bab ii tinjauan pustaka 2.1. landasan teori 2.1.1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1982/2/bab...

54
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen sumber daya mansia merupakan sistem yang terdiri dari banyak aktivitas interdependen (saling terkait satu sama lain). Bila aktivitas sumber daya manusia dilibatkan secara keseluruhan, maka aktivitas tersebut membantu system sumber daya manusia perusahaan. Perusahaan dan orang merupakan system terbuka karena mereka dipengaruhi oleh lingkungannya. Manajemen sumber daya manusia memiliki arti penting sebagai salah satu fungsi manajemen selain fungsi manajemen pemasaran, keuangan, dan produksi, dimana manajemen sumber daya manusia meliputi usaha-usaha atau aktivitas-aktivitas suatu organisasi dalam mengelola sumber daya manusia yang dimilikinya secara umum di mulai dari proses karyawan, penempatan, pengelolaan, pemeliharaan, pemutusan hubungan kerja, hingga hubungan industrial. Handoko dalam Rachmawati (2008) mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan kegiatan-kegiatan pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia agar tercapai berbagai tujuan individu, organisasi dan masyarakat. Memurut Yuniarsih dan

Upload: buiphuc

Post on 29-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia

Manajemen sumber daya mansia merupakan sistem yang terdiri

dari banyak aktivitas interdependen (saling terkait satu sama lain). Bila

aktivitas sumber daya manusia dilibatkan secara keseluruhan, maka

aktivitas tersebut membantu system sumber daya manusia perusahaan.

Perusahaan dan orang merupakan system terbuka karena mereka

dipengaruhi oleh lingkungannya. Manajemen sumber daya manusia

memiliki arti penting sebagai salah satu fungsi manajemen selain fungsi

manajemen pemasaran, keuangan, dan produksi, dimana manajemen

sumber daya manusia meliputi usaha-usaha atau aktivitas-aktivitas suatu

organisasi dalam mengelola sumber daya manusia yang dimilikinya

secara umum di mulai dari proses karyawan, penempatan, pengelolaan,

pemeliharaan, pemutusan hubungan kerja, hingga hubungan industrial.

Handoko dalam Rachmawati (2008) mengemukakan bahwa

manajemen sumber daya manusia merupakan suatu proses perencanaan,

pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan kegiatan-kegiatan

pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian,

pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia agar tercapai berbagai

tujuan individu, organisasi dan masyarakat. Memurut Yuniarsih dan

11

Suwatno (2008) manajemen sumber daya manusia adalah serangkaian

kegiatan pengelolaan sumber daya manusia yang memusatkan kepada

praktek dan kebijakan, serta fungsi-fungsi manajemen untuk mencapai

tujuan organisasi. Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor

produksi potensial secara nyata. Faktor produksi manusia bukan hanya

bekerja secara fisik saja akan tetapi juga bekerja secara fikir.

Optimalisasi sumber daya manusia menjadi titik sentral perhatian

organisasi dalam meningkatkan kinerja pegawai. Sehingga dapat

dikatakan sumber daya manusia adalah sumber yang sangat penting atau

faktor kunci untuk mendapakan kinerja yang baik. Kinerja merupakan

perwujudan kerja yang dilakukan oleh karyawan yang biasanya di pakai

sebagai dasar penilaian terhadap karyawan atau individu. Kinerja yang

baik merupakan suatu langkah untuk menuju tercapainya tujuan individu.

Oleh karena itu kinerja merupakan sasaran penentu dalam mencapai

tujuan individu.

Manajemen sumber daya manusia merupakan salah satu disiplin

ilmu manajemen yang telah menitik beratkan pada kajian aspek manusia

dengan segala aktivitasnya. Aspek manusia menjadi sangat penting

seperti modal, metode, bahkan teknologi yang ada tidak akan berfungsi

dengan baik jika tidak ditunjang oleh kualitas sumber daya manusia.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumber daya manusia

merupakan penentu keberhasilan organisasi.

12

Menurut Prawirosentono (2008) dalam Suprana (2012) Hasil kerja

yang dapat di capai oleh seseorang atau dari kelompok orang dalam suatu

organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing

dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara

legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan norma maupun etika.

Menurut Rivai (2005) kinerja merupakan perilaku nyata yang

ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh

karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Sedangkan,

Menurut Dessler (1997) dalam Suryoadi (2012) Kinerja merupakan suatu

prestasi kerja, yakni perbandingan antara hasil kerja yang secara nyata

dengan standard kerja yang ditetapkan.

Ada begitu banyak ilmu yang menjadi bagian dari penjabaran

manajemen sumber daya manusia di dalam perusahaan. Di dalam internal

perusahaan ada job insecurity, lingkungan kerja, komitmen

organisasional dan juga turnover intention juga menjadi bagian penting

di dalam ilmu manajemen yang berfokus di dalam sumber daya manusia.

13

2.2. Job Insecurity

2.2.1. Pengertian Job Insecurity

Menurut Greenhalgh dan Rosenblatt (1984; 438) job insecurity

adalah ketidakberdayaan untuk mempertahankan kelanjutan pekerjaan

karena ancaman situasi dari suatu pekerjaan. Sementara itu, Hartley,

Jacobson, Klandermans, dan Van Vuuren (dalam Sverke & Hellgren,

2002; 24) mengatakan bahwa job insecurity adalah ketidakamanan yang

dirasakan seseorang akan kelanjutan pekerjaan dan aspek-aspek penting

yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri.

Sedangkan Sverke dan Hellgren (2002; 26) mengungkapkan bahwa

job insecurity adalah pandangan subjektif seseorang mengenai situasi

atau peristiwa yang mengancam pekerjaan di tempatnya bekerja.

Smithson dan Lewis (2000; 680-683) mengartikan job insecurity sebagai

kondisi psikologis seseorang (karyawan) yang menunjukkan rasa

bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang

berubah-ubah (perceived impermanance). Kondisi ini muncul karena

banyaknya jenis pekerjaan yang sifatnya sesaat atau pekerjaan kontrak.

Makin banyaknya jenis pekerjaan dengan durasi waktu yang sementara

atau tidak permanen menyebabkan semakin banyaknya karyawan yang

mengalami job insecurity (Smithson & Lewis, 2000; 681-685).

Wening (2005; 140) mengartikan job insecurity sebagai kondisi

ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang

diinginkan dalam situasi kerja yang mengancam. Job insecurity juga

14

diartikan sebagai perasaan tegang, gelisah, khawatir, stres, dan merasa

tidak pasti dalam kaitannya dengan sifat dan keberadaan pekerjaan yang

dirasakan para pekerja. Job insecurity adalah suatu gejala psikologis

yang berkaitan dengan persepsi para pekerja terhadap masa depan

mereka di tempat kerja yang penuh ketidakpastian (Pradiansyah, 1999;

8).

Lebih lanjut Hui dan Lee (dalam Partina, 2002; 119)

mendefenisikan job insecurity sebagai kurangnya kontrol untuk menjaga

kelangsungan atau kontinuitas dalam situasi pekerjaan yang terancam.

Greenglass (2002; 3) menjelaskan job insecurity sebagai kondisi yang

berhubungan dengan rasa takut seseorang akan kehilangan pekerjaannya

atau prospek akan demosi atau penurunan jabatan serta berbagai ancaman

lainnyaterhadap kondisi kerja yang berasosiasi dengan menurunnya

kepuasan kerja. Job insecurity juga dapat didefenisikan sebagai

ketidakamanan yang dihasilkan dari ancaman terhadap kontinuitas atau

keberlangsungan kerja seseorang (Reisel, 2002; 89).

Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para

ahli di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa job insecurity adalah

perasaan terancam, khawatir, dan rasa ketidakberdayaan yang dirasakan

karyawan terhadap situasi yang ada dalam organisasi di tempat kerja

akan kelangsungan pekerjaan dimasa yang akan datang.

15

2.2.2. Komponen Job Insecurity

Ashford et al., (1989; 810) mengembangkan pengukuran dari konsep job

insecurity yang dikemukakan oleh Greenhalgh dan Rosenblatt dan

menyatakan bahwa komponen job insecurity adalah :

1) Arti pekerjaan itu bagi individu. Seberapa penting aspek kerja

tersebut bagi individu mempengaruhi tingkat insecure atau rasa

tidak amannya dalam bekerja. Seberapa penting karyawan

menganggap bagian-bagian (aspek) pekerjaan seperti gaji, jabatan,

promosi, dan lingkungan kerja yang nyaman dapat mempengaruhi

tingkat keamanan dan kenyamanan individu dalam menjalankan

pekerjaan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa aspek ini

sebagai arti penting aspek kerja bagi karyawan.

2) Tingkat ancaman yang dirasakan karyawan mengenai aspek-aspek

pekerjaan seperti kemungkinan untuk mendapat promosi,

mempertahankan tingkat upah yang sekarang, atau memperoleh

kenaikan upah. Individu yang menilai aspek kerja tertentu yang

terancam (terdapat kemungkinan aspek kerja tersebut akan hilang)

akan lebih gelisah dan merasa tidak berdaya. Seberapa besar

kemungkinan yang dirasakan karyawan terhadap perubahan

(kejadian negatif) yang mengancam bagian-bagian (aspek)

pekerjaan. Berdasarkan uraian tersebut maka dengan kata lain

16

dapat dikatakan bahwa aspek ini adalah kemungkinan perubahan

negatif pada bagian-bagian (aspek) kerja.

3) Tingkat ancaman kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang

secara negatif mempengaruhi keseluruhan kerja individu, misalnya

dipecat atau dipindahkan ke kantor cabang yang lain. Dengan kata

lain dapat dikatakan arti penting keseluruhan kerja bagi karyawan.

4) Tingkat kepentingan-kepentingan yang dirasakan individu

mengenai potensi setiap peristiwa tersebut. Seperti tingkat

kekhawatiran individu untuk tidak mendapatkan promosi atau

menjadi karyawan tetap dalam suatu perusahaan. Seberapa besar

kemungkinan perubahan negatif pada keseluruhan kerja yang

dirasakan karyawan dalam keadaan terancam.

5) Ketidakberdayaan (powerlessness) yaitu ketidakmampuan individu

untuk mencegah munculnya ancaman yang berpengaruh terhadap

aspek-aspek pekerjaan dan pekerjaan secara keseluruhan yang

teridentifikasi pada empat komponen sebelumnya.

17

Rowntree (2005; 11) menambahkan aspek-aspek job insecurity

sebagai berikut :

1. Ketakutan akan kehilangan pekerjaan, karyawan yang mendapat

ancaman negatif tentang pekerjaannya akan memungkinkan

timbulnya job insecurity pada karyawan begitu pula sebaliknya.

2. Ketakutan akan kehilangan status sosial di masyarakat. Individu

yang terancam kehilangan status sosial akan memiliki job

insecurity yang tinggi dibanding yang tidak merasa terancam

mengenai pekerjaannya.

3. Rasa tidak berdaya. Karyawan yang kehilangan pekerjaan akan

merasa tidak berdaya dalam menjalankan pekerjaannya.

Lebih lanjut Suwandi dan Indriantoro (1999: 7-9) berdasarkan hasil

studi sebelumnya menambahkan bahwa dimensi job insecurity

adalah sebagai berikut :

1. Kondisi Pekerjaan

Merupakan lingkungan kerja yang kurang mendukung dan

tingginya beban kerja yang dirasakan individu pada saat bekerja.

2. Pengembangan Karir

Merupakan tingkat dimana individu merasa kesulitan dalam

mengembangkan karir dan adanya ketidakjelasan mengenai jenjang

karir individu dalam suatu organisasi atau perusahaan.

18

3. Konflik Peran

Ketika seorang individu dihadapkan dengan ekspetasi peran yang

berlainan, hasilnya adalah konflik peran (role conflict). Konflik ini

muncul ketika seorang individu menemukan bahwa untuk

memenuhi syarat satu peran dapat membuatnya lebih sulit untuk

memenuhi peran lain. Pada tingkat ekstren, hal ini dapat meliputi

situasi–situasi di mana dua atau lebih ekspetasi peran saling

bertentangan. Dimensi ini merupakan pertentangan antara tugas

dan tanggung jawab dan tuntutan-tuntutan perusahaan yang dirasa

bertentangan dengan tanggung jawab karyawan dalam bekerja.

4. Ketidakjelasan Peran

Seperti ketidakjelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab

terhadap pekerjaan.

5. Perubahan Organisasi

Merupakan berbagai kejadian yang yang secara potensial dapat

mempengaruhi sikap dan persepsi karyawan sehingga dapat

menyebabkan perubahan yang signifikan dalam organisasi.

Kejadian-kejadian tersebut antara lain meliputi merger,

perampingan (downsizing), reorganisasi, teknologi baru, dan

pergantian manajemen yang terjadi di dalam suatu organisasi.

19

6. Pusat Pengendalian (Locus of Control)

Merupakan tingkat dimana individu yakin bahwa mereka adalah

penentu nasib mereka sendiri. Internal (internal) adalah individu

yang yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apa

pun yang terjadi pada diri mereka. Eksternal (external) adalah

individu yang yakin bahwa apa pun yang terjadi pada diri mereka

dikendalikan oleh kekuatan luar seperti keberuntungan atau

kesempatan. Lokus kendali merupakan suatu indikator evaluasi inti

diri karena individu yang berfikir bahwa mereka kurang memiliki

kendali atas hidup mereka cenderung kurang memilki kepercayaan

diri.

Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini akan

digunakan komponen job insecurity yang dikemukakan oleh

Ashford et al., (1989; 810) karena dirasa sesuai dengan keadaan

lapangan yang akan diteliti, yaitu: kemungkinan perubahan negatif

pada aspek kerja, arti penting aspek kerja, arti penting keseluruhan

kerja, kemungkinan perubahan negatif pada keseluruhan kerja, dan

ketidakberdayaan (powerlessness).

20

2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Job Insecurity

Robbins (dalam Setiawan, 2009; 7) mengemukakan faktor-faktor

penyebab job insecurity adalah karakteristik individu itu sendiri yang

meliputi :

1. Umur

Bertambahnya umur seseorang individu maka akan semakin

berkurang produktivitasnya dan akan menimbulkan job insecurity

pada diri individu tersebut.

2. Status Perkawinan

Di beberapa penelitian menunjukkan bahwa status perkawinan

dapat mempengaruhi job insecurity pada diri individu tersebut.

3. Kesesuaian Antara Kepribadian dan Pekerjaan

Apabila karyawan merasa tidak sesuai atau merasa tidak cocok

dengan pekerjaan yang dilakukannya maka karyawan akan merasa

tidak aman atau mengalami job insecurity.

4. Tingkat Kepuasan Kerja

Setiap individu memiliki tingkat kepuasan kerja yang berbeda-beda

sehingga apabila terdapat seorang individu yang sudah puas dengan

hasil kerjanya maka belum tentu individu lainnya merasa puas,

sehingga individu yang merasa tidak puas tersebut dapat

mengalami job insecurity.

21

Burchell (1999; 12) menyebutkan bahwa job insecurity dipengaruhi

oleh dua faktor, yaitu :

1. Faktor subyektif yang berhubungan dengan konsekuensi-

konsekuensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seperti kemudahan

mencari pekerjaan baru, karakteristik dari pekerjaan yang baru

serta pengalaman menjadi pengangguran.

2. Faktor obyektif seperti stabilitas pekerjaan, masa kerja, tingkat

retensi atau daya tahan kerja karyawan.

Lebih lanjut, Ashford (1989; 817-819) mengungkapkan faktor-

faktor yang mempengaruhi job insecurity adalah :

1. Konflik peran, berhubungan dengan dua rangkaian tuntutan

pekerjaan yang bertentangan pada individu.

2. Ketidakjelasan peran yaitu masalah yang timbul dalam pekerjaan

karena kurangnya struktur yang jelas.

3. Locus of control, keyakinan individu tentang peristiwa-peristiwa

yang terjadi dalam hidup.

4. Perubahan organisasi yaitu perubahan lingkungan bisnis yang harus

diadaptasi oleh pihak perusahaan untuk mengikuti perubahan.

22

Greenhalgh dan Rosenblatt (1984; 440-443) mengemukakan

faktor-faktor yang mempengaruhi job insecurity berada pada level

atau tingkatan yang berbeda, yaitu :

1. Kondisi lingkungan dan organisasional, misalnya komunikasi

organisasional dan perubahan organisasional. Perubahan

organisasional yang terjadi antara lain dengan dilakukannya down-

sizing, restrukturisasi, dan merger oleh perusahaan.

2. Karakteristik individual dan jabatan, yaitu: umur, gender, status

sosial ekonomi, pendidikan, posisi pada perusahaan, dan

pengalaman kerja sebelumnya.

3. Karakteristik personal karyawan, misalnya: locus of control, self-

esteem, dan rasa kebersamaan.

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-

faktor yang mempengaruhi job insecurity terdiri dari karakteristik

demografi, karakteristik pekerjaan, karakteristik individual,

ketidakjelasan peran, kondisi lingkungan kerja, perbedaan

individual, dan perubahan organisasi.

23

2.2.4. Konsekuensi Job Insecurity

Dari hasil beberapa studi yang dilakukan, ditemukan adanya pengaruh

job insecurity terhadap karyawan (Sverke & Hellgren, 2002; 31-33),

diantaranya :

1. Meningkatnya ketidakpuasan dalam bekerja

2. Meningkatnya gangguan fisik

3. Meningkatnya gangguan psikologis. Penurunan kondisi kerja

seperti rasa tidak aman (insecure) menurunkan kualitas individu

bukan dari pekerjaannya semata, namun juga mengarahkan pada

munculnya rasa kehilangan martabat (demotion) yang pada

akhirnya menurunkan kondisi psikologis dari karyawan yang

bersangkutan. Jangka panjangnya akan muncul ketidakpuasan

dalam bekerja dan akan mengarah pada intensi turnover.

4. Karyawan cenderung menarik diri dari lingkungan kerjanya.

5. Makin berkurangnya komitmen organisasi. Job insecurity juga

mempengaruhi komitmen kerja dan perilaku kerja.

6. Peningkatan jumlah karyawan yang berpindah (employee

turnover).

24

Job insecurity tidak hanya berdampak pada diri karyawan saja,

melainkan terhadap organisasi atau perusahaan dimana tenaga kerja

tersebut bekerja. Berikut ini merupakan dampak-dampak yang berpotensi

muncul karena job insecurity (dalam Irene, 2008; 16-17).

1. Stres

Job insecurity dapat menimbulkan rasa takut, kehilangan

kemampuan, dan kecemasan. Pada akhirnya, jika hal ini dibiarkan

berlangsung lama karyawan dapat menjadi stres akibat adanya rasa

tidak aman dan ketidakpastian akan kelangsungan pekerjaan.

2. Kepuasan kerja.

Job insecurity memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja.

Karyawan yang merasa dirinya tidak aman (insecure) tentang

kelangsungan pekerjaan mereka, cenderung merasa tidak puas

dibandingkan mereka yang merasakan kepastian masa depan

pekerjaan mereka.

3. Komitmen dan rasa percaya karyawan terhadap perusahaan.

Job insecurity memiliki hubungan yang negatif dengan komitmen

kerja dan rasa percaya karyawan terhadap perusahaan. Hal ini

disebabkan karena karyawan merasa kehilangan kepercayaan akan

nasib mereka pada perusahaan dan lama kelaman ikatan antara

karyawan dan organisasi menghilang.

25

4. Motivasi kerja

Hasil penelitian mengenai job insecurity dan work intensification

yang dilakukan oleh Universitas Cambridge dan ESRC Centre for

Bussiness Research menunjukkan individu dengan job insecurity

tinggi memiliki motivasi yang lebih rendah dibandingkan individu

yang job insecurity-nya rendah. Pengurangan jumlah karyawan

yang dilakukan perusahaan juga didapatkan hasil bahwa karyawan

mengalami penurunan motivasi, semangat, rasa percaya diri, dan

kesetiaan, serta terjadi peningkatan stres, skeptis, dan kemarahan.

Oleh karena itu, maka dapat disimpulkan bahwa job

insecurity merupakan hal yang perlu diperhatikan, karena tidak

hanya berdampak pada diri karyawan, melainkan juga pada

organisasi atau perusahaan tempat karyawan bekerja. Reaksi-reaksi

yang diberikan oleh karyawan dalam bekerja akan dapat

mempengaruhi efektivitas organisasi pula (Greenhalgh &

Rosenblatt, 1984; 443).

26

2.2.5. Indikator Job Insecurity

Menurut Mobley et al (1978) Indikator pengukuran turnover intention

terdiri atas :

1. Memikirkan untuk keluar (Thinking of Quitting):

Mencerminkan individu untuk berpikir keluar dari pekerjaan atau

tetap berada di lingkungan pekerjaan. Diawali dengan

ketidakpuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan, kemudian

karyawan mulai berfikir untuk keluar dari tempat bekerjanya saat

ini.

2. Pencarian alternatif pekerjaan (Intention to search for alternatives):

Mencerminkan individu berkeinginan untuk mencari pekerjaan

pada organisasi lain. Jika karyawan sudah mulai sering berpikir

untuk keluar dari pekerjaannya, karyawan tersebut akan mencoba

mencari pekerjaan diluar perusahaannya yang dirasa lebih baik.

3. Niat untuk keluar (Intention to quit):

Mencerminkan individu yang berniat untuk keluar. Karyawan

berniat untuk keluar apabila telah mendapatkan pekerjaan yang

lebih baik dan nantinya akan diakhiri dengan keputusan karyawan

tersebut untuk tetap tinggal atau keluar dari pekerjaannya.

27

2.3. Lingkungan Kerja

2.3.1. Pengertian Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan perlu diperhatikan, hal

ini disebabkan karena lingkungan kerja mempunyai pengaruh langsung

terhadap para karyawan. Lingkungan kerja yang kondusif dapat

meningkatkan kinerja karyawan dan sebaliknya, lingkungan kerja yang

tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja karyawan. Kondisi

lingkungan kerja dikatakan baik apabila manusia dapat melaksanakan

kegiatan secara optimal, sehat, aman dan nyaman. Kesesuaian

lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama.

Lingkungan kerja yang kurang baik dapat menuntut tenaga kerja dan

waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rancangan

sistem kerja yang efisien.

Menurut Robbins (2010) lingkungan adalah lembaga-lembaga atau

kekuatan-kekuatan diluar yang berpotensi mempengaruhi kinerja

organisasi, lingkungan dirumuskan menjadi dua yaitu lingkungan umum

dan lingkungan khusus. Lingkungan umum adalah segala sesuatu di luar

organisasi yang memilki potensi untuk mempengaruhi organisasi.

Lingkungan ini berupa kondisi sosial dan teknologi. Sedangkan

lingkungan khusus adalah bagian lingkungan yang secara langsung

berkaitan dengan pencapaian sasaran-sasaran sebuah organisasi. Herman

Sofyandi (2008:38) mendefinisikan “Lingkungan kerja sebagai

28

serangkaian faktor yang mempengaruhi kinerja dari fungsi-fungsi/

aktivitas-aktivitas manajemen sumber daya manusia yang terdiri dari

faktorfaktor internal yang bersumber dari dalam organisasi”.

Lingkungan kerja terdiri dari lingkungan fisik dan nonfisik yang

melekat pada karyawan sehingga tidak dapa dipisahkan untuk

mendapatkan kinerja karyawan yang baik Menurut Sedarmayanti

(2009:31) lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik

yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi

karyawan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Sedangkan lingkungan kerja nonfisik adalah semua keadaan yang terjadi

berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun

dengan rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan.

Masalah lingkungan kerja dalam suatu organisasi sangatlah

penting, dalam hal ini diperlukan adanya pengaturan maupun penataan

faktor-faktor lingkungan kerja dalam penyelenggaraan aktivitas

organisasi. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan

No.261/MENKES/SK/II/1998 Tentang: Persyaratan Kesehatan

Lingkungan Kerja bahwa lingkungan kerja perkantoran meliputi semua

ruangan, halaman dan area sekelilingnya yang merupakan bagian atau

yang berhubungan dengan tempat kerja untuk kegiatan perkantoran.

Persyaratan kesehatan lingkungan kerja dalam keputusan ini

diberlakukan baik terhadap kantor yang berdiri sendiri maupun yang

berkelompok.

29

Dari pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja

adalah segala sesuatu yang ada disekitar karyawan pada saat bekerja baik

berupa fisik maupun nonfisik yang dapat mempengaruhi karyawan saat

bekerja. Jika lingkungan kerja yang kondusif maka karyawan bisa aman,

nyaman dan jika lingkungan kerja tidak mendukung maka karyawan

tidak bisa aman dan nyaman.

2.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lingkungan Kerja

Faktor-faktor lingkungan kerja yang diuraikan oleh Sedarmayanti (2009)

yang dapat mempengaruhi terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja

dikaitkan dengan kemampuan karyawan, diantaranya :

1. Warna merupakan faktor yang penting untuk memperbesar

efisiensi kerja para pegawai. Khususnya warna akan mempengaruhi

keadaan jiwa mereka. Dengan memakai warna yang tepat pada

dinding ruangan dan alat-alat lainnya, kegembiraan dan ketenangan

bekerja para pegawai akan terpelihara.

2. Kebersihan lingkungan kerja secara tidak langsung dapat

mempengaruhi seseorang dalam bekerja, karena apabila lingkungan

kerja bersih maka karyawan akan merasa nyaman dalam

melakukan pekerjaannya. Kebersihan lingkungan bukan hanya

berarti kebersihan tempat mereka bekerja, tetapi jauh lebih luas dari

30

pada itu misalnya kamar kecil yang berbau tidak enak akan

menimbulkan rasa yang kurang menyenangkan bagi para karyawan

yang menggunakannya, untuk menjaga kebersihan ini pada

umumnya diperlukan petugas khusus, dimana masalah biaya juga

harus dipertimbangkan disini.

3. Penerangan dalam hal ini bukan terbatas pada penerangan listrik

saja, tetapi juga penerangan sinar matahari. Dalam melaksanakan

tugas karyawan membutuhkan penerangan yang cukup, apabila

pekerjaan yang dilakukan tersebut menuntut ketelitian.

4. Pertukaran udara yang cukup akan meningkatkan kesegaran fisik

para karyawan, karena apabila ventilasinya cukup maka kesehatan

para karyawan akan terjamin. Selain ventilasi, konstrusi gedung

dapat berpengaruh pula pada pertukaran udara. Misalnya gedung

yang mempunyai plafond tinggi akan menimbulkan pertukaran

udara yang banyak dari pada gedung yang mempunyai plafond

rendah selain itu luas ruangan apabila dibandingkan dengan jumlah

karyawan yang bekerja akan mempengaruhi pula pertukan udara

yang ada.

5. Jaminan terhadap keamanan menimbulkan ketenangan. Keamanan

akan keselamatan diri sendiri sering ditafsirkan terbatas pada

keselamatan kerja, padahal lebih luas dari itu termasuk disini

keamanan milik pribadi karyawan dan juga konstruksi gedung

31

tempat mereka bekerja. Sehingga akan menimbulkan ketenangan

yang akan mendorong karyawan dalam bekerja.

6. Kebisingan merupakan suatu gangguan terhadap seseorang karena

adanya kebisingan, maka konsentrasi dalam bekerja akan

terganggu. Dengan terganggunya konsentrasi ini maka pekerjaan

yang dilakukan akan banyak menimbulkan kesalahan atau

kerusakan. Hal ini jelas akan menimbulkan kerugian. Kebisingan

yang terus menerus mungkin akan menimbulkan kebosanan.

7. Tata ruang merupakan penataan yang ada di dalam ruang kerja

yang biasa mempengaruhi kenyamanan karyawan dalam bekerja.

Menurut Robbins-Coulter (2010) lingkungan dirumuskan menjadi dua,

meliputi lingkungan umum dan lingkungan khusus.

1. Lingkungan Umum

Segala sesuatu diluar organisasi yang memiliki potensi untuk

mempengaruhi organisasi. Lingkungan ini berupa kondisi sosial

dan kondisi teknologi yang meliputi:

a. Fasilitas kerja adalah segala sesuatu yang digunakan, dipakai,

ditempati, dan dinikmati oleh karyawan, baik dalam

hubungan langsung dengan pekerjaan maupun kelancaran

pekerjaan sehingga dapat meningkatkan produktivitas atau

prestasi kerja.

32

1) Fasilitas alat kerja

Seseorang karyawan atau pekerja tidak akan dapat

melakukan pekerjaan tanpa disertai alat kerja.

2) Fasilitas perlengkapan kerja

Semua benda yang digunakan dalam pekerjaan tetapi

tidak langsung berproduksi, melainkan sebagai pelancar

dan penyegar dalam pekerjaan.

3) Fasilitas sosial

Fasilitas yang digunakan oleh karyawan yang berfungsi

sosial meliputi, penyediaan kendaraan bermotor,

musholla dan fasilitas pengobatan.

b. Teknologi adalah alat kerja operasional yaitu semua benda

atau barang yang berfungsi sebagai alat canggih yang

langsung dgunakan dalam produksi seperti komputer, mesin

pengganda, mesin hitung.

2. Lingkungan Khusus

Lingkungan khusus adalah bagian lingkungan yang secara

langsung berkaitan dengan pencapaian sasaran-sasaran sebuah

organsasi yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan

tugas-tugas yang dibebankan.

33

2.3.3. Indikator Lingkungan Kerja

Indikator-indikator lingkungan kerja oleh Nitisemito (1992,159) yaitu

sebagai berikut:

1. Suasana kerja

Suasana kerja adalah kondisi yang ada disekitar karyawan yang

sedang melakukan pekerjaan yang dapat mempengaruhi

pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Suasana kerja ini akan meliputi

tempat kerja, fasilitas dan alat bantu pekerjaan, kebersihan,

pencahayaan, ketenangan termasuk juga hubungan kerja antara

orang-orang yang ada ditempat tersebut (Saydam, 1996:381).

2. Hubungan dengan rekan kerja

Hubungan dengan rekan kerja yaitu hubungan dengan rekan kerja

harmonis dan tanpa ada saling intrik diantara sesama rekan sekerja.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi karyawan tetap tinggal

dalam satu organisasi adalah adanya hubungan yang harmonis

diantara rekan kerja. Hubungan yang harmonis dan kekeluargaan

merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja

karyawan.

3. Tersedianya fasilitas kerja

Hal ini dimaksudkan bahwa peralatan yang digunakan untuk

mendukung kelancaran kerja lengkap/mutakhir. Tersedianya

fasilitas kerja yang lengkap, walaupun tidak baru merupakan salah

satu penunjang proses dalam bekerja.

34

Sedangkan menurut Sedarmayanti (2009:28) indikator-indikator

lingkungan kerja yaitu sebagai berikut :

1. Penerangan atau cahaya di tempat kerja

Cahaya atau penerangan sangat besar manfaatnya bagi pegawai

guna mendapat keselamatan dan kelancaran kerja, oleh sebab itu

perlu diperhatikan adanya penerangan (cahaya) yang terang tetapi

tidak menyilaukan. Cahaya yang kurang jelas (kurang cukup)

mengakibatkan penglihatan menjadi kurang jelas, sehingga

pekerjaan akan lambat, banyak mengalami kesalahan, dan pada

akhirnya menyebabkan kurang efisien dalam melaksanakan

pekerjaan, sehingga tujuan organisasi sulit tercapai.

2. Sirkulasi udara ditempat kerja

Oksigen merupakan gas yang dibutuhkan oleh makhluk hidup

untuk menjaga kelangsungan hidup, yaitu untuk proses

metabolisme. Udara di sekitar dikatakan kotor apabila kadar

oksigen dalam udara tersebut telah berkurang dan telah bercampur

dengan gas atau bau-bauan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh.

Sumber utama adanya udara segar adalah adanya tanaman disekitar

tempat kerja. Tanaman merupakan penghasil oksigen yang

dibutuhkan oleh manusia.

35

3. Kebisingan di tempat kerja

Salah satu polusi yang cukup menyibukkan para pakar untuk

mengatasinya adalah kebisingan, yaitu bunyi yang tidak

dikehendaki oleh telinga. Tidak dikehendaki, karena terutama

dalam jangka panjang bunyi tersebut dapat mengganggu

ketenangan bekerja, merusak pendengaran, dan menimbulkan

kesalahan komunikasi, bahkan menurut penelitian, kebisingan yang

serius dapat menyebabkan kematian.

4. Bau tidak sedap di tempat kerja

Adanya bau-bauan di sekitar tempat kerja dapat dianggap sebagai

pencemaran, karena dapat mengganggu konsentrasi bekerja, dan

bau-bauan yang terjadi terus-menerus dapat mempengaruhi

kepekaan penciuman. Pemakaian “air condition” yang tepat

merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk

menghilangkan bau-bauan yang mengganggu disekitar tempat

kerja.

5. Keamanan di tempat kerja

Guna menjaga tempat dan kondisi lingkungan kerja tetap dalam

keadaan aman maka perlu diperhatikan adanya keamanan dalam

bekerja. Oleh karena itu faktor keamanan perlu diwujudkan

keberadaannya. Salah satu upaya untuk menjaga keamanan

ditempat kerja, dapat memanfaatkan tenaga Satuan Petugas

36

Pengaman (Satpam). Dari dua pendapat yang berbeda yaitu dari

Nitisemito (1992:159) dan Sedarmayanti (2009:28) tentang

lingkungan kerja diharapkan terciptanya lingkungan kerja yang

kondusif sehingga karyawan akan betah dalam bekerja. Dari dua

pendapat berbeda peneliti mengambil indikator yaitu suasana kerja,

hubungan dengan rekan kerja, tersedianya fasilitas kerja,

penerangan, sirkulasi udara, kebisingan, bau tidak sedap, dan

keamanan.

Menurut (Sedarmayanti dalam Wulan, 2011:21) Menyatakan

bahwa secara garis besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi

dua faktor yaitu faktor lingkungan kerja fisik dan faktor lingkungan

kerja non fisik.

1. Faktor Lingkungan Kerja Fisik

a. Pewarnaan

b. Penerangan

c. Udara

d. Suara bising

e. Ruang gerak

f. Keamanan

g. Kebersihan

37

2. Faktor Lingkungan Kerja Non Fisik

a. Struktur kerja

b. Tanggung jawab kerja

c. Perhatian dan dukungan pemimpin

d. Kerja sama antar kelompok

Menurut (Suwatno dan Priansa, 2011:163) secara umum lingkungan

kerja terdiri dari lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja psikis.

1. Faktor Lingkungan Fisik

Faktor lingkungan fisik adalah lingkungan yang berada disekitar

pekerja itu sndiri. Kondisi di lingkungan kerja dapat mempengaruhi

kepuasan kerja karyawan yang meliputi :

a. Rencana Ruang Kerja

Meliputi kesesuaian pengaturan dan tata letak peralatan kerja,

hal ini berpengaruh besar terhadap kenyamanan dan tampilan

kerja karyawan.

b. Rancangan Pekerjaan

Meliputi peralatan kerja dan prosedur kerja atau metode

kerja, peralatan kerja yang tidak sesuai dengan pekerjaannya

akan mempengaruhi kesehatan hasil kerja karywan.

c. Kondisi Lingkungan Kerja

Penerangan dan kebisingan sangat berhubungan dengan

kenyamanan para pekerja dalam bekerja. Sirkulasi udara,

suhu ruangan dan penerangan yang sesuai sangat

38

mempengaruhi kondisi seseorang dalam menjalankan

tugasnya.

d. Tingkat Visual Pripacy dan Acoustical Privacy

Dalam tingkat pekerjaan tertentu membutuhkan tempat kerja

yang dapat mdemberi privasi bagi karyawannya. Yang

dimaksud privasi disini adalah sebagai “ keleluasan pribadi “

terhadapa hal-hal yang menyangkut dirinya dan

kelompoknya. Sedangkan acoustical privasi berhubungan

dengan pendengaran.

2. Faktor Lingkungan Psikis

Faktor lingkungan psikis adalah hal-hal yang menyangkut

dengan hubungan sosial dan keorganisasian. Kondisi psikis yang

mempengaruhi kepuasan kerja karyawan adalah :

a. Pekerjaan Yang Berlebihan

Pekerjaan yang berlebihan dengan waktu yang terbatas atau

mendesak dalam penyelesaian suatu pekerjaan akan

menimbulkan penekanan dan ketegangan terhadap karyawan,

sehingga hasil yang didapat kurang maksimal.

b. Sistem Pengawasan Yang Buruk

Sistem pengawasan yang buruk dan tidak efisien dapat

menimbulkan ketidak puasaan lainnya, seperti ketidak stabilan

suasana politik dan kurangnya umpan balik prestasi kerja.

39

c. Frustasi

Frustasi dapat berdampak pada terhambatnya usaha pencapaian

tujuan, misalnya harapan perusahaan tidak sesuai dengan

harapan karyawan, apanbila hal ini berlangsung terus menerus

akan menimbulkan frustasi bagi karyawan.

d. Perubahan-Perubahan Dalam Segala Bentuk

Perubahan yang terjadi dalam pekerjaaan akan mempengaruhi

cara orang-orang dalam bekerja, misalnya perubahan lingkungan

kerja seperti perubahan jenis pekerjaan, perubahan organisasi,

dan pergantian pemimpin perusahaan.

e. Perselisihan Antara Pribadi Dan Kelompok

Hal ini terjadi apabila kedua belah pihak mempunyai tujuan

yang sama dan bersaing untuk mencapai tujuan tersebut.

Perselisihan ini dapat berdampak negatif yaitu terjadinya

peselisihan dalam berkomunikasi, kurangnya kekompakan dan

kerjasama. Sedangkan dampak positifnya adalah adanya usaha

positif untuk mengatasiperselisihan ditempat kerja, diantaranya:

persaingan, masalah status dan perbedaan antara individu.

40

Lingkungan kerja fisik maupun psikis keduanya sama

pentingnya dalam sebuah organisasi, kedua lingkungan kerja ini

tidak bisa dipisahkan. Apabila sebuah perusahaan hanya

mengutamakan satu jenis lingkungan kerja saja, tidak akan

tercipta lingkungan kerja yang baik, dan lingkungan kerja yang

kurang baik dapat menuntut tenaga kerja dan waktu yang lebih

banyak dan tidak mendukung diperolehnya rancangan sistem

kerja yang efisien dan akan menyebabkan perusahaan tersebut

mengalami penurunan produktivitas kerja.

2.3.4. Aspek Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja dapat dibagi menjadi beberapa bagian atau bisa

disebut juga aspek pembentuk lingkungan kerja, bagian-bagian itu bisa

diuraikan sebagai berikut (Simanjuntak, 2003:39) :

1. Pelayanan Karyawan

Pelayanan karyawan merupakan aspek terpenting yang harus

dilakukan oleh setiap perusahaan terhadap tenaga kerja. Pelayanan

yang baik dari perusahaan akan membuat karyawan lebih bergairah

dalam bekerja, mempunyai rasa tanggung jawab dalam

menyelesaikan pekerjaannnya, serta dapat terus mennjaga nama

baik perusahaan melalui produktivitas kerjanya dan tingkah

lakuknya.

41

Pada umumnya pelayanan karyawan meliputi beberapa hal yakni :

a. Pelayanan makan dan minum

b. Pelayanan kesehatan

c. Pelayanan kamar kecil atau kamar mandi ditempat kerja

2. Kondisi Kerja

Kondisi kerja karyawan sebaiknya diusahakan oleh manajemen

perusahaan sebaik mungkin agar timbul rasa aman dalam bekerja

untuk karyawannya, kondisi kerja ini meliputi penerangan yang

cukup, suhu udara yang tepat, kebisingan yang ddapat

dikendalikan, pengaruh warna, ruang gerak yang diperlukan dan

keamanan kerja karyawan.

3. Hubungan Karyawan

Hubungan karyawan akan sangat menentukan dalam bertahan atau

tidaknya dalam bekerja di suatu perusahaan. Hubungan yang baik

antara sesama karyawan dan juga atasan dengan bawahan yang

baik akan mempengaruhi turnover dalam perusahaan.

42

2.3.5. Manfaat Lingkungan Kerja

Manfaat lingkungan kerja adalah menciptakan gairah kerja,

sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang

diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah

pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan

diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam skala waktu yang

ditentukan. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan

dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat

juangnya akan tinggi. (Arep, 2003 : 103).

43

2.4. Komitmen Organisasional

2.4.1. Pengertian Komitmen Organisasional

Komitmen organisasional adalah suatu sikap individu terhadap

nilai-nilai dan kondisi kerja, wujud orientasi sikap berupa kemampuan,

identifikasi kondisi kerja organisasi, kemampuan terlibat aktif, memiliki

rasa kesetiaan dan kepemilikan terhadap organisasi (Robbins, 2008:273).

Komitmen organisasional dapat diartikan sebagai identifikasi, loyalitasi

dan keterlibatan yang dinyatakan oleh karyawan untuk organisasi atau

unit dari suatu organisasi (Gibson., 2006:104). Komitmen organisasional

ditunjukkan dalam sikap penerimaan, keyakinan yang kuat terhadap

nilai-nilai dan tujuan organisasi.

Komitmen organisasional adalah merupakan suatu sikap individu

terhadap nilai-nilai dan kondisi kerja, wujud orientasi sikap berupa

kemampuan, identifikasi kondisi kerja organisasi, kemampuan terlibat

aktif, memiliki rasa kesetiaan dan kepemilikan terhadap organisasi

(Robbins, 2008:273). Komitmen organisasional dapat diartikan sebagai

identifikasi, loyalitas dan keterlibatan yang dinyatakan oleh karyawan

untuk organisasi atau unit dari suatu organisasi (Gibson., 2006:104).

Komitmen organisasional ditunjukkan dalam sikap penerimaan,

keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.

44

Komitmen organisasional menurut William dan Hazer (1986)

didefinisikan tingkat kekerapan identifikasi dan keterikatan individu

terhadap organisasi yang dimasukinya, dimana karakteristik

organisasional commitmen antara lain loyalitas seseorang terhadap

organisasi, kemauan untuk mempergunakan usaha atas nama organisasi,

kesesuaian antara tujuan seseorang dengan tujuan organisasi. Menurut

Blau dan Boal (1987) komitmen organisasional didefinisikan sebagai

suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi

tertentu (terhadap tujuan, nilai, dan kepentingan organisasi) serta berniat

memilihara keangotaan dalam organisasi itu.

Susana (2011:139) mendefinisikan komitmen organisasional “An

attitude which can adopt different forms and join the individual with a

relevant course of action for a particular objective” yang bearti suatu

pemikiran yang dapat menerima perbedaan bentuk dan bergabung

dengan individu untuk tujuan yang tertentu. Definisi komitmen

organisasional oleh Mowday (1982) dalam Alimohammadi (2013) 17

“Organizational commitment refers to accordance between the

goals of the individual and the organization whereby the individual

identifies with and extends attempt on representing the general goals of

the organization”, artinya komitmen organisasional mengacu sesuai

tujuan individu dan organisasi, dimana individu mengenali dan

mengupayakan untuk mempresentasikan tujuan suatu organisasi.

45

Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyono dan Kompyurini (2008),

menyimpulkan bahwa budaya organisasi berpengaruh secara signifikan

terhadap kinerja organisasi. Budaya organisasi sangat berpengaruh

terhadap perilaku para anggota organisasi, sehingga jika budaya

organisasinya baik maka anggota organisasinya adalah orang-orang yang

baik dan berkualitas pula. Dan apabila anggotanya baik dan berkualitas,

maka kinerja organisasi akan menjadi baik dan berkualitas juga.

Sedangkan berdasarkan Luthan (2006), Organizational

commitment didefinisikan sebagai :

1) Keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu

2) Keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi

3) Keyakinan terentu dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi

Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan

loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana

anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi

dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.

Dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasional adalah

keadaan psikologis individu yang berhubungan dengan keyakinan,

kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai

organisasi, kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi dan tingkat

sampai sejauh mana ia tetap ingin menjadi anggota organisasi.

46

2.4.2. Dimensi Komitmen Organisasional

Ada tiga dimensi komponen dari komitmen organisasional menurut

Mayer dan Allen (1990), yaitu sebagai berikut :

1) Komitmen Afektif

Merupakan keterikatan emosional karyawan, identifikasi dan

keterlibatan dalam organisasi. Keterikatan emosional ini terbentuk

karena karyawan setuju dengan tujuan dasar dan nilai-nilai

organisasi tersebut, serta mengerti untuk apa organisasi tersebut

berdiri. Karyawan dengan derajat komitmen afektif tinggi akan

memilih tetap tinggal dalam organisasi untuk menyokong

organisasi dalam mencapai misinya.

2) Komitmen Kelanjutan

Merupakan komitmen berdasarkan kerugian yang mungkin akan

muncul dengan keluarnya karyawan dari organisasi. semakin lama

seseorang tinggal dalam sebuah organisasi, ia akan semakin tidak

rela kehilangan apa yang telah mereka ‘investasikan’ di organisasi

tersebut bertahun-tahun.

3) Komitmen Normatif

Merupakan perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi

karena memang harus begitu; tindakan tersebut merupakan hal

benar yang harus dilakukan. Keharusan untuk tetap tinggal dalam

organisasi disebabkan karena tekanan dari orang atau pihak lain.

47

2.5. Turnover Intention

2.5.1. Pengertian Turnover Intention

Turnover Intention dapat diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja

keluar dari organisasi. Turnover menurut Robbins dan Judge (2009:38)

adalah tindakan pengunduran diri secara permanen yang dilakukan oleh

karyawan baik secara sukarela ataupun tidak secara sukarela. Turnover

dapat berupa pengunduran diri, perpindahan keluar unit organisasi,

pemberhentian atau kematian anggota organisasi. Culpepper (2011)

menyebutkan turnover intention merupakan prediktor terbaik untuk

mengindentifikasi perilaku turnover yang akan terjadi pada karyawan

suatu organisasi.

Keinginan berpindah kerja (turnover intention) pada karyawan

dapat dipengaruhi oleh faktor kepuasan kerja yang dirasakan di tempat

kerja (Abdillah, 2012). Satu aspek yang cukup menarik perhatian adalah

mendeteksi faktor-faktor motivational yang akan dapat mengurangi niat

karyawan untuk meningggalkan organisasi, karena niat untuk pindah

sangat kuat pengaruhnya dalam menjelaskan turnover yang sebenarnya.

Adanya karyawan yang keluar dari organisasi memerlukan biaya yang

besar dalam bentuk kerugian yang besar akan tenaga ahli, yang mungkin

juga memindahkan pengetahuan spesifik perusahaan kepada pesaing

(Carmeli dan Weisberg, 2006).

48

Robbins (2007) menjelaskan bahwa penarikan diri seseorang keluar

dari suatu organisasi (turnover) dapat diputuskan secara sukarela

(voluntary turnover) maupun secara tidak sukarela (involuntary

turnover). Voluntary turnover atau quit merupakan keputusan karyawan

untuk meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh

faktor seberapa manarik pekerjaan yang ada saat ini dan tersedianya

alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya, involuntary turnover atau

pemecatan menggambarkan keputusan pemberi kerja (employer) untuk

menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan

yang mengalaminya.

Keinginan (intention) adalah niat yang timbul pada individu untuk

melakukan sesuatu. Sementara perputaran (turnover) adalah berhentinya

seorang karyawan dari tempat bekerja secara sukarela atau pindah kerja

dari tempat kerja ke tempat kerja lain. Turnover yang tinggi

mengindikasikan bahwa karyawan tidak betah bekerja diperusahaan

tersebut. Jika dilihat dari segi ekonomi tentu perusahaan akan

mengeluarkan cost yang cukup besar karena perusahaan sering

melakukan recruitment, pelatihan yang memerlukan biaya yang sangat

tinggi, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi suasana kerja menjadi

kurang menyenangkan.

49

Menurut Mathis dan Jackson (2006:125), perputaran adalah proses

dimana karyawan meninggalkan organisasi dan harus digantikan.

Sedangkan menurut Rivai (2009:238) turnover merupakan keinginan

karyawan untuk berhenti kerja dari perusahaan secara sukarela atau

pindah dari satu tempat ke tempat kerja yang lain menurut pilihannya

sendiri.

Menurut Siregar (2006:214) Turnover Intention adalah

kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari

pekerjaannya secara sukarela menurut pilihannya sendiri. Turnover

intention dipengaruhi oleh stres kerja dan lingkungan kerja. Faktor-faktor

yang mempengaruhi seseorang untuk pindah kerja, yaitu karateristik

individual dan faktor lingkungan kerja. Faktor individual meliputi umur,

pendidikan, serta status perkawinan sedangkan faktor lingkungan kerja

terbagi dua yaitu lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja non fisik.

Lingkungan kerja fisik meliputi keadaan suhu, cuaca, kontruksi,

bangunan, serta lokasi pekerjaan sedangkan lingkungan kerja non fisik

meliputi sosial budaya di lingkungan kerjanya, besar atau kecilnya beban

kerja, kompensasi yang diterima, hubungan kerja se-profesi, serta

kualitas kehidupan kerjanya.

Menurut Mobley (2002:44), turnover karyawan adalah suatu

fenomena penting dalam kehidupan organisasi. Namun turnover lebih

mudah dilihat dari sudut pandang negatif saja. Padahal ada kalanya

turnover justru memiliki implikasi-implikasi sebagai perilaku manusia

50

yang penting, baik dari sudut pandang individual maupun dari sudut

pandang sosial. Organisasi selalu mencari cara untuk menurunkan tingkat

perputaran karyawan, terutama perputaran disfungsional yang

menimbulkan berbagai potensi biaya seperti biaya pelatihan dan biaya

rekrutmen. Walaupun pada kasus tertentu perputaran kerja terutama

terdiri dari karyawan dengan kinerja rendah tetapi tingkat perpindahan

karyawan yang terlalu tinggi mengakibatkan biaya yang ditanggung

organisasi jauh lebih tinggi dibanding kesempatan memperoleh

peningkatan kinerja dari karyawan baru.

2.5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Turnover Intention

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya turnover cukup

kompleks dan saling berkaitan satu sama lain. Diantara faktor-faktor

tersebut yang akan dibahas antara lain sebagai berikut (Novliadi, 2007:

10-12) :

1) Usia

Tingkat turnover yang cenderung lebih tinggi pada karyawan

berusia muda disebabkan karena mereka memiliki keinginan untuk

mencoba-coba pekerjaan atau organisasi kerja serta ingin

mendapatkan keyakinan diri lebih besar melalui cara coba-coba

tersebut. Hal ini juga didukung oleh Cheng dan Chan (2008 : 272),

bahwa turnover intention lebih kuat pada karyawan dengan masa

51

kerja yang lebih pendek dan lebih kuat pada karyawan yang lebih

muda daripada karyawan yang lebih tua.

2) Lama Kerja

Semakin lama masa kerja semakin rendah kecenderungan

turnovernya. Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan

masa kerja lebih singkat. Interaksi dengan usia, kurangnya

sosialisasi awal merupakan keadaan-keadaan yang memungkinkan

turnover tersebut.

3) Tingkat Pendidikan

Menurut Handoyo, dikatakan bahwa mereka yang mempunyai

tingkat intellegensi tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-

tugas yang sulit sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Ia mudah

merasa gelisah akan tanggung jawab yang diberikan padanya dan

merasa tidak aman. Sebaliknya mereka yang mempunyai tingkat

intellegensi yang lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan

pekerjaan-pekerjaan yang monoton. Mereka akan lebih berani

keluar dan mencari pekerjaan baru daripada mereka yang tingkat

pendidikannya terbatas, karena kemampuan intelegensinya yang

terbatas pula.

52

4) Keterikatan Terhadap Perusahaan

Pekerja yang mempunyai rasa keterikatan yang kuat terhadap

perusahaan tempat ia bekerja berarti mempunyai dan membentuk

perasaan memiliki (sense of belonging), rasa aman, efikasi, tujuan

dan arti hidup serta gambarandiri positif. Akibat secara langsung

adalah menurunnya dorongan diri untuk berpindah pekerjaan dan

perusahaan.

2.5.3. Jenis-Jenis Turnover

Turnover atau tingkat keluar masuk karyawan merupakan proses

dimana karyawan meninggalkan organisasi dan harus digantikan. Banyak

organisasi menemukan bahwa turnover merupakan masalah yang

merugikan. Jenis turnover menurut Mathis dan Jackson (2000: 125-126) :

1. Turnover secara tidak sukarela dan Turnover secara sukarela

(1). Turnover secara tidak sukarela

Pemecatan karena kinerja yang buruk dan pelanggaran

peraturan kerja. Turnover secara tidak sukarela dipicu oleh

kebijakan organisasional, peraturan kerja dan standar

kinerja yang tidak dipenuhi oleh karyawan.

53

(2). Turnover secara sukarela

Karyawan meninggalkan perusahaan karena keinginannya

sendiri. Turnover secara sukarela dapat disebabkan oleh

banyak faktor, termasuk peluang karier, gaji, pengawasan,

geografi dan alasan pribadi/keluarga.

2. Turnover fungsional dan Turnover disfungsional

(1). Turnover fungsional

Karyawan yang memiliki kinerja lebih rendah, individu

yang kurang dapat diandalkan, atau mereka yang

mengganggu rekan kerja meninggalkan organisasi

(2). Turnover disfungsional

Karyawan penting dan memiliki kinerja tinggi

meninggalkan organisasi pada saat yang genting.

3. Turnover yang tidak dapat dikendalikan dan Turnover yang dapat

dikendalikan

(1). Turnover yang tidak dapat dikendalikan

Muncul karena alasan diluar pengaruh pemberi kerja.

Banyak alasan karyawan yang berhenti tidak dapat

dikendalikan oleh organisasi contohnya sebagai berikut :

Adanya perpindahan karyawan dari daerah geografis,

karyawan memutuskan untuk tinggal didaerah karena

alasan keluarga, suami atau istri yang dipisahkan dan

54

karyawan adalah mahasiswa yang baru lulus dari perguruan

tinggi.

(2). Turnover yang dapat dikendalikan

Muncul karena faktor yang dapat dipengaruhi oleh pemberi

kerja. Dalam turnover yang dapat dikendalikan, organisasi

lebih mampu memelihara karyawan apabila mereka

menangani persoalan karyawan yang dapat menimbulkan

turnover.

2.5.4. Indikator Turnover Intention

Menurut Harnoto (2002 : 2): “Turnover intention ditandai oleh

berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan, antara lain: absensi

yang meningkat, mulai malas kerja, naiknya keberanian untuk melanggar

tata tertib kerja, keberanian untuk menentang atau protes kepada atasan,

maupun keseriusan untuk menyelesaikan semua tanggung jawab

karyawan yang sangat berbeda dari biasanya.” Indikasi-indikasi tersebut

bisa digunakan sebagai acuan untuk memprediksikan turnover intention

karyawan dalam sebuah perusahaan.

1) Absensi yang meningkat

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja,

biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat

tanggung jawab karyawan dalam fase ini sangat kurang

dibandingkan dengan sebelumnya.

55

2) Mulai malas bekerja

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, akan

lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di

tempat lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi semua

keinginan karyawan yang bersangkutan.

3) Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja

Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan

pekerjaan sering dilakukan karyawan yang akan melakukan

turnover. Karyawan lebih sering meninggalkan tempat kerja ketika

jam-jam kerja berlangsung, maupun berbagai bentuk pelanggaran

lainnya.

4) Peningkatan protes terhadap atasan

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, lebih

sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan

kepada atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya

berhubungan dengan balas jasa atau aturan yang tidak sependapat

dengan keinginan karyawan.

5) Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya

Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang memiliki

karakteristik positif. Karyawan ini mempunyai tanggung jawab

yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan, dan jika perilaku

56

positif karyawan ini meningkat jauh dan berbeda dari biasanya

justru menunjukkan karyawan ini akan melakukan turnover.

2.6. Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian terdahulu sangat penting sebagai dasar pijakan

dalam rangka penyususnan penelitian ini. Kegunaannya untuk

mengetahui hasil yang telah dilaksanakan oleh peneliti terdahulu yang

terkait mengenai analisis pengaruh job insecurity, lingkungan kerja dan

komitmen organisasional terhadap turnover intention adalah sebagai

berikut :

1. Skripsi “Pengaruh Pengaruh Job Insecurity Kerja dan Komitmen

Organisasi terhadap Turnover Intention Di Dinas Perhubungan

Kabupaten Bantul, DIY.” Penelitian Lili (2014). Pada penelitian

ini menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari variabel

job insecurity dan komitmen organisasi terhadap turnover

intention. Perusahaan harus memperhatikan hal tersebut agar

perusahaan mampu memberikan rasa aman, kekerabatan yang erat,

besarnya gaji, penghargaan kepada karyawan, serta tugas yang

tepat agar karyawan mampu merasa tertantang dalam menjalankan

tugas.

2. Skripsi “Pengaruh Lingkungan Kerja dan Disiplin Kerja terhadap

Kinerja Karyawan PT. Razer Brothers.” Penelitian Aji (2015) yang

menganalisis tentang pengaruh lingkungan kerja, disiplin kerja, dan

57

kompensasi terhadap kinerja karyawan perusahaan PT. Razer

Brothers. Pada penelitian ini menyatakan bahwa variabel

lingkungan kerja memengaruhi kinerja karyawan secara signifikan.

Semakin baik lingkungan kerja yang diberikan maka akan semakin

baik pula kinerja karyawan.

2.7. Hubungan Antar Variabel

2.7.1. Pengaruh Job Insecurity terhadap Turnover Intention

Karyawan yang mengalami tekanan job insecurity memiliki alasan

rasional untuk mencari alternatif pekerjaan lain yang dapat mendukung

kelanjutan dan memberikan rasa aman bagi karirnya (Greenhalgh &

Rosenblatt, 1984 dalam Iwandi, 2002). Karenanya karyawan yang

mengalami tekanan atau tidak mendapat tekanan dan mudah memperoleh

pekerjaan ditempat lain, tekanan yang mangancam kelangsungan kerja

diduga terkait dengan reaksi untuk meninggalkan pekerjaan di tempat

lain.

Ashford et al. (1989), menyatakan job insecurity merupakan

perasaan tegang, gelisah, khawatir stress, dan merasa pasti dalam

kaitannya dengan sifat dan keberadaan pekerjaan selanjutnya yang

dirasakan karyawan. Ada berbagai macam penelitian yang

menghubungkan job insecurity terhadap turnover intention diantaranya

adalah hasil penelitian Ameen et al. (1995) pada akuntan pendidik

menemukan bahwa job insecurity mempunyai pengaruh positif terhadap

58

turnover intention. Penelitian ini didukung oleh penelitian Suwandi dan

Indriantoro (1999) yang menunjukkan bahwa job insecurity sebagai

faktor yang secara langsung mempengaruhi turnover intention. Tetapi

penelitian yang dilakukan oleh Pasewark dan Straswer (1996) melalui

pengujian path analysis, menemukan bahwa job insecurity bukan

predictor langsung terhadap turnover intention.

2.7.2. Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Turnover Intention

Ketika lingkungan kerja disuatu perusahaan tidak kondusif untuk

bekerja, maka karyawan dipastikan tidak akan bertahan lama di

perusahaan tersebut. Dapat dikatakan turnover intention akan semakin

tinggi. Perusahaan harus berusaha sekuat tenaga agar karyawan yang

bekerja tersebut dapat tetap bertahan. Hal yang paling mungkin

dilakukan oleh perusahaan adalah menjaga mereka agar tetap merasa

nyaman dengan lingkungan kerja di perusahaan. Tidak hanya lingkungan

kerja fisik tetapi dalam hal psikologisnya pun harus diperhatikan.

Lingkungan kerja yang kondusif, akan membuat karyawan merasa

nyaman dalam melaksanakan tugasnya. Lingkungan kerja yang buruk,

seperti sedikitnya fasilitas yang didapat karyawan, tidak adanya tempat

untuk istirahat karyawan, akan semakin mendorong niat karyawan untuk

mengundurkan diri. Semakin lengkap fasilitas yang diterima karyawan

untuk menunjang pekerjaannya maka semakin rendah niat karyawan

untuk mencari alternatif pekerjaan lain.

59

Aspek lain dari lingkungan kerja yaitu suasana kerja. Suasana kerja

yang dapat mendukung karyawan dalam bekerja misalnya penerangan

atau cahaya yang cukup, keamanan di tempat kerja yang terjamin, tempat

kerja yang nyaman, sangat dibutuhkan oleh karyawan. Semakin tinggi

tingkat kriminalitas, atau bisa dikatakan keamanan karyawan dalam

bekerja terancam maka akan dapat meningkatkan niat karyawan tersebut

untuk keluar dari pekerjaannya dan mencari alternatif pekerjaan lain yang

lebih aman. Dapat dikatakan bahwa lingkungan kerja yang tidak

mendukung berpengaruh negatif terhadap turnover intention karyawan.

2.7.3. Pengaruh Komitmen Organisasional terhadap Turnover Intention

Salah satu faktor yang mempengaruhi turnover intention karyawan

adalah komitmen organisasional yaitu kondisi psikologis yang

menggambarkan hubungan antara karyawan dengan perusahaan. Secara

spesifik, komitmen organiasional bukan hanya hubungan formal antara

individu dengan organisasi, tetapi juga keterikatan dan keterlibatan

secara aktif karyawan dalam perusahaan tersebut.

60

2.8. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran ditemukan untuk menemukan permasalahan,

membuatkan landasan teori dan menguji hipotesa atas suatu penelitian.

Dalam kaitan ini kerangka berpikir harus didasarkan pada premis-premis

atau pertanyaan-pertanyaan yang dianggap benar yang berguna dalam

upaya deduksi yang biasanya non-empirik untuk sampai pada

kesimpulan-kesimpulan tentang kaitan antara variabel-variabel

penelitian. Kerangka berpikir ini juga harus dilengkapi oleh bagan atau

alur pemikiran yang memperlihatkan kaitan antar variabel-variabel

penelitian (Ummar, 2008).

Pengaruh job insecurity terhadap turnover intention di PT. Dagsap

Endura Eatore Yogyakarta. Job insecurity merupakan salah satu hal

penting dalam hasil turnover intention di tempat kerja. Bagi karyawan,

job insecurity menjadi salah satu faktor peting dalam mempengaruhi

turnover intention di PT. Dagsap Endura Eatore Yogyakarta. Job

insecurity sendiri tidak hanya berupa ancaman dikeluarkan dari

pekerjaan, tetapi bisa juga berupa penurunan jabatan, pergantian posisi

kerja, perpindahan divisi kerja dan sebagainya. Ketika seorang karyawan

merasa job insecurity itu begitu terasa, maka turnover intention juga

meningkat.

61

Pengaruh lingkungan kerja terhadap turnover intention di PT.

Dagsap Endura Eatore Yogyakarta. Lingkungan kerja memilki peranan

penting bagi karyawan. Lingkungan kerja dapat dilihat dari lingkungan

fisik dan lingkungan non fisik. Dalam penelitian ini, menganalisa

lingkungan fisik dimana dalam perusahaan telah menerapkan standar

keselamatan kerja yang baik dan mengikuti prosedur kerja sesuai dengan

aturan yang ada. Sehingga dengan lingkungan kerja yang baik serta

mendukung kinerja, akan mampu menekan turnover intention yang

mungkin terjadi dalam benak karyawan.

Pengaruh komitmen organisasional terhadap turnover intention

dalam perusahaan. Komitmen dalam karyawan tidak selalu terhadap

nilai-nilai yang ada, namun juga dapat berupa bentuk kepatuhan dan

kedisiplinan karyawan dalam bekerja.

Job insecurity yang tinggi di PT. Dagsap Endura Eatore

Yogyakarta dapat meningkatkan turnover intention dalam perusahaan.

Jika karyawan merasa job insecurity dapat ditekan, maka keinginan

untuk melakukan perpindahan pekerjaan di lain perusahaan juga akan

berkurang. Didukung dengan lingkungan kerja yang kondusif dan

memadahi. Ditambah dengan komitmen organisasional dari karyawan

yang baik. Sehingga kinerja di perusahaan dapat berjalan secara

maksimal demi tercapainya tujuan organisasi secara efisien” (Sarwoto,

1979:135).

62

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Sumber : Robbins (2008), Gibson (2009), Handoko (2010)

Lingkungan Kerja (X2) Turnover Intention (Y)

Job Insecurity (X1)

Komitmen Organisasional (X3)

63

2.9. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian, dimana rumusan masalah tersebut dinyatakan dalam bentuk

kalimat pertanyaan. Juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis

terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik

dengan data. (Sugiyono, 2015). Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel job insecurity, lingkungan kerja dan komitmen

organisasional secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap turnover intention pada PT. Dagsap Endura

Eatore Yogyakarta.

2. Variabel job insecurity, lingkungan kerja dan komitmen

organisasional secara parsial terhadap turnover intention pada PT.

Dagsap Endura Eatore Yogyakarta.

3. Job insecurity memberikan pengaruh dominan terhadap turnover

intention pada PT. Dagsap Endura Eatore Yogyakarta.