bab ii tinjauan pustaka 2.1 pembangunan ekonomi 2.1 ... - …

66
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1.1 Definisi Pembangunan Ekonomi Pembangunan adalah sebuah proses mencakup berbagai perubahan atas stuktur sosial. Pada hakekatnya pembangunan mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar masyarakatnya untuk bergerak maju menuju suatu suatu kondisi kehidupan yang lebih baik, secara material maupun spiritual, adapun tujuan dari pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengertian dari pembangunan menurut para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, negara satu dengan negara lain. Namun, secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Bratakusumah, 2005). Sedangkan Kartasasmita (1997) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upa ya yang dilakukan secara terencana”. Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh sistem sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya. Menurut Tikson (2005), bahwa pembangunan dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Ekonomi

2.1.1 Definisi Pembangunan Ekonomi

Pembangunan adalah sebuah proses mencakup berbagai perubahan atas

stuktur sosial. Pada hakekatnya pembangunan mencerminkan perubahan total suatu

masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan

keragaman kebutuhan dasar masyarakatnya untuk bergerak maju menuju suatu

suatu kondisi kehidupan yang lebih baik, secara material maupun spiritual, adapun

tujuan dari pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pengertian dari pembangunan menurut para ahli memberikan definisi yang

bermacam-macam. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang

dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, negara satu dengan

negara lain. Namun, secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan

merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Bratakusumah, 2005).

Sedangkan Kartasasmita (1997) memberikan pengertian yang lebih sederhana,

yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang

dilakukan secara terencana”. Pembangunan (development) adalah proses perubahan

yang mencakup seluruh sistem sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur,

pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya.

Menurut Tikson (2005), bahwa pembangunan dapat pula diartikan sebagai

transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

strategi menuju arah yang diinginkan. Sedangkan dalam pengertian ekonomi murni,

pembangunan adalah suatu usaha proses yang menyebabkan pendapatan perkapita

masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno, 1995). Dengan demikian,

proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi,

sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro.

Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress),

pertumbuhan dan diversifikasi. Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di

atas, pembangunan adalah semua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-

upaya secara sadar dan terencana (Riyadi dan Bratakusumah, 2005).

Pembangunan ekonomi merupakan sebuah proses kenaikan pendapatan

secara total dan maksimal, pendapatan perkapita penduduk dengan

memperhitungkan bertambahnya penduduk serta adanya perubahan yang

fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi

penduduk dalam jangka panjang. Secara ringkas, pembangunan ekonomi juga dapat

diartikan sebagai proses yang menyebabkan pendapatan perkapita suatu penduduk

dalam sebuah negara meningkat dalam jangka panjang.

Menurut Suryana (2000), pembangunan ekonomi sebagai proses multi

dimensional yang mencakup segala aspek dan kebijaksanaan yang komprehensif

baik ekonomi maupun non ekonomi. Selanjutnya Suryana menyatakan ada empat

model pembangunan, yaitu model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada

pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, penghapusan kemiskinan dan model

pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar. Menurut

Tarigan (2005), orientasi pembangunan ekonomi Indonesia lebih menekankan pada

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

pertumbuhan (growth) dan mengurangi ketimpangan antara desa dan kota.

Ekonomi pedesaan tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional

akibat dari wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran dari arus

komoditas primer dari pedesaan, sehingga sering terjadi kebocoran wilayah yang

merugikan pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri.

2.1.2 Teori Transformasi Struktural

Struktur perekonomian suatu negara dapat dibagi dalam tiga sektor, yaitu 1)

Sektor pertainan atau sektor primer; 2) Sektor industri atau sekunder; dan 3) Sektor

jasa atau tersier. Berdasarkan pengalaman sejarah di negara-negara maju, terlihat

bahwa tahap awal pembangunan ekonomi di negara tersebut kontribusi sektor

pertanian sangat dominan, namun akan terus mengalami penurunan sampai pada

tahap tertentu. Peran dominan sektor pertanian ini akan digantikan oleh sektor

industri atau jasa. Fenomena perubahan seperti ini disebut sebagai proses

transformasi struktural (Todaro dan Smith, 2011). Selanjutnya transformasi

struktural menurut Todaro dan Smith mengatakan proses perubahan struktural

dimana peranan kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional lebih

rendah dibandingkan dengan kontribusi sektor manufaktur/industri atau dengan

kata lain terjadi pergeseran peran sektor pertanian ke sektor industri. Teori

perubahan struktural (structural change theory) memusatkan perhatian pada

transformasi struktur ekonomi dari pola pertanian yang tradisional ke struktur yang

lebih modern serta memiliki sektor industri manufaktur dan sektor jasa-jasa yang

tangguh. Aliran pendekatan struktural ini didukung oleh W. Arthur Lewis yang

terkenal dengan model teoritisnya tentang “surplus tenaga kerja dua sektor” (two

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

sector surplus labor) dan Chenery yang sangat terkenal dengan analisis empirisnya

tentang “pola-pola pembangunan” (patterns of development).

Teori pola pembangunan Chenery memfokuskan terhadap perubahan

struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan struktur institusi

dari perkonomian negara sedang berkembang, yang mengalami transformasi dari

pertanian tradisional beralih ke sektor industri sebagai roda penggerak ekonomi.

Penelitian yang dilakukan Chenery tentang transformasi struktur produksi

menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita,

perekonomian suatu negara akan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor

pertanian menuju ke sektor industri (Todaro dan Smith, 2011).

Salah satu karakteristik dalam pembangunan ekonomi adalah pergeseran

jangka panjang populasi dan produksi dari sektor pertanian menjadi sektor industri

dan sektor jasa. Menurut Lewis, dalam perekonomian yang terbelakang ada 2 (dua)

sektor, yaitu sektor pertanian dan sektor industri manufaktur. Sektor pertanian

adalah sektor tradisional dengan marjinal produktivitas tenaga kerjanya nol.

Dengan kata lain, apabila tenaga kerjanya dikurangi tidak akan mengurangi output

dari sektor pertanian. Sektor industri modern adalah sektor modern dan output dari

sektor ini akan bertambah bila tenaga kerja dari sektor pertanian berpindah ke sektor

modern ini. Dalam hal ini terjadi pengalihan tenaga kerja, peningkatan output dan

perluasan kesempatan kerja. Masuknya tenaga kerja ke sektor modern akan

meningkatkan produktivitas dan meningkatkan output.

Teori struktural sendiri mengacu pada teori pembangunan yang

disampaikan oleh Arthur Lewis, pembahasannya lebih pada proses pembangunan

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

antara daerah kota dan desa, diikuti proses urbanisasi antara kedua tempat tersebut.

Selain itu, teori ini juga mengulas model investasi dan sistem penetapan upah pada

sistem modern yang juga berpengaruh pada arus urbanisasi yang ada. Lewis

mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi

dua, yaitu sebagai berikut.

1) Perekonomian tradisional, Lewis berasumsi bahwa daerah pedesaan dengan

perekonomian tradisional mengalami surplus tenaga kerja. Surplus tersebut erat

kaitannya dengan basis utama perekonomian tradisional. Kondisi masyarakat

berada pada kondisi subsiten akibat perekonomian yang subsisten pula yang

ditandai nilai produk marginal dari tenaga kerja yang bernilai nol. Kondisi ini

menunjukkan bahwa penambahan tenaga kerja justru akan mengurangi total

produksi yang ada, sebaliknya dengan mengurangi tenaga kerja justru tidak

mengurangi total produksi yang ada. Dengan demikian, nilai upah riil

ditentukan oleh nilai rata-rata produk marginal, dan bukan produk marginal dari

tenaga kerja itu sendiri; dan

2) Perekonomian industri, Sektor industri berperan penting dalam sektor ini dan

letaknya pula di perkotaan. Pada sektor ini menunjukkan bahwa tingkat

produktivitas sangat tinggi termasuk input dan tenaga kerja yang digunakan.

Nilai marginal terutama tenaga kerja, bernilai positif dengan demikian daerah

perkotaan merupakan tempat tujuan bagi para pencari kerja dari daerah

pedesaan. Jika ini terjadi maka penambahan tenaga kerja pada sektor-sektor

industri akan diikuti pula oleh peningkatan output yang diproduksi. Dengan

demikian, industri perkotaan masih menyediakan lapangan pekerjaan bagi

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

penduduk desa. Selain lapangan kerja yang tersedia tidak kalah menarik tingkat

upah di kota dan ini kemudian menjadi ketertarikan bagi penduduk desa dalam

melakukan urbanisasi.

Rangkaian proses pertumbuhan berkesinambungan atas sektor modern dan

perluasan kesempatan kerja, diasumsikan akan terus berlangsung sampai semua

surplus tenaga kerja pedesaan diserap habis oleh sektor industri. Selanjutnya,

tenaga kerja tambahan yang berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian

dengan biaya yang lebih tinggi karena hal tersebut pasti akan mengakibatkn

merosotnya produksi pangan. Hanya penurunan rasio tenaga kerja terhadap tanah

secara drastis sajalah yang akan mampu membuat produk marjinal tenaga kerja desa

menjadi tidak sama dengan nol. Dengan demikian, tingkatr upah serta kesempatan

kerja disektor modern terus mengalami pertumbuhan, maka kemiringan kurva

penawaran tenaga kerja bernilai positif. Transformasi struktural perekonomian

itupun pada akhirnya pasti beralih dari perekonomian pertanian tradisional yang

berpusat di daerah pedesaan menjadi sebuah perekonomian industri modern yang

berorientasikan kopada pola kehidupan perkotaan.

Proses transformasi struktural tersebut ditandai dengan perubahan struktur

ekonomi yang dicerminkan oleh perubahan kontribusi sektoral (shift-share) di

dalam pendapatan nasional. Proses transformasi struktural itu sendiri dapat

dikelompokkan dalam empat proses utama, yaitu (1) proses akumulasi, (2) proses

alokasi, (3) proses distribusi, dan (4) proses demografis (Stimson et al., 2006).

Perubahan struktur perekonomian dapat dilihat dari besarnya sumbangan masing-

masing sektor terhadap pendapatan nasional. Dari sumbangan masing-masing

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

sektor tersebut, perekonomian dapat dibagi menjadi tiga komponen, perekonomian

dengan struktur primer atau agraris, perekonomian dengan struktur sekunder atau

industri, dan perekonomian dengan struktur tersier atau jasa (Hidayat, 2004).

Pembangunan harus dapat menghasilkan perubahan struktural yang

seimbang yang tidak menimbulkan ketimpangan antar sektor perekonomian dan

membentuk perekonomian yang sehat yaitu perekonomian yang mampu menjaga

kesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Gie, 2002).

Pembangunan harus dapat menghasilkan perubahan struktural yang seimbang,

sehingga perubahan pada sektor yang satu akan digantikan oleh sektor yang lainnya

yang dapat memberikan keuntungan. Apabila perubahan struktural terus terjadi

pada perekonomian, akan tetapi perubahan yang terjadi menghasilkan adanya

ketimpangan antarsektor yang kemudian. Menumbuhkan struktur ekonomi yang

rapuh, struktur ekonomi yang dapat dengan mudah dipengaruhi perubahan-

perubahan yang terjadi di suatu sektor tanpa dapat digantikan oleh sektor lainnya.

Perubahan struktural melibatkan pergeseran utama antara sektor yang

membuat sisi output pada persamaan fungsi produksi. Salah satu pola yang jelas

dalam perubahan struktur perekonomian adalah sejalan dengan meningkatnya

pendapatan perkapita, kontribusi (share) sektor industri terhadap pembentukan

produk domestik bruto juga meningkat (Gillis et al., 1987). Syrquin (1988),

menyebutkan struktur yang sering digunakan dalam pembangunan dan sejarah

ekonomi mengacu pada pentingnya sektor-sektor perekonomian dalam hal produksi

dan faktor-faktor yang digunakan. Industrialisasi disebut sebagai pusat proses dari

perubahan struktural.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Dalam hal ini (struktur sebagai komposisi dari agregat) perubahan struktur

juga diterapkan pada agregat lainnya yang telah membawa proses industrialisasi

seperti permintaan (demand) dan perdagangan. Proses yang saling berhubungan

dari perubahan struktur yang menemani pembangunan ekonomi sering disebut

transformasi struktural (structural transformation), seperti apa yang dikatakan

Hollis Chenery (Annaf, 2011) yang menyarankan adanya perubahan struktur

produksi, yaitu pergeseran dari produksi barang pertanian ke produksi barang

industri pada saat pendapatan per kapita meningkat. Model ini menyatakan bahwa

peningkatan tabungan dan investasi perlu tetapi tidak harus cukup (necessary but

not sufficient condition) untuk memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi.

Pola ini juga menyaratkan bahwa selain akumulasi modal fisik dan manusia,

diperlukan pula himpunan perubahan yang saling berkaitan dalam struktur

perekonomian suatu negara untuk terselenggaranya perubahan dari sistem ekonomi

tradisional ke sistem ekonomi modern. Perubahan struktur ini melibatkan seluruh

fungsi ekonomi termasuk tranformasi produksi dan perubahan dalam komposisi

permintaan konsumen, perdagangan internasional serta perubahan-perubahan

sosial-ekonomi seperti urbanisasi, pertumbuhan dan distribusi penduduk.

2.1.3 Pembangunan Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi

Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan

sosial, implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan

kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk

mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik,

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan, pertumbuhan dan perubahan

(Iqbal dan Sudaryanto, 2008).

Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher dalam

Bustanul (2005), yang berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan tentang

syarat pokok dan syarat dalam mempelancar pembangunan pertanian. Adapun

syarat pokok pembangunan pertanian, meliputi sebagai berikut.

1) Adanya pasar untuk hasil-hasil usaha tani. Pembangunan pertanian akan

meningkatkan produksi hasil-hasil usahanya tentu diperlukan pasar untuk

diperjualbelikan, tentu harapan dari petani adalah harga yang cukup tinggi

untuk menutupi biaya-biaya dan tenaga yang telah dikeluarkan oleh para petani

sewaktu memproduksinya. Dalam memasarkan hasil-hasil produk pertanian

tersebut diperlukan adanya permintaan (demand) akan hasil-hasil pertanian,

sistem pemasaran, dan kepercayaan para petani pada sistem pemasaran.

Keadaan ini dapat tercapai dengan adanya daya beli dari konsumen terhadap

hasil pertanian, serta kebijakan pemerintah (perdagangan) yang mendukung.

Khususnya kebijakan perdagangan internasional seperti ekspor dan impor,

kedua kebijakan ini akan mempengaruhi struktur, komposisi dan arah transaksi

serta kelancaran usaha untuk peningkatan devisa negara dari hasil pertanian;

2) Teknologi yang senantiasa berkembang. Teknologi pertanian adalah tata cara

petani bertani. Di dalamnya termasuk cara-cara bagaimana para petani

menyebarkan benih, memelihara tanaman, dan mengolah hasil pertanian serta

memeliharanya, termasuk pula di dalamnya membeli benih, pupuk, obat-

obatan, alat-alat yang digunakan dalam mengolah lahan pertanian dan sumber-

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

sumber tenaga. Pengembangan teknologi juga dapat mendukung diversifikasi

pertanian sebagai suatu usaha yang komplek dan luas untuk meningkatkan

perekonomian pertanian melalui penganekaragaman komoditas barang

pertanian pada produksi yang subsistem, konsumsi dan distribusi pada tingkat

usaha tani regional maupun nasional;

3) Tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal.

Pembangunan pertanian memerlukan tersedianya bahan-bahan dan alat-alat

produksi di berbagai tempat dalam jumlah yang cukup banyak untuk memenuhi

keperluan tiap petani untuk mengolah lahan pertaniannya dengan

mendayagunakan alat-alat produksi lokal dan adanya akses yang mudah

produksi dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien;

4) Adanya perangsang produksi bagi petani. Faktor perangsang utama yang

membuat petani bergairah untuk meningkatkan produksinya adalah yang

bersifat ekonomis. Faktor tersebut antara lain adalah harga hasil produksi

pertanian yang menguntungkan, pembagian hasil yang wajar, serta tersedianya

barang-barang dan jasa yang ingin dibeli oleh para petani untuk memenuhi

kebutuhan keluarganya;

5) Tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinyu. Tanpa pengangkutan

yang efisien dan murah, keempat syarat mutlak lainnya tidak dapat berjalan

secara efektif, karena produksi pertanian harus tersebar luas. Oleh karena itu

diperlukan suatu jaringan pengangkutan yang bercabang luas untuk membawa

bahan-bahan perlengkapan produksi ke tiap usaha tani dan membawa hasil

usaha tani ke konsumen di kota-kota besar dan kecil untuk didistribusikan. Bagi

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

hasil pertanian, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pasar, ifrastruktur jalan

yang memadai, serta jaminan keamanaan produk pertanian selama proses

distribusi sangat menentukan kesegaran dan kondisi produk pertanian.

Menurut Mosher (1991), ada lima syarat lagi yang meskipun tidak mutlak

adanya, namun akan sangat memperlancar pembangunan pertanian. syarat-syarat

atau sarana pelancar tersebut, adalah sebagai berikut.

1) Pendidikan Pembangunan di sini di titik beratkan pada pendidikan non formal

yaitu beruapa kursus-kursus, latihan-latihan, dan penyuluhan-penyuluhan.

Pendidikan pembangunan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produkivitas

petani;

2) Kredit Produksi, petani dalam mengolah lahan pertanian diperlukan biaya,

karena itu lembaga-lembaga prekreditan yang memberikan kredit produksi

kepada para petani merupakan suatu faktor pelancar yang penting bagi

pembangunan pertanian;

3) Kegiatan gotong royong petani digunakan secara berkelompok dan bersifat

informal, hal ini didapatkan dari rasa kebersamaan dan rasa memiliki;

4) Perbaikan dan perluasan tanah pertanian. Ada dua cara tambahan untuk

mempercepat pembangunan pertanian yaitu pertama, memperbaiki mutu tanah

yang telah menjadi usaha tani, misalnya dengan pupuk, irigasi, dan pengaturan

pola tanam. Kedua, mengusahakan tanah baru, misalnya pembukaan petak-

petak sawah baru; dan

5) Perencanaan nasional pembangunan pertanian merupakan proses memutuskan

apa yang hendak dilakukan Pemerintah mengenai tiap kebijaksanaan dan

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

kegiatan yang mempengaruhi pembangunan pertanian selama jangka waktu

tertentu.

Pembangunan pertanian dapat dilakukan dengan baik jika unsur-unsur yang

ada pada pembangunan pertanian dilakukan berkesinambungan. Menurut Algamari

(2011), unsur pertama pembangunan pertanian adalah proses produksi, yaitu suatu

kegiatan yang dilakukan untuk mengubah output menjadi input dengan tujuan

menambah nilai guna dari produk tersebut. Unsur kedua adalah petani atau

pengusaha, sebagai manusia yang berusaha mengatur dan mengusahakan

pertumbuhan tanaman serta lingkungan agar dapat memenuhi kebutuhan manusia.

Peran petani adalah sebagai penggarap dan manajer yang mempengaruhi

pertumbuhan tanaman sehingga pertumbuhan tersebut menjadi lebih sesuai dengan

kemauan dan kebutuhan manusia. Unsur ketiga adalah usaha tani, yaitu pengolahan

suatu tanaman atau membudidayakan tanaman yang memanfaatkan sumberdaya

alam sebagai inputnya yang bertujuan untuk menghasilkan suatu hasil yang

menguntungkan secara efektif dan efisien. Pembangunan pertanian menurut Lynn

(2003), adalah bagian utuh dari pembangunan. Industri harus menyediakan barang

untuk petani. Lapangan kerja non pertanian perlu untuk mempertahankan keluarga

di daerah pedesaan. Produksi pangan harus konsisten dengan selera konsumen.

2.1.4 Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya sejak sudah lama menjadi

perhatian para ahli. Namun istilah keberlanjutan (sustainability) sendiri baru

muncul beberapa dekade yang lalu, walaupun perhatian terhadap keberlanjutan

sudah dimulai sejak Malthus pada tahun 1798 yang mengkhawatirkan ketersedian

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

lahan di Inggris akibat ledakan penduduk yang pesat. Satu setengah abad kemudian,

perhatian terhadap keberlanjutan ini semakin mengental setelah Meadow dan

kawan-kawan pada tahun 1972 menerbitkan publikasi yang berjudul The Limit to

Growth (Fauzi, 2006) dalam kesimpulannya, bahwa pertumbuhan ekonomi akan

sangat dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam. Dengan ketersediaan sumber

daya alam yang terbatas, arus barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya

alam tidak akan selalu bisa dilakukan secara terus menerus (on sustainable basis).

Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan implementasi

dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada sektor

pertanian. Konsep pembangunan berkelanjutan mulai dirumuskan pada akhir tahun

1980an sebagai respon terhadap strategi pembangunan sebelumnya yang terfokus

pada tujuan pertumbuhan ekonomi tinggi yang terbukti telah menimbulkan

degradasi kapasitas produksi maupun kualitas lingkungan hidup. Konsep pertama

dirumuskan dalam Bruntland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia

Mengenai Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa:

“Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan

saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan

kebutuhan mereka” (WCED, 1987).

Berdasarkan definisi pembangunan berkelanjutan tersebut, Organisasi

Pangan Dunia mendefinisikan pertanian berkelanjutan, sebagai berikut.

“…manajemen dan konservasi basis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan

teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang. Pembangunan pertanian

berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya genetik tanaman maupun

hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara ekonomis,

dan diterima secara sosial (FAO, 1989).

Pezzy (1992), mencatat ada 27 definisi konsep berkelanjutan dan

pembangunan bekelanjutan, dan tentunya masih ada banyak lagi yang luput dari

catatan tersebut, walau banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan,

termasuk pertanian berkelanjutan, yang diterima secara luas bertumpu pada tiga

pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan ekologi (Munasinahe, 1993; Sanim, 2006). Dengan

perkataan lain, konsep pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi

keberlanjutan, yaitu keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan

sosial manusia (people), keberlanjutan ekologi alam (planet), atau sering disebut

dengan pilar Triple-P.

Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimisasi aliran pendapatan

yang dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan aset produktif yang

menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indikator utama dimensi

ekonomi ini ialah tingkat efisiensi, dan daya saing, besaran dan pertumbuhan nilai

tambah (termasuk laba), dan stabilitas ekonomi. Dimensi ekonomi menekankan

aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi (material) manusia baik untuk generasi

sekarang maupun generasi mendatang.

Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan kebutuhan

akan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan sosial yang harmonis

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

(termasuk tercegahnya konflik sosial), preservasi keragaman budaya dan modal

sosial budaya. Untuk itu, pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan

berusaha dan pendapatan, partisipasi sosial politik dan stabilitas sosial-budaya

merupakan indikator-indikator penting yang perlu dalam pelaksanaan

pembangunan.

Dimensi lingkungan alam menekankan kebutuhan akan stabilitas ekosistem

alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam. Termasuk dalam

hal ini ialah terpeliharanya keragaman hayati dan daya lentur biologis (sumberdaya

genetik), sumberdaya tanah, air dan agroklimat, serta kesehatan dan kenyamanan

lingkungan. Penekanan dilakukan pada preservasi daya lentur (resilience) dan

dinamika ekosistem untuk beradaptasi terhadap perubahan, bukan pada konservasi

suatu kondisi ideal statis.

Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus

diperhatikan secara berimbang. Sistem sosial yang stabil dan sehat serta

sumberdaya alam dan lingkungan merupakan basis untuk kegiatan ekonomi,

sementara kesejahteraan ekonomi merupakan prasyarat untuk terpeliharanya

stabilitas sosial-budaya maupun kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan

hidup. Sistem sosial yang tidak stabil (misalnya terjadinya konflik sosial dan

prevalensi kemiskinan) akan cenderung menimbulkan tindakan yang merusak

kelestarian sumberdaya alam dan merusak kesehatan lingkungan, sementara

ancaman kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (misalnya kelangkaan tanah

dan air) dapat mendorong terjadinya kekacauan dan penyakit sosial.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Secara operasional, Turner et al. (1993) mendefinisikan pembangunan

berkelanjutan sebagai upaya memaksimalkan manfaat bersih pembangunan

ekonomi dengan syarat dapat mempertahankan dan meningkatkan jasa, kualitas dan

kuantitas sumber daya alam sepanjang waktu. Selanjutnya The Agricultural

Research Service (USDA) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai

pertanian yang pada waktu mendatang dapat bersaing, produktif, menguntungkan,

mengkonservasi sumber daya alam, melindungi lingkungan, serta meningkatkan

kesehatan, kualitas pangan, dan keselamatan. Pertanian berkelanjutan merupakan

pengelolaan sumber daya alam serta perubahan teknologi dan kelembagaan

sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia

secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang (Food and Agriculture

Organization, 1989).

2.1.5 Peranan Sektor Pertanian dalam MDGs dan SDGs

Pertanian berkelanjutan merupakan gerakan pertanian menggunakan prinsip

ekologi, studi hubungan antara organisme dan lingkungannya (Rural Science

Graduates Association, 2002). Peranan pembangunan sektor pertanian terhadap

tercapainya target pembangunan MDGs sangatlah besar, di negara-negara yang

sedang berkembang termasuk Indonesia. Sektor pertanian adalah penghasil pangan.

Sementara itu aktor utama pertanian adalah petani serta buruh tani yang sebagian

besar tinggal di perdesaan yang jumlahnya sangat besar dan secara umum tingkat

kesejahteraan mereka (petani) tertinggal dari kelompok masyarakat lainnya,

meskipun kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

(PDB) dari tahun ke tahun makin rendah tetapi peran sektor ini peranannya sangat

strategis dalam pembangunan nasional, baik dalam pencapaian MDGs maupun

SDGs. Karena sektor pertanian yang memproduksi bahan pangan, oleh karena itu

pangan sangat esensial bagi semua penduduk. Food security bukan hanya soal

menyediakan pangan bagi semua penduduk. Namun juga berkaitan dengan akses,

dan bagaimana memproduksi dan mengonsumsi pangan secara efisien dan

berkelanjutan.

Salah satu kunci sukses pencapaian MDGs dan SDGs terletak pada kinerja

sektor pertanian. Berbagai hasil penelitian empiris menunjukkan bahwa peran

sektor pertanian dalam pengentasan kemiskinan yang pada dasarnya merupakan

epicentrum sasaran MDGs sangat besar dan tidak hanya mencakup aspek-aspek

kuantitatif karena sifat multifunctionality pertanian melibatkan dimensi-dimensi

kualitatif yang sebagian di antaranya bersifat intangible (Rosegrant et al., 2006;

Dewbre, 2011; Suryahadi dan Hadiwidjaja, 2011; Grewal et al., 2012).

Peran strategis sektor pertanian tidak akan berhenti pada pencapaian sasaran

MDGs, tetapi juga untuk sasaran pada pembangunan milenium pasca tahun 2015

yang disepakati dengan istilah Sustainable Development Goals (SDGs). Alasannya

sebagai berikut. Pertama, adalah fakta bahwa jumlah penduduk miskin sangat besar

sehingga tidak mungkin dapat ditanggulangi dalam jangka pendek dan menengah.

Kedua, implikasi dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan karena

pertumbuhan vegetatif dan produktif komoditas pertanian sangat rentan terhadap

variabilitas iklim yang sangat tajam atau ekstrim (IPCC, 2007; FAO, 2007).

Kondisi ini menyebabkan: (i) pertumbuhan produksi pangan melemah, (ii) harga

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

pangan cenderung meningkat dan semakin volatil. Pada gilirannya, hal itu

menyebabkan laju penurunan angka kemiskinan menjadi lebih lambat karena: (a)

sebagian individu atau rumah tangga yang semula telah terangkat dari garis

kemiskinan sangat potensial terjatuh kembali menjadi miskin, dan (b) munculnya

barisan kelompok miskin yang baru. Oleh karena itu, MDGs dan SDGs disusun

untuk men-drive pembangunan dengan pendekatan multi sektor (Maftuchan, 2013).

Peran penting sektor pertanian dalam pengentasan kemiskinan telah banyak

dibuktikan dalam berbagai tinjauan maupun penelitian empiris (Thirtle et al., 2002;

Thurlow, 2004; Thurlow et al., 2004; Christensen et al., 2010; Cervantes-Godoy

dan Dewbre, 2010; Dedan et al., 2012 dalam Bappenas, 2008). Terutama pada

negara-negara berkembang, peranannya makin menonjol ketika didukung

pengembangan infrastruktur yang memadai. Ini selaras dengan berbagai penelitian

yang menunjukkan bahwa infrastruktur pertanian dan pedesaan adalah basis bagi

peningkatan produktivitas (Van Blarcom et al., 1993; Van De Walle, 1996; Zhang

dan Fan, 2000 dalam Bappenas, 2008).

2.2 Konsep Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan

2.2.1 Konsep Ketahanan Pangan

Buku The Poverty and Famines-nya Amartya Sen (1981) dianggap sebagai

salah satu pelopor utama perubahan perspektif ketahanan pangan (Maxwell dan

Slater, 2003; Boudreau dan Dilley, 2001). Diakui bahwa Amartya Sen berhasil

menggugat kesalahan paradigma kaum Maltusian yang kerap berargumentasi

bahwa ketidak tahanan pangan dan kelaparan (famine) adalah soal produksi dan

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

ketersediaan semata. Sedangkan dengan mengangkat berbagai kasus di India dan

Afrika, Sen mampu menunjukan bahwa ketidak tahanan pangan dan kelaparan

justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas pangan (entitlements failures).

Sedikitnya ada empat element ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable

food security) di level keluarga yang diusulkan oleh Maxwell (1996), yakni:

pertama, kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang

dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat. Kedua, akses atas pangan, yang

didefinisikan sebagai hak (entitlements) untuk berproduksi, membeli atau

menukarkan (exchange) pangan ataupun menerima sebagai pemberian (transfer).

Ketiga ketahanan yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan,

resiko dan jaminan pengaman sosial. Keempat: fungsi waktu manakala ketahanan

pangan dapat bersifat kronis, transisi dan/atau siklus.

Dalam UU Pangan yang baru yaitu No. 18 Tahun 2012, definisi ketahanan

pangan adalah sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan

perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah

maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak

bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup

sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketahanan pangan mencakup tiga

dimensi yaitu: (a) ketersediaan pangan (food availability), (b) akses/distribusi

pangan (access to sufficient food), dan (c) pemanfaatan/konsumsi pangan

(utilization of food, which is related to cultural practices). Namun ketiga dimensi

tersebut dilakukan dalam upaya menjaga stabilitas pangan (stability of food stock).

Oleh karena itu, ketiga dimensi tersebut sering digunakan untuk mengukur

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

pencapaian ketahanan pangan. Ketersediaan pangan diartikan bahwa pangan

tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun

mutunya, serta aman, sedangkan distribusi pangan diartikan pasokan pangan dapat

menjangkau seluruh wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah

tangga. Konsumsi, yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup

dan mampu mengelola konsumsi kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya.

Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar daripada

kebutuhan penduduk terhadap pangan. Ketersediaan pangan yang cukup di suatu

wilayah (pasar) tidak dapat menjamin tersedianya pangan di tingkat rumah tangga,

karena tergantung pada kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan, dalam

arti fisik (daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli). Oleh karena itu, dalam

konsep ketahanan pangan mengamanakan tersedianya pangan yang dapat dijangkau

sampai tingkat individu/perseorangan.

Penyediaan pangan yang cukup, beragam, bergizi dan berimbang, baik

secara kuantitas maupun kualitas, merupakan pondasi yang sangat penting dalam

pembangunan sumber daya manusia suatu bangsa. Kekurangan pangan berpotensi

memicu keresahan dan berdampak pada masalah sosial, keamanan, dan ekonomi.

Distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas atas pangan secara merata, baik

secara fisik maupun ekonomi. Hal ini berarti bahwa sistem distribusi bukan semata-

mata mencakup aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang

membutuhkan, tetapi juga menyangkut keterjangkauan ekonomi yang dicerminkan

oleh harga dan daya beli masyarakat.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

2.2.2 Konsep Kedaulatan Pangan

Konsep kedaulatan pangan muncul pertama kali tahun 1996, atau lebih dari

20 tahun setelah konsep katahanan pangan digulirkan. Kedaulatan pangan semula

merupakan kerangka kebijakan dan wacana untuk mengangkat kesejahteraan petani

kecil. Konsep ini lalu berkembang cepat dan telah diadopsi ribuan organisasi petani,

masyarakat lokal, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga kemasyarakatan,

bahkan mulai diadopsi lembaga-lembaga di bawah PBB, termasuk oleh FAO.

Namun demikian, di Indonesia khususnya, konsep ini tidak mudah diterima

terutama dari kalangan pemerintahan.

Kedaulatan pangan merupakan dianggap sebuah konsep politik, padahal

tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan melestarikan

ekologi dan lingkungan. Konsep yang menganggap sebagai konsep politik

tampaknya mengambil pendapat Windfuhr dan Jonsen (2005) yang menyatakan

”food sovereignty is essentially a political concept”. Demikian pula dengan (Lee

dalam Syahyuti, 2011) yang menyebutkan bahwa kedaulatan pangan sebenarnya

agak terkait dengan politik formal. Konsep kedaulatan pangan bersumber dari

gerakan petani Via Campesina. Pemicunya adalah sering terjadinya konflik dalam

penggunaan sumberdaya genetik tanaman, sehingga menimbulkan ketegangan

antara pendekatan ketahanan pangan dengan kedaulatan pangan. Kedua konsep ini

sesungguhnya merupakan produk dari wacana perubahan pertanian global. Gagasan

kedaulatan pangan yang muncul tahun 1996 merupakan respon terhadap sikap yang

inklusif pada pertanian dalam sistem perdagangan dunia.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Kedaulatan pangan adalah “hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk

memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian,

peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar

internasional” (Ika, 2014). Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak

manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri yang lebih

menekankan pada pertanian berbasis agri-culture berdasarkan pada prinsip

keluarga atau solidaritas dan bukan pertanian berbasiskan agri-business

berdasarkan pada profit semata. Negara mempunyai otoritas serta kapasitas untuk

mengkonsolidasikan berbagai macam sumber daya ekonomi dan politik yang

tersedia demi kepentingan pemenuhan hak atas pangan

Kedaulatan pangan dipahami sebagai hak bangsa dan rakyat untuk

mengontrol sistem pangan mereka sendiri, termasuk pasar, sistem produksi, sistem

pangan dan lingkungan... "sebagai alternatif untuk mengkritik model neoliberal

yang dominan dalam usaha pertanian (agriculture) dan perdagangan" (Wittman

dkk., 2010). Konsep ini sangat erat direkatkan dengan La Via Campesina dan para

pendukungnya, dan digunakan terus-menerus sebagai slogan, manifesto dan proyek

politik, serta cita-cita untuk mengubah sejarah dunia.

Secara konseptual, kedaulatan pangan berarti hak setiap negara atau

masyarakat untuk menentukan sendiri kebijakan pangannya, melindungi sistem

produksi pertanian dan perdagangan untuk mencapai sistem pertanian yang

berkelanjutan dan mandiri. Kedaulatan pangan mengatur produksi dan konsumsi

pertanian yang berorientasi kepada kepentingan lokal dan nasional, bukan pasar

global. Dalam Undang-Undang tentang Pangan No. 18 Tahun 2012 Pasal 1 ayat 2

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

menyatakan bahwa kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara

mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat

dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang

sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Dengan dicantumkan kedaulatan pangan

dalam undang-undang pangan, diharapkan tidak lagi dijumpai persoalan-persoalan

dasar tentang pangan, seperti gizi buruk, kelaparan, rawan pangan, dan sebagainya.

Dengan undang-undang pangan ini berupaya memberikan kewajiban kepada negara

untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi hak atas pangan warga negaranya

yang selama ini pemerintah mengandalkan konsep ketahanan pangan dalam

pemenuhan pangan masyarakat, karena untuk mempertahankan ketahanan pangan

pemerintah bisa melakukan impor pangan. Kalau kedaulatan pangan dijalankan

oleh pemerintah ini akan mendidik masyarakat/petani untuk menggunakan sumber

daya lokal untuk pemenuhan kebutuhan pangannya atau dengan kata lain

pendekatan kedaulatan pangan dapat melengkapi dan menyempurnakan pencapaian

ketahanan pangan.

Menurut Bernstein dan Bachriadi (2014), sembilan prinsip kedaulatan

pangan, adalah (1) pangan adalah hak asasi manusia yang mendasar; (2) pangan

adalah sumber nutrisi dan hanya untuk tujuan berikutnya menjadi barang

perdagangan; (3) perempuan memainkan peran sentral dalam kedaulatan pangan;

(4) setiap orang memiliki hak untuk memperoleh informasi yang akurat dan

sebenarnya terkait dengan pangan serta terlibat dalam proses pembentukan

kebijakan pangan dan pertanian yang demokratis; (5) menjauhkan kegiatan

produksi pertanian dari kecenderungan hanya untuk ekspor; (6) setiap petani

memiliki hak untuk menghasilkan pangan secara berkelanjutan yang diawali

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

dengan adanya jaminan ketersediaan tanah yang baik, dan pengurangan pemakain

bahan kimia; (7) kontrol yang demokratis atas sistem pangan adalah hal yang

esensial; (8) perdamaian adalah pra kondisi yang diperlukan untuk kedaulatan

pangan; (9) pemerintah harus mengalokasi anggaran yang cukup untuk mendukung

kegiatan pertanian yang seharusnya menjadi sektor utama.

Konsep kedaulatan pangan mensyaratkan berkembangnya sistem pangan

(kedaulatan pangan) yang cocok dengan kondisi sumber daya yang ada, baik dari

sudut lingkungan (termasuk lingkungan alam, lingkungan sosial, dan budaya),

teknologi (termasuk budaya, kebiasaan dan praktek-praktek keseharian lainnya),

maupun sumber daya manusianya. Dalam hal ini, sistem dan struktur sosial,

budaya, politik, dan ekonomi pangan perlu dikembangkan, dibangun dan

disesuaikan dengan sumber daya lokal.

Ada empat (4) variabel lokal yang saling terkait dalam konteks yang khas,

yaitu knowledge, technology, people dan environment. Keempatnya harus selalu

dijadikan sebagai modal utama pengembangan sistem kedaulatan pangan. Itu

sebabnya, konsep kedaulatan pangan menjadikan peran serta aktif penduduk lokal

sebagai indikator penting. Dalam prakteknya, ketiga konsep dari ketahanan pangan,

kemandirian pangan dan kedaulatan pangan secara politis mempunyai tempatnya

sendiri-sendiri. Namun, sebagai negara kaya dengan sumber daya alam melimpah

dan jumlah penduduk yang sangat banyak, sudah selayaknya Indonesia lebih

menganut pada konsep kedaulatan pangan. Secara sederhana, perbedaan ketiga

konsep tersebut – ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan serta beberapa

indikatornya – disarikan oleh Hariyadi (2011) seperti tersaji pada Tabel 2.1 berikut.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Tabel 2.1

Perbandingan Ketahanan Pangan, Kemandirian Pangan dan

Kedaulatan Pangan

Ketahanan Pangan Kemandirian Pangan Kedaulatan Pangan

Definisi Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,merata, dan terjangkau **)

Kemandirian Pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup ditingkat rumah tangga baik dalam jumlah, mutu,keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal ***).

Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri dapat menentukan kebijakan pangannya, yang menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, serta memberikan hak bagi masyarakatnya untuk menentukan system pertanian pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal***).

Indikator Ketersediaan pangan

Kecukupan jumlah (kuantitas) Kecukupan mutu Kecukupan gizi Keamanan

Kecukupan jumlah (kuantitas) Kecukupan mutu Kecukupan gizi Keamanan

Kecukupan jumlah (kuantitas) Kecukupan mutu Kecukupan gizi Keamanan

Indikator Keterjangkauan pangan

Keterjangkauan fisik, ekonomi, dan sosial, Kesesuaian dengan preferensi

Keterjangkauan fisik,ekonomi, dan sosial, Kesesuaian dengan preferensi Kesesuaian kebiasaan, dan budaya Kesesuaian dengan kepercayaan

Keterjangkauan fisik,ekonomi, dan sosial, Kesesuaian dengan preferensi Kesesuaian kebiasaan, dan budaya Kesesuaian dengan kepercayaan

Indikator Konsumsi pangan

Kecukupan asupan (intake), Kualitas pengolahan pangan, Kualitas sanitasi dan hygiene, Kualitas air Kualitas pengasuhan anak

Kecukupan asupan (intake), Kualitas pengolahan pangan, Kualitas sanitasi dan hygiene, Kualitas air Kualitas pengasuhan anak

Kecukupan asupan (intake), Kualitas pengolahan pangan, Kualitas sanitasi dan hygiene, Kualitas air Kualitas pengasuhan anak

Indikator Kemandirian

Tingkat ketergantungan impor pangan Tingkat ketergantungan impor sarana produksi pangan (benih, pupuk, ingredient, pengemas, mesinmesin, dan lain-lain)

Tingkat ketergantungan impor pangan Tingkat ketergantungan impor sarana produksi pangan (benih, pupuk,ingredient, pengemas, mesinmesin,dan lain-lain)

Indikator Kedaulatan

Tingkat keaneka-ragaman sumberdaya pangan lokal

Tingkat partisipasi masyarakat dalam sistem pangan

Tingkat degradasi mutu lingkungan

Tingkat kesejahteraan masyarakat petani, nelayan dan peternak

Sumber: Purwiyatno Hariyadi

*) Disarikan dari berbagai sumber (Hariyadi, 2007; 2009; 2010a

**) UU No 7,1996 tentang Pangan, Bab I, Pasal 1.

***) UU No 41, 2009, tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Bab I, Pasal 1.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Upaya peningkatan kedaulatan pangan perlu secara sadar, sistematis, dan

terstruktur diupayakan, baik oleh pemerintah maupun oleh masayarakat. Secara

umum, kondisi kedaulatan pangan bisa dievaluasi dan dimonitor melalui capaian

indikator-indikator yang telah ditetapkan seperti pada Tabel 2.1. Dengan

memperhatikan indikator-indikator tersebut, maka bisa dilihat bahwa riset dan

teknologi mempunyai peranan sangat penting untuk meningkatkan kedaulatan

pangan melalui peranannya dalam meningkatkan dan menjamin ketersediaan,

keterjangkauan, konsumsi, kemandirian, maupun kedaulatan pangan.

Kedaulatan pangan tumbuh dalam menanggapi ilusi yang diberikan oleh

prinsip ketahanan pangan kebijakan penyediaan pangan yang dominan secara

global. Kebijakan ketahanan pangan menekankan akses pangan bernutrisi yang

mencukupi untuk semua, yang dapat disediakan melalui produksi dari dalam negeri

maupun dari impor. Dengan mengatasnamakan efisiensi dan produktivitas, di

berbagai negara justru berkembang rezim korporasi pangan di mana perusahaan

besar mendominasi produksi dan perdagangan pangan sementara petani kecil

terlantarkan (Philip, 2009). Fokus ketahanan pangan pada rezim korporasi pangan

demi produktivias dan efisiensi telah menyebabkan berbagai masalah yang terus

meluas secara global, seperti hilangnya pangsa pasar bagi produsen kecil dan

berbagai dampak lingkungan dari pertanian.

Ketika harga beras melonjak pada tahun 2008, banyak masyarakat yang

tidak mampu membelinya, sedangkan produksi pangan dalam negeri sudah

terlanjur turun, sehingga suplai pangan tidak mencukupi dan banyak yang memakan

makanan yang tidak layak (Annie, 2010). Untuk mengetahui perbedaan ketahanan

pangan dan kedaulatan pangan dapat dilihat dalam Tabel 2.2 berikut.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Tabel 2.2

Perbedaan Konsep Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan

Aspek Ketahanan Pangan Kedaulatan Pangan

Perdagangan Perdagangan bebas dianggap

segalanya atau satu-satunya

jalan menuju kesejahteraan

rakyat.

Pangan dan pertanian dilindungi oleh

perdagangan bebas.

Tujuan utama

produksi

Budidaya tanaman pangan

untuk komoditi perdagangan

dan ekspor.

Budidaya aneka tanaman pangan untuk

kebutuhan sendiri dan pasar lokal.

Harga Terserah pasar (mekanisme

pasar murni).

Harga yang adil, memperhitungkan biaya

produksi, pendapatan buruh tani,

keuntungan bagi petani kecil secara

bermartabat.

Akses pasar Pasar luar negeri. Akses ke pasar lokal dan menghentikan

investasi pasar agribisnis.

Subsidi Dilarang (namun AS dan UE

memberikan subsidi yang besar

kepada petaninya yang kaya).

Boleh selama tidak merusak pasar negeri

lain. Justru diperlukan untuk petani kecil

dan untuk mendukung pertanian

berkelanjutan.

Pangan Komoditas yang penting dan

menguntungkan (komoditas

perdagangan).

Kebutuhan dasar manusia, sehingga harus

terjangkau dalam jumlah yang cukup

sesuai budaya lokal dan produksi lokal

(komoditas sosial).

Pilihan komoditas Satu pilihan komoditas untuk

efisiensi ekonomi.

Pilihan jenis tanaman adalah hak

penduduk pedesaan, terutama petani.

Efek produksi Kelaparan karena rendahnya

produksi pangan.

Masalah akses dan distribusi, karena

kemiskinan dan ketidakadilan.

Daya tahan pangan Dicapai dari manapun (termasuk

impor) asal harga murah.

Diproduksi sendiri oleh komunitas lokal,

keanekaragaman pangan berdasarkan

histori dan kultur daerah setempat, tidak

memaksakan keseragaman pangan.

Diprivatisasi Lokal dan kontrol oleh komunitas

Komunitas yang dipatenkan. Lokal, warisan yang menjadi milik

bersama.

Dari bank, swasta atau

pemerintah

Dari pemerintah yang dirancang untuk

mendukung petani kecil, modal sendiri,

arisan desa atau serikat tolong menolong.

Dumping Tidak begitu masalah Harus dilarang

Monopoli Tidak masalah Jadi sumber persoalan, harus dihilangkan.

Kontrol terhadap

sumber produksi

Harapan masa depan. Merusak ekologi dan kesehatan, tidak

diperlukan

Benih

Sumber modal

produksi

Sumber: Diadaptasi dan dikembangkan dari Rossert (2003)

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Sebagai sebuah konsep, kedaulatan pangan sesungguhnya sejajar dengan

ketahanan pangan, karena yang membedakan keduanya adalah elemen di dalamnya.

Elemen-elemen itu meliputi model produksi pertanian agroekologis yang berbeda

dengan pertanian industri, model perdagangan pertanian yang proteksionis dan

mendorong pasar lokal dibandingkan liberal, menggunakan instrumen dari

International Planning Committee for Food Security yang berbeda dengan WTO,

pendekatan terhadap sumber daya genetik pertanian yang bersifat komunal dan

lebih cenderung antipaten yang bertolak belakang dengan perjanjian Trade Related

Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), serta penekanan pada wacana

lingkungan green rationalism dibandingkan economic rationalism sebagaimana

diadopsi dalam ketahanan pangan. Kedua konsep ini cenderung menuju polarisasi

sebagaimana dipaparkan pada Tabel 2.3 berikut. Ini sesuai dengan pandangan

Tramel (2009) dalam Syahyuti, (2011).), bahwa Food security and food sovereignty

are represented as opposing paradigms of food production

Tabel 2.3

Berbagai Elemen Pokok antara Ketahanan Pangan

dan Kedaulatan Pangan

Aspek Ketahanan pangan Kedaulatan

pangan

Model produksi pertanian Fokus pada produksi atau

bertipe industrial

Agro-ekologis

Model perdagangan pertanian Liberalisasi Proteksionis

Organisasi yang memimpin WTO Via Campesina

Instrumen yang digunakan AoA, TRIPS, SPS IPC

Pendekatan terhadap

sumberdaya genetis

tanaman

Hak penguasaan

individual

Anti hak paten,

penguasaan

secara komunal

Wacana tentang lingkungan Rasionalis ekonomis Rasionalisme hijau

(green

rationalism) Sumber: Tramel (2009) dalam Syahyuti, 2011

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Konsep ketahanan pangan lebih mapan bila dibandingkan dengan

kedaulatan pangan, pencapaian ketahanan pangan bisa tidak didukung oleh lahan

pertanian yang memadai, karena bisa mengimpor pangan. Seperti Negara Singapura

dan negara-negara lainnya yang tidak punya lahan pertanian yang memadai,

sedangkan kedaulatan pangan, harus ada dukungan lahan pertanian yang cukup

memadai dalam arti produktivistasnya demi berdaulat.

2.3 Alih Fungsi Lahan

Menurut Utomo dkk. (1992), mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazim

disebut dengan konversi lahan sebagai perubahan penggunaan atau fungsi sebagian

atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan)

menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan

dan potensi lahan sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian

peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor secara garis besar meliputi

keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin banyak jumlahnya

dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik, sedangkan Agus

(2004) menyatakan konversi lahan sawah adalah suatu proses yang disengaja oleh

manusia (anthropogenic), bukan suatu proses alami.

Percetakan sawah dilakukan dengan biaya tinggi, namun ironisnya konversi

lahan tersebut sulit dihindari dan terjadi setelah system produksi pada lahan sawah

tersebut berjalan dengan baik. Konversi lahan merupakan konsekuensi logis dari

peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya.

Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian

yang masih produktif.

Konversi lahan pertanian erat hubungannya dengan aspek-aspek perubahan

orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat. Arah perubahan ini

secara langsung atau tidak langsung akan berdampak terhadap pergeseran kondisi

ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas-prioritas pembangunan pertanian

wilayah dan nasional (Winoto, 1995a; Nasoetion dan Winoto, 1996). Terjadinya

konversi lahan pertanian ke non pertanian tidak sepenuhnya bersifat alamiah, tetapi

ada juga yang secara langsung atau tidak langsung dihasilkan oleh proses

kebijaksanaan pemerintah (Anwar dan Pakpahan, 1990; Winoto, 1995a). Menurut

Anwar (1995), dalam proses alih fungsi lahan, telah terjadi asimetris informasi

harga tanah, sehingga sistem harga tidak mengandung semua informasi yang

diperlukan untuk mendasari suatu keputusan transaksi. Terjadi harga asimetris

karena pihak petani (orang yang menjual lahan pertaniannya) cendrung tidak

memiliki informasi yang sempurna tentang harga lahan pertanian, akibatnya harga

pasar belum mencerminkan nilai sebenarnya dari lahan pertanian, sehingga harga

yang ditetapkan melalui mekanisme pasar cenderung under valuation. Menurut

Nasoetion dan Winoto (1996), Kegagalan mekanisme pasar dalam mengalokasikan

lahan secara optimal disebabkan faktor-faktor rent (sewa) lainnya dari keberadaan

lahan sawah terabaikan, seperti fungsi sosial, fungsi kenyamanan, fungsi konservasi

tanah dan air, dan fungsi penyediaan pangan bagi generasi selanjutnya.

Dalam perspektif makro, Kustiawan (1997) mengemukakan bahwa

fenomena alih fungsi lahan terjadi akibat transformasi struktural perekonomian dan

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

demografis, khususnya di negara-negara berkembang. Transformasi struktural

perekonomian berlangsung dari semula bertumpu pada pertanian bergeser ke arah

industri. Sementara itu, transformasi geografis terjadi akibat pesatnya pertumbuhan

penduduk perkotaan yang berakibat pada alih fungsi penggunaan lahan pertanian

ke penggunaan non pertanian. Khusus untuk lahan pertanian yang berigasi (sawah),

secara langsung dan tidak langsung alih fungsi lahan pada jenis ini disebabkan oleh

beberapa faktor (Pakpahan dkk., 1993). Alih fungsi secara langsung terjadi akibat

keputusan para pemilik lahan (petani) untuk mengalihfungsikan sawah mereka ke

penggunaan lainnya seperti untuk industri, perumahan, prasarana dan sarana atau

pertanian lahan kering. Alih fungsi kategori ini didorong oleh motif ekonomi,

dimana penggunaan lahan setelah dialihfungsikan memiliki nilai jual/sewa (land

rent) yang lebih tinggi dibandingkan pengunaan lahan untuk sawah yang

pengasilannya jauh lebih rendah bila difungsikan menjadi bukan fungsi sawah.

Dampak negatif dari alih fungsi adalah terletak pada kesempatan/peluang

memproduksi hasil pertanian (lahan sawah) akan semakin menurun (Sumaryanto

dkk., 1994).

Menurut Irawan (2005), konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi

akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan pertanian dengan non

pertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat

adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu a) keterbatasan sumberdaya lahan,

b) pertumbuhan penduduk, dan c) pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Sihaloho

dalam Munir (2008) membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi,

antara lain sebagai berikut.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

1) Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu

lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi;

2) Konversi sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan kurang produktif,

sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai

tambah;

3) Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth

driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi,

dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk

memenuhi kebutuhan tempat tinggal;

4) Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land

conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan

perubahan kesejahteraan;

5) Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah

hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung;

6) Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan

keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil

pertanian; dan

7) Konversi lahan erat kaitannya pula dengan kepadatan penduduk yang semakin

meningkat. Rusli (1995) mengungkapkan bahwa dengan meningkatnya jumlah

penduduk, rasio manusia-lahan menjadi semakin besar, sekalipun pemanfaatan

setiap jengkal lahan sangat dipengaruhi taraf perkembangan kebudayaan suatu

masyarakat. Pertumbuhan penduduk menyebabkan makin mengecilnya

persediaan lahan rata-rata per orang.

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Irawan (2005) mengemukakan bahwa konversi tanah lebih besar terjadi

pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi oleh tiga

faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks

perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan

pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua,

akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi

maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah

tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah

konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah

tanah kering.

Perkembangan teknologi juga berperan dalam menggeser fungsi lahan.

Siswanto (2006), mengatakan ada tiga hal bagaimana teknologi mempengaruhi pola

penggunaan lahan. Pertama, perubahan teknologi telah membawa perubahan dalam

bidang pertanian melalui peningkatan produktivitas lahan pertanian dan

produktivitas tenaga kerja; Kedua, perubahan teknologi transportasi meningkatkan

efisiensi tenaga kerja, memberikan peluang dalam meningkatkan urbanisasi daerah

perkotaan; dan Ketiga, teknologi transportasi dapat meningkatkan aksesibilitas

pada suatu daerah. Para ahli berpendapat bahwa perubahan penggunaan lahan lebih

disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia. Faktor-faktor yang

mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi dan

budaya. Aspek politik adalah adanya kebijakan yang dilakukan oleh pengambil

keputusan yang mempengaruhi terhadap pola perubahan penggunaan lahan.

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Menurut Priyono (2011), faktor yang penyebab terjadinya konversi lahan

pertanian dikelompokkan menjadi 6 (enam) faktor penting yang sering terjadi di

suatu wilayah, antara lain 1) Faktor Ekonomi; 2) Faktor Demografi; 3) Faktor

Pendidikan dan Ipteks; 4) Faktor Sosial dan Politik; 5) Faktor Kelembagaan; 6)

Faktor Instrumen Hukum dan Penegakannya. Menurut Isa (2004), faktor-faktor

yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian, antara

lain adalah 1) Faktor kependudukan; 2) Kebutuhan lahan untuk kegiatan

nonpertanian; 3) Faktor ekonomi; 4) Faktor sosial budaya; 5) Degradasi

lingkungan; 6) Otonomi daerah; dan 5) Lemahnya sistem perundang-undangan dan

penegakan hukum (law enforcement).

Sementara itu Winoto (2005), mengemukakan bahwa lahan pertanian yang

paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah disebabkan oleh: (1) Kepadatan

penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada

umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga

tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi; (2) Daerah persawahan banyak yang

lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan; dan (3) Akibat pola pembangunan

di masa sebelumnya.

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

2.4 Konsep Kelembagaan

2.4.1 Konsep Kelembagaan dan Pengertian Kelembagaan

Pengertian lembaga sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan

kalangan ilmuan sosial. Belum adanya kesepahaman tentang arti “kelembagaan” di

kalangan ahli, hal ini menyebabkan munculnya beberapa pengertian dan konsep

yang menyebabkan tidak dapat dioperasionalkan. Namun, semenjak era 1950-an,

sesungguhnya sudah terlihat adanya pembedaan yang tegas antara kelembagaan

(social institution) dan organisasi (social organization). istilah “kelembagaan”

untuk menyebut suatu sistem sosial, yang didalamnya dapat dibagi menjadi dua

komponen penting, yaitu “aspek kelembagaan” dan “aspek keorganisasian”.

Menurut Uphoff (1986), istilah kelembagaan dan organisasi sering

membingungkan dan bersifat interchangeably. Secara keilmuan, social institution

dan social organization berada dalam level yang sama, untuk menyebut apa yang

dikenal dengan kelompok sosial, social form, dan lain-lain yang relatif sejenis.

Namun, perkembangan akhir-akhir ini, istilah “kelembagaan” lebih sering

digunakan untuk makna yang mencakup keduanya sekaligus. Ada beberapa alasan

kenapa orang-orang lebih memilih istilah tersebut. Kelembagaan lebih dipilih

karena kata “organisasi” menunjuk kepada suatu social form yang bersifat formal,

dan akhir-akhir ini semakin cenderung mendapat image negatif. Kata kelembagaan

juga lebih disukai karena memberi kesan lebih “sosial” dan lebih menghargai

budaya lokal, atau lebih humanis.

Sementara itu, Koentjaraningrat (1997) mengemukakan bahwa belum

terdapat istilah yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan para sarjana

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

sosiologi untuk menterjemahkan istilah Inggris ‘social institution’. Ada yang

menerjemahkannya dengan istilah ‘pranata’ ada pula yang ‘bangunan sosial.

Ketidaksepakatan tersebut bukan sekedar apa padanan katanya yang cocok dalam

bahasa Indonesia. Yang lebih penting adalah, apa makna kata itu sendiri

seharusnya. Selama ini pengertiannya sering berbeda-beda antar penulis,

tergantung acuan yang digunakan (Horton dan Hunt, 1984). Ada berbagai definisi

kelembagaan yang disampaikan oleh ahli dari berbagai bidang, antara lain sebagai

berikut.

…”aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang

menfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan

di mana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain

untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan” (Ruttan dan Hayami, 1984).

…“aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota

suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau

saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangements)

dapat ditentukan oleh beberapa unsur: aturan operasional untuk pengaturan

pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum

atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur

hubungan kewenangan organisasi” (Ostrom, 1985; 1986).

…“suatu himpunan atau tatanan norma–norma dan tingkah laku yang bisa

berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan

menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma-norma prilaku, nilai budaya

dan adat istiadat” (Uphoff, 1986).

...”sekumpulan batasan atau faktor pengendali yang mengatur hubungan

perilaku antar anggota atau antar kelompok. Dengan definisi ini kebanyakan

organisasi umumnya adalah institusi karena organisasi umumnya mempunyai

aturan yang mengatur hubungan antar anggota maupuna dengan orang lain di luar

organisasi itu” (Nabli dan Nugent, 1989).

...”aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh

faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau

dalam bentuk kode etik informal yang disepakati bersama (North, 1990). North

membedakan antara institusi dari organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah

aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

...”mencakup penataan institusi (institutional arrangement) untuk

memadukan organisasi dan institusi. Penataan institusi adalah suatu penataan

hubungan antara unit-unit ekonomi yang mengatur cara unit-unit ini apakah dapat

bekerjasama dan atau berkompetisi (Williamson, 1985).

Dalam pendekatan ini organisasi adalah suatu pertanyaan mengenai aktor

atau pelaku ekonomi di mana ada kontrak atau transaski yang dilakukan dan tujuan

utama kontrak adalah mengurangi biaya transaksi. Berdasarkan berbagai konsep

dan definisi yang dikemukan oleh beberapa ahli maka kelembagaan dapat diartikan

sebagai suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi

yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau

antar organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan

oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal

maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk

bekerjasama dan mencapai tujuan bersama. Aplikasi Ilmu Ekonomi Kelembagaan

dapat ditunjukan dengan tiga pendekatan yaitu: (1) teori ekonomi biaya transaksi;

(2) teori hak kepemilikan, dan (3) teori modal sosial (Yustika,2012)

2.4.2 Peran Kelembagaan dalam Pembangunan Ekonomi

Pembangunan kelembagaan bertujuan untuk mengarahkan aliran investasi

secara efektif, menjamin proses transaksi maupun investasi sesuai kontrak, dan

mencegah incredible commitment, dua hal tersebut yang menjadi perhatian

(Williamson, 1995). Pada level makro, yaitu institutional environment, aturan yang

menyangkut aspek sosial, politik, dan aspek legal lainnya yang mendasari sistem

produksi, konsumsi dan distribusi, harus ditegakkan oleh semua pihak dalam

kedudukan yang sama di muka hukum. Pada level mikro, yaitu institutional

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

arrangement, aturan atau mekanisme di antara unit-unit ekonomi yang

mengendalikan operasi, koordinasi dan kompetisi ditekankan kepada partisipasi

dan utility untuk mencapai suatu transaksi secara de facto. Berjalannya mekanisme

kelembagaan yang efektif menuntut adanya kesatuan sistem hukum antara yang

lebih tinggi dengan yang di bawahnya. Ketidakharmonisan ini akan dapat

menimbulkan ketidakpastian hukum dan berakibat pada malapetaka (chaos) akibat

terjadinya benturan sistem. Untuk itu diperlukan kesungguhan, kejujuran, dan

kearifan untuk menghargai indigenous institution, property right, dan aturan

kontrak dalam rangka mengembangkan perekonomian sekaligus meningkatkan

peranan modal sosial (social capital) di dalamnya.

Pembangunan lembaga yang efektif adalah hal yang rumit, namun demikian

ada empat hal utama yang dapat dijadikan panduan untuk membangun lembaga

yang efektif. Pertama, melengkapi lembaga yang ada, walaupun mengubah secara

keseluruhan itu lebih baik, namun ada kendala-kendala. Misalnya sosial, budaya

dan politik yang tidak memungkinkan perubahan secara keseluruhan. Dengan

melengkapi lembaga yang ada, menjadi dasar untuk perubahan lembaga yang lebih

besar nantinya. Kedua, melakukan inovasi untuk mengidentifikasi mana lembaga

yang bisa digunakan mana yang tidak. Perlu eksperimen untuk melihat lembaga

mana yang paling efektif untuk kondisi masyarakat tertentu. Dua hal pertama tadi

adalah faktor yang terkait dengan penawaran lembaga yang efektif. Sedangkan dua

faktor berikut adalah faktor yang terkait dengan permintaan terhadap permintaan

lembaga yang efektif. Ketiga, menghubungkan masyarakat atau komunitas dari

pelaku pasar, melalui penyaluran informasi yang terbuka dan perdagangan terbuka.

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Dengan adanya informasi yang baik memberikan kesempatan bagi masyarakat

untuk membandingkan kondisi mereka dengan daerah dan negara lain. Dan jika

mereka melihat ada lembaga yang mungkin dapat memberikan perbaikan untuk

mereka, maka mereka akan meminta lembaga tersebut untuk diterapkan di

daerahnya. Perdagangan terbuka demikian juga effeknya, karena perdagangan

semakin luas dan komplek membuat masyarakat atau negara merasa perlu untuk

membuat lembaga yang dapat menghadapi lingkungan yang lebih komplek

tersebut. Kedua mendorong persaingan antar yuridiksi, perusahaan dan individu.

Persaingan ini akan membuat kualitas lembaga meningkat.

2.4.3 Kelembagaan Petani

Kelembagaan pertanian merupakan norma, aturan atau kebiasaan yang

terstruktur dan terpola serta dipraktekkan terus menerus untuk memenuhi

kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat dengan penghidupan dari bidang

pertanian di perdesaan. Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi

kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi

sosial atau social interplay dalam suatu komunitas. Kelembagaan pertani juga

memiliki strategis (entry point) dalam menggerakkan sistem agribisnis di

perdesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada di perdesaan perlu

diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme dan posisi

tawar petani (kelompok tani). Saat ini potret petani dan kelembagaan petani di

Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang diharapkan (Suradisastra, 2008).

Peran kelembagaan dalam membangun dan mengembangkan sektor pertanian di

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Indonesia terutama terlihat dalam kegiatan pertanian tanaman pangan, khususnya

padi.

Menurut Dimyati (2007), permasalahan yang masih melekat pada sosok

petani dan kelembagaan petani di Indonesia, adalah (1) Masih minimnya wawasan

dan pengetahuan petani terhadap masalah manajemen produksi maupun jaringan

pemasaran; (2) Belum terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis.

Aktivitas petani masih terfokus pada kegiatan produksi (on farm); (3) Peran dan

fungsi kelembagaan petani sebagai wadah organisasi petani belum berjalan secara

optimal.

Kelembagaan usahatani memiliki potensi untuk meningkatkan

produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan pelaku usahatani (Viswanathan dalam

Fitria, 2013). Namun, fakta di lapangan menyatakan bahwa masih terdapat

kesenjangan antara kelembagaan yang dibentuk secara top down oleh Pemerintah,

dengan kelembagaan yang dibutuhkan oleh pelaku usahatani (Fitria, 2013). Selama

ini pendekatan kelembagaan juga telah menjadi komponen pokok dalam

pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun, kelembagaan usahatani, terutama

kelompok petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk

mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan

yang lebih mendasar (Wahyuni, 2003).

Meningkatnya produksi pertanian atau output hasil pertanian selama ini

belum diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan petani secara signifikan dalam

usahataninya. Petani sebagai unit agribisnis terkecil belum mampu meraih nilai

tambah yang rasional sesuai skala usahatani terpadu. Oleh karena itu persoalan

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

membangun kelembagaan di bidang pertanian dalam pengertian yang luas menjadi

semakin penting, agar petani mampu melaksanakan kegiatan yang tidak hanya

menyangkut on farm bussiness saja, akan tetapi juga terkait erat dengan aspek-

aspek off farm agribussinessnya.

Kelembagaan pertanian memiliki delapan jenis kelembagaan, yaitu 1)

kelembagaan penyedia input, 2) kelembagaan penyedia modal, 3) kelembagaan

penyedia tenaga kerja, 4) kelembagaan penyedia lahan dan air, 5) kelembagaan

usaha tani, 6) kelembagaan pengolah hasil usaha tani, 7) kelembagaan pemasaran,

8) kelembagaan penyedia informasi (Basuki dalam Fitria, 2013) Dalam sistem

pertanian dikenal juga istilah kelembagaan rantai pasok yakni hubungan

manajemen atau sistem kerja yang sistematis dan saling mendukung di antara

beberapa lembaga kemitraan rantai pasok suatu komoditas. Prinsip-prinsip yang

harus dipenuhi oleh suatu kelembagaan petani agar tetap eksis dan berkelanjutan,

adalah sebagai berikut 1) Prinsip Otonomi (Spesifik Lokal). Pengertian prinsip

otonomi disini dapat dibagi kedalam dua bentuk yaitu; a) Otonomi individu dan b)

Otonomi desa (spesifik lokal); 2) Prinsip Pemberdayaan. Pemberdayaan

mengupayakan peningkatkan kemampuan dan potensi yang dimiliki masyarakat,

sehingga masyarakat dapat mewujudkan jati diri, harkat dan martabatnya secara

maksimal untuk bertahan dan mengembangkan diri secara mandiri baik di bidang

ekonomi, sosial, agama dan budaya (Widjaja,2003)

Inti utama pemberdayaan adalah tercapainya kemandirian (Payne, 1997).

Pada proses pemberdayaan, ada dua prinsip dasar yang harus dipedomani (Saptana,

dkk, 2003), yaitu a) Menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut cara yang dipilihnya sendiri,

dan b) Mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk memanfaatkan

ruang atau peluang yang tercipta.

2.4.4 Kelembagaan Subak di Bali

Keberadaan Subak di Bali diatur berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi

Tingkat I Bali Nomor: 2/DPRD/1972 tentang Irigasi Daerah disebutkan bahwa

subak adalah masyarakat hukum adat yang bersifat sosio-agraris religius yang

secara historis didirikan sejak dulu kala dan berkembang terus sebagai organisasi

penguasa tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-lain persawahan dari suatu

sumber di dalam suatu daerah, seiring dengan kondisi dan kebutuhan hukum saat

ini dan perkembangan saat ini, maka Perda Nomor: 2/DPRD/1972 tersebut, di ganti

dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No. 9 Tahun 2012 tentang subak

menyebutkan bahwa subak adalah organisasi tradisional di bidang tata guna air, dan

atau tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat adat di Bali, yang bersifat

sosio-agraris, religius, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan

berkembang. Definisi ini tampaknya kurang tepat, karena tidak operasional dalam

menjawab tantangan permohonan pendirian subak di Bali. Di samping itu, dalam

perda itu dicantumkan aspek ekonomi dalam definisi subak. Hal ini tidak tepat,

karena subak sejatinya bukan lembaga ekonomi, tetapi lembaga sosio-kultural.

Kalau seandainya subak adalah lembaga ekonomi, maka semua subak di Bali harus

dibubarkan, karena memang tidak menguntungkan secara ekonomi (Windia dkk.,

2016).

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Sutawan dkk. (1989) mengatakan bahwa subak sebagai sistem irigasi

merupakan organisasi petani pengelola air yang mendistribusikan dan

mengalokasikan irigasi pada usahatani lahan basah yang memiliki satu sumber air,

memiliki satu atau lebih pura, memiliki hak otonomi untuk mengatur organisasinya

sendiri serta memiliki berbagai aturan yang dibuat bersama dan diataati bersama

oleh semua anggotanya. Lebih lanjut, disebutkan juga bahwa terdapat beberapa

fungsi subak, yaitu (1) mendistribusikan dan mengalokasikan air irigasi; (2) operasi

dan pemeliharaan jaringan irigasi; (3) mobilisasi sumber daya; (4) penanganan

konflik yang dihadapi subak; dan (5) menyelenggarakan kegiatan ritual/keagamaan,

menurut Windia pada FGD di Pemda Kabupaten Gianyar pada tanggal 22-4-2016,

menyatakan bahwa fungsi subak sebagai sosial-agraris ada kurang lebih 15 buah

ritual yang dilakukan oleh petani/subak dari mulai menanam pada sampai dengan

pasca panen.

Ambler (1990) juga menyebutkan bahwa organisasi pengelola air irigasi

termasuk subak bukanlah merupakan sekedar organisasi yang mengelola aspek

teknis semata tetapi lebih sarat pada aspek sosial-budaya. Rachman (2009)

mengungkapkan bahwa dalam upaya untuk menciptakan pengelolaan sumber daya

air yang efisien dan merata dalam pengalokasiannya, diperlukan adanya

penyesuaian kelembagaan baik untuk kelembagaan pemerintah, swasta maupun

petani. Di tingkat petani, misalnya, diperlukan upaya untuk mengembangkan

kapasitas asosiasi pemakai air menjadi suatu organisasi yang mampu berperan

ganda, yaitu tidak semata-mata sebagai pengelola sistem irigasi, tetapi juga mampu

sebagai pengelola usaha ekonomis.

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Kuswanto (1977), mengungkapkan bahwa organisasi pengelola air irigasi

dipandang dari fungsi dan keuntungannya agar tetap mempertahankan sifat

sosialnya di dalam mengahadapi isu semakin kompetitifnya pengelolaan sumber

daya air dewasa ini. Beberapa pertimbangannya, adalah sebagai berikut (1)

pemilikan hak guna atas air dan jaringan irigasi oleh subak sebagai perkumpulan

petani pengelola air (P3A) bersifat kolektif; dan (2) P3A dapat berfungsi sebagai

instrumen untuk menciptakan dan menjaga pemerataan ekonomi di kalangan petani

anggota.

Namun apapun definisi yang diberikan, namun subak di Bali tetap saja eksis

dan beroperasi sesuai tradisi yang telah berjalan sejak terbentuknya pada Abad ke-

11 (Purwitha, 1993). Walaupun dari tahun ke tahun lahannya berkurang akibat dari

pembangunan, pertumbuhan penduduk yang terus berkembang. Keberadaan sistem

irigasi subak di Bali, berkait erat dengan sistem desa pakraman/desa adat dan sistem

desa dinas. Banyak ada kasus, di mana areal kawasan subak saling tumpang tindih

dengan areal desa adat, dan areal desa dinas. Dengan demikian, areal kawasan

subak bisa terdapat dalam satu kawasan desa adat atau desa dinas, dan lain-lain.

Bahkan satu kawasan subak melintasi lebih dari satu kecamatan, atau lebih dari satu

kabupaten. Tegasnya, batas kawasan subak, bukanlah sama dengan batas-batas

administratif desa, namun berdasarkan pada prinsip-prinsip batas hidrologis.

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

2.5 Tindakan Kolektif

2.5.1 Konsep Tindakan Kolektif /Aksi Kolektif (Collective Action)

Konsep tindakan kolektif (collective action) secara akademis diperkenalkan

pertama kali oleh Mancur Olson, seorang pengamat hubungan internasional dalam

bukunya berjudul “The Logic of Collective Action” yang terbit tahun 1965. Analisis

yang diajukan oleh Olson dalam bukunya yang kemudian diterbitkan kembali tahun

1971 ini membuka pemahaman akan berbagai kelebihan maupun kekurangan

bentuk collective action. Olson menyadarkan kita bahwa memang ada saatnya

kepentingan-kepentingan dari beberapa aktor bisa dirumuskan secara rasional

untuk mencapai suatu kepentingan bersama (common interest), dan memang benar

kekuatan dari kelompok sangat penting dalam mencapai tujuan bersama. Tapi di

sisi lain, keadaan ideal ini hanya tercipta dalam suatu situasi dan kondisi tertentu

saja dan sangat tergantung pada faktor tertentu (jumlah aktor, insentif, dan unsur

paksaan). Tindakan kolektif (collective action) timbul ketika adanya suatu usaha

dari dua atau lebih suatu individu untuk memperjuangkan suatu hasil yang

diinginkan dan merupakan kebutuhan bersama

Tindakan Kolektif (collective action), yang menjadi penyebab awal secara

historis adalah kegagalan pasar (market failures) yang di kemukakan oleh kaum

ekonom klasik, dalam konsepsi “The Invisible Hand” Adam Smith yang mendasari

semua kegiatan ekonomi liberal. The Invisible Hand, menekankan kebebasan

individu untuk menghasilkan produk maupun jasa, menyerahkan semuanya kepada

mekanisme pasar. Pasar dalam konsepsi invisible hands ini harus komplet, dalam

artian bahwa barang dan jasa harus diperdagangkan secara kompetitif, artinya ada

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

sejumlah produsen dan konsumen yang ada tanpa adanya salah satu pihak yang

mampu mengontrol atau menentukan harga secara sepihak dan adanya kebebasan

dalam memperoleh informasi pasar bagi semua pihak yang terlibat. Ada dua faktor

yang mengakibatkan kegagalan pasar yaitu, saling ketergantungan (uncompensated

interdependencies) dan informasi yang asimetris, dua faktor tersebut menjadi sebab

utama kegagalan pasar.

Menurut Gilbert (1989) dalam Novi (2016), collective action

mencerminkan komitmen interpersonal yang disebut joint comitment dimana

seorang aktor melalui partisipasinya ingin membuat sebuah kontribusi dalam joint

comitment tersebut. Namun, adakalanya setiap aktor memiliki kepentingan berbeda

sehingga jika joint comitment tersebut berseberangan dengan kepentingannya maka

aktor tersebut punya keputusan independen dan pilihan rasional dalam menentukan

arah joint, yaitu keluar atau mempengaruhi komunitas dalam joint agar sesuai

dengan kepentingannya. Karena, pada dasarnya, menurut Gilbert, joint comitment

dapat dibuat secara implisit dan melalui proses dapat diperpanjang jangka waktunya

atau sebalikya. Menurut Olson (1965), pada hakekatnnya orang menolak untuk

bertindak kolektif kecuali dalam situasi koersif. Alasannya adalah karena tidak

tersedia insentif yang sama untuk mereka yang memberi pengorbanan. Karena itu,

orang lebih senang menjadi penumpang gelap (free-rider). Salah satu cara

mengurangi kecenderungan ini adalah dengan membentuk kelompok-kelompok

berukuran kecil.

Beard dan Dagupta (2006), bahwa individu dan masyarakaat sesungguhnya

mampu menciptakan sendiri aturan mereka berserta institusi dan sistem

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

manajemen, dalam upaya mendapatkan tujuan-tujuan mereka. Pertanyaannya

adalah mengapa ada kelompok yang mampu menyelesaikan masalah koordinasi

dan dilema sosial lain, sedangkan yang lain gagal. Dari beberapa studi ditemukan

bahwa faktor yang mempengaruhi terbentuknya tindakan kolektif adalah

heterogenitas sosial ekonomi, ukuran kelompok, serta kehadiran relasi non linear

(non-linear relations) dan mediasi yang dimainkan oleh institusi. Tindakan kolektif

pada level kelompok/komunitas memberikan perhatian pada kualitas hubungan

antara pelaku yang secara langsung dipengaruhi oleh hasil (outcome) dari sistem.

Hasil merupakan faktor utama yang dipertimbangkan dalam membentuk keinginan

terlibat dalam jaringan, selain level kepercayaan antar pelaku. Rumusan ini lalu

dipayungi dalam konsep modal sosial.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Beard dan Dasgupta dalam Sahyuti (2011)

menemukan bahwa tindakan kolektif dalam komunitas dapat dipahami yang

pembentukannya dipengaruhi oleh sosial, politik dan historik, baik di dalam

maupun di luar komunitas. Faktor penentunya adalah tarik menarik antar invidu

atau kelompok (kohesi) dalam komunitas dimana kepercayaan menjadi

komponennya, di samping kestabilan relasi sosial serta hierarkhi sosial yang

terbentuk.

Menurut Marshall (1998) dalam Vanni (2014), menyatakan tindakan

kolektif didefinisikan sebagai tindakan yang diambil oleh sebuah kelompok (baik

langsung atau atas nama melalui organisasi) dalam mencapai tujuan kepentingan

bersama. Seperti yang diamati oleh Meinzen-Dick et al. (2004) yang lebih spesifik

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

dan definisi bervariasi yang telah ditambahkan kemudian memiliki kesamaan ciri

berikut membangun struktur: keterlibatan sekelompok orang, kepentingan bersama,

umum dan sukarela tindakan untuk mengejar kepentingan-kepentingan bersama.

2.5.2 Tindakan Kolektif dan Kerjasama dalam Komunitas

Tindakan kolektif dan kerja sama berhubungan erat dengan dimensi

solidaritas dan kepercayaan, di samping itu pula tindakan kolektif diperlukan

aturan-aturan yang mengikat, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Walaupun

aturan-aturan tidak tertulis, tapi ditaati oleh setiap anggota masyarakat dan

menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial.

Aturan-aturan kolektif yang tidak tertulis misalnya, bagaimana cara menghormati

orang yang lebih tua, menghormati pendapat orang lain, norma untuk tidak

mencurangi orang lain, norma untuk selalu bersama-sama dan lain lain. Jika dalam

suatu komunitas norma tersebut akan tumbuh dan dipertahankan oleh kelompok

masyarakat itu sendiri. Norma seperti halnya nilai, senantiasa memiliki implikasi

yang ambivalen, tetapi di sisi lain, norma cenderung tidak merangsang munculnya

ide-ide baru, karena semua bentuk hubungan lebih mengutamakan kulit luar yaitu

suatu label ketimbang pada dimensi substansi isinya. Konfigurasi norma yang

tumbuh ditengah masyarakat juga mementukan apakah norma tersebut akan

memperkuat keretakan hubungan antar individu dan memberikan dampak positif

bagi perkembangan kelompok masyarakat tersebut.

Dalam banyak tindakan kolektif, studi empiris telah dipakai sebagai satu

indikator keluaran dari modal sosial, bagaimanapun tindakan kolektif sendiri

membantu berkembangannya norma dari kerja sama/kolaborasi, pembentukan

Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

organisasi, dan tindakan kolektif yang merupakan indikator penting di dalam

mengukur tingkat modal sosial (Grootaert, 2003). Berbagai macam bentuk tindakan

kolektif (collective action) petani akan memiliki pengaruh terhadap individu dan

masyarakat secara luas yang akan berdampak pada tindakan individu itu sendiri.

Jika masing-masing individu pada akhirnya memutuskan tindakan yang sama maka

akan berpengaruh pula pada masyarakat (kelompok masyarakat).

Berbagai tindakan kolektif yang didasari atas rasa saling mempercayai yang

tinggi akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan

dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama. Kehancuran rasa

saling percaya dalam masyarakat akan mengundang hadirnya berbagai

problematika sosial yang serius. Masyarakat yang kurang memiliki perasaan

perasaan saling mempercayai akan sulit menghindari berbagai situasi kerawanan

sosial dan ekonomi yang mengancam. Semangat kolektifitas tenggelam dan

partisipasi masyarakat untuk membangun bagi kepentingan kehidupan yang lebih

baik akan hilang. Lambat laun akan mendatangkan biaya yang tinggi bagi

pembangunan karena masyarakat cenderung bersikap apatis dan hanya menunggu

apa yang akan diberikan oleh pemerintah. Jika rasa saling mempercayai telah luntur

maka yang akan terjadi adalah sikap-sikap yang menyimpang dari nilai dan norma

yang berlaku. Kriminalitas akan meningkat, tindakan-tindakan destruktif dan

anarkis gampang mencuat, kekerasan dan kerusuhan massa akan cepat tersulut dan

masyarakat tersebut cenderung pasif, sendiri-sendiri dan pada akhirnya akan

muncul perasaan keterisolasian diri. Pada situasi yang tersebut terakhir ini,

masyarakat akan gampang terserang berbagi penyakit kejiwaan seperti kecemasan,

Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

putus asa dan kemungkinan akan melahirkan tindakan-tindakan fatal baik bagi

dirinya, masyarakat dan negara (Putnam, 1993).

2.5.3 Posisi Individu dalam Menggerakkan Kelompok

Perilaku manusia secara individu umumnya berbeda antara satu dengan

lainnya. Perilaku itu sendiri adalah suatu fungsi dari interaksi antara seseorang

individu dengan lingkungannya. Dilihat dari sifatnya, perbedaan perilaku manusia

itu disebabkan beberapa hal anatra lain kemampuan, kebutuhan, cara berpikir,

pengalaman, pengaruh lingkungan baik internal maupun eksternal dan lain lain.

Secara umum sifat manusia pada prinsipnya ingin hidup berdampingan satu dengan

yang lainnya, sehingga peranan komunikasi antar individu sangat memegang

peranan penting dalam kehidupan. Meskipun manusia memiliki hak asasi untuk

bertindak berdasarkan keinginan dan kebutuhan sepanjang melanggar ketentuan

norma dan hukum yang telah menjadi pranata sosial. Meskipun demikian, dalam

kehidupannya membutuhkan orang lain diajak untuk bekerjasama untuk

membentuk kelompok, berkomunikasi untuk memenuhi keinginan dan

kebutuhannya.

Peran pengurus kelompok adalah untuk menjaga kekompakan kelompok

dan juga berperan sebagai penggerak kelompok dan dipercaya oleh para petani agar

dapat berjalan dengan baik, sehingga apa yang menjadi tujuan utama terwujud.

Oleh karena itu, kedudukan dan perannya sangat penting. Pengurus kelompok

dengan dedikasi yang tinggi, jujur, mempunyai integritas dan penuh keikhlasan

akan membawa kelompoknya menjadi suatu kelembagaan petani berkembang dan

mandiri.

Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Dengan terbentuknya kelompok-kelompok tani yang digerakkan oleh

beberapa individu (pengurus) akan memperkuat kelembagaan petani dan

mempunyai posisi tawar yang lebih kuat bila dibandingkan dengan bergerak secara

individu. Dengan kelompok, kegiatan atau aksi bersama (tindakan kolektif) akan

mampu mempunyai kekuatan dalam meningkatkan posisi tawar, karena dalam

konsep aksi kolektif, Marshal (1998) menggambarkan aksi kolektif sebagai

tindakan yang diambil oleh suatu kelompok (baik secara langsung maupun melalui

organisasi) untuk mencapai kepentingan bersama. Jadi peran petani secara individu

akan lebih kuat jika mereka bergabung dalam kelompok tani. Melalui aksi kolektif,

petani dalam kelompok tani dapat berinteraksi dan bernegosiasi dengan para pihak

luar serta membangun jaringan kerja dalam rangka memperjuangkan hak bersama

di dalam kelompok taninya. Aksi kolektif secara bersama-sama lebih kuat daripada

aksi individu. Melalui kelompok tani, petani bisa melakukan proses pembelajaran

yang dilakukan mendorong motivasi setiap individu (petani) anggota kelompok

untuk melakukan aksi bersama guna mencapai satu tujuan. Kepentingan bersama

menjadi aspek penting dan menjadikan semangat bagi anggota kelompok untuk

bekerjasama.

2.6 Modal Sosial

2.6.1 Konsep dan Definisi Modal Sosial

Pierre Bourdieu (1986) seorang sosiolog Perancis kenamaan, dalam

sebuah tulisan yang berjudul “The Forms of Capital”, mengemukakan bahwa untuk

dapat memahami struktur dan cara berfungsinya dunia sosial perlu dibahas modal

dalam segala bentuknya, tidak cukup hanya membahas modal seperti yang dikenal

Page 52: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

dalam teori ekonomi. Penting juga diketahui bentuk-bentuk transaksi yang dalam

teori ekonomi dianggap sebagai non-ekonomi karena tidak dapat secara langsung

memaksimalkan keuntungan material. Padalah sebenarnya dalam setiap transaksi

modal ekonomi selalu disertai oleh modal immaterial berbentuk modal budaya dan

modal sosial. Bourdieu menjelaskan perbedaan antara modal ekonomi, modal

budaya dan modal sosial, dan menggambarkan bagaimana ketiganya dapat

dibedakan antara satu sama lain dilihat dari tingkat kemudahannya untuk

dikonversikan. Modal dalam pengertian ekonomi selalu dikaitkan/diukur dengan

material (uang).

Bourdieu (1986) mendefinisikan modal sosial sebagai keseluruhan

sumberdaya baik yang aktual maupun potensial yang terkait dengan kepemilikan

jaringan hubungan kelembagaan yang tetap dengan didasarkan pada saling kenal

dan saling mengakui. Coleman (1988) dalam sebuah tulisan yang berjudul “Social

Capital in the Creation of Human Capital” memperkenalkan modal sosial sebagai

sarana konseptual untuk memahami orientasi teoritis tindakan sosial dengan

mengaitkan komponen-komponen dari perspektif sosiologi dan ekonomi.

Dalam bukunya Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern

Italy (1993) Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai 'features of social

organisation, such as networks, norms, and trust, that facilitate coordination and

co-operation for mutual benefit,’ ciri-ciri organisasi sosial, seperti jaringan, norma-

norma, dan kepercayaan yang memudahkan koordinasi dan kerjasama untuk

mendapatkan manfaat bersama. Definisi ini paling mudah dipahami kalangan

masyarakat luas dibandingkan dengan difinisi yang lainnya, sehingga menurut

Page 53: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Robert Putnam yang memandang modal sosial sebagai seperangkat hubungan yang

horizontal (horizontal associations) antar orang.

Pentingnya kepercayaan dalam mencapai kesejahteraan ekonomi

merupakan sorotan utama dalam kajian yang dilakukan Francis Fukuyama. Dalam

karyanya Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995).

Fukuyama menggunakan konsep kepercayaan untuk mengukur tingkat modal

sosial. Ia berpendapat modal sosial akan menjadi semakin kuat apabila dalam suatu

masyarakat berlaku norma saling balas membantu dan kerjasama yang kompak

melalui suatu ikatan jaringan hubungan kelembagaan sosial. Fukuyama

menganggap kepercayaan itu sangat berkaitan dengan akar budaya, terutama yang

berkaitan dengan etika dan moral yang berlaku. Karena itu ia berkesimpulan bahwa

tingkat saling percaya dalam suatu masyarakat tidak terlepas dari nilai-nilai budaya

yang dimiliki masyarakat bersangkutan.

Burt (1992) mendefinsikan modal sosial adalah kemampuan masyarakat

untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi

kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi

juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Fukuyama (1995) mendifinisikan

modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang

dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan

terjalinnya kerjasama di antara mereka. Adapun Cox (1995) mendefinisikan modal

sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh

jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan

efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama.

Page 54: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Sejalan dengan Fukuyama dan Cox, Partha dan Ismail S. (1999)

mendefinisikan, modal sosial sebagai hubungan-hubungan yang tercipta dan

norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam

masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial yang menjaga

kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Pada jalur yang sama Solow

(1999) mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-

norma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat mendorong kemampuan dan

kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi

besar terhadap keberlanjutan produktivitas.

Adapun menurut Cohen dan Prusak L. (2001), modal sosial adalah sebagai

setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), kesaling

pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang

mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat

dilakukan secara efisien dan efektif. Senada dengan Cohen dan Prusak L.,

Hasbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang

berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai

kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi

unsur-unsur utamanya sepetri trust (rasa saling mempercayai), keimbal-balikan,

aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya.

Pernyataan Dasgupta (1997), mengenai modal sosial adalah pribadi yang

dipengaruhi oleh eksternalitas, baik positif maupun negatif.

Modal sosial mempunyai fungsi yang sangat penting dalam hubungan antar

manusia. Ife dan Tesoriero (2008), mengatakan bahwa modal sosial dapat dilihat

Page 55: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

sebagai ‘perekat’ yang menyatukan masyarakat- hubungan-hubungan antar

manusia, orang melakukan apa yang dilakukannya terhadap sesamanya karena ada

kewajiban sosial, timbal balik, solidaritas sosial dan komunitas. Modal sosial

mengarahkan orang untuk berbagai kekuatan (power sharing) yang dilandasi oleh

nilai-nilai dan norma-norma kehidupan.

Modal sosial merupakan jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi

dapat meningkatkan intensitas hubungan kemasyarakatan. Modal sosial bersifat

kumulatif dan bertambah dengan sendirinya. Putnam mendefinisikan modal sosial

sebagai penampilan organisasi sosial seperti jaringan dan kepercayaan yang

memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama.

Sementara menurut Fukuyama, modal sosial adalah kemampuan yang timbul dari

adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas. Ini sejalan dengan pemahaman Bank

Dunia (1999) atas modal sosial. Leana (1999) mengidentifikasi modal sosial

organisasi sebagai atribut kolektif dari jumlah koneksi yang dimiliki individu dalam

organisasi. Komponen utama modal sosial organisasi adalah asosiabilitas dan trust.

Berdasarkan beberapa konsep dan definisi modal sosial (social capital)

dapat didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama, demi

mencapai tujuan bersama yang dilandasi oleh tiga komponen, yaitu (1) Norma

adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota

masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu; (2) Kepercayaan (trust) adalah suatu

bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan sosialnya yang didasari

oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang

diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling

Page 56: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

mendukung, paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan

kelompoknya; dan (3) Jaringan adalah hubungan sosial antar kelompok atau

individu. Modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan terletak

pada kecenderungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi

sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat.

2.6.2 Unsur-unsur Modal Sosial

Menurut Hasbullah (2006), unsur-unsur pokok modal sosial adalah 1)

partisipasi dalam suatu jaringan, 2) timbal balik (resiprocity), 3) kepercayaan

(trust), 4) norma-norma sosial, 5) nilai-nilai, dan 6) tindakan yang proaktif.

Penjelasan masing-masing unsur secara ringkas, adalah sebagai berikut.

1) Participation in a network (partisipasi dalam suatu jaringan). Kemampuan

sekelompok orang untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial,

melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan

atas dasar prinsip kesukarelaaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan

(freedom), dan keadaban (civility). Kemampuan anggota kelompok atau

anggota masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan

yang sinergis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya

modal sosial suatu kelompok.

2) Reciprocity (hubungan timbal balik). Kecenderungan saling tukar kebaikan

antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola

pertukaran terjadi dalam suatu kombinasi jangka panjang dan jangka pendek

dengan nuansa altruism tanpa mengharapkan imbalan. Pada masyarakat dan

kelompok-kelompok sosial yang terbentuk yang memiliki bobot resiprositas

Page 57: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial

yang tinggi.

3) Trust (kepercayaan). Suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam

hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang

lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa

bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung. Paling tidak, yang

lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 1993).

Tindakan kolektif yang didasari saling percaya akan meningkatkan partisipasi

masyarakat dalam berbagai bentuk dan dimensi terutama dalam konteks

kemajuan bersama. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk bersatu dan

memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial.

4) Social norms (norma sosial). Sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan

diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini

biasanya terinstitusionalisasi, tidak tertulis tapi dipahami sebagai penentu pola

tingkah laku yang baik dalam konteks hubungan sosial sehingga ada sangsi

sosial yang diberikan jika melanggar. Norma sosial akan menentukan kuatnya

hubungan antar individu karena merangsang kohesifitas sosial yang berdampak

positif bagi perkembangan masyarakat. Oleh karenanya norma sosial disebut

sebagai salah satu modal sosial.

5) Values (nilai). Sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting

oleh anggota kelompok masyarakat. Nilai merupakan hal yang penting dalam

kebudayaan, biasanya ia tumbuh dan berkembang dalam mendominasi

kehidupan kelompok masyarakat tertentu serta mempengaruhi aturan-aturan

Page 58: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

bertindak dan berperilaku masyarakat yang pada akhirnya membentuk pola

cultural.

6) Proactive action (tindakan yang proaktif). Keinginan yang kuat dari anggota

kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi

keterlibatan anggota kelompok dalam suatu kegiatan masyarakat. Anggota

kelompok melibatkan diri dan mencari kesempatan yang dapat memperkaya

hubungan-hubungan sosial dan menguntungkan kelompok. Perilaku inisiatif

dalam mencari informasi berbagai pengalaman, memperkaya ide, pengetahuan,

dan beragam bentuk inisiatif lainnya baik oleh individu mapun kelompok,

merupakan wujud modal sosial yang berguna dalam membangun masyarakat.

Unsur-unsur modal sosial menurut Blakeley dan Suggate (1977) dalam

Suharto (2007), menyatakan bahwa unsur-unsur modal sosial adalah kepercayaan,

kohesifitas, altruism, gotong-royong, jaringan, dan kolaborasi sosial Ridell dalam

Suharto (2007) menuliskan tiga parameter modal sosial, yaitu (1) kepercayaan

(trust); (2) norma-norma (norms); dan (3) Jaringan-jaringan (networks).

2.6.3 Peranan Modal Sosial dalam Pembangunan Ekonomi

Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sejumlah pakar terhadap

berbagai kelompok masyarakat di beberapa negara menemukan bahwa modal sosial

berperan penting dalam mencapai keberhasilan ekonomi mereka (Gittell et al.,

2001). Studi ini memperlihatkan bagaimana modal sosial berperan dalam menjalin

kerjasama antara masyarakat dengan lembaga-lembaga keuangan yang diharapkan

untuk membantu pengembangan usaha masyarakat.

Page 59: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Putnam (2000) mengemukakan bahwa pemanfaatan modal sosial dalam

pembangunan sangat penting. Hal ini dikarenakan (1) modal sosial memungkinkan

warga untuk menyelesaikan masalah kolektif lebih mudah; (2) modal sosial sebagai

roda yang memungkinkan masyarakat untuk lebih lancar bergerak; dan (3) modal

sosial mengacu pada kehidupan masyarakat. Hal yang sama disampaikan oleh

Coleman (1988), bahwa modal sosial merupakan sumber penting bagi individu

untuk dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam bertindak dan memberikan

kualitas hidup yang baik. Oleh karenanya, modal sosial akan membentuk

masyarakat menjadi kuat dan berkepribadian yang sanggup mengatasi

permasalahan dengan cepat tanpa harus dirugikan.

Beberapa hasil kajian penelitian di Indonesia memberikan informasi adanya

peran modal sosial dalam pembangunan. Bulu (2016) menemukan bahwa modal

sosial merupakan faktor utama yang perlu mendapatkan perlakuan dominan dalam

desiminasi inovasi dan pemberdayaan kelembagaan tani dalam adopsi inovasi

pertanian. Modal sosial merupakan faktor yang menentukan keterladan petani

terhadap informasi inovasi, modal manusia, dan promosi inovasi. Oleh karenanya,

untuk meningkatkan kapasitas petani dan tingkat adopsi inovasi pertanian maka

diperlukan revitalisasi modal sosial yaitu penguatan modal sosial.

Mawardi (2007) dalam penelitiannya tentang pemberdayaan masyarakat,

mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat akan mengalami kegagalan

tanpa menyadari pentingnya melibatkan dimensi kultural dan mendayagunakan

peran modal sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Modal sosial yang berisikan

kepercayaan, pertukaran timbal balik, norma-norma sosial, dan nilai-nilai etis,

Page 60: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

merupakan pondasi penopang yang akan menentukan perkembangan dan

keberlanjutan beragam aktifitas usaha di berbagai sektor kehidupan. Hasil

penelitian Rustanto (2007) menunjukkan bahwa penguatan modal sosial yang

tumbuh dan berkembang dalam bentuk kelompok-kelompok sosial merupakan

salah satu pendekatan yang perlu dikembangkan dalam penanganan kemiskinan.

Pada pendekatan tersebut, individu-individu sebagai anggota kelompok mengalami

proses belajar sosial untuk mengembangkan potensi dan sumberdaya yang dimiliki.

Di samping itu, setiap individu akan terlibat belajar mengembangkan perilaku pro

sosial untuk mengatasi masalah dan kebutuhannya.

2.6.4 Hubungan Modal Sosial dengan Sumberdaya Alam

Secara khusus Isham (2000) menganalisis potensi pengaruh modal sosial

terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, dapat terjadi melalui dua mekanisme,

yaitu sebagai berikut. 1) Biaya transaksi (transaction cost). Interaksi sosial

sesungguhnya dapat mempengaruhi besarnya biaya transaksi dalam pertukaran.

Ketika pelaku ekonomi terus-menerus dan secara regular berinteraksi dalam suatu

kondisi sosial tertentu, mereka akan membentuk suatu pola perilaku dan

membangun ikatan kepercayaan. Ditambah lagi, jika terdapat kemungkinan

pengenaan sanksi, maka interaksi ini bisa menurunkan kemungkinan perilaku

oportunistik dari pelaku ekonomi yang berada dalam struktur sosial yang sama; 2)

Aksi bersama (collective action). Olson (1965) menyatakan bahwa tanpa adanya

kendala tertentu yang mendorong ataupun memaksa pelaku ekonomi, maka pelaku

ekonomi tidak akan memiliki insentif untuk berpartisipasi dalam aksi bersama

untuk mencapai tujuan bersama. Interaksi secara reguler dalam suatu kondisi sosial

Page 61: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

dapat mengarah kepada pembentukan institusi yang dapat berfungsi sebagai

kendala, sehingga dapat menurunkan insentif bagi pelaku ekonomi untuk menjadi

penumpang gelap.

Dalam mengatasi permasalahan pemanfaatan sumberdaya alam, maka

modal sosial dapat berkontribusi pada pola pemanfaatan agar tidak menimbulkan

dampak negatif bagi penggunanya, seperti pencemaran dan atau produksi yang

berlebih. Melangkah dari perspektif ini, maka pengaruh modal sosial dapat dilihat

dari dua hal utama, yaitu: (1) Modal sosial dengan eksternalitas terbatas dan (2)

Modal sosial dengan eksternalitas luas. Paling tidak terdapat dua pengaruh modal

sosial dengan eksternalitas terbatas, sebagai berikut: bagi individu atau jaringannya

dan bagi komunitas masyarakat dataran tinggi dan dataran rendah tertentu.

Hasil kajian menunjukkan: modal sosial dilihat dari actor perspective

maupun public perspective berkorelasi positif terhadap kelestarian hutan (sumber

daya alam); manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat sekitar hutan berkorelasi

negatif dengan kelestarian hutan, dan manfaat ekologi berkorelasi positif terhadap

kelestarian hutan (Ekawati dan Nurrochmat, 2014).

2.6.5 Modal Sosial dalam Komunitas Petani

Modal sosial dalam kelompok tani seperti subak di Bali merupakan hasil

akumulasi segala bentuk modal sosial yang dibawa oleh individu anggota ke dalam

kelompok tani untuk kemudian dimanfaatkan secara kolektif dan memberikan

keuntungan bagi kelompok tani tersebut. Masyarakat yang memiliki modal sosial

tinggi akan membuka kemungkinan menyelesaikan kompleksitas persoalan dengan

lebih mudah. Dengan saling percaya, toleransi, dan kerjasama mereka dapat

Page 62: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

membangun jaringan baik di dalam kelompok masyarakatnya maupun dengan

kelompok masyarakat lainnya.

Pada masyarakat tradisional (petani), telah diketahui memiliki asosiasi

(hubungan) informal yang umumnya kuat dan memiliki nilai, norma, dan etika

kolektif sebagai sebuah komunitas yang saling berhubungan yang sudah dipelihara

sejak dulu kala. Hal ini merupakan modal sosial yang dapat mendorong munculnya

organisasi yang modern dengan prinsip keterbukaan, dan jaringan-jaringan

informal dalam masyarakat yang secara mandiri dapat mengembangkan

pengetahuan dan wawasan dengan tujuan peningkatan kesejahteraan dan kualitas

hidup bersama dalam kerangka pembangunan masyarakat.

Secara umum kemampuan modal sosial (social relationship) diperdesaan

masih kuat dan mengakar termasuk kesediaan dan saling membantu dalam

pengerjaan usahatani. Pembangunan pertanian akan berhasil apabila petani sebagai

subjek (sebagai anggota subak) pembangunan bergairah dan termotivasi untuk

bekerja keras, motivasi akan menumbuhkan daya kreasi petani dan kegotong-

royongan diantara mereka yang pada gilirannya menumbuhkan modal sosial yang

telah menjamin keberhasilan penerapan teknologi pertanian untuk keberlanjutan

pembangunan pertanian di masa akan datang.

2.6.6 Modal Sosial dalam Tindakan Kolektif

Konsep modal sosial mendapat perhatian dalam literatur tentang

pengelolaan sumberdaya bersama (common pool resources) dan tindakan

kelompok (collective action), khususnya dalam hubungannya dengan penggunaan

Page 63: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

dan pembangunan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Konsep ini terkait dengan

mekanisme insentif atau pengaturan kelembagaan untuk mencegah insentif

individu untuk bertindak sebagai “penumpang gratis (gelap)” (individual incentive

to free riding) terhadap penyediaan barang publik (Ishihara dan Pascual, 2008).

Modal sosial memiliki salah satu unsur yang penting, yaitu keinginan yang

kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa

mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat. Maka dari

itu ide dasarnya adalah bahwa seorang atau kelompok senantiasa kreatif dan aktif.

Melibatkan diri dan mencari kesempatan yang dapat memperkaya, tidak saja dari

sisi material tapi juga kekayaan hubungan sosial, dan menguntungkan kelompok,

tanpa merugikan orang lain, secara bersama sama. Mereka cenderung tidak

menyukai bantuan yang sifatnya dilayani, melainkan lebih memberi pilihan untuk

lebih banyak melayani secara proaktif. Tindakan proaktif memiliki kandungan

sosial (modal sosial) dapat diperhatikan melalui tindakan dari yang sederhana

sampai berdimensi dalam dan luas. Individu yang terbiasa proaktif untuk memungut

sampah misalnya yang berserakan di ruang-ruang publik, membersihkan

lingkungan tempat tinggal, menolak menjual sawah yang digunakan untuk non

pertanian, dan tindakan yang lainnya merupakan bentuk tindakan yang di dalamnya

terkandung semangat keaktifan dan keperdulian. Begitu pula dengan inisiatif untuk

mengunjungi keluarga, teman, berdiskusi sesama petani, mencari informasi yang

dapat memperkaya ide, pengetahuan dan beragam bentuk inisiatif individu yang

kemudian menjadi insiatif kelompok, merupakan wujud proaktif yang bernuansa

modal sosial. Pada dasarnya satu individu masyarakat secara alami akan cenderung

Page 64: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

memilih melakukan aksi bersama dengan individu lain ketika mereka merasa ada

kesamaan dalam hal tujuan yang ingin dicapai dan ketika mereka merasa adanya

ketidakpastian dan resiko yang dihadapi jika bergerak sendirian.

Tindakan kolektif yang hadir dimanfaatkan untuk merespon situasi di luar

masyarakat yang kemudian dikembangkan menjadi kemampuan beradaptasi.

Modal sosial menjadi kekuatan untuk dapat merespon situasi yang ada di

masyarakat dalam pembangunan baik yang dilksanakan oleh masyarakat di

pedesaan maupun oleh pemerintah. Upaya merespon berupa kerja sama dan

partisipasi adalah bentuk kemampuan adaptasi mereka. Kemampuan ini kemudian

dikembangkan lebih lanjut dengan upaya memobilisasi sumber daya dan

memodifikasi sistem kelembagaan yang ada. Kemampuan tersebut menjadi dasar

kuat lemahnya daya lenting, fleksibilitas, dan stabilitas masyarakat pedesaan dalam

merespon pembangunan, seperti terlihat pada Gambar 2.1

Mobilisasi

Kelembagaan

Daya Lenting

,Fleksibilitas,Stabilitas

Modal Sosial

(Bonding)

Upaya Merespon Situasi Luar

Pembangunan Infrastruktur

“Power”

Tindakan KolektifKemampuan

Adaptasi

Mobilisasi Sumber

Daya

Gambar 2.1

Hubungan Antara Tindakan Kolektif (Collective Action)

Dengan Tindakan Individu dan Masyarakat

Sumber: Ayu Kusumastuti (2015)

Page 65: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

Tindakan kolektif yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat karena

sekelompok masyarakat tersebut karena adanya perubahan. Kecenderungan

terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang wajar yang timbul

dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial

akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan

antarmasyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-

unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam

unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan.

Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan

perkembangan zaman yang dinamis, salah satu teori perubahan sosial adalah teori

fungsionalisme struktural yang dikemukakan oleh Stephen K. Sanderson (1993)

yang menyatakan bahwa fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang

luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat

sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan.

Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari

elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Secara

essensial prinsip-prinsip pokok fungsionalisme struktural adalah sebagai berikut:

1) Masyarakat merupakan system yang kompleks yang tediri dari bagian-

bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian

saling berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya.

2) Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki

fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat

secara keseluruhan.

Page 66: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi 2.1 ... - …

3) Semua masyarakat memiliki mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya,

yaitu mekanisme yang dapat merekatkannya menjadi satu. Salah satu bagian

penting dari mekanisme ini adalah komitmen para anggota masyarakat

kepada serangkaian kepercayaan dan nilai yang sama.

4) Masyarakat cenderung mengarah kepada satu keadaan equilibrium atau

homeostatis, dan gangguan padasalah satu bagian cenderung menimbulkan

penyesuaian pada bagian lain agar tercapai harmoni dan stabilitas.

5) Perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak biasa dalam masyarakat

tetapi bila itu terjadi juga maka perubahan itu pada umumnya akan

membawa kepada konsekwensi-konsekwensi yang menguntungkan

masyarakat secara keseluruhan.