bab ii tinjauan pustaka 2.1. resiliensi 2.1.1. definisi...
TRANSCRIPT
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Resiliensi
2.1.1. Definisi Resiliensi
Menurut Desmita (2017) resiliensi adalah daya lentur,
ketahanan kemampuan atau kapasitas inasni yang dimiliki
seseorang, kelompok, atau masyarakat yang
memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah,
meminimalkan, dan bahkan menghilangkan dampak-dampak
yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan, atau
mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi
suatu hal yang wajar untuk diatasi.
Menurut Fernanda Rojas (2015) menyatakan resiliensi
sebagai kemampuan menghadapi tantangan, resiliensi akan
tampak ketika seseorang menghadapi pengalaman yang sulit
dan tahu bagaimana menghadapi atau beradaptasi dengannya.
Menurut Charney (2014) mendefinisikan resiliensi
sebagai proses adaptasi dengan baik dalam situasi trauma,
tragedy, atau peristiwa yang dapat menyebabkan stres
lainnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa resiliensi bukanlah ciri
kepribadian melainkan melibatkan perilaku, pikiran, atau
tindakan yang dapat dipelajari oleh siapa saja.
Menurut Keye & Pidgeon (2013) resiliensi didefinisikan
sebagai kemampuan individu memilih untuk pulih dari
peristiwa kehidupan yang menyedihkan dan penuh tantangan,
dengan cara meningkatkan pengetahuan untuk adaptif dan
mengatasi situasi serupa yang merugikan di masa mendatang.
Menurut Meicherbaum (2008) resiliensi adalah proses
interaktif yang melibatkan berbagai karakteristik individu,
keluarga, maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas.
Menurut Reivich dan Shatte resiliensi adalah kapasitas untuk
merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi
kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola
tekanan hidup sehari-hari.
-
Menurut Reivich & Shatte (2002) resiliensi merupakan
kemampuan individu untuk melakukan respon dengan cara
yang sehat dan produktif ketika berhadapan dengan trauma,
dimana hal tersebut mengendalikan tekanan hidup sehari-hari.
Resiliensi menghasilkan dan mempertahankan sikap
positif untuk digali. Individu dengan resiliensi yang baik
memahami bahwa kesalahan bukanlah akhir dari
segalanya. Individu mengambil makna dari kesalahan dan
menggunakan pengetahuan untuk meraih sesuatu yang lebih
tinggi. Individu memfokuskan dirinya dan memecahkan
persoalan dengan bijaksana, sepenuhnya, dan energik.
Berdasarkan beberapa definisi diatas menurut beberapa
ahli dapat dipahami dan disimpulkan bahwa resiliensi adalah
kemampuan untuk bertahan dan menghadapi fase tersulit
dalam kehidupannya, dan kemampuan positif untuk
menghadapi suatu permasalahan ataupun kesulitan dalam
kehidupannya.
2.1.2. Aspek-Aspek Resiliensi
Menurut Reivich dan Shatte (2002) ada tujuh kemampuan
atau aspek-aspek yang membentuk resiliensi, yaitu antara
lain:
a. Pengendalian Emosi
Pengendalian emosi adalah suatu kemampuan untuk tetap
tenang meskipun berada di bawah tekanan. Individu yang
mempunyai resiliensi yang baik, menggunakan kemampuan
positif untuk membantu mengontrol emosi, memusatkan
perhatian dan perilaku. Mengekspresikan emosi dengan tepat
adalah bagian dari resiliensi. Individu yang tidak resilient
cenderung lebih mengalami kecemasan, kesedihan, dan
kemarahan dibandingkan dengan individu yang lain, dan
mengalami saat yang berat untuk mendapatkan kembali
kontrol diri ketika mengalami kekecewaan. Individu lebih
memungkinkan untuk terjebak dalam kemarahan, kesedihan
-
atau kecemasan, dan kurang efektif dalam menyelesaikan
masalah.
b. Kemampuan untuk mengontrol implus
Kemampuan untuk mengontrol impuls berhubungan
dengan pengendalian emosi. Individu yang kuat mengontrol
impulsnya cenderung mempu mengendalikan
emosinya. Perasaan yang menantang dapat meningkatkan
kemampuan untuk mengontrol impuls dan menjadikan
pemikiran lebih akurat, yang mengarahkan kepada
pengendalian emosi yang lebih baik, dan menghasilkan
perilaku yang lebih resilient.
c. Optimis Individu dengan resiliensi yang baik
Optimis Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu
yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat
berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan akan
masa depan dan dapat mengontrol arah
kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi lebih sehat dan
tidak mudah mengalami depresi. Optimis menunjukkan bahwa
individu yakin akan kemampuannya dalam mengatasi kesulitan
yang tidak dapat dihindari di kemudian hari. Hal ini
berhubungan dengan self efficacy, yaitu keyakinan akan
kemampuan untuk memecahkan masalah dan menguasai
dunia, yang merupakan kemampuan penting dalam
resiliensi. Penelitian menunjukkan bahwa optimis dan self
efficacy saling berhubungan satu sama lain. Optimis memacu
individu untuk mencari solusi dan bekerja keras untuk
memperbaiki situasi.
d. Kemampuan untuk menganalisis penyebab dari
masalah
Analisis penyebab menurut Martin Seligman, dkk (Reivich
dan Shatte, 2002), adalah gaya berpikir yang sangat penting
untuk menganalisis penyebab, yaitu gaya menjelaskan. Hal itu
-
adalah kebiasaan individu dalam menjelaskan sesuatu yang
baik maupun yang buruk yang terjadi pada individu. Individu
dengan resiliensi yang baik sebagian besar memiliki
kemampuan menyesuaikan diri secara kognitif dan dapat
mengenali semua penyebab yang cukup berarti dalam
kesulitan yang dihadapi, tanpa terjebak di dalam gaya
menjelaskan tertentu. Individu tidak secara refleks
menyalahkan orang lain untuk menjaga self esteemnya atau
membebaskan dirinya dari rasa bersalah. Individu tidak
menghambur-hamburkan persediaan resiliensinya yang
berharga untuk merenungkan peristiwa atau keadaan di luar
kontrol dirinya. Individu mengarahkan dirinya pada sumber-
sumber problem solving ke dalam faktor-faktor yang dapat
dikontrol, dan mengarah pada perubahan.
e. Kemampuan untuk berempati
Beberapa individu mahir dalam menginterpretasikan apa
yang para ahli psikologi katakan sebagai bahasa non verbal
dari orang lain, seperti ekspresi wajah, nada suara, bahasa
tubuh, dan menentukan apa yang orang lain pikirkan dan
rasakan. Walaupun individu tidak mampu menempatkan
dirinya dalam posisi orang lain, namun mampu untuk
memperkirakan apa yang orang rasakan, dan memprediksi apa
yang mungkin dilakukan oleh orang lain. Dalam hubungan
interpersonal, kemampuan untuk membaca tanda-tanda non
verbal menguntungkan, dimana orang membutuhkan untuk
merasakan dan dimengerti orang lain.
f. Self efficacy
Self efficacy adalah keyakinan bahwa individu dapat
menyelesaikan masalah, mungkin melalui pengalaman dan
keyakinan akan kemampuan untuk berhasil dalam
kehidupan. Self efficacy membuat individu lebih efektif dalam
kehidupan. Individu yang tidak yakin dengan efficacynya
bagaikan kehilangan jati dirinya, dan secara tidak sengaja
-
memunculkan keraguan dirinya. Individu dengan self efficacy
yang baik, memiliki keyakinan, menumbuhkan pengetahuan
bahwa dirinya memiliki bakat dan ketrampilan, yang dapat
digunakan untuk mengontrol lingkungannya.
g. Kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan
Resiliensi membuat individu mampu meningkatkan aspek-
aspek positif dalam kehidupan. Resiliensi adalah sumber dari
kemampuan untuk meraih. Beberapa orang takut untuk
meraih sesuatu, karena berdasarkan pengalaman sebelumnya,
bagaimanapun juga, keadaan menyulitkan akan selalu
dihindari. Meraih sesuatu pada individu yang lain dipengaruhi
oleh ketakutan dalam memperkirakan batasan yang
sesungguhnya dari kemampuannya.
Dari beberapa aspek-aspek yang dijelaskan diatas dapat
dipahami dan disimpulkan bahwa aspek-aspek resiliensi yang
penting dan perlu diperhatikan ialah pengendalian emosi,
kemampuan mengontrol implus, optimis individu dengan
resiliensi yang baik, kemamuan untuk menganalisis penyebab
dari masalah, kemampuan untuk berempati, self efficacy,
kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan.
Sedangkan menurut pendapat Connor & Davidson (2003)
pada penelitiannya mengidentifikasikan ada lima aspek dari
resiliensi, yaitu:
a. Kompetensi personal, standar yang tinggi, dan kegigihan
b. Percaya kepada diri sendiri, memiliki toleransi terhadap
afek negatif dan kuat dalam menghadapi tekanan
c. Penerimaan positif terhadap perubahan dan hubungan
yang baik dengan orang lain
d. Pengendalian diri
e. Pengaruh spiritual
Berdasarkan beberapa aspek-aspek yang dijelaskan diatas
dapat dipahami dan disimpulkan bahwa aspek-aspek resiliensi
yang penting dan perlu diperhatikan ialah pengendalian emosi,
-
kemampuan mengontrol implus, optimis individu dengan
resiliensi yang baik, kemamuan untuk menganalisis penyebab
dari masalah, kemampuan untuk berempati, self efficacy,
kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan, Kompetensi
personal, standar yang tinggi, dan kegigihan Percaya kepada
diri sendiri, memiliki toleransi terhadap afek negatif dan kuat
dalam menghadapi tekanan Penerimaan positif terhadap
perubahan dan hubungan yang baik dengan orang lain
pengendalian diri, pengaruh spiritual.
2.1.3. Faktor-Faktor Terbentuknya Resiliensi
Grotberg menjelaskan faktor faktor resiliensi yang dapat
membantu individu mengatasi berbagai adversities, (Grotberg,
2003), dengan mengelompokkannya menjadi tiga faktor,
antara lain:
a. Ekternal support merupakan faktor diluar individu yang
dapat meningkatkan kemampuan resilien. Grotberg
menjelaskan bahwa sebagai (I have), yaitu satu atau lebih
angggota keluarga yang dapat dipercaya dan mencintai
individu tersebut, satu atau lebih individu di luar keluarga
yang dapat dipercaya, memiliki batasan bertingkah laku.
Good role models punya andil besar, Role models yaitu
orang-orang yang dapat menunjukkan apa yang individu
harus lakukan seperti informasi terhadap sesuatu dan
memberi semangat agar individu mengikutinya. Akses
untuk mendapatkan fasilitas kesehatan, pendidikan dan
sosial yang dibutuhkan juga penting, selain itu keluarga
komunitas yang stabil. Selain dukungan dari orang-orang
terdekat seperti suami, istri, orang tua, dan anak,
kadangkala seorang individu juga membutuhkan dukungan
dan cinta dari orang lain yang dianggap mampu
memberikan kasih sayang yang mungkin tidak dapat
diperoleh dari orang-orang terdekat.
b. Faktor Inner Strength (I am), merupakan sesuatu yang
dimiliki oleh individu yang akan berkembang, sebagaimana
-
Grotberg menjelaskan bahwa kualitas yang dimiliki individu
dapat dijelaskan sebagai (I am), diantaranya adalah
kepercayaan diri atas kemampuan pribadi, optimis, disukai
banyak orang, memiliki keinginan untuk meraih prestasi
dimasa depan, empati dan kualitas diri lainnya. Faktor I am
ini merupakan kekuatan yang berasal dari diri individu itu
sendiri. Seperti tingkah laku, perasaan, dan kepercayaan
yang terdapat didalam diri seseorang.
c. Problem Solving (I can), termasuk kemampuan
memunculkan ide ide baru, mampu menyelesaikan tugas,
menggunakan humor untuk meredakan ketegangan,
mampu menyampaikan pemikiran dan perasaan ketika
berkomunikasi dengan orang lain, mampu menyelesaikan
berbagai masalah (akademik, pekerjaan, personal dan
sosial), mampu mengendalikan tingkah laku, serta mampu
meminta bantuan ketika dibutuhkan, mengukur
temperamen diri sendiri dan orang lain. Karena itu,
seseorang yang beresiliensi harus memiliki tiga faktor
tersebut, yaitu I am, I have dan I can, dan seseorang yang
hanya memiliki salah satu faktor saja tidak termasuk orang
yang beresiliensi.
Berdasarkan beberapa yang dijelaskan diatas tentang
faktor-faktor yang membentuk resiliensi dalam diri seseorang
dapat dipahami dan disimpulkan bahwa faktor eksternal (I
Have), faktor inner strength (I am), dan problem solving ialah
faktor-faktor yang membentuk resiliensi dalam diri individu.
2.1.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi
Menurut pendapat Herman, dkk (2011) mengatakan
bahwa sumber-sumber resiliensi meliputi beberapa hal sebagai
berikut:
a. Faktor kepribadian, meliputi karakteristik kepribadian, self
efficacy, self-esteem, internal Locus of control, optimisme,
kapasitas intelektual, konsep diri yang positif, faktor
-
demografi (usia, jenis kelamin, suku), harapan,
ketangguhan, regulasi emosi, dan sebagainya.
b. Faktor biologis, Lingkungan awal akan memengaruhi
perkembangan dan struktur fungsi otak serta sistem
neurobiologis.
c. Faktor lingkungan, level lingkungan terdekat meliputi
dukungan sosial termasuk relasi dengan keluarga dan
teman sebaya, secure attachment pada ibu, kestabilan
keluarga, hubungan yang aman dan pasti dengan orang
tua, dan dukungan sosial dari teman sebaya. Lingkungan
ini berhubungan dengan tingkat resiliensi. Selanjutnya
lingkungan yang lebih luas yaitu sistem komunitas seperti
lingkungan sekolah yang baik, pelayanan masyarakat,
kesempatan untuk melakukan kegiatan olah raga dan seni,
faktor-faktor budaya, spiritualitas dan agama serta
sedikitnya pengalaman yang berkaitan dengan kekerasan,
berhubungan dengan tingkat resiliensi.
Menurut Holaday (Southwick, 2001), faktor-faktor yang
mempengaruhi resiliensi adalah :
a. Social support, yaitu berupa community support, personal
support, familial support serta budaya dan komunitas
dimana individu tinggal.
b. Cognitive skill, diantaranya intelegensi, cara pemecahan
masalah, kemampuan dalam menghindar dari menyalahkan
diri sendiri, kontrol pribadi dan spiritualitas.
c. Psychological resources, yaitu locus of control internal,
empati dan rasa ingin tahu, cenderung mencari hikmah dari
setiap pengalaman serta selalu fleksibel dalam setiap
situasi.
Berdasarkan beberapa penjelasan yang dijelaskan diatas
tentang faktor-faktor yang membentuk resiliensi dapat
disimpulkan dan dipahami faktor yang mempengaruhi antara
lain faktor kepribadian, faktor biologis, faktor lingkungan,
cognitive skill, Psychological resources, social support.
-
2.1.5. Karakteristik Individu Yang Resiliensi
Menurut Murphey (2013) karakteristik manusia yang
memiliki resiliensi tinggi adalah cenderung easygoing dan
mudah bersosialisasi, memiliki keterampilan berpikir yang baik
(secara tradisional disebut inteligensi, yang juga meliputi
keterampilan sosial dan kemampuan menilai sesuatu), memiliki
orang di sekitar yang mendukung, memiliki satu atau lebih
bakat atau kelebihan, yakin pada diri sendiri dan percaya pada
kemampuannya dalam mengambil keputusan serta memiliki
spiritualitas atau religiusitas.
Menurut Wolin (1999) terbagi menjadi tujuh karakteristik,
yang selanjutnya dijelaskan sebagai berikut:
a. Insight merupakan kemampuan individu untuk dapat
memahami diri sendiri dan orang lain atau lingkungannya
yang dapat digunakan untuk menyesuaikan diri dengan
berbagai situasi. Secara sederhana insight adalah
kemampuan mental seorang individu untuk dapat bertanya
dan menjawab dengan jujur.
b. Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak
secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam
hidup seseorang. Selain itu, kemandirian dapat diartikan
sebagai perilaku seseorang untuk hidup secara mandiri
tanpa bergantung kepada orang lain.
c. Hubungan, seorang yang resilien tentunya dapat
mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung,
dan berkualitas bagi kehidupan, atau memiliki role model
yang sehat.
d. Inisiatif, Individu yang memiliki kemampuan resilien
bersikap proaktif dan bertanggung jawab atas kehidupan
dan masalah yang dihadapi. Dalam hal ini individu yang
resilien selalu berusaha untuk memperbaiki diri ataupun
meningkatkan kemampuan dirinya.
e. Kreativitas, dalam hal ini melibatkan kemampuan untuk
memikirkan berbagai alternatif pilihan, serta konsekuensi
alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu
-
yang memiliki resilien dapat mempertimbangkan
konsekuensi dari setiap perilaku yang dipilihnya serta
membuat keputusan secara benar.
f. Humor, yakni kemampuan untuk menemukan kebahagiaan
dalam situasi apapun. Dengan rasa humor, individu yang
resilien dapat memandang tantangan hidup dengan cara
yang baru dan lebih ringan.
g. Moralitas, ditandai dengan keinginan individu untuk dapat
hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien
dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan.
Berdsarkan beberapa karakteristik individu yang resiliensi
yang sudah dijelaskan dan diuraikan diatas menurut beberapa
ahli dapat dipahami dan disimpulkan bahwa individu yang
resilient adalah keterampilan berpikir seseorang yang baik
dalam artian ia kreatif dan produktif, memiliki humor dan
moralitas, dan memiliki inisiatif, dan menjalin hubungan sosial
yang baik dengan lingkungannya.
2.1.6. Tahapan – Tahapan Resiliensi
Menurut pendapat Coulson (2006) empat proses yang
dapat terjadi ketika seseorang mengalami situasi cukup
menekan yaitu:
a. Succumbing (mengalah)
Mepakan istilah untuk menggambarkan kondisi yang
menurun dimana individu mengalah atau menyerah setelah
menghadapi suatu ancaman atau kondisi yang menekan. Level
ini merupakan kondisi ketika individu menemukan atau
mengalami kemalangan yang terlalu berat bagi mereka.
Penampakan (outcomes) dari individu yang berada pada
kondisi ini berpotensi mengalami depresi dan biasanya
penggunaan narkoba sebagai pelarian, dan pada tataran
ekstrim dapat menyebabkan individu bunuh diri.
b. Survival (bertahan)
-
Pada level ini individu tidak mampu meraih atau
mengembalikan fungsi psikologis dan emosi yang positif
setelah saat menghadapi tekanan. Efek dari pengalaman yang
menekan membuat individu gagal untuk kembali berfungsi
secara wajar (recovery), dan berkurang pada beberapa respek.
Individu pada kondisi ini dapat mengalami perasaan, perilaku,
dan kognitif negatif berkepanjangan seperti, menarik diri,
berkurangnya kepuasan kerja, dan depresi.
c. Recovery (pemulihan)
Merupakan kondisi ketika individu mampu pulih kembali
(bounce back) pada fungsi psikologis dan emosi secara wajar,
dan dapat beradaptasi terhadap kondisi yang menekan,
meskipun masih menyisahkan efek dari perasaan yang negatif.
individu dapat kembali beraktivitas dalam kehidupan sehari-
harinya, menunjukkan diri mereka sebagai individu yang
resilien.
d. Thriving (berkembang dengan pesat)
Pada kondisi ini individu tidak hanya mampu kembali pada
level fungsi sebelumnya setelah mengalami kondisi yang
menekan, namun mereka mampu minimal melampaui level ini
pada beberapa respek. Proses pengalaman menghadapi dan
mengatasi kondisi yang menekan dan menantang hidup
mendatangkan kemampuan baru yang membuat individu
menjadi lebih baik. Hal ini termanifetasi pada perilaku, emosi,
dan kognitif seperti, sense of purpose of in life, kejelasan visi,
lebih menghargai hidup, dan keinginan akan melakukan
interaksi atau hubungan sosial yang positif.
Menurut Reivich & Shatte (2002) mengatakan resiliensi
melewati empat tahapan yaitu antara lain :
a. Overcoming (proses mengatasi)
b. Streering tought (melalui sistem pengendalian
c. Boucing back
d. Reaching out (tahap penjangkauan)
-
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas mengenai tahap-
tahap resiliensi dapat dipahami dan dapat dipahami empat
proses yang dapat terjadi dan dilewati ketikaseseorang
mengalami situasi yang cukup menekan, orang yang
melakukan resiliensi itu akan melewati fase atau tahapan
mengalah, bertahan, pemulihan, dan kemudian terjadi
perrkembangan dengan pesat, overcoming (proses
mengatasi), streering tought (melalui sistem pengendalian),
boucing back, reaching out (tahap penjangkauan).
2.1.7. Resiliensi Dalam Perspektif Islam
Dalam pemahaman ajaran Islam yang
direpresentatifkan Al-qur’an dan Al Hadist konsep resiliensi
berkaitan erat dengan pemaknaan kemampuan dalam
menghadapi tantangan dan ujian dalam kehidupan mutlak
dimiliki seorang manusia. Tantangan dan ujian dalam
kehidupan seringkali silih berganti dalam rangka menguji
keimanan dan ketakwaan seorang hamba kepada Penciptanya.
Bahkan tantangan dan ujian sendiri merupakan bagian
tak terpisahkan dalam penentuan kadar keimanan dan
ketakwaan kepada Allah Swt, sebagaimana difirmankan Allah
Swt dalam Al Qur‟an pada surah Al Baqarah ayat 214:
“Apakah engkau mengira bahwa engkau akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum engkau? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah,
-
sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat” (QS. Al Baqarah [2]: 214).
Perlu pula disadari bahwa ujian dan tantangan bukan
hanya dalam kondisi kesempitan dan kesusahan namun juga
dalam keadaan lapang dan membahagiakan. Hal ini
diisyaratkan dengan jelas pada hadist yang diriwayatkan dari
Suhaib Bin Sinan RA, bahwa Nabi Saw bersabda: “Sungguh
menakjubkan perkaranya orang mukmin. Segala sesuatu yang
terjadi padanya semua merupakan kebaikan. Ini terjadi hanya
pada orang mukmin. Jika mendapat sesuatu yang
menyenangkan dia bersyukur, maka itu kebaikan baginya. Jika
mendapat keburukan dia bersabar, maka itu juga kebaikan
baginya“ (HR. Muslim).
2.2. NAPZA
2.2.1. Definisi NAPZA
Menurut Kemenkes RI tahun (2010) NAPZA adalah zat
yang memengaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian
tubuh orang yang mengonsumsinya. Manfaat maupun risiko
penggunaan NAPZA bergantung pada seberapa banyak,
seberapa sering, cara menggunakannya, dan bersamaan
dengan obat atau NAPZA lain yang dikonsumsi.
Menurut Badan Narkotika Nasional tahun (2004) NAPZA
adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan
adiktif lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila
dikonsumsi menimbulkan perubahan fungsi fisik dan psikis,
serta menimbulkan ketergantungan.
Menurut Farmakologi medis (2006) Narkotika adalah
obat yang dapat menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang
berasal dari daerah Visceral dan dapat menimbulkan efek
stupor (bengong masih sadar namun masih harus di gertak)
serta adiksi.
Menurut Amriel (2008) Narkoba singkatan dari
Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif berbahaya lainnya
adalah bahan atau zat yang jika dimasukan dalam tubuh
-
manusia, baik secara oral atau diminum, dihirup, maupun
disuntikan, dapat mengubah pikiran, suasana hati atau
perasaan, dan perilaku seseorang.
Menurut Hawari (2004) Narkoba singkatan dari
Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif berbahaya adalah
bahan atau zat dimasukan dalam tubuh manusia secara oral
atau diminum, dihirup, maupun disuntikan, dapat mengubah
pikiran, harmonis, yaitu keutuhan suasana hati atau perasaan,
dan perilaku seseorang.
Menurut Dirjosisworo (1986) bahwa pengertian
narkotika adalah Zat yang bisa menimbulkan pengaruh
tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan
kedalam tubuh.
Berdasarkan beberapa definisi diatas tentang definisi
NAPZA dapat disimpulkan dan dipahami NAPZA adalah
Narkotika, Psikotropika, Dan Zat Adiktif yang apabila
dikonsumsi tidak sesuai prosedur dan kebutuhan yang penting
dan panduan yang benar, akan menimbulkan efek
ketergantungan yang mengakibatkan gangguan fisik maupun
psikis.
2.2.2. Jenis–Jenis NAPZA
NAPZA dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika,
psikotropika, dan bahan adiktif lainnya. Tiap jenis dibagi-bagi
lagi ke dalam beberapa kelompok.
1. Narkotika
Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Narkotika adalah
zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat
ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan
dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika memiliki daya
adiksi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga memiliki
-
daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan)
yang sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika inilah yang
menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari
cengkramannya.
Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009, jenis
narkotika dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu narkotika
golongan I, golongan II, dan golongan III.
a. Narkotika golongan I
Narkotika yang paling berbahaya. Daya adiktifnya sangat
tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk
kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu
pengetahuan. Contohnya ganja, heroin, kokain, morfin,
opium, dan lain-lain.
b. Narkotika golongan II
Narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya
adalah petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol,
dan lain-lain.
c. Narkotika golongan III
Narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi
bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya
adalah kodein dan turunannya.
2. Psikotripika
Menurut Undang-Undang No.5 tahun 1997, Psikotropika
adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun
sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku.
Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk
mengobati gangguan jiwa (psyche).
Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997,
psikotropika dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yaitu :
a. Golongan I adalah psikotropika dengan daya adiktif yang
sangat kuat, belum diketahui manfaatnya untuk
-
pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya. Contohnya
adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan STP.
b. Golongan II adalah psikotropika dengan daya adiktif kuat
serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya
adalah amfetamin, metamfetamin, metakualon, dan
sebagainya.
c. Golongan III adalah psikotropika dengan daya adiksi
sedang serta berguna untuk pengobatan dan penelitian.
Contohnya adalah lumibal, buprenorsina, fleenitrazepam,
dan sebagainya.
d. Golongan IV adalah psikotropika yang memiliki daya adiktif
ringan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian.
Contohnya adalah nitrazepam (BK, mogadon, dumolid),
diazepam, dan lain-lain.
3. Bahan Adiktif Lainnya
Golongan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan
psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan.
Contohnya :
a. Rokok
b. Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan
dan menimbulkan ketagihan.
c. Tiner dan zat-zat lain, seperti lem kayu, penghapus cair,
aseton, cat, bensin, yang bila dihisap, dihirup, dan dicium,
dapat memabukkan.
Berdasarkan penjelasan tentang jenis-jenis NAPZA diatas
dapat disimpulkan dan dipahami bahwa NAPZA terbagi dari
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya yang mana pada
porsirnya memiliki efek berbahaya masing-masing apabila
digunakan secara berlebihan.
-
2.2.3. Penyalahgunaan NAPZA
Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun (2009)
Penyalahgunaan NAPZA adalah orang yang menggunakan
narkoba tanpa hak dan wewenang. Penggunaan NAPZA yang
bersifat patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan
lamanya sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan
dan fungsi sosial.
Menurut Jimmy (2015) Penyalahgunaan narkoba adalah
kondisi yang dapat dikatakan sebagai suatu gangguan jiwa,
sehingga pengguna/penderita tidak lagi mampu memfungsikan
diri secara wajar dalam masyarakat bahkan akan mengarah
pada prilaku maladaptif (kecemasan/ketakutan berlebihan).
Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun (2009)
Ketergantungan adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan
untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan
takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama
dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan
secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang
khas.
Menurut pendapat Sumiati tahun (2009)
Ketergantungan terhadap NAPZA dibagi menjadi 2, yaitu
Ketergantungan fisik adalah keadaan bila seseorang
mengurangi atau menghentikan penggunaan NAPZA tertentu
yang biasa ia gunakan, ia akan mengalami gejala putus zat.
Selain ditandai dengan gejala putus zat, ketergantungan fisik
juga dapat ditandai dengan adanya toleransi. Ketergantungan
psikologis adalah suatu keadaan bila berhenti menggunakan
NAPZA tertentu, seseorang akan mengalami kerinduan yang
sangat kuat untuk menggunakan NAPZA tersebut walaupun ia
tidak mengalami gejala fisik.
-
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan dan
dimengerti bahwa penyalahgunaan NAPZA adalah orang yang
menggunakan narkoba tanpa hak dan wewenang, dan akan
menyebabkan ketergantungan pada pengguna.
2.2.4. Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA
Menurut Jahani dan Antoro (2006) ada beberapa faktor
yang menjadi penyebab penyalahgunaan narkotika pada
seseorang. Faktor-faktor penyebab timbulnya penyalahgunaan
narkotika, terdiri dari:
1. Faktor internal, faktor yang mempengruhi individu antara
lain faktor kepribadian. Alasan-alasan yang biasanya berasal
dari diri sendiri sebagai penyebab penyalahgunaan NAPZA
antara lain Keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa
sadar atau berpikir panjang mengenai akibatnya keinginan
untuk bersenang atau gaya keinginan untuk diterima oleh
lingkungan atau kelompok lari dari kebosanan, masalah atau
kesusahan hidup. Selanjutnya dipengaruhi oleh
2. Faktor eksternal atau faktor lingkungan meliputi,
Lingkungan Keluarga, Hubungan ayah dan ibu yang retak,
komunikasi yang kurang efektif antara orang tua dan anak,
Lingkungan Sekola yang kurang disiplin, terletak dekat tempat
hiburan, lingkungan Teman Sebaya - adanya kebutuhan akan
pergaulan teman sebaya mendorong remaja untuk dapat
diterima sepenuhnya dalam kelompoknya.
2.2.5. Dampak Penyalahgunaan NAPZA
Menurut Budianto (1989) dampak atau efek yang
ditimbulkan dari penyalahgunaan narkoba dibedakan menjadi
3, yaitu:
1. Depresan, yaitu menekan sistem sistem syaraf pusat dan
mengurangi aktifitas fungsional tubuh sehingga pemakai
merasa tenang, bahkan bisa membuat pemakai tidur dan
tak sadarkan diri. Bila kelebihan dosis bisa mengakibatkan
-
kematian. Jenis narkoba depresan antara lain opioda, dan
berbagai turunannya seperti morphin dan heroin. Contoh
yang populer sekarang adalah Putaw.
2. Stimulan, merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan
kegairahan serta kesadaran. Jenis stimulan: Kafein, Kokain,
Amphetamin. Contoh yang sekarang sering dipakai adalah
shabu-shabu dan ekstasi.
3. Halusinogen, efek utamanya adalah mengubah daya
persepsi atau mengakibatkan halusinasi. Halusinogen
kebanyakan berasal dari tanaman seperti mescaline dari
kaktus dan psilocybin dari jamurjamuran. Selain itu ada
jugayang diramu di laboratorium seperti LSD. Yang paling
banyak dipakai adalah marijuana atau ganja.
Menurut Badan Narkotika Nasional (2014) dampak
penyalahgunaan narkoba terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Dampak penyalahgunaan narkoba terhadap psikis, lamban
kerja, ceroboh kerja, sering tegang dan gelisah,
kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga, agitatif,
menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal, sulit
berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan, dan,
cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan
bunuh diri.
b. Dampak penyalahgunaan narkoba terhadap lingkungan
sosial yaitu, gangguan mental, anti-sosial dan asusila,
dikucilkan oleh lingkungan, merepotkan dan menjadi beban
keluarga, pendidikan menjadi terganggu, masa depan
suram, dan, tindak kriminalitas
Menurut Budiarta (2000) Dampak penyalahgunaan NAPZA
bagi penggunanya adalah dapat merasakan kecemasan yang
luar biasa, paranoid, delusi formikasi, berperilaku agresi,
memiliki nafsu seksual yang tinggi, dan timbulnya berbagai
penyakit seperti stroke, radang hati, jantung dan sebagainya
hingga menimbulkan kematian. Penyalahgunaan NAPZA dapat
-
disimpulkan bahwa NAPZA dapat merusak dan membahayakan
bagi generasi muda dalam suatu bangsa khususnya bagi anak-
anak dan remaja.
Berdasarkan penjelasan diatas tentang dampak yang
ditimpulkan oleh NAPZA dapat disimpulkan dan dimengerti,
bahwa dampak dari NAPZA berpengaruh terhadap fisik seperti
pada keterlambatan berpikir dan cepat lelah, gangguan
lambung dll, terhadap psikologis yang menganggu contohnya
emosinya, dan sosial tentunya berdampak pada komunikasi
yang tidak berjalan dengan baik antar individu lainnya, dll.
2.2.6. NAPZA Dalam Perspektif Islam
Menurut Imam Adz - Dzahabi bahwa semua benda yang
dapat menghilangkan akal (jika diminum atau dimakan atau
dimasukkan ke badan), baik ia berupa benda padat, ataupun
cair, makanan atau minuman, adalah termasuk khamr, dan
telah diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala sampai hari
kiamat. Allah berfirman, artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan itu agar kamu beruntung. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antaramu lantaran minum khamr dan berjudi, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu mengerjakan perbuatan itu" (Al-Ma'idah: 90-91).
Apabila kita melihat kenyataan yang terjadi di sekitar
kita akan tampak bahwa pemakaian narkoba (narkotika, obat-
-
obat terlarang dan alkohol) ini melahirkan tindak kriminal
yang banyak. Perbuatan jahat seperti mencopet, mencuri,
merampok sampai membunuh dan tindakan amoral seperti
perzinaan, pemerkosaan serta pelecehan seksual lainnya,
tidak sedikit yang diakibatkan pemakaian benda terlaknat
tersebut. Pantaslah jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Jauhilah oleh kalian khamr, karena
sesungguh-nya ia adalah induk segala kejahatan" (HR. Al-
Hakim, dari Ibnu Abbas).
Perbuatan setan adalah hal-hal yang mengarah pada
keburukan, kegelapan, dan sisi-sisi destruktif manusia. Ini
semua bisa dipicu dari khamar (narkoba) dan judi karena bisa
membius nalar yang sehat dan jernih. Khamar (narkoba) dan
judi sangat dekat dengan dunia kejahatan dan kekerasan,
maka menurut al-Qur'an khamar (narkoba) dan judi potensial
memicu permusuhan dan kebencian antar sesama manusia.
Khamar dan judi juga bisa memalingkan seseorang dari
Allah dan shalat. Selain ayat al-Qur'an di atas, juga ada hadits
yang melarang khamar/minuman keras narkoba, yaitu:
"Malaikat Jibril datang kepadaku, lalu berkata, 'Hai
Muhammad, Allah melaknat minuman keras, pembuatnya,
orang-orang yang membantu membuatnya, peminumnya,
penerima dan penyimpannya, penjualnya, pembelinya,
penyuguhnya, dan orang yang mau disuguhi" (HR. Ahmad bin
Hambal dari Ibnu Abbas).
Kemudian hadits yang lainnya: "Setiap zat, bahan atau
minuman yang dapat memabukkan dan melemahkan adalah
khamar, dan setiap khamar haram". (HR. Abdullah bin Umar).
Jelas dari hadits di tersebut khamar (narkoba) bisa
memerosokkan seseorang ke derajat yang rendah dan hina
karena dapat memabukkan dan melemahkan. Untuk itu,
khamar (dalam bentuk yang lebih luas adalah narkoba)
dilarang dan diharamkan.
Sementara itu, orang yang terlibat dalam
penyalahgunaan khamar (narkoba) dilaknat oleh Allah, entah
-
itu pembuatnya, pemakainya, penjualnya, pembelinya,
penyuguhnya, dan orang yang mau disuguhi. Bukan hanya
agama Islam, beberapa agama lain juga mewanti-wanti
(memberi peringatan yang sungguh-sungguh) kepada para
pemeluknya atau secara lebih umum umat manusia, untuk
menjauhi narkoba.
Berdasarkan beberapa penjelasan dan uraian diatas
tentang NAPZA dalam perspektif islam sudah dapat
disimpulkan dan dipahami bahwa semua benda yang dapat
menghilangkan akal, baik ia berupa benda padat, ataupun cair,
makanan atau minuman, adalah termasuk khamr, dan telah
diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala sampai hari kiamat.
2.2.7. Pecandu
2.2.7.1. Definisi Pecandu
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2008) pecandu
adalah pemadat, pengisap candu, dan penggemar.
Menurut pasal 1 angka 13 UU (2003) pecandu adalah
orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika
dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik
secara fisik maupun psikis.
Berdasarkan beberapa definisi diatas tentang definisi
pecandu data disimpulkan bahwa pecandu adalah penggemar
yang menggunakan sesuatu secara berlebihan dan
mengakibatkan ketergantungan pada diri seseorang tersebut.
2.2.8. Pecandu NAPZA
2.2.8.1. Definisi Pecandu NAPZA
Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 pecandu
narkoba adalah orang yang menggunakan atau yang
menyalahgunakan narkoba dan dalam keadaan
ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun
psikis.
Menurut Mustafa (2007) pecandu dikatgorikan korban
yaitu korban dari akibat perbuatannya sendiri atau pelaku
-
sekaligus korban (self victicim). Artinya pmerintah wajib
memberikan layanan medis atau rehabilitasi sesuai standar
sebagaimana amanat UU 2009 tentang narkotika. Pecandu
Narkotika adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun
psikis.
Berdasarkan beberapa definisi diatas tentang penjelasan
pecandu NAPZA dapat disimpulkan dan dipahami bahwa
pecandu narkoba ialah seseorang yang ketergantungan
terhadap narkoba dan berdampak baik secara fisik maupun
psikisnya.
2.2.8.2. Karakteristik Pecandu NAPZA
Menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
422/menkes/sk/iii/ (2010) tentang Pedoman Penatalaksanaan
Medik Gangguan Penggunaan Napza, memberikan gambaran
bagaimana karakteristik / parameter seorang pecandu
narkotika adalah sebagai berikut:
2.2.8.2.1. Ciri - Ciri Fisik Dan Psikologis Pecandu
NAPZA
Ciri-ciri fisik pecandu narkotika antara lain sebagai berikut:
1. Pusing / sakit kepala
2. Berat badan menurun, malnutrisi, penurunan kekebalan
3. Mata terlihat cekung dan merah, muka pucat
4. Bicara cadel
5. Mual
6. Badan panas dingin
7. Sakit pada tulang- tulang dan persendian
8. Sakit hampir pada seluruh bagian badan
9. Mengeluarkan keringat berlebihan.
10. Pembesaran pupil mata
11. Mata berair
12. Hidung berlendir
13. Batuk pilek berkepanjangan
-
14. Serangan panik
15. Ada bekas suntikan atau bekas sayatan di tangan
Sedangkan ciri-ciri Psikologi pecandu narkotika sebagai
berikut:
1. Halusinasi, Pemakai biasanya merasakan dua perasaan
berbeda yang intensitasnya sama kuat. Akibat dari ini
menimbulkan penglihatan-penglihatan bergerak, warna–
warna dan mata pemakai akan menjadi sangat sensitif
terhadap cahaya terang. Berdasarkan eksperimen yang
dilakukan terhadap hewan percobaan, efek hallucinogen ini
mempengaruhi beberapa jenis zat kimia yang
menyebabkan tertutupnya system penyaringa informasi.
2. Paranoid, Penyakit kejiwaan yang biasanya merupakaan
bawaan sejak lahir ini juga dapat ditimbulkan oleh
pengguna narkoba dengan dosis sangat besar pada jangka
waku berdekatan. Pengguna merasa depresi, merasa diintai
setiap saat dan curiga yang berlebihan. Keadaan ini
memburuk bila pengguna merasa putus obat,
menyebabkan kerusakan permanen dalam system saraf
utama. Hasilnya adalah penyakit jiwa kronis dan untuk
menyembuhka membutuhkan waktu sangat lama.
3. Ketakutan pada bentuk-bentuk tertentu, pengguna narkoba
pada masa putus zat memiliki kecenderungan pisikologis
ruang yang serupa diantaranya, Takut melihat cahaya,
mencari ruang sempit dan gelap, takut pada bentuk ruang
yang menekan.
4. Histeria, pengguna cenderung bertingkah laku berlebihan
diluar kesadarannya, ciri-cirinya adalah, berteriak-teriak,
tertawa-tawa diluar sadar, menangis merusak.
Berdasarkan beberapa karakteristik pecandu narkoba yang
dijelaskan diatas dapat disimpulkan dan dipahami pecandu
narkoba memiliki ciri atau karakteristik ditinjau dari segi fisik
dan psikis. Itu semua adalah efek yang disebakan oleh
penyalahgunaan narkoba, Efek ini dapat ditimbulkan dari
berbagai macam jenis narkotika karena pada dasarnya, efek
-
pisikologis dan efek fisik yang ditimbulkan narkotika juga
dipengaruhi oleh pembawaan pribadi dan lingkungan.
2.2.8.3. Pecandu NAPZA Dalam Perspektif Islam
Dalam wacana Islam, ada beberapa ayat Al-Qur’an dan
hadits yang melarang manusia untuk mengkonsumsi minuman
keras dan hal-hal yang memabukkan. Pada orde yang lebih
mutakhir, minuman keras dan hal-hal yang memabukkan bisa
juga dianalogikan (disamakan/diqiaskan) sebagai narkoba.
Waktu Islam lahir dari terik padang pasir lewat Nabi
Muhammad, zat berbahaya yang paling populer memang baru
minuman keras (khamar).
Dalam perkembangan dunia Islam, khamar kemudian
bergesekan, bermetamorfosa dan beranak pinak dalam bentuk
yang makin canggih, yang kemudian lazim disebut narkotika
atau lebih luas lagi narkoba. Untuk itu, dalam analoginya,
larangan mengonsumsi minuman keras dan hal-hal yang
memabukkan, adalah sama dengan larangan mengonsumsi
narkoba.
Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan dari Ummu
Salamah menyebutkan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang dari segala yang memabukkan dan mufattir
(yang membuat lemah)” (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan dari Ibnu
Umar disebutkan yang artinya: “Rasulullah melaknat sepuluh
orang yang terkait dengan khamr: Produsennya (pembuat),
distributornya (pengedar), peminumnya, pembawanya (kurir),
pengirimnya, penuangnya (penyuguh), Penjualnya, pemakan
hasil penjualannya, pembayar dan pemesannya” (HR. Ibnu
Majah dan Al-Tirmidzi).
Berdasarkan dalil-dalil di atas jelaslah, bahwa khamar
(narkoba) bisa memerosokkan seseorang ke derajat yang
-
rendah dan hina karena dapat memabukkan dan melemahkan
dan menjadikan seseorang ketergantungan dan menjadi
seorang pecaandu. Untuk itu, khamar (dalam bentuk yang
lebih luas adalah narkoba) dilarang dan diharamkan.
Sementara itu, orang yang terlibat dalam penyalahgunaan
khamar (narkoba) dilaknat oleh Allah, entah itu pembuatnya,
pemakainya, penjualnya, pembelinya, penyuguhnya,
dandisuguhi.
-
2.3. Kerangka Berpikir Peneliti
Resiliensi Mantan Pecandu Napza
Faktor yang
mempengaruhi
resiliensi:
1. Faktor biologis
2. Faktor
lingkungan
3. Faktor
kepribadian
Menjadikan seseorang yang menjalani
pemulihan dapat bertahan dan
meningkatkan potensi positif yang ada di
dalam dirinya.
Aspek-aspek resiliensi:
1. Pengendalian emosi
2. Pengendalian impuls
3. Optimis
4. Causal analysis
5. Empati
6. Self efficacy
7. Reaching out
Resiliensi