bab ii tinjauan pustaka 2.1 pengertian dan karakteristik … ii.pdf · memperbaiki saluran air ke...

Download BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Karakteristik … II.pdf · memperbaiki saluran air ke sawah ... semua pintu air dalam keadaan terbuka terus menerus ... mendapatkan air

If you can't read please download the document

Upload: hoangdung

Post on 06-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • 11

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Pengertian dan Karakteristik Subak

    Pengertian tentang subak relatif beragam. Hal ini akibat dari perbedaan

    pemahaman dan penekanan cara pandang para peneliti tentang subak Sutawan

    (2008). Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 9 Tahun 2012, subak adalah

    organisasi tradisional di bidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat

    usahatani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosio-agraris, religious,

    ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang. Definisi ini

    ditetapkan oleh Gubernur Bali tanggal 17 Desember 2012.

    Sutawan (2008) memberikan beberapa definisi tentang subak, yaitu

    (1) subak sebagai sistem irigasi, selain merupakan sistem fisik juga merupakan

    sistem sosial. Sistem fisik diartikan sebagai lingkungan fisik yang berkaitan erat

    dengan irigasi seperti sumber-sumber air beserta fasilitas irigasi berupa empelan,

    bendung atau dam, saluran-saluran air, bangunan bagi, dan sebagainya, sedangkan

    sistem sosial adalah organisasi sosial yang mengelola sistem fisik tersebut;

    (2) subak sebagai organisasi petani pemakai air yang sawah-sawah para

    anggotanya memperoleh air dari sumber yang sama dan mempunyai satu atau

    lebih Pura Bedugul, serta mempunyai otonomi penuh baik ke dalam (mengurus

    kepentingan rumah tangganya sendiri), maupun ke luar dalam arti kata bebas

    mengadakan hubungan langsung dengan pihak luar secara mandiri; dan (3) subak

    sebagai lembaga irigasi dan pertanian yang bercorak sosio-religius terutama

  • 12

    bergerak dalam pengelolaan air untuk produksi tanaman setahun khususnya padi

    berdasarkan prinsip THK.

    Di samping itu, Geertz (1980) berpendapat bahwa subak selain sebagai

    masyarakat irigasi, subak juga merupakan satu unit perencanaan pertanian, suatu

    badan hukum yang otonom, dan sebuah komunitas yang religius. Goris (1954)

    berpendapat bahwa kira-kira tahun 600 masehi terdapat sistem persawahan yang

    teratur di Bali. Hal ini dibuktikan oleh adanya aungan (terowongan) tempat

    mengalirnya air ke sungai dan selanjutnya ke lahan pertanian. Walaupun

    demikian, belum dapat diungkapkan dengan pasti sejak kapan subak di Bali mulai

    terbentuk.

    Keberadaan subak dapat dilihat pada beberapa prasasti, seperti Prasasti

    Trunyan, Prasasti Sukawana, Prasasti Bebetin, Prasasti Raja Purana. Dalam

    Prasasti Trunyan tertulis bahwa tahun 881 masehi telah dikenal istilah makar aser

    yang berarti pekaseh atau pengurus pengairan. Pada tahun 882 masehi dalam

    Prasasti Sukawana ditemukan istilah huma (sawah) dan perlak (tegalan),

    kemudian dalam Prasasti Bebetin tahun 896 masehi ditemukan istilah undagi

    lancah (tukang pembuat perahu), undagi batu (tukang pembuat batu), dan undagi

    pengarung (tukang membuat terowongan air). Pada masa itu sudah dikenal

    adanya kilan (bangunan pembagi air) yang mengalirkan air masuk ke petakan

    sawah. Tahun 1072 masehi, dalam Prasasti Raja Purana disebutkan telah ada

    pembagian air yang masuk ke petak sawah secara baik dan adil yang berasal dari

    satu sumber (Purwita, 1997).

  • 13

    Menurut Purwita (1997), berdasarkan beberapa prasasti tersebut, secara

    faktual pada tahun 1072 masehi di Bali sudah terbentuk organisasi yang mengatur

    sistem pengairan di sawah beserta segala kegiatan yang dilakukan oleh

    anggotanya yang dikenal dengan nama subak. Pada saat Bali berada di bawah

    naungan Kerajaan Majapahit tahun 1343, diangkat asidahan yang mengkoordinir

    subak-subak yang ada di Bali (sekarang bernama sedahan) dan bertugas mengurus

    pungutan upeti atau tigasana (pajak) pertanian. Di setiap kabupaten dibentuk

    Sedahan Agung yang mengkoordinasikan sedahan-sedahan dalam konteks

    pembinaan subak dan pemungutan pajak pertanian, pada masa pemerintahan

    Belanda di Bali. Selain itu, Belanda juga membagi sawah-sawah menurut tingkat

    kesuburan tanah, sehingga tanah-tanah yang ada di Bali menjadi berklas-klas.

    Pembagian tanah ini ada hubungannya dengan besar kecilnya pajak yang

    dipungut. Pembayaran pajak pertanian dilakukan dalam bentuk uang. Dalam

    upaya mengintensifkan pembayaran pajak, pemerintahan Belanda mengadakan

    pengukuran luas tanah secara pasti yang disebut klasier (klasifikasi). Berdasarkan

    hasil klasifikasi dapat diketahui secara pasti luas sawah maupun tegalan, sehingga

    besarnya pajak dapat ditetapkan.

    Purwita (1997) berpendapat bahwa secara kualitatif subak di Bali

    berkembang. Hal ini antara lain dilihat dari tata organisasi semakin rapi, sehingga

    subak menjadi wahana yang baik bagi usaha pemerintah untuk meningkatkan

    intensifikasi pertanian dan berfungsi membantu pemerintah dalam menyalurkan

    pupuk kepada petani serta sebagai komunikator dalam program siaran perdesaan

    dan sebagai sarana kontak antar petani dengan pemerintah.

  • 14

    Dalam Perda Provinsi Bali No. 9 Tahun 2012 tentang subak, dapat

    diketahui beberapa hal sebagai berikut.

    1. Subak berasaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik

    Indonesia Tahun 1945 dan konsep THK dijiwai Agama Hindu (Pasal 2).

    2. Tujuan subak mencakup: (1) memelihara dan melestarikan organisasi subak;

    (2) mensejahterakan kehidupan petani; (3) mengatur pengairan dan tata

    tanaman; (4) melindungi dan mengayomi petani; dan (5) memelihara serta

    memperbaiki saluran air ke sawah (Pasal 3).

    3. Kedudukan dan fungsi subak di Provinsi Bali sebagai organisasi tradisional

    yang mengayomi masyarakat adat di Bali di bidang pertanian dan pengairan

    (Pasal 7).

    4. Subak sebagai organisasi tradisional mempunyai fungsi: (1) membantu

    pemerintah dalam meningkatkan pembangunan di bidang pertanian;

    (2) melaksanakan hukum adat dan adat istiadat dalam subak; (3) menetapkan

    awig-awig sebagai suatu kesepakatan dalam mengatur kepentingan sosial,

    pertanian, dan keagamaan; (4) membina dan melestarikan nilai-nilai agama

    dan adat istiadat Bali serta tetap menjaga persatuan dan kesatuan anggota

    berdasarkan paras paros segilik seguluk selunglung sebayantaka;

    (5) menjaga, memelihara, mengembangkan, dan memanfaatkan kekayaan

    subak dan prasarana-prasarana irigasi lainnya guna menjamin kelancaran

    tertibnya irigasi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat;

    (6) mengembangkan kemampuan krama subak untuk meningkatkan

    produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan petani; dan (7) menjaga

  • 15

    kelestarian wilayah subak dan lingkungannya dalam rangka pertanian

    berkelanjutan (Pasal 8).

    Subak sebagai organisasi tradisional di Bali memiliki ciri-ciri sebagai

    berikut. (1) Mempunyai prajuru subak (staf pengurus). (2) Mempunyai krama

    subak (anggota subak). (3) Mempunyai wilayah berupa areal persawahan dengan

    batas-batas yang jelas. (4) Mempunyai sumber air irigasi dari sebuah empelan

    (bendungan). (5) Mempunyai satu atau lebih Pura tempat pemujaan Tuhan dalam

    manifestasinya sebagai Dewi Kesuburan. (6) Mempunyai awig-awig (peraturan-

    peraturan dasar). (7) Mempunyai otonomi penuh baik ke dalam (mengurus rumah

    tangganya sendiri) maupun keluar (bebas mengadakan hubungan langsung dengan

    pihak luar). Ketujuh ciri yang dimiliki tersebut dapat menjamin tercapainya tujuan

    subak (Sutawan, 1986).

    Subak sebagai organisasi memiliki struktur organisasi subak yang

    disajikan pada Gambar 2.1.

    Gambar 2.1.

    Bagan Susunan Organisasi Subak yang Memiliki Beberapa Tempek

    Tanpa Status Semiotonom (Sutawan, 2008)

    Penyarikan (Sekretaris)

    Juru raksa/petengen

    (Bendahara)

    Beberapa juru arah

    Krama tempek (anggota tempek). Anggota dari

    semua tempek adalah anggota Subak.

    Pekaseh

    (Ketua Subak)

    Kelian Tempek

    (Ketua Tempek)

  • 16

    Sudarta (2005) berpendapat bahwa subak memiliki beberapa nilai

    tradisional, yaitu (1) nilai kepercayaan yang bersumber pada religi Hindu; (2) nilai

    kerja; (3) nilai kerjasama yang terlihat dalam bentuk gotong royong dan tolong

    menolong; (4) nilai musyawarah mufakat; (5) nilai awig-awig; (6) nilai efisiensi

    dan efektivitas; (7) nilai dewasa-ayu; dan (8) nilai pelestarian alam. Nilai-nilai

    tradisional subak di atas relevan dengan inovasi di bidang pertanian. Bahkan nilai-

    nilai tradisional itu dilaksanakan secara terpadu dengan nilai-nilai modern.

    2.2 Fungsi Subak

    Pengelolaan subak bertujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada

    anggotanya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut pengelola dihadapkan pada fungsi

    dan tugas pokok dalam subak. Fungsi dan tugas yang dilakukan oleh subak dibagi

    atas fungsi internal dan eksternal. Secara eksternal, subak mempunyai fungsi dan

    peranan yang sangat penting dalam pembangunan pertanian dan perdesaan.

    Secara internal, subak mempunyai peranan, fungsi, dan tugas yang sangat penting

    dan mutlak bagi kehidupan organisasi subak maupun anggota-anggotanya dalam

    hubungannya dengan pertanian. Berikut ini diuraikan lima fungsi/aktivitas subak

    menurut Sutawan (2008).

    2.2.1 Pencarian dan distribusi air irigasi

    Sutawan (2008) membedakan pengertian pengalokasian dan

    pendistribusian air irigasi. Pengalokasian air irigasi adalah kegiatan menjatahkan

    atau kegiatan memberikan hak pemanfaatan air yang tersedia kepada setiap

    anggota subak. Di pihak lain, pendistribusian air irigasi adalah penyaluran atau

    pemberian jatah air yang telah ditetapkan itu dari saluran induk sampai kepada

  • 17

    petak sawah tiap anggota agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk produksi

    pangan khususnya beras.

    Sudarsana (1984) mengemukakan bahwa fasilitas irigasi yang dibangun

    subak untuk mendapat air irigasi dari suatu sumber adalah empelan, aungan,

    saluran, dan bangunan fisik lainnya. Air yang telah didapatkan oleh subak

    kemudian didistribusikan ke sawah anggota subak sesuai dengan haknya.

    Hak atas air anggota subak ditentukan berdasarkan luas sawah yang diukur

    dengan tektek atau kecoran. Secara umum, air irigasi satu tektek diberikan untuk

    sawah seluas antara 30 sd 40 are. Satu tektek adalah besarnya air yang mengalir

    melalui penampang dengan lebar sekitar lima cm dan tinggi sekitar satu cm. Satu

    tektek air berarti satu porsi air. Hak air satu tektek menuntut kontribusi tenaga

    kerja (ayahan) sebanyak satu orang tenaga kerja pada setiap kegiatan subak dan

    kontribusi materi atau uang (disebut peturunan) sebesar satu porsi

    (Sutawan, 2008).

    Sutawan (2008) berpendapat bahwa pendistribusian air ke sawah petani

    pada umumnya menggunakan dua metode, yaitu (1) metode pengaliran kontinyu

    (continuous flow) dan (2) metode bergilir. Dalam metode pengaliran kontinyu,

    semua petani mendapatkan air secara serempak pada musim hujan dan musim

    kemarau. Artinya, semua pintu air dalam keadaan terbuka terus menerus

    sepanjang tahun. Sebaliknya, dalam metode bergilir tidak semua anggota subak

    mendapatkan air pada suatu waktu tertentu. Oleh karena itu, dalam metode

    bergilir, wilayah subak dibagi dalam dua atau tiga kelompok persawahan.

  • 18

    Dalam metode bergilir, setiap kelompok persawahan menerima air irigasi

    pada waktu yang berbeda. Apabila wilayah subak dibagi dalam dua kelompok

    persawahan maka pada musim hujan kedua kelompok menerima air irigasi

    (MT Padi I), sedangkan pada musim kemarau untuk MT Padi II: kelompok I

    menanam padi dan kelompok II menanam palawija, kemudian MT III: kelompok I

    menanam palawija dan kelompok II menanam padi. Metode ini disebut nugel

    bumbung (metode bergilir). Apabila persawahan dibagi dalam tiga kelompok

    maka pada musim hujan semua kelompok menerima air irigasi, tetapi pada musim

    kemarau kelompok hulu (persawahan di bagian hulu) berhak menerima air yang

    pertama, kemudian digeser ke kelompok menengah (maongin), dan terakhir

    digeser ke kelompok hilir (ngasep). Dalam beberapa subak, alokasi air dimulai

    dari bagian hilir, kemudian ke bagian tengah, dan terakhir ke bagian hulu

    (Sutawan, 2008).

    Jaringan irigasi subak sudah dikonstruksi sedemikian lengkap seperti

    dalam uraian berikut.

    1. Empelan/buka/free intake (bangunan pengambilan utama) di sumber airnya

    dilengkapi dengan langki atau tanjerig (pembatas aliran banjir).

    2. Telabah (saluran pembawa) untuk mengalirkan air dari bangunan utama yang

    dilengkapi dengan bangunan pelengkap seperti abangan (talang), telepus

    (siphon), petaku (terjunan), pekiyuh (peluap samping).

    3. Aungan (terowongan) yang dilengkapi dengan lubang udara dan lubang

    kontrol, di mana bila lubang tersebut ditempatkan mendatar disebut dengan

    calung dan bila tegak disebut dengan bindu.

  • 19

    4. Bangunan pembagi air dari pembagi utama sampai saluran pembawa di petak

    sawah, yaitu tembuku aya (bangunan bagi utama), tembuku pemaron

    (bangunan bagi), tembuku daanan (bangunan sadap), tembuku pengalapan

    (bangunan pembagi di petak sawah).

    5. Saluran irigasi dari tembuku pemaron disebut dengan telabah pemaron

    (saluran sekunder), sedangkan saluran irigasi yang membawa air dari

    tembuku daanan (bangunan sadap) ke petak sawah disebut dengan telabah

    daanan (saluran tersier).

    6. Telabah pengutangan (saluran pembuangan) yaitu saluran yang berfungsi

    untuk membuang kelebihan air dari petak sawah yang dialirkan kembali ke

    pangkung (lembah alam).

    Berdasarkan sistem saluran irigasi subak seperti diperlihatkan pada

    Gambar 2.2 maka dapat dilihat bahwa saluran irigasi dapat melintasi beberapa

    wilayah administratif. Dengan demikian, keanggotaan subak tidak terbatas dalam

    satu wilayah administratif. Satu lembaga subak keanggotaannya dapat berasal

    lebih dari satu desa adat, kecamatan bahkan kabupaten yang berbeda, sesuai

    dengan wilayah hidrologis dan topografinya. Oleh karena itu, subak dapat

    dikatakan sebagai lembaga yang otonom terlepas dari lembaga desa adat. Namun

    demikian, hubungan antara desa adat dengan subak telah berjalan secara harmonis

    karena masing-masing lembaga dipayungi oleh filosofi ajaran Agama Hindu yang

    sangat mendalam yaitu THK (Sushila, 2006). Jaringan irigasi subak disajikan pada

    Gambar 2.2.

  • 20

    Gambar 2.2.

    Jaringan Irigasi Subak (Sushila, 2006)

    2.2.2 Operasi dan pemeliharaan fasilitas

    Menurut Sutawan (2008), berdasarkan tanggung jawab operasi dan

    pemeliharaan jaringan irigasi, maka subak dapat dibedakan menjadi (1) subak

    yang sepenuhnya dikelola oleh petani, yaitu semua urusan persubakan ditangani

    oleh petani termasuk operasi dan pemeliharaan bendung, jaringan utama, maupun

  • 21

    jaringan tersier dan (2) subak yang dikelola secara patungan, yaitu jaringan utama

    (jaringan primer dan sekunder) dikelola oleh pemerintah, sedangkan jaringan

    tersier oleh subak. Sebagian besar (70%) subak berada dalam katagori yang

    kedua.

    Berdasarkan Peraturan Menteri No. 32/PRT/M/2007 tentang Pedoman

    Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi, operasi jaringan irigasi adalah upaya

    pengaturan air irigasi pada jaringan irigasi yang meliputi penyediaan, pembagian,

    pemberian, penggunaan, pembuangan dan konservasi air irigasi termasuk kegiatan

    membuka dan menutup pintu bangunan irigasi, menyusun rencana tata tanam,

    sistem golongan, menyusun rencana pembagian air, kalibrasi, pengumpulan data,

    pemantauan dan evaluasi. Pengertian pemeliharaan jaringan irigasi adalah upaya

    menjaga dan mengamankan jaringan irigasi agar selalu dapat berfungsi dengan

    baik guna memperlancar pelaksanaan operasi dan mempertahankan kelestariannya

    (Peraturan Menteri No. 32/PRT/M/2007, 2007).

    2.2.3 Mobilisasi sumberdaya dan penggalian dana

    Pada umumnya, sumber dana subak adalah (1) sarin tahun, yaitu iuran

    yang dibayar oleh anggota subak setiap habis panen padi. Sarin tahun umumnya

    dalam bentuk gabah yang besarnya sesuai dengan luas sawah atau hak atas air;

    (2) peturunan, yaitu iuran yang dibayar oleh anggota subak secara insidental

    sesuai dengan kebutuhan subak. Bentuk peturunan dapat berupa uang atau

    material; (3) dedosan atau denda, yaitu pelaku pelanggaran awig-awig didenda

    sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran; (4) pengoot; (5) hasil-hasil yang

    diperoleh dari berbagai kegiatan bisnis yang dilakukan oleh subak, seperti

  • 22

    kontrak/lelang bebek. Lelang bebek yaitu subak mengontrakkan sawahnya sehabis

    panen padi kepada para pengembala itik selama dua minggu; dan (6) bantuan

    pemerintah, yaitu pemerintah membantu subak dalam merehabilitasi sarana dan

    prasarana (Pitana, 1997; Sudarta, 2002; dan Sutawan, 2008).

    Menurut Sudarta dkk. (1989), Pitana (1997), dan Sutawan (2008), dana

    subak yang terkumpul dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan subak, meliputi

    pemeliharaan dan perbaikan fasilitas air irigasi (bendungan, saluran air irigasi, dan

    terowongan), pemeliharaan dan perbaikan pura subak, upacara keagamaan,

    administrasi, rapat-rapat subak, imbalan pengurus subak, dan keperluan-keperluan

    lainnya.

    2.2.4 Penanganan persengketaan/konflik

    Subak sebagai lembaga irigasi sering mengalami konflik terkait dengan air

    irigasi. Di samping itu, konflik juga dapat bersumber pada batas-batas tanah

    sawah, adanya pepohonan di perbatasan sawah yang menaungi sawah orang lain,

    hewan peliharaan yang merusak tanaman orang lain, dan sebagainya

    (Sutawan, 2008).

    Menurut Sutawan (2008), konflik yang tidak dapat diselesaikan secara

    kekeluargaan akan dibawa dalam rapat subak. Umumnya konflik yang terjadi

    tidak sampai menimbulkan benturan fisik dan dapat diselesaikan baik di tingkat

    tempek maupun di tingkat subak.

    2.2.5 Penyelenggaraan kegiatan ritual

    Salah satu keunikan subak dibandingkan dengan organisasi petani pemakai

    air di luar Bali adalah adanya upacara keagamaan dengan frekuensi yang cukup

  • 23

    tinggi. Upacara keagamaan mengikuti siklus kehidupan padi, ada yang dilakukan

    di tingkat petani dan ada pula di tingkat tempek (Sutawan, 2008).

    Menurut Sutawan (2008), upacara keagamaan di tingkat petani adalah

    (1) ngendagin (memasukkan air ke sawah); (2) ngurit (saat menabur benih di

    pembibitan); (3) nuasen (menanam padi); (4) neduh (saat padi berumur 35 hari);

    (5) biyukukung (saat padi bunting); (6) banten manyi (saat mulai panen);

    (7) mantenin (setelah padi disimpan di lumbung). Pada umumnya, upacara

    keagamaan yang dilaksanakan petani di tingkat tempek baik di subak-gede

    maupun non subak-gede adalah (1) mendak toya, yaitu upacara pada saat mulai

    mencari air untuk pertama kalinya sebelum MT padi; (2) mebalik sumpah, yaitu

    upacara yang dilakukan pada saat padi berumur sekitar dua minggu; (3) merebu,

    yaitu upacara dilakukan menjelang panen; (4) ngusaba, yaitu upacara yang

    dilaksanakan setelah selesai panen; (5) nangluk merana, yaitu upacara yang

    dilakukan apabila padi diserang hama dan penyakit yang dipandang

    membahayakan; (6) pakelem, yaitu upacara yang dilakukan sewaktu-waktu

    bergabung dengan subak lain; dan (7) odalan, yaitu upacara yang dilakukan di

    berbagai pura yang disungsung oleh subak.

    Keterikatan dan kekompakan dalam kelompok tani di kawasan subak tidak

    semata-mata karena kepentingan air irigasi, tetapi disebabkan adanya nilai-nilai

    religius yang berkaitan dengan filosofi dan ditaati oleh anggota subak. Semua

    aspek kehidupan anggota subak tidak terlepas dari upacara dan sajen sebagai

    perwujudan doa permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

  • 24

    Nilai-nilai religius inilah yang menyebabkan organisasi subak tetap ajeg sampai

    sekarang (Sutawan, 2008).

    2.3 Optimalisasi Pengelolaan Fungsi Subak

    Subak sebagai suatu organisasi memerlukan manajemen yang baik untuk

    mencapai tujuan. Manajemen adalah seni untuk mencapai hasil yang diinginkan

    secara gemilang dengan sumberdaya yang tersedia bagi organisasi. Manajemen

    suatu organisasi merupakan sederetan fungsi, yaitu meliputi fungsi perencanaan,

    pengorganisasian, pengarahan, pengendalian, dan pengkoordinasian (5P). Untuk

    menopang berhasil tidaknya kelima fungsi tersebut perlu ditambah dua fungsi

    yaitu pengkomunikasian dan pemotivasian. Manajemen sebagai sebuah roda,

    dengan manajer sebagai porosnya. Kelima fungsi manajemen merupakan jari-jari

    yang mempengaruhi langsung ke luar kepada tujuan manajer. Roda manajemen

    melukiskan perlunya memandang manajemen sebagai satu kesatuan, yang

    masing-masing fungsinya terkait pada keterkaitan antar fungsi yang selaras dan

    tumpang tindih satu sama lain. Masing-masing fungsi diperlukan sebagaimana

    jari-jari diperlukan pada roda. Perencanaan menguraikan penetapan program

    khusus untuk mencapai hasil. Pengorganisasian mencakup pemaduan bagian-

    bagian organisasi agar cocok satu sama lain. Pengarahan merupakan daya upaya

    untuk menunjukkan jalan terbaik. Pengkoordinasian menggambarkan usaha-usaha

    untuk memastikan bahwa gigi roda organisasi bertautan dengan lancar.

    Pengendalian berarti pemeriksaan atas tercapai tidaknya tujuan (David dan

    Erickson, 1992).

  • 25

    Motivasi sebagai pemutar atau pengatur kecepatan untuk menjalankan

    fungsi tersebut. Motivasi menimbulkan gerakan sehingga roda dapat bergerak

    maju atau mundur. Motivasi yang baik menghasilkan manajemen yang cekatan,

    efisien, berhasil, dan bergerak menuju sasaran, sedangkan motivasi yang buruk

    dapat mengakibatkan hal yang sebaliknya. Gambar tempat seluruh roda

    manajemen berputar menunjukkan komunikasi. Tanpa komunikasi yang baik roda

    manajemen segera mulai goyang dan mendesit. Bila perhatian tidak diberikan

    cukup cepat maka seluruh roda tampaknya akan pecah (David dan Erickson,

    1992). Perhatian terhadap roda manajemen tersebut perlu dilakukan pula terhadap

    manajemen subak agar subak dapat mencapai tujuannya.

    Subak memiliki sumberdaya yang terbatas untuk dialokasikan ke dalam

    berbagai fungsi/aktivitas subak termasuk aktivitas usahatani di lahan sawah.

    Usahatani merupakan salah satu aktivitas dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya

    subak. Produksi tanaman pangan khususnya padi merupakan produksi utama

    lahan sawah. Sementara itu, komoditi lainnya dapat diusahakan dalam luas lahan

    tertentu yang telah ditetapkan oleh subak. Menurut Doll dan Orazem (1984),

    dalam proses produksi terdapat tiga hubungan dasar sebagai berikut.

    1 Hubungan antara faktor-faktor produksi dengan hasil yang tetap. Hal ini dapat

    digambarkan dengan bentuk isoquant.

    2 Hubungan antara faktor-faktor produksi dengan hasil yang tidak tetap, yang

    digambarkan dengan fungsi produksi (production function).

    3 Hubungan antara produk satu dengan produk yang lain, yang digambarkan

    dengan production possibilities curve (PPC).

  • 26

    PPC merupakan tempat kedudukan kombinasi beberapa komoditas yang

    diusahakan menurut dimensi ruang dan waktu (Arsyad, 1997). Tiga kombinasi

    pada PPC adalah (1) kombinasi komplementer, yaitu peningkatan dari satu

    produk akan menyebabkan peningkatan pada produk yang lain, (2) kombinasi

    suplementer, yaitu peningkatan satu produk tidak meningkatkan produk yang lain

    (tetap), dan (3) kombinasi kompetitif, adalah peningkatan satu produk akan

    menyebabkan penurunan produk yang lain.

    Dalam pengambilan keputusan atas dasar PPC perlu memperhatikan

    konsep opportunity cost. Konsep opportunity cost adalah apabila hendak

    meningkatkan salah satu produk tertentu maka produk yang lain harus dikurangi.

    Menurut Epp dan Malone (1981), maksimisasi profit terjadi pada PPC dengan

    kombinasi kompetitif, karena pada daerah tersebut terjadi persaingan penggunaan

    sumberdaya terbatas. Hubungan antara kombinasi dua produk (output) dari

    sumberdaya (input) yang terbatas dapat dilihat pada Gambar 2.3.

    Gambar 2.3.

    Hubungan antara Dua Output dari Pengalokasian Input yang Terbatas

    (Epp dan Malone, 1981)

    A

    PL

    PPC

    Q1

    Q1*

    0 Q2* Q2

  • 27

    Pengelola yang rasional akan mempertimbangkan setiap titik yang ada

    pada PPC. Pada Gambar 2.3, titik yang berada dibawah PPC mewakili tingkat

    produksi dibawah potensi sumberdaya yang tersedia. Titik singgung (titik A)

    antara PPC dengan garis harga merupakan kombinasi output Q1 dan Q2 yang

    dapat memaksimalkan penerimaan. Garis harga adalah rasio (negatif) antara harga

    Q1 dan Q2. Rasio harga (slope garis harga) yang negatif ini mewakili laju

    pertukaran Q1 dan Q2. Di titik A, pada PPC terjadi tradeoff fisik antara Q1 dan Q2,

    sedangkan garis harga merupakan tradeoff finansial (Darmawan, 2011).

    Berkaitan dengan sumberdaya subak yang terbatas merupakan kendala

    dalam menjalankan beragam fungsi subak maka perlu perencanaan yang matang

    dalam alokasi penggunaan sumberdaya tersebut. Hal ini perlu dilaksanakan agar

    tujuan subak untuk mensejahterakan anggotanya dapat dicapai. Untuk

    memecahkan permasalahan tersebut maka diperlukan optimalisasi pengelolaan

    fungsi/aktivitas subak.

    Keuntungan dari model optimalisasi adalah model mampu

    mengungkapkan dua hal penting dari permasalahan yang dihadapi, yaitu

    (1) penyelesaiannya memberikan nilai-nilai bagi alternatif aktivitas yang

    diperlukan untuk mencapai nilai maksimal atau minimal dari fungsi tujuan, dan

    (2) menunjukkan kendala-kendala yang perlu untuk dilonggarkan guna

    memperbaiki nilai optimal dari fungsi tujuan. Kedua permasalahan ini dapat

    dipecahkan dengan menggunakan program linier (Heady dan Agrawal, 1972;

    Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

  • 28

    Keunggulan program linier dalam optimalisasi pengelolaan fungsi subak

    adalah (1) penyelesaiannya dapat memberikan nilai-nilai bagi alternatif aktivitas

    yang diperlukan untuk mencapai produktivitas maksimal subak, dan

    (2) menunjukkan kendala-kendala yang perlu untuk dilonggarkan untuk

    memperbaiki nilai produktivitas subak. Pengoptimalan penggunaan sumberdaya

    subak dapat menentukan pola pengelolaan fungsi subak yang paling

    menguntungkan dari beberapa alternatif aktivitas yang ada.

    Program linier pada hakekatnya merupakan suatu teknik perencanaan yang

    bersifat analitis. Analisis yang dipakai adalah model matematika, dengan tujuan

    menemukan beberapa kombinasi alternatif pemecahan masalah. Setelah itu

    menemukan beberapa alternatif pemecahan masalah, kemudian dipilih alternatif

    yang terbaik di antaranya dalam rangka menyusun strategi dan langkah-langkah

    lebih lanjut tentang alokasi sumberdaya yang terbatas guna mencapai tujuan yang

    diinginkan secara optimal (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987;

    Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

    Program linier sebagai alat optimasi pertama kali dipakai tahun 1947 oleh

    seorang ahli matematika George Dantzig dalam memecahkan masalah pasokan

    pada Angkatan Udara Amerika Serikat. Metode tersebut dikembangkan untuk

    memecahkan masalah kegiatan-kegiatan di sektor perekonomian yang lebih luas

    seperti di sektor perhubungan, sektor perindustrian, dan sektor lainnya (Heady dan

    Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

  • 29

    2.4 Landasan Teori

    2.4.1 Hubungan fungsi produksi dengan pemograman linier

    Fungsi produksi menunjukkan hubungan teknis antara input dengan

    output. Dalam konsep efisiensi produksi dikenal istilah efisiensi teknik dan

    efisiensi ekonomis. Efisiensi teknik mengacu pada tingkat output maksimum yang

    secara teknik produksi dapat dicapai dari penggunaan kombinasi input tertentu

    dalam proses produksi. Sedangkan efisiensi ekonomis mengacu pada kombinasi

    penggunaan input yang secara ekonomis mampu menghasilkan output tertentu

    dengan biaya yang seminimal mungkin pada tingkat harga input yang berlaku

    (Gaspersz, 2008). Doll dan Orazem (1978) berpendapat bahwa efisiensi ekonomi

    sebagai konsep normatif terjadi jika sumberdaya yang tersedia dialokasikan secara

    optimal dalam proses produksi.

    Dalam kegiatan usahatani, petani anggota subak berhadapan dengan faktor

    produksi yang terbatas. Oleh karena itu, dalam penelitian ini semua fungsi

    diasumsikan berada dalam kondisi linier. Sesuai dengan Hukum Minimum Leibig

    yang menyebutkan bahwa input yang terbatas jumlahnya mempunyai hubungan

    yang linier dengan output. Hal ini berarti kenaikan output proporsional terhadap

    input yang jumlahnya terbatas. Seperti dinyatakan oleh Hartono (1983) bahwa

    petani dengan modal yang terbatas sering dihadapkan dengan fungsi produksi

    linier.

    Menurut Heady dan Agrawal (1972) program linier merupakan suatu

    metode analisis yang secara matematis dapat menurunkan suatu keputusan yang

    optimal bagi pengambilan keputusan dalam rencana ekonomi yang tidak terbatas

  • 30

    pada satu macam kendala saja. Hubungan antara fungsi produksi dengan program

    linier disajikan pada Gambar 2.4.

    Keterangan:

    P1 : aktivitas produksi 1

    P2 : aktivitas produksi 2

    A : output yang dihasilkan oleh P1

    B : output yang dihasilkan oleh P2

    AB : production indifferent curve

    AC : profit indifferent curve

    X1*, X2* : sumberdaya X1 dan X2 yang tersedia

    E : keuntungan maksimum

    Gambar 2.4.

    Hubungan antara Input dengan Berbagai Output (Baumol, 1977)

    Pada Gambar 2.4 (Baumol, 1977) menjelaskan bahwa apabila aktivitas

    produksi 1 (P1) menghasilkan 10 unit Q di titik A dan aktivitas produksi 2 (P2)

    menghasilkan 10 unit Q di titik B maka terbentuk kurva AB yang sering disebut

    production indifferent curve, yaitu merupakan suatu kurva yang menggambarkan

    aktivitas produksi (P1 dan P2) yang dapat menghasilkan produksi sama. Jika satu

    unit Q dapat menghasilkan keuntungan Rp 1,00 pada P1 maka 10 unit Q akan

    menghasilkan keuntungan Rp 10,00. Apabila satu unit Q dapat menghasilkan

    keuntungan Rp 1,25 pada P2 maka untuk menghasilkan keuntungan sebesar

    Rp 10,00 maka P2 harus memproduksi sebesar delapan unit Q. Oleh karena itu

    terbentuk profit indifferent curve (AC), yaitu kurva yang menggambarkan

    E

    P2 A

    B

    X2

    X2*

    0 X1* X1

    P1

    C

  • 31

    keuntungan yang sama dari aktivitas produksi P1 dan P2. Pada Gambar 2.4 dapat

    dilihat bahwa melalui penggunaan input sebesar X1 dan X2 dari sumberdaya yang

    tersedia akan menghasilkan keuntungan maksimum di titik E.

    2.4.2 Prinsip optimasi dalam pengelolaan fungsi subak

    Subak memiliki sumberdaya terbatas dalam menjalankan fungsi-

    fungsinya. Oleh karena itu, salah satu keputusan manajerial yang sangat penting

    adalah alokasi sumberdaya subak yang terbatas. Salah satu metode analisis yang

    baik untuk menyelesaikan persoalan alokasi sumberdaya adalah metode program

    linier (linear programming/LP).

    Dalam analisis program linier dirumuskan suatu hubungan antara input-

    output adalah linier dan koefisien input-output mempunyai nilai penduga tunggal.

    Metode LP dapat digunakan dalam perencanaan ekonomi skala makro karena LP

    memiliki keunggulan-keunggulan tertentu. Keunggulan-keunggulan metode LP

    adalah sebagai berikut.

    1. LP telah berhasil menjadi alat analisis yang berdayaguna tinggi dalam

    perencanaan pembangunan.

    2. LP sebagai alat pembangunan ekonomi lebih realistis.

    3. Metode LP memperhatikan kendala-kendala sumberdaya dan sumberdana

    yang tersedia (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan

    Taha, 1992).

    Selain keunggulan-keunggulan tersebut maka LP juga memiliki

    kelemahan-kelemahan, yaitu sebagai berikut.

    1. Tidak mudah menetapkan fungsi tujuan.

  • 32

    2. Jika fungsi tujuan telah ditetapkan, tidak dengan mudah dapat ditemukan

    adanya berbagai kendala sosial kelembagaan, finansial, dan lainnya yang

    mungkin menghambat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

    3. Berdasarkan tujuan tertentu dan sekumpulan kendala maka mungkin kendala-

    kendala tersebut tidak dapat dinyatakan secara langsung sebagai

    ketidaksamaan linier.

    4. Jika masalah teratasi, masalah pokoknya adalah masalah memperkirakan nilai

    yang relevan dari berbagai koefisien konstan yang masuk ke dalam masalah

    linier.

    5. Bahwa LP didasarkan pada asumsi hubungan linier antara input dan output,

    padahal dalam kenyataan kebanyakan hubungan input-output adalah tidak

    linier.

    6. Teknik ini mengasumsikan adanya persaingan murni dalam produk dan pasar

    faktor produksi, tetapi kompetisi murni bukanlah suatu realita.

    7. Teknik LP didasarkan pada asumsi penerimaan konstan dalam perekonomian,

    sedangkan dalam kenyataan penerimaan itu tidak konstan (Heady dan

    Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

    Selain keunggulan dan kelemahan tersebut maka dalam menggunakan

    LP diperlukan beberapa asumsi, yaitu sebagai berikut.

    1. Linearity artinya fungsi-fungsi tujuan dan batasan-batasan harus berupa suatu

    fungsi linier.

    2. Additivity yaitu nilai tujuan tiap-tiap kegiatan tidak saling pengaruh

    mempengaruhi. Maksud asumsi ini adalah kenaikan nilai tujuan (Z) yang

  • 33

    diakibatkan oleh kenaikan suatu kegiatan dapat ditambahkan tanpa

    mempengaruhi bagian nilai (Z) yang diperoleh dari kegiatan lain.

    3. Proportionality artinya naik turunnya nilai (Z) dan penggunaan sumber atau

    fasilitas yang tersedia akan berubah secara sebanding dengan perubahan

    tingkat kegiatan.

    4. Divisibility artinya baik input maupun output dapat berupa bilangan pecahan.

    5. Non-negativity artinya setiap input, output serta penyelesaian yang dihasilkan

    tidak boleh negatif.

    6. Deterministic (certainty), single value expectation, artinya semua input atau

    koefisien dari aktivitas harus mempunyai nilai tertentu atau pasti (Heady dan

    Agrawal, 1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

    Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam optimalisasi

    penggunaan sumberdaya subak menggunakan metode LP perlu dipertimbangkan

    agar hasilnya secara operasional dapat diterapkan dengan kendala yang dimiliki

    subak, sehingga dapat menghasilkan produktivitas maksimal.

    Langkah-langkah yang diperlukan dalam penyusunan model program

    linier adalah (1) menentukan aktivitas; (2) menentukan sumberdaya;

    (3) menghitung input-output setiap aktivitas (koefisien aktivitas); (4) menentukan

    kapasitas kendala; (5) menyusun model (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian,

    1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

  • 34

    2.4.2.1 Program linier dalam bentuk primal

    Menurut Heady dan Agrawal (1972), Siagian (1987), Mulyono (1991), dan

    Taha (1992), secara umum bentuk matematis model program linier yang

    memaksimalkan fungsi tujuan adalah sebagai berikut.

    I Fungsi tujuan:

    Maksimalkan Z= C1X1 + C2X2 + + CnXn

    II Faktor pembatas:

    a11X1 + a12X2 + + a1nXn < b1

    a21X1 + a22X2 + + a2nXn < b2

    . .

    am1X1 + am2X2 + + amnXn < bm

    Di mana: X1, X2, , Xn > 0

    Dalam bentuk sederhana menjadi:

    I Fungsi tujuan:

    Memaksimalkan Z = n

    j

    jijXC1

    II Faktor pembatas: in

    j

    jij bXa1

    III Aktivitas tidak negatif: Xj > 0 untuk seluruh j.

    Di mana: i = 1, 2, 3, , m (banyaknya faktor pembatas)

    j = 1, 2, 3, , n ( banyaknya aktivitas)

    Keterangan:

    Z : fungsi tujuan yang dimaksimalkan

    C : kontribusi

    Xn : aktivitas-aktivitas

    amn : koefisien input-output dari masing-masing aktivitas

    bm : batas sumberdaya yang tersedia

  • 35

    2.4.2.2 Program linier dalam bentuk dual

    Menurut Heady dan Agrawal (1972), Siagian (1987), Mulyono (1991),

    dan Taha (1992), setiap masalah primal dalam program linier akan diikuti dengan

    masalah dual (kembar). Teori dual dalam programasi linier memegang peranan

    penting terutama untuk analisis sensitivitas.

    Persoalan program linier dalam bentuk:

    Memaksimalkan: Z = CjXj dengan

    Kendala: aijXj bi, untuk i = 1, 2, 3, , m dan

    Xj 0, untuk j = 1, 2, 3, n. Hal ini disebut primal problem,

    sedangkan dualnya adalah: Y0 = bi Yi,

    Dengan syarat: aij Yi Cj untuk j = 1, 2, 3, , n dan

    Yi 0, untuk i = 1, 2, 3, , m.

    Kondisi optimal dari masalah primal merupakan satu-satunya jawaban yang

    feasible bagi permasalahan dual. Oleh karena itu, nilai Z maksimal pada masalah

    primal adalah Y0 minimum pada masalah dual. Jika jawaban optimal masalah

    primal telah ditentukan maka nilai-nilai dual variabelnya (shadow price) dipakai

    untuk mengevaluasi apakah alokasi sumberdaya harus dirubah. Shadow price Yi*

    untuk sumber i menunjukkan berapa harga per unit yang bersedia dibayar untuk

    menaikkan alokasi sumberdaya tersebut (Heady dan Agrawal, 1972; Siagian,

    1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992). Hubungan antara permasalahan primal

    dengan dual suatu program linier oleh Heady dan Agrawal (1972), Siagian (1987),

    Mulyono (1991), dan Taha (1992) digambarkan seperti pada Gambar 2.5.

  • 36

    PRIMAL

    Koefisien

    X1 X2 X3 Xn NK

    D

    U

    A

    L

    K

    o

    e

    f

    i

    s

    i

    e

    n

    Y1 a11 a12 a13 a1n b1 Koefisien

    Y2 a21 a22 a23 a2n b2 Fungsi

    Y3 a31 a32 a33 a3n b3 Tujuan

    . . . . . .

    . . . . . . Minimisasi

    Ym am1 am2 am3 amn bm

    NK C1 C2 C3 Cn

    Koefisien Fungsi Tujuan

    Maksimisasi

    Gambar 2.5.

    Hubungan Primal-Dual dalam Persoalan Program Linier (Heady dan Agrawal,

    1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992)

    Pada Gambar 2.5, bagian mendatar adalah masalah primal dan bagian

    tegak adalah masalah dualnya. Hubungan antara primal-dual adalah sebagai

    berikut.

    1. Parameter di batasan primal (dual) merupakan variabel dual (primal).

    2. Koefisien fungsi tujuan primal (dual) merupakan nilai kanan bagi dual

    (primal).

    3. Jika primal adalah masalah maksimisasi maka dualnya adalah minimisasi atau

    sebaliknya.

    4. Jika masalah primal mempunyai n variabel dan m kendala maka dualnya

    mempunyai m variabel dan n kendala.

    5. Penyelesaian salah satu primal atau dual akan memberikan suatu penyelesaian

    untuk keduanya.

  • 37

    Dual dari masalah primal adalah masalah primal dari dual. Berikut adalah

    hubungan primal-dual dalam persoalan programasi linier (Heady dan Agrawal,

    1972; Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

    Setelah diketahui penyelesaian maksimal dari suatu masalah programasi

    linier maka dilanjutkan dengan analisis sensitivitas yang dapat digunakan untuk

    mendeterminasi pengaruh perubahan nilai koefisien input-output dan sumberdaya

    yang tersedia pada solusi optimal. Menurut Heady dan Agrawal (1972), Siagian

    (1987), Mulyono (1991), dan Taha (1992), analisis sensitivitas terdiri atas dua

    bentuk, yaitu (1) perubahan koefisien biaya (variabel price programming) dan

    (2) perubahan faktor pembatas (variabel resource programming). Lebih jelas

    kedua bentuk analisis ini adalah sebagai berikut.

    1. Variabel price programming. Analisis ini digunakan untuk mendeterminasi

    pengaruh perubahan harga sumberdaya dan aktivitas. Bentuk secara

    matematiknya:

    Memaksimalkan: Z = C X, dengan syarat: Ax B dan X 0

    Di mana: C = c1, c2, c3, , cj1, , cn1 (untuk permasalahan asli)

    C = c1, c2, c3, ,cj1, , cn1 (untuk permasalahan baru)

    C dan C berbeda pada elemen ke-j, di mana j 0 dan Cj = Cj + j

    Maka permasalahan baru menjadi:

    Memaksimalkan Z = CX dengan syarat Ax B dan x 0.

    2. Variabel resource programming. Analisis ini digunakan untuk

    mendeterminasi pengaruh perubahan jumlah sumberdaya yang tersedia.

    Bentuk matematiknya:

    Memaksimalkan: Z = C X dengan syarat: Ax B dan X 0

  • 38

    Di mana: B = b1, b2, , bi, , bm (untuk permasalahan asli)

    B= b1, b2, , bi, , bm (untuk permasalahan baru)

    B dan B berbeda pada elemen ke-i, di mana i 0 atau i 0 dan bi = b + i,

    maka persamaan baru menjadi:

    Memaksimalkan Z = C X dengan syarat: Ax B dan x 0.

    Perubahan yang terjadi setelah dicapainya penyelesaian yang optimal

    terdiri atas beberapa hal sebagai berikut.

    1. Perubahan nilai kanan fungsi batasan. Perubahan ini menunjukkan adanya

    pengetatan atau pelonggaran batasan tersebut. Makin besar nilai kanan suatu

    fungsi batasan, berarti makin longgar dan sebaliknya, semakin ketat batasan

    tersebut bilamana nilai kanan dari fungsi batasan diperkecil.

    2. Perubahan pada koefisien fungsi tujuan. Perubahan ini menunjukkan adanya

    perubahan kontribusi masing-masing produksi terhadap tujuan.

    3. Perubahan pada koefisien teknis fungsi batasan. Koefisien-koefisien yang

    menunjukkan berapa bagian kapasitas sumberdaya yang digunakan oleh satu

    satuan kegiatan. Perubahan terhadap koefisien-koefisien teknis fungsi-fungsi

    tujuan akan mempengaruhi fungsi-fungsi batasan pada dual program sehingga

    akan mempengaruhi penyelesaian optimal.

    4. Menambahkan batasan baru. Penambahan batasan baru akan mempengaruhi

    penyelesaian optimal apabila batasan baru tersebut aktif atau semua

    sumberdaya habis digunakan. Oleh karena itu, tambahan batasan baru dapat

    mempengaruhi penyelesaian optimal.

    Dalam program ini, peningkatan produktivitas dicapai melalui

    pengurangan input yang tidak perlu dan mengurangi sedikit output. Pengurangan

  • 39

    input lebih besar daripada pengurangan output (Heady dan Agrawal, 1972;

    Siagian, 1987; Mulyono, 1991; dan Taha, 1992).

    2.5 Penelitian Terdahulu

    Beberapa hasil penelitian subak terkait dengan penelitian ini adalah

    sebagai berikut.

    Suyatna (1982) meneliti tentang ciri-ciri kedinamisan kelompok sosial

    tradisional di Bali dan peranannya dalam pembangunan. Sistem pertanian di Bali

    berkait erat dengan sistem subak, karena sistem subak mengelola sistem irigasi

    dari sektor pertanian, dan juga mengatur pola dan jadual tanam. Oleh karena itu,

    dapat dikatakan bahwa sistem subak menjadi penunjang utama dari eksistensi

    sektor pertanian. Sistem subak juga memiliki peranan yang sangat nyata dalam

    proses pembangunan nasional. Dengan demikian, untuk menyelamatkan sektor

    pertanian maka sistem subak sangat perlu lebih diberdayakan.

    Windia (2002) meneliti tentang transformasi sistem irigasi subak yang

    berlandaskan Konsep THK. Sistem irigasi subak merupakan teknologi yang

    sepadan bagi anggota subak yang bersangkutan. Sistem irigasi subak bersifat

    memiliki peluang untuk ditransformasi ke wilayah lain, sejauh nilai-nilai

    kesepadanan teknologi yang dimiliki dapat terpenuhi.

    Sarjana (2005) meneliti tentang keberdayaan masyarakat pedesaan dalam

    pelestarian subak di Bali (Kasus Subak Giri Mertha Yoga, Desa Mengani,

    Bangli).

    Budiasa (2005) mendeskripsikan eksistensi institusi subak dengan

    berbagai aktivitasnya baik yang mengelola sistem irigasi permukaan maupun

  • 40

    sistem irigasi pompa air tanah serta menawarkan beberapa konsep pengembangan

    sistem pertanian beririgasi berkelanjutan berbasis sistem subak dan konsep

    perencanaan strategis pengembangan dan penguatan institusi subak.

    Suamba (2005) telah merumuskan pola pengembangan unit usaha pada

    subak yang ditujukan untuk menunjang kemandirian dalam pengelolaan jaringan

    irigasi.

    Sutawan (2005) merumuskan konsep subak lestari/berkelanjutan.

    Kelestarian subak akan terwujud jika (1) kelestarian organisasi subak

    (institutional sustainability); (2) kelestarian jaringan irigasi (technical

    sustainability); (3) kelestarian produksi pangan (economic sustainability);

    (4) kelestarian ekosistem lahan sawah (ecological sustainability); (5) dan

    kelestarian nilai-nilai sosial budaya/ritual keagamaan (socio-cultural

    sustainability); dan kelestarian DAS dan sumberdaya air bagian hulu

    (environmental sustainability) dapat dijaga.

    Telah banyak dilakukan penelitian tentang subak. Di atas telah disajikan

    beberapa penelitian terkait dinamika subak; pemberdayaan subak; transformasi

    sistem irigasi subak; pelestarian subak.

    Penelitian tersebut menggambarkan bagian dari road map kebaruan

    penelitian tentang Optimalisasi Pengelolaan Fungsi Sistem Subak di Daerah

    Irigasi Kedewatan, Provinsi Bali, karena belum pernah dilakukan peneliti

    sebelumnya. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

    kualitatif dan analisis kuantitatif menggunakan programasi linier dengan unit

    analisisnya adalah subak. Penelitian dilakukan dalam satu daerah irigasi.

  • 41

    Di samping itu, road map kebaruan penelitian tentang Optimalisasi

    Pengelolaan Fungsi Sistem Subak di Daerah Irigasi Kedewatan, Provinsi Bali

    disajikan dalam bentuk ontologi, epistemologi, dan aksiologi sebagai berikut.

    1. Ontologi dalam penelitian ini, terdiri atas: (1) pola pengelolaan fungsi subak

    yang optimal; (2) kelestarian sistem subak; (3) sistem subak memiliki peluang

    untuk ditransformasi; dan (4) telah ditemukan indikator dalam

    mentransformasi subak. Dengan demikian, subak dapat dilestarikan.

    2. Epistemologi

    Penelitian Optimalisasi Pengelolaan Fungsi Sistem subak di Daerah Irigasi

    Kedewatan, Provinsi Bali didukung oleh beberapa analisis yang terdiri atas:

    (1) analisis kelayakan usahatani; (2) analisis kebutuhan air irigasi; dan

    (3) analisis program linier.

    3. Aksiologi penelitian ini, terdiri atas: (1) meningkatkan keragaan subak;

    (2) alternatif pola pengelolaan fungsi subak yang selayaknya dilaksanakan

    oleh Subak Lodtunduh dan Subak Padanggalak: (3) alternatif teknik distribusi

    air irigasi yang dapat dilaksanakan berkaitan dengan melestarikan dan

    mentransformasikan subak.