bab ii tinjauan pustaka 2.1. resiliensi 2.1.1. definisi...

27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Resiliensi 2.1.1. Definisi Resiliensi Menurut Desmita (2017) resiliensi adalah daya lentur, ketahanan kemampuan atau kapasitas inasni yang dimiliki seseorang, kelompok, atau masyarakat yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan, dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan, atau mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Menurut Fernanda Rojas (2015) menyatakan resiliensi sebagai kemampuan menghadapi tantangan, resiliensi akan tampak ketika seseorang menghadapi pengalaman yang sulit dan tahu bagaimana menghadapi atau beradaptasi dengannya. Menurut Charney (2014) mendefinisikan resiliensi sebagai proses adaptasi dengan baik dalam situasi trauma, tragedy, atau peristiwa yang dapat menyebabkan stres lainnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa resiliensi bukanlah ciri kepribadian melainkan melibatkan perilaku, pikiran, atau tindakan yang dapat dipelajari oleh siapa saja. Menurut Keye & Pidgeon (2013) resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan individu memilih untuk pulih dari peristiwa kehidupan yang menyedihkan dan penuh tantangan, dengan cara meningkatkan pengetahuan untuk adaptif dan mengatasi situasi serupa yang merugikan di masa mendatang. Menurut Meicherbaum (2008) resiliensi adalah proses interaktif yang melibatkan berbagai karakteristik individu, keluarga, maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas. Menurut Reivich dan Shatte resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.

Upload: others

Post on 06-Feb-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Resiliensi

    2.1.1. Definisi Resiliensi

    Menurut Desmita (2017) resiliensi adalah daya lentur,

    ketahanan kemampuan atau kapasitas inasni yang dimiliki

    seseorang, kelompok, atau masyarakat yang

    memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah,

    meminimalkan, dan bahkan menghilangkan dampak-dampak

    yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan, atau

    mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi

    suatu hal yang wajar untuk diatasi.

    Menurut Fernanda Rojas (2015) menyatakan resiliensi

    sebagai kemampuan menghadapi tantangan, resiliensi akan

    tampak ketika seseorang menghadapi pengalaman yang sulit

    dan tahu bagaimana menghadapi atau beradaptasi dengannya.

    Menurut Charney (2014) mendefinisikan resiliensi

    sebagai proses adaptasi dengan baik dalam situasi trauma,

    tragedy, atau peristiwa yang dapat menyebabkan stres

    lainnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa resiliensi bukanlah ciri

    kepribadian melainkan melibatkan perilaku, pikiran, atau

    tindakan yang dapat dipelajari oleh siapa saja.

    Menurut Keye & Pidgeon (2013) resiliensi didefinisikan

    sebagai kemampuan individu memilih untuk pulih dari

    peristiwa kehidupan yang menyedihkan dan penuh tantangan,

    dengan cara meningkatkan pengetahuan untuk adaptif dan

    mengatasi situasi serupa yang merugikan di masa mendatang.

    Menurut Meicherbaum (2008) resiliensi adalah proses

    interaktif yang melibatkan berbagai karakteristik individu,

    keluarga, maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas.

    Menurut Reivich dan Shatte resiliensi adalah kapasitas untuk

    merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi

    kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola

    tekanan hidup sehari-hari.

  • Menurut Reivich & Shatte (2002) resiliensi merupakan

    kemampuan individu untuk melakukan respon dengan cara

    yang sehat dan produktif ketika berhadapan dengan trauma,

    dimana hal tersebut mengendalikan tekanan hidup sehari-hari.

    Resiliensi menghasilkan dan mempertahankan sikap

    positif untuk digali. Individu dengan resiliensi yang baik

    memahami bahwa kesalahan bukanlah akhir dari

    segalanya. Individu mengambil makna dari kesalahan dan

    menggunakan pengetahuan untuk meraih sesuatu yang lebih

    tinggi. Individu memfokuskan dirinya dan memecahkan

    persoalan dengan bijaksana, sepenuhnya, dan energik.

    Berdasarkan beberapa definisi diatas menurut beberapa

    ahli dapat dipahami dan disimpulkan bahwa resiliensi adalah

    kemampuan untuk bertahan dan menghadapi fase tersulit

    dalam kehidupannya, dan kemampuan positif untuk

    menghadapi suatu permasalahan ataupun kesulitan dalam

    kehidupannya.

    2.1.2. Aspek-Aspek Resiliensi

    Menurut Reivich dan Shatte (2002) ada tujuh kemampuan

    atau aspek-aspek yang membentuk resiliensi, yaitu antara

    lain:

    a. Pengendalian Emosi

    Pengendalian emosi adalah suatu kemampuan untuk tetap

    tenang meskipun berada di bawah tekanan. Individu yang

    mempunyai resiliensi yang baik, menggunakan kemampuan

    positif untuk membantu mengontrol emosi, memusatkan

    perhatian dan perilaku. Mengekspresikan emosi dengan tepat

    adalah bagian dari resiliensi. Individu yang tidak resilient

    cenderung lebih mengalami kecemasan, kesedihan, dan

    kemarahan dibandingkan dengan individu yang lain, dan

    mengalami saat yang berat untuk mendapatkan kembali

    kontrol diri ketika mengalami kekecewaan. Individu lebih

    memungkinkan untuk terjebak dalam kemarahan, kesedihan

  • atau kecemasan, dan kurang efektif dalam menyelesaikan

    masalah.

    b. Kemampuan untuk mengontrol implus

    Kemampuan untuk mengontrol impuls berhubungan

    dengan pengendalian emosi. Individu yang kuat mengontrol

    impulsnya cenderung mempu mengendalikan

    emosinya. Perasaan yang menantang dapat meningkatkan

    kemampuan untuk mengontrol impuls dan menjadikan

    pemikiran lebih akurat, yang mengarahkan kepada

    pengendalian emosi yang lebih baik, dan menghasilkan

    perilaku yang lebih resilient.

    c. Optimis Individu dengan resiliensi yang baik

    Optimis Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu

    yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat

    berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan akan

    masa depan dan dapat mengontrol arah

    kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi lebih sehat dan

    tidak mudah mengalami depresi. Optimis menunjukkan bahwa

    individu yakin akan kemampuannya dalam mengatasi kesulitan

    yang tidak dapat dihindari di kemudian hari. Hal ini

    berhubungan dengan self efficacy, yaitu keyakinan akan

    kemampuan untuk memecahkan masalah dan menguasai

    dunia, yang merupakan kemampuan penting dalam

    resiliensi. Penelitian menunjukkan bahwa optimis dan self

    efficacy saling berhubungan satu sama lain. Optimis memacu

    individu untuk mencari solusi dan bekerja keras untuk

    memperbaiki situasi.

    d. Kemampuan untuk menganalisis penyebab dari

    masalah

    Analisis penyebab menurut Martin Seligman, dkk (Reivich

    dan Shatte, 2002), adalah gaya berpikir yang sangat penting

    untuk menganalisis penyebab, yaitu gaya menjelaskan. Hal itu

  • adalah kebiasaan individu dalam menjelaskan sesuatu yang

    baik maupun yang buruk yang terjadi pada individu. Individu

    dengan resiliensi yang baik sebagian besar memiliki

    kemampuan menyesuaikan diri secara kognitif dan dapat

    mengenali semua penyebab yang cukup berarti dalam

    kesulitan yang dihadapi, tanpa terjebak di dalam gaya

    menjelaskan tertentu. Individu tidak secara refleks

    menyalahkan orang lain untuk menjaga self esteemnya atau

    membebaskan dirinya dari rasa bersalah. Individu tidak

    menghambur-hamburkan persediaan resiliensinya yang

    berharga untuk merenungkan peristiwa atau keadaan di luar

    kontrol dirinya. Individu mengarahkan dirinya pada sumber-

    sumber problem solving ke dalam faktor-faktor yang dapat

    dikontrol, dan mengarah pada perubahan.

    e. Kemampuan untuk berempati

    Beberapa individu mahir dalam menginterpretasikan apa

    yang para ahli psikologi katakan sebagai bahasa non verbal

    dari orang lain, seperti ekspresi wajah, nada suara, bahasa

    tubuh, dan menentukan apa yang orang lain pikirkan dan

    rasakan. Walaupun individu tidak mampu menempatkan

    dirinya dalam posisi orang lain, namun mampu untuk

    memperkirakan apa yang orang rasakan, dan memprediksi apa

    yang mungkin dilakukan oleh orang lain. Dalam hubungan

    interpersonal, kemampuan untuk membaca tanda-tanda non

    verbal menguntungkan, dimana orang membutuhkan untuk

    merasakan dan dimengerti orang lain.

    f. Self efficacy

    Self efficacy adalah keyakinan bahwa individu dapat

    menyelesaikan masalah, mungkin melalui pengalaman dan

    keyakinan akan kemampuan untuk berhasil dalam

    kehidupan. Self efficacy membuat individu lebih efektif dalam

    kehidupan. Individu yang tidak yakin dengan efficacynya

    bagaikan kehilangan jati dirinya, dan secara tidak sengaja

  • memunculkan keraguan dirinya. Individu dengan self efficacy

    yang baik, memiliki keyakinan, menumbuhkan pengetahuan

    bahwa dirinya memiliki bakat dan ketrampilan, yang dapat

    digunakan untuk mengontrol lingkungannya.

    g. Kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan

    Resiliensi membuat individu mampu meningkatkan aspek-

    aspek positif dalam kehidupan. Resiliensi adalah sumber dari

    kemampuan untuk meraih. Beberapa orang takut untuk

    meraih sesuatu, karena berdasarkan pengalaman sebelumnya,

    bagaimanapun juga, keadaan menyulitkan akan selalu

    dihindari. Meraih sesuatu pada individu yang lain dipengaruhi

    oleh ketakutan dalam memperkirakan batasan yang

    sesungguhnya dari kemampuannya.

    Dari beberapa aspek-aspek yang dijelaskan diatas dapat

    dipahami dan disimpulkan bahwa aspek-aspek resiliensi yang

    penting dan perlu diperhatikan ialah pengendalian emosi,

    kemampuan mengontrol implus, optimis individu dengan

    resiliensi yang baik, kemamuan untuk menganalisis penyebab

    dari masalah, kemampuan untuk berempati, self efficacy,

    kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan.

    Sedangkan menurut pendapat Connor & Davidson (2003)

    pada penelitiannya mengidentifikasikan ada lima aspek dari

    resiliensi, yaitu:

    a. Kompetensi personal, standar yang tinggi, dan kegigihan

    b. Percaya kepada diri sendiri, memiliki toleransi terhadap

    afek negatif dan kuat dalam menghadapi tekanan

    c. Penerimaan positif terhadap perubahan dan hubungan

    yang baik dengan orang lain

    d. Pengendalian diri

    e. Pengaruh spiritual

    Berdasarkan beberapa aspek-aspek yang dijelaskan diatas

    dapat dipahami dan disimpulkan bahwa aspek-aspek resiliensi

    yang penting dan perlu diperhatikan ialah pengendalian emosi,

  • kemampuan mengontrol implus, optimis individu dengan

    resiliensi yang baik, kemamuan untuk menganalisis penyebab

    dari masalah, kemampuan untuk berempati, self efficacy,

    kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan, Kompetensi

    personal, standar yang tinggi, dan kegigihan Percaya kepada

    diri sendiri, memiliki toleransi terhadap afek negatif dan kuat

    dalam menghadapi tekanan Penerimaan positif terhadap

    perubahan dan hubungan yang baik dengan orang lain

    pengendalian diri, pengaruh spiritual.

    2.1.3. Faktor-Faktor Terbentuknya Resiliensi

    Grotberg menjelaskan faktor faktor resiliensi yang dapat

    membantu individu mengatasi berbagai adversities, (Grotberg,

    2003), dengan mengelompokkannya menjadi tiga faktor,

    antara lain:

    a. Ekternal support merupakan faktor diluar individu yang

    dapat meningkatkan kemampuan resilien. Grotberg

    menjelaskan bahwa sebagai (I have), yaitu satu atau lebih

    angggota keluarga yang dapat dipercaya dan mencintai

    individu tersebut, satu atau lebih individu di luar keluarga

    yang dapat dipercaya, memiliki batasan bertingkah laku.

    Good role models punya andil besar, Role models yaitu

    orang-orang yang dapat menunjukkan apa yang individu

    harus lakukan seperti informasi terhadap sesuatu dan

    memberi semangat agar individu mengikutinya. Akses

    untuk mendapatkan fasilitas kesehatan, pendidikan dan

    sosial yang dibutuhkan juga penting, selain itu keluarga

    komunitas yang stabil. Selain dukungan dari orang-orang

    terdekat seperti suami, istri, orang tua, dan anak,

    kadangkala seorang individu juga membutuhkan dukungan

    dan cinta dari orang lain yang dianggap mampu

    memberikan kasih sayang yang mungkin tidak dapat

    diperoleh dari orang-orang terdekat.

    b. Faktor Inner Strength (I am), merupakan sesuatu yang

    dimiliki oleh individu yang akan berkembang, sebagaimana

  • Grotberg menjelaskan bahwa kualitas yang dimiliki individu

    dapat dijelaskan sebagai (I am), diantaranya adalah

    kepercayaan diri atas kemampuan pribadi, optimis, disukai

    banyak orang, memiliki keinginan untuk meraih prestasi

    dimasa depan, empati dan kualitas diri lainnya. Faktor I am

    ini merupakan kekuatan yang berasal dari diri individu itu

    sendiri. Seperti tingkah laku, perasaan, dan kepercayaan

    yang terdapat didalam diri seseorang.

    c. Problem Solving (I can), termasuk kemampuan

    memunculkan ide ide baru, mampu menyelesaikan tugas,

    menggunakan humor untuk meredakan ketegangan,

    mampu menyampaikan pemikiran dan perasaan ketika

    berkomunikasi dengan orang lain, mampu menyelesaikan

    berbagai masalah (akademik, pekerjaan, personal dan

    sosial), mampu mengendalikan tingkah laku, serta mampu

    meminta bantuan ketika dibutuhkan, mengukur

    temperamen diri sendiri dan orang lain. Karena itu,

    seseorang yang beresiliensi harus memiliki tiga faktor

    tersebut, yaitu I am, I have dan I can, dan seseorang yang

    hanya memiliki salah satu faktor saja tidak termasuk orang

    yang beresiliensi.

    Berdasarkan beberapa yang dijelaskan diatas tentang

    faktor-faktor yang membentuk resiliensi dalam diri seseorang

    dapat dipahami dan disimpulkan bahwa faktor eksternal (I

    Have), faktor inner strength (I am), dan problem solving ialah

    faktor-faktor yang membentuk resiliensi dalam diri individu.

    2.1.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi

    Menurut pendapat Herman, dkk (2011) mengatakan

    bahwa sumber-sumber resiliensi meliputi beberapa hal sebagai

    berikut:

    a. Faktor kepribadian, meliputi karakteristik kepribadian, self

    efficacy, self-esteem, internal Locus of control, optimisme,

    kapasitas intelektual, konsep diri yang positif, faktor

  • demografi (usia, jenis kelamin, suku), harapan,

    ketangguhan, regulasi emosi, dan sebagainya.

    b. Faktor biologis, Lingkungan awal akan memengaruhi

    perkembangan dan struktur fungsi otak serta sistem

    neurobiologis.

    c. Faktor lingkungan, level lingkungan terdekat meliputi

    dukungan sosial termasuk relasi dengan keluarga dan

    teman sebaya, secure attachment pada ibu, kestabilan

    keluarga, hubungan yang aman dan pasti dengan orang

    tua, dan dukungan sosial dari teman sebaya. Lingkungan

    ini berhubungan dengan tingkat resiliensi. Selanjutnya

    lingkungan yang lebih luas yaitu sistem komunitas seperti

    lingkungan sekolah yang baik, pelayanan masyarakat,

    kesempatan untuk melakukan kegiatan olah raga dan seni,

    faktor-faktor budaya, spiritualitas dan agama serta

    sedikitnya pengalaman yang berkaitan dengan kekerasan,

    berhubungan dengan tingkat resiliensi.

    Menurut Holaday (Southwick, 2001), faktor-faktor yang

    mempengaruhi resiliensi adalah :

    a. Social support, yaitu berupa community support, personal

    support, familial support serta budaya dan komunitas

    dimana individu tinggal.

    b. Cognitive skill, diantaranya intelegensi, cara pemecahan

    masalah, kemampuan dalam menghindar dari menyalahkan

    diri sendiri, kontrol pribadi dan spiritualitas.

    c. Psychological resources, yaitu locus of control internal,

    empati dan rasa ingin tahu, cenderung mencari hikmah dari

    setiap pengalaman serta selalu fleksibel dalam setiap

    situasi.

    Berdasarkan beberapa penjelasan yang dijelaskan diatas

    tentang faktor-faktor yang membentuk resiliensi dapat

    disimpulkan dan dipahami faktor yang mempengaruhi antara

    lain faktor kepribadian, faktor biologis, faktor lingkungan,

    cognitive skill, Psychological resources, social support.

  • 2.1.5. Karakteristik Individu Yang Resiliensi

    Menurut Murphey (2013) karakteristik manusia yang

    memiliki resiliensi tinggi adalah cenderung easygoing dan

    mudah bersosialisasi, memiliki keterampilan berpikir yang baik

    (secara tradisional disebut inteligensi, yang juga meliputi

    keterampilan sosial dan kemampuan menilai sesuatu), memiliki

    orang di sekitar yang mendukung, memiliki satu atau lebih

    bakat atau kelebihan, yakin pada diri sendiri dan percaya pada

    kemampuannya dalam mengambil keputusan serta memiliki

    spiritualitas atau religiusitas.

    Menurut Wolin (1999) terbagi menjadi tujuh karakteristik,

    yang selanjutnya dijelaskan sebagai berikut:

    a. Insight merupakan kemampuan individu untuk dapat

    memahami diri sendiri dan orang lain atau lingkungannya

    yang dapat digunakan untuk menyesuaikan diri dengan

    berbagai situasi. Secara sederhana insight adalah

    kemampuan mental seorang individu untuk dapat bertanya

    dan menjawab dengan jujur.

    b. Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak

    secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam

    hidup seseorang. Selain itu, kemandirian dapat diartikan

    sebagai perilaku seseorang untuk hidup secara mandiri

    tanpa bergantung kepada orang lain.

    c. Hubungan, seorang yang resilien tentunya dapat

    mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung,

    dan berkualitas bagi kehidupan, atau memiliki role model

    yang sehat.

    d. Inisiatif, Individu yang memiliki kemampuan resilien

    bersikap proaktif dan bertanggung jawab atas kehidupan

    dan masalah yang dihadapi. Dalam hal ini individu yang

    resilien selalu berusaha untuk memperbaiki diri ataupun

    meningkatkan kemampuan dirinya.

    e. Kreativitas, dalam hal ini melibatkan kemampuan untuk

    memikirkan berbagai alternatif pilihan, serta konsekuensi

    alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu

  • yang memiliki resilien dapat mempertimbangkan

    konsekuensi dari setiap perilaku yang dipilihnya serta

    membuat keputusan secara benar.

    f. Humor, yakni kemampuan untuk menemukan kebahagiaan

    dalam situasi apapun. Dengan rasa humor, individu yang

    resilien dapat memandang tantangan hidup dengan cara

    yang baru dan lebih ringan.

    g. Moralitas, ditandai dengan keinginan individu untuk dapat

    hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien

    dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan.

    Berdsarkan beberapa karakteristik individu yang resiliensi

    yang sudah dijelaskan dan diuraikan diatas menurut beberapa

    ahli dapat dipahami dan disimpulkan bahwa individu yang

    resilient adalah keterampilan berpikir seseorang yang baik

    dalam artian ia kreatif dan produktif, memiliki humor dan

    moralitas, dan memiliki inisiatif, dan menjalin hubungan sosial

    yang baik dengan lingkungannya.

    2.1.6. Tahapan – Tahapan Resiliensi

    Menurut pendapat Coulson (2006) empat proses yang

    dapat terjadi ketika seseorang mengalami situasi cukup

    menekan yaitu:

    a. Succumbing (mengalah)

    Mepakan istilah untuk menggambarkan kondisi yang

    menurun dimana individu mengalah atau menyerah setelah

    menghadapi suatu ancaman atau kondisi yang menekan. Level

    ini merupakan kondisi ketika individu menemukan atau

    mengalami kemalangan yang terlalu berat bagi mereka.

    Penampakan (outcomes) dari individu yang berada pada

    kondisi ini berpotensi mengalami depresi dan biasanya

    penggunaan narkoba sebagai pelarian, dan pada tataran

    ekstrim dapat menyebabkan individu bunuh diri.

    b. Survival (bertahan)

  • Pada level ini individu tidak mampu meraih atau

    mengembalikan fungsi psikologis dan emosi yang positif

    setelah saat menghadapi tekanan. Efek dari pengalaman yang

    menekan membuat individu gagal untuk kembali berfungsi

    secara wajar (recovery), dan berkurang pada beberapa respek.

    Individu pada kondisi ini dapat mengalami perasaan, perilaku,

    dan kognitif negatif berkepanjangan seperti, menarik diri,

    berkurangnya kepuasan kerja, dan depresi.

    c. Recovery (pemulihan)

    Merupakan kondisi ketika individu mampu pulih kembali

    (bounce back) pada fungsi psikologis dan emosi secara wajar,

    dan dapat beradaptasi terhadap kondisi yang menekan,

    meskipun masih menyisahkan efek dari perasaan yang negatif.

    individu dapat kembali beraktivitas dalam kehidupan sehari-

    harinya, menunjukkan diri mereka sebagai individu yang

    resilien.

    d. Thriving (berkembang dengan pesat)

    Pada kondisi ini individu tidak hanya mampu kembali pada

    level fungsi sebelumnya setelah mengalami kondisi yang

    menekan, namun mereka mampu minimal melampaui level ini

    pada beberapa respek. Proses pengalaman menghadapi dan

    mengatasi kondisi yang menekan dan menantang hidup

    mendatangkan kemampuan baru yang membuat individu

    menjadi lebih baik. Hal ini termanifetasi pada perilaku, emosi,

    dan kognitif seperti, sense of purpose of in life, kejelasan visi,

    lebih menghargai hidup, dan keinginan akan melakukan

    interaksi atau hubungan sosial yang positif.

    Menurut Reivich & Shatte (2002) mengatakan resiliensi

    melewati empat tahapan yaitu antara lain :

    a. Overcoming (proses mengatasi)

    b. Streering tought (melalui sistem pengendalian

    c. Boucing back

    d. Reaching out (tahap penjangkauan)

  • Berdasarkan beberapa penjelasan diatas mengenai tahap-

    tahap resiliensi dapat dipahami dan dapat dipahami empat

    proses yang dapat terjadi dan dilewati ketikaseseorang

    mengalami situasi yang cukup menekan, orang yang

    melakukan resiliensi itu akan melewati fase atau tahapan

    mengalah, bertahan, pemulihan, dan kemudian terjadi

    perrkembangan dengan pesat, overcoming (proses

    mengatasi), streering tought (melalui sistem pengendalian),

    boucing back, reaching out (tahap penjangkauan).

    2.1.7. Resiliensi Dalam Perspektif Islam

    Dalam pemahaman ajaran Islam yang

    direpresentatifkan Al-qur’an dan Al Hadist konsep resiliensi

    berkaitan erat dengan pemaknaan kemampuan dalam

    menghadapi tantangan dan ujian dalam kehidupan mutlak

    dimiliki seorang manusia. Tantangan dan ujian dalam

    kehidupan seringkali silih berganti dalam rangka menguji

    keimanan dan ketakwaan seorang hamba kepada Penciptanya.

    Bahkan tantangan dan ujian sendiri merupakan bagian

    tak terpisahkan dalam penentuan kadar keimanan dan

    ketakwaan kepada Allah Swt, sebagaimana difirmankan Allah

    Swt dalam Al Qur‟an pada surah Al Baqarah ayat 214:

    “Apakah engkau mengira bahwa engkau akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum engkau? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah,

  • sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat” (QS. Al Baqarah [2]: 214).

    Perlu pula disadari bahwa ujian dan tantangan bukan

    hanya dalam kondisi kesempitan dan kesusahan namun juga

    dalam keadaan lapang dan membahagiakan. Hal ini

    diisyaratkan dengan jelas pada hadist yang diriwayatkan dari

    Suhaib Bin Sinan RA, bahwa Nabi Saw bersabda: “Sungguh

    menakjubkan perkaranya orang mukmin. Segala sesuatu yang

    terjadi padanya semua merupakan kebaikan. Ini terjadi hanya

    pada orang mukmin. Jika mendapat sesuatu yang

    menyenangkan dia bersyukur, maka itu kebaikan baginya. Jika

    mendapat keburukan dia bersabar, maka itu juga kebaikan

    baginya“ (HR. Muslim).

    2.2. NAPZA

    2.2.1. Definisi NAPZA

    Menurut Kemenkes RI tahun (2010) NAPZA adalah zat

    yang memengaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian

    tubuh orang yang mengonsumsinya. Manfaat maupun risiko

    penggunaan NAPZA bergantung pada seberapa banyak,

    seberapa sering, cara menggunakannya, dan bersamaan

    dengan obat atau NAPZA lain yang dikonsumsi.

    Menurut Badan Narkotika Nasional tahun (2004) NAPZA

    adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan

    adiktif lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila

    dikonsumsi menimbulkan perubahan fungsi fisik dan psikis,

    serta menimbulkan ketergantungan.

    Menurut Farmakologi medis (2006) Narkotika adalah

    obat yang dapat menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang

    berasal dari daerah Visceral dan dapat menimbulkan efek

    stupor (bengong masih sadar namun masih harus di gertak)

    serta adiksi.

    Menurut Amriel (2008) Narkoba singkatan dari

    Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif berbahaya lainnya

    adalah bahan atau zat yang jika dimasukan dalam tubuh

  • manusia, baik secara oral atau diminum, dihirup, maupun

    disuntikan, dapat mengubah pikiran, suasana hati atau

    perasaan, dan perilaku seseorang.

    Menurut Hawari (2004) Narkoba singkatan dari

    Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif berbahaya adalah

    bahan atau zat dimasukan dalam tubuh manusia secara oral

    atau diminum, dihirup, maupun disuntikan, dapat mengubah

    pikiran, harmonis, yaitu keutuhan suasana hati atau perasaan,

    dan perilaku seseorang.

    Menurut Dirjosisworo (1986) bahwa pengertian

    narkotika adalah Zat yang bisa menimbulkan pengaruh

    tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan

    kedalam tubuh.

    Berdasarkan beberapa definisi diatas tentang definisi

    NAPZA dapat disimpulkan dan dipahami NAPZA adalah

    Narkotika, Psikotropika, Dan Zat Adiktif yang apabila

    dikonsumsi tidak sesuai prosedur dan kebutuhan yang penting

    dan panduan yang benar, akan menimbulkan efek

    ketergantungan yang mengakibatkan gangguan fisik maupun

    psikis.

    2.2.2. Jenis–Jenis NAPZA

    NAPZA dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika,

    psikotropika, dan bahan adiktif lainnya. Tiap jenis dibagi-bagi

    lagi ke dalam beberapa kelompok.

    1. Narkotika

    Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Narkotika adalah

    zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,

    baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan

    penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat

    ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan

    dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika memiliki daya

    adiksi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga memiliki

  • daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan)

    yang sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika inilah yang

    menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari

    cengkramannya.

    Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009, jenis

    narkotika dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu narkotika

    golongan I, golongan II, dan golongan III.

    a. Narkotika golongan I

    Narkotika yang paling berbahaya. Daya adiktifnya sangat

    tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk

    kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu

    pengetahuan. Contohnya ganja, heroin, kokain, morfin,

    opium, dan lain-lain.

    b. Narkotika golongan II

    Narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi

    bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya

    adalah petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol,

    dan lain-lain.

    c. Narkotika golongan III

    Narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi

    bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya

    adalah kodein dan turunannya.

    2. Psikotripika

    Menurut Undang-Undang No.5 tahun 1997, Psikotropika

    adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun

    sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh

    selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan

    perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku.

    Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk

    mengobati gangguan jiwa (psyche).

    Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997,

    psikotropika dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yaitu :

    a. Golongan I adalah psikotropika dengan daya adiktif yang

    sangat kuat, belum diketahui manfaatnya untuk

  • pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya. Contohnya

    adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan STP.

    b. Golongan II adalah psikotropika dengan daya adiktif kuat

    serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya

    adalah amfetamin, metamfetamin, metakualon, dan

    sebagainya.

    c. Golongan III adalah psikotropika dengan daya adiksi

    sedang serta berguna untuk pengobatan dan penelitian.

    Contohnya adalah lumibal, buprenorsina, fleenitrazepam,

    dan sebagainya.

    d. Golongan IV adalah psikotropika yang memiliki daya adiktif

    ringan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian.

    Contohnya adalah nitrazepam (BK, mogadon, dumolid),

    diazepam, dan lain-lain.

    3. Bahan Adiktif Lainnya

    Golongan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan

    psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan.

    Contohnya :

    a. Rokok

    b. Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan

    dan menimbulkan ketagihan.

    c. Tiner dan zat-zat lain, seperti lem kayu, penghapus cair,

    aseton, cat, bensin, yang bila dihisap, dihirup, dan dicium,

    dapat memabukkan.

    Berdasarkan penjelasan tentang jenis-jenis NAPZA diatas

    dapat disimpulkan dan dipahami bahwa NAPZA terbagi dari

    narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya yang mana pada

    porsirnya memiliki efek berbahaya masing-masing apabila

    digunakan secara berlebihan.

  • 2.2.3. Penyalahgunaan NAPZA

    Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun (2009)

    Penyalahgunaan NAPZA adalah orang yang menggunakan

    narkoba tanpa hak dan wewenang. Penggunaan NAPZA yang

    bersifat patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan

    lamanya sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan

    dan fungsi sosial.

    Menurut Jimmy (2015) Penyalahgunaan narkoba adalah

    kondisi yang dapat dikatakan sebagai suatu gangguan jiwa,

    sehingga pengguna/penderita tidak lagi mampu memfungsikan

    diri secara wajar dalam masyarakat bahkan akan mengarah

    pada prilaku maladaptif (kecemasan/ketakutan berlebihan).

    Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun (2009)

    Ketergantungan adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan

    untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan

    takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama

    dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan

    secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang

    khas.

    Menurut pendapat Sumiati tahun (2009)

    Ketergantungan terhadap NAPZA dibagi menjadi 2, yaitu

    Ketergantungan fisik adalah keadaan bila seseorang

    mengurangi atau menghentikan penggunaan NAPZA tertentu

    yang biasa ia gunakan, ia akan mengalami gejala putus zat.

    Selain ditandai dengan gejala putus zat, ketergantungan fisik

    juga dapat ditandai dengan adanya toleransi. Ketergantungan

    psikologis adalah suatu keadaan bila berhenti menggunakan

    NAPZA tertentu, seseorang akan mengalami kerinduan yang

    sangat kuat untuk menggunakan NAPZA tersebut walaupun ia

    tidak mengalami gejala fisik.

  • Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan dan

    dimengerti bahwa penyalahgunaan NAPZA adalah orang yang

    menggunakan narkoba tanpa hak dan wewenang, dan akan

    menyebabkan ketergantungan pada pengguna.

    2.2.4. Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA

    Menurut Jahani dan Antoro (2006) ada beberapa faktor

    yang menjadi penyebab penyalahgunaan narkotika pada

    seseorang. Faktor-faktor penyebab timbulnya penyalahgunaan

    narkotika, terdiri dari:

    1. Faktor internal, faktor yang mempengruhi individu antara

    lain faktor kepribadian. Alasan-alasan yang biasanya berasal

    dari diri sendiri sebagai penyebab penyalahgunaan NAPZA

    antara lain Keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa

    sadar atau berpikir panjang mengenai akibatnya keinginan

    untuk bersenang atau gaya keinginan untuk diterima oleh

    lingkungan atau kelompok lari dari kebosanan, masalah atau

    kesusahan hidup. Selanjutnya dipengaruhi oleh

    2. Faktor eksternal atau faktor lingkungan meliputi,

    Lingkungan Keluarga, Hubungan ayah dan ibu yang retak,

    komunikasi yang kurang efektif antara orang tua dan anak,

    Lingkungan Sekola yang kurang disiplin, terletak dekat tempat

    hiburan, lingkungan Teman Sebaya - adanya kebutuhan akan

    pergaulan teman sebaya mendorong remaja untuk dapat

    diterima sepenuhnya dalam kelompoknya.

    2.2.5. Dampak Penyalahgunaan NAPZA

    Menurut Budianto (1989) dampak atau efek yang

    ditimbulkan dari penyalahgunaan narkoba dibedakan menjadi

    3, yaitu:

    1. Depresan, yaitu menekan sistem sistem syaraf pusat dan

    mengurangi aktifitas fungsional tubuh sehingga pemakai

    merasa tenang, bahkan bisa membuat pemakai tidur dan

    tak sadarkan diri. Bila kelebihan dosis bisa mengakibatkan

  • kematian. Jenis narkoba depresan antara lain opioda, dan

    berbagai turunannya seperti morphin dan heroin. Contoh

    yang populer sekarang adalah Putaw.

    2. Stimulan, merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan

    kegairahan serta kesadaran. Jenis stimulan: Kafein, Kokain,

    Amphetamin. Contoh yang sekarang sering dipakai adalah

    shabu-shabu dan ekstasi.

    3. Halusinogen, efek utamanya adalah mengubah daya

    persepsi atau mengakibatkan halusinasi. Halusinogen

    kebanyakan berasal dari tanaman seperti mescaline dari

    kaktus dan psilocybin dari jamurjamuran. Selain itu ada

    jugayang diramu di laboratorium seperti LSD. Yang paling

    banyak dipakai adalah marijuana atau ganja.

    Menurut Badan Narkotika Nasional (2014) dampak

    penyalahgunaan narkoba terbagi menjadi dua, yaitu:

    a. Dampak penyalahgunaan narkoba terhadap psikis, lamban

    kerja, ceroboh kerja, sering tegang dan gelisah,

    kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga, agitatif,

    menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal, sulit

    berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan, dan,

    cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan

    bunuh diri.

    b. Dampak penyalahgunaan narkoba terhadap lingkungan

    sosial yaitu, gangguan mental, anti-sosial dan asusila,

    dikucilkan oleh lingkungan, merepotkan dan menjadi beban

    keluarga, pendidikan menjadi terganggu, masa depan

    suram, dan, tindak kriminalitas

    Menurut Budiarta (2000) Dampak penyalahgunaan NAPZA

    bagi penggunanya adalah dapat merasakan kecemasan yang

    luar biasa, paranoid, delusi formikasi, berperilaku agresi,

    memiliki nafsu seksual yang tinggi, dan timbulnya berbagai

    penyakit seperti stroke, radang hati, jantung dan sebagainya

    hingga menimbulkan kematian. Penyalahgunaan NAPZA dapat

  • disimpulkan bahwa NAPZA dapat merusak dan membahayakan

    bagi generasi muda dalam suatu bangsa khususnya bagi anak-

    anak dan remaja.

    Berdasarkan penjelasan diatas tentang dampak yang

    ditimpulkan oleh NAPZA dapat disimpulkan dan dimengerti,

    bahwa dampak dari NAPZA berpengaruh terhadap fisik seperti

    pada keterlambatan berpikir dan cepat lelah, gangguan

    lambung dll, terhadap psikologis yang menganggu contohnya

    emosinya, dan sosial tentunya berdampak pada komunikasi

    yang tidak berjalan dengan baik antar individu lainnya, dll.

    2.2.6. NAPZA Dalam Perspektif Islam

    Menurut Imam Adz - Dzahabi bahwa semua benda yang

    dapat menghilangkan akal (jika diminum atau dimakan atau

    dimasukkan ke badan), baik ia berupa benda padat, ataupun

    cair, makanan atau minuman, adalah termasuk khamr, dan

    telah diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala sampai hari

    kiamat. Allah berfirman, artinya:

    "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan itu agar kamu beruntung. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antaramu lantaran minum khamr dan berjudi, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu mengerjakan perbuatan itu" (Al-Ma'idah: 90-91).

    Apabila kita melihat kenyataan yang terjadi di sekitar

    kita akan tampak bahwa pemakaian narkoba (narkotika, obat-

  • obat terlarang dan alkohol) ini melahirkan tindak kriminal

    yang banyak. Perbuatan jahat seperti mencopet, mencuri,

    merampok sampai membunuh dan tindakan amoral seperti

    perzinaan, pemerkosaan serta pelecehan seksual lainnya,

    tidak sedikit yang diakibatkan pemakaian benda terlaknat

    tersebut. Pantaslah jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa

    sallam bersabda: "Jauhilah oleh kalian khamr, karena

    sesungguh-nya ia adalah induk segala kejahatan" (HR. Al-

    Hakim, dari Ibnu Abbas).

    Perbuatan setan adalah hal-hal yang mengarah pada

    keburukan, kegelapan, dan sisi-sisi destruktif manusia. Ini

    semua bisa dipicu dari khamar (narkoba) dan judi karena bisa

    membius nalar yang sehat dan jernih. Khamar (narkoba) dan

    judi sangat dekat dengan dunia kejahatan dan kekerasan,

    maka menurut al-Qur'an khamar (narkoba) dan judi potensial

    memicu permusuhan dan kebencian antar sesama manusia.

    Khamar dan judi juga bisa memalingkan seseorang dari

    Allah dan shalat. Selain ayat al-Qur'an di atas, juga ada hadits

    yang melarang khamar/minuman keras narkoba, yaitu:

    "Malaikat Jibril datang kepadaku, lalu berkata, 'Hai

    Muhammad, Allah melaknat minuman keras, pembuatnya,

    orang-orang yang membantu membuatnya, peminumnya,

    penerima dan penyimpannya, penjualnya, pembelinya,

    penyuguhnya, dan orang yang mau disuguhi" (HR. Ahmad bin

    Hambal dari Ibnu Abbas).

    Kemudian hadits yang lainnya: "Setiap zat, bahan atau

    minuman yang dapat memabukkan dan melemahkan adalah

    khamar, dan setiap khamar haram". (HR. Abdullah bin Umar).

    Jelas dari hadits di tersebut khamar (narkoba) bisa

    memerosokkan seseorang ke derajat yang rendah dan hina

    karena dapat memabukkan dan melemahkan. Untuk itu,

    khamar (dalam bentuk yang lebih luas adalah narkoba)

    dilarang dan diharamkan.

    Sementara itu, orang yang terlibat dalam

    penyalahgunaan khamar (narkoba) dilaknat oleh Allah, entah

  • itu pembuatnya, pemakainya, penjualnya, pembelinya,

    penyuguhnya, dan orang yang mau disuguhi. Bukan hanya

    agama Islam, beberapa agama lain juga mewanti-wanti

    (memberi peringatan yang sungguh-sungguh) kepada para

    pemeluknya atau secara lebih umum umat manusia, untuk

    menjauhi narkoba.

    Berdasarkan beberapa penjelasan dan uraian diatas

    tentang NAPZA dalam perspektif islam sudah dapat

    disimpulkan dan dipahami bahwa semua benda yang dapat

    menghilangkan akal, baik ia berupa benda padat, ataupun cair,

    makanan atau minuman, adalah termasuk khamr, dan telah

    diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala sampai hari kiamat.

    2.2.7. Pecandu

    2.2.7.1. Definisi Pecandu

    Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2008) pecandu

    adalah pemadat, pengisap candu, dan penggemar.

    Menurut pasal 1 angka 13 UU (2003) pecandu adalah

    orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika

    dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik

    secara fisik maupun psikis.

    Berdasarkan beberapa definisi diatas tentang definisi

    pecandu data disimpulkan bahwa pecandu adalah penggemar

    yang menggunakan sesuatu secara berlebihan dan

    mengakibatkan ketergantungan pada diri seseorang tersebut.

    2.2.8. Pecandu NAPZA

    2.2.8.1. Definisi Pecandu NAPZA

    Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 pecandu

    narkoba adalah orang yang menggunakan atau yang

    menyalahgunakan narkoba dan dalam keadaan

    ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun

    psikis.

    Menurut Mustafa (2007) pecandu dikatgorikan korban

    yaitu korban dari akibat perbuatannya sendiri atau pelaku

  • sekaligus korban (self victicim). Artinya pmerintah wajib

    memberikan layanan medis atau rehabilitasi sesuai standar

    sebagaimana amanat UU 2009 tentang narkotika. Pecandu

    Narkotika adalah orang yang menggunakan atau

    menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan

    ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun

    psikis.

    Berdasarkan beberapa definisi diatas tentang penjelasan

    pecandu NAPZA dapat disimpulkan dan dipahami bahwa

    pecandu narkoba ialah seseorang yang ketergantungan

    terhadap narkoba dan berdampak baik secara fisik maupun

    psikisnya.

    2.2.8.2. Karakteristik Pecandu NAPZA

    Menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

    422/menkes/sk/iii/ (2010) tentang Pedoman Penatalaksanaan

    Medik Gangguan Penggunaan Napza, memberikan gambaran

    bagaimana karakteristik / parameter seorang pecandu

    narkotika adalah sebagai berikut:

    2.2.8.2.1. Ciri - Ciri Fisik Dan Psikologis Pecandu

    NAPZA

    Ciri-ciri fisik pecandu narkotika antara lain sebagai berikut:

    1. Pusing / sakit kepala

    2. Berat badan menurun, malnutrisi, penurunan kekebalan

    3. Mata terlihat cekung dan merah, muka pucat

    4. Bicara cadel

    5. Mual

    6. Badan panas dingin

    7. Sakit pada tulang- tulang dan persendian

    8. Sakit hampir pada seluruh bagian badan

    9. Mengeluarkan keringat berlebihan.

    10. Pembesaran pupil mata

    11. Mata berair

    12. Hidung berlendir

    13. Batuk pilek berkepanjangan

  • 14. Serangan panik

    15. Ada bekas suntikan atau bekas sayatan di tangan

    Sedangkan ciri-ciri Psikologi pecandu narkotika sebagai

    berikut:

    1. Halusinasi, Pemakai biasanya merasakan dua perasaan

    berbeda yang intensitasnya sama kuat. Akibat dari ini

    menimbulkan penglihatan-penglihatan bergerak, warna–

    warna dan mata pemakai akan menjadi sangat sensitif

    terhadap cahaya terang. Berdasarkan eksperimen yang

    dilakukan terhadap hewan percobaan, efek hallucinogen ini

    mempengaruhi beberapa jenis zat kimia yang

    menyebabkan tertutupnya system penyaringa informasi.

    2. Paranoid, Penyakit kejiwaan yang biasanya merupakaan

    bawaan sejak lahir ini juga dapat ditimbulkan oleh

    pengguna narkoba dengan dosis sangat besar pada jangka

    waku berdekatan. Pengguna merasa depresi, merasa diintai

    setiap saat dan curiga yang berlebihan. Keadaan ini

    memburuk bila pengguna merasa putus obat,

    menyebabkan kerusakan permanen dalam system saraf

    utama. Hasilnya adalah penyakit jiwa kronis dan untuk

    menyembuhka membutuhkan waktu sangat lama.

    3. Ketakutan pada bentuk-bentuk tertentu, pengguna narkoba

    pada masa putus zat memiliki kecenderungan pisikologis

    ruang yang serupa diantaranya, Takut melihat cahaya,

    mencari ruang sempit dan gelap, takut pada bentuk ruang

    yang menekan.

    4. Histeria, pengguna cenderung bertingkah laku berlebihan

    diluar kesadarannya, ciri-cirinya adalah, berteriak-teriak,

    tertawa-tawa diluar sadar, menangis merusak.

    Berdasarkan beberapa karakteristik pecandu narkoba yang

    dijelaskan diatas dapat disimpulkan dan dipahami pecandu

    narkoba memiliki ciri atau karakteristik ditinjau dari segi fisik

    dan psikis. Itu semua adalah efek yang disebakan oleh

    penyalahgunaan narkoba, Efek ini dapat ditimbulkan dari

    berbagai macam jenis narkotika karena pada dasarnya, efek

  • pisikologis dan efek fisik yang ditimbulkan narkotika juga

    dipengaruhi oleh pembawaan pribadi dan lingkungan.

    2.2.8.3. Pecandu NAPZA Dalam Perspektif Islam

    Dalam wacana Islam, ada beberapa ayat Al-Qur’an dan

    hadits yang melarang manusia untuk mengkonsumsi minuman

    keras dan hal-hal yang memabukkan. Pada orde yang lebih

    mutakhir, minuman keras dan hal-hal yang memabukkan bisa

    juga dianalogikan (disamakan/diqiaskan) sebagai narkoba.

    Waktu Islam lahir dari terik padang pasir lewat Nabi

    Muhammad, zat berbahaya yang paling populer memang baru

    minuman keras (khamar).

    Dalam perkembangan dunia Islam, khamar kemudian

    bergesekan, bermetamorfosa dan beranak pinak dalam bentuk

    yang makin canggih, yang kemudian lazim disebut narkotika

    atau lebih luas lagi narkoba. Untuk itu, dalam analoginya,

    larangan mengonsumsi minuman keras dan hal-hal yang

    memabukkan, adalah sama dengan larangan mengonsumsi

    narkoba.

    Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan dari Ummu

    Salamah menyebutkan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

    sallam melarang dari segala yang memabukkan dan mufattir

    (yang membuat lemah)” (HR. Abu Daud dan Ahmad).

    Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan dari Ibnu

    Umar disebutkan yang artinya: “Rasulullah melaknat sepuluh

    orang yang terkait dengan khamr: Produsennya (pembuat),

    distributornya (pengedar), peminumnya, pembawanya (kurir),

    pengirimnya, penuangnya (penyuguh), Penjualnya, pemakan

    hasil penjualannya, pembayar dan pemesannya” (HR. Ibnu

    Majah dan Al-Tirmidzi).

    Berdasarkan dalil-dalil di atas jelaslah, bahwa khamar

    (narkoba) bisa memerosokkan seseorang ke derajat yang

  • rendah dan hina karena dapat memabukkan dan melemahkan

    dan menjadikan seseorang ketergantungan dan menjadi

    seorang pecaandu. Untuk itu, khamar (dalam bentuk yang

    lebih luas adalah narkoba) dilarang dan diharamkan.

    Sementara itu, orang yang terlibat dalam penyalahgunaan

    khamar (narkoba) dilaknat oleh Allah, entah itu pembuatnya,

    pemakainya, penjualnya, pembelinya, penyuguhnya,

    dandisuguhi.

  • 2.3. Kerangka Berpikir Peneliti

    Resiliensi Mantan Pecandu Napza

    Faktor yang

    mempengaruhi

    resiliensi:

    1. Faktor biologis

    2. Faktor

    lingkungan

    3. Faktor

    kepribadian

    Menjadikan seseorang yang menjalani

    pemulihan dapat bertahan dan

    meningkatkan potensi positif yang ada di

    dalam dirinya.

    Aspek-aspek resiliensi:

    1. Pengendalian emosi

    2. Pengendalian impuls

    3. Optimis

    4. Causal analysis

    5. Empati

    6. Self efficacy

    7. Reaching out

    Resiliensi