bab ii tinjauan pustaka 2.1 tanaman kacang tanah

25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija, memiliki peluang pengembangan agroindustri dalam mendukung pembangunan perekonomian daerah yang efisien dan efektif, dapat menekan kemiskinan terutama bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Masyarakat Indonesia sudah lama mengenal kacang tanah, sebagai bahan pangan dan industri, biasanya ditanam di Sawah atau Tegalan (Marzuki, 1995). Tanaman kacang tanah yang tersebar luas ditanam di Indonsia bukan merupakan tanaman asli, melainkan berasal dari Amerika Selatan, yaitu Brazilia. Tanaman kacang tanah diperkirakan masuk ke Indonesia antara tahun 1521-1529. Kacang tanah di Indonesia dikenal juga dengan sebutan kacang brudul atau kacang brol (Jawa), yang tergolong kedalam Familia Leguminoceae (AAK, 1990). Beberapa daerah di Indonesia, kacang tanah merupakan tanaman pangan yang mendapat prioritas untuk dikembangkan dan ditingkatkan produksinya setelah padi dan kedelai. Hal ini didorong dengan semakin meningkatnya kebutuhan terhadap kacang tanah sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri. Penggunaan kacang tanah sangat beragam mulai dari industri rumah tangga secara tradisional sampai ke industri modern. (Mashudi, 2007 ; Dinarto dan Dian, 2012). Menurut Marzuki (1995) klasifikasi kacang tanah adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Class : Dicotyledoneae

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kacang Tanah

Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija, memiliki

peluang pengembangan agroindustri dalam mendukung pembangunan perekonomian daerah yang

efisien dan efektif, dapat menekan kemiskinan terutama bagi kelompok masyarakat

berpendapatan rendah. Masyarakat Indonesia sudah lama mengenal kacang tanah, sebagai bahan

pangan dan industri, biasanya ditanam di Sawah atau Tegalan (Marzuki, 1995). Tanaman kacang

tanah yang tersebar luas ditanam di Indonsia bukan merupakan tanaman asli, melainkan berasal

dari Amerika Selatan, yaitu Brazilia. Tanaman kacang tanah diperkirakan masuk ke Indonesia

antara tahun 1521-1529. Kacang tanah di Indonesia dikenal juga dengan sebutan kacang brudul

atau kacang brol (Jawa), yang tergolong kedalam Familia Leguminoceae (AAK, 1990).

Beberapa daerah di Indonesia, kacang tanah merupakan tanaman pangan yang mendapat

prioritas untuk dikembangkan dan ditingkatkan produksinya setelah padi dan kedelai. Hal ini

didorong dengan semakin meningkatnya kebutuhan terhadap kacang tanah sebagai bahan pangan

maupun bahan baku industri. Penggunaan kacang tanah sangat beragam mulai dari industri rumah

tangga secara tradisional sampai ke industri modern. (Mashudi, 2007 ; Dinarto dan Dian, 2012).

Menurut Marzuki (1995) klasifikasi kacang tanah adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Sub Divisio : Angiospermae

Class : Dicotyledoneae

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

Ordo : Rosales

Familia : Leguminoceae

Genus : Arachis

Spesies : Arachis hypogaea L

2.1.1 Morfologi kacang tanah

Tanaman kacang tanah memiliki bagian-bagian antara lain : daun, batang, akar, bunga,

buah dan biji. Daun pertama yang tumbuh dari biji disebut dengan kotiledon, yang terangkat ke

permukaan tanah pada waktu biji berkecambah. Daun berikutnya berupa daun tungal dan

berbentuk bundar. Pada pertumbuhan berikutnya daun kacang tanah membentuk daun majemuk

bersirip genap terdiri atas empat anak daun, dengan tangkai daun agak panjang. Helaian anak daun

bentuknya beragam tergantung varietasnya, ada yang berbentuk bulat, elip dan agak lancip.

Permukaannya ada yang berbulu dan tidak berbulu (AAK, 1990). Batang kacang tanah tidak

berkayu, ada yang tumbuh tegak dan menjalar. Tinggi batang rata-rata sekitar 50 cm, bagian

bawah batang tempat menempelnya perakaran dan bagian atasnya berfungsi sebagai tempat

pijakan cabang primer, yang masing-masing dapat membentuk cabang sekunder. Batang dan

cabang kacang tanah berbentuk bulat, bagian atas batang ada yang berbentuk persegi, sedikit

berbulu dan berwarna hijau (Pitojo, 2005).

Akar tanaman kacang tanah merupakan akar tunggang yang tumbuh lurus ke dalam tanah

sampai kedalaman 40 cm. Pada akar tunggang tersebut tumbuh akar cabang diikuti oleh akar

serabut. Akar kacang berfungsi sebagai penopang berdirinya tanaman dan untuk menyerap air dan

unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Pada pangkal dan cabang akar tunggang biasanya

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

terdapat bintil-bintil bakteri Rhizobium yang berperan dalam penyerapan nitrogen dari udara

bebas. Bunga muncul dari ketiak daun pada bagian bawah tanaman, mulai muncul sejak umur 4-5

minggu dan berlangsung sampai umur 80 hari setelah tanam. Bunga berbentuk kupu-kupu,

berukuran kecil, terdiri atas lima daun tajuk. Mahkota bunga berwarna kuning atau kuning

kemerah-merahan (Marzuki, 1995). Menurut Rukmana (1998), bunga kacang tanah meyerbuk

sendiri, yang akhirnya akan membentuk bakal buah/bakal polong/ginofor yang masuk ke dalam

tanah dan buah dibentuk di dalam tanah, berbentuk polong. Biji kacang tanah berbentuk agak

bulat sampai lonjong yang merupakan alat perkembangbiakan/ perbanyakannya (Gambar 2.1).

Menurut pertumbuhannya kacang tanah dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe tegak dan

menjalar. Varietas-varietas kacang tanah unggul yang dibudidayakan para petani kebanyakan

bertipe tegak dan berumur pendek (genjah). Varietas unggul kacang tanah ditandai dengan

karakteristik sebagai berikut : a) Daya hasil tinggi. b) Umur pendek (genjah) antara 85-90 hari. c)

Hasilnya stabil. d) Tahan terhadap penyakit. e) Toleran terhadap kekeringan atau tanah becek.

Varietas kacang tanah di Indonesia yang terkenal yaitu : a) Kacang Brul, berumur pendek (3-4

bulan). b) Kacang Cina, berumur panjang (6-8 bulan). c) Kacang Holle, merupakan tipe campuran

hasil persilangan antara varietas-varietas yang ada (Marzuki, 1995).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

Gambar 2.1

Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.)

(Sumber : Koleksi pribadi, 2016)

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kacang tanah

Syarat pertumbuhan kacang tanah antara lain : a) Iklim. Curah hujan yang sesuai untuk

tanaman kacang tanah antara 800-1.300 mm/tahun. Hujan yang terlalu deras akan mengakibatkan

rontok pada bunga sehingga tidak diserbuki. Selain itu, hujan yang terus-menerus dapat

meningkatkan kelembaban di sekitar pertanaman kacang tanah. b) Suhu udara bagi tanaman

kacang tanah tidak terlalu sulit, karena suhu udara minimal bagi tumbuhnya kacang tanah sekitar

28–32oC. Bila suhunya dibawah 10oC menyebabkan pertumbuhan tanaman sedikit terhambat,

bahkan menjadi kerdil karena pertumbuhan bunga yang kurang sempurna. c) Kelembaban udara

untuk tanaman kacang tanah berkisar antara 65-75 %. Adanya curah hujan yang tinggi akan

meningkatkan kelembaban terlalu tinggi di sekitar pertanaman. d) Penyinaran sinar matahari

secara penuh amat dibutuhkan bagi tanaman kacang tanah, terutama kesuburan daun dan

perkembangan tanaman kacang tanah. e) Jenis tanah yang sesuai untuk tanaman kacang tanah

adalah jenis tanah yang gembur atau bertekstur ringan dan subur. f) Derajat keasaman (pH) tanah

yang sesuai untuk budidaya kacang tanah adalah pH antara 6,0–6,5. g) Air. Kekurangan air akan

menyebabkan tanaman kurus, kerdil, layu dan akhirnya mati. Air yang diperlukan tanaman berasal

dari mata air atau sumber air yang ada disekitar lokasi penanaman. Tanah berdrainase baik atau

lahan yang tidak terlalu becek dan tidak terlalu kering, baik bagi pertumbuhan kacang tanah. h)

Ketinggian tempat yang baik dan ideal untuk tanaman kacang tanah adalah pada ketinggian antara

500 m dpl. Jenis kacang tanah tertentu dapat ditanam pada ketinggian tempat tertentu untuk dapat

tumbuh optimal (Mashudi, 2007)

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

Disamping itu gulma juga sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kacang tanah.

Hasil penelitian Dinarto dan Dian (2012), penyiangan gulma berpengaruh terhadap produksi

kacang tanah, berat 100 biji kacang tanah yang tidak disiangi lebih rendah daripada tanaman yang

disiangi. Produksi kacang tanah yang tidak disiangi menurun 15,90–36,72% dibandingkan

produksi tanaman yang disiangi.

2.2 Penyakit Busuk Batang pada Tanaman Kacang Tanah

2.2.1 Gejala penyakit

Upaya pengembangan tanaman kacang-kacangan salah satunya kacang tanah perlu

didukung dengan perbaikan teknik budi daya, termasuk pengelolaan hama dan penyakit. Tanaman

kacang-kacangan sering diserang oleh penyakit busuk batang yang disebabkan oleh Sclerotium

rolfsii (Agrios, 2005). Menurut Syahputra et al. (2011), gejala penyakit busuk batang pada

kacang tanah, awalnya daun yang dekat dengan permukaan tanah, maupun cabang tanaman

menjadi layu dan kekuningan. Secara berlahan-lahan daun-daun berubah warna menjadi coklat

gelap dan kadang rontok dari tanaman sebelum waktunya. Cabang-cabang menjadi layu dan

berwarna coklat gelap, pada batang bagian bawah yang berdekatan dengan tanah terselubung

miselium berwarna putih. Apabila didukung oleh faktor lingkungan yang baik akan mempercepat

perkembangan gejala sampai ke ranting tanaman dan pada permukaan tanah disekitar tanaman

yang terinfeksi tumbuh banyak sclerotia, awalnya berwarna putih kemudian menjadi coklat gelap

(Purnomo, 2006 ; Agrios, 2005). Serangan parah sering terjadi pada musim hujan, penularannya

lebih cepat sehingga banyak tanaman di suatu area menjadi layu yang menyebabkan penurunan

produksi (Semangun, 2007).

Hasil penelitian Remadi et al. (2012) , Sclerotium rolfsii yang diinokulasikan pada 11

kultivar tanaman kentang, setelah tiga minggu menunjukkan gejala busuk batang. Kultivar tango

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

menunjukkan gejala yang paling banyak, sedangkan kultivar daisy paling sedikit. Sedangkan itu

kultivar bellini menunjukkan gejala busuk paling parah pada bagian umbi.

Lebih lanjut dilaporkan oleh Wahyu et al. (2013), perlakuan tanaman kedelai yang

diinokulasikan dengan patogen Sclerotium rolfsii, rata-rata tinggi tanaman mengalami penurunan

pada minggu ke–9 sampai ke–12, dibandingkan dengan tanaman kontrol yang tidak diinokulasi

patogen. Pada minggu ke–10 terdapat beberapa tanaman yang terhambat pertumbuhannya dan

kemudian mati. Dari hasil pengamatan gejala yang terlihat, tanaman kedelai mengalami kelayuan.

Astiko et al. (2009) melaporkan, masing-masing varietas kacang tanah lokal Bima yang diuji

ketahanannya terhadap patogen Sclerotium rolfsii, menu njukkan gejala penyakit berupa busuk

pangkal batang, secara perlahan-lahan tanaman akhirnya mati. Tanda yang mudah dikenali dari

penyakit ini adalah terdapatnya miselium jamur berwarna putih seperti bulu, pada permukaan

tanah disekitar tanaman ditemukan banyak sclerotia berwarna coklat (Gambar 2.2).

2.3 Sclerotium rolfsii Sacc. Penyebab Penyakit Busuk Batang pada Tanaman Kacang

Tanah

2.3.1 Karakteristik Sclerotium rolfsii Sacc.

Sclerotium rolfsii Sacc. merupakan jamur patogen tular tanah, dapat menyerang dan

mematikan berbagai jenis tanaman salah satunya adalah kacang tanah. Distribusi penyakit ini bisa

terjadi di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia, serta memiliki kisaran inang yang

luas (Agrios, 2005 ; Richard et al., 2011). Sclerotium rolfsii banyak ditemukan pada musim hujan,

terutama pada tanah yang lembab. Jenis jamur ini dapat membentuk struktur dorman, yaitu

sclerotia pada permukaan tanah atau pangkal batang. Sclerotia mempunyai dinding tebal dan keras

sehingga tahan terhadap keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan, terutama kekeringan

dan suhu tinggi. Masa dorman akan berakhir jika didukung oleh kondisi lingkungan yang cocok

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

untuk perkembangannya. Zat-zat yang dihasilkan oleh akar tanaman akan menstimulasi sclerotia

untuk segera berkecambah menjadi hifa yang siap menginfeksi bagian tanaman pada daerah

perakaran (rizosfer) (Mulen, 2001 ; Madhuri and Gayathri, 2014 ; Barbosa et al., 2010).

Gambar 2.2

Tanaman kacang tanah yang terserang penyakit busuk batang dengan gejala berat

(Sumber : Koleksi pribadi, 2016)

Jamur Sclerotium rolfsii dapat bertahan hidup dalam tanah tanpa inang dalam jangka waktu

yang lama sebagai sclerotia. Tanah yang lembab dan mengandung bahan organik merupakan

kondisi yang mendukung terjadinya infeksi oleh Sclerotium rolfsii (Magenda et al., 2011).

Kelembaban 70% dapat mendukung perkembangan Sclerotium rolfsii di dalam tanah (Pinheiro

et al., 2010). Sedangkan menurut Sinaga (2006), serangan patogen tular tanah pada tanaman

diawali dengan infeksi pada bagian akar atau batang yang berbatasan dengan permukaan tanah.

Sclerotia

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

Infeksi menyebabkan transportasi hara dan air terhambat sehingga tanaman layu. Patogen

selanjutnya menyebar ke seluruh bagian tanaman dan menyebabkan pembusukan terutama pada

bagian pangkal batang. Hasil penelitian Isnaini et al. (2016), penyakit busuk batang pada tanaman

buah naga yang ditanam di Lombok Utara, setelah diisolasi dan diidentifikasi disebabkan oleh

jamur Sclerotium rolfsii.

Patogen ini mempunyai kisaran inang yang luas, terutama menyerang tanaman dari

kelompok Leguminoceae, Cruciferaceae, Cucurbitaceae, pisang, jeruk, gandum, padi, tebu, bit

gula, keladi dan tanaman obat-obatan (Mudji, 2015).

Hasil penelitian Akram et al. (2008), 12 isolat yang berhasil diisolasi dari tanaman kacang

buncis yang menunjukkan gejala busuk batang di Pakistan, menunjukkan karakteristik morfologi

koloni yang berbeda-beda. Isolat SR-12 memiliki diametar koloni paling besar yaitu 90 mm,

sedangkan yang paling kecil isolat SR-4 yaitu 16 mm, yang diinkubasi pada suhu kamar (25oC)

selama 5 hari. Lebih lanjut dilaporkan dari hasil penelitian Rasu et al. (2013), ukuran diameter

sclerotia dari masing-masing isolat Sclerotium sp. yang diisolasi dari tanaman yang berbeda,

dengan gejala busuk batang menunjukkan karakteristik sclerotia yang berbeda, ukuran diameter

sclerotia yang diisolasi dari tanaman kacang tanah antara 0,9-1,5 mm, sedangkan ukuran diameter

sclerotia yang diisolasi dari tanaman tomat 1,6 mm.

Sedangkan hasil penelitian Magenda et al. (2011), karakteristik isolat Sclerotium rolfsii,

yang diisolasi dari tanaman kacang tanah dengan gejala busuk batang, setelah ditumbuhkan

pada media PDA, membentuk koloni dengan miselium berwarna putih seperti kapas atau

berbentuk seperti bulu. Sedangkan tipe perkecambahan sclerotia pada media PDA berbentuk

dispersif (hifa keluar dari semua sudut sclerotia) dengan benang-benang halus bercabang

berbentuk seperti kapas dan berwarna putih.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

Sedangkan hasil penelitian Sukamto dan Wahyuno (2013) melaporkan, tanaman nilam

yang menunjukkan gejala busuk batang setelah diisolasi dengan media PDA terlihat pertumbuhan

miselium cepat, dengan miselium berwarna putih seperti kapas. Sclerotia mulai terbentuk pada

jamur yang berumur satu minggu, berupa gumpalan-gumpalan putih, kemudian menjadi coklat

berbentuk bulat lonjong, dengan ukuran diameter 1,1-1,84 mm. Hifa jamur Sclerotium sp. asal

nilam berukuran 3,5-7,0 μm, dan ditemukan klam koneksi (clamp connection). Pada bagian koloni

yang berumur enam sampai delapan hari, struktur klam koneksi terlihat pada hifa yang tua, dengan

ukuran lebar 8,75-11,25 μm dan tinggi 6,25-12,50 μm. Berdasarkan hasil karakter morfologi,

jamur yang didapat dari tanaman nilam diidentifikasi sebagai Sclerotium rolfsii. Hifa Sclerotium

rolfsii tidak membentuk spora sehingga untuk identifikasi didasarkan pada karakteristik ukuran,

bentuk, dan warna sclerotia yang biasanya terbentuk antara 8-11 hari pada media buatan .

Pada lapisan dalam sclerotia terdapat gelembung-gelembung yang merupakan cadangan makanan.

Bagian dalam sclerotia yang tua mengandung gula, asam amino, asam lemak, sedangkan bagian

dindingnya mengandung gula, kitin, laminarin, asam lemak dan β 1−3 glukosida. Permukaan

Sclerotium sp. dapat mengeluarkan eksudat antara lain : protein, karbohidrat, enzim

endopoligalakturonase dan asam oksalat. Asam oksalat yang dihasilkan Sclerotium rolfsii bersifat

racun terhadap tanaman (fitotoksik) (Mullen, 2001). Menurut Webster and Weber (2007)

Sclerotium rolfsii termasuk ke dalam Class Deuteromycetes dengan klasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Fungi

Phylum : Amastigomycotina

Class : Deuteromycetes

Subclass : Deuteromycetidae

Ordo : Agronomycetales

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

Familia : Agronomycetaceae

Genus : Sclerotium

Species : Sclerotium rolfsii Sacc.

Gambar 2.3

Sclerotium sp. pada media PDA

(Sumber : Koleksi pribadi, 2016)

2.3.2 Siklus hidup Sclerotium rolfsii Sacc.

Sclerotium rolfsii tidak membentuk spora, melainkan sclerotia yang dapat bertahan lama

sampai bertahun-tahun di dalam tanah, hidup secara saprofit, tahan terhadap keadaan lingkungan

yang kurang baik. Apabila sclerotia menemukan inang yang cocok dan didukung oleh faktor

lingkungan yang sesuai maka sclerotia akan berkecambah, miseliumnya akan menginfeksi

tanaman, dengan mengeluarkan enzim-enzim ekstraseluler untuk melakukan penetrasi ke dalam

jaringan tanaman. Chaurasia et al. (2015) melaporkan, Sclerotium rolfsii dapat menghasilkan

enzim ekstraseluler yang disebut dengan polymethyl galacturonase, yang digunakan oleh jamur

ini untuk merusak dinding sel tanaman inang dan berkembang di dalam jaringan tanaman. Apabila

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

tanaman tidak tahan maka tanaman akan sakit dengan gejala, layu, daun kekuningan dan miselium

berwarna putih akan berkembang terutama di bagian pangkal batang, sehingga pangkal batang

menjadi busuk. Miselium lama kelamaan akan berubah menjadi sclerotia, yang banyak terdapat

di sekitar tanah dan bagian batang. Sclerotia ini akan tetap berada di dalam tanah, dan apabila

menemukan tanaman inang yang cocok akan menginfeksi lagi. Demikian siklus berikutnya terus

terjadi (Mullen, 2001)(Gambar 2.4).

Gambar 2.4

Siklus hidup Sclerotium rolfsii Sacc.

(Sumber : Mullen, 2001)

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit busuk batang

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit pada tumbuhan meliputi suhu, kelembapan,

cahaya, oksigen, Ph, polusi udara dan defisiensi hara (Agrios. 1996). Faktor fisik, kimia dan

biologi merupak faktor yang sangat mempengaruhi penyakit busuk batang pada tanaman (Ulacio

et al., 2012). Menurut Nurhayati (2011), faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

penyakit meliputi : suhu, cahaya, kelembaban, udara, aliran air irigasi dan spora patogen. Lebih

lanjut dijelaskan oleh Sumartini (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi cara bertahan hidup

jamur Sclerotium rolfsii sangat kompleks, yaitu faktor abiotik dan biotik yang meliputi suhu,

kelembaban tanah, kandungan oksigen, pH tanah dan mikroorganisme. Pada suhu yang lebih tinggi

akan membentuk sclerotia. sclerotia yang dihasilkan oleh hifa lebih banyak pada lahan kering

daripada di lahan beririgasi. Jumlah sclerotia di dalam tanah organik lebih banyak daripada di

tanah berpasir, karena tanah organik mengandung nutrisi yang lebih tinggi. Pada kelembapan yang

tinggi, infeksi Sclerotium rolfsii pada tanaman semakin meningkat. Sebaliknya jika kelembapan

berkurang intensitas dan luas serangan penyakit berkurang dan miselium akan membentuk

sclerotia. Faktor lingkunga pH dan temperatur sangat mempengaruhi kemampuan Sclerotium

rolfsii dalam menghasilkan enzim-enzim ekstraseluler, yang digunakan untuk mendegradasi

dinding sel tanaman (Chaurasia et al., 2015).

Hasil penelitian Zave et al. (2013), suhu optimum untuk pertumbuhan miselium

Sclerotium rolfsii adalah antara 25-35oC, dan suhu optimum untuk produksi sclerotia adalah antara

20-30°C. Sedangkan pH optimum untuk pembentukan miselium adalah antara 5,5-7,5, dan

pembentukan sclerotia pada pH 7.

Disamping itu Sukamto dan Wahyuno (2013) juga melaporkan suhu berpengaruh terhadap

pertumbuhan jamur secara in vitro. Jamur Sclerotium rolfsii asal nilam tumbuh optimum pada suhu

20-28oC, dan tidak tumbuh pada suhu 5oC. Pada suhu 36oC, jamur ini masih dapat tumbuh, namun

tertekan dibandingkan pada suhu 20-28oC. Dalam populasi jamur Sclerotium sp ada variasi

ekobiologi yang terkait dengan kemampuan adaptasi dari asal masing-masing isolat jamur.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

Sedangkan Hasil penelitian Kartini dan Widodo (2000), solarisasi tanah (cahaya matahari)

berpengaruh terhadap patogenisitas Sclerotium rolfsii. Sclerotia yang ditempatkan pada

kedalaman 0,5 cm dari permukaan tanah dan mendapat perlakuan solarisasi selama tiga minggu

hanya menimbulkan gejala busuk pangkal batang pada satu tanaman saja dari total 10 tanaman

yang diinokulasi. Sedangkan gejala penyakit tidak muncul pada semua tanaman yang diinokulasi

dengan sclerotia yang disolarisasi selama 4 minggu dan diletakkan pada kedalaman yang sama.

Sclerotia yang tidak disolarisasi (kontrol), baik yang diletakkan pada kedalaman 0,5 cm maupun

15 cm dari permukaan, serta yang disolarisasi selama 3 dan 4 minggu pada kedalaman 15 cm

berpeluang lebih banyak menimbulkan gejala jika diinokulasikan pada tanaman kacang tanah.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Muthukumar and Venkatesh (2013), dari sembilan karbon

yang diuji, sukrosa adalah karbon yang mampu menyebabkan pertumbuhan miselium Sclerotium

rolfsii maksimum, sedangkan asam amino tryptophan dan phenylalanin merupakan asam amino

untuk pertumbuhan miselium Sclerotium rolfsii maksimal.

2.4 Pengendalian Penyakit Tanaman yang Ramah Lingkungan

Pegendalikan penyakit busuk batang terutama pada tanaman kacang tanah telah banyak

dilakukan dan akan terus diupayakan, untuk menemukan cara pengendalian yang efektif dan aman

bagi lingkungan. Selama ini cara yang paling umum dilakukan oleh petani untuk pengendalian

adalah dengan pestisida kimia, karena hasilnya dapat langsung dilihat dan cepat dirasakan. Tetapi

pemakaian yang tidak tepat dan kurangnya pengetahuan petani mengakibatkan pemakaian

pestisida sintetik menimbulkan dampak negatif pada lingkungan (Rukmana, 1998). Untuk

mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida kimia, mendorong

dibuat kesepakatan internasional untuk membatasi penggunaan bahan-bahan kimia pada proses

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

produksi terutama pestisida kimia sintetik dalam pengendalian hama dan penyakit di bidang

pertanian, perkebunan dan kehutanan, dengan mulai mengalihkan kepada pemanfaatan jenis-jenis

pestisida yang aman bagi lingkungan (Sembel, 2012).

Pengembangan biopestisida termasuk pestisida nabati merupakan model yang diterapkan

dalam pertanian berkelanjutan yang sedang dikembangkan di Indonesia, untuk mengurangi

dampak pencemaran lingkungan dan meningkatkan keamanan pangan. Kebijakan ditingkat

internasional telah mendorong pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Nasional dalam

perlindungan tanaman, untuk menggalakkan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan

mengutamakan pemanfaatan agens pengendalian hayati atau biopestisida termasuk pestisida

nabati sebagai komponen utama dalam sistem PHT yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah

No. 6 tahun 1995 (Soesanto, 2009). Karena pemanfaatan agens pengendalian hayati atau

biopestisida dalam pengelolaan hama dan penyakit relatif aman bagi makhluk hidup dan

lingkungan. Dalam perkembangannya, kemudian dilakukan pengurangan peredaran beberapa jenis

pestisida dengan bahan aktif yang dianggap persisten, yang antara lain dituangkan melalui

Keputusan Menteri Pertanian No. 473/Kpts/Tp.270/6/1996 (Sembel, 2012).

Banyak pengendalian patogen yang telah dilakukan antara lain : pengendalian Sclerotium

rolfsii pada tanaman kacang tanah dengan memanfaatkan mikroorganisme antagonis, yaitu

Hypocrea rufa strain P2 (Thakor et al., 2016). Lebih lanjut dilaporkan oleh Parmer et al. (2015),

tujuh strain Trichoderma sp dapat menghambat pertumbuhan patogen tular tanah Sclerotium

rolfsii, penyebab penyakit busuk batang pada tanaman kacang tanah. Sedangkan Suheri et al.

(2014) melaporkan kombinasi Trichoderma sp dengan kompos, gejala penyakit busuk batang pada

tanaman kacang tanah hanya 8-10% .

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

Penelitian dan pemanfaatan biopestisida, khususnya pestisida nabati masih terbatas pada

skala laboratorium dan persemaian, tetapi peluang dan pemanfaatan biopestisida dalam

pengendalian hama dan penyakit prospek perkembangannya terus mengalami peningkatan karena

keunggulan yang dimiliki pestisida nabati. Salah satu upaya untuk memasyarakatkan pestisida

nabati adalah dengan penyebarluasan informasi jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai

pestisida nabati, yang dapat dimanfaatkan dalam pengendalian hama dan penyakit (Suwahyono,

2009).

Masyarakat dunia maupun di Indonesia sekarang ini sudah menyadari akan bahaya residu

pestisida dan bahan kimia sintetis lainnya dalam produk pertanian yang dikonsumsi. Penggunaan

pestisida nabati dapat menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas dari residu pestisida

sintetik (Sudarmo, 2005). Kondisi ini berdampak positif bagi kesehatan umat manusia, tetapi di

sisi lain juga berdampak negatif bagi produsen atau pengekspor produk pertanian, terutama dari

negara agraris, seperti Indonesia, yang belum mempertimbangkan masalah mutu produk pertanian.

Banyak produk pertanian dari Indonesia yang ditolak oleh negara pengimpor karena terdapat

residu bahan kimia dalam produk tersebut. Dalam menunjang ke arah produksi pertanian yang

sehat dan aman tersebut, pengendalian dengan pestisida nabati merupakan salah satu

pemecahannya dan sangat mendukung pertanian berkelanjutan yang sedang digalakan di Indonesia

akhir-akhir ini. Hal ini didukung oleh semakin meningkatnya kesadaran konsumen dunia yang

membutuhkan dan mengonsumsi produk pertanian yang sehat dan aman terutama dari residu

pestisida kimia (Soesanto, 2009).

2.5 Pestisida Nabati

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

Pestisida nabati atau pestisida botani adalah semua bahan kimia yang berasal dari

tumbuhan yang menunjukkan aktivitas biologis (bioaktivitas) terhadap hama dan patogen

tanaman. Bahan dasar pestisida nabati berasal dari ekstrak tumbuhan yang ada di lingkungan

sekitar mengandung bahan aktif seperti fenol, alkaloid, saponin, quinone, xanthone yang mudah

terurai di alam sehingga tidak menimbulkan residu yang besar di lingkungan maupun pada produk

pertanian (Suprapta, 2014). Bahan aktif yang terkandung pada tanaman itu disebut sebagai

metabolit sekunder, yang merupakan senyawa metabolit tidak essensial bagi pertumbuhan

organisme, ditemukan dalam bentuk unik berbeda-beda setiap spesies tumbuhan. Senyawa

metabolit sekunder telah digunakan sebagai obat, pewarna dan pestisida . Metabolit sekunder

dapat tersebar di seluruh organ tumbuhan seperti akar, daun, batang, buah, umbi dan kulit.

Produksi metabolit sekunder dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti stres lingkungan dan

genetik, pada jumlah yang sangat besar mampu melindungi tanaman dari serangan hama dan

penyakit (Swahyono, 2009).

Dalam sistem pertanian berkelanjutan yang sedang dikembangkan sekarang di Indonesia,

maupun pertanian organik diberbagai belahan dunia, menyebabkan semakin meningkatya

kebutuhan terhadap pestisida nabati, karena ramah lingkungan dan tidak meninggalkan residu

yang besar di lingkungan dan bahan pangan. Walaupun pestisida nabati memiliki kekurangan dan

juga kelebihan, saat ini sharing pasar pestisida nabati masih sangat kecil, kurang dari 2%, tetapi

pertumbuhan pasar meningkat cukup besar yaitu 10-15% setiap tahun. Hal ini merupakan peluang

yang cukup besar bagi penelitian dan pengembangan pestisida nabati untuk masa yang akan datang

(Suprapta, 2014).

Secara evolusi, tumbuhan telah mengembangkan bahan kimia sebagai alat pertahanan

alami terhadap pengganggunya. Tumbuhan mengandung banyak bahan kimia yang merupakan

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan sebagai alat pertahanan dari serangan organisme

pengganggu. Tumbuhan sebenarnya kaya akan bahan bioaktif, walaupun hanya sekitar 10.000

jenis produksi metabolit sekunder yang telah teridentifikasi, tetapi sesungguhnya jumlah bahan

kimia pada tumbuhan dapat mencapai 400.000. Di Indonesia, sebenarnya sangat banyak jenis

tumbuhan penghasil pestisida nabati, dan diperkirakan ada sekitar 2400 jenis tanaman yang

termasuk kedalam 235 familia (Suryaningsih dan Hadisuganda, 2004).

Seth et al. (2015) melaporkan, ekstrak daun tumbuhan Alpinia allughas mengandung

senyawa aktif dengan kandungan tertinggi yaitu phenol 82,36 µg/ml, berpotensi sebagai fungisida

nabati untuk mengendalika Sclerotium rolfsii dan Rhizoctonia solani. Lebih lanjut Lelono (2009)

melaporkan, ekstrak metanol Gardenia jasminoides menunjukkan aktivitas antijamur yg paling

tinggi terhadap jamur perusak kayu, dibandingkan dengan lima tanaman lainnya. Senyawa aktif

yang berhasil diisolasi bersifat sebagai antijamur yaitu geniposide dan genipin. Kedua senyawa

aktif tersebut mampu menghambat jamur perusak kayu Pleurotus ostreatus. Juga kedua senyawa

aktif ini mampu menghambat patogen lain pada tanaman yaitu Fusarium oxysporum dan

Corynespora crassicola. Sedangkan Suprapta and Khalimi (2012) melaporkan, uji aktivitas

antijamur untuk mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman cabai paprika telah

dilakukan dengan menguji 14 jenis tanaman tropis yang ada di Pulau Bali. Dari 14 ekstrak

tanaman yang telah diuji aktivitasnya, lima spesies tanaman yaitu Albizia saman F.Muell, Piper

betle L., Syzygium aromaticum (L.) Merrill & Perry, Sphaeranthus indicus L. dan Alpinia galanga

L. sebagai antijamur yang kuat. Albizia saman memiliki diameter zone hambatan yang paling

besar yaitu 24 mm pada isolat LS05 dan tergolong kuat.

Jenis tanaman dari Familia Asteraceae, Fabaceae dan Euphorbiaceae, dilaporkan paling

banyak mengandung bahan insektisida nabati. Nenek moyang kita telah mengembangkan pestisida

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

nabati yang ada di lingkungan pemukimannya untuk melindungi tanaman dari serangan

pengganggunya secara alamiah. Mereka memakai pestisida nabati atas dasar kebutuhan praktis

dan disiapkan secara tradisional. Tradisi ini akhirnya hilang karena desakan teknologi yang tidak

ramah lingkungan. Kearifan nenek moyang kita bermula dari kebiasaan menggunakan bahan jamu

(empon-empon), tumbuhan bahan racun (gadung, ubi kayu hijau, pucung dan jenu), tumbuhan

berkemampuan spesifik (mengandung rasa gatal, pahit, bau spesifik, tidak disukai

hewan/serangga, seperti awar- awar, rawe, senthe), atau tumbuhan lain berkemampuan khusus

terhadap hama dan penyakit (biji srikaya, biji sirsak, biji mindi, daun mimba, lerak, dan lain-lain)

(Asmaliyah et al., 2010).

2.6 Potensi Tanaman Mansoa alliacea L. dan Allamanda cathartica L. sebagai Fungisida

Nabati

2.6.1 Deskripsi tanaman Mansoa alliacea L.

Tanaman Mansoa alliacea L. merupakan tanaman tropis yang tumbuh merambat dan hijau

sepanjang tahun. Tanaman ini memiliki banyak batang menjalar yang dapat tumbuh 3-8 meter

dan tampak seperti semak-semak. Dalam bahasa Spanyol, tanaman ini disebut ajos sacha, yang

artinya bawang putih palsu karena daunnya, ketika diremas, memiliki bau dan rasa seperti

bawang putih atau bumbu-bumbuan (Hakim, 2014). Di luar negeri kebanyakan tanaman ini

dikenal dengan sebutan garlic vine, sedangkan di Indonesia dikenal dengan beberapa nama seperti

Stephanus ungu dan bawang putih anggur, karena memiliki bunga berwarna ungu seperti warna

buah anggur, indah dan kebanyakan ditanam sebagai tanaman hias. Daun Mansoa alliacea

berwarna hijau terang dengan panjang mencapai 15 cm dan bunganya berbentuk terompet

berwarna ungu, putih dan ungu keputihan, yang berbunga ungu dan ungu keputihan lebih banyak

disukai ditanam sebagai tanaman hias karena warna bunganya yang lebih menarik dan indah

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

(Gambar 2.5). Tanaman ini memilki manfaat ganda selain sebagai peneduh, daun dan bunga

tanaman ini dapat mengeluarkan bau yang khas menyengat sehingga tidak disukai serangga

(antiserangga) dan sering ditanam dalam pekarangan rumah sebagai penolak nyamuk maupun ular

(Wikipedia, 2016).

Habitat dan penyebaran tanaman ini, dapat tumbuh di tanah yang padat, tidak dekat air,

di bawah naungan tumbuh-tumbuhan, dan hutan primer. Banyak ditemukan di daerah tropis

dengan curah hujan 1800-3500 mm/tahun, pada suhu antara 20-30οC. Tanaman ini tidak dapat

tumbuh di daerah yang tergenang air atau ladang terbuka. Mansoa alliacea dapat ditemukan

tumbuh liar di hutan hujan tropis seperti di Brazil, Ekuador, Peru, Guyana, Costa Rica, Amazon,

dan Ucayali (Patel et al,. 2013). Di Indonesia tanaman ini kebanyakan ditanam sebagai tanaman

hias, yang menjalar di pagar-pagar pekarangan, di teras maupun di pohon.

Gambar 2.5

Tanaman Mansoa alliacea L.

(Sumber : Koleksi pribadi, 2016)

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

Menurut Taylor et al. (2013), Mansoa alliacea banyak digunakan secara tradisional

sebagai obat-obatan oleh suku-suku Indian di Amazon. Suku Shipibo-Conibo menggunakan

tumbukan kulit batang dan daun untuk mengobati memar, bengkak, dan kondisi inflamasi kulit

lainnya. Sedangkan cairan kulit batang dan daun digunakan dalam pengobatan rematik, artritis,

pilek, gangguan rahim, inflamasi dan epilepsi. Akarnya dapat sebagai tingtur dan dimanfaatkan

sebagai tonik. Suku Ese’eja menggunakan daunnya sebagai teh untuk mengatasi pilek, sedangkan

suku Amuesha menggunakannya untuk meningkatkan kesuburan. Suku Wayapi dan Creoles

mencampurkan daun Mansoa alliacea dalam air mandi untuk menurunkan demam, kram dan

nyeri otot. Hasil penelitian Towne et al. (2015) menunjukkan, ekstrak daun Mansoa alliacea

dapat menghambat pertumbuhan sel- sel tumor pada tikus percobaan. Di Indonesia tanaman ini

masih kurang mendapat perhatian terutama untuk obat-obatan maupun untuk pemanfaatan yang

lainnya, kebanyakan hanya dimanfaatkan sebagai tanaman hias .

2.6.2 Kandungan kimia tanaman Mansoa alliacea L.

Ekstrak metanol dari daun dan akar mengandung komponen senyawa aktif yang berbeda-

beda. Kandungan senyawa aktif yang paling tinggi dari ekstrak metanol daun yaitu phenol dan

pada akar adalah flavonoid. Senyawa aktif yang dikandung ini berpotensi sebagai antijamur

maupun sebagai antibakteri (Patel et al., 2013). Menurut Zoghbi et al. (2009), tanaman Mansoa

alliacea yang daunnya berbau seperti bawang putih ketika diremas ini dilaporkan mengandung

asam ursolat, yang diketahui berkhasiat sebagai astringen yang menyebabkan penciutan luka dan

peningkatan laju epitelisasi, serta memiliki aktivitas antimikroba. Asam ursolat juga menstimulasi

sintesis kolagen yang sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

Lebih lanjut Taylor et al. (2013) melaporkan, ekstrak metanol dari bunga Mansoa alliacea

mengandung β-amirin, β-sitosterol, asam ursolat, β-sitosteril-d-glukosida, apigenin, luteolin, 7-O-

metilskutellarein, apigenin-7-glukosida, apigenin-7-glukuronida, skutellarein-7-glukuronida,

apigenin-7-glukuronil glukuronida, dan apigenin-7-O-metilglukuronida. Alliin, yang terdapat

dalam bawang putih dengan konsentrasi 2,34%, terdapat dalam bunga ini dengan konsentrasi

1,76%. Analisis dari ekstrak metanol daun, 70% menunjukkan keberadaan senyawa alliin

(Zoghbi et al., 2009).

Analisis minyak atsiri dari daun Mansoa aliacea mengandung dialil trisulfida (44,0%)

dan dialil disulfida (37,0%) sebagai komponen utama, serta 1-okten-3-ol (5,0%) dan dialil

tetrasulfida (4,0%) (Taylor et al., 2013). Hasil penelitian Guilhon et al. (2012), ekstrak metanol

dan hexane dari daun Mansoa alliacea menunjukkan aktivitas antimikrobia terhadap 10 jenis

mikoorganisme uji antara lain : Psedomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus.

2.6.3 Deskripsi tanaman Allamanda cathartica L.

Tanaman Allamanda cathartica L. di Indonesia dikenal dengan nama alamanda,

merupakan tanaman hias, tergolong tanaman liana atau merambat, memiliki batang berkayu

berwarna coklat tua, bunga berbentuk terompet berwarna kuning terang, daun mengkilat

berbentuk lanset berwarna hijau. Di Indonesia tanaman ini banyak ditemukan di Pulau Jawa dan

Bali (Abuanjeli, 2014).

Menurut Hakim (2014), tanaman alamanda memiliki habitus perdu, tinggi 4-5 m, batang

berkayu, bulat, berbuku-buku, tiap buku terdapat daun yang melingkar, empat sampai lima helai,

bergetah, percabangan monopodial, cabang muda hijau, atas ungu, putih kehijauan. Daun tunggal,

lonjong, tepi rata melipat kebawah, ujung dan pangkal meruncing, panjang 5-16 cm, lebar 2,5-5

cm, tebal, pertulangan menyirip, berwarna hijau. Bunga majemuk, bentuk tandan, berkelamin dua,

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

di ujung cabang dan ketiak daun, tangkai silindris, pendek, hijau, kelopak bentuk lanset,

permukaan halus, hijau, benang sari tertancap pada mahkota, mahkota berseling pada lekukan,

tangkai putik silindris, kepala putik bercangap dua, berwarna kuning, mahkota bentuk terompet

atau corong, permukaan rata, kuning. Buah kotak, bulat, diameter ± 1,5 cm. Biji bentuk segitiga,

masih muda hijau keputih-putihan setelah tua hitam. Akar tunggang, berwarna putih kecoklatan

(Gambar 2.6).

2.6.4 Kandungan kimia tanaman Allamanda cathartica L.

Hasil penelitian Kusmiati et al. (2014), penapisan fitokimia ekstrak daun alamanda

mengandung senyawa golongan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin galat, steroid dan triterpenoid.

Sedangkan Essiett and Esther (2015) melaporkan, batang, daun dan bunga alamanda

mengandung tanin, flavonoid, saponin, anthraquinon, dan alkaloid, dengan kandungan tertinggi

terdapat pada daun yaitu 3%, 1,5% pada batang dan 1% pada bunga. Disamping itu juga

mengandung nutrisi pada batang, daun dan bunga berturt-turut antara lain : Protein (%) 1,50, 6,80,

2,50 ; lemak (%) 2,0, 3,0, 5 ; serat kasar (%) 24,0, 23,20, 22,0 ; karbohidrat (%) 72,0, 60,0, 69,0.

Kandungan senyawa aktif yang dimiliki oleh alamanda berpotensi sebagai antimikrobia dan

sebagai obat herbal.

Hasil pengujian aktivitas antimikroba menunjukkan fase petroleum eter daun alamanda

memiliki diameter zona hambatan paling besar yaitu 10,45 mm, diikuti fase etil asetat, fase

kloroform dan fase metanol berturut-turut sebesar 7,33 mm, 8,59 mm dan7,02 mm terhadap

Candida albicans (Kusmiati et al., 2014). Sedangkan hasil penelitian Razu and Ismail (2015),

pemberian perlakuan ekstrak kasar daun alamanda pada biji padi sebelum ditanam, hanya terjadi

infeksi penyakit 3,46%, menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kontrol yaitu 10,96%.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

Hasil penelitian Prabhadevi et al. (2012), kandungan kimia komponen aktif pada daun alamanda

berpotansi sebagai antijamur, pestisida dan untuk obat-obatan. Alamanda merupakan tanaman hias

yang secara empiris digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit, yang dalam dosis kecil

memiliki khasiat sebagai obat penangkal keracunan, antimuntah dan cuci perut.

Gambar 2.6

Tanaman Allamanda cathartica L.

(Sumber : Koleksi pribadi, 2016)

2.7 Ekstrak Daun Tanaman Mansoa alliacea L. dan Allamanda cathartica L.

Hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan, campuran ekstrak daun Mansoa

alliacea L. dan Allamanda cathartica L mampu menghasilkan daya hambat yang lebih besar, yaitu

dengan diameter zone hambatan 42 mm (Gambar 2.7). Dibandingkan dengan pengujian tunggal

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah

masing-masing ekstrak daun tersebut menghasilkan diameter zone hambatan yang lebih kecil

yaitu ekstrak daun Mansoa alliacea L. 30 mm dan Allamanda cathartica L.

9 mm.

Gambar 2.7

Pertumbuhan jamur Sclerotium sp. pada media PDA yang diberi perlakuan

campuran ekstrak daun Mansoa alliacea L. dan Allamanda cathartica L.

(Sumber : Koleksi pribadi, 2016)

A B

Gambar 2.8

Pertumbuhan jamur Sclerotium sp. pada media PDA yang diberi perlakuan

tunggal (A) ekstrak daun Mansoa alliacea L. (B) ekstrak daun Allamanda cathartica L.

(Sumber : Koleksi pribadi, 2016)

Zone hambatan

Jamur Sclerotium sp.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Tanah