tulangan transversal dalam rentang spasi s dan tegak lurus terhadap
dimensi hcx
Ashy = luas tulangan transversal dalam rentang spasi s dan tegak lurus terhadap
dimensi hcy
s = spasi tulangan transversal
hcx = dimensi penampang kolom yang arahnya sejajar dengan sumbu x
hcy = dimensi penampang kolom yang arahnya sejajar dengan sumbu y
Ag = luas bruto penampang kolom
Ach = luas penampang inti kolom dari sisi luar tulangan sengkang
Ac = luas penampang inti kolom dari sisi luar tulangan spiral
fyh = kuat leleh tulangan trasnversal
30
4. Perencanaan Geser
Gaya geser rencana, Ve untuk perencanaan geser kolom harus ditentukan
berdasarkan gaya lentur maksimum yang dapat terjadi pada muka hubungan balok-
kolom pada setiap ujung komponen struktur. Momen Mpr kolom yang digunakan
untuk perhitungan Ve tidak perlu besar daripada Mpr balok yang merangka pada
hubungan balok-kolom yang sama.
Perencanaan tulangan transversal yang dipasang di sepanjang daerah l0 untuk
menahan gaya geser Ve harus dilakukan dengan mengnggap Vc = 0 bila :
• Gaya geser akibat gempa yang dihitung sesuai dengan Mpr mewakili 50% atau
lebih kuat geser perlu maksimum pada bagian di sepanjang l0.
• Gaya tekan aksial terfaktor termasuk akibat pengaruh gempa tidak melampaui
Agfc’/20.
Gambar 2.11 Perencanaan Geser Rencana Untuk Kolom
2.5.7 Persyaratan Detailing Hubungan Balok-Kolom SRPMK
1. Persyaratan Gaya dan Geometri
Pada perencanaan hubungan balok-kolom gaya pada tulangan lentur di muka
hubungan balok-kolom dapat ditentukn berdasarkan tegangan 1,25 fy. Faktor
reduksi untuk perencanaan join dapat diambil sebesar 0,8. Beberapa persyaratan
geometri harus dipenuhi untuk join SRPMK, diantaranya :
• Untuk beton normal, dimensi kolom pada hubungan balok kolom dalam arah
paralel tulangan longitudional balok minimal harus 20 kali diameter tulangan
longitudional pada balok.
• Untuk beton ringan, dimensi minimumnya adlah 26 kali diameter.
31
2. Persyaratan tulangan Transversal
Tulangan transversal seperti sengkang yang dipasang pada daerah sendi
plastis kolom harus dipasang juga di daerah hubungan balok-kolom, kecuali bila
hubungan tersebut dikekeang oleh komponen-komponen struktur balok yang
merangka padanya.
Gambar 2.12 Jenis Hubungan Balok Kolom
3. Perencanaan Geser Diafragma Struktural
Kuat geser nominal, Vn diafragma struktural tidak boleh melampaui
Vn = Acv (√fc′
6 + ρn fy)
Kuat geser nominal, Vn pelat penutup komposit atau pelat penutup pelat tak
komposit yang dicor di atas lantai atau atap pracetak tidak boleh melampaui
Vn = Acv ρn fy
Tulangan geser yang diperlukan harus tersebar merata di kedua arah pelat
doafragma. Perlu diperhatikan bahwa kuat geser nomonal diafragma struktural Vnl
tidak boleh melampaui 2/3 Acv √fc’.
Gambar 2.13 Prilaku Lantai Diafragma
32
2.6 Perencanaan Dinding Geser
Menurut Setiawan, A (2016) dinding geser (shear wall) merupakan
komponen dari suatu sistem struktur yang difungsikan menahan beban-beban
gravitasi maupun beban lateral yang bekerja pada struktur. Dinding geser memiliki
kekakuan yang lebih besar dibanding dengan kekakuan struktur rangka pemikul
momen terbuka (open frame), sehingga pada saat menahan gaya gempa, dinding
geser akan menunjukkan kinerja yang lebih baik).
Dengan demikian dinding geser harus direncakanan sesuai SNI (03-2847- 2013),
dimana tebal minimum (td) = 100 mm.
Adapun syarat tulangan dnding geser menurut SNI (2847:2013) rasio tulangan
ditentukan sebagai berikut :
1. Apabila, 𝑉𝑢 > 0,083 𝐴𝑐𝑣 𝜆 ′ , rasio penulangan l dan t tidak boleh kurang dari
0,0025.
0,0025 ≥ 𝜌1 =𝐴𝑠𝑣
𝐴𝑐𝑣
𝜌𝑡 =𝐴𝑠𝑛
𝐴𝑐𝑛
2. Apabila Vu < 0,083 Acv λ ′ , maka dapat digunakan rasio ruangan minimum
seperti pada dinding struktural biasa SNI (2847:2013 pasal 14.3)
a. Rasio tulangan vertikal terhadap luas bruto penampang beton, l , harus
diambil :
• 0,0012 untuk tulangan ulir dengan diameter tidak > D16 dan fy tidak <
420 MPa
• 0,0015 untuk tulangan ulir lainnya, atau
• 0,0020 untuk jaring kawat baja las yang diameter tidak lebih dari 16
Rasio minimum tulangan horizontal terhadap luas bruto penampang
beton,
b. Rasio tulangan minimum horizontal terhadap luas bruto penampang beton,
l , harus diambil :
• 0,0020 untuk tulangan ulir dengan diameter tidak > D16 dan fy tidak <
420 MPa
33
• 0,0025 untuk tulangan ulir lainnya, atau
• 0,0020 untuk jaring kawat baja las yang diameter tidak lebih dari 16
3. Jarak tulangan untuk masing-masing dinding struktural tidak boleh diambil
melebihi 450 mm.
4. Paling sedikit harus dipasang tulangan dalam dua lapis apabila Vu < 0,17
𝐴𝑐𝑣 𝜆′√𝑓 ′𝑐
Kuat geser dinding struktural (SNI 2847:2013 pasal 21.9.4), kuat geser
suatu dinding struktural dikatakan mencukupi apabila dipenuhi kondisi berikut :
𝑉𝑢 ≤ 𝜙 𝑉𝑛
Kuat geser nominal dinding struktural ditentukan dalam SNI (2847:2013
pasal 21.9.4.1), yang menyatakan :
𝑉𝑛 = 𝐴𝑐𝑣 (𝛼𝑐𝜆√𝑓 ′𝑐 + 𝜌𝑡 𝑓𝑦)
Sedangkan kuat geser nominal (𝑉𝑐) yang digunakan tidak boleh lebih dari
2√𝑓𝑐′ .tw.d untuk dinding yang menerima beban tekan aksial terfaktor Nu. Jika
dinding menerima beban tarik 𝑁𝑢 , nilai 𝑉𝑐 tidak boleh lebih besar dari nilai yang
diperoleh dari persamaan berikut
𝑉𝑐 = 2 [1+𝑁𝑢
500. 𝐴𝑔] √𝑓𝑐 ′. 𝑡𝑤. 𝑑
Sesuai SNI 2847:2013 Pasal 11.9.6, dengan analisa yang lebih detail, nilai
Vc bisa diambil nilai terkecil dari hasil dua persamaan berikut: dimana
Nu = Beban aksial berfaktor yang normal terjadi pada penampang
melintang dinding secara simultan dengan Vu,Nu dianggap positif untuk tekan dan
negatif untuk tarik :
𝑉𝑐 = 0,27 . 𝜆 . √𝑓𝑐 ′ . ℎ . 𝑑 +𝑁𝑢.𝑑
4 .𝑒𝑤.ℎ] atau,
𝑉𝑐 = [ 0,05𝜆√𝑓𝑐 ′ +𝑒𝑤 (0,1𝜆√𝑓𝐶 ′+ 0,2
𝑁𝑢
𝑒𝑤. ℎ)
𝑀𝑢
𝑉𝑢−
𝑙𝑤
2
] . ℎ . 𝑑
34
2.7 Pembebanan
Beban yang diperhitungkan dalam suatu perencanaan gedung beton adalah
beban gravitasi (beban vertikal) dan beban lateral. Beban gravitasi meliputi beban
mati dan beban hidup. Sedangkan beban lateral adalah beban yang terjadi akibat
gempa (beban gempa). Dari analisa pembebanan inilah akan direncanakan untuk
dapat menahan beban, sehingga konstruksi dapat digunakan dengan aman.
2.7.1 Beban Mati (DL)
Beban mati yang diperhitungkan dalam struktur gedung bertingkat ini
merupakan berat sendiri elemen struktur bangunan yang memiliki fungsi struktural
menahan beban. Beban dari berat sendiri elemen-elemen tersebut diantaranya
sebagai berikut :
Beban tersebut harus disesuikan dengan volume elemen struktur yang akan
digunakan. Karena analisis dilakukan dengan program STADDPRO, maka berat
sendiri akan dihitung secara langsung.
2.7.2 Beban Hidup (LL)
Beban hidup yang diperhitungkan adalah beban hidup selama masa layan.
Beban hidup selama masa konstruksi tidak diperhitungkan karena diperkirakan
beban hidup masa layan lebih besar daripada beban hidup pada masa konstruksi.
Beban hidup yang direncakan adalah sebagai berikut :
a. Beban Hidup pada Lantai Gedung
Beban hidup yang digunakan mengacu pada standar pedoman pembebanan
yang ada, yaitu sebesar 500 kg/m2.
b. Beban Hidup pada Atap Gedung
Beban hidup yang digunakan mengacu pada standar pedoman
pembebanan yang ada, yaitu sebesar 100 kg/m2.
2.7.3 Beban Gempa (E)
Beban gempa adalah semua beban static ekivalen yang bekerja pada gedung
yang menirukan pengaruh dari gerakan tanah akinat gempa itu. Dalam hal pengaruh
35
gempa pada struktur gedung ditentukan berdasarkan suatu anlisa dinamik, maka
yang diartikan dengan beban gempa disini adalah gaya-gaya di dalam struktur
tersebut yang terjadi oleh gerakan tanah akibat gempa itu. Berdasarkan SNI 03-
1726-2012 menyatakan untuk mensimulasikan arah pengaruh gempa rencan yang
sembarang terhadap struktur gedung, pengaruh pembebanan gempa dalam arah
utama harus di anggap efektif 100% dam harus di anggap terjadi bersamaan dengan
pengaruh gempa dalam arah tegak lurus pada arah utama tadi tetapi efektifitasnya
hanya 30%. Gaya gempa terletak di pusat massa lantai-lantai tingkat.
2.7.4 Beban Kombinasi
Sturktur, komponen, dan pondasi harus di rancang sedemikian rupa
sehingga kekuatan desainya sama atau melebihi efek dari bahan terfaktor dalam
kondisi berikut :
1. 1,4D
2. 1,2D + 1,6L + 0,5 (L atau S atau R)
3. 1,2D + 1,6L (L atau S atau R) + (L atau 0,5W)
4. 1,2D + 1,0W + L + 0,5 (L atau S atau R)
5. 1,2D + 1,0E + L + 0,5S
6. 0,9D + 1,0W
7. 0,9D + 1,0E
2.8 Analisa Beban Gempa
Tahapan selanjutnya adalah menganilsa beban gempa yang di tinjau dengan
menggunakan analisa statis ekivalen berdasarkan SNI 1726:2012. Dalam
menganalisa beban gempa terdapat beberap langkah sebagai berikut :
2.8.1 Kategori Resiko Gempa dan Faktor Keutamaan Gempa
Beban gempa adalah beban yang timbul akibat percepatan getaran tanah
pada saat gempa terjadi . Untuk merencanakan struktur bangunan tahan gempa
menurut SNI 03-1726-2012 adalah sebagai berikut :
36
Tabel 2.8 Kategori Resiko Gempa
Jenis Pemanfaatan
Kategori
resiko
Gedung dan non gedung yang memiliki resiko rendah terhadap jiwa
manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk,
anatara lain :
- Fasilitas pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan
- Fasilitas sementara
- Gudang penyimpanan
- Rumah jaga dan struktur kecil lainnya
I
Semua gedung dan struktur lain, kecuali yang termasuk dalam kategori
I, III, IV, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk :
- Perumahan
- Rumah toko dan rumah kantor
- Pasar
- Gedung perkantoran
- Gedung apartemen/rumah susun
- Pusat perbelanjaan/mall
- Bangunan industri
- Fasilitas manufaktur
- Pabrik
II
Gedung dan non gedung yang memiliki resiko tinggi terhadap jiwa manusia pada
saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk :
- Bioskop
- Gedung pertemuan
- Stadion
- Fasilitas kesehatan yang tidak memiliki unit bedah dan unit gawat darurat
- Fasilitas penitipan anak
- Penjara III
- Bangunan untuk orang jompo
Gedung dan non gedung, tidak termasuk kedalam kategori risiko IV, yang
memiliki potensi untuk menyebabkan dampak ekonomi yang besar dan/atau
gangguan massal terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari bila terjadi
kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk :
- Pusat pembangkit listrik biasa
- Fasilitas penanganan air
- Fasilitas penanganan limbah
- Pusat telekomunikasi
Gedung dan non gedung yang tidak termasuk dalam kategori risiko IV, (termasuk,
tetapi tidak dibatasi untuk fasilitas manufaktur, proses, penanganan, penyimpanan,
penggunaan atau tempat pembuangan bahan bakar berbahaya, bahan kimia
berbahaya, limbah berbahaya, atau bahan yang mudah meledak) yang mengandung
bahan beracun atau peledak dimana jumlah kandungan bahannya melebihi nilai
batas yang diisyaratkan oleh instansi yang berwenang dan cukup menimbulkan
bahaya bagi masyarakat jika terjadi kebocoran.
III
37
Gedung dan non gedung yang ditunjukkan sebagai fasilitas yang penting,
termasuk, tetapi tidak dibatasi untuk :
- Bangunan-bangunan monumental
- Gedung sekolah dan fasilitas pendidikan
- Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki fasilitas bedah dan
unit gawat darurat
- Fasilitas pemadam kebakaran, ambulans, dan kantor polisi, serta garasi keadaan
darurat
- Tempat perlindungan terhadap gempa bumi, angin badai, dan tempat
perlindungan darurat lainnya
- Fasilitas kesiapan darurat, komunikasi, pusat operasi, dan
fasilitas lainnya untuk tanggap darurat
- Pusat pembangkit energi dan fasilitas publik lainnya yang dibutuhkan pada saat
keadaan darurat
- Struktur tambahan (termasuk menara telekomunikasi, tangki penyimpanan bahan
bakar, menara pendingin, struktur stasiun listrik, tangki air pemadam kebakaran
atau struktur rumah atau struktur oendukung air atau material atau peralatan
pemadam kebakaran) yang disyaratkan untuk beroperasi pada saat keadaan darurat
Gedung dan non gedung yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi struktur
bangunan lain yang masuk ke dalam kategori risiko IV
IV
Sumber : SNI-1726-2012
Tabel 2.9 Faktor Keutamaan Gempa
Kategori Resiko Faktor keutamaan gempa, Ie
I atau II 1,0
III 1,25
IV 1,50
Sumber : SNI-1726-2012
2.8.2 Klasifikasi Situs
Lapisan tanah pada lokasi suatu proyek dapat dikategorikan menjadi
beberapa kelas situs dari kelas A hingga F. Klasifikasi kelas situs dilakukan
berdasarkan pada hasil pengujian kecepatan rata-rata gelombang geser (vs), tahanan
penetrasi standar lapangan rata-rata, serta nilai kuat geser niralir rata-rata.
Klasifikasi situs berdasarkan ketiga hal tersebut ditunjukkan dalam Tabel 2.7
38
Tabel 2.10 Klasifikasi Situs
Sumber : SNI-1726-2012
2.8.3 Koefisien Situs (Fa)
Tabel 2.11 Koefisen Situs
Kelas
Situs
Parameter respons spectral percepatan hempa (MCER) terpetakan pada perioda
pendek, T=0,2 detik, SS
SS ≤ 0,25 SS = 0,5 SS = 0,75 SS = 1,0 SS ≥ 1,25
SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
SB 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
SC 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0
SD 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0
SE 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9
SF SSb
Sumber : SNI-1726-2012
Catatan:
(a) Untuk nilai-nilai anatar SS dapat dilakukan interpolasi linear.
(b) SS = situs yang memerelukan investigasi spesifik dan analisis respons situs-
spesifik.
Kelas Situs (m/detik) atau (kPa)
SA (batuan keras) >1500 N/A N/A
SB (batuan) 750 sampai 1500 N/A N/A
SC (tanah keras, sangat 350 sampai 750 >50 ≥100
padat dan batuan lunak)
SD (tanah sedang) 175 sampai 350 15 sampai 50 50 sampai 100
SE (tanah lunak)
<175 <15 <50
Atau setiap profil tanah yang mengandung lebih dari 3m tanah
dengan karakteristik berikut :
Indeks Elaktisitas PI > 20
Kadar Air W > 40 %
Kuat Geser Niralir < 25 kpa
SF (tanah khusus, yang
membutuhkan
investigasi geoteknik
spesifik dan analisis
respons spesifik-situs
yang mengikuti
Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu atau lebih
dari karakteristik berikut :
- Rawan dan berpotensi gagal atau runtuh akibat beban gempa
seperti mudah likuifikasi, lempung sangat sensitif, tanah
tersementasi lemah
- Lempung sangat organik dan/atau gambut (ketebalan H>3m)
- Lempung berplastisitas sangat tinggi (ketebalan H>7,5 m
dengan Indeks
Plastisitas PI>75)
Lapisan lemung lunak atau setengah teguh dengan ketebalan
H>35m dengan <50 kPa
39
2.8.4 Kecepatan Rata – Rata Gelombang Geser
Nilai harus ditentukan sesuai dengan perumusan berikut :
𝑉�̅� = ∑ 𝑑ⅈ
𝑛ⅈ=𝑥
∑𝑑ⅈ
𝑉𝑠ⅈ
𝑛ⅈ=𝑥
𝑖 = ∑ 𝑑ⅈ
𝑛
ⅈ=𝑥
= 30 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
Dimana :
di = tebal setiap lapisan antara kedalaman 0 sampai 30 meter
Vsi = kecepatan gelombang geser lapisan i dinyatakan dalam meter per detik
(m/detik)
2.8.5 Peta Gempa yang Dipertimbangkan Resiko-Tertarget(McER)
Peta gempa yang dipertimbangkan memiliki dua variabel yaitu S1 dan SS,
seperti dibawah ini :
Gambar 2.14 Peta Respons Spektra 0,2 detik (Ss) di Batuan Dasar (Sb) Untuk Probabilitas
Terlampaui 2% Dalam 50 Tahun
40
Gambar 2.15 Peta Respons Spektra 1,0 detik (Ss) di Batuan Dasar (Sb) Untuk Probabilitas
Terlampaui 2% Dalam 50 Tahun
2.8.6 Pengaruh Beban Gempa
Ev atau pengaruh beban gempa vertikal, ditentukan sebagai berikut:
𝐸𝑣 = 0,2 𝑆𝐷𝑆 . 𝐷 𝑑𝑎𝑛, 𝑆𝐷𝑆 =2
3 . 𝑆𝑀𝑆
𝑆𝑀𝑆 = 𝐹𝑎 . 𝑆𝑠
Dimana :
SDS = Parameter percepatan spektrumresponsdesain pada periode yang pendek
D = Pengaruh beban mati
Fa = Faktor amplifikasi getaran terkait percepatan pada getaran periode pendek
SMS = Parameter spektrum respons percepatan pada periode pendek
Ss = Parameter respons spektral percepatan gempa MCER terpetakan untuk
periode Pendek
Gambar 2.16 Spektrum Respons Desain
41
2.8.7 Kategori Desain Seismik
Perencanaan penentuan Kategori Desain seismik diperlukan sebagai dasar
dalam penantuan jenis sistem struktur yang akan digunakan pada struktur bangunan
yang akan didesain, kategori desain seismic ini bergantuk pada nilai Parameter
percepatan spektral desain untuk perioda pendek (SDS) dan parameter percepatan
spektral desain perioda 1 detik (SD1), dengan berdasarkan tabel dibawah ini:
Tabel 2.12 Kategori Desain Seismik Perioda Pendek
Nilai SDS Kategori resiko
I atau II atau III IV
SDS < 0,167 A A
0,167 ≤SDS < 0,33 B C
0,33 ≤ SDS < 0,50 C D
0,50 ≤ SDS D D
Tabel 2.13 Kategori Desain Seismik Perioda 0,1 detik
2.8.8 Geser Dasar Seismik
Gaya dasar seismik ,V, dalam arah yang ditetapkan harus ditentukan sesuai
dengan persamaan berikut :
𝑉 = 𝐶𝑠. 𝑊
Dimana :
𝐶𝑠 = Koefisien respons seismik yang ditentukan
𝑊 = Berat seismik efektif
2.8.9 Koefisien Respons Seismik
Koefisien respons seismik harus ditentukan dengan persamaan sebagai
berikut :
𝐶𝑠 = 𝑆𝐷𝑆
𝑅𝑙𝑒
Nilai SDS Kategori resiko
I atau II atau III IV
SD1 < 0,167 A A
0,067 ≤SD1 < 0,133 B C
0,133 ≤ SD1 < 0,20 C D
0,20 ≤ SD1 D D
42
Dimana :
SDS = parameter percepatan spektrum respons desai dalam rentang periode
pendek
R = faktor modifikasi respons
Ie = faktor keutamaan gempa yang ditentukan
2.8.10 Periode Fundamental Pendekatan
Periode fundamental pendekatan (Ta) ditentukan sebagai berikut:
𝑇𝑎 = 𝐶𝑡 . ℎ𝑥
𝑛
Dimana :
hn adalah ketinggian struktur (m), diatas dasar sampai tingkat tertinggi struktur, dan
koefisien Ct dan x ditentukan pada Tabel :
Tabel 2.14 Nilai Parameter Periode Pendekatan Ct dan x
Tipe Struktur Ct x
Sistem rangka pemikul momen di mana rangka
mmikul 100 persen gaya gempa yang
diisyaratkan dan tidak dilingkupi atau
dihubungkan dengan komponen yang lebih
kaku dan akan mencegah rangka dari defleksi
jika dikenai gaya gempa
Rangka baja pemikul momen 0,0724a 0,8
Rangka beton pemikul momen 0,0466a 0,9
Rangka baja dengan bresing eksentris 0,0731a 0,75
Rangka baja dengan bresing terkekang terhadap tekuk 0,0731a 0,75
Semua sistem struktur lainnya 0,0488a 0,75
2.8.11 Distribusi Vertikal Gaya Gempa
Gaya gempa lateral (Fx) (kN) yang timbul di semua tingkat harus ditentukan
dari persamaan berikut :
𝐹𝑥 = 𝐶𝑣𝑥 . 𝑉
Dan
𝐶𝑣𝑥 = 𝑊𝑥 . ℎ
𝑘
𝑥
∑ 𝑊𝑖 . ℎ𝑘
𝑖𝑛𝑖=𝑥
Dimana :
Cvx = faktor distribusi vertikal
43
V = gaya lateral desai total atau geser didasar struktur, dinyatakan dalam (kN)
wi dan wx = bagian dari berat seismik efektif total struktur (W) yang ditempatkan
atau ditempatkan pada tingkat i atau x
hi dan hx = tinggi dari dasar sampai tingkat i atau x, dinyatakan dalam meter(m)
k = eksponen yang terkait dengan periode struktur sebagai berikut
k = 1, untuk struktur yang mempunyai periode 0,5 detik atau kurang
k = 2, untuk struktur yang mempunyai periode 2,5 detik atau lebih
k = 2 atau harus diinterpolasi linear antara 1 dan 2 , untuk struktur yang mempunyai
periode 0,5 dan 2,5 detik.
2.8.12 Distribusi Horisontal Gaya Gempa
Geser tingkat desain gempa di semua tingkat (Vx) (kN) ditentukan dari
persamaan berikut :
𝑉𝑥 = ∑ 𝐹ⅈ
𝑛
ⅈ=𝑥
Dimana :
Fi = bagian dari geser dasar seismik (V) yang timbul di tingkat i, dalam (kN)
2.9 Simpangan Antar Lantai (Δ)
Untuk mencegah kerusakan elemen-elemen non struktural dan menjamin
kenyamanan serta keamanan, suatu perencanaan struktur harus terkontrol terhadap
stabilitasnya. Simpangan izin antar lantai yang terjadi akibat gaya lateral harus
sesuai SNI 1726:2012.
𝛿𝑥 = 𝐶𝑑 . 𝛿𝑒𝑥
𝑙𝑒
Dimana :
𝐶𝑑 = Faktor pembesaran defleksi
𝛿𝑒𝑥 = defleksi pada lokasi lantai yang ditinjau yang mengakibatkan gaya gempa
lateral
𝐼𝑒 = faktor keutamaan struktur
44
Menurut SNI 1726:2012 Pasal 7.12.1 memberikan batasan untuk
simpangan antar lantai tingkat desain (Δi) tidak boleh melebihi simpangan antar
lantai izin (Δa).
𝛥ⅈ ≤ 𝛥𝑎
dimana :
Δi = simpangan yang terjadi
Δa = simpangan izin antar lantai (Pasal 7.12.1 tabel 16)
Tabel 2.15 Kategori Resiko
Sumber : SNI (1726:2012)
Catatan : hxx adalah tinggi tingkat diatas tingkat
Gambar 2.17 Simpangan Izin dan Penentuan Simpangan Antar Lantai
Stuktur Kategori Resiko
I atau II III IV
Struktur Selain dari struktur dinding geser batu
bata 4 tingkat atau kurang dengan dinding interior,
partisi, langit-langit dan sistem dinding eksterior
yang telah di desain untuk mengakomodasi
simpangan antar lantai tingkat.
0,025 hxx 0,025 hxx 0,025 hxx
Struktur dinding geser kantilever batu bata 0,010 hxx 0,010 hxx 0,010 hxx
Struktur dinding geser batu bata lainya. 0,007 hxx 0,007 hxx 0,007 hxx
Semua struktur lainya 0,020 hxx 0,015 hxx 0,010 hxx
45
2.9.1 Perhitungan Simpangan Antar Lantai
Perhitungan simpangan antar lantai :
𝛥 = 0,010 𝑥 ℎ𝑠𝑥
Dimana :
hsx = Tinggi tingkat di bawah tingkat x Perhitungan 𝛥𝑖
𝛥1 = 𝐶𝑑 . 𝛿𝑒1
𝑙𝑒
Dimana :
Drift indeks maksimum = 0,0025
Drift indeks = 𝐷𝑟ⅈ𝑓𝑡 𝑀𝑎𝑘𝑠ⅈ𝑚𝑢𝑚
ℎ𝑛≤ 0,0025
Hn = Tinggi tingkat x Jumlah tingkat atau tinggi total bangunan (mm)
2.10 Beton Pracetak
Elemen atau komponen beton tanpa atau dengan tulangan yang dicetak
terlebih dahulu sebelum dirakit menjadi bangunan atau komponen struktur lentur
beton yang dibuat secara pracetak dan/atau yang dicor di tempat,yang masing-
masing bagian komponennya dibuat secara terpisah, tetapi saling dihubungkan
sedemikian hingga semua bagian komponen bereaksi terhadap beban kerja sebagai
suatu kesatuan. Kecenderungan biaya konstruksi akhir-akhir ini menunjukkan
adanya peningkatan yang cukup berarti. Bila dibandingkan dengan industri
manufaktur, biaya konstruksi melesat jauh ke depan, yang antara lain disebabkan
oleh tingginya upah tenaga kerja lapangan dan proses konstruksi yang masih
dilakukan secara tradisionil. Untuk menjawab tantangan tersebut maka pendekatan
prafabrikasi, terutama pada teknologi beton pracetak, sudah mulai dimanfaatkan.
Pengembangan teknologi ini mengarah pada industrialisasi karena produk
dihasilkan melalui produk masal dan sifatnya berulang. Aplikasi teknologi
prafabrikasi (pracetak) dengan sendirinya akan mengurangi pemakaian jumlah
tenaga kerja di lokasi proyek yang tentunya akan berpengaruh pada pengurangan
biaya produksi. Selain penghematan biaya produksi, hal lain yang menonjol dari
penggunaan beton pracetak adalah mutu pekerjaan dalam jumlah yang banyak
menjadi lebih baik dan seragam.
46
2.10.1 Sistem Komponen Beton Pracetak (Precast)
Terdapat beberapa jenis komponen beton pracetak diantaranya :
1. Komponen pondasi (tiang pancang)
2. Komponen struktur (balok, kolom, dinding geser, box girder)
3. Komponen lantai (hollow core, solid slab, single T,double T)
4. Komponen pracetak lainnya, seperti : tangga, balok parapet, box culvert, buis
beton, paving blok, panel-panel penutup dan unit-unit beton pracetak lainnya
2.10.2 Jenis Sambungan Komponen Beton Pracetak
Jenis sambungan antara komponen beton pracetak yang biasa dipergunakan
dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok sebagai berikut :
1. Sambungan kering (dry connection)
Sambungan kering menggunakan bantuan pelat besi sebagai penghubung
antar komponen beton pracetak dan hubungan antara pelat besi dilakukan dengan
baut atau dilas. Penggunaan metode sambungan ini perlu perhatian khusus dalam
analisa dan pemodelan komputer karena antar elemen struktur bangunan dapat
berperilaku tidak monolit. Untuk sambungan kering pada pelat Hollow Core slab
dapat dilihat pada gambar 2.4.
Gambar 2.18 Sambungan Kering Pelat Precast Dengan Las
Pelat baja sesuai
desain dengan angkur
Topping
dengan
angkur
47
2. Sambungan basah (wet connection)
Sambungan basah terdiri dari keluarnya besi tulangan dari bagian ujung
komponen beton pracetak yang mana antar tulangan tersebut dihubungkan dengan
dilakukan pengecoran beton atau grouting. Jenis sambungan ini dapat berfungsi
baik untuk mengurangi penambahan tegangan yang terjadi akibat rangkak, susut
dan perubahan temperature. Sambungan basah ini sangat dianjurkan untuk
bangunan di daerah rawan gempa karena dapat menjadikan masing-masing
komponen beton pracetak menjadi monolit. Untuk sambungan basah pada pelat
Hollow Core slab dapat dilihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.19 Sambungan Basah Pelat Precast Dengan Grouting
2.10.3 Pelat Beton Pracetak (Precast Slab)
Penerapan konstruksi slab pracetak sudah banyak dijumpai. Adapun pelat
lantai yang biasa dijumpai adalah sebagai berikut :
a. Pelat Pracetak Berlubang (Hollow Core Slab)
Pelat HCS merupakan plat berongga diamana biasanya pelat ini
menggunakan sistem prategang. Dengan adanya lubang di bagian tengah sehingga
mereduksi berat sendiri dari pelat itu sendiri sehingga lebih ringan dibandingkan
dengan pelat solid.
Tulangan baja
dengan grouting
Topping
48
Gambar 2.20 Pelat Pracetak Berlubang (hollow core slab)
b. Pelat Pracetak Tanpa Lubang (Solid Slab)
Pelat solid berbeda halnya dengan HCS. Pelat solid tidak menerapkan
sistem lubang pada desainya. Sehingga pelat ini lebih mirp dengan plat beton
konvensional biasa akan tetapi pelat ini biasanya menggunakan sistem prategang
sebagai penahan lenturnya.
Gambar 2.21 Pelat Pracetak Tanpa Lubang (Solid slab)
c. Pelat Pracetak Double Tee dan Single Tee
Pelat ini mempunyai satu kaki untuk Single Tee dan Double Tee memiliki
dua kaki kaki yang saling terhubung. Umumnya plat ini digunakan pada jembatan
dengan beban yang berat dan bentang yang panjang.
Gambar 2.22 Pelat Prategang Pracetak (Double Tee) dan (Single Tee)
49
2.10.4 Pelat Berongga (Hollow Core Slab)
HCS adalah pelat beton berongga yang mana pelat ini biasa di fungsikan
sebagai pelat lantai. Keberadaan rongga pada pelat tersebut sangat berguna jika
diaplikasian pada bangunan tinggi karena dapat mengurangi bobot lantai. Beberapa
keuntungan dari pelat Hollow Core :
1. Menggunakan sistem prategang, sehingga gaya-gaya bisa lebih terkontrol
2. “Precompression Effect”, sehingga lebih tahan suhu tinggi dibandingkan beton
konvensioanal.
3. Lubang di tengah HCS membuat berat sendirinya lebih ringan 28-49% jika
dibandingkan lantai konvensioanal, membuat struktur bangunan dan dimensi
pondasi lebih kecil.
4. Dapat mereduksi dimensi balok dan kolom bahkan mengurangi balok dan kolom
bila dibandingkan dengan sistem konvensional sehingga menghasilkan ruangan
yang lebih luas.
5. HCS dapat langsung dipasang keramik.
6. Permukaan bawah expose sehingga dapat langsung dijadikan plafond.
7. Pekerjaan pembuatan bekisiting dapat dihilangkan.
8. Pemasangan tidak membutuhkan scafolding/perancah sehingga lantai bawah
dapat digunakan sebagai lantai kerja.
2.10.5 Sistem Sambungan Pelat Hollow Core
Beberapa macam sambungan plat HCS terhadap elemen struktur lain
dijelaskan pada gmabar-gambar berikut: (Orry. G, 2008).
Gambar 2.23 Sambungan Pelat HCS pada balok beton
50
Gambar 2.24 Sambungan Pelat HCS Pada Dinding Beton
Gambar 2.25 Sambungan Pelat HCS Pada Balok Baja
Gambar 2.26 Sambungan Antara 2 Pelat HCS
Gambar 2.27 Sambungan Pelat HCS Pada Dinding Sebelah Luar dan Dalam
51
Gambar 2.28 Sambungan Pelat HCS Pada Balok-Kolom Sebelah Luar dan Dalam
Gambar 2.29 Sambungan Pelat HCS Pada Balok Sebelah Luar dan Dalam
2.10.6 Konsep Perencanaan HCS
Perencanaan pelat hollow core / perencanaan struktur prategang pada
umumnya,berdasarkan peraturan SNI 2847-2013 maupun ACI 318-14 harus
dikontrol terhadap tegangan transfer,pengangkatan, maupun pada saat layan serta
kontrol terhadap lendutanya.
2.10.7 Konsep Dasar Prategang
Terdapat tiga konsep dasar untuk menjelaskan dan menganalisa beton
prategang :
a. Konsep pertama
sistem prategang untuk mengubah beton menjadi bahan elastis. Dengan
memberikan gaya tekan (desakan) terlebih dahulu pada beton, sehingga beton
bertransformasi dari bahan getas menjadi bahan yang elastis.
52
Gambar 2.30 Distribusi Tegangan Sepanjang Penampang Beton Prategang Konsentris
Gambar 2.31 Distribusi Tegangan Sepanjang Penampang Beton Prategang Eksentris
b. Konsep Kedua
Sistem prategang kombinasi baja mutu tinggi dengan beton. Konsep ini
seperti pada beton bertulang, menggabungkan beton dan baja mutu tinggi dimana
beton menahan tekan dan baja menahan tarik.
Gambar 2.32 Balok Beton Dengan Baja Mutu Tinggi
c. Konsep ketiga
Sistem prategang untuk mencapai keseimbangan beban. Konsep ini
menggunakan sistem penyeimbangan beban. Dimana penggunaan prategang
sebagai usaha untuk menyeimbangkan gaya-gaya yang bekerja.
53
Gambar 2.33 Balok Prategang Dengan Tendon Parabola
2.11 Gaya Prategang
2.11.1 Kehilangan Gaya Prategang
Perhitungan kehilangan prategang dianggap terjadi pada :
a. Perpendekan elastis beton (ES)
𝐸𝑆 = 𝑛. 𝑓𝑐
Dimana :
𝐸𝑆 = Kehilangan gaya prategang
𝑛 = Ratio antara modulus elastisitas baja prategang dan modulus elastisitas beton.
Jadi : 𝑛 = 𝐸𝑆
𝐸𝐶
Dimana :
𝐸𝑆 = modulus elastisitas baja prategang
𝐸𝐶 = modulus elastisitas beton
𝑓𝑐 = tegangan beton ditempat baja prategang.
Jadi 𝑓𝑐 = 𝑛.𝑝ⅈ
𝐴𝐶 +𝑛.𝐴𝑆
Dimana :
𝑃ⅈ = gaya prategang awal
𝐴𝐶 = luas penampang beton
𝐴𝑆 = luas penampang baja prategang
54
b. Rangkak pada beton (CR)
𝐶𝑅 = 𝐾𝐶𝑅 𝐸𝑆
𝐸𝐶
{𝑓𝑐ⅈ − 𝑓𝑐𝑑}
Dimana :
CR = kehilangan pategang akibat rangkak
𝐾𝐶𝑅 = 2,0 untuk beton pra-tarik
= 1,6 untuk beton ringan pasca-tarik
𝐸𝑆 = modulus elastisitas baja prategang
𝐸𝐶 = Modulus Elastisitas beton
𝑓𝑐ⅈ = tegangan beton pada posisi sesaat setelah transfer gaya prategang
𝑓𝑐𝑑 = tegangan pada pusat berat tendon akibat dead load (beban mati)
c. Susut pada beton (SH)
𝑆𝐻 = 휀𝑐𝑠. 𝐸𝑠
Dimana :
SH = kehilangan tegangan akibat penyusutan beton
𝐸𝑠 = modulus elastisitas baja prategang
휀𝑐𝑠 = regangan susut sisa total beton
Untuk pra-tarik (pre-tension)
휀𝑐𝑠 = 300𝑥10−6
Untuk pasca-tarik (post-tension)
휀𝑐𝑠 = 200𝑥10−6
log10(𝑡+2)
Dimana :
t = usia betn (hari) pada waktu transfer gaya
d. Relaksasi baja (RE)
𝛥𝑓𝑝𝑅 = 𝐶 [𝐾𝑟𝑒 − 𝐽(𝑓𝑝𝐸𝑆 + 𝑓𝑝𝐶𝑅 + 𝑓𝑝𝑆𝐻)]
Dimana :
RE = kehilangan tehagan akibat relaksasi baja prategang
55
C = faktor relaksasi yang besarnya bergantung pada jenis kawat/baja
prategang
𝐾𝑟𝑒 = koefisien relaksasi, harganya 41 – 138 𝑁
𝑚𝑚2
J = faktor waktu, harganya berkisar antara 0,05 – 0,15
𝐸𝑆 = kehilangan prategang karena perpendekan elastisitas (psi)
𝐶𝑅 = kehilangan yang diakibatkan oleh rangkak (psi)
𝑆𝐻 = kehilangan yang diakibatkan oleh susut(psi)
Tabel 2.16 Tipe Kanel Prategang
Sumber : ASTM A416-74, ASTM A421-76
e. Total Kehilangan Prategang
𝐾𝑒ℎ𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 𝐸𝑆 + 𝐶𝑅 + 𝑆𝐻 + 𝑅𝐸
Dimana :
𝐸𝑆 = Kehilangan prategang karena perpendekan elastisitas (psi)
𝑅𝐸 = Relaksasi Baja (in)
𝐶𝑅 = Kehilangan yang diakibatkan oleh rangkak (psi)
𝑆𝐻 = Kehilangan yang diakibatkan oleh susut(psi)
Tipe Tendon Kre (MPa) J
Tegangan kabel mutu 270 (1860 Mpa) 138 0,15
Tegangan kabel mutu 250 (1720 Mpa) 128 0,14
Tegangan kabel mutu 240 atau 235 (1655 Mpa) dan (1620 Mpa) 121 0,13
Tegangan kabel relaksasi rendah mutu 270 (1860 Mpa) 35 0,040
Tegangan kabel relaksasi rendah mutu 250 (1720 Mpa) 32 0,037
Tegangan kabel relaksasi rendah mutu 240 atau 235 (1655 Mpa) atau (1620 Mpa) 30 0,035
Tegangan batang mutu 145 atau 160 (1000 Mpa) atau (1100 Mpa) 41 0,05
56
2.11.2 Kontrol Tegangan
Berdasarkan SNI 2847-2013, tegangan izin beton untuk struktur lentur
dijelaskan sebagai berikut :
1. Tegangan beton sesaat sesudah penyaluran gaya prategang (sebelum terjadinya
kehilangan tegangan sebagai fungsi waktu) tidak boleh melampaui nilai :
a. Tegangan serat terjauh dalam kondisi tekan kecuali seperti yang diizinkan
dalam (b) tidak boleh melebihi........................................... 0,6 𝑓’𝑐𝑖
b. Tegangan serat terjauh dalam kondisi tekan pada ujung-ujung komponen
tumpuan sederhana tidak boleh melebihi......................... 0,7 𝑓’𝑐𝑖
c. Bila kekuatan tarik beton yang dihitung ft, melebihi 0,5 √𝑓𝑐 ′𝑖 dalam daerah
pada ujung ujung komponen struktur terdukung sederhana, atau 0,25 √𝑓𝑐 ′𝑖
pada lokasi lainya, tulangan dengan lekatan tambahan harus disediakan dalam
daerah tarik untuk menahan gaya tarik total dalam beton yang dihitung
dengan asumsi penampang tak retak
2. Tegangan beton pada kondisi beban layan tidak boleh melampaui nilai berikut :
a. Tegangan serat terjauh dalam kondisi tekan akibat prategang ditambah beban
Total..........................................................................0,45 fc’
b. Tegangan serat terjauh dalam kondisi tekan akibat prategang ditambah beban
total.............................................................................0.6 fc’
Tegangan serat terjauh dalam kondisi tekan akibat prategang ditambah beban total
0,5 √𝑓𝑐 ′𝑖