bab ii tinjauan pustaka 2.1 mesin...

23
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mesin Cumnins/Onan Genset. Mesin Cumnins/Onan Genset ini adalah mesin pembangkit listrik yang digunakan PT. Hardaya Inti Plantations guna memasok listrik ke pabrik dan perumahan serta mengantisipasi terjadinya kekurangan pasok listrik dari mesin tersebut, mesin disel ini memerlukan adanya perawatan sebelum terjadi kerusakan, komponen-komponen yang dibuat jadwal perencanaan perawatan adalah komponen Liner, Piston, Cit lub Oil dan ring dikarenakan keempat komponen ini selalu mengalami kerusakan. Kerusakan ataupun gangguan yang sering dialami mesin cumnins / onan genset ini berupa gangguan mekanik dan gangguan elektrik. Untuk memperkecil kerusakan yang ada maka dibutuhkan adanya preventive maintenece. 2.2 Perawatan Dunia industri secara khas mengemukakan dua jenis manajemen pemeliharaan: 1 run-to-failure, atau 2 pemeliharaan pencegahan. 2.2.1 Manajemen Run-To-Failure Manajemen run-to-failure adalah secara langsung dan sederhana. Ketika mesin rusak maka langkah selanjutnya memperbaiki. Metoda pemeliharaan mesinan dalam industri telah menjadi suatu bagian terbesar operasi pemeliharaan pabrik sejak pabrik yang pertama telah dibangun. Suatu pabrik yang menggunakan manajemen run-to-failure tidak mengeluarkan biayapada pemeliharaan sampai suatu mesin atau sistem gagal untuk beroperasi. Run-to- failure adalah suatu teknik manajemen reaktif yang menantikan mesin atau kegagalan peralatan sebelum tindakan pemeliharaan diambil. Ini juga metoda manajemen pemeliharaan yang mahal. Sedikit pabrik menggunakan suatu filsafat manajemen run-to-failure. Di dalam hampir semua kejadian, pabrik melaksanakan tugas pencegahan basis dasar yaitu pemberian minyak pelumas, penyesuaian mesin, dan penyesuaian lainnya bahkan di suatu lingkungan run-to-failure.

Upload: ngothien

Post on 02-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mesin Cumnins/Onan Genset.

Mesin Cumnins/Onan Genset ini adalah mesin pembangkit listrik yang

digunakan PT. Hardaya Inti Plantations guna memasok listrik ke pabrik dan

perumahan serta mengantisipasi terjadinya kekurangan pasok listrik dari mesin

tersebut, mesin disel ini memerlukan adanya perawatan sebelum terjadi

kerusakan, komponen-komponen yang dibuat jadwal perencanaan perawatan

adalah komponen Liner, Piston, Cit lub Oil dan ring dikarenakan keempat

komponen ini selalu mengalami kerusakan.

Kerusakan ataupun gangguan yang sering dialami mesin cumnins / onan

genset ini berupa gangguan mekanik dan gangguan elektrik. Untuk memperkecil

kerusakan yang ada maka dibutuhkan adanya preventive maintenece.

2.2 Perawatan

Dunia industri secara khas mengemukakan dua jenis manajemen

pemeliharaan: 1 run-to-failure, atau 2 pemeliharaan pencegahan.

2.2.1 Manajemen Run-To-Failure

Manajemen run-to-failure adalah secara langsung dan sederhana. Ketika

mesin rusak maka langkah selanjutnya memperbaiki. Metoda pemeliharaan

mesinan dalam industri telah menjadi suatu bagian terbesar operasi pemeliharaan

pabrik sejak pabrik yang pertama telah dibangun. Suatu pabrik yang

menggunakan manajemen run-to-failure tidak mengeluarkan biayapada

pemeliharaan sampai suatu mesin atau sistem gagal untuk beroperasi. Run-to-

failure adalah suatu teknik manajemen reaktif yang menantikan mesin atau

kegagalan peralatan sebelum tindakan pemeliharaan diambil. Ini juga metoda

manajemen pemeliharaan yang mahal.

Sedikit pabrik menggunakan suatu filsafat manajemen run-to-failure. Di

dalam hampir semua kejadian, pabrik melaksanakan tugas pencegahan basis

dasar yaitu pemberian minyak pelumas, penyesuaian mesin, dan penyesuaian

lainnya bahkan di suatu lingkungan run-to-failure.

4

Biaya yang utama berhubungan dengan jenis manajemen pemeliharaan ini

adalah:

1.Menginventarisir biaya onderdil tinggi,

2.Biaya tenaga kerja lembur tinggi,

3. Down time mesin tinggi, dan

4.Ketersediaan produksi rendah.

2.2.2. Manajemen Pemeliharaan Pencegahan

Banyak definisi dari pemeliharaan pencegahan, tetapi semua pemeliharaan

pencegahan merupakan program manajemen pengaturan waktu. Dengan kata

lain, tugas pemeliharaan didasarkan pada waktu berlalu operasi. Gambar 1.1

menggambarkan suatu contoh statistik suatu machine-train. Rata-Rata waktu ke

kegagalan main time to failure (MTTF) atau kurva bathtub menunjukkan bahwa

suatu mesin baru mempunyai suatu kemungkinan kegagalan tinggi, oleh karena

permasalahan instalasi sepanjang awal minggu operasi. Berikut ini periode hidup

mesin normal kemungkinan kegagalan peningkatan yang tajam dengan waktu

berlalu. Di dalam manajemen pemeliharaan pencegahan, pekerjaan pembetulan

mesin atau membangun kembali dijadwalkan atas dasar MTTF statistik.

Gambar.1.Kurva Bathtub

(Mobley, 2004)

2.2.3 Perawatan Pencegahan (Preventive Maintenance)

Perawatan pencegahan adalah merupakan perawatan yang dilakukan

sebelum terjadi kerusakan mesin. Kebijakan ini cukup baik dapat mencegah

berhentinya mesin yang tidak direncanakan.literatur pertama mengenai perawatan

pencegahan ini diterbitkan pada tahun 1925, tentang sistem pemeriksaan secara

5

terratur terhadap kendaraan yang dimulai pada tahun 1930 di pabrik baja USA.

Diperkenalkan di jepang pada tahun 1951 dari ESSO oleh Toa full co.

Keuntungan kebijakan perawatan pencegahan terutama akan menjamin

keandalan dari sistem tersebut, menjamin keselamatan bagi pemakai, umur pakai

mesin menjadi lebih panjang, down time proses produksi dapat diperendah.

Sedangkan kerugian yang terjadi diantaranya waktu operasi akan banyak

terbuang, kemungkinan akan terjadi human error dalam proses assembling atau

lainnya.

Kebijakan perawatan pencegahan umumnya dilakukan sebelum terjadi

kerusakan mesin. Ciri dari kebijakan ini terlihat dari dilakukannya inspeksi secara

periodik dan adanya perencanaan yang sistematis. Adapun aktivitas utama dari

kebijakan ini lebih menitik beratkan pada inspeksi secara periodik dalam

pemulihan kondisi mesin secara terencana akibat adanya kemunduran fungsi.

Dengan demikian, pengertian perawatan pencegahan merupakan kegiatan

pendeteksian atau penanganan secara secara cepat terhadap mesin/peralatan

yang tidak normal sebelum terjadi kerusakan atau merugikan.

Pelaksanaan kegiatan perawatan pencegahan bisa dilakukan secara on-

line, artinya sistem dalam kondisi jalan dan ada pula beberapa kegiatan perawatan

pencegahan yang harus dilakukan dalam kondisi berhenti (off-line). Program

perawatan pencegahan harus di mulai dengan melakukan sosialisasi ke semua

bagian terkait (produksi, maintenance, manajemen, dll.) untuk memperkenalkan

program dan meyakinkan manfaatnya. Sedangkan parameter keberhasilan

program diukur dari ongkos-ongkos yang terjadi, presentasi down time dan bisa

pula diukur dari Ratio antara Planned Work Order dan Emergency Work Order.

Tujuan perawatan pencegahan diarahkan untuk memaksimalkan

availability, dan meminimasikan ongkos melalui peningkatan reliability. Dengan

lingkup kegiatan bisa hanya mencakup area process (operation,utility, main

process, dll.) atau bisa diperluas ke area lain seperti buildingoffice dan fasilitas

umum.

Kriteria penentuan fasilitas yang termasuk dalam program perawatan

pencegahan dilihat dari (Anting, 2011):

a. Apakah kerusakan alat berdampak pada safety?

b. Apakah kerusakan alat dapat menyebabkan system down?

c. Apakah rep?

6

d. air cost-nya tinggi dan lama?

e. Ketersedian spare part dari fasilitas tersebut.

f. Kondisi kerja dari fasilitas tersebut

2.2.4 Efisiensi Perawatan

Menurut Setiawan efisiensi perawatan (2008), bila ditelusuri ternyata

banyak sekali jenis mesin yang mungkin juga bisa mencapai jutaan jenis mesin.

Tetapi mesin-mesin tersebut terdiri dari komponen-komponen baik elektrikal

maupun mekanikal. Bila dipandang dalam komponen mekanikal maka jumlahnya

akan berkurang sehingga terdiri dari apa yang kita sebut dengan elemen mesin.

Kerusakan mekanikal yang terjadi bila digolongkan berdasarkan akar

permasalahan penyebabnya ternyata dapat dikatagorikan menjadi sediki, yang

kadang kala persentasi kerusakan melebihi 95% dari total kerusakan semua mesin

(ditinjau dari segi mekanikal).

Penurunan kinerja elemen mesin ini merupakan dasar pemikiran untuk

menganalisis kerusakan-kerusakan.

Penurunan kinerja elemen mesin dapat digolongkan menjadi (Setiawan

2008):

1. Pembebanan berlebihan (overload)

Kegagalan kinerja akibat pembebanan berlebihan terjadi langsung saat

beban terpasang. Ada dua macam bentuk kegagalan kinerja akibat pembebanan

yang berlebihan :

a. Mudah bengkok/liat (ductile)

Hal ini dapat dilihat pada material baja karbon rendah misalnya pada poros.

Bila terjadi pembebanan yang berlebihan misalnya puntiran akan

menyebabkan terjadinya perubahan bentuk (deformation) seperti poros

menjadi bengkok tetapi tidak menyebabkan material patah.

b. Mudah patah (brittle)

Bila pembebanan berlebihan pada material yang mudah patah (material

yang mengalami proses pengerasan dan temper) misalnya baja mata bor

atau besi cor

Maka akan menyebabkan material elemen mesin menjadi hancur.

2. Kelelahan pemakaian (fatique)

7

Kelelahan pemakaian merupakan penyebab 90% dari kerusakan

pemakaian. Sebenarnya kelelahan tidak seperti otot yang capek setelah

pemakaian yang lama melainkan disebabkan karena tegangan-tegangan (stress)

dalam komponen metal yang bolak-balik terjadi maupun tegangan yang

berfluktasi.

Poin-poin yang perlu diperhatikan mengenai kelelahan ini antara lain :

a. Jika tegangan stabil dan konstan maka kelelahan tidak terjadi.

b. Pada material yang mengandung besi maka kelelahan terjadi bila fluktasi

puncak tegangan melebihi batas kelelahan (endurance limit).batas kelelahan

ini 40% dari kekuatan tarik akhir dari material (ultimate tensile strength)

c. Kerusakan akibat kelelahan pada awalnya adalah retak yang akan menjalar

ke kerusakan fatal. Hanya satu cara yang disarankan bila terjadi

d. kelelahan yaitu dengan mengganti komponen.

3. Korosi karat

Terjadinya karat pada komponen mekanikal dapat mengurangi luas

permukaan komponen misalnya pada tali kawat baja (steel wire rope) dapat

kerusakan pada mesin walaupun dibawah tenaga kerja. Pada komponen-

komponen yang presisi, karat pada bagian tertentu akan menyebabkan macet

pada mesin.

Pada komponen-komponen mesin yang mengalami tegangan yang

berfluktasi tinggi sering diberi lapisan supaya tidak terjadi korosi karena karat

mengurangi kekuatan logam dengan cara mengakibatkan kelelahan walaupun

pada beban ringan.

4. Keausan.

Desain mesin kadangkala menentukan dan menuliskan pada buku

manual batas keausan dari komponen mekanikal yang tertentu. Dalam arti masih

batas normal dan tidak menyebabkan kerusakan fatal selama tidak melebihi batas

umur kerja yang diijinkan. Departemen pemeliharaan mesin harus dapat

menentukan bagian yang aus dan waktu perioda penggantian komponen-

komponen yang aus,

Tanda-tanda keausan :

a. Timbul permukaan kasar atau seperti butir-butir halus atau terjadinya

perubahan bentuk dari aslinya. Juga tanda seperti digigit tikus dan lepasnya

lapisan pelindung permukaan atau adanya debu korosi.

8

Tanda-tanda keausan diatas umumnya disebut keausan luncur misalnya

terjadi pada bantalan luncur, roda gigi, penghancur (crusher) dan lain

sebagainya.

b. Adanya retak, perubahan bentuk dari aslinya, kepingan yang berlapis yang

rapuh, terjadi lubang-lunbang kecil, adanya bekas karena benda-benda

asing.

Tanda-tanda keausan diatas umumnya disebut keausan gelinding misalnya

terjadi pada bearing dan impeller pompa (Setiawan,2008):

2.2.5 Penentuan Jumlah Keperluan Spare Parts

Secara sederhana untuk menentukan jumlah kebutuhan suku cadang dapat

digunakan rumus (Anting, 2011):

Jumlah spare parts yang perlu disimpan, (K):

K = √𝑓 𝑃 Pers (1)

f = faktor yang di tentukan berdasarkan pengalaman dalam kondisi normal

= 1.

P = jumlah spart parts yang sama dipakai pada equipment yang ada.

Perhatikan :

a. Besarnya investasi dalam bentuk persediaan (tidak lebih dari 30 % dari nilai

aset).

b. Jumlah persedian (lebih dari 6 bulan pemakaian 40 %).

c. Pengaruh inflasi, ketidak akuratan data, maupun tingkat layanan terhadap

keuntungan.

d. Perputaran barang persediaan.

2.3 Konsep Kehandalan

Menurut Hurts (2006) Alasan meningkatnya desain yang menitik beratkan

kehandalan adalah peningkatan kesadaran bahwa biaya kepemilikan suatu produk

atau sistem terdiri dari dua hal. Pertama adalah besarnya modal dan yang kedua

adalah biaya operasi, penanganan, pemeliharaan dan penggantian komponen

suatu produk atau sistem. Alasan kedua, biaya operasi, seringkali melebihi besar

modal,

9

Gambar .2. Biaya Kehandalan Sumber: Hurts (2006)

dan merupakan fungsi kehandalan. Hal tersebut memang benar, dan

memiliki konsekuensi finansial dari kegagalan peralatan yang cukup

memberatkan, sebagian besar pelanggan mensyaratkan kondisi-kondisi

keandalan secara ketat.

Kehandalan 100% merupakan suatu yang tidak mungkin karena uji

kehandalan 100% berarti tidak ada produk yang lolos uji dan dijual. Lamanya

waktu yang diperlukan untuk uji kehandalan tergantung pada laju kegagalan

barang yang diuji. Secara umum, kehandalan meningkatkan biaya produksi dan

meskipun ketidakhandalan menyebabkan biaya penalti, tingkat kehandalan

optimum selalu merupakan kompromi antara keduanya. Gambar 1. menunjukan

hubungan umum antara kehandalan dan biaya.

Kehandalan berkaitan dengan sebab-sebab, distribusi dan prediksi

kegagalan. Kegagalan yang didefinisikan sebagai berakhirnya kemampuan suatu

komponen atau sistem untuk melakukan fungsinya. Parameter ‘tingkat kegagalan’

BiayaPengadaanproduk

Biayapabrikasi Biayasetelahpenyerahan

Biaya

Kehandalan

10

diindikasi dengan simbol λ(t). Metode lain untuk menjelaskan terjadinya kegagalan

adalah dengan menyatakan waktu rata-rata antara kegagalan-kegagalan yang

berurutan. Dua istilah yang digunakan adalah waktu rata-rata antara kegagalan

(MTBF= mean time between failure) dan waktu rata-rata untuk gagal (MTTF =

mean time to fail) keduanya di jelaskan dengan Gambar 3. dalam banyak kasus

MTTF dan MTBF adalah sama.

MTTF adalah waktu operasi rata-rata antara kegagalan-kagagalan yang

berurut dan perbedaan antara kedua termien tersebut adalah waktu perbaikan.

Sehingga,

Gambar .3. Perbedaan antara MTBF dan MTTF Sumber: Hurts (2006)

Kegagalan

Beroperasi

Dalamperbaikan

MTBF MTBF MTBF

MTTF MTTF MTTF

11

MTTF + waktu rata-rata untuk perbaikan = MTBF

Gambar .4. Laju kegagalan terhadap waktu Sumber: Hurts (2006)

Komponen-komponen atau sistem-sistem yang tidak diperbaiki tidak

melewati titik pada Gambar 2, yaitu dalam kasus dimana MTTF dan MTBF

adalah sama.

Kurva laju kegagalan tidak selalu konstan. Jika uji kehandalan meliputi

banyak sampel dan setip produk diuji hingga produk tersebut gagal dan tidak

diganti, laju kegagalan tipikal terhadap waktu akan tampak seperti kurva bath tub

pada Gambar 3.

Selama periode kegagalan awal, dalam waktu beberap jam sebelah

dimulainya pengoperasian kemungkinan kegagalan terjadi karena

ketidaksempurnaan proses pabrikasi, kesalahan desain atau salah penggunaan.

Secara bertahap kegagalan-kegagalan awal ini akan lebih jarang terjadi, periode

ini seringkali tercakup dalam garasi pabrikan.

Periode tingkatan kegagalan konstan biasanya relatif lama dan laju

kegagalan biasanya konstan. Selama periode ini, kegagalan biasanya cukup kecil

atau bahkan sulit dideteksi tetapi dengan variasi penyebab dengan yang luas.

Awal periode aus berkaitan dari akhir masa pakai. Semua produk akan aus

dan rusak dan ini disebabkan oleh berbagai macam mekanisme yang tergantung

waktu.

LajuKegagal

an yan

g dia

mati

Periodekegagalanawal

Periodetingkatkegagalankonstan

Period

eaus

Dasarpenguji

an

12

Kehandalan R(t) berkaitan dengan waktu dan didefinisikan sebagai suatu

probabilitas dan dinyatakan sebagai nilai antara 0 dan 100%. Perhatikan sejumlah

komponen N0yangdiuji, dan komponen yang gagal dibiarkan tidak digantikan,

sehingga pada suatu waktu t terhadap Nskomponen yang berhasil. Maka

𝑅(𝑡) = 𝑁𝑠(𝑡)𝑁0 Pers (2)

Jika sekarang laju kegagalan dinyatakan dalam bentuk Ns(t), hubungan

antara laju kegagalandan R(t) adalah

𝜆(𝑡) = 𝑑𝑁𝑠(𝑡)/𝑁𝑠(𝑡)𝑑𝑡 Pers (3)

Dengan menyelesaikan kedua persamaan tersebut saat laju kegagalan

konstan, diperoleh

𝑅(𝑡) = 𝑒−𝜆𝑡 Pers (4)

Untuk kondisi ini, MTBF (θ) adalah kebalikan dari laju kegagalan, sehingga

𝑅(𝑡) = 𝑒−𝑡/𝜃 Pers (5)

Sebagai contoh, 1000 mesin yang sama jenisnya menunjukan jangka

waktu kegagalan rata-rata 14.000 jam terbang. Berapa probabilitas bahwa salah

satu mesin ini akan berhasil terbang menyeberangi atlantik dalam 7 waktu jam ?

MTBF = 1/λ = 14.000 jam

λ = 1/14.000

𝑅(𝑡) = 𝑒−𝜆𝑡 Pers (6)

R(7) = Probabilitas untuk bertahan 7 jam

= 𝑒−7/14.000

= 0,9995 atau 99,95%

Ini mengindikasikan bahwa daya tahan mesin cukup menjamin. Situasinya

jelas lebih rumit mengngat pesawat penumpang modern selalu memiliki lebih dari

satu mesin dan dapat terus terbang tanpa salah satu mesin. Sehingga 99,95%

hanyalah suatu ukuran dari kehandalan mesin dan bukan kehandalan pesawat.

Karena bab ini hanya mencakup pengenalan kehandalan desain, maka

pembahasan mengenai penggunaan distribusi-distribusi, seperti distribusi

binominal, yang mengindikasikan keseluruhan keamanan pesawat terbang

berdasarkan kehandalan sistem, tidak akan dibahas disini.

Sementara laju kegagalan, MTBF, dan kehandalan komponen-komponen

diukur, kehandalan keseluruhan sistemlah yang menjadi perhatian utama

desainer, penjual dan pelanggan. Kehandalan suatu sistem dapat diperoleh dari

13

kehandalan komponen-komponen penyusun. Adapun sistemnya, kegagalan satu

komponen dapat menyebabkan kegagalan keseluruhan sistem. Sebagai contoh,

suatu televisi mungkin memiliki 500 komponen, sementara pesawat ruang

angkasa berawak memiliki beberapa juta komponen. Jadi, masalah yang dihadapi

para desainer bukanlah seberapa handal komponen-komponennya, tetapi

seberapa banyak komponen-komponen tersebut. Terdapat berbagai jenis

hubungan sistem komponen, diantaranya dalah hubungan seri dan paralel.

Perhatikan suatu sistem yang terdiri dari dua komponen yang terhubung

secara seri demikian sehingga kegagalan salah satunya dapat menyebabkan

kegagalan sistem. Kehandalan sistem didukung oleh kehandalan komponen-

komponennya. Jika masing-masing komponen memiliki kehandalan 90% maka

Kehandalan sistem = 0,9 x 0,9 = 0,81 atau 81%

Denagn mengembangkan kasus N komponen yang dihubungkan secara

seri ;

Ran = Ra. Rb… Rn Pers (7)

Ran = kehandalan sistem

Jika suatu sistem seri terdiri dari 100 komponen dengan masing-masing

kehandalan komponen 90%, maka

R100 = 𝑅100 = (0,9)100 = 0,000026

Nilai tersebut mengimplikasi bahwa tidak ada harapan bahwa sistem akan

bekerja secara memuaskan dalam masa hidup sistem. Jika kehandalan individual

ditingkatkan menjadi 0,9999, maka kehandalan sistem menjadi 0,906 atau 90,6%.

Contoh-contoh ini bersifat simulasi karena :

Kecil kemungkinannya setiap komponen handal dan berfungsi dengan baik

untuk memastikan keberhasilan sistem

Komponen-komponen penting yang digandakan sehingga jika terjadi

kegagalan terjadi cadangan yang dapat mengambil alih-ini disebut

redundancy.

Jika tingakat kegagalan λa dan λb berlaku untuk sistem dua-komponen sedemikian

sehingga

𝑅𝑎 = 𝑒−𝜆𝑎𝑡𝑑𝑎𝑛 𝑅𝑏 = 𝑒−𝜆𝑏𝑡 Pers (8)

Dengan menerapkan antara rangkaian seri diperoleh

𝑅𝑎𝑏 = 𝑒−(𝜆𝑎+𝜆𝑏)𝑡

14

Ini menunjukkan bahwa sistem tersebut adalah suatu sistem-laju

kegagalan konstan dengan tingkat kegagalan (λa + λb).

Menurut hurst (2006), Untuk mencapai derajat kehandalan yang

dibutuhkan, kehandalan kita perlu menggandakan komponen sehingga jika salah

satu komponen gagal masih tersedia komponen lain untuk tetap bekerja. Berikut

ini adalah contoh-contoh dari teknik yang disebut redundancy ini :

Altimeter pada pesawat tebang. Satu saja tidak cukup menengarai jika terjadi

kegagalan fungsi. Dua akan menimbulkan masalah jika keduanya memberi

bacaan berbeda. Sehingga dibutuhkan tiga. Ini disebut reduncancy aktif.

Ruang-ruang operasi dirumah sakit. Jika sumber listrik utama mati maka akan

dialihkan pada tenaga listrik darurat. Ini di sebut standby redundancy.

Jari-jari roda sepeda menggambarkan jenis redundancy lain. Jika beberapa jari

patah maka roda tersebut Masih tetap berfungsi.ini disebut redundancy parsial.

2.3.1 Failure Modes and Effects Analysis (FMEA)

Menurut Hurts (2006) Istilah FMEA = failure modes and effects analysis

(mode-mode kegagalan dan analisis efek-efek) pertama-tama dipergunakan pada

tahun 1960-an oleh industri penerbangan dan sekarang merupakan teknik yang

digunakan di sebagian besar sektor industri. FMEA merupakan metode obyektif

untuk mengevaluasi desain sistem. Hal ini dicapai dengan membentuk suatu tim

multi disiplin unutk mempertimbangkan semua potensi kegagalan komponen-

komponen yang menyusun suatu sistem dan mengukur pengaruh kegagalan-

kegagalan komponen terhadap kehandalan keseluruhan sistem. Ini merupakan

salah satu sarana yang paling penting untuk mengidentifikasi kehandalan,

keamanan, kesesuaian dan ketidak harmonisan produk dalam tahap-tahap desain.

Menurut Hurts (2006) FMEA menitik beratkan perhatian pada desain detail

produk, yang bisa meyebabkan kriteria kehandalan atau kriteria keamananya tidak

memuaskan. Ketika komponen-komponen utama di indentifikasi, maka langkah-

langkah perbaikan korektif dapat diambil untuk memperbaiki desain. Sebagai

contoh, teknik FMEA dapat digunakan untuk mengindentifikasi bagian-bagian kritis

suatu sistem sebaiknya menggunakan rangkaian komponen paralel atau

komponen cadangan.

15

FMEA adalah proses yang berkelanjutan, dimulai sebagai evaluasi desain

yang pertama dan berlanjut hingga akhir umur produk. FMEA adalah teknik

analisis dari bawah ke atas.

Efek kegagalan komponen terhadap fungsi sistem tergantung pada fungsi

komponen tersebut dalam sistem. Tingkat seberapa parah potensi kegagalan

diwakili oleh variabel S dan bernilai antara 1 & 10, dengan 10 sebagai yang paling

parah. Kejadian kegagalan (laju kegagalan Relatif) dinyatakan sebagai variable 0

dan ditetapkan bernilai antara 1 & 10, dimana 10 adalah laju kegagalan paling

tinggi atau paling kerap terjadi kegagalan. Kemampuan untuk mendeteksi suatu

kegagalan dinyatakan oleh variable D yang ditetapkan bernilai antara 1 & 10

dimana 10 merupakan yang paling sulit dideteksi. Peringkat signifikansi relatif

suatu kegagalan dalam mempengaruhi sistem dinyatakan oleh Angka Prioritas

Resiko (Risk Priority Number-RPN) yang dihitung sebagai:

RPN= Severity (S) x Occurerence(O) x Detection(D)

Menurut Hurts (2006) Setiap komponen memiliki beberapa potensi

kegagalan dan menurut teori tidak ada batasan sejauh mana suatu kegagalan

dapat terjadi. Terdapat suatu titik balik dimana biaya tambahan lebih besar dari

manfaat yang didapat. Dalam prakteknya, suatu komponen dengan angka RPN

lebih dari 100, perlu mendapat perhatian. Proses FMEA mengembangkan

beberapa database yang sangat berguna, yang menyediakan perangkat dasar

yang penting bagi pabrikan untuk mengontrol kualitas produknya.

Metode:

1. Suatu tim multidisiplin harus dibentuk untuk mengembangkan FMEA.

2. Identifikasi fungssi suatu komponen.

3. Buat daftar setidaknya satu potensi mode kegagalan untuk setiap fungsi.

4. Definisikan efek kegagalan dari segi apa yang menjadi perhatian

pelanggan.

5. Tentukan peringkat seberapa parah (atau serius) efek suatu potensi

kegagalan.

6. Tetapkan peringkat frekuensi kejadian setiap sebab/mekanisme-

mekanisme kegagalan.

7. Tetapkan peringkat deteksi yang menilai kemampuan kontrol desain

untuk mendeteksi potensi sebab/mekanisme kegagalan selanjutnya.

16

8. Hitunglah angka RPN untuk setiap komponen.

9. Identifikasi dan perbaiki karakteristik komponen yang signifikan dan

kritis untuk menurunkan resiko angka RPN yang lebih tinggi.

10. Hitunglah tingkat keparahan, frekuensi kejadian, deteksi dan angka

RPN, yang baru.

Mengapa FMEA dilakukan oleh suatu tim multi disiplin adalah karena sifat

alami penyebab kejadian yang bermacam-macam, tingkat keparahan dan nilai

kemampuan terdeteksi. Tabel-tabel berikut ini memberikan panduan umum proses

FMEA dan peringkat-peringkat yang dikutip adalah peringkat yang umum

digunakan dalam industri otomotif .

Tabel 1. Frekuensi Kejadian

Peringkat Laju Kegagalan Probabilitas Kegagalan

10

8

6

5

3

1

<1 dalam 2

1 dalam 8

1 dalam 80

1 dalam 400

1 dalam 15000

1 dalam 1500000

Sangat tinggi

Tinggi

Sedang

Kadang-kadang

Rendah

Jauh : Kegagalan kemungkinan tidak

terjadi

Sumber: Hurts (2006)

Tabel 2. Tingkat keparahan

Peringkat Efek Keparahan efek

17

10

9

8

7

6

5

4

3

2

1

Berbahaya-tanpa

peringatan

Berbahaya-dengan

peringatan

Sangat tinggi

Tinggi

Sedang

Rendah

Sangat rendah

Minor

Sangat minor

Tidak ada

Potensi mode kegagalan mempengaruhi

keamanan atau melibatkan ketidaksamaan

dengan peraturan pemerintah, tanpa

peringatan.

Potensi mode kegagalan mempengaruhi

keamanan dan/atau melibatkan ketidaksesuaian

dengan peraturan pemerintah dengan

peringatan.

Produk tidak dapat beroperasi, dengan fungsi

primer gagal

Produk dapat dioperasikan, tetapi pada level

performa yang lebih rendah. Pelanggan tidak

puas.

Produk dapat dioperasikan, tetapi pelanggan

tidak nyaman.

Produk dapat dioperasikan, tetapi pada level

performa yang lebih rendah. Pelanggan

mengalami sejumlah ketidakpuasan.

Hasil akhir yang buruk. Kerusakan tampak oleh

pelanggan rata-rata.

Hasil akhir yang buruk. Kerusakan tampak oleh

kebanyakan pelanggan.

Hasil akhir yang buruk. Kerusakan tampak oleh

pelangan yang teliti.

Tidak ada efek

Sumber: Hurts (2006)

Tabel 3. Kemampuan terdeteksi

18

Peringkat Deteksi Kriteria

10

9

8

7

6

5

4

3

2

Ketidakpastian absolut

Sangat kecil

Kecil

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Cukup tinggi

Tinggi

Sangat tinggi

Kontrol Desain Tidak Akan Mendeteksi Potensi

Dan Mode Kegagalan Selanjutnya.

Kemingkinan Sangat Kecil bahwa Kontrol Desain

akan mendekati potensi penyebab dan mode

kegagalan selanjutnya.

Kemingkinan kecil bahwa Kontrol Desain akan

mendeteksi potensi penyebab mode kegagalan

selanjutnya.

Kemungkinan sangat rendah bahwa Kontrol

Desain akan mendeteksi potensi penyebab dan

mode kegagalan selanjutnya.

Kemungkinan rendah bahwa Kontrol Desain akan

mendeteksi potensi penyebab dan mode

kegagalan selanjutnya.

Kemungkinan sedang bahwa Kontrol Desain akan

mendeteksi potensi penyebab dan mode

kegagalan selanjutnya.

Kemungkinan cukp tinggi bahwa Kontrol Desain

akan mendeteksi potensi dan mode kegagalan

selanjutnya.

Kemungkinan tinggi bahwa Kontrol Desain akan

mendeteksi potensi penyebab dan mode

kegagalan selanjutnya.

Kemungkinan sangat tinggi bahwa Kontrol Desain

akan mendeteksi potensi penyebab dan mode

kegagalan selanjutnya.

Kontrol Desain hampir pasti mendeteksi potensi

penyebab kegagalan selanjutnya.

19

1

Hampir pasti

Catatan: pemberian peringkat (0) untuk frekuensi kejadian. Tingkat keparahan, kemampuan

terdeteksi, tidak diperbolehkan.

Sumber: Hurts (2006)

2.3.2 Failure (Kerusakan)

Menurut Setiawan (2008) bahwa Bagi perusahaan pabrik yang

sangat peduli dengan downtime/breakdown time produksi akibat kerusakan mesin,

pihak management tidak puas telah diperbaiki mesin dan berproduksi kembali,

mereka umumnya akan mempertanyakan mengapa kerusakan itu bisa sampai

terjadi, oleh karena itu analisis dilakuakan.

Penerapan dalam menganalisis kerusakan mesin hampir sama dengan

yang lain Cuma menjadi perhatian bagi pihak yang terkait (maintenance dan

engineering) adalah bagian komponen itu bisa mengalami kerusakan, kesimpulan

dari analisis akan menjadi dasar untuk mencegah kerusakan itu terulang lagi. Dan

menjadi perhatian juga adalah setiap kerusakan komponen pasti akan

meninggalkan tanda kenapa kerusakan itu terjadi.

Alur cara pemikiran untuk menganalisis akan dijelaskan dengan langkah-

langkah sebagai berikut (Setiawan 2008):

a. Memutuskan perlu atau tidak dilakukan analisis.

Bila kerusakan itu kurang berarti atau kecil dalam jumlahnya atau tidak

mempengaruhi proses yang dianggap penting, maka kadangkala analisis tidak

perlu dilakukan karena bila dilakukan analisis maka akan memerlukan waktu

kerja yang lama sekali dan biaya untuk pengetesan-pengetesan. Sehingga

tidak semua kerusakan perlu dianalisis karena mungkin saja kerusakan itu

langsung dapat diperbaiki dan diketemukan penyebab utamanya.

b. Mencari tahu apa yang terjadi setelah kerusakan.

20

Salah satu cara seorang teknis dengan cepat memperbaiki mencari

jawaban setelah kerusakan dengan menanyakan orang yang terlibat dengan

mesin tersebut saat kejadian kerusakan. Karena mereka sehari-hari bekerja

dengan mesin dan mengetahui jenis-jenis kerusakan mesin maupun tanda-

tanda kerusakan kecil sebelum menjadi kerusakan fatal. Carilah informasi

sebanyan-banyaknya apa sebenarnya terjadi dan segala kemungkinan yang

didapat dari informasi dari pihak terkait dengan mesin.

c. Lakukan penyelidikan awal kerusakan pada lokasi mesin.

Setelah kerusakan yang terjadi jangan melakukan tindakan seperti

membersihkan, merapikan dan membersihkan mesin yang rusak. Tetapi

kumpulkan data-data sebanyaknya berupa photo dari bagian mesin yang rusak,

posisi bagian yang rusak/patah. Lakukan pemotretan dari berbagai sudut.

d. Kumpulkan data-data pendukung.

Mengumpulkan data pada saat pengoperasian mesin tersebut dan

membandingkan pada kondisi disain awal mesin bisa juga awal dari modifikasi

atau dengan kondisi pengoperasian normal. Ketika masih dilapangan setelah

melakukan pemotretan lakukan pencatatan seperti waktu kejadian, suhu,

ampere listrik, voltase, beban kerja, kelembaban, tekanan pressure mesin

(pressure gauge), pelumasan/lubrikasi yang dilakukan, bahan material, standar

operating machine (SOP)-standar pengoperasian mesin, korosif yang terjadi,

data vibrasi/getaran dan lain sebagainya. Dan intinya membandingkan dengan

kondisi operasi normal mesin dengan saat kerusakan mesin.

e. Menentukan penyebab kerusakan.

Dalam pengartian menentukan kerusakan untama mesin setelah melihat

langsung kerusakan mesin. Untuk menentukan mengapa timbulnya kerusakan

utama itu kadangkala memerlukan keputusan yang sulit dan lama karena

memerlukan sejumlah analisis teknik. Yang paling penting selama terjadi

kerusakan apakah ada yang berubah dari prameter-parameter tertentu dan

apakah mesin mengalami perubahan desain.

f. Memeriksa dan menganalisis kerusakan utama.

Pengecekan dan penganalisisan mulai dilakukan dengan alat tambahan

misalnya dengan mikroskop pembesaran 5 X untuk melihat struktur komponen

mekanikal seperti poros as yang patah. Untuk itu perlu mempunyai data

referensi yang cukup canggih untuk membandingkan hasil pengecekan secara

21

mikroskop dengan referensi yang ada yang mirip. Bisa saja hasil tampilan

kerusakan menjadi data referensi untuk kerusakan lainnya (sehingga perlu

dipotret). Pemeriksaan struktur bagian yang patah memerlukan suatu cabang

ilmu mendalami masalah ini lebih mendetail. Referensi tampilan patahan

tersebut dapat diperoleh pada buku atau organisasi yang khusus membahas

analisis kerusakan (root cause failure analysis).

g. Pemeriksaan karakteristik material dari komponen mekanikal yang rusak.

Pemeriksaan dapat dilakukan dengan tes kekerasan (hardness test), test

ultrasonic, test komponen dan sebagainya yang berhubungan dengan material

komponen. Intinya membandingkan hasil pengetesan dengan standar disain

komponen mesin pada awalnya.

h. Pemeriksaan dengan bahan kimia dan analisis metalurgi.

Penggunaan bahan kimia tertentu dan ilmu metalurgi dapat menunjukkan

bukti kelemahan dari material yang digunakan.

Untuk ini perlu seorang yang ahli dalam bidang metalurgi.

i. Menentukan tipe kerusakan dan penyebab kerusakan.

Mengulangi kembali langkah-langkah sebelum ini sehingga benar-benar

diperoleh jawaban yang akurat.

Pertanyaan-pertanyaan selama analisis yang belum ada solusinya akan

mengurangi hasil akurasi analisis tersebut.

j. Menentukan akar permasalahan.

Setelah diketahui dengan sejelas-jelasnya penyebab kerusakan utama

(yang umumnya berbeda dengan kerusakan yang terjadi pada awal kerusakan

secara visual). Maka untuk menetukan akar permasalahan, pertanyaan seperti

mengapa kerusakan itu harus terjadi, harus dijawab dengan tuntas.mungkin

jawabanya berhubungan dengan faktor manusia dan management.

Misalnya kesimpulan yang ditarik seperti berikut yaitu departemen disain dan

engineering melakukan kesalahan, pengoperasian yang tidak benar sesuai

dengan standar, departement maintenanace tidak melakukan preventive

maintenance dengan benar.

Bila kesalahan menyangkut manusia maka harus dilakukan suatu perubahan

yang bisa dilakukan oleh pihak management.

2.3.3 Distribusi Weibull

22

Distribusi Weibull adalah salah satu cara yang menggunakan distribusi

dalam keandalan dan teknik perawatan. Distribusi Weibull merupakan suatu

distribusi serbaguna yang dapat mengambil bentuk berbeda. Tergantung pada

nilai parameter bentuk β, dapat mengurangi tingkat fungsi kegagalannya, tetap,

atau terus meningkat, Seperti halnya dapat digunakan untuk model perilaku

kegagalan beberapa sistem hidup.

Distribusi weibull dengan tiga parameter di formulasikan sebagai berikut :

𝑓(𝑡) =𝛽

𝜃(

𝑡−𝛿

𝜃)

𝛽−1. 𝑒

−(𝑡−𝛿

𝜃)

𝛽

Pers (9)

Dimana t≥0,𝛿, 𝛽, 𝜃 >0 dan 𝜃 merupakan parameter skala, 𝛽 merupakan

parameter bayang dan 𝛿 merupakan parameter lokasi.

Distribusi weibull dengan dua parameter di formulasikan sebagai berikut :

𝑓(𝑡) =𝛽

𝜃(

𝑡

𝜃)

𝛽−1. 𝑒

−(𝑡

𝜃)

𝛽

Pers (10)

Gambar .5. Grafik distribusi weibull (𝜽 = 𝟏𝟎)

(Ben-Daya, 2009)

Grafik fungsi probabilitas dua-parameter Distribusi Weibull ditunjukkan

Gambar diatas untuk berbagai nilai-nilai parameter bentuk kumulatif fungsi

distribusi yang dirumuskan sebagai berikut :

𝑓(𝑡) = 1 − 𝑒−(

𝑡

𝜃)

𝛽

Pers (11)

Fungsi reliabilitas dirumuskan sebagai berikut :

𝑅(𝑡) = 𝑒−(

𝑡

𝜃)

𝛽

Pers (12)

Grafik fungsi reliabilitas weibull ditampilkan pada gambar berikut :

23

Gambar .6. Grafik fungsi reliabilitas weibull(𝜽 = 𝟏𝟎)

(Ben-Daya, 2009)

Sehingga rata-rata waktu kerusakan dirumuskan sebagai berikut :

𝑀𝑇𝑇𝐹 = 𝜃𝛤 (1 +1

𝛽) Pers (13)

Dimana 𝛤 merupakan fungsi gamma diperoleh dari 𝛤(𝑛) = ∫ 𝑒−𝑥𝑥𝑛−1𝑑𝑥∞

0

Kesesuian rata-rata fungsi kerusakan dirumuskan sebagai berikut :

ℎ(𝑡) =𝛽

𝜃(

𝑡

𝜃)

𝛽−1 Pers (14)

Grafik rata-rata fungsi kerusakan weibull digambarkan sebagai berikut :

Gambar .7. grafik fungsi weibull hazard (𝜽 = 𝟏𝟎)

(Ben-Daya, 2009)

2.3.4 Prinsip Penjadwalan

24

Visi perencanaan hanya untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja.

Misi perencanaan adalahmenyiapkan pekerjaanuntuk meningkatkan produktivitas

tenaga kerja. Kapan implementasi perencanaan manajemenmenjadi nyata

bahwasistem perencanaan penuh dengan banyak orang. Ketidakmampuan dari

banyak perusahaan untuk mengenali atau berhadapan dengan mencegah

perencanaan organisasi dari hasil peningkatan produktivitas. Prinsip yang berikut

memandu perencanaan sampai melaluiberbagai kesulitan tertentu untuk bisa

efektif (Palmer, 2006).

2.4 Peningkatan jadwal kerja Perawatan

Menurut Subandi (1998) banyak industri mengeluarkan biaya yang besar

untuk pekerjaan perawatan. Keadaan ini terjadi selama adanya perkembangan

dalam menerapkan metode dan menganalisis pekerjaan untuk mencapai efisiensi

yang tinggi. Untuk itu perlu adanya upaya melalui perencanaa kerja yang baik agar

dapat mencapai hasil yang lebih tepat. Pelaksanaan kerja dalam kondisi normal

dapat dicapai berdasarkan pertimbangan waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan suatu pekerjaan.

Dalam hal ini, kondisi yang tidak efisien hampir selalu terjadi pada

pemakaian material. Kerugian tersebut dapat diatasi dengan berbagai cara, antara

lain :

Mengurangi pemakaian bahan yang melebihi kebutuhan.

Mengganti suku cadang atau komponen dengan yang baru walaupun bagian

yang lama masih dapat dipakai.

Mangadakan penggantian suku cadang yang kondisinya sudah tidak efisien.

Selalu menyediakan material atau suku cadang yang sangat diperlukan, seperti

mur, baut, ring, klem dan lain-lain yang sering dibutuhkan pada berbagai

aktifitas perawatan dipabrik.

Pada kenyataannya, masalah yang terjadi dapat diatasi oleh sistem

manajemen yang diterapkan, sehingga kondisi yang menyulitkan itu dapat

diperbaiki menjadi lebih baik. Untuk mencapai produktivitas yang tinggi, maka

penting adanya sistem pengawasan kerja sehingga tidak terjadi penyimpangan

terhadap hal-hal yang telah ditetapkan.

2.4.1 Faktor-Faktor Nilai Keandalan

25

Banyak faktor yang harus diketahui dan dihitung sebelum melakukan

perhitungan analisa keandalan antara lain: MTTF, MTTR, Laju Kegagalan, Laju

Perbaikan, Ketersediaan, dan distribusi eksponensial.

1. Mean Time To Failure

Mean Time To Failure (MTTF) adalah waktu rata-rata

kegagalan yang terjadi selama beroperasinya suatu sistem,

dapat dirumuskan:

MTTF = Tn

TnTTT ....321

Dimana : T= waktu operasi (up time)

N = jumlah kegagalan

Dari data yang didapat maka dilakukan perhitungan

MTTF tiap mesin untuk tiap tahunnya.

2. Mean Time To Repair

Mean Time To Repair adalah waktu rata-rata yang

diperlukan untuk melakukan perbaikan terhadap terjadinya

kegagalan suatu sistem yang dapat dirumuskan:

MTTR = Tn

LnLLL ....321

Dimana : L= waktu perbaikan (down time)

N = jumlah perbaikan

Dari hasil yang didapat bisa terlihat apakah kerusakan

atau gangguan-gangguan pada mesin tersebut bisa

ditangani dengan cepat atau tidak (Fauzia 2012).