bab ii tinjauan pustaka 2.1 umum - sinta.unud.ac.id ii .pdf · tabel 2.3 beban siklik yang...

31
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Peningkatan beban gempa rencana yang disebabkan karena perubahan peta gempa nasional dan juga perubahan peraturan perencanaan bangunan tahan gempa, merupakan salah satu langkah dalam upaya menanggulangi dampak yang timbul akibat gempa yang terjadi. Banyak metode yang bisa digunakan untuk meminimalisir dampak gempa tersebut. Penelitian tentang metode perkuatan terhadap gempa sendiri telah banyak dilakukan oleh peneliti di seluruh dunia. Salah satu inovasi perkuatan yang berkembang ditahun 2015 adalah Breising Kabel CFC (Carbon Fibre Composite). Breising Kabel CFC ini memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah tahan karat dan ringan, dimana ketahanan dan berat kabel ini didapat dari material penyusun yang terbuat dari karbon. Selain itu Kabel CFC memiliki kuat tarik strand yang mirip dengan strand baja. 2.2 Carbon Fibre Composite Cable (CFCC) CFCC dikembangkan oleh Tokyo Rope, Kabel CFC ini dibentuk dari serat karbon dan resin thermosetting dengan kulit polyester, serta menggunakan teknologi komposit baru untuk menciptakan strand kabel. Karakteristik yang dihasilkan CFCC sama dengan strand serat karbon yang tidak memiliki perilaku plastis. Gambar 2.1 memperlihatkan gambar optik dari CFCC, termasuk terminal fixernya. CFCC mengekploitasi baik sifat mekanis dari serat karbon, dan memperlihatkan kekuatan tarik yang tinggi (kurang lebih sama dengan Strand baja pada beton prategang), ringan (kurang lebih 1/5 massa Strand baja), dan memiliki ketahanan tehadap korosi yang baik (ketahanan terhadap alkali dan asam yang tinggi).

Upload: nguyendang

Post on 11-May-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Peningkatan beban gempa rencana yang disebabkan karena perubahan peta

gempa nasional dan juga perubahan peraturan perencanaan bangunan tahan

gempa, merupakan salah satu langkah dalam upaya menanggulangi dampak yang

timbul akibat gempa yang terjadi. Banyak metode yang bisa digunakan untuk

meminimalisir dampak gempa tersebut. Penelitian tentang metode perkuatan

terhadap gempa sendiri telah banyak dilakukan oleh peneliti di seluruh dunia.

Salah satu inovasi perkuatan yang berkembang ditahun 2015 adalah Breising

Kabel CFC (Carbon Fibre Composite). Breising Kabel CFC ini memiliki

beberapa keunggulan diantaranya adalah tahan karat dan ringan, dimana

ketahanan dan berat kabel ini didapat dari material penyusun yang terbuat dari

karbon. Selain itu Kabel CFC memiliki kuat tarik strand yang mirip dengan

strand baja.

2.2 Carbon Fibre Composite Cable (CFCC)

CFCC dikembangkan oleh Tokyo Rope, Kabel CFC ini dibentuk dari serat

karbon dan resin thermosetting dengan kulit polyester, serta menggunakan

teknologi komposit baru untuk menciptakan strand kabel. Karakteristik yang

dihasilkan CFCC sama dengan strand serat karbon yang tidak memiliki perilaku

plastis.

Gambar 2.1 memperlihatkan gambar optik dari CFCC, termasuk terminal

fixernya. CFCC mengekploitasi baik sifat mekanis dari serat karbon, dan

memperlihatkan kekuatan tarik yang tinggi (kurang lebih sama dengan Strand

baja pada beton prategang), ringan (kurang lebih 1/5 massa Strand baja), dan

memiliki ketahanan tehadap korosi yang baik (ketahanan terhadap alkali dan asam

yang tinggi).

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

6

Gambar 2.1 Gambar optik standar CFCC, (a) 19-strand, diameter 25.5 mm, dan

(b) tujuh strand, dengan diameter 12.5 mm, (c) sebuah terminal fixer

untuk satu kabel, (d) sebuah terminal fixer untuk beberapa kabel Sumber: Tokyo Rope (2013)

Perkuatan CFCC sudah digunakan pada lingkungan teknik sipil, seperti

sebagai tendon pada pre-stress jembatan beton, kabel kantilever dan kabel internal

beton pre-stress jembatan, sebagai tendon yang mengangkur tanah, dan cable stay

untuk perkuatan catwalks pada jembatan. Teknik perkuatan CFCC pada struktur

belum banyak diinvestigasi, Lee (2015) merupakan peneliti pertama

menggunakan teknik X-breising menggunakan CFCC sebagai perkuatan

bangunan beton bertulang (Lee, 2015).

Tabel 2.1 Spesifikasi standar CFCC

Sumber: Tokyo Rope (2013)

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

7

2.3 Elemen Kabel pada SAP 2000

Perilaku Elemen kabel pada SAP2000 bergantung pada berat sendirinya,

temperatur, dan tegangan awal pada kabel. Perilaku ini dianalisis dengan case type

nonlinear dan dapat mengaktifkan parameter geometrik P-delta plus large

displacements. Kondisi kendur dan kencangnya kabel diperhitungkan secara

otomatis pada SAP2000 dengan menggunakan fasilitas edit cable geometry.

Ketika kabel tidak diberikan tegangan, kabel akan menjadi kendur dan

tidak stabil, hal ini dapat terjadi ketika Load Cases dirun pada kondisi linear atau

besarnya tegangan awal pada kabel tidak diberikan. Sebagai solusinya, semua

Linier Load Cases seharusnya dirubah menjadi nonlinear yang mana seluruh

kabel akan menerima beban sendiri dan tegangan tarik yang sudah ditentukan

pada edit cable geometry dan target load. Untuk kasus dimana kabel menjadi

kendur karena tidak adanya tegangan tarik dan berat sendiri kabel, program

SAP2000 akan mengasumsikan tegangan awal yang sangat kecil, tetapi lebih

disarankan untuk memberikan beban sendiri (berat kabel) dan tegangan awal

seperti yang direncanakan.

Elemen kabel digambarkan dengan hubungan curva pada dua joint, joint I

dan J. Kedua joint harus tidak berada pada lokasi yang sama. Kedua ujung elemen

dilambangkan I sebagai titik dekat dan J sebagai titik jauh (CSI, 2015).

2.3.1 Edit Cable Geometry

Tujuan adanya edit cable geometry adalah untuk mengetahui panjang

kabel yang dibutuhkan dan juga besarnya tegangan pada kabel yang diperlukan

untuk mencapai panjang kabel yang diinginkan, baik berada pada kondisi kencang

(undeformed) ataupun mengalami lendutan (deformed). Normalnya, panjang kabel

yang kencang (undeformed) diasumsikan sama dengan panjang diantara dua titik

posisi awal dan akhir pada joinnya. Berikut adalah hal-hal yang berpengaruh

terhadap deformasi kabel :

1. Beban sendiri dari kabel (selalu diperhitungkan dalam kalkulasi bentuk).

2. Beban tambahan (target load) pada kabel saat proses pengencangan.

Salah satu pilihan ini bisa diikuti untuk mengkalkulasi panjang kabel undeformed

atau deformed :

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

8

1. Menentukan panjang kabel undeform, atau menentukan relative Length

terhadap panjang kedua titik posisi awal dan akhir pada joinnya

2. Menentukan the maximum vertical-sag, terukur dari garis chord sampai

posisi kabel

3. Menentukan the maximum low-point sag, terukur dari joint dengan elevasi

Z terendah sampai poin terendah pada kabel.

4. Menentukan tarik pada salah satu ujung kabel

Gambar 2.2 Elemen kabel, Sumbu Lokal, and parameter bentuk Sumber: CSI Analysis Reference Manual, 2015

2.3.2 Target Force

Target force merupakan beban khusus yang memberikan tarik awal pada

kabel dengan tujuan untuk mengatur deformasi kabel saat target force telah

tercapai. Selain memberikan besarnya gaya aksial kabel pada target force, hal lain

yang harus diperhatikan adalah lokasi dimana tarik itu diberikan, apakah pada

ujung jauh (J-end) ataupun pada ujung dekat (I-end). Target force hanya dapat

digunakan saat analisis nonlinier static saja, dan jika ini digunakan pada load case

type yang lain, target force tidak akan diaktifkan pada model (CSI, 2015).

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

9

2.3.3 Nonlinear Analysis

Nonlinier analisis dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang lebih relaistis

pada elemen kabel. Linear analysis bisa digunakan, tetapi kita seharusnya selalu

menggunakan kekakuan yang dihasilkan setelah nonlinear load case pada kabel

yang telah dibebani dengan tarik dan memperhitungkan deformasi akibat berat

sendirinya ataupun beban lainnya. Pada kasus dimana tidak adanya beban tarik

pada kabel (kendur), program akan mengasumikan gaya tarik yang kecil.

Bagaimanapun, menggunakan beban target load dengan analisis nonlinear akan

memberikan hasil yang lebih realistis dan sesuai dengan harapan (CSI, 2015).

2.4 Penelitian Terkait

Lee (2015) melakukan penelitian laboratorium mengenai perkuatan

seismik rangka beton bertulang menggunakan sistem breising kabel CFCC

(Carbon Fibre Comopite Cable). Dalam penelitiannya, Lee membuat 3 spesimen

yang diuji, diantaranya adalah rangka beton bertulang tanpa perkuatan dan rangka

beton bertulang dengan perkuatan breising kabel joint flat plate dan protrusion.

Gambar 2.3 Perkuatan struktur dengan menggunakan breising kabel CFCC

(a) Flate-plate, dan (b) Protrusion Configuration Sumber: Lee (2015)

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

10

Detail tulangan spesimen rangka beton bertulang ditunjukkan pada

Gambar 2.4. Dimana dimensi balok dan kolom yang digunakan memiliki ukuran

30 x 30 cm dan 21 x 30 cm, dengan mutu beton 24 MPa seperti yang ditampilkan

pada tabel 2.2, dimensi tulangan longitudinal kolom yang digunakan adalah D13

dan sengkang D6, serta tegangan leleh baja (fy) yang digunakan adalah 400 MPa.

Kabel CFC yang digunakan seperti pada Gambar 2.5 memiliki diameter 15.2 mm

dengan kuat tarik 270 kN dan berat per meternya 221 g/m. Pada spesimen Lee

terdapat dinding bata dengan tinggi 480 mm, tebal 57 mm dan mutu bata 8 MPa.

Gambar 2.4 Detail Tulangan Spesimen

Sumber: Lee (2015)

Tabel 2.2 Material propertis beton

Sumber : Lee (2015)

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

11

Gambar 2.5 Detail kabel CFCC

Sumber : Lee (2015)

2.4.1 Prosedur Pengujian

Tujuan utama dari tes ini adalah untuk melihat ketahanan gempa pada

breising kabel CFCC pada kapasitas beban yang mampu untuk ditahan, deformasi

yang terjadi, dan histeresis akibat beban lateral.

Gambar 2.6 memperlihatkan Set-up tes pembebanan siklik pada spesimen.

Beban diaktifkan oleh dua jenis actuator dengan kapasitas 300 kN dan 500 kN.

Kedua kolom diberikan beban konstan vertikal sebesar 219 kN selama beban

siklik menggunakan actuator dengan kapasitas 300 kN, sedangkan beban siklik

lateral dikerjakan oleh actuator berkapasitas 500 kN.

Gambar 2.6 Konfigurasi eksperimental untuk beban siklik Sumber: Lee (2015)

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

12

Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental

Sumber: Lee (2015)

2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat

Spesimen rangka beton bertulang yang tidak diperkuat diberikan kode

RCFR pada penelitian Lee (2015), Gambar 2.7 memperlihatkan spesimen rangka

beton bertulang tanpa breising pada kondisi akhir dari beban siklik, dan Gambar

2.8 menampilkan kurva load-drift untuk spesimen tanpa perkuatan. Pengamatan

retak pertama terjadi pada beban positif 37 kN, dan retak kecil akibat beban lentur

terjadi pada bagian bawah permukaan kolom setelah tiga siklik pada step

pembebanan ke-4 (R = 0.15%). Retak tidak diamati pada bagian dalam kolom.

Retak akibat lentur merambat ke bagian tengah kolom setelah step ke-4.

Selanjutnya pembebanan step ke-7 (R = 0.31%), dengan beban positif sebesar

68kN dan negative -65 kN, retak akibat geser terjadi pada permukaan atas kolom,

dan sebuah nomer retak geser diagonal muncul, terdapat beberapa retak yang

memiliki lebar lebih dari 3 mm. Saat beban mencapai 148 kN, pada step beban

empat belas (R = 1.54%) positif, Retak geser semakin besar terlihat semakin

melebar. Pengelupasan pada beton terjadi karena gaya geser. Hal ini terjadi akibat

kurangnya sengkang.

Gambar 2.7 Spesimen rangka beton bertulang tanpa breising (UBF)

Sumber: Lee (2015)

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

13

Gambar 2.8 Kurva load-drift untuk spesimen tanpa perkuatan

Sumber: Lee (2015)

Keruntuhan geser terjadi pada bagian atas kedua kolom pada beban 99 kN,

serta dengan lateral drift 44 mm (R= 2.6%). Kapasitas beban maksimum frame

yang tidak diperkuat adalah 163 kN, dengan lateral drift 32.9 mm (R= 2.0%).

Kapasitas beban positif maksimum sama dengan kapasitas beban negative

maksimum yaitu 160 kN, dengan lateral drift 33.6 mm.

2.4.3 Flate Plate Speciment

Spesimen rangka beton bertulang yang diperkuat breising kabel dengan

sambungan Flate Plate diberikan kode CFCC-1 pada penelitian Lee (2015).

Gambar 2.9 menampilkan photo specimen (CFCC-1) yang sedang diberikan

beban siklik, dan Gambar 2.10 memperlihatkan kurva load-drift Spesimen CFCC-

1 menggunakan sistem X-breising kabel CFCC dengan sambungan berupa flat

plate pada joint hubungan antara kabel dengan frame. Retak pertama muncul

dengan beban positif sebesar 29 kN, dan retak akibat beban lentur yang kecil

terjadi pada bagian atas dan bawah permukaan kolom akibat dua siklik pada step

beban kedua. Retak akibat lentur bertambah dari segi jumlah dan lebarnya, dan

retak geser muncul pada pembebanan step ke-4 (R = 0.15%), dengan beban positif

46kN. Retak geser ini menjalar menuju bagian tengah dari kedua kolom.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

14

Kapasitas beban maksimum yang ditahan oleh CFCC-1 adalah positif 263 kN,

dengan lateral drift 33 mm (R = 1.96%). Kegagalan geser terjadi pada bagian atas

dan bawah kedua kolom pada beban negative 228 kN, dengan lateral drift 31.2

mm (R = 1.8%), seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.10. Perlu dicatat bahwa

kegagalan pada breising tidak diamati. Oleh karena itu, perkuatan dengan breising

X kabel CFCC pada sistem rangka beton bertulang sangat efektif karena mampu

meningkatkan kekuatan struktur.

Gambar 2.9 Specimen (CFCC-1) yang sedang diberikan beban siklik Sumber: Lee (2015)

Gambar 2.10 Kurva load-drift Spesimen CFCC-1 Sumber: Lee (2015)

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

15

2.4.4 Protrusion Speciment (CFCC-2)

Spesimen rangka beton bertulang yang diperkuat breising kabel dengan

sambungan Protrusion diberikan kode CFCC-2 pada penelitian Lee (2015),

Gambar 2.11 memperlihatkan photo CFCC-2 yang sedang dibebani siklik, dan

Gambar 2.12 memperlihatkan grafik kurva load-drift. CFCC-2 adalah specimen

dengan perkuatan X-breising sistem menggunakan kabel dengan sambungan

protrusion pada join hubungan antara kabel dengan frame. Retak pertama terlihat

pada beban negative -40 kN dan dengan lateral drift 1.34 mm. Retak akibat lentur

terjadi sedikit pada bagian atas dan bawah permukaan kolom setelah tiga cycles

dari step pembebanan awal (R = 0.08%). Retak lentur juga terjadi pada step

pembebanan kedua dan ketiga, dan retak geser merambat menuju ke tengah kolom

pada step beban keempat.

Beban kapasitas maksimum dari specimen (CFCC-2) terjadi pada beban

negatif -293 kN dengan lateral drift dengan 32.3 mm (R= 1.92%). Kegagalan

geser terjadi pada atas dan bawah kedua kolom.

Gambar 2.11 Specimen (CFCC-2) yang sedang diberikan beban siklik Sumber: Lee (2015)

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

16

Gambar 2.12 Kurva load-drift Spesimen CFCC-2 Sumber: Lee (2015)

2.4.5 Kekuatan dan Deformasi

Gambar 2.13 memperlihatkan kurva hubungan load-drift lateral untuk

spesimen RCFR, CFCC-1, dan CFCC-2. Tabel 2.4 menampilkan kapasitas

kekuatan geser maksimum dan kapasitas deformasi. Tegangan geser maksimum

didefinisikan sebagai beban maximum shear strength Vmax pada kondisi RCFR,

CFCC-1, dan CFCC-2 dan drift at the maximum point mengindikasikan

perpindahan maksimum δmax dari spesimen dengan perkuatan X-breising dan

RCFR.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

17

Gambar 2.13 Hubungan load-drift tiga Spesimen

Sumber: Lee (2015)

Tabel 2.4 Ringkasan kapasitas deformasi dan kekuatan

Sumber: Lee (2015)

2.5 Strat Diagonal

Dinding pengisi pada spesimen penelitian Lee dapat dimodel dengan

menggunakan strat diagonal, dimana pemodelan dinding pengisi sebagai strat

diagonal sudah lama diterapkan dan sudah banyak pula referensi terkait hal

tersebut. Dinding pengisi diasumsikan menerima gaya dari struktur rangka di

sekelilingnya yang telah menerima gaya lateral sehingga dinding mengalami gaya

tekan. Gaya yang diberikan oleh struktur rangka tersebut akan ditahan oleh

dinding secara diagonal. Perumpamaan tersebut yang menjadi dasar untuk

memodel dinding pengisi sebagai strat. Strat dalam desainnya juga hanya mampu

menerima gaya aksial tekan atau tidak menerima gaya tarik. Asumsinya bahwa

dinding pengisi tersusun atas material yang tidak homogen sehingga kuat tarik

yang dimiliki material ini diabaikan. Perumusan untuk lebar strat pun sudah

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

18

banyak berkembang. Salah satu rumus yang cukup banyak digunakan termasuk

dalam peraturan FEMA-356 terkait analisis dinding pengisi.

h kolom

r

a

?

h dinding

Gambar 2.14 Model Dinding Pengisi Sebagai Strat Diagonal Sumber : FEMA 356

(2.1)

dimana λ1 adalah:

(2.2)

(2.3)

dengan a adalah lebar strat diagonal, rinf adalah panjang strat, Eme adalah modulus

elastisitas dinding pengisi, Efe Icol adalah modulus elastisitas dan momen inersia

kolom, tinf adalah tebal dinding dan tebal strat, hcol adalah tinggi kolom di antara as

balok, hinf adalah tinggi dinding pengisi, dan θ adalah sudut yang dibentuk oleh

strat diagonal.

2.6 Beban Gempa

Beban Gempa merupakan salah satu pertimbangan vital pada perencanaa

bangunan di Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia terletak pada pertemuan

tiga lempeng benua yaitu Indo-Australia di bagian utara, Eurasia di bagian barat,

dan Pasifik. Lempeng-lempeng tersebut terus bergerak dan bisa bertabrakan setiap

waktu.

θ

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

19

Maka dari itu, perencanaan beban gempa ini perlu diatur sedemikian rupa

sebagai salah satu langkah mitigasi terhadap bencana yang terjadi. Tindakan

mitigasi ini direalisasikan dengan adanya aturan mengenai disain seismik SNI

1726: 2012 yang menggantikan SNI sebelumnya 1726 : 2002. Perubahan desain

gempa ini tentunya berdampak pada penyesuaian bangunan yang sebelumnya

didisain dengan SNI 1726:2002 menjadi SNI 1726: 2012.

2.6.1 SNI 1726 : 2002

Pada peraturan perencanaan beban gempa SNI 1726:2002 digunakan

faktor-faktor perencanaan seismik suatu struktur yang terdiri dari wilayah gempa,

percepatan puncak muka tanah (Ao), faktor keutamaan gedung (I), faktor reduksi

gempa (R), dan waktu getar alami (Tc). Faktor-faktor tersebut digunakan untuk

menghitung faktor respon gempa (C) dengan rumus:

Untuk nilai T ≤ Tc :

(2.4)

Untuk nilai T > Tc :

(2.5)

dengan

(2.6)

(2.7)

(2.8)

dimana:

Ar = Pembilang dalam persamaan hiperbola Faktor Respons Gempa C

Am = Percepatan respons maksimum

T = Waktu getar alami struktur gedung (detik)

ζ = Koefisien pengali dari jumlah tingkat struktur gedung

n = Jumlah tingkat

Untuk berbagai kategori gedung, bergantung pada probabilitas terjadinya

keruntuhan struktur gedung selama umur gedung yang diharapkan, pengaruh

Gempa Rencana terhadapnya harus dikalikan dengan suatu faktor.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

20

(2.9)

di mana I1 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan perioda ulang gempa

berkaitan dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur

gedung, sedangkan I2 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan perioda

ulang gempa berkaitan dengan penyesuaian umur gedung tersebut. Faktor-faktor

Keutamaan I1, I2 dan I ditetapkan menurut Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Faktor keutamaan I untuk berbagai kategori gedung dan bangunan SNI

1726 : 2002

Sumber: SNI 1726:2002

Nilai-nilai Am dan Ar dicantumkan untuk masing-masing wilayah gempa

dan masing-masing jenis tanah. Waktu getar alami sudut Tc sebesar 0,5 detik, 0,6

detik dan 1,0 detik untuk jenis tanah berturut-turut tanah keras, tanah sedang dan

tanah lunak.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

21

Tabel 2.6 Spektrum respon gempa rencana

Sumber: SNI 1726:2002

Gempa arah vertikal juga diperhitungkan dengan mencari nilai faktor

respon gempa vertikal (Cv) dengan rumus:

(2.10)

dengan ψ adalah koefisien yang disesuaikan dengan wilayah gempa tempat

struktur gedung berada.

Tabel 2.7 Koefisien untuk menghitung faktor respon gempa vertikal Cv

Sumber: SNI 1726:2002

2.6.2 SNI 1726 : 2012

Peraturan perencanaan beban gempa pada gedung-gedung di Indonesia

yang berlaku saat ini diatur dalam SNI Gempa 1726:2012. Pada peraturan ini

dijelaskan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perhitungan untuk

analisis beban gempa sebagai berikut:

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

22

1. Geografis

Perencanaan beban gempa pada sebuah gedung tergantung dari lokasi

gedung tersebut dibangun. Hal ini disebabkan karena wilayah yang

berbeda memiliki percepatan batuan dasar yang berbeda pula. Parameter

percepatan batuan dasar perioda pendek (Ss) dan percepatan batuan dasar

perioda 1 detik (S1) harus ditetapkan masing-masing dari respon spektral

0.2 detik dan 1 detik dalam peta gerak tanah seismic pasal 14 dengan

kemungkinan 2 persen terlampaui dalam 50 tahun. Peta gerakan tanah

sesuai dengan Gambar A.1 dan A.2 pada lampiran A.

2. Faktor keutamaan gedung

Faktor ini ditentukan berdasarkan jenis pemanfaatan gedung. Gedung

dengan kategori risiko I dan II memiliki faktor keutamaan gedung 1, untuk

kategori resiko III memiliki faktor 1.25, dan kategori resiko IV memiliki

faktor 1.5. Tabel kategori resiko dan faktor keutamaan ditampilkan dalam

tabel A.1 dan A.2 pada lampiran A.

3. Kategori Desain Seismik

Pembagian kategori desain seismik dari rendah ke tinggi yaitu A, B, C, D,

E, dan F. Penentuan kategori ini dapat dilihat pada lampiran A Tabel A.3

untuk kategori desain sismik berdasarkan parameter respon percepatan

pada perioda pendek dan Tabel A.4 untuk kategori desain seismik

berdasarkan parameter respon percepatan pada perioda 1 detik.

4. Sistem penahan gaya seismik

Struktur dengan sistem penahan gaya seismik memiliki faktor reduksi

gempa atau koefisien modifikasi respon (R), faktor kuat lebih sistem (Ω0),

dan faktor pembesaran defleksi (Cd) yang berbeda-beda sesuai dengan

Tabel A.5 pada lampiran A.

2.7 Simpangan Antar Lantai

Penentuan simpangan antar lantai tingkat desain (Δ) harus dihitung

sebagai perbedaan defleksi pada pusat massa di tingkat teratas dan terbawah yang

ditinjau, hal ini dapat dilihat sesuai dengan Gambar 2.15 (BSN, 2012). Defleksi

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

23

pusat massa di tingkat x (δx) (mm) harus ditentukan sesuai dengan persamaan

berikut :

(2.11)

Keterangan :

Cd = factor amplifikasi defleksi dalam Tabel 9 SNI 1726-2012

δxe = defleksi pada lokasi yang disyaratkan pada pasal ini yang ditentukan

dengan analisi elastis

Ie = faktor keutamaan gempa yang ditentukan sesuai dengan pasal 4.1.2 SNI-

1726-2012

Gambar 2.15 Penentuan simpangan antar lantai

Sumber : SNI 1726-2012

Simpangan antar lantai tingkat desain (Δ) seperti yang ditentukan pada persamaan

2.11 tidak boleh melebihi simpangan antar lantai tingkat izin (Δa) seperti

didapatkan dari Tabel 2.8

Tabel 2.8 Simpangan antar lantai ijin

Sumber : SNI 1726-2012

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

24

Untuk sistem penahan gaya gempa yang terdiri dari hanya momen pada struktur

yang dirancang untuk kategori desain seismik D, E, atau F, simpangan antar lantai

tingkat desain (Δ) tidak boleh melebihi Δa / ρ untuk semua tingkat. Ρ harus

ditentukan sesuai dengan pasal 7.3.4.2 pada SNI 1726-2012.

2.8 Tingkat Daktilitas

Daktilitas adalah kemampuan suatu struktur gedung untuk melakukan

deformasi inelastis diatas titik lelehnya akibat beban bolak-balik (gempa) tanpa

kehilangan kekuatan yang cukup berarti.

2.8.1 Daktilitas Struktur

Disain kapasitas dari struktur terhadap gempa bergantung pada tingkat

daktilitas yang berarti ratio antara simpangan maksimum sebelum runtuh dan

simpangan leleh awal dari struktur, pada perancangan umumnya struktur tahan

gempa didasarkan pada tiga jenis tingkat daktilitas :

a. Tingkat 1 (Struktur Elastis) adalah struktur yang diproposikan sedemikian

rupa sehingga dapat memenuhi persyaratan penyelesaian detail struktur

yang ringan, struktur akan berespon terhadap gempa kuat secara elastik.

b. Tingkat 2 (Daktilitas Parsial) adalah struktur yang diproporsikan

sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi persyaratan penyelesaian detail

struktur yang khusus, struktur mampu berespon terhadap gempa kuat

secara inelastik tanpa mengalami keruntuhan getas.

c. Tingkat 3 (Daktilias Penuh) adalah struktur yang diproporsikan

sedemikian rupa, sehingga dengan memenuhi persyaratan penyelesaian

detail struktur yang lebih rinci, struktur mampu berespon terhadap gempa

kuat secara inelastik sambil mengembangkan sendi plastis di dalam balok-

baloknya dengan kapasitas pemancaran energi yang baik tanpa mengalami

keruntuhan.

Dengan demikian daktilitas struktur dapat dirumuskan :

(2.12)

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

25

Dimana :

δm = Simpangan maksimum struktur gedung akibat pengaruh gempa rencana

pada saat mencapai kondisi diambang keruntuhan.

δy = Simpangan struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan pertama.

Dalam persamaan 2.11, μ = 1 adalah tingkat daktilitas untuk struktur yang

berprilaku elastis penuh, sedangkan adalah tingkat daktilitas maksimum yang

dapat dikerahkan oleh sistem struktur yang bersangkutan. Berikut ini adalah

parameter daktilitas untuk struktur gedung dengan beberapa nilai (BSN, 2002).

Tabel 2.9 Parameter daktilitas struktur gedung

Sumber : SNI 1726-2002

2.9 Analisis Pushover

Analisis Pushover merupakan metode analisis berbasis kinerja

(performance-based design) yang pada perhitungannya mengerjakan beban yang

ditingkatkan untuk menunjukkan hasil berupa kinerja dari suatu struktur.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan analisis ini meliputi:

2.9.1 Langkah-langkah Analisis Pushover

Dalam melaksanakan analisis nonlinear static pushover, maka perlu

diketahui langkah-langkah dalam mengaplikasikannya (Dewobroto, 2005).

Langkah-langkah analisis pushover:

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

26

1. Membuat model struktur dengan memasukkan semua elemen bangunan

yang berkaitan dengan berat, kekuatan, kekakuan dan stabilitas yang

memenuhi ketentuan.

2. Menentukan titik kontrol untuk memonitor besarnya perpindahan struktur.

Rekaman besarnya perpindahan titik kontrol dan gaya geser dasar

digunakan untuk menyusun kurva kapasitas (kurva pushover).

3. Analisis beban dorong dilakukan dalam dua tahap : pertama, struktur

diberi beban gravitasi (kombinasi beban mati dan beban hidup yang

dikalikan faktor beban). Analisis pertama belum memperhitungkan kondisi

nonlinear. Selanjutnya, analisis dilakukan dengan memberikan pola beban

lateral yang dimasukkan secara bertahap.

4. Intensitas pembebanan lateral ditingkatkan sampai komponen struktur

yang paling lemah berdeformasi yang menyebabkan kekakuannya berubah

secara signifikan (terjadi leleh dari penampang) dan akhirnya keruntuhan

struktur.

5. Untuk setiap tahapan beban, gaya dalam dan deformasi elastis maupun

plastis dihitung dan direkam. Gaya dan deformasi untuk setiap tahapan

beban sebelumnya akan terakumulasi untuk menghasilkan gaya dan

deformasi total (elastis dan plastis) dari semua komponen pada semua

tahap pembebanan.

6. Proses pembebanan dilanjutkan sampai batas kinerja terdeteksi dari

perpindahan titik kontrol pada atap.

7. Langkah 4-6 dilakukan secara sistematis dan otomatis oleh program

komputer yang mempunyai kemampuan untuk analisis struktur nonlinear

static pushover, yakni SAP2000. Prosesnya dilakukan melalui iterasi

berulang-ulang sampai diperoleh kesetimbangan pada gaya-gaya

intenalnya. Terkadang iterasi membutuhkan waktu yang lama tanpa

mencapai konvergen, hal ini umumnya menunjukan kondisi struktur yang

mencapai keruntuhan, bila belum maka kontrol perpindahan dapat

membantu menyelesaikan masalah tersebut.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

27

8. Perpindahan titik kontrol versus gaya geser dasar untuk setiap tahapan

beban diplotkan sebagai kurva kapasitas yang menggambarkan respon

perilaku nonlinear struktur.

2.9.2 Kenonlinieran Material

Sifat-sifat nonlinear dari material seperti perbandingan tegangan dan

regangan secara otomatis akan diperhitungkan oleh program ketika menggunakan

analisis nonlinear. Namun pada program SAP2000 hanya mengenal material

beton dan baja saja, sehingga dalam mendefinisikan sifat nonlinear dari material

lainnya seperti elemen kabel CFC harus dimodel dalam bentuk lain, dan harus

melalui validasi sebelum pengaplikasiannya (CSI, 2015).

2.9.3 Sendi Plastis

Sendi plastis adalah penggambaran dari perilaku pasca leleh yang

terkonsentrasi dalam satu atau lebih derajat kebebasan, selain itu sendi plastis juga

dapat diberikan pada satu atau lebih elemen rangka struktur gedung. Perilaku

gaya-perpindahan plastis dapat ditentukan untuk tiap derajat kebebasan gaya

(aksial dan geser), begitu pula perilaku momen-rotasi plastis dapat ditentukan

untuk tiap derajat kebebasan momen (lentur dan torsi). Derajat kebebasan yang

tidak ditentukan tetap dalam kondisi elastis. Pada SAP2000, sendi plastis hanya

dapat diaplikasikan pada elemen rangka.

Untuk tiap derajat kebebasan, kurva gaya-perpindahan (force-

displacement) didefinisikan agar memberikan nilai leleh dan deformasi plastis

setelah leleh. Hal ini dilakukan dalam hubungan dari kurva dengan nilai pada lima

titik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.16. Lima titik yang diberi nama A,

B, C, D dan E digunakan untuk mendefinisikan perilaku deformasi selama

pembebanan. Antara titik A dan B, struktur berdeformasi elastis selama

pembebanan. Pada titik B, sendi plastis pertama mulai terbentuk begitu pula pada

titik C dan D. Antara titik B dan C, struktur melewati batas elastis dan mulai

berdeformasi inelastis. Selama deformasi inelastis ini, FEMA 356 mendefinisikan

3 kondisi struktur yakni I0 = Immediate Occupancy (segera dapat dihuni), LS =

Life Safety (keselamatan penghuni dapat terjamin), dan CP = Collapse Prevention

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

28

(terhindar dari keruntuhan total). Setelah berdeformasi inelastis, struktur akan

memasuki kondisi plastis (C-E) hingga mencapai keruntuhan.

Gambar 2.16 Kurva deformasi plastis untuk gaya-perpindahan Sumber: CSI Analysis Reference Manual, 2015

2.9.4 Kontrol Pembebanan

Ada 2 macam bentuk kontrol pembebanan untuk analisa statik nonlinear

yaitu a load-controlled dan displacement-controlled. A load-controlled dipakai

apabila kita tahu pembesaran beban yang akan diberikan kepada struktur yang

diperkirakan dapat menahan beban tersebut, contohnya adalah beban gravitasi.

Pada a load-controlled semua beban akan ditambahkan dari nol hingga

pembesaran yang diinginkan. Displacement-controlled dipakai apabila kita

mengetahui sejauh mana struktur kita bergerak tetapi kita tidak tahu beban yang

harus dimasukkan. Ini sangat berguna untuk mengetahui perilaku struktur tidak

stabil dan mungkin kehilangan kapasitas pembawa beban selama analisa

dilakukan (CSI, 2015).

2.9.5 Idealisasi Kurva Pushover

Hubungan nonlinear antara gaya geser dan perpindahan titik control, dapat

diidealisasikan agar mendapatkan kekakuan efektif (Ke) dan gaya geser dasar saat

leleh (Vy) pada bangunan, seperti terlihat pada Gambar 2.17.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

29

Gambar 2.17 Idealisasi Kurva Pushover

Sumber : FEMA 356

Hubungan ini harus membentuk kurva bilinier dengan kemiringan awal Ke

dan kemirigan pasca leleh berupa sudut α. Kekakuan lateral Ke merupakan nilai

secant stiffness yang dihitung dari gaya geser yang mempunyai nilai 60% kuat

leleh efektif dari struktur. Nilai kekakuan elastik (Ki) didapatkan dari rumus

kesetimbangan static, dengan mengambil gaya geser dasar gempa yang terjadi dan

simpangan pada saat struktur masih berprilaku elastis, bisa juga nilai tersebut

diambil mealui kurva pushover yang sudah ada pada tiap model. Sedangkan

kemiringan pasca leleh α, penentuan titik awalnya merupakan perpotongan garis

Ke dengan Vy kemudian penentuan titik garis yang melewati kurva pushover

aktual dan berhenti pada target perpindahan yang telah ditentukan (FEMA, 356).

2.9.6 Target Perpindahan dengan Metode Koefisien Perpindahan (FEMA

356)

Untuk mendapatkan perilaku struktur pasca keruntuhan maka perlu dibuat

analisa pushover untuk membuat kurva hubungan gaya geser dasar dan

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

30

perpindahan lateral titik kontrol sampai 150% dari target perpindahan (δt) untuk

melihat perilaku bangunan yang melebihi kondisi gempa rencananya. Adapun

cara menentukan target perpindahan yang cukup terkenal yaitu Displacement

Coeficient Method atau Metode Koefisien Perpindahan (FEMA 356) secara

otomatis sudah built-in pada SAP2000.

Metode koefisien perpindahan merupakan metode utama yang terdapat

dalam FEMA 356 untuk prosedur statik nonlinear. Penyelesaian dilakukan

dengan memodifikasi respon elastis linier dari sistem SDOF ekivalen dengan

faktor koefisien C0, C1, C2, dan C3 sehingga diperoleh perpindahan global

maksimum (elastis dan inelastis) yang disebut sebagai target perpindahan (δt).

Proses dimulai dengan menetapkan waktu getar efektif Te, yang

memperhitungkan kondisi inelinelastik bangunan dan mencerminkan kekuatan

linier dari sistem SDOF ekivalen. Jika diplotkan pada spektrum respon elastis

akan menunjukkan percepatan gerakan tanah pada saat gempa yaitu akselerasi

puncak (Sa), versus waktu getar (T). Redaman yang digunakan selalu 5% yang

mewakili level yang diharapkan terjadi pada struktur yang mempunyai respon

pada daerah elastis. Puncak perpindahan spectra elastis (Sd), berhubungan

langsung dengan akselerasi spektra (Sa), dengan hubungan sebagai berikut:

(2.13)

Selanjutnya target perpindahan pada titik kontrol , ditentukan sebagai berikut

(FEMA 356) :

(2.14)

Dimana :

Te : waktu getar alami efektif yang memperhitungkan inelastik

C0 : koefisien faktor bentuk, untuk merubah perpindahan spectral menjadi

perpindahan atap, umumnya memakai faktor partisipasi ragam yang

pertama (first mode participation factor)

C1 : faktor modifikasi yang menghubungkan perpindahan inelastik

maksimum dengan perpindahan yang dihitung dari respon elastik linier.

= 1.0 untuk Te ≥ Ts

= [ 1.0 + (R-1) Ts/Tc]/R untuk Te ≤ Ts.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

31

Ts : waktu getar karakteristik yang diperoleh dari kurva respon spektrum

pada titik dimana terdapat transisi bagian akselerasi konstan ke bagian

kecepatan konstan.

R : rasio kuat elastik perlu terhadap koefisien leleh terhitung

(2.15)

Sa : akselerasi respon spektrum yang berkesesuaian dengan waktu getar

alami efektif pada arah yang ditinjau.

Vy : gaya geser pada saat leleh, dari idealisasi kurva pushover menjadi

bilinier

W : total beban mati dan beban hidup yang dapat tereduksi

Cm : faktor massa efektif yang diambil dari Tabel 3.1 dari FEMA 356

C2 : koefisien untuk memperhitungkan efek pinvhing dari hubungan beban

deformasi akibat degradasi kekakuan dan kekuatan, berdasarkan Tabel

3-3 dari FEMA 356

C3 : koefisien untuk memperhitungkan pembesaran lateral akibat adanya efek

P-delta. Pada bangunan dengan kondisi pasca leleh kekakuannya positif

(kurva meningkat) maka C3 = 1 sedangkan jika perilaku pasca lelehnya

negative (kurva menurun) maka

(2.16)

: rasio kekakuan pasca leleh terhadap kekakuan elastis efektif, dimana

hubungan gaya-lendutan diidealisasikan sebagai kurva bilinier.

g : percepatan gravitasi 9.81 m/det2

2.9.7 Metode Spektrum Kapasitas

Metode spektrum kapasitas menyajikan dua buah grafik yang diantaranya

adalah: spektrum kapasitas yang menggambarkan kapasitas struktur berupa

hubungan gaya geser dasar dan perpindahan lateral struktur, dan spektrum

demand yang menggambarkan besarnya demand akibat beban gempa dengan

periode ulang tertentu. Berikut titik kinerja dengan metode spektrum kapasitas

ATC 40 ditampilkan pada Gambar 2.18.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

32

Gambar 2.18 Titik Kinerja dengan Metode Spektrum Kapasitas Sumber : Ginsar dan Lumantarna (2005)

Spektrum kapasitas didapat dari kurva pushover yang diperoleh dari

analisis pushover. Karena kurva pushover merupakan hubungan antara gaya geser

dasar suatu struktur berderajat kebebasan banyak (MDOF) terhadap perpindahan

atap bangunan, sedangkan spektrum demand dibuat untuk struktur dengan derajat

kebebasan satu (SDOF) maka kurva pushover dengan cara tertentu harus dirubah

menjadi spektrum kapasitas dengan satuan yang sama dengan spektrum demand.

Spektrum demand didapat dengan mengubah spektrum respon yang biasanya

dinyatakan dalam spektra percepatan (Sa) dan periode (T) menjadi format spectra

percepatan (Sa) dan spectra perpindahan (Sd). Format yang baru ini disebut

Acceleration-Displacement Respon Spectra (ADRS). Kurva kapasitas yang

merupakan produk dari pushover dinyatakan dalam satuan gaya (kN) dan

perpindahan (m), sedangkan demand spectrum memiliki satuan percepatan

(m/detik2) dan perpindahan (m). Satuan dari kedua kurva tersebut perlu diubah

dalam format yang sama, yaitu spektral percepatan (Sa) dan spektral perpindahan

(Sd) agar dapat ditampilkan dalam satu tampilan..

Penyajian secara grafis dapat memberikan gambaran yang jelas bagaimana

sebuah bangunan merespon beban gempa. Perencana dapat membuat berbagai

skenario kekuatan struktur (dengan cara mengganti kekakuan dari beberapa

komponen struktur) dan melihat kinerjanya akibat beberapa level demand yang

dikehendaki secara cepat dalam satu grafik. Titik kinerja merupakan perpotongan

antara spektrum kapasitas dan spektrum demand. Dengan demikian titik kinerja

merupakan representasi dari dua kondisi, yaitu: karena terletak pada spektrum

kapasitas, merupakan representasi kekuatan struktur pada suatu nilai perpindahan

Sd

Sa

Capacity spektrum

Demand spektrum

Titik kinerja (performance point)

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

33

tertentu, dan karena terletak pada kurva demand, menunjukkan bahwa kekuatan

struktur dapat memenuhi demand beban yang diberikan.

2.9.8 Kriteria Kinerja Struktur

Setelah tahap evaluasi tentunya harus ditentukan hasil dari kinerja struktur

yang ditinjau berupa kinerja yang didasarkan dari kriteria-kriteria yang telah ada.

Sasaran kinerja adalah berupa taraf kerusakan yang diijinkan atau level kinerja

(performance level) dari beban gempa rencana yang ditentukan (earthquake

hazard). Level Kinerja adalah pembatasan derajat kerusakan yang ditentukan oleh

kerusakan fisik struktur dan elemen struktur sehigga tidak membahayakan

keselamatan pengguna gedung.

Kriteria kinerja yang ditetapkan dalam FEMA 356 atau 273 adalah seperti

yang ditampilkan dalam tabel 2.10.

Tabel 2.10 Level Kinerja Gedung

Sumber : FEMA 273

Level kinerja struktur pada Tabel 2.10 dapat ditentukan dengan

menghitung roof drift ratio pada saat target perpindahan tercapai. Roof drift ratio

adalah perbandingan antara perpindahan yang terjadi pada atap dengan tinggi total

bangunan. Besarnya perpindahan atap (roof drift) dapat diperoleh setelah

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

34

melakukan Analisis Nonlinear Static Pushover pada model struktur. Penentuan

nilai roof drift ratio dapat dilihat pada Gambar 2.19, dan batasan drift diatur

sesuai dengan klasifikasi FEMA 273 dan ATC 40 pada Tabel 2.11 serta 2.12.

Gambar 2.19 Roof Drift Ratio

Sumber: ATC 40

Tabel 2.11 Level Kinerja Struktur

Sumber : FEMA 273

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - sinta.unud.ac.id II .pdf · Tabel 2.3 Beban siklik yang digunakan pada tes ekperimental Sumber: Lee (2015) 2.4.2 Spesimen yang tidak diperkuat Spesimen

35

Tabel 2.12 Deformation Limit

Sumber: ATC 40