bab ii tinjauan pustaka 2.1 state of the art review. bab ii.pdf · output daya yang maksimal. panel...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 State of The Art Review
Hanif M., M.Ramzam, dan M. Rahman dalam tulisannya yang berjudul
Studying Power Output of PV Solar Panels at Different Temperatures and Tilt
Angles di Pakistan. Percobaan dilakukan terhadap panel surya untuk mencapai
maksimum output daya, kekuatan output panel surya PV diperiksa dengan
kemiringan yang berbeda, sudut (0°, 20°, 35°, 50° dan 90°) dan temperatur yang
berbeda (15°C hingga 45°C) dari panel surya PV. Panel surya PV menunjukkan
output daya yang maksimum pada sudut kemiringan 35° dan pada suhu 15°C.
Output daya PV surya panel akan menurun ketika sudut kemiringan meningkat
dari 35° sampai 90° atau ketika sudut kemiringan menurun dari 35° sampai 0°.
Disimpulkan bahwa panel surya harus dipasang di sudut kemiringan 35° (sama
dengan lintang Jamrud, Khyber Agency, Pakistan) untuk mendapatkan hasil
output daya yang maksimal. Panel surya juga harus di pasang di tempat-tempat
yang memiliki ruang udara agar proses pendinginan solar panel terjadi melalui
konveksi alami (Hanif, 2012).
Muchammad, Eflita Yohana, dan Budi Heriyanto dalam tulisannya tentang
Pengaruh Suhu Permukaan Photovoltaic Module 50 Watt Peak Terhadap Daya
Keluaran Yang Dihasilkan Menggunakan Reflektor Dengan Variasi Sudut
Reflektor 0°, 50°, 60°, 70°, 80°. Energi matahari dapat dimanfaatkan sebagai
sumber energi alternatif yang potensial karena energinya yang sangat besar serta
ramah lingkungan. Alat yang dapat dapat digunakan untuk mengkonversi secara
langsung cahaya matahari menjadi listrik disebut photovoltaic. Pada penelitian ini
diujikan Photovoltaic module tanpa reflektor pada posisi yang tetap/horizontal
terhadap bumi, dan pengukuran terhadap Photovoltaic module yang diberi
reflector dengan variasi sudut 50°, 60°, 70°, 80°. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa kenaikan suhu diikuti dengan kenaikan daya dan efisiensi. Daya maksimal
6
yang dicapai yaitu pada pengujian menggunakan reflektor sudut 70 derajat sebesar
53,67 Watt dengan Efisiensi 15,66% pada pukul 11:45 WIB (Muchammad, 2010).
J Zorrilla Casanova, M. Piliougin, dkk dalam tulisannya mengenai
Akumulasi debu pada permukaan modul fotovoltaik mengurangi radiasi mencapai
sel surya dan menghasilkan kerugian daya di Universitas of Malaga. Dengan
mengukur kerugian yang disebapkan oleh akumulasi debu pada permukaan
fotovoltaik. Debu tidak hanya mengurangi radiasi pada sel surya, tetapi juga
perubahan ketergantungan pada sudut datang radiasi tersebut. Hasil dari
penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kehilangan energi harian sepanjang tahun
yang disebabkan oleh debu diendapkan pada permukaan modul PV sekitar 4,4 %.
Dalam waktu yang lama tanpa hujan, kehilangan energi harian bisa lebih tinggi
dari 20%. Selain itu, kerugian radiasi tidak konstan sepanjang hari dan sangat
tergantung pada sudut sinar matahari insiden dan rasio antara difus dan radiasi
langsung. Ketika dipelajari sebagai fungsi waktu surya, kerugian radiasi yang
simetris terhadap siang, di mana mereka mencapai nilai minimum. Kami juga
mengusulkan sebuah model teoritis sederhana yang, dengan mempertimbangkan
persentase permukaan kotor dan diffuse / rasio radiasi langsung, menyumbang
perilaku kualitatif dari kerugian radiasi siang hari (Casanova, 2011).
Md. Mizanur Rahman dkk dalam tulisannya dengan judul Effects of
Natural Dust on the Performance of PV Panels in Bangladesh. Melakukan
percobaan dengan menggunakan dua modul surya 1 Wp di Banglades. Percobaan
tersebut dilakukan dengan cara membandingkan dua modul. Modul pertama
dibiarkan terkena debu alami dan modul kedua dibersihkan secara berkala. setelah
hasil pengukuran dari kedua modul tersebut didapat, data tersebut ditampilkan
berupa grafik dibuat dalam Matlab. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan Isc
dari modul surya bersih lebih besar dari pada Isc modul surya kotor. Pada pukul
08.00 – 09.00 penurunan ISC pada modul surya kotor sebesar 35%, dan pada
siang hari penurunan Isc pada modul surya kotor sebesar 20% (Rahman, 2012).
7
A.Benatiallah dkk dalam tulisannya yang berjudul Experimental Study of
Dust Effect in Mult-Crystal PV Solar Module. Melakukan percobaan pengaruh
debu terhadap modul surya di daerah Sahara. Pengukuran dilakukan selama tiga
bulan, dengan sudut kemiringan dari modul surya sebesar 30°. Didapatkan output
energy dari modul surya berkurang sebesar 69% - 93% dan efisiensi turun sebesar
66% - 93% dikarenakan debu menempel pada permukaan modul surya sangat
tebal yang terbawa oleh badai pasir gurun Sahara dan pengurangan output energi
modul surya sebesar 17,5% dan efisiensi sebesar 1.5% dengan keadaan cuaca
normal. Dan dijabarkan berupa grafik yang dibuat dengan matlab (Benatiallah,
2012).
Dayal Singh Rajput dkk dalam tulisannya dengan judul Effect Of Dust On
The Performance Of Solar PV Panel. Percobaan dilakukan dengan menggunakan
dua modul surya fotovoltaic 36 Wp, penelitan di Bhopal, India. Modul surya
tersebut dilakukan percobaan dengan cara panel pertama di biarkan kotor terkena
debu, dan panel kedua dibersihkan secara berkala. Tegangan dan arus keluaran
dari kedua modul surya tersebut di ukur untuk mempelajari efek dari debu
terhadap modul surya. Pengaruh debu diukur dengan membandingkan efisiensi
panel kotor terkena debu dan tanpa debu. Penelitian ini dilakukan dalam wilayah
India dengan koordinat garis lintang dan garis bujur yaitu 23°25N dan 77°42 E6,7.
Suhu dari modul berfluktuasi dalam kisaran 5°- 48°C selama satu tahun di
Bhopal. Modul surya fotovoltaic juga dilakukan pengujian Voc, Isc, radiasi
matahari, dan suhu lingkungan dll untuk evaluasi. Pengukuran dilakukan pada
selang waktu satu jam antara 09.00 dan 18.00. Pengukuran suhu lingkungan dan
intensitas radiasi matahari diukur menggunakan termometer dan portabel Solar
Power Meter. Dari hasil pengukuran didapatkan efisiensi maksimum modul surya
bersih 6,38% dan minimum 2,29%, dan efisiensi maksimal modul surya kotor
0,64%, dan minimum 0,33%. Dari hasil menunjukan bahwa debu sangat
mengurangi daya produksi sebesar 92,11% dan efisiensi 89% (Rajput, 2013).
8
2.2 Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Indonesia
Indonesia merupakan negara tropis mempunyai potensi energi surya yang
tinggi. Dari data penyinaran matahari di Indonesia dapat diklasikfikasikan berturut
– turut sebagai berikut: untuk kawasan barat dan timur Indonesia dengan
distribusi penyinaran di Kawasan Barat Indonesia (KBI) sekitar 4,5 kWh/m2/hari
dan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sekitar 5,1 kWh/m2/hari. Dengan
demikian, potensi matahari rata – rata Indonesia yaitu sebesar 4,8 kWh/m2/hari.
Berarti prospek penggunaan fotovoltaik di masa mendatang cukup cerah. Dengan
berlimpahnya energi surya tersebut maka pengembangan listrik tenaga surya yang
berbasis kepada efek fotovoltaik dari piranti sel surya sebagai salah satu sumber
tenaga listrik yang bebas polusi dan alami menjadi suatu pilihan yang tepat untuk
diterapkan di Indonesia. Adapun alasan yang mendukung hal tersebut yakni:
1. Kondisi iklim di Indonesia yang sangat mendukung karena intensitas
radiasi matahari di Indonesia relatif tinggi serta stabil, sehingga modul
surya mendapat daya yang optimal sepanjang tahun.
2. Instalasi yang lebih sederhana dari pada pemasangan sumber energi
terbarukan lainnya, sehingga memungkinkan pemanfaatan energi ini untuk
kebutuhan listrik baik dalam skala kecil sampai skala besar.
3. Indonesia merupakan Negara kepulauan terdiri dari 13 ribu pulau sehingga
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyediakan jaringan
pembangkit listrik pada setiap daerahnya hingga sampai ke tiap pelosok.
4. Dapat terjangkau seluruh pelosok Indonesia dengan ketersediaan radiasi
surya yang merata sepanjang tahun. Energi matahari sistem dapat diinstal
di lokasi terpencil sehingga lebih praktis dan hemat biaya.
9
Tabel 2.1 Potensi Sumber Daya Energi Surya di Beberapa Kota di Indonesia
Sumber: Rahardjo, 2008
2.3 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)
PLTS adalah suatu pembangkit listrik yang menggunakan sinar matahari
melalui sel surya (fotovoltaik) untuk mengkoversikan radiasi sinar foton matahari
menjadi energi listrik. Sel surya merupakan lapisan-lapisan tipis dari bahan semi
konduktor lainnya. PLTS memanfaatkan cahaya matahari untuk menghasilkan
listrik DC, yang dapat diubah menjadi listrik AC apabila diperlukan. Oleh karena
itu meskipun cuaca mendung, selama masih terdapat cahaya, maka PLTS tetap
dapat menghasilkan listrik. PLTS pada dasarnya adalah pencatu daya, dan dapat
dirancang untuk mencatu kebutuhan listrik yang kecil sampai dengan besar, baik
secara mandiri, maupun hibird (dikombinsikan dengan sumber energy lain), baik
dengan metode desetralisasi (satu rumah satu pembangkit) maupun dengan
metode sentralisasi (listrik didistribusikan dengan jaringan kabel). Berikut
merupakan gambar dari PLTS:
No. Provinsi Lokasi
Intensitas
Radiasi
(Wh/m2)
1. NAD Pidie 4.097
2. SumSel Ogan Komering Ulu 4.951
3. Lampung Kab. Lampung Selatan 5.234
4. DKI Jakarta Jakarta Utara 4.187
Tanggerang 4.324
5. Jawa Barat Bogor 2.558
Bandung 4.149
6. Jawa Tengah Semarang 5.488
7. DI. Yogyakarta Yogyakarta 4.500
8. Jawa Timur Pacitan 4.300
9. KalBar Pontianak 4.552
10. KalTim Kabupaten Berau 4.172
11. KalSel Kota Baru 4.573
12. Gorontalo Gorontalo 4.911
13. SulTeng Donggala 5.512
14. Papua Jaya Pura 5.720
15. Bali Denpasar 5.263
16. NTB Kabupaten Sumbawa 5.747
17. NTT Ngada 5.117
10
Gambar 2.1 Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Kayubihi
PLTS pada dasarnya adalah pencatu daya, dan dapat dirancang untuk
mencatu kebutuhan listrik yang kecil sampai dengan besar, baik secara mandiri,
maupun hibird (dikombinsikan dengan sumber energy lain), baik dengan metode
desetralisasi (satu rumah satu pembangkit) maupun dengan metode sentralisasi
(listrik didistribusikan dengan jaringan kabel).
PLTS merupakan bagian dari sumber energi terbarukan, dimana sinar
matahari sebagai sumber energi tidak ada habisnya, selain itu PLTS merupakan
pembangkit listrik yang ramah lingkungan tanpa ada bagian yang berputar, tidak
menimbulkan kebisingan, dan tanpa mengeluarkan gas buang /limbah. PLTS
merupakan suatu kesatuan sistem yang terdiri dari komponen-komponen, baik
komponen pendukung, diantaranya adalah:
2.3.1 Modul Surya
Komponen utama sistem surya photovoltaic adalah modul yang
merupakan unit rakitan beberapa sel surya photovoltaic. Untuk membuat modul
photovoltaic secara pabrikasi bisa menggunakan teknologi kristal dan thin film.
Modul photovoltaic dapat dibuat dengan teknologi yang relative sederhana.
Sedangkan untuk membuat sel photovoltaic diperlukan teknologi tinggi. Modul
photovoltaic tersusun dari beberapa sel photovoltaic mempunyai ukuran 10 cm x
10 cm yang dihubungkan secara seri atau pararel. Biaya yang dikeluarkan untuk
11
membuat modul sel surya sekitar 60% dari biaya total. Jadi, bila modul sel surya
bisa dibuat didalam negeri berarti akan bisa menghemat biaya. Untuk itulah,
modul pembuatan sel surya di Indonesia tahap pertama adalah membuat bingkai
(frame), kemudian membuat laminasi dengan sel-sel yang masih di inport. Berikut
merupakan gambar hubungan sel surya, modul surya dan array
Gambar 2.2 Hubungan Sel Surya, Modul Surya dan Array
(Sumber: Patel, 2006)
Sedangkan kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan energi
surya fotovoltaik adalah investasi awal yang besar. Untuk mendapatkan kapasitas
yang lebih besar maka beberapa modul digabung akan membentuk array.
2.3.1.1 Sel Surya
Sel surya (solar cell) mengubah intensitas sinar matahari menjadi energi
listrik. Sel surya tersusun dari dua lapisan semikonduktor dengan muatan yang
berbeda. Lapisan atas sel surya bermuatan negatif sedangkan lapisan bawahnya
bermuatan positif. Silicon adalah bahan semikonduktor yang paling umum
digunakan untuk sel surya. Apabila permukaan sel surya dikenai cahaya maka
dihasilkan pasangan elektron dan hole. Elektron akan meninggalkan sel surya dan
akan mengalir pada rangkaian luar sehingga timbul arus listrik. Arus listrik yang
dihasilkan oleh sel surya dapat dimanfaatkan langsung atau disimpan dulu dalam
baterai untuk digunakan kemudian. Besarnya pasangan elektron dan hole yang
dihasilkan, atau besarnya arus yang dihasilkan tergantung pada intensitas cahaya
maupun panjang gelombang cahaya yang jatuh pada sel surya. Intensitas cahaya
12
menentukan jumlah foton, makin besar intensitas cahaya yang mengenai
permukaan sel surya makin besar pula foton yang dimiliki sehingga makin banyak
pasangan elektron dan hole yang dihasilkan yang akan mengakibatkan besarnya
arus yang mengalir. Makin pendek panjang gelombang cahaya maka makin tinggi
energi fotonnya sehingga makin besar energi elektron yang dihasilkan, dan juga
berimplikasi pada makin besarnya arus yang mengalir. Sel surya menghasilkan
arus yang digunakan untuk mengisi baterai. Sel surya terdiri dari fotovoltaik, yang
menghasilkan listrik dari intensitas cahaya, saat intensitas cahaya berkurang
(berawan, hujan, mendung) arus listrik yang dihasilkan juga akan berkurang.
Dengan menambah modul surya (memperluas) berarti menambah konversi tenaga
surya. Umumnya modul surya dengan ukuran tertentu memberikan hasil tertentu
pula. Contohnya ukuran a cm x b cm menghasilkan listrik DC (Direct Current)
sebesar x Watt per hour/ jam.
Berdasarkan jenis dan bentuk susunan atom-atom penyusunnya, solar cell
dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu (Patel, 2006):
1. Monokristal (Mono-crystalline)
Merupakan modul yang paling efisien yang dihasilkan dengan teknologi
terkini dan menghasilkan daya listrik persatuan luas yang paling tinggi.
Monokristal dirancang untuk penggunaan yang memerlukan konsumsi listrik
besar pada tempat-tempat yang beriklim ekstrim dan dengan kondisi alam
yang sangat ganas. Memiliki efisiensi sampai dengan 14 - 18%. Kelemahan
dari modul jenis ini adalah tidak akan berfungsi baik ditempat yang cahaya
mataharinya kurang (teduh), sehingga efisiensinya akan turun drastis dalam
cuaca berawan. Berikut merupakan gambar dari modul surya monokristal:
Gambar 2.3 Modul Monocrystalline Silicon Sel
(Sumber: ABB QT10, 2010)
13
2. Polikristal (Poly-crystalline)
Merupakan modul surya yang memiliki susunan kristal acak karena
dipabrikasi dengan proses pengecoran. Tipe ini memerlukan luas permukaan
yang lebih besar dibandingkan dengan jenis monokristal untuk menghasilkan
daya listrik yang sama. Modul surya jenis ini memiliki efisiensi lebih rendah
(12%-14%) dibandingkan tipe monokristal, sehingga memiliki harga yang
cenderung lebih rendah. Saat ini pasar didominasi oleh kristal silikon
teknologi, yang mewakili sekitar 90%. Teknologi yang sudah matang baik dari
segi efisiensi telah diperoleh dan biaya produksi akan terus mendominasi
pasar dalam jangka pendek dan menengah. Hanya beberapa perbaikan sedikit
diharapkan dalam hal efisiensi (produk industri baru menyatakan 18%, dengan
catatan laboratorium 24,7%, yang dianggap praktis dapat diatasi) dan
pengurangan kemungkinan biaya terkait baik pengenalan dalam industry
proses pembuatan yang lebih besar dan lebih tipis serta ke skala ekonomi.
Selain itu, industri PV berdasarkan teknologi tersebut menggunakan surplus
silikon ditujukan untuk industri elektronik tetapi karena pembangunan yang
terakhir dan pertumbuhan eksponensial dari PV produksi pada tingkat rata-rata
40% dalam enam tahun terakhir, ketersediaan di pasar bahan baku yang akan
digunakan di sektor fotovoltaik menjadi lebih terbatas. Berikut merupakan
modul surya Polycrysttaline :
Gambar 2.4 Modul Polycrystalline Silicon Sel
14
3. Amorphous
"Amorf" mengacu pada objek memiliki bentuk yang pasti dan tidak ada
didefinisikan sebagai bahan non-kristal. Tidak seperti silikon kristal, di mana
susunan atom yang teratur. Sehingga, aktivitas timbal balik antara foton dan
atom silikon lebih sering terjadi pada silikon amorf dibandingkan kristal
silikon, memungkinkan lebih banyak cahaya yang dapat diserap. Dengan
demikian, sebuah film silikon amorf yang sangat tipis yang kurang dari 1μm
dapat diproduksi dan digunakan untuk pembangkit listrik. Selain itu, dengan
memanfaatkan logam atau plastik untuk substrat, sel surya fleksibel juga dapat
diproduksi. Solar cell jenis amorphous adalah solar cell yang dibentuk dengan
mendoping material silikon di belakang lempeng kaca. Dinamakan amorphous
atau tanpa bentuk karena material silikon yang membentuknya tidak
terstruktur atau tidak mengkristal. Solar cell jenis ini biasanya berwarna coklat
tua pada sisi yang menghadap matahari dan keperakan pada sisi konduktifnya.
Tipe yang paling maju saat ini adalah Amorphous Silicon dengan
Heterojuction dengan stack atau tandem sel. Efisiensi Sel Amorphous Silicon
berkisar 6% sampai dengan 9%. Berikut merupakan modul surya
amorphous:
Gambar 2.5 Amorphous Silicon Sel
(Sumber: ABB QT10, 2010)
15
Besarnya pasangan elektron dan hole yang dihasilkan, atau besarnya arus
yang dihasilkan tergantung pada intensitas cahaya maupun panjang gelombang
cahaya yang jatuh pada sel surya. Intensitas cahaya menentukan jumlah foton,
makin besar intensitas cahaya yang mengenai permukaan sel surya makin besar
pula foton yang dimiliki sehingga makin banyak pasangan elektron dan hole yang
dihasilkan yang akan mengakibatkan besarnya arus yang mengalir. Makin pendek
panjang gelombang cahaya maka makin tinggi energi fotonnya sehingga makin
besar energi elektron yang dihasilkan, dan juga berimplikasi pada makin besarnya
arus yang mengalir.
2.3.2 Charge Controller
Baterai charger regulator atau charge controller mempunyai tiga fungsi
utama. Fungsi utama sebagai titik pusat sambungan ke beban, modul sel surya dan
baterai. Fungsi ke dua adalah selain juga sebagai pengatur sistem agar
penggunaan listriknya aman dan efektif, sehingga semua komponen-komponen
aman dari bahaya perubahan level tegangan. Fungsi ke tiga adalah sebagai
inverter untuk merubah tegangan DC dari baterai menjadi AC yang disambungkan
ke beban. Sistem PLTS menggunakan charge regulator, maka waktu pengisian ke
baterai penyimpanan akan berlangsung lebih cepat dan arus serta tegangan yang
dihasilkan PV Array akan distabilkan terlebih dahulu sebelum memasuki baterai
penyimpanan. Dari kelebihan yang dimiliki system charge ini, maka umumnya
PLTS dengan charge regulator yang dapat ditempatkan pada kotak modul
kontrolnya. Charge Controller adalah perangkat elektronik yang digunakan untuk
mengatur pengisian arus searah dari modul surya ke baterai dan mengatur
penyaluran arus dari baterai ke peralatan listrik (beban). Charge controller
mempunyai kemampuan untuk mendeteksi kapasitas baterai. Bila baterai sudah
penuh terisi maka secara otomatis pengisian dari modul surya berhenti.
Solar charge controller adalah komponen penting dalam Pembangkit Listrik
Tenaga Surya. Solar charge controller berfungsi untuk charging mode ialah
mengisi baterai (kapan baterai diisi, menjaga pengisian kalau baterai penuh).
Operation mode ialah penggunaan baterai ke beban (pelayanan baterai ke beban
16
diputus kalau baterai sudah mulai kosong). Berikut merupakan cara kerja charge
controller :
1. Charging Mode Solar Charge Controller
Dalam charging mode, umumnya baterai diisi dengan metode three stage
charging: Fase bulk: baterai akan di-charge sesuai dengan tegangan setup (bulk –
antara 14.4 – 14.6 Volt) dan arus diambil secara maksimum dari modul surya.
Pada saat baterai sudah pada tegangan setup (bulk) dimulailah fase absortion. Fase
absortion: pada fase ini, tegangan baterai akan dijaga sesuai dengan tegangan
bulk, sampai solar charge controller timer (umumnya satu jam) tercapai, arus
yang dialirkan menurun sampai tercapai kapasitas dari baterai. Fase float: baterai
akan dijaga pada tegangan float setting (umumnya 13.4 – 13.7 Volt). Beban yang
terhubung ke baterai dapat menggunakan arus maksimum dari modul surya pada
stage ini.
2. Sensor Temperatur Baterai Charge Controller
Untuk solar charge controller yang dilengkapi dengan sensor temperatur
baterai. Tegangan charging disesuaikan dengan temperatur dari baterai. Dengan
sensor ini didapatkan optimum dari charging dan juga optimum dari usia baterai.
Apabila solar charge controller tidak memiliki sensor temperatur baterai, maka
tegangan charging perlu diatur, disesuaikan dengan temperatur lingkungan dan
jenis baterai.
3. Mode Operation Solar Charge Controller
Pada metode ini, baterai akan melayani beban. Apabila ada over-discharge
atau over-load, maka baterai akan dilepaskan dari beban. Hal ini berguna untuk
mencegah kerusakan dari baterai. Bila baterai sudah penuh terisi maka secara
otomatis pengisian arus dari modul surya berhenti. Cara deteksi adalah melalui
monitor level tegangan baterai. Charge controller akan mengisi baterai sampai
level tegangan tertentu, kemudian apabila level tegangan telah mencapai level
terendah, maka baterai akan diisi kembali. Charge controller adalah indicator
yang akan memberikan informasi mengenai kondisi baterai sehingga pengguna
17
PLTS dapat mengendalikan konsumsi energi menurut ketersedian listrik yang
terdapat dalam baterai.
2.3.3 Baterai
Baterai adalah komponen PLTS yang berfungsi menyimpan energy listrik
yang dihasilkan oleh modul surya pada siang hari, untuk kemudian dipergunakan
pada malam hari dan pada saat cuaca mendung. Baterai yang dipergunakan pada
PLTS mengalami proses siklus mengisi (charging) dan mengosongkan
(discharging), tergantung pada ada atau tidaknya matahari. Selama ada sinar
matahari, modul surya akan menghasilkan energy listrik. Apabila energi listrik
yang dihasilkan tersebut melebihi kebutuhan bebannya, maka energy listrik
tersebut akan segera dipergunakan untuk mengisi baterai. Proses pengisian dan
pengosongan disebut satu siklus baterai.
Ada dua jenis baterai isi ulang yang dapat dipergunakan untuk system
PLTS, yaitu baterai Asam Timbal (Lead Acid) dan baterai Nickel-Cadmium. Akan
tetapi karena memiliki effisiensi yang rendah dan biaya yang lebih tinggi,
membuat baterai nickel-cadmium relative lebih sedikit dipergunakan dalam
system PLTS. Sebaliknya baterai Asam Timbal adalah baterai dengan effisiensi
tinggi dengan biaya yang lebih ekonomis. Hal ini membuat baterai Asam Timbal
menjadi perangkat penyimpan yang penting untuk beberapa tahun ke depan,
terutama untuk system PLTS ukuran menengah dan besar. Kapasitas baterai
umumnya dinyatakan dalam Ampere hour (Ah). Nilai Ah pada baterai
menunjukan nilai arus yang dapat dilepaskan, dikalikan dengan nilai waktu untuk
pelepasan tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka secara teoritis, baterai 12 V,
200Ah harus dapat memberikan baik 200A selama satu jam, 50 A selama 4 jam, 4
A untuk 50 jam atau 1 A untuk 200 jam. Baik lead-acid baterai maupun nickel-
cadmium baterai secara umum mempunyai 4 bagian penting. Keempat bagian
tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda yang menunjang proses
penyimpanan energi maupun pengeluaran energi. Empat bagian penting tersebut
terdiri dari :
18
1. Elektroda
2. Pemisah atau separator
3. Elektrolit
4. Wadah sel atau baterai
2.3.4 Inverter
Inverter berfungsi untuk merubah arus dan tegangan listrik DC (direct
current) yang dihasilkan array PV menjadi arus dan tegangan listrik AC
(alternating current) dengan frekuensi 50Hz/60Hz. Pemilihan inverter yang tepat
untuk aplikasi tertentu, tergantung pada kebutuhan beban dan tergantung pada
apakah unverter akan menjadi bagian dari system yang terhubung ke jaringan
listrik atau system yang berdiri sendiri. Berdasarkan bentuk gelombang yang
dihasilkan, inverter di kelompokan menjadi tiga (ABB, 2010) yaitu:
a. Square wave (gelombang kotak)
Pada beban-beban listrik yang menggunakan kumparan / motor square wave
inverter tidak dapat bekerja sama sekali.
b. Modified sine wave
Inverter Modified sine wave (gelombang sinus modifikasi), menghasilkan
daya listrik yang cukup memadai untuk sebagian peralatan elektronik tetapi
memiliki kelemahan karena kekuatan daya listrik yang dihasilkan tidak sama
persis dengan daya listrik dari PLN.
c. True sine wave
Inverter true sine wave (gelombang sinus murni) menghasilkan gelombang
listrik yang sama dengan listrik PLN. Bahkan lebih baik dari segi kestabilan
daya listrik dibandingkan daya listrik dari PLN. True sine wave inverter
diperlukan terutama untuk beban-beban yang masih menggunakan motor agar
bekerja lebih mudah, lancer dan tidak cepat panas.
Modified sine wave inverter ataupun square wave inverter bila dipaksakan
untuk beban-beban induktif maka effisiensinya akan jauh berkurang dibandingkan
dengan True sine wave inverter. Inverter yang terbaik adalah yang mampu
menghasilkan gelombang sinosuidal murni atau true sine wave yaitu bentuk
19
gelombang yang sama dengan bentuk gelombang dari jaringan listrik (grid
utility).
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja PLTS
Untuk mendapatkan output maksimal dari PLTS, ada beberapa faktor
sangat mempengaruhi yaitu :
2.4.1 Iradiasi Matahari
Iradiasi matahari yang diterima bumi terdistribusi pada beberapa range
panjang gelombang, mulai dari 300 nm sampai dengan 4 mikron. Sebagian radiasi
mengalami refleksi di atmosfer (diffuse radiation) dan sisanya dapat sampai ke
permukaan bumi (direct radiation). Kedua radiasi ini yang dipakai untuk
mengukur besaran radiasi yang diterima sel surya. Besaran-besaran penting untuk
mengukurnya adalah (Diputra. 2008) :
Spectral irradiance I𝝀 – Daya yang diterima oleh satu unit area dalam
bentuk differensial panjang gelombang d𝝀, satuan : W/m2 µm.
Irradiance – Integral dari spectral irradiance untuk keseluruhan panjang
gelombang, satuan : W/m2
Radiansi – Integral waktu dari irradiance untuk jangka waktu tertentu.
Oleh sebab itu, satuannya sama dengan satuan energi, yaitu J/m2 – hari,
J/m2 – bulan atau J/m2 – tahun.
Diantara ketiga besaran tersebut, yang akan digunakan dalam analisa
adalah W/m2 karena satuan ini yang biasa dipakai dalam data sheet, sedangkan
besaran radiasi biasanya digunakan untuk menghitung estimasi daya keluaran
pada instalasi system. Irradiance merupakan sumber energi bagi sel surya,
sehingga keluarannya sangat bergantung oleh perubahan irradiance. Gambar 2.7
memberikan contoh perubahan irradiance terhadap kurva daya modul surya.
Dilihat dari Gambar 2.6, keluaran daya berbanding lurus dengan
irradiance. Isc lebih terpengaruh oleh perubahan irradiance dari pada Voc. Hal
ini sesuai dengan penjelasan cahaya sebagai paket-paket foton. Pada saat
irradiance tinggi, yaitu pada saat jumlah foton banyak, arus yang dihasilkan juga
20
besar. Demikian pula sebaliknya, sehingga arus yang dihasilkan berbanding lurus
terhadap jumlah foton. Berikut merupakan gambar karakteristik kurva I-V
Terhadap perubahan irradiance:
Gambar 2.6 Karakteristik Kurva I-V Terhadap Perubahan Irradiance
(Sumber: ABB QT10, 2010)
Pengujian modul surya pada data sheet umumnya dilakukan pada standard
test condition (STC), yaitu Air Mass (AM) 1,5 ; irradiance 1000 W/m2 dan
temperature 250 C. dalam kondisi nyata, nilai irradiance tidak mencapai nilai
tersebut, bergantung dari posisi lintang, posisi matahari dan kondisi cuaca. Nilai
irradiance pada lokasi tertentu juga bervariasi dari bulan ke bulan.
Radiasi matahari merupakan pancaran energi yang berasal dari proses
thermonuklir yang terjadi di matahari, atau dapat dikatakan sumber utama untuk
proses-proses fisika atmosfer yang menentukan keadaan cuaca dan iklim di
atmosfer bumi. Radiasi surya memegang peranan penting dari berbagai sumber
energi lain yang dimanfaatkan manusia. Cahaya bisa dikatakan sebagai suatu
bagian yang mutlak dari kehidupan manusia. Untuk mendukung teknik
pencahayaan buatan yang benar, tentu saja perlu diketahui seberapa besar
intensitas cahaya yang dibutuhkan pada suatu tempat. Maka, untuk mengetahui
21
seberapa besar intensitas cahaya tersebut dibuthkan suatu alat ukur cahaya yang
dapat digunakan untuk mengukur besarnya cahaya dalam satuan lux.
Untuk mengukur intensitas cahaya digunakan sebuah alat yang bernama
lux meter. Lux meter adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengukur
intensitas cahaya atau tingkat pencahayaan. Biasanya digunakan dalam ruangan.
Kebutuhan pencahayaan setiap ruangan terkadang berbeda. Semuanya tergantung
dan disesuaikan dengan kegiatan yang dilakukan. Untuk mengukur tingkat
pencahayaan di butuhkan sebuah alat yang bisa bekerja secara otomatis mampu
mengukur intensitas cahaya dan menyesuaikannya dengan cahaya yang
dibutuhkan. .
Pengukuran intensitas cahaya menggunakan luxmeter yang menghasilkan
nilai intensitas cahaya dengan satuan lux. Tidak ada konversi langsung antara lux
dan W/m2 itu tergantung pada panjang gelombang atau warna cahaya. Sehingga
untuk mendapatkan konversi antara lux dan W/m2 perlu dilakukan percobaan.
Namun, ada perkiraan konversi 0,0079 W/m2 per Lux (Hossain. 2011). Jadi dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1lux = 0.0079 W/m2 (2.1)
Penggunaan konversi antara lux dan W/m2 diatas juga telah digunakan oleh M. A.
Hossain dkk pada penelitiannya yang berjudul Performance evaluation of 1.68
kWp DC operated Solar pump With Auto Tracker Using Microcontroller Based
Data Acquisition System, Steven Chua dengan judul Light VS. DISTANCE dan
Anies Ma’rufatin pada penelitiannya yang berjudul Respon pertumbuhan
Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) Varietas Atlantis dan Super Jhon
Dalam Sistem Aeroponik Terhadap periode Pencahayaan. Mereka semua
menggunakan konversi 0,0079 W/m2 per Lux.
2.4.2 Temperatur Modul Surya
Intensitas cahaya bukanlah satu-satunya parameter eksternal yang memiliki
pengaruh penting pada kurva I-V, ada juga pengaruh suhu. Suhu memiliki peranan
22
penting untuk memprediksi karakteristik I-V. Komponen semikonduktor seperti
diode sensitif terhadap perubahan suhu, begitu pula dengan sel surya. Secara
umum, sebuah modul surya dapat beroperasi secara maksimum jika temperatur
yang diterimanya tetap normal pada temperatur 25oC. Kecepatan tiupan angin
disekitar lokasi sel surya akan sangat membantu terhadap pendinginan temperatur
permukaan sel surya sehingga temperatur dapat terjaga dikisaran 25oC. Kenaikan
temperatur lebih tinggi dari temperatur normal pada modul surya akan
melemahkan tegangan (Voc) yang dihasilkan. Setiap kenaikan temperatur modul
surya 1oC (dari 25oC) akan mengakibatkan berkurang sekitar 0,5% pada total
tenaga (daya) yang dihasilkan. Untuk menghitung besarnya daya yang berkurang
pada saat temperatur di sekitar modul surya mengalami kenaikan oC dari
temperatur standarnya, dipergunakan rumus sebagai berikut (Solarex, 1998):
Pengaruh suhu terhadap output sel surya dapat dilihat dalam rumus
dibawah ini (Solarex, 1998) :
Psaat t naik oC = 0,5% / oC x PMPP x kenaikan temperatur (oC) (2.2)
Dimana :
Psaat t naik oC = Daya pada saat temperatur naik oC dari
temperatur standarnya.
PMPP = Daya keluaran maksimum modul surya.
Daya keluaran modul surya pada saat temperaturnya naik menjadi toC dari
temperatur standarnya diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut :
PMPP saat naik menjadi t oC = PMPP – Psaat t naik
oC (2.3)
Dimana :
PMPP saat naik menjadi oC adalah daya keluaran modul surya pada saat
temperatur disekitar modul surya naik menjadi toC dari
temperatur standarnya.
23
Berikut merupakan gambar pengaruh temperatur modul terhadap energi
modul surya:
Gambar 2.7 Pengaruh temperature modul terhadap energi modul surya
(Sumber: ABB QT10, 2010)
2.4.3 Orientasi Modul Surya
Efisiensi maksimum modul surya akan meningkat jika sudutnya saat
terjadi sinar matahari selalu berada pada 90°. Namun kenyataannya peristiwa dari
radiasi matahari bervariasi berdasarkan pada keduanya yaitu garis lintang
(latitude), dan seperti halnya deklenasi matahari selama setahun. Faktanya poros
rotasi bumi adalah dengan kemiringan 23,45° terhadap bidang dari orbit bumi
oleh matahari, pada garis lintang tertentu tinggi dari matahari pada langit
bervariasi setiap harinya. Untuk mengetahui ketinggian maksimum (dalam
derajat) ketika matahari mencapai langit (α), secara mudah dengan menggunakan
rumus berikut:
α = 90° - lat + δ (N hemisphere); 90° + lat – δ (S hemisphere) (2.4)
Sedangkan sudut yang harus dibentuk oleh modul surya terhadap permukaan
bumi (β), dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut:
24
β=90°–α (2.5)
Dimana:
lat adalah garis lintang (latitude) lokasi intalasi panel surya terpasang
(dalam satuan derajat)
δ adalah sudut dari deklinasi matahari [23,34°]
Apabila sudut dari ketinggian maksimum matahari (α) diketahui, maka
sudut kemiringan dari panel surya (β) juga dapat diketahui. Namun tidak cukup
hanya mengetahui α saja untuk menentukan orientasi yang optimal dari panel
surya. Orientasi dari pael surya dapat diindikasikan dengan sudut asimut (azimuth
angle) dalam notasi γ, pada devasi terhadap arah optimum dari selatan (untuk
lokasi di belahan bumi utara), atau dari utara (untuk lokasi di belahan bumi
selatan). Nilai positif dari sudut asimut menunjukan orientasi ke barat, sebaliknya
nilai negatif menunjukan orientasi ke timur. Gambar inklinasi dan orientasi
ditunjukan pada gambar 2.8.
Gambar 2.8 Kombinasi inklinasi dan orientasi menentukan eksposisi panel
(Sumber: ABBQT10,2010)
Berdasarkan dengan orientasi dan inklinasi dari panel surya, potensi dari
radiasi radiasi matahari dapat diketahui pada suatu tempat. Dari perbandingan
inklinasi dan orientasi dapat diketahui nilai koefisien (c) dari potensi energi yang
akan diterima oleh panel surya pada suatu tempat, nilai c ini biasanya didapat dari
25
tabel yang dikeluarkan oleh negara berdasarkan data pengamatan inklinasi dan
orientasi panel surya pada suatu tempat (latitude). Berikut ditampilkan contoh
tabel nilai c pada negara italia :
Tabel 2.2 Italia bagian utara 44°N Latitude
Inklinasi 0°
(Selatan)
±15° ±30° ±45° ±90°
(Timur; Barat)
0° 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
10° 1,07 1,06 1,06 1,04 0,99
15° 1,09 1,09 1,07 1,06 0,98
20° 1,11 1,10 1,09 1,07 0,96
30° 1,13 1,12 1,10 1,07 0,93
40° 1,12 1,11 1,09 1,05 0,89
50° 1,09 1,08 1,05 1,02 0,83
60° 1,03 0,99 0,96 0,93 0,77
70° 0,95 0,95 0,93 0,89 0,71
90° 0,74 0,74 0,73 0,72 0,57
Berdasarkan data nilai c dari tabel, maka prediksi kapasitas produksi energi
rata-rata per tahun (E) adalah:
E = Ep ∙ c [kWh] (2.6)
2.4.4 Sudut Kemiringan Modul Surya
Sudut kemiringan memiliki dampak yang besar terhadap radiasi matahari
dipermukaan modul surya. Untuk sudut kemiringan tetap. Daya maksimum
selama satu tahun akan diperoleh ketika sudut kemiringan modul surya sama
dengan lintang lokasi. Sistem pengaturan berfungsi memberikan pengaturan dan
pengamanan dalam suatu PLTS sedemikian rupa sehingga sistem pembangkit
tersebut dapat bekerja secara efisien dan handal. Peralatan pengaturan di dalam
sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya ini dapat dibuat secara manual, yaitu
dengan cara selalu menempatkan kearah matahari, atau dapat juga dibuat secara
otomatis, mengingat sistem ini banyak dipergunakan untuk daerah terpencil.
Gerakan Modul secara otomatis dapat dilakukan dengan menggunakan rangkaian
elektronik. Namun dalam segi kepraktisan dan memudahkan perawatan
pemasangan modul surya yang mudah dan murah adalah dengan memasang
modul surya dengan posisi tetap dengan sudut kemiringan tertentu. Untuk
26
menentukan arah sudut kemiringan modul surya harus disesuaikan dengan letak
geografis lokasi pemasangan modul tersebut. Penentuan sudut pemasangan modul
surya ini berguna untuk membenarkan penghadapan modul surya ke arah garis
khatulistiwa. Pemasangan modul surya ke arah khatulistiwa dimaksudkan agar
modul surya mendapatkan penyinaran yang optimal. Modul surya yang terpasang
di khatulistiwa (lintang = 0o) yang diletakan mendatar (tilt angle = 0o), akan
menghasilkan energy maksimum (Hanif, 2012).
Gambar 2.9 Pemasangan Modul Surya Dengan Sudut Kemiringan
(Sumber: Hanif M, 2012)
2.5 Kebersihan Modul Surya
Menurut penelitian yang telah dilakukan Serbot Swiss Innovation.
Kebersihan modul surya sangat mempengaruhi daya output maksimum modul
surya. Pembersihan secara berkala modul surya sangat penting untuk
menghasilkan dan memberikan jumlah maksimum iradisasi matahari yang
diterima oleh permukaan modul surya. Pengaruh kotoran dan debu pada kinerja
modul surya tergatung pada berbagai faktor dan selalu perlu diperkirakan. Dari
penelitian yang telah dilakukan Serbot Swiss Innovation di Eropa dan Amerika
dapat diasumsikan pengurangan daya output modul surya beriksar 10% - 20%.
Jika instalasi dilakukan di tempat yang kering dan daerah yang berdebu, efek nya
dapat menigkat sampai 40%. (http://www.serbot.ch/index.php/en/solar-panel-
cleaning, 2014).
Perusahaan White Glove menggunakan air ultra-murni untuk
membersihkan permukaan modul surya tanpa meninggalkan residu kimia atau
27
senyawa anorganik lain meningkatkan kinerja puncak. Selain debu, daun yang
jatuh, kotoran binatang, Cuaca yang berkabut juga dapat menyebabkan permukaan
modul surya menjadi kotor, hal ini telah terbukti mengurangi daya output yang
dibangkitakan oleh modul surya. Semua perusahaan modul surya
merekomendasikan pembersihan secara berkala terhadap permukaan modul surya.
Tingkat kebersihan permukaan modul surya mempengaruhi efisiensi dari modul
surya. Dengan membersihkan permukaan modul surya secara berkala dapat
mengoptimlakan produksi energi yang diabangkitkan.
Menurut Solar Electric Power Association (SEPA), output listrik modul
surya akan menurun sekitar 10% karena tingkat kotoran, debu, dan residu
lainnya. Penelitian yang dikutip oleh SEPA menunjukkan bahwa daya yang
dibangkitkan oleh modul surya akan menurun 15-20% di daerah perkotaan atau
debu dari kegiatan pembangunan, kotoran burung dan juga serangga.
(http://whiteglovewindowcleaning.com/services/other-services, 2012).
Google melakukan percobaan inovatif pada PLTS 1,6 MW mereka di
Mountain View, California. Mereka menemukan bahwa membersihkan surya
adalah "nomor satu cara untuk memaksimalkan energi yang modul surya
hasilkan." Membersihkan modul surya yang telah beroperasi selama 15 bulan,
menghasilkan dua kali lipat output dari modul surya yang dibiarkan.
Penelitian yang sama juga menemukan bahwa hujan bukanlah suatu cara
untuk membersihkan modul surya. Solar panel yang dibersihkan secara
profesional memiliki output 12% lebih tinggi dibandingkan dibersihkan oleh
hujan.
Di wilayah barat daya AS, di mana curah hujan terbatas selama beberapa
bulan, maka jumlah kotoran yang menupuk pada permukaan modul surya jauh
lebih besar. Modul surya yang dipasang di dekat sumber polusi seperti jalan raya,
pabrik-pabrik dan bandara perlu dibersihkan lebih sering. Kasus lain yang perlu
dipertimbangkan termasuk musim gugur dan musim dingin, di mana pembersihan
daun dan salju penting untuk kinerja yang optimal.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa air hujan mudah
membersihkan panel surya yang miring. Membersihkan panel surya tidak benar-
28
benar jauh berbeda dari membersihkan jendela khas. Hal ini tidak terlalu
memakan waktu yang begitu banyak (Maehlum, 2014)
Menurut Academy Wolrd of Science, Enginering & Technology yang di
kutip oleh Perusahaan pembersih modul surya Araya Clean menyatakan bahwa
salah satu faktor yang berperan dalam peurunan efisiensi dalam modul surya
adalah penumpukan debu pada permukaan modul surya. Dalam prakteknya, debu
harus di hilangkan dari permukaan modul surya untuk memastikan kinerja optimal
dari modul surya. Berikut merupakan pengaruh yang dapat menyebabkan
kotornya modul surya:
Arah/ Orientasi : Sebagian besar panel surya berada di atap dan dipasang
pada sudut horizontal, modul surya memiliki array sel surya yang
terindungi oleh penutup kaca . Tergantung pada arah angin, panel dapat
ditutupi oleh debu, kotoran, serbuk sari, daun jatuh, dan kotoran burung.
Seiring dengan berjalannya waktu kotoran tersebut dapat mengeras pada
perukaan modul surya. Hal ini dapat menyebabkan penurunan yang besar
dalam paparan sinar matahari ke sel surya. Pemilik Modul Surya yang
tidak pernah membersihkan modul suryanya melaporkan kerugian output
pada modul surya bervariasi dari 20% menjadi 50% dari waktu ke waktu.
Air hujan tidak cukup untuk membersihkan modul surya : Sebuah asumsi
bahwa debu, serbuk sari, daun jatuh yang menumpuk pada modul surya
pada musim panas akan di bersihkan oleh air hujan pada musim hujan. Itu
benar berpengaruh pada tumpukan debu yang tidak mengeras. Akan tetapi
tidak efektif pada kotoran burung dan tumpukan kotoran yang mengeras
pada permukaan modul surya. Terkadang air hujan juga membawa lumpur
serta tanah yang mengeras pada permukaan modul surya dalam hitungan
minggu.
Lokasi pemasangan modul surya : Pemasangan modul surya pada lokasi
dekat dengan jalan raya, pusat industri, dan pepohonan. Dapat
menyebabkan semakin cepatnya penumpukan kotoran pada modul surya.
29
Suatu organisasi seperti Solar Energy Power Association dan The
National Renewable Energy Laboratory menyatakan bahwa kerugian efisiensi
bervariasi dari 20% sampai 25% untuk modul surya kotor dibandingkan dengan
modul surya yang dibersihkan.
(http://www.arayaclean.com/agencies/ca/san-
mateo/ca02/blog/posts/2014/6/15/clean-your-solar-panels-regularly-for-
maximum-efficiency/#.VCwJvfl_vEg, 2014).
Menurut Solar Facts and Advice. Polusi, debu, daun dan bahkan kotoran
burung yang mengendap dipermukaan modul surya mencegah dapat sinar
matahari dapat mencapai sel surya pada panel surya. Semakin banyak jumlah
kotoran yang menumpuk maka akan mengurangi listrik yang dihasilkan modul
surya. Dari beberapa faktor terbesar yang dapat mempengaruhi modul surya,
faktor kotoranlah yang paling mudah untuk diatasi. Para ahli sepakat bahwa
modul surya kotor tidak menghasilkan energi sebanyak modul surya bersih. Pada
penelitian laboratorium National Renewable Energy didapatkan kerugian output
modul surya sebesar 25% pada beberapa daerah. Produsen modul surya sendiri
telah melaporkan kerugian setinggi 30% untuk beberapa pelanggan yang tidak
pernah membersihkan panel mereka. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk
melihat apakah modul surya perlu dibersihkan:
1. Pemeriksaan Fisik: Periksa panel surya secara berkala untuk menghilangkan
kotoran. Khusus di daerah berdebu pemeriksaan dan pembersihan dilakukan
lebih sering.
2. Gunakan Layanan Monitoring: Cara lain untuk mengetahui potensi solar
maksimal dari sistem modul surya adalah melalui sistem pemantauan dan
layanan.
(http://www.solar-facts-and-advice.com/solar-pa nel-cleaning.html, 2014).