bab ii tinjauan pustaka 2.1 konsep kecemasan 2.1.1 … ii.pdf · 2019. 9. 18. · bab ii tinjauan...

22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kecemasan 2.1.1 Pengertian Kecemasan Kecemasan adalah gangguan alam sadar (effectife) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA), masi baik, kepribadian masih tetap utuh(tidak mengalami keretakan kepribadian/ splitting of personality), perilaku dapat terganggu tapi masih dalam batas normal (Hawari,2006). Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis (Kozier, Barbara. 2008).Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Ghufron M. Nur Dan Wati S, Rini.2012) kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya. 6

Upload: others

Post on 01-Feb-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Konsep Kecemasan

    2.1.1 Pengertian Kecemasan

    Kecemasan adalah gangguan alam sadar (effectife) yang ditandai dengan

    perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak

    mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA), masi

    baik, kepribadian masih tetap utuh(tidak mengalami keretakan kepribadian/

    splitting of personality), perilaku dapat terganggu tapi masih dalam batas normal

    (Hawari,2006).

    Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan

    mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan

    mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak

    menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan

    menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis (Kozier, Barbara.

    2008).Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Ghufron M. Nur Dan Wati S,

    Rini.2012) kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam,

    dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan,

    pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan

    identitas diri dan arti hidup. Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami

    siapapun. Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah menjadi gangguan

    akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.

    6

  • 7

    Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat diatas bahwa

    kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang sangat

    mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan karena adanya ketidakpastian

    dimasa mendatang serta ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

    2.1.2 Tingkat Kecemasan

    Semua orang pasti mengalami kecemasan pada derajat tertentu, Peplau

    mengidentifikasi 4 tingkatan kecemasan yaitu:

    1. Kecemasan Ringan

    Kecemasan ini berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Kecemasan

    dapat memotivasi belajar menghasilkan pertumbuhan serta kreatifitas. Tanda dan

    gejala antara lain: persepsi dan perhatian meningkat, waspada, sadar akan

    stimulus internal dan eksternal, mampu mengatasi masalah secara efektif serta

    terjadi kemampuan belajar. Perubahan fisiologi ditandai dengan gelisah, sulit

    tidur, hipersensitif terhadap suara, tanda vital dan pupil normal.

    2. Kecemasan Sedang

    Kecemasan sedang memungkinkan seseorang memusatkan pada hal yang

    penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga individu mengalami perhatian

    yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Respon

    fisiologi : sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, gelisah,

    konstipasi. Sedangkan respon kognitif yaitu lahan persepsi menyempit,

    rangsangan luar tidak mampu diterima, berfokus pada apa yang menjadi

    perhatiaannya. 3. Kecemasan Berat

  • 7

    Kecemasan berat sangat mempengaruhi persepsi individu, individu cenderung untuk

    memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berfikir tentang hal lain.

    Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Tanda dan gejala dari kecemasan berat

    yaitu: persepsinya sangat kurang, berfokus pada hal yang detail, rentang perhatian sangat

    terbatas, tidak dapat berkonsentrasi atau menyelesaikan masalah, serta tidak dapat belajar secara

    efektif. Pada tingkatan ini individu mengalami sakit kepala, pusing, mual, gemetar, insomnia,

    palpitasi, takikardi, hiperventilasi, sering buang air kecil maupun besar, dan diare. Secara emosi

    individu mengalami ketakutan serta seluruh perhatian terfokus pada dirinya.

    4. Panik

    Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror.

    Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak dapat melakukan

    sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik menyebabkan peningkatan aktivitas motorik,

    menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang,

    kehilangan pemikiran yang rasional. Kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika

    berlangsung lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian. Tanda dan gejala dari

    tingkat panik yaitu tidak dapat fokus pada suatu kejadian (Hadibroto, Iwan & Syamsir Alam.

    (2006).).

    2.1.3 Faktor yang mempengaruhi kecemasan

  • 7

    Faktor – faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah

    Alimul H, Aziz.(2006):

    a. Faktor fisik

    Kelemahan fisik dapat melemahkan kondisi mental individu sehingga memudahkan

    timbulnya kecemasan.

    b. Trauma atau konflik

    Munculnya gejala kecemasan sangat bergantung pada kondisi individu, dalam arti bahwa

    pengalaman-pengalaman emosional atau konflik mental yang terjadi pada individu akan

    memudahkan timbulnya gejala-gejala kecemasan.

    c. Lingkungan awal yang tidak baik.

    Lingkungan adalah faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi kecemasan individu,

    jika faktor tersebut kurang baik maka akan menghalangi pembentukan kepribadian sehingga

    muncul gejala-gejala kecemasan.

    Cara hidup orang di masyarakat juga sangat mempengaruhi pada timbulnya ansietas. Individu

    yang mempunyai cara hidup sangat teratur dan mempunyai. Falsafah hidup yang jelas maka pada

    umumnya lebih sukar mengalami ansietas. Budaya seseorang juga dapat menjadi pemicu

    terjadinya ansietas. Hasil survey yang dilakukan oleh Mudjadid,dkk tahun 2006 di lima wilayah

    pada masyarakat DKI Jakarta didapatkan data bahwa tingginya angka ansietas disebabkan oleh

    perubahan gaya hidup serta kultur dan budaya yang mengikuti perkembangan kota. Namun

    demikian, faktor predisposisi di atas tidak cukup kuat menyebabkan sesorang mengalami

    ansietas apabila tidak disertai faktor presipitasi (pencetus) (Kozier, Barbara. 2008).

    2.1.4 Pengukuran Tingkat Kecemasan

  • 7

    Untuk mengukur tingkat kecemasan, peneliti menggunakan kuesioner dengan metode

    Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) merupakan instrumen untuk mengukur tingkat

    kecemasan. Penilaian berdasarkan skala Likert dari 0-4, dimana skor 4 menggambarkan hal

    negatif dengan penilaian : Tidak ada (0) sangat jarang (1), kadang kadang (2), sering (3), selalu

    (4). Dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 14 pertanyaan, Tingkat kecemasan di

    kategorikan menjadi 0-4, yaitu : Normal, jika hasil penilaian dari kuisioner di dapatkan nilai 0-14

    Tidak ada cemas Jika hasil penilaian dari kiesioner di dapatkan 14-20, Cemas ringan, jika hasil

    penilaian dari kuisioner di dapatkan nilai 21-27, Cemas Sedang, jika hasil penilaian dari

    kuisioner di dapatkan nilai 28-41, Cemas Berat Jika hasil penilaian dari kiesioner di dapatkan

    nilai 42-56,Cemas Berat sekali (Nursalam, 2012).

    2.1.2 Konsep Tidur

    1. Definisi Tidur

    Tidur merupakan keadaan tidak sadar yang relatif lebih responsif terhadap rangsangan

    internal. Perbedaan tidur dengan keadaan tidak sadar lainnya adalah pada keadaan tidur

    siklusnya dapat diprediksi dan kurang respons terhadap rangsangan eksternal. Otak berangsur-

    angsur menjadi kurang responsif terhadap rangsang visual, auditori dan rangsangan lingkungan

    lainnya. Tidur dianggap sebagai keadaan pasif yang dimulai dari input sensoric walaupun

    mekanisme inisiasi aktif juga mempengaruhi keadaan tidur. Faktor homeostatik (faktor S)

    maupun faktor sirkadian (faktor C) juga berinteraksi untuk menentukan waktu dan kualitas tidur

    (Susanne,2009).

    Tidur merupakan aktifitas yang merupakan susunan saraf pusat, saraf perifer, endokrin,

    kardiovasakuler, respirasi, dan muskuloskletal (Susanne,2009).

  • 7

    2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur

    Faktor – faktor yang mempengaruhi tidur antara lain adalah (Alimul, 2006):

    a. Penyakit

    Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak penyakit yang memperbesar

    kebutuhan tidur, misalnya : penyakit yang disebabkan oleh infeksi (infeksi limfa) akan

    memerlukan lebih banyak waktu tidur untuk mengatasi keletihan. Banyak juga keadaan sakit

    yang menjadikan pasien kurang tidur, bahkan tidak bisa tidur (Hadibroto, Iwan & Syamsir Alam.

    (2006).).

    b. Latihan dan Kelelahan

    Keletihan akibat akivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak tidur untuk menjaga

    keseimbangan energi yang telah dikeluarkan. Hal ini terlihat pada seseorang yang telah

    melakukan aktivitas dan mencapai kelelahan. Maka, orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat

    tidur karena tahap tidur gelombang lambatnya diperpendek Hadibroto, Iwan & Syamsir Alam.

    (2006).

    c. Stres Psikologis

    Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan jiwa. Hal tersebut

    terlihat ketika seseorang yang memiliki masalah psikologis mengalami kegelisahan sehingga

    sulit untuk tidur (Ramaiah, Savitri. 2006).

    d. Obat

    Obat juga dapat mempengaruhi proses tidur, beberapa jenis obat yang dapat mempengaruhi

    proses tidur adalah jenis golongan obat diuretic menyebabkan seseorang menjadi isomnia, anti

    depresan dapat menekan REM, kafein dapat meningkatkan syaraf simpatis yang menyebabkan

  • 7

    kesulitan untuk tidur, golongan beta bloker dapat berefek pada timbulnya insomnia, dan

    golongan narkotik dapat menekan REM sehingga mudah mengantuk (Stuart, Gail W. 2006).

    e. Nutrisi

    Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses tidur. Protein yang

    tinggi dapat mempercepat terjadinya proses tidur, karena adanya trytophan yang merupakan

    asam amino dari protein yang dicerna. Demikian juga sebaliknya, kebutuhan gizi yang kurang

    juga dapat mempengaruhi proses tidur, bahkan terkadang sulit untuk tidur.

    f. Lingkungan

    Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang juga dapat mempercepat

    terjadinya proses tidur.

    g. Motivasi

    Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk tidur, yang dapat

    mempengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan untuk menahan tidak tidur dapat

    menimbulkan gangguan proses tidur (Asmadi.2008).

    2.2.3 Kualitas Tidur

    Kualitas tidur adalah suatu keadaan dimana tidur yang dijalani seorang individu

    menghasilkan kesegaran dan kebugaran ketika terbangun. Kualitas tidur mencakup aspek

    kuantitatif seperti durasi tidur, latensi tidur, serta aspek subjektif seperti tidur dalam dan istirahat

    (Khasanah & Hidayati, 2012).

    Menurut Hidayat dalam Khasanah & Hidayati (2012), kualitas tidur seseorang dikatakan baik

    apabila tidak menunjukan tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam

    tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur dapat dibedakan menjadi tanda fisik dan tanda

    psikologis.

  • 7

    Tanda – tanda fisik akibat kekurangan tidur antara lain : ekspresi wajah (area gelap

    disekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung),

    kantuk yang berlebihan, tidak mampu berkonsentrasi, terlihat tanda – tanda keletihan. Sedangkan

    tanda – tanda psikologis antara lain : menarik diri, apatis, merasa tidak enak badan, malas, daya

    ingat menurun, bingung, halusinasi, ilusi penglihatan dan kemampuan mengambil keputusan

    menurun.Kualitas tidur dapat diukur menggunakan Pittsburg Quality of Sleep Index (PSQI). Alat

    ini merupakan alat untuk menilai kualitas tidur. Alat ini terdiri dari 9 poin pertanyaan,pertanyaan

    itu mengkaji secara luas faktor yang berhubungan dengan tidur seperti durasi tidur, latensi tidur,

    dan masalah tidur. Setiap komponen skor memiliki rentang nilai 0-3. kesembilang komponen

    dijumlahkan sehingga terdapat skor 0-21, dimana skor lebih tinggi dari 5 menandakan kualitas

    tidur yang buruk (Maulida. 2011.).

    2.2.4 Tahapan Tidur

    Tahapan tidur terdapat tidur tenang atau nonREM (non rapid eye movement) dan tidur aktif

    atau REM, dengan penjelasan sebagai berikut :

    a. Tidur NonREM

    Tidur nonREM terdiri dari 4 tahap, dimana setiap tahapnya mempunyai ciri tersendiri.

    Pada tidur tahap I terjadi bila merasakan ngantuk dan mulai tertidur. Jika telepon berbunyi atau

    ada sesuatu sampai terbangun, sering kali tidak merasakan bahwa sebenarnya kita telah tertidur.

    Gelombang listrik otak memperlihatkan ‘gelombang alfa’ dengan penurunan voltase. Tahap I ini

    berlangsung 30 detik sampai 5 menit pertama dari siklus tidur.

    Tidur tahap II, seluruh tubuh kita seperti berada pada tahap tidur yang lebih dalam. Tidur masih

    mudah dibangunkan, meskipun kita benar-benar berada dalam keadaan tidur. Periode tahap II

    berlangsung dari 10 sampai 40 menit. Kadang-kadang selama tahap tidur II seseorang dapat

  • 7

    terbangun karena sentakan tiba-tiba dari ekstremitas tubuhnya. Ini normal, kejadian sentakan ini,

    sebagai akibat masuknya tahapan REM. Tahap III dan IV. Tahap ini merupakan tahap tidur

    nyenyak. Pada tahap III, Orang yang tertidur cukup pulas, rileks sekali karena tonus otot lenyap

    sama.

    Tahap IV mempunyai karakter : tanpa mimpi dan sulit dibangunkan, dan orang akan

    binggung bila terbangun langsung dari tahap ini, dan memerlukan waktu beberapa menit untuk

    meresponnya. Pada tahap ini, diproduksi hormone pertumbuhan guna memulihkan tubuh,

    memperbaiki sel, membangun otot dan jaringan pendukung. Perasaan enak dan segar setelah

    tidur nyenyak, setidak tidaknya di sebabkan karena hormon pertumbuhan bekerja baik.

    Tahapan NonREM mempunyai karakter sebagai berikut : NonREM Tahap I kedaan ini masih

    dapat merespons cahaya, berlangsung beberapa menit, aktivitas fisik menurun, tanda vital dan

    metabolisme menurun, bila terbangun terasa sedang mimpi. NonREM Tahap II tubuh mulai

    relaksasi otot, berlangsung 10 – 20 menit, fungsi tubuh berlangsung lambat, dapat dibangunkan

    dengan mudah. NonREM Tahap III adalah awal dari keadaan tidur nyenyak, sulit di bangunkan,

    relaksasi otot menyeluruh, tekanan darah menurun, berlangsung 15 – 30 menit. NonREM Tahap

    IV sudah terdapat tidur nyenyak, sulit untuk di bangunkan, untuk restorasi dan istirahat, tonus

    otot menurun, sekresi lambung menurun, gerak bola mata cepat (Ramaiah, Savitri. 2006.).

    b. Tidur REM

    Tahap tidur REM sangat berbeda dari tidur nonREM. Tidur REM adalah tahapan tidur

    yang sangat aktif. Pola nafas dan denyut jantung tak teratur dan tidak terjadi pembentukan

    keringat. Kadang-kadang timbul twitching pada tangan, kaki, atau muka, dan pada laki-laki dapat

    timbul ereksi pada periode tidur REM. Walaupun ada aktivitas demikian orang masih tidur lelap

    dan sulit untuk dibangunkan. Sebagian besar anggota gerak tetap lemah dan rileks. Tahap tidur

  • 7

    ini diduga berperan dalam memulihkan pikiran, menjernihkan rasa kuatir dan daya ingat dan

    mempertahankan fungsi sel-sel otak.Siklus tidur pada orang dewasa biasanya terjadi setiap 90

    menit. Pada 90 menit pertama seluruh tahapan tidurnya adalah NonREM. Setelah 90 menit, akan

    muncul periode tidur REM, yang kemudian kembali ke tahap tidur NonREM. Setelah itu hampir

    setiap 90 menit tahap tidur REM terjadi. Pada tahap awal tidur, periode REM sangat singkat,

    berlangsung hanya beberapa menit. Bila terjadi gangguan tidur, periode REM akan muncul lebih

    awal pada malam itu, setelah kira-kira 30-40 menit. Orang itu akan mendapatkan tidur tahap III

    dan IV lebih banyak. Selama tidur, tahapan tidur akan berpindah-pindah dari satu tahap ke

    tahapan yang lain, tanpa harus menuruti aturan yang biasanya terjadi. Artinya suatu malam,

    mungkin saja tidak ada tahap III atau IV. Tapi malam lainnya seluruh tahapan tidur akan

    didapatkannya.

    Karakteristik tidur REM meliputi : mata cepat tertutup dan terbuka, kejang otot kecil, otot besar

    imobilisasi, pernapasan tidak teratur, kadang dengan apnea, nadi cepat dan ireguler, tekanan

    darah meningkat atau fluktuasi, sekresi gaster meningkat, metabolisme meningkat, temperatur

    tubuh naik, siklus tidur : sulit di bangunkan (Ramaiah, Savitri. 2006.).

    2.2.5 Pola Tidur Normal

    a. Bayi

    Pada bayi baru lahir membutuhkan tidur selama 14-18 jam sehari, pernapasan teratur,

    gerak tubuh 50% adalah tahap REM dan terbagi dalam 7 periode. Dan pada bayi tidur selama 12-

    14 jam sehari, sekitar 20-30% tidur REM, tidur lebih lama pada malam hari dan punya pola

    terbangun sebentar (Asmadi, 2008).

    b. Todler

  • 7

    Kebutuhan tidur pada Todler menurun menjadi 10-12 jam/hari, tahap REM 20-25%. Tidur

    siang dapat hilang pada usia 3 tahun karena sering terbangun pada malam hari yang

    menyebabkan mereka tidak ingin tidur pada malam hari (Asmadi, 2008).

    c. Preschooler

    Memerlukan waktu tidur 11-12 jam pada malam hari, tahap REM 20%. Bisa jadi anak usia

    4-5 mengalami kurang istirahat dan mudah sakit jika kebutuhan tidurnya kurang terpenuhi

    (Asmadi, 2008).

    d. Usia sekolah

    Tidur antara 8-12 jam pada malam hari tanpa tidur siang, tahap REM berkurang sekitar

    20%. Anak usia 8 tahun membutuhkan waktu kurang lebih 10 jam setiap malam (Asmadi, 2008).

    e. Adolensia

    Tidur 8-10 jam pada malam hari untuk mencegah kelemahan dan kerentanan terhadap

    infeksi, tahap REM 20%. Pada remaja laki-laki mengalami Noctural Emission (orgasme dan

    mengeluarkan cairan semen pada tidur malam hari) yang biasa kita kenal dengan mimpi basah

    (Potter, 2005).

    f. Dewasa muda

    Pada masa ini umumnya mereka sangat aktif membutuhkan waktu tidur 7-8 jam/hari, tahap

    REM 20%. Dewasa muda yang sehat membutuhkan cukup tidur untuk berpartisipasi dalam

    kesibukan aktifitas karena jarang sekali mereka tidur siang (Asmadi, 2008).

    g. Dewasa Akhir

    Kebutuhan akan tidur kurang dari 6 jam/hari, tahap REM 20-25% dan tidur tahap IV

    mengalami penurunan (Asmadi, 2008)

    2.3. Konsep Asma Bronkhial

  • 7

    2.3.1 Pengertian Asma

    Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas dimana banyak sel berperan terutama

    sel mast, esonofil, limfosit T macropag, neutropil dan sel epitel (Hariadi, 2010). Asma

    merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan

    kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran napas

    sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa

    tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari

    (GINA, 2006). Menurut National Heart Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu

    yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan

    hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.

    2.3.2 Patofisiologi

    Asma merupakan obstruksi jalan napas yang reversibel. Obstruksi tersebut dapat

    disebabkan oleh faktor berikut, seperti penyempitan jalan napas; pembengkakan membran pada

    bronki; pengisian bronki dengan mucus kental. Beberapa penderita mengalami respon imun yang

    buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) menyerang sel-sel mast

    dalam paru yang menyebabkan pelepasan sel-sel mast, seperti histamin dan prostaglandin.

    Pelepasan ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme, pembengkakan

    membran mukosa, pembentukan mukus berlebihan (Carpenito, L.J. (2000)).

    Penderita asma idiopatik atau nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang

    oleh beberapa faktor, seperti udara dingin, emosi, olahraga, merokok, polusi dan infeksi sehingga

    jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Peningkatan asetilkolin ini secara langsung bisa

    menimbulkan bronkokonstriksi. Penderita dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon

    parasimpatis (Carpenito, L.J. (2000).

  • 7

    2.3.3 Klasifikasi Asma

    a. Berdasarkan berat ringan gejala

    Asma dapat dibagi dalam 3 tahap menurut berat ringannya gejala, yaitu asma intermitten,

    asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat (Tabrani , 2010).

    b. Berdasarkan serangan asma

    Klasifikasi ini mencerminkan berbagai kelainan patologi yang menyebabkan gangguan

    aliran udara serta mempunyai dampak terhadap pengobatan. Serangan asma ringan timbul

    kadang-kadang, tidak terdapat atau ada hiperreaktivitas bronkus yang ringan. Serangan asma

    persisten timbul sering dan terdapat hiperreaktivitas bronkus. Penderita asma berat mempunyai

    saluran pernafasan yang sensitif, berisiko tinggi untuk mengalami eksaserbasi tiba-tiba yang

    berat dan mengancam jiwa (Mudjadid,dkk tahun 2006).

    Asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit asma, serta pola obstruksi aliran

    udara di saluran napas. Walaupun berbagai usaha telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan

    etiologi sulit digunakan karena terdapat kesulitan dalam penentuan etiologi spesifik dari sekitar

    pasien (Gina, 2006).

    Derajat penyakit asama ditentukan berdasarkan gabungan penilaian gambaran klinis, jumlah

    penggunaan agonis β2 untuk mengatasi gejala, dan pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi awal

    pasien. Pembagian derajat penyakit asma menurut Gina adalah sebagai berikut :

    1) Intermitten

  • 7

    Gejala kurang dari 1 kali/minggu. Serangan singkat. Gejala nokturnal tidak lebih dari 2

    kali/bulan (≤ 2 kali). FEV1≥80% predicted atau PEF ≥ 80% nilai terbaik individu. Variabilitas

    PEF atau FEV1 < 20%.

    2) Persisten ringan

    Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari. Serangan dapat mengganggu

    aktivitas dan tidur. Gejala nokturnal >2 kali/bulan. FEV1≥80% predicted atau PEF ≥ 80% nilai

    terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 20-30%.

    3) Persisten sedang

    Gejala terjadi setiap hari. Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur. Gejala nokturnal

    > 1 kali dalam seminggu. Menggunakan agonis β2 kerja pendek setiap hari. FEV1 60-80%

    predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%.

    4) Persisten berat

    Gejala terjadi setiap hari. Serangan sering terjadi. Gejala asma nokturnal sering terjadi.

    FEV1 ≤ predicted atau PEF ≤ 60% nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%.

    2.3.4 Tanda dan Gejala

    Kejadian utama pada serangan asma adalah obstruksi jalan napas secara luas yang

    merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edema mukosa karena sumbatan mukus.

    Tanda serangan asma yang dapat kita ketahui adalah napas cepat, merasa cemas dan ketakutan,

    tak sanggup bicara lebih dari 1-2 kata setiap kali tarik napas, dada dan leher tampak mencekung

    bila tarik napas, bersin-bersin, hidung mampat atau hidung ngocor, gatal-gatal tenggorokan,

    susah tidur, turunnya toleransi tubuh terhadap aktivitas (Ramaiah, Savitri. 2006).

    Tiga gejala (Trias Asma) yang sering muncul pada asma adalah sesak napas, napas bunyi/

    wheezing, batuk-batuk terutama malam hari. Tingkat keparahan serangan asma tergantung pada

  • 7

    tingkat obstruksi saluran napas, kadar saturasi oksigen, pembawaan pola napas, perubahan status

    mental, dan bagaimana tanggapan penderita terhadap status pernapasannya (Ramaiah, Savitri.

    2006).

    2.3.5 Manifestasi Klinis

    Gejala asma pling umum adalah batuk (dengan atau tanpa di sertai

    produksi mukus), dispnea, dan mengi (pertama-tama pada ekspirasi,

    kemudian bisa juga terjadi pada inspirasi Serangan asma paling sering terjadi pada malam hari atau pagi hari. Eksaserbasi asma sering kali di dahului pleh penigkatan gejala selama berhari-hari,namu

    dapat pula terjadi secara mendadak. Sesak dada dan dispnea Di perlukan usaha untuk di melakukan ekspirasi dan ekspirasi memanjang Sering proses eksaserbasi,sianosi sentral sekunder akibat hipoksia berat dapat terjadi. Gejala tambahan,seperti diaforesis,takikardia,dan pelebaran tekanan nadi mungkin di

    jumpai pada pasien asma Asma yang di sebabkan oleh latihan fisik : gejala maksimal selama menjalani latihan

    fisik,tidak terdapat gejala pada malam hari,dan terkadan hanya muncul gambaran sensasi

    seperti ”tercekik” selama menjalani latihan fisik Reaksi yang parah dan berlangsung terus menerus,yakni status asmatikus,bisa saja

    terjadi, kondisi ini dapat mengancam kehidupan. Eksema,ruam,dan edema temporer merupakan reaksi alergi yang biasanya menyertai

    asma. (Brunner & Suddarth, 2010)

    2.3.6 Faktor Resiko Asma

    Beberapa faktor resiko timbulnya asma bronkial telah diketahui secara pasti, antara lain:

    riwayat keluarga, tingkat sosial ekonomi rendah, etnis, daerah perkotaan, letak geografi tempat

    tinggal, memelihara anjing atau kucing dalam rumah, terpapar asap rokok. Secara umum faktor

  • 7

    risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, factor resiko yang berhubungan dengan

    terjadinya atau berkembangnya asma dan faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya

    eksaserbasi atau serangan asma yang disebut trigger faktor atau faktor pencetus (Gina,2006).

    Adapun faktor resiko pencetus asma bronkial antara lain:

    a. Asap Rokok

    Asap rokok dapat menyebabkan asma, baik pada perokok itu sendiri maupun orang-orang

    yang terkena asap rokok. Suatu penelitian di Finlandia menunjukkan bahwa orang dewasa yang

    terkena asap rokok berpeluang menderita asma dua kali lipat dibandingkan orang yang tidak

    terkena asap rokok (Ni Komang Ratih), 2012. Studi lain menunjukkan bahwa seseorang

    penderita asma yang terkena asap rokok selama satu jam, maka akan mengalami sekitar 20%

    kerusakan fungsi paru. Pada anak-anak, asap rokok akan memberikan efek lebih parah

    dibandingkan orang dewasa, ini disebabkan lebar saluran pernafasan anak lebih sempit, sehingga

    jumlah nafas anak akan lebih cepat dari orang dewasa. Akibatnya, jumlah asap rokok yang

    masuk ke dalam saluran pernapasan menjadi lebih banyak dibanding berat badannya. Selain itu,

    karena sistem pertahanan tubuh yang belum berkembang, munculnya gejala asma pada anak-

    anak jauh lebih cepat dibanding orang dewasa (Ramaiah, 2006).

    Hasil analisis 4.000 orang anak berumur 0-5 tahun menunjukkan bahwa anak-anak yang

    orang tuanya merokok 10 batang perhari, menyebabkan peningkatan jumlah kasus asma serta

    mempercepat munculnya gejala asma pada anak-anaknya. Begitu juga anak yang kembali dari

    rumah sakit setelah perawatan asma akut, penyembuhan akan terganggu karena orang tua yang

    merokok (Basyir 2005). Efek asap rokok ini tidak hanya memberikan efek negatif pada anak-

    anak yang telah lahir, tapi juga pada janin yang masih ada di dalam rahim. Karena itu, di negara

    maju seperti Jepang, diseluruh rumah sakit bersalin tidak tersedia tempat yang bisa merokok. Ini

  • 7

    karena mereka benar-benar mengerti akan bahaya rokok tersebut. Bayi yang akan dilahirkan dari

    seorang ibu yang merokok selama dalam masa kehamilan akan lebih sering mengalami penyakit

    saluran pernafasan termasuk asma bronkial pada masa anak-anak (Ramaiah, 2006). Pembakaran

    tembakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah yang menghasilkan campuran gas yang

    komplek dan partikel-partikel berbahaya. Lebih dari 4500 jenis kontaminan telah dideteksi dalam

    tembakau, diantaranya hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbon dioksida, nitrit oksida,

    nikotin, dan akrolein. (Gina, 2006).

    Secara umum tipe perokok di bagi menjadi beberapa kategori yakni tipe perokok yang

    berhubungan dengan udara atau asap yang dihirup, tipe perokok berdasarkan jumlah rokok yang

    dikonsumsi dalam 1 hari, dan tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan diri.

    Berdasarkan udara atau asap yang dihirup, perokok dikategorikan menjadi: Perokok pasif yakni

    mereka yang tidak merokok, tetapi berada di sekeliling perokok dan menghirup asap rokok yang

    dihembuskan oleh perokok.

    Perokok aktif, yakni mereka yang menghisap rokok secara langsung (www.kppk.com).

    Adapun berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi, tipe perokok dikategorikan menjadi ;

    Perokok sangat berat, adalah jika mengkonsumsi rokok lebih dari 31 batang perhari, Perokok

    berat yakni mereka yang merokok sekitar 21-30 batang perhari, Perokok sedang adalah perokok

    yang menghabiskan rokok 11-21 batang perhari, dan Perokok ringan yang merokok sekitar 10

    batang/hari (Gina, 2006).

    b. Tungau Debu Rumah

    Tungau debu adalah penyebab paling umum diseluruh dunia. Alergi tungau lebih sering

    terjadi di kota dan Negara berkembang. Hal ini terjadi karena rumah modern dan penggunaan

    teknik insulasi memuningkankan tungau hidup lebih baik (Sundaru H, Sukamto. (2006)). Asma

  • 7

    bronkial dikaitkan oleh masuknya suatu alergen misalnya tungau debu. Tungau debu akan

    mengeluarkan feses yang dilapisi protein pada setiap butir partikelnya. Yang menyebabkan reaksi

    alergi bagi penderita asma apabila masuk ke dalam saluran nafas.Ketika tungau ini mati,

    tubuhnya yang membusuk bercampur dengan debu rumah tangga (Sundaru H, Sukamto.

    2006)Tungau debu rumah memiliki ukuran 0,1 – 0,3 mm dan lebar 0,2 mm biasanya terdapat di

    tempat-tempat atau benda-benda yang banyak mengandung debu (Vitahealth, 2006). Misalnya

    debu yang berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak

    dibersihkan, juga dari tumpukan koran, buku, pakaian lama (Sundaru H, Sukamto. 2006)

    c. Jenis Kelamin dan usia

    Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan anak

    perempuan (Sundaru, 2006). Perbedaan jenis kelamin pada insidensi penyakit asma bervariasi,

    tergantung usia dan perbedaan karakter biologi. Insidensi penyakit asma pada anak laki-laki usia

    2-5 tahun ternyata 2 kali lebih sering dibandingkan anak perempuan sedangkan pada usia 14

    tahun risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering. Kunjungan ke rumah sakit 3 kali lebih sering

    dibanding anak perempuan pada usia tersebut, tetapi pada usia 20 tahun kekerapan asma pada

    laki-laki merupakan kebalikan dari insiden ini (Yunus, 2006).

    Peningkatan resiko pada anak laki-laki disebabkan semakin sempitnya saluran pernapasan,

    perubahan pada pita suara, dan mungkin terjadi peningkatan IgE pada laki-laki yang cenderung

    membatasi respon bernapas (Sundaru, 2006) Didukung lagi oleh adanya hipotesis dari observasi

    yang menunjukkan tidak ada perbedaan ratio diameter saluran pernafasam laki laki dan

    perempuan setelah berumur 10 tahun, kemungkinan disebabkan perubahan ukuran rongga dada

    yang terjadi pada masa puber laki-laki dan tidak pada perempuan. Predisposisi perempuan yang

    mengalami asma lebih tinggi pada laki-laki mulai ketika masa puber, sehingga prevalensi asma

  • 7

    pada anak yang semula laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan mengalami perubahan dimana

    nilai prevalensi pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki (Gina, 2006).

    d. Binatang Peliharaan

    Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung dapat menjadi

    sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang ditemukan pada

    bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil

    (sekitar 3-4 mikron) dan dapat terbang di udara sehingga menyebabkan serangan asma, terutama

    dari burung dan hewan menyusui karena bulu akan rontok dan terbang mengikuti udara (Depkes

    R.I (2009).

    e. Jenis Makanan

    Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus asma meskipun

    penelitian membuktikan alergi makanan sebagai pencetus onkokontriksi pada 2% - 5% anak

    dengan asma (Ramaiah, 2006). Meskipun hubungan antara sensitivitas terhadap makanan

    tertentu dan perkembangan asma masih diperdebatkan, tetapi bayi dan anak-anak yang sensitif

    terhadap makanan tertentu atau menderita enteropathy atau colitis karena alergi makanan tertentu

    akan cenderung menderita asma (GINA, 2006).

    Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut, kacang, berbagai

    buah-buahan seperti tomat, strawberry, mangga, durian berperan menjadi pencetus seranga asma

    (Gina, 2006). Makanan produk industri dengan pewarna buatan (misal: tartazine), pengawet

    (metabisulfit), vetsin (monosodium glutamat-MSG) juga bisa memicu serangan asma. Makanan

    yang terutama sering mengakibatkan reaksi yang fatal adalah kacang, ikan laut dan telor (Gina,

    2006). Penelitian di Arab Saudi membandingkan makanan pengidap asma dengan tidak asma.

    Anak Arab Saudi yang tinggal di daerah perkotaan banyak menunjukkan gejala nafas berbunyi

  • 7

    atau mengi. Anak-anak ini sering bersantap di gerai-gerai makanan cepat saji dan secara

    signifikan kurang mendapatkan asupan makanan tradisional, termasuk sayuran, susu, makanan

    yang kaya serat, vitamin dan mineral (Sundaru, 2006).

    f. Perabot Rumah Tangga

    Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar biologis (virus, bakteri,

    jamur), formadehyde, volatile organic coumpounds (VOC), combustion products (CO1, NO2,

    SO2) yang biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur. Sumber polutan VOC berasal dari

    semprotan serangga, cat, pembersih, kosmetik, Hairspray, deodorant, pewangi ruangan, segala

    sesuatu yang disemprotkan dengan aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent) seperti

    thinner. Sumber formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan, insulasi, furnitur, karpet

    (Ramaiah, 2006). Paparan polutan formaldehid dapat mengakibatkan terjadinya iritasi pada mata

    dan saluran pernapasan bagian atas. Partikel debu, khususnya respilable dust disamping

    menyebabkan ketidak nyamanan juga dapat menyebabkan reaksi peradangan paru.

    g. Perubahan Cuaca

    Kondisi cuaca seperti temperatur dingin, tingginya kelembaban dapat menyebabkan asma

    lebih parah, epidemik yang dapat membuat asma menjadi lebih parah berhubungan dengan badai

    dan meningkatnya konsentrasi partikel alergenik (Ramaiah, 2006). Dimana partikel tersebut

    dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan tekanan atmosfer dan

    suhu memperburuk asma sesak nafas dan pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini umum terjadi

    ketika kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara yang kering dan dingin

    menyebabkan sesak di saluran pernafasan (Ramaiah, 2006).

  • 7

    Asma berhubungan dengan iklim, Kota besar seperti Auckland, Brisbane, Hongkong dan

    New Orleans yang mempunyai suhu panas >24oC dan rata rata curah hujan tahunan >100cm,

    mempunyai prevalensi asma yang tinggi. RS Cipto menunjukkan penderita dengan perubahan

    udara kemungkinan akan mengalami asma 31.83 x lebih besar dari penderita tanpa perubahan

    cuaca. Hal ini diperkuat dengan penelitian di Amerika seikat yang membuktikan bahwa ada

    hubungan antara kunjungan asma dengan cuaca dingin dan kering pada musim semi.

    h. Riwayat Penyakit Keluarga

    Genetik merupakan faktor pendukung timbulnya asma. Bakat alergi merupakan hal yang

    diturunkan, meskipun belum di ketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Bakat alergi

    ini membuat penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpapar factor

    pencetus. Penderita biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit alergi

    (Sundaru, 2006).. Apabila kedua orang tua memiliki riwayat penyakit asma maka hampir 50%

    dari anak-anaknya memiliki kecenderungan asma, sedangkan jika hanya salah satu orang tuanya

    yang menderita asma maka kecenderungannya hanya 35%. Lebih kurang 25% penderita penyakit

    asma, keluarga dekatnya juga menderita asma, meskipun asmanya tidak aktif lagi, diantara

    keluarga penderita asma 2/3 memperlihatkan test alergi positif (Sundaru, 2006). Resiko orang tua

    dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat

    keluarga dengan asma disertai dengan salah satu riwayat atopi. Predisposisi keluarga untuk

    mendapatkan penyakit asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai

    risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orang tua

    asmatisk. Asma tidak selalu ada pada kembar monozigot, tingkat stabilitas bronkokontriksi pada

    olahraga ada pada kembar identik, tetapi tidak pada kembar dizigot (Sundaru, 2006). Orang tua

  • 7

    asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma,

    terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu rumah (Sundaru, 2006).

    Pencetus yang paling sering memunculkan gejala asma dan eksaserbasi mencakup iritan jalan

    napas (misalnya, polutan, suhu dingin, panas, bauh menyengat, asap, parfum),latihan fisik, stres

    atau perasaan marah, khinosinusitis dengan post nasal drip, obat-obatan, infeksi firus pada jalan

    napas, refluks gastroesofageal.

    2.3.7 Penatalaksanaan Medis

    Terapi Farmakologis

    Terdapat 2 golongan medikasi-medikasi kerja-cepat dan kontrol kerja-lambat maupun

    produk kombinasi.

    Agonis adrenergik-beta2 kerja pendek. Antikolinergik. Kortikosteroid: inhaler dosis terukur (MDI). Inhibitor pemodifikasi leukotrien/antileukotrien. Metilxantin.