bab ii tinjauan pustaka 2.1 tepung -...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tepung
Menurut Dwinari (2008), tepung adalah suatu jenis bahan pangan yang
terbuat dari jenis biji-bijian yaitu gandum dimana biji-bijian tersebut sudah
berbentuk butiran-butiran halus yang berukuran sangat kecil tergantung pada jenis
asalnya. Bentuk tepung merupakan bentuk hasil pengolahan dari bahan pangan
dengan cara penggilingan atau penepungan dan memiliki kadar air yang rendah,
hal tersebut berpengaruh terhadap keawetan tepung. Jumlah air yang terkandung
dalam tepung dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sifat dan jenis atau asal
bahan baku pembuatan tepung, perlakuan yang telah dialami oleh tepung,
kelembaban udara tempat penyimpanan dan jenis pengemasan.
2.2 Alat dan Mesin Penepung
Menurut Leniger (1975), ada dua jenis alat penepungan bila dilihat dari
keadaan bahan selama penepungan, yaitu mesin penepung tipe batch dimana
selama penepungan bahan akan tetap ada dalam bak dan baru dikeluarkan bila
penepungan telah selesai dan mesin penepung tipe terusan (continue) dimana
selama penepungan akan melewati penepung selama sekali lintasan, dengan tipe
alat ini hasil gilingan akan mempunyai ukuran yang tidak merata, karena itu alat
harus diatur sedemikian rupa sehingga ukuran bahan sesuai yang diizinkan.
Sedangkan Brennan dkk. (1990), alat penepung dibagi berdasarkan gaya
yang bekerja terhadap bahan yaitu sebagai berikut.
2.2.1 Penepung Tipe Palu (Hammer Mill)
Penepung tipe palu yaitu suatu alat penepung yang digunakan untuk
memperkecil ukuran dengan pukulan atau impak gigi penggiling, Hammer mill
terdiri dari palu atau pemukul yang berputar pada porosnya. Bahan yang akan
digiling akan masuk ruang pemukulan melalui corong pemasukan. Susunan palu
yang terdapat pada porosnya akan bergerak bolak-balik memberikan pukulan pada
bahan. Penguranga ukuran bahan dapat diakibatkan karena :
6
1. Pukulan atau impak dari pemukul;
2. Pemotongan oleh sisi pemukul; dan
3. Keausan (attrition) atau aksi gosokan (rubbling action).
Penepung palu digunakan untuk penepungan sedang dan halus. Pada
Gambar 2, menunjukkan penampang Mesin Penepung Tipe Palu (Hammer Mill).
Kecepatan putar penepung dan bentuk dari pemukul juga memmpengaruhi tepung
yang dihasilkan. Kecepatan putar dari pemukul penepung palu adalah antara 1500
sampai 4000 rpm (Brennan dkk., 1990). Secara umum, dibutuhkan tenaga sebesar
1 kilowatt (kW) untuk menggiling satu kilogram bahan permenit pada
penepungan sedang.
Gambar 1. Mesin Penepung Tipe Hammer Mill
Penggunaan hammer mill mempunyai beberapa keuntungan antara lain
adalah:
1. Konstruksinya sederhana,
2. Dapat digunakan untuk menghasilkan hasil gilingan yang bermacam-
macam ukuran;
3. Tidak mudah rusak dengan adanya benda asing dalam bahan dan
beroperasi tanpa bahan; dan
4. Biaya operasi dan pemeliharaan lebih murah dibandingkan dengan
mesin penepung jenis lain.
7
Sedangkan beberapa kerugian menggunakan hammer mill antara lain
adalah:
1. Biasanya tidak dapat menghasilkan gilingan yang seragam;
2. Biaya pemasangan mula-mula lebih tinggi dari pada menggunakan
burr mill; dan
3. Untuk gilingan permulaan atau gilingan kasar dibutuhkan tenaga
yang relatif besar sampai batas-batas tertentu.
2.2.2 Mesin Penepung Tipe Piring (Disc Mill)
Disc mill merupakan suatua alat penepung yang berfungsi untuk
menggiling bahan serelia menjadi tepung, namun lebih banyak digunakan untuk
menepungkan bahan yang sedikit mengandung serat dan juga suatu alat penepung
yang memeperkecil bahan dengan tekanan dan gesekan antara dua piringan yang
satu berputar yang lainnya tetap. Disc mill dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu
single disc mill, double disc mill dan buhr mill.
Pada single disc mill, bahan yang akan dihancurkan dilewatkan di antara
dua cakram. Cakram yang pertama berputar dan yang lain tetap pada tempatnya.
Efek penyobekan didapatkan karena adanya pergerakan salah satu cakram. Selain
itu, bahan juga mengalami gesekan lekukan pada cakram dan dinding alat. Jarak
cakram dapat diatur, disesuaikan dengan ukuran bahan dan produk yang
diinginkan. Pada double disc mill kedua cakram berputar berlawanan arah
sehingga akan didapatkan efek penyobekan terhadap bahan yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan single disc mill.
Gambar 2. Mesin Penepung Tipe Piringan (Disc Mill)
8
Bagian-bagian disc mill (Gambar 3) terdiri dari corong pemasukan, lubang
pemasukan, screen filter, disc penggilingan dinamis, dorong pengeluaran, motor,
pengunci, dan disc penggilingan statis. Prinsip kerja disc mill berdasarakan gaya
sobek dan gaya pukul. Bahan yang akan dihancurkan berada di antara dinding
penutup dan cakram berputar. Bahan akan mengalami gaya gesek karena adanya
lekukan-lekukan pada cakram dan dinding alat. Gaya pukul terbentuk karena ada
logam-logam yang dipasang pada posisi yang bersesuaian (Brennan dkk., 1990).
Menurut Handerson dan Perry (1976), beberapa keuntungan bila
menggunakan penepung tipe disc mill sebagai berikut:
1. Biaya pemasangan awal yang rendah;
2. Hasil gilingan yang relatif seragam;
3. Tenaga yang dibuthkan lebih rendah bila dibandingkan dengan
penepung palu; dan
4. Lebih dapat menyesuaiakn diri dengan gerusan kasar daripada
penepung palu.
Beberapa kerugian dalam menggunakan penepung tipe disc mill sebagai
berikut:
1. Adanya benda-benda asing di dalam bahan yang digiling dapat
menyebabkan kerusakan pada alat; dan
2. Bila piringan beroperasi tanpa bahan yang digiling maka akan
mempercepat kerusakan piringan
2.2.3 Mesin Penepung Tipe Silinder (Cylinder Mill)
Prinsip kerja mesin ini adalah penggilasan bahan di antara celah-celah
silinder. Celah antara silinder dapat diatur jaraknya untuk memperoleh derajat
kehalusan yang diinginkan, bila jarak antara silinder terlalu dekat maka tenaga
yang diperlukan akan menjadi lebih besar, kapasistas penepungan berkurang serta
banyak debu yang akan dihasilkan.
Menurut Henderson dan Perry (1976), ukuran penepung silinder
didasarkan pada ukuran diameter dan panjang silinder. Sebelum pemasukan bahan
yang akan digiling, silinder harus dalam keadaan berputar dengan kecepatan
tertentu, bila tidak maka akan terjadi slip pada belt atau motor menjadi mati.
9
2.2.4 Mesin Penepung Tipe Pisau (Cutter Mill)
Penepung tipe pisau umumnya digunakan untuk bahan liat atau berserat,
dimana aksi pengguntingan lebih efektif dibandingkan dengan tekanan maupun
pukulan atau impak. Laju pemasukan bahan pada ruang pemotong dengan
ketebalan bahan pengumpan tidak lebih dari satu inchi. Bentuk umum dari alat
penggiling ini adalah rotor dengan pisau pemotong berputar pada ruang
pemotongan dan memotong bahan dengan bantuan pisau tetap pada keliling luar
bahan yang digiling akan keluar melalui saringan dengan ukuran maksimum
tergantung pada jenis saringan yang digunakan.
2.3 Mill Dryer Vertical
Mill dryer vertical (Gambar 4) adalah alat proses untuk mengeringkan dan
menepungkan bahan-bahan hasil pertanian dengan moisture content (MC) 40%
menjadi bentuk tepung (powder) kering dengan MC 9% sampai dengan 13%.
Proses pengeringan beroperasi dengan menggunakan udara panas yang ditiupkan
sehingga air yang terkandung pada produk menguap. Adapun jenis gilingan pada
mesin ini menggunakan hammer mill.
Berdasarkan cara pengoperasiannya, mesin ini memiliki bagian-bagian
utama yaitu: bagian masukan (inlet), unit penepung, unit pengering, unit kontrol,
unit pemisah debu (dust collector), dan bagian keluaran (outlet). Rancangan mesin
ini menggunakan sistem penghancur bahan di dalam aliran udara panas dengan
kecepatan udara tertentu yang bergantung dengan jenis bahan yang dikerjakan.
Sumber udara panas tersebut didapatkan dari tungku pemanas udara dengan bahan
bakar gas (burner system modulating) agar suhu udara panas yang dihasilkan
stabil dan pemakaian bahan bakar menjadi efisien.
Mesin ini juga dilengkapi sistem kendali terhadap kecepatan input, suhu
udara panas dan kecepatan aliran udara. Adapun pengendalian terhadap polusi
udara yang terjadi menggunakan dust collector dengan sistem pulse jet. Hal
tersebut bertujuan agar tidak terjadi kebuntuan pada kantong debu. Sedangkan
untuk unit penepungannya, mesin MDV ini menggunakan sistem separator (air
classifier) dimana sistem tersebut bertujuan untuk memisahkan butiran powder
(KLprotech, 2016).
10
Gambar 3. Mesin Mill Dryer Vertical Tipe MDV-10
Gambar 4. Unit Kontrol Mesin Mill
Dryer Vertical Tipe MDV-10
Gambar 5. Unit Pemisah Debu (Dust
Collector)
11
Gambar 6. A .Bagian Keluaran (outlet)
Gambar 7. A. Bagian Masukan (inlet); B. Unit Penepung; C. Unit Pengering
2.4 Uji Kinerja
Uji kinerja dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kinerja mesin mill
dryer vertical yang dibuat apakah sudah sesuai dengan perancangan kinerja yang
sudah ditentukan. Adapun perhitungan parameter yang dilakukan untuk
mengetahui kinerja mesin mill dryer vertical yaitu sebagai berikut:
1. Kapasitas aktual penepungan (kg/jam),
2. Kapasitas teoritis penepungan (kg/jam),
3. Efisiensi penepungan (%),
4. Persentase tepung tercecer (%),
A B
C
12
5. Persentase susut hasil (%),
6. Kebutuhan daya (W),
7. Rendemen penepungan (%),
8. Konsumsi bahan bakar,
9. Tingkat kebisingan,
10. Diameter tepung, dan
11. Modulus kehalusan.
2.4.1 Kapasitas Penepungan (SNI 0838-4:2014)
Kapasitas penepungan adalah kemampuan mesin dalam melakukan
penepungan dengan jumlah tertentu dalam satu jam. Kapasitas tersebut terdiri atas
kapasitas aktual dan kapasitas teoritis. Kapasitas aktual mesin Mill Dryer Vertical
Tipe MDV-10 dihitung dengan menggunakan Persamaan 1 berikut:
=1 + 1 + +5
1+ 2++ 5......................................................... (1)
Dimana : Keff = Kapasitas aktual penepungan (kg/jam);
Ws1,s2,. = Massa tepung pada ulangan pertama, kedua, dan seterusnya
(kg);
tp1.p2,. = Waktu penepungan pada ulangan pertama, kedua, dan
seterusnya (jam).
Adapun kapasitas teoritisnya dapat dihitung dengan menggunakan
Persamaan 2 berikut:
= 60 ( ) .................................................(2)
Dimana : Ktp = Kapasitas teoritis penepungan (kg/jam);
= Massa jenis bahan sebelum diproses (kg/m3);
= kecepatan putar puli roda penepung (rpm);
R = jari-jari ruang penepung (m);
r = jari-jari palu penepung (m);
h = tebal palu penepung (m);
w = lebar palu penepung (m).
13
2.4.2 Efisiensi Penepungan (SNI 0838-4:2014)
Efisiensi penepungan merupakan nilai perbandingan antara massa bahan
yang keluar dari bagian pengeluaran dengan massa bahan yang diproses selama
penepungan dikalikan seratus persen. Efesiensi mesin penepung dihitung dengan
menggunakan Persamaan 3 berikut:
= 100
..................................................................................(3)
Dimana : = Efisiensi penepungan (%),
Keff = Kapasitas aktual penepungan (kg/jam),
Ktp = Kapasitas teoritis penepungan (kg/jam
2.4.3 Persentase Tepung Tercecer
Tepung yang tercecer merupakan bahan terolah yang keluar tidak melalui
outlet, baik olahan yang tersangkut di pemukul, dinding dan mulut outlet.
Besarnya persentase bahan yang tercecer dapat dihitung dengan menggunakan
Persamaan 4 berikut:
=1+ 2+.+ 5
1+ 2++ 5 100%.........................................................(4)
Dimana : Pet = Persentase susut tercecer mesin penepung (%);
Was1,as2,.. = Massa awal bahan pada ulangan pertama, kedua dan
seterusnya (kg);
Wst1,st2,.. = Massa bahan yang tercecer pada ulangan pertama, kedua,
dan seterusnya (kg).
2.4.4 Persentase Susut Massa (SNI 0838-4:2014)
Persentase susut hasil diamati dengan cara membandingkan massa bahan
yang tertinggal di dalam ruang penepungan dan ditambahkan dengan massa bahan
tercecer dibagi terhadap massa awal bahan. Besarnya persentase susut hasil
dihitung dengan menggunakan Persamaan 5 berikut:
= 100 (1+ 2++ 5)(1 + 1 + +5)
1+ 2++ 5.......................(5)
Dimana : Psm = Persentase susut massa (%);
Was1,as2,.. = Massa awal bahan pada ulangan pertama, kedua dan
seterusnya (kg);
14
Ws1,s2,.. = Massa tepung pada ulangan pertama, kedua, dan seterusnya
(kg),
2.4.5 Kebutuhan Daya
Kebutuhan daya mesin pada saat dioperasikan dapat diukur dengan
menggunakan alat pengukur kuat arus dan tegangan. Adapun besarnya daya dapat
dihitung dengan menggunakan Persamaan 6 berikut:
= ...............................................................................................(6)
Dimana: P = Kebutuhan daya (W),
V = Tegangan (V),
I = Kuat Arus (A).
2.4.6 Rendemen Penepungan
Pengambilan sampel rendemen dilakukan dengan memisahkan fraksi yang
dihasilkan dari proses penepungan berupa bahan yang menjadi tepung, bahan utuh
dan bahan yang rusak.
Uji rendemen dilakukan dengan mempersentasekan hasil bahan yang telah
menjadi tepung dengan keseluruhan bahan yang dimasukkan ke dalam mesin.
Semakin besar nilai rendemen maka kinerja mesin semakin baik dan sebaliknya
(Smith, 2000).
Rendemen tersebut dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 7
berikut:
=
100%.............................................................................(7)
Dimana : PR = Rendemen bahan (%),
Ws = Massa tepung yang dihasilkan (kg),
Was = Massa bahan sebelum diproses (kg).
2.4.7 Konsumsi Bahan Bakar (SNI 0838-4:2014)
Mesin Mill Dryer Vertical Tipe MDV-10 ini menggunakan bahan bakar
LPG. Adapun konsumsi bahan bakar dapat dihitung dengan menggunakan
Persamaan 8 berikut:
=
.................................................................................................(8)
15
Dimana : Fc = Konsumsi bahan bakar (l/jam),
Fv = Total bahan bakar yang terpakai selama operasi (l),
t = Waktu yang dibutuhkan dalam proses penepungan (jam).
2.4.8 Tingkat Kebisingan Mesin
Tingkat kebisingan suara merupakan suara yang ditimbulkan akibat
beroperasinya mesin penggorengan vakum yang diterima ditelinga operator.
Kebisingan suara diukur dengan alat sound level meter dengan mendekatkan alat
tersebut pada telinga operator dalam posisi operator mengoperasikan mesin
penggorengan vakum dengan jarak 2 m dari sumber suara.
2.4.9 Indeks Keseragaman dan Modulus Kehalusan
Hall dan Davis (1978) mengemukakan bahwa dalam penentuan mutu hasil
penepungan digunakan dua kriteria, yaitu indeks keseragaman (uniformity index)
dan modulus kehalusan (fineness modulus). Indeks keseragaman didefinisikan
sebagai perbandingan yang menyatakan fraksi-fraksi kasar, sedang dan halus dari
tepung yang dihasilkan, sehingga akan diketahui tingkat keseragaman tepung
tersebut. Penentuan nialinya berdasarkan pada perbandingan antara fraksi kasar,
sedang dan halus menggunakan ayakan Tyler (Tyler shieves). Alat ini merupakan
ayakan yang memiliki ukuran lubang berbeda dan telah disahkan oleh United
State Bureau of Standard pada tahun 1919. Alat ini dapat digunakan sebagai dasar
penentuan modulus kehalusan dan ukuran partikel tepung.
Adapun modulus kehalusan adalah bilangan yang mewakili ukuran rata-
rata partikel bahan hasil proses penepungan. Modulus kehalusan dihitung
berdasarkan jumlah total dari perkalian antara persentase berat bahan tertinggal
pada setiap ayakan dengan angka mutu dibagi 100. Standar pengujian modulus
kehalusan yaitu sebesar 250 g (Henderson dan Perry, 1976). Persamaan untuk
menghitung modulus kehalusan adalah sebagai berikut:
FM =
100.................................................................................................(9)
Dimana: FM = Modulus kehalusan
= Jumlah fraksi bahan yang tertinggal
16
Setelah mengetahui nilai modulus kehalusan, diameter rata-rata partikel
tepung dapat diketahui dengan menggukan Persamaan 10 berikut (Hall dan Davis,
1978):
D = 0,0041 (2) FM..................................................................................(10)
Dimana : D = diameter rata-rata partikel tepung
FM = modulus kehalusan
Adapun nilai perhitungan indeks keseragaman dan modulus kehalusan
antara tiga fraksi (kasar : sedang : halus) disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Perhitungan Indeks Keseragaman dan Modulus Kehalusan
Mesh No.
Ukuran Lubang (inci)
Bahan Tertinggal pada Ayakan
(%)
Tertinggal Kumulatif pada Ayakan
(%)
Angka Mutu
20 0,3710 X1 X1 7
40 0,1850 X2 X1+X2 6
50 0,0930 X3 X1+X2+X3 5
60 0,0464 X4 X1+X2+X3+X4 4
80 0,0232 X5 X1+X2+X3+X4+X5 3
100 0,0116 X6 X1+X2+X3+X4+X5+X6 2
120 0,0058 X7 X1+X2+X3+X4+X5+X6+X7 1
Pan X8 X1+X2+X3+X4+X5+X6+X7+X8 0
Total 100 (Sumber: Henderson dan Perry, 1976)
Jika hasil perbandingan antara ketiga fraksi yaitu, fraksi kasar : sedang :
halus adalah 1 : 6 : 3 maka dapat dikatakan bahwa kinerja mesin telah memenuhi
standar (Henderson dan Perry, 1976).
2.5 Energi
Menurut Laksmana (2007), energi berasal dari bahasa Yunani, en berarti
dalam dan ergon yang berarti kerja. Energi dapat didefinisikan sebagai
kemampuan untuk memberikan pengaruh atau akibat, baik berupa panas yang
ditimbulkan oleh suatu kegiatan ataupun berupa energi mekanik. Pada lazimnya,
energi terbagi menjadi energi primer, yakni energi matahari dan energi sekunder
yaitu energi yang terbentuk dari energi primer. Energi angin, energi listrik, energi
manusia, energi biomassa, energi hewan, energi fosil merupakan energi yang
termasuk ke dalam energi sekunder.
17
Jenis-jenis energi komersial yang banyak digunakan adalah minyak bumi
dan gas bumi, batu bara dan tenaga air. Kemudian disusul dengan bentuk-bentuk
energi lain seperti panas bumi, energi nuklir, energi listrik dan lain sebagainya.
Masing-masing energi mempunyai nilai kalor atau nilai energi sendiri. Di
samping itu, masing-masing bentuk energi juga diukur menurut volume ataupun
berat (Hall et al, 1985).
2.6 Audit Energi
Kebutuhan energi dalam bidang industri tepung memiliki beberapa bentuk,
yaitu energi langsung, energi tidak langsung dan energi biologis. Energi tersebut
dibutuhkan sebagai input/masukan pada proses produksi. Stout (1990)
mengungkapkan bahwa semua masukan yang mendukung proses produksi dapat
dikonversikan ke dalam bentuk energi.
2.6.1 Energi Biologis
Kegiatan produksi pada proses pembuatan tepung tidak bisa lepas dari
peran tenaga manusia, baik sebagai pekerja langsung maupun sebagai operator
alat atau mesin. Pada industri besar, energi manusia hanya digunakan sebagai
operator. Sedangkan pada industri yang masih sederhana, energi manusia
berperan sebagai pekerja langsung. Menurut Stout (1990), kegiatan pengolahan di
pabrik membutuhkan energi biologis manusia sebesar 0,725 MJ/jam atau 1,4
kkal/menit. Kebutuhan dasar energi seseorang tergantung pada ukuran bahan,
umur, jenis kelamin, iklim dan faktor lingkungannya (Abdullah dkk., 1998).
Menurut Abdullah dkk. (1998), hanya 20-30% energi kimia dari makanan yang
dapat dikonversikan menjadi tenaga mekanis. Untuk kerja setiap hari penuh,
keluaran energi manusia sekitar 0,1 HP (75 W atau 1,07 kkal/menit).
Pada proses produksi tepung, energi biologis manusia diperlukan dalam
berbagai bentuk kegiatan, antara lain persiapan bahan baku, pemotongan
singkong, pengepresan dan penepungan. Menurut Irwanto dkk (1990), energi
biologis atau energi manusia dapat dihitung dengan persamaan 11 sebagai berikut:
EBS = HOK x JK x Cb x Rd...................................(11)
Keterangan:
18
EBS = Energi biologis produksi (MJ/ton)
HOK = Jumlah hari orang bekerja per ton (hari/ton)
JK = Jumlah jam kerja per hari (jam/hari)
Cb = Nilai unit energi biologis (MJ/jam)
Rd = Rendemen hasil kegiatan yang berlangsung (%)
2.6.2 Energi Langsung
Energi langsung merupakan energi yang digunakan secara langsung di
dalam proses penepungan, antara lain energi bahan bakar dan energi listrik.
a) Energi bahan bakar
Pada proses pembuatan tepung energi bahan bakar LPG digunakan untuk
mengeringkan bahan yang terdapat pada mesin MDV-10. Nilai energi per unit
beberapa jenis bahan bakar yang merupakan penjumlahan nilai kalor dan input
produksi disajikan pada Tabel 2 (Pimentel, 1990).
Tabel 2. Nilai energi per unit bahan bakar
Sumber Energi Unit Nilai kalor (MJ/unit)
Input produksi (MJ/unit)
Nilai energi total (MJ/unit)
Gasoline IDO Liter 32,24 8,08 40,32
Diesel Liter 38,86 9,12 47,78
Minyak bumi Liter 38,86 9,12 47,78
LPG Liter 36,10 1,16 32,26
Gas alam m3 41,38 8,07 49,45
Batubara keras Kg 30,23 2,36 32,59
Batubara lunak Kg 30,39 2,37 32,76
Kayu keras Kg 19,26 1,44 20,70
Kayu lunak Kg 17,28 1,32 18,90
Listrik kWh 3,60 8,39 11,99
Menurut Irwanto dkk (1990), energi bahan bakar pada proses produksi
dapat dianalisis melalui pendekatan persamaan 12 berikut:
=
.....................................................(12)
Keterangan:
Elt = Energi bahan bakar yang terpakai (MJ/ton)
KL = Konsumsi bahan bakar padat (kg/jam)
Cl = Nilai unit energi bahan bakar (MJ/kg)
19
Rd = Rendemen hasil kegiatan yang berlangsung (%)
CH = Kapasitas hasil alat (ton/jam)
b) Energi listrik
Penggunaan energi listrik dalam kegiatan pembuatan tepung sangat
penting, terutama pada proses yang menggunakan motor listrik sebagai tenaga
penggerak. Menurut Rijaldi (2006), tenaga listrik melalui motor listrik dapat
menghasilkan tenaga mekanik lainnya. Di Indonesia listrik dibangkitkan dengan
altenator atau pembangkit AC pada pembangkit daya termal, air, uap maupun
diesel dengan 50 atau 60 siklus per detik. Biasanya listrik dibangkitkan pada
tegangan 9 sampai dengan 13 KV pada terminal pembangkitnya. Daya yang
dihasilkan oleh saru pembangkit (dikenal juga dengan istilah unit) berada pada
kisaran 67,5 MW, 110 MW, 220 MW, 500 MW dan ada juga yang mencapai 1000
MW atau lebih. Tingkat daya yang lebih tinggi akan lebih disukai karena lebih
rendahnya pemakaian daya pembantu, biaya perawatan dan biaya operasi per MW
yang dihasilkan. Besarnya energi listrik yang digunakan untuk proses produksi
dapat dihitung dengan Persamaan 13:
Elk = (P x t x n) / m .......................................... (13)
P = V x I x Cos x konstanta fasa
Nilai P untuk 3 fasa digunakan Persamaan 14:
P = V x I x Cos x 3 .................................... (14)
Sedangkan untuk fasa tunggal, konstanta fasa adalah 1
Dimana:
Elk = energi listrik yang digunakan (MJ/kg)
t = lama waktu penggunaan alat (jam)
n = Efisiensi peralatan elektronik (0,8)
V = tegangan (V)
I = arus listrik (A)
Cos = faktor daya (0,8)
P = daya (kW)
m = jumlah produksi (kg)
20
2.6.3 Energi Tak Langsung
Energi tidak langsung berupa materi penyusun produk, peralatan
bangunan, bahan kimia dan bahan-bahan lain yang mendukung baik dalam proses
produksi maupun dalam penyimpanan bahan. Jumlah energi langsung dan energi
tidak langsung yang digunakan untuk memproduksi suatu barang atau jasa disebut
dengan embodied energy (Hall et al, 1985). Embodied energy adalah energi yang
digunakan secara tidak langsung dalam suatu proses produksi (Pimentel, 1990).
Pada proses pembuatan tepung, penggunaan energi tidak langsung terdapat pada
pisau, mesin pemotong singkong, mesin pengepres singkong, mesin mill dryer
vertical tipe MDV-10 dan ember.
Produktivitas suatu produksi dalam industri tepung dapat ditingkatkan
dengan cara menggunakan energi alat dan mesin industri tepung yang merupakan
energi yang berasal dari pemakaian alat dan mesin tersebut. Semakin maju suatu
industri tepung maka akan semakin tinggi ketergantungan terhadap pemakaian
alat dan mesin produksi. Energi total produksi alat atau mesin industri tepung
diasumsikan sebesar 82% dari total energi bahan baku dan pabrikasi. Nilai
tersebut diambil sesuai dengan pendekatan umur alat atau mesin yang dapat
dipercaya (Pimentel, 1990). Pemeliharaan alat atau mesin industri tepung
memerlukan energi masukan dalam perbaikan dan perawatan.
Menurut Irwanto dkk. (1990), energi tidak langsung pada proses produksi
dapat didekati dengan persamaan 15 sebagai berikut:
= (1( + )) ((0,02 + 0,333 ))
................(15)
Keterangan:
= Energi tidak langsung terpakai dari mesin atau alat (MJ/kg)
M1 = Massa total mesin (kg)
Cem = Nilai unit energi tak langsung produksi bahan baku (MJ/kg)
Cef = Nilai unit energi tak langsung untuk pabrikasi alat (MJ/kg)
TAR = Nilai % total akumulasi pemakaian, perbaikan, dan pemeliharaan alat
Rd = Rendemen hasil kegiatan yang berlangsung (%)
CH = Kapasitas hasil alat (ton/jam)
N = Umur ekonomis alat (jam)
21
2.7 Analisis Energi
Menurut Slesser (1999) dalam Laksmana (2007), analisis energi
menerapkan beberapa batasan sistem dalam proses perhitungannya, yaitu pada
konsep-konsep perhitungan kebutuhan energi kotor, kebutuhan energi proses,
energi langsung, energi tidak langsung dan kebutuhan energi. Menurut Laksmana
(2007), metode umum dalam pelaksanaan analisis energi adalah:
1. Memilih batasan pada suatu proses, sistem, operasi dan perusahaan yang
akan dianalisis sehingga seluruh masukan dan keluaran yang melewati
batas sistem dapat diidentifikasi dan dihitung.
2. Mengidentifikasi dan memperhitungkan seluruh masukan yang melewati
batasan sistem, dibandingkan pada suatu interval waktu atau unit keluaran.
3. Menentukan kebutuhan energi dari setiap masukan.
4. Mengidentifikasi dan menghitung seluruh keluaran.
5. Menghubungkan total energi yang terlibat dengan keluaran.
6. Menerapkan hasil dari analisis energi.
Analisis energi merupakan suatu metode perhitungan kebutuhan energi,
baik energi langsung maupun energi tidak langsung yang digunakan untuk
menghasilkan suatu produk atau jasa. Menurut Sholahuddin (1999), ada tiga
metode analisis yang digunakan untuk audit energi yaitu:
a) Analisis statistika, merupakan metode untuk menentukan energi yang
tersimpan per satuan output dengan menggunakan data statistik, baik untuk
memperoleh informasi sejumlah industri maupun lebih dari satu.
b) Analisis input-output, yaitu metode analisis secara langsung atau tidak
langsung terhadap aliran bahan yang masuk ke dalam sistem untuk
menghasilkan bahan keluaran tertentu, dimana bahan keluaran ini dapat
dinyatakan sebagai energi utama untuk menghasilkan keluaran tersebut.
c) Analisis proses, merupakan identifikasi pada tahapan proses untuk
menentukan jenis masukannya dan merupakan suatu identifikasi peluang
konservasi, penerapannya di lapangan dan perawatan terhadap keberlanjutan
tindakan konservasi. Melalui penerapan hal-hal tersebut di atas, keputusan
perusahaan untuk melakukan konservasi energi yang sesuai dapat diambil dan
manfaat yang diinginkan dapat tercapai.
22
d) Analisis rasio input dan output energi untuk menentukan besarnya efisiensi
energi yang digunakan selama proses berlangsung. Semakin besar nilai dari
rasio tersebut maka semakin besar efisiensi dari penggunaan energi. Nilai
analisis rasio input dan output ini digunakan untuk menganalisis peluang-
peluang konservasi dan penghematan energi untuk menekan nilai dari input
energi sehingga nilai dari efisiensi penggunaan energi akan semakin tinggi.