bab ii tinjauan pustaka 2.1 klasifikasi daun kemangi ...eprints.umm.ac.id/47530/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Daun Kemangi (Ocimum basilicum)
2.1.1 Taksonomi
Hierarki taksonomi tanaman kemangi (Ocimum basilicum)
menurut Bilal (2012), yaitu:
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Superdivision : Spermatophyta
Division : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Asteridae
Ordo : Lamiales
Famili : Lamiaceae
Genus : Ocimum
Spesies : basilicum
Nama binomial : Ocimum basilicum
2.1.2 Deskripsi dan Nama Lokal Daun Kemangi (Ocimum basilicum)
Ocimum basilicum adalah tanaman aromatik kaya akan minyak
esensial dan senyawa fenolik (flavonoid, asam fenolik) yang termasuk
dalam famili Lamiaceae yang digunakan sebagai pelengkap masakan dan
juga obat tradisional untuk migrain, stres, demam, diare. Tanaman ini
memiliki beberapa manfaat termasuk sebagai antibakteri (Brdanin, 2015
dan Shirazi, 2014).
6
Ocimum basilicum dikenal dengan nama yang berbeda di seluruh
dunia. Dalam bahasa Inggris tanaman ini dikenal sebagai Basil, dalam
bahasa Hindi dan Bengali disebut dengan Babui Tulsi, dalam bahasa Arab
dikenal sebagai Badrooj, Hebak atau Rihan. Kemangi di Indonesia juga
dikenal dalam berbagai nama, yaitu lampes atau surawung di Sunda,
kemangi atau kemangen di Jawa, kemanghi di Madura, uku-uku di Bali,
dan lufe-lufe di Ternate (Bilal, 2012 dan Sukandar, 2015).
2.1.3 Morfologi Daun Kemangi (Ocimum basilicum)
Tanaman kemangi mempunyai batang tegak bercabang, tinggi 0,6-
0,9 m. Batang dan cabang berwarna hijau atau kadang berwarna keunguan.
Daun Ocimum basilicum panjangnya mencapai 2,5-5 cm. Daun memiliki
banyak titik seperti kelenjar minyak yang mengeluarkan minyak atsiri
sangat wangi. Daunnya berwarna hijau dengan bentuk lanset (lanceolate)
hingga bundar telur (ovate) dengan permukaan rata atau berombak.
Panjang daunnya 4-6 cm, lebarnya kurang lebih 4,49 cm dengan luas 4-13
cm. Cabangnya berjumlah dari 25 hingga 75 cabang. Tangkai daun
panjangnya 1,3-2,5 cm. Umumnya, bunganya berwarna putih hingga
merah muda. Tangkai panunjang, lebih pendek dari kelopak. Kelopak
panjangnya 5 mm (Bilal, 2012 dan Zahra, 2017).
7
(Mia, 2015)
Gambar 2.1 Tanaman kemangi (Ocimum basilicum)
2.1.4 Habitat dan Distribusi Daun Kemangi (Ocimum basilicum)
Tanaman kemangi berasal dari Persia, Sindh, dan perbukitan
Punjab di India. Kemangi ditanam secara luas sebagai tanaman hias dan
tanaman ladang di sebagian besar negara seperti India, Burma, Cylone dan
beberapa negara Mediterania termasuk Turki (Bilal, 2012).
Tanaman ini secara alami tumbuh di seluruh bagian Afrika, Asia
dan Amerika. Ocimum bacilicum dikultivasi di Afrika Utara, Eropa dan
bagian Barat Daya Asia. Habitatnya yaitu pada tanah terpelihara, tanah
buncah, tanah rawan banjir, tanah berumput (Zahra, 2017).
2.1.5 Kandungan Daun Kemangi (Ocimum basilicum)
Daun kemangi memiliki banyak kandungan senyawa kimia antara
lain alkaloid, saponin, flavonoid, tanin, minyak atsiri, karbohidrat,
fitosterol, senyawa fenolik, lignin, pati, terpenoid, antrakuinon.
Kandungan paling utama pada kemangi yaitu minyak atsiri yang terdapat
8
pada bagian daun dan bagian-bagian yang terdapat pada bagian yang
tumbuh di atas tanah. Minyak atsiri memiliki kandungan bahan aktif yang
dapat diidentifikasi dengan analisis GC-MS yaitu ρ-cymene, 1,8-cineole,
linalool, α-terpineol, eugenol, germacrene-D (Larasati, 2016 dan Zahra,
2017).
Tabel 2.1 Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Ocimum basilicum
Zat Terkandung Ocimum
basilicum
(Daun)
Ocimum
basilicum
(Biji)
Ocimum
basilicum
(Batang)
Alkaloid + + +
Aminoacid + + +
Karbohidrat + - -
Glikosida - - -
Flavonoid + + +
Kelompok fenolik + - -
Lemak dan minyak - + +
Saponin + + +
Tanin + - -
Protein + + -
Minyak Atsiri + + +
Fitosterol + - -
Lignin + - -
Pati + - -
Terpenoid + - -
Antrakuinon + - -
(Ramasubramania, 2012 dan Larasati, 2016)
2.1.5.1 Minyak atsiri
Minyak atsiri merupakan minyak yang mudah menguap. Minyak
atsiri dalam daun kemangi adalah senyawa dengan kandungan terbanyak.
Umumnya minyak atsiri terbagi menjadi dua komponen yaitu golongan
hidrokarbon dan golongan hidrokarbon teroksigenasi. Senyawa-senyawa
turunan hidrokarbon teroksigenasi (fenol) memiliki daya antibakteri yang
kuat (Nurmashita, 2015). Minyak atsiri juga berperan sebagai antibakteri
dengan cara menghambat proses terbentuknya membran atau dinding sel
9
sehingga tidak terbentuk. Hal ini bisa terjadi karena minyak atsiri memiliki
gugus hidroksil yang berikatan melalui proses absorpsi melalui ikatan
hidrogen (Kurniawan, 2015).
2.1.5.2 Alkaloid
Alkaloid sebagai antibakteri dilakukan dengan mengganggu
komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan sel
bakteri tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel pada
bakteri tersebut (Alamsyah, 2014).
2.1.5.3 Flavonoid
Senyawa flavonoid berperan sebagai antibakteri dengan cara
merusak membran sel bakteri pada bagian fosfolipid sehingga mengurangi
permeabilitas yang mengakibatkan bakteri mengalami kerusakan
(Nurmashita, 2015). Selain itu flavonoid pada daun kemangi yaitu
apeginin yang merupakan golongan flavon yang dapat digunakan sebagai
antiradikal bebas (Erviana, 2016).
2.1.5.4 Saponin
Saponin adalah suatu glikosida alamiah yang terikat dengan steroid
atau triterpena (Nuzulia, 2017). Saponin bekerja sebagai antibakteri
dengan mengganggu stabilitas membran sel bakteri, yang menyebabkan
komponen penting bakteri seperti protein, asam nukleat dan nukleotida
keluar sehingga bakteri menjadi lisis (Alamsyah, 2014).
2.1.5.5 Tannin
Keberadaan tanin dalam ekstrak dapat menyebabkan terganggunya
sintesis peptidoglikan sehingga pembentukan dinding sel bakteri menjadi
10
tidak sempurna. Selain itu, senyawa tannin memiliki kemampuan
membentuk senyawa kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen
sehingga menyebabkan terjadinya denaturasi protein ketika pH mendekati
isoelektrik. Protein akan terendapkan, enzim menjadi inaktif, metabolisme
terganggu yang menyebabkan kerusakan pada sel bakteri (Nurmashita,
2015 dan Nuzulia, 2017).
2.2 Klasifikasi Bakteri Staphylococcus aureus
2.2.1 Taksonomi
Kingdom : Bacteria
Subkingdom : Posibacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacili
Ordo : Bacillales
Famili : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
(https://itis.gov/ diakses 15 Februari 2018)
2.2.2 Morfologi
Staphylococci (staph) adalah bakteri gram positive berbentuk
seperti bola dengan garis tengah ±1 µm tersusun dalam kelompok yang
tidak teratur menyerupai anggur. Kokus tunggal, berpasangan, tetrad dan
bentuk rantai juga tampak dalam biakan cair. Bakteri ini tidak bergerak
dan tidak berspora. Bakteri ini normalnya ditemukan pada kulit dan
hidung. Staphylococcus aureus bersifat non-motil, non-spora, anaerob
fakultatif, katalase positif dan oksidase negatif. Staphylococcus aureus
11
memerlukan suhu optimal untuk tumbuh yaitu 28-38oC atau sekitar 37
oC
dan dalam pH 4,2-9,3. Koloni tumbuh dalam waktu 24 jam dengan
diameter mencapai 4 mm. Koloni pada pembenihan padat berbentuk
bundar, halus, menonjol dan berkilau. Staphylococcus aureus membentuk
koloni berwarna abu-abu sampai kuning emas tua (Todar, 2012 dan Jawetz,
2013).
Bakteri ini membentuk pigmen lipochrom yang menyebabkan
koloni tampak berwarna kuning keemasan dan kuning jeruk. Pigmen
kuning tersebut membedakannya dengan Staphylococcus epidermidis yang
menghasilkan pigmen putih. Pigmen kuning keemasan timbul pada
pertumbuhan selama 18-24 jam pada suhu 37oC, tetapi membentuk pigmen
paling baik pada suhu kamar (20-25oC). Pigmen tidak dihasilkan pada biak
anaerobik atau pada kaldu. Staphylococcus aureus mudah tumbuh pada
banyak pembenihan bakteri. Berbagai tingkat hemolisis dihasilkan oleh
Staphylococcus aureus dan kadang-kadang oleh spesies bakteri lain
(Jawetz, 2013)
(Todar, 2012) Gambar 2.2 Bakteri Staphylococcus aureus
12
2.2.3 Struktur antigen
Staphylococcus aureus mengandung polisakarida dan protein yang
bersifat antigenik dan merupakan substansi penting di dalam struktur
dinding sel. Peptidoglikan merupakan suatu polimer polisakarida yang
mengandung subunit-subunit yang tergabung, merupakan eksoskeleton
yang kaku pada dinding sel. Peptidoglikan dirusak oleh asam kuat dan
lisozim. Hal tersebut penting dalam patogenesis infeksi, yaitu merangsang
pembentukan interleukin-1 (pirogen endogen) dan antibodi opsonik, juga
dapat menjadi penarik kimia (kemotraktan) leukosit polimorfonuklear,
mempunyai komplemen (Jawetz, 2013).
Asam teikoik yang merupakan polimer dari polyribitol-phosphate
berikatan dengan peptidoglikan dan dapat menjadi antigen. Antibodi asam
antiteikoik dapat terdeteksi dengan difusi gel dan ditemukan pada pasien
dengan endokarditis aktif yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus
(Jawetz, 2013).
Staphylococcus aureus memiliki komponen dinding sel bernama
Protein A yang berfungsi untuk proses adhesi pada sel inang. Protein A
adalah reagen yang penting untuk deteksi secara laboratorium imunologi.
Sebagian besar Staphylococcus aureus memiliki kapsul polisakarida, yang
menghambat proses fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear, kecuali
saat adanya antibodi spesifik. Jenis kapsul ini adalah target untuk vaksin
konjugasi (Jawetz, 2013).
13
2.2.4 Toksin dan enzim
Staphylococcus aureus memproduksi zat yang dapat menyebabkan
penyakit. Beberapa di antaranya adalah enzim dan lainnya merupakan
toksin yang berfungsi sebagai enzim (Jawetz, 2013).
Enzim yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus adalah:
a. Koagulase: suatu enzim yang mampu merubah fibrinogen menjadi
fibrin pada permukaan Staphylococcus aureus sehingga bakteri
terhindar dari fagositosis.
b. Hialuronidase: suatu enzim yang mampu merusak asam hialuronat
pada jaringan ikat inang.
c. Stafilokinase (Fibrinolisin): suatu enzim yang mampu menghancurkan
bekuan fibrin.
d. Lipase: mampu merusak lipid sehingga Staphylococcus aureus dapat
hidup pada jaringan lemak.
e. Nuklease: suatu enzim yang mampu menghidrolisis DNA.
f. Beta laktamase: merusak rantai beta laktam.
Toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus adalah:
a. Sitotoksin: mampu merusak leukosit, fibroblast, makrofag, dan
trombosit.
b. Eksfoliatif: suatu toksin yang mampu merusak stratum granulosum
epidermis.
c. Enterotoksin: suatu toksin yang meningkatkan peristatik usus
menyebabkan mual dan muntah serta kehilangan cairan.
14
d. Toxin Shock Syndrome-1 (TSS-1): toksin ini mampu merangsang
pelepasan sitokin serta merusak sel endotel (Jawetz, 2013).
2.2.5 Patogenesis
Faktor virulensi Staphylococcus Aureus yang dapat menyebabkan
infeksi meliputi: 1. Protein permukaan yang mempromosikan kolonisasi
dalam jaringan hospes (protein A, adesin, hemaglutinin, glikoprotein,
fibrionectin), 2. Invasi membantu bakteri menyebar dalam jaringan
(leukosidin, kinase, hialuronidase), 3. Faktor permukaan yang
menghalangi fagositosis (kapsul, protein A), 4. Faktor biokimia yang
meningkatkan ketahanan bakteri di dalam fagosit (karotenoid, produksi
katalase), 5. Reaksi imonologis (protein A, coagulase, clotting factor), 6.
Toksin perusak membran (hemolisin, leukotoksin, leukosidin) dan 7.
Eksotoksin dalam jaringan menimbulkan kerusakan dan gejala penyakit
(SEA-G, TSST, ET) (Todar, 2012).
2.2.6 Tes Diagnostik dan Laboratorium
Pemeriksaan yang diambil tergantung pada bentuk klinisnya.
Misalnya eksudat atau pus dari abses, sputum pada infeksi saluran napas
bagian bawah, feses dan sisa-sisa makanan terutama pada kasus keracunan
makanan, darah bila ada bakteremia, urine pada infeksi saluran kemih
(Jawetz, 2013).
Dari bahan-bahan tersebut kemudian dilakukan hal-hal berikut:
a. Hapusan langsung dilakukan pewarnaan Gram.
b. Pembenihan pada medium Natrium Agar Plate (NAP) atau pada
medium selektif Manitol Salt Agar (MSA), kemudian dari koloni yang
15
tumbuh dilakukan pewarnaan Gram yang memberikan hasil Gram
positif.
c. Tes biokimia, dengan tes katalase Staphylococcus memberi hasil
positif berbeda dengan Stresptococcus yang memberikan hasil negatif.
Tes koagulase, pemeriksaan ini membedakan Staphylococcus aureus
dengan Staphylococcus lainnya. Staphylococcus aureus memberikan
hasil positif (Jawetz, 2013).
2.2.7 Manifestasi Klinis
Infeksi Staphylococcus aureus biasanya muncul sebagai jerawat,
infeksi folikel rambut, atau abses. Biasanya terjadi reaksi inflamasi yang
sembuh dengan cepat bila pus dapat terkuras. Dinding fibrin da sel di
sekililing inti abses berfungsi untuk mencegah penyebaran organisme dan
tidak boleh rusak karena trauma (Jawetz, 2013).
Bakteri ini dapat menyerang seluruh tubuh. Bentuk klinisnya
tergantung dari bagian tubuh yang terkena infeksi:
a. Pada kulit: furunkel, karbunkel, impetigo, scalded skin syndrome.
b. Pada kuku: paronikia
c. Pada tulang: ostomielitis
d. Pada sistem pernapasan: tonsilitis, bronkhits, dan pneumonitis
e. Pada otak: meningitis dan ensefalomielitis
f. Pada traktus urogenitalis: sistitis dan pielitis
g. Toxic Shock Syndrome: suatu keadaan ditandai dengan panas
mendadak, diare, syok, bercak difus makula eritematosa, hiperemi
pada konjungtiva, orofaring dan membran mukus vagina.
16
h. Keracunan makanan.
Dari bentuk klinis diatas yang sering menimbulkan kematian adalah
septikemi, endokarditis, toxic shock syndrome (Jawetz, 2013).
2.2.8 Pengobatan
Staphylococcus dengan cepat berkembang menjadi resisten
terhadap penisilin setelah obat ini diluncurkan. Saat ini <10% strain yang
sensitif terhadap penisisilin. Resistensi dimediasi oleh penisilinase yang
menghidrolik rantai β dari penisillin.
Oleh karena adanya resistensi terhadap penisillin ini, maka
dikembangkan antimikroba penisillin semisintetik, antara lain: metisilin,
nafcillin, oksacillin dan dikloksacillin. Oleh karena penggunaan antibiotika
yang tidak rasional maka sebagian besar infeksi Staphylococcus menjadi
resisten terhadap penicillin semisintetik. Saat ini semua strain MRSA
resisten terhadap semua antibiotik β-lactam (penicillin, sepalosporin,
karbapenem) (Murray, 2009).
Vankomisin saat ini adalah obat pilihan untuk infeksi MRSA di
rumah sakit. Obat ini tidak diabsorbsi melalui traktus gastrointestinal dan
bersifat iritatif terhadap pemberian intramuskuler. Sehingga cara
pemberiannya adalah injeksi intravena. Antibiotik oral yang bisa
digunakan untuk pasien rawat jalan antara lain clindamycin, trimethropin,
sulfamethoxazole atau doxcyciclin (Murray, 2009).
17
2.3 Klasifikasi Bakteri Streptococcus pyogenes
2.3.1 Taksonomi
Kingdom : Bacteria
Subkingdom : Posibacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacili
Ordo : Lactobacillales
Famili : Streptococcaceae
Genus : Streptococcus
Spesies : Streptococcus pyogenes
(https://itis.gov/ diakses 15 Februari 2018)
2.3.2 Morfologi
Streptococcus pyogenes adalah bakteri Gram-positif, nonmotile,
tidak berspora, yang berbentuk rantai atau berpasangan. Streptococcus
pyogenes berbentuk kokus dengan diameter >0,5 µm dan memiliki
susunan berupa rantai panjang , yang bersifat β-hemolitik (Jawetz, 2013
dan Todar, 2012).
Pembentukan rantai ini disebabkan karena kokus ini membelah
hanya pada satu bidang saja dan anak sel yang tidak dapat memisahkan
diri secara tuntas. Panjang rantai tergantung dan perbenihan tempat bakteri
ini dibiakkan. Ciri khas bakteri ini adalah memproduksi zona beta-
hemolisis yang besar yang menyebabkan gangguan terhadap eritrosit dan
pelepasan hemoglobin, sehingga kemudian disebut Streptococcus Grup A
(beta-hemolisis), shingga akan memberikan warna terang pada media BAP
(Jawetz, 2013).
18
Streptococcus pyogenes merupakan bakteri anaerob fakultatif yang
produksi utamanya adalah asam laktat. Kebutuhan nutrisi minimalnya
kompleks karena tidak mampu mensintesis beberapa asam amino, basa
purin dan pirimidin serta vitamin yang diperlukan. Bakteri ini tidak akan
tumbuh pada pemanasan dengan suhu tinggi yaitu sekitar 60oC selama
lebih dari 30 menit (Jawetz, 2013).
(Todar, 2012)
Gambar 2. 3 Bakteri Streptococcus pyogenes
2.3.3 Struktur antigen
Dinding sel terdiri dari unit berulang asam N-asetilglukosamin dan
N-asetimuramat, peptidoglikan standar. Identifikasi pasti streptokokus
telah berfokus kepada reaktivitas serologis antigen polisakarida pada
dinding sel, seperti yang dijelaskan oleh Rebecca Lancefield. Delapan
belas kelompok antigen spesifik (Kelompok Lancefield) telah terbentuk.
Polisakarida grup A adalah bentuk polimer dari N-asetilglukosamin dan
rhamnose. Beberapa kelompok antigen telah dibagi oleh lebih dari satu
spesies. Polisakarida ini juga disebut senyawa C atau kelompok antigen
karbohidrat (Todar, 2012).
Sebelah dalam dinding sel terdapat lapisan tipis yang disebut
membran sitoplasma terdiri dari fosfolipid dan protein. Membran
sitoplasma memegang peranan vital dalam sel yaitu pembatas osmotik
19
bagi bebasnya difusi antara lingkungan dan dalam sel. Pili yang seperti
rambut terdapat dalam kapsul pada streptococcus grup A. Pili tersebut
berisi sebagian dari protein M dan dilindungi asam lipoteichoic. Hal ini
penting untuk perlekatan Streptococcus pada sel epithelial (Jawetz, 2013).
Beberapa Streptococcus memiliki kapsul berupa polisakarida yang
dapat dibedakan dengan Pneumococcus. Sebagian besar dari grup A, B,
dan C memliki kapsul yang terdiri dari asam hialuronat. Kapsul ini mudah
diamati pada pembenihan awal. Kapsul tersebut dapat menghalangi proses
fagositosis (Todar, 2012).
2.3.4 Toksin dan enzim
Streptococcus pyogenes menghasilkan streptococcal pyrogenic
exotoxines atau biasa disebut erythrogenis toxin (Murray, 2009). Menurut
Jawetz (2013), lebih dari 20 produk ekstraselular yang bersifat antigenik
diuraikan oleh Streptococcus pyogenes, termasuk berikut zat berikut:
a. Streptokinase (Fibrinolisin), dihasilkan oleh banyak strain, Streptococcus
beta hemolitik yang merupakan enzim proteolitik aktif yang
menghancurkan lubrin dan protein.
b. Streptodornase, adalah antigen yang dapat melakukan depolimerasi DNA.
Campuran streptokinase dan streptodornase dipakai dalam “enzymatic
debrisement”. Mereka membantu mencairkan eksudat dan menfasilitasi
pengeluaran nanah dan jaringan nekrotik.
c. Hialuronidase, dapat memecah asam hialuronal, yang merupakan
komponen penting pada subtansi dasar dari jaringan ikat. Hialuronidase
bertujuan menyebarkan mikroorganisme penyebab infeksi.
20
d. Hemolisin, Streptococcus pyogenes hemolitik β grup A menghasilkan dua
hemolisin (streptolisin), yaitu:
1. Streptolisin O, merupakan protein yang dapat menghemolisis secara
aktif dalam keadaan tereduksi, namun secara cepat tidak aktif bila
tidak terdapat oksigen. Serum antistreptolisin O (ASO) dalam kadar
160-200 unit dianggap abnormal dan merupakan tanda adanya infeksi
baru oleh Streptococcus, atau adanya antibodi yang tetap tinggi akibat
respon kekebalan yang terjadi pada pemaparan awal pada orang yang
hipersensitif.
2. Streptolisin S
Suatu bahan yang bertanggung jawab untuk timbulnya daerah
hemolitik disekeliling koloni bakteri Streptococcus yang tumbuh pada
permukaan media lempeng agar darah. Streptolisin S tidak bersifat
antigenik serta tidak tergantung pada pengenalan sebelumnya terhadap
bakteri Streptococcus.
e. Disfosfopiridin nukleatidase, substansi ini berhubungan dengan
kemampuan organisme untuk mematikan leukosit.
2.3.5 Patogenesis
Timbulnya infeksi oleh bakteri Streptococcus dapat
dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor, antara lain sifat biologik
bakteri, cara host memberikan respons, dan port d’entrée bakteri
(Todar 2012).
Port d’entrée menentukan gambaran klinis utama. Namun,
pada setiap kasus terjadi penyebaran infeksi secara luas dan cepat
21
yang mengenai jaringan dan menjalar sepanjang jalur limfatik dengan
supurasi lokal yang minimal. Dari sistem limfatik, infeksi dapat
menyebar ke aliran darah, sehingga terjadi bakteremia. Infeksi yang
sering disebabkan oleh Streptococcus pyogenes adalah nyeri
tenggorok atau faringitis-tonsilitis (Todar, 2012).
2.3.6 Tes Diagnostik dan Laboratorium
Menurut Jawetz (2013), pemeriksaan yang dapat membantu
menegakkan diagnosis akibat infeksi Streptococcus pyogenes adalah
dengan tes berikut:
a. Spesimen
Spesimen yang akan diambil tergantung pada sifat infeksi
streptocaccal. Pengusapan dilakukan pada tenggorokan, nanah, atau
darah untuk selanjutnya dilakukan kultur. Serum diperoleh untuk
penentuan antibodi.
b. Smear
Smear dari nanah lebih sering menunjukkan kokus tunggal daripada
rantai. Kokus kadang gram negatif karena organisme tidak lagi layak
dan telah kehilangan kemampuan mereka untuk mempertahankan
pewarna biru (crystal violet) dan menjadi gram positif.
c. Kultur
Spesimen yang dicurigai mengandung streptococci dikultur dalam
agar darah. Bila dicurigai anaerob, maka media anaerobik yang cocok
harus diinokulasi. Inkubasi dalam 10% CO2 kadang dapat
mempercepat hemolisis. Mengiris inokulum ke dalam agar darah
22
memiliki efek yang sama karena oksigen tidak mudah berdifusi
melalui medium ke dalam organisme yang terselubung, dan yang
menginaktivasi streptolisin O adalah oksigen. Kultur darah dapat
menumbuhkan streptokokus grup hemolitik A dalam beberapa jam
atau beberapa hari. Streptokokus α-hemolitik tertentu dan enterokokus
pertumbuhannya lambat.
d. Tes Deteksi Antigen
Tes ini menggunakan alat untuk deteksi cepat antigen streptokokus
grup A dari menyekaan tenggorokan. Alat ini menggunakan metode
enzimatik atau kimiawi agar dapat mengekstrak antigen dari hasil
penyekaan. Selanjutnya tes ini menggunakan Enzim Immunoassay
(EIA) atau tes aglutinasi untuk menunjukkan adanya antigen. Tes ini
dapat selesai dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam
setelah spesimen didapatkan.
e. Tes Serologi
Tes ini untuk memperkirakan kenaikan titer antibodi terhadap banyak
macam bakteri streptokokus grup A. Beberapa antibodi tersebut
meliputi ASO (pada penyakit pernapasan), anti-Dnase B dan
antihialuronidase (pada infeksi kulit), antistreptokinase, Antibodi anti-
tipe M-spesifik, dan lain-lain. Dalam hal ini titer anti-ASO adalah
yang paling banyak digunakan.
2.3.7 Manifestasi Klinis
Menurut Jawetz (2013) dan Todar (2012), berikut ini adalah
beberapa tanda klinis yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes:
23
a. Streptokokal faringitis
Bakteri ini melekat pada epithelium faring dengan cara asam
lipoteikoik menutupi permukaan pili. Faringitis terjadi 2-4 hari setelah
terpapar patogen, dengan gejala awal nyeri tenggorokan, demam,
malaise, dan sakit kepala.
b. Pioderma
Infeksi lokal pada kulit bagian luar, terutama pada anak-anak, disebut
dengan impetigo. Berupa lepuh superfisial yang pecah dan pada area
yang rusak terdapat permukaan yang ditutupi oleh nanah atau krusta.
c. Erisipelas
Jika tempat masuknya adalah kulit, dapat menyebabkan erisipelas,
dengan ditandai edema yang luas dan infeksi menyebar di bagian tepi
dan cepat.
d. Scarlet Fever
Scarlet Fever disebabkan oleh produksi toksin eritrogenik oleh
beberapa strain organisme.
e. Demam Rematik
Demam rematik terjadi karena aliran protein M bereaksi dengan
sarkolema. Antibodi bereaksi silang dengan jaringan jantung dan
menyebabkan kerusakan.
f. Glomerulonefritis
Penyakit ini disebabkan karena kompleks antigen-antibodi dapat
disimpan di ginjal, dan merusak glomeruli. Hanya sedikit tipe M yang
nefrogenik.
24
2.3.8 Pengobatan
Semua Streptococcus pyogenes rentan terhadap penisilin G.
Makrolid seperti eritromisin dan klindamisin sering direkomendasikan
untuk pasien yang mengalami alergi terhadap penisilin dan untuk pasien
yang menderita nekrotis faciitis. Namun, resistensi terhadap antibiotik
makrolid telah meningkat di Eropa dan Amerika. Beberapa mengalami
resistensi terhadap tetrasiklin. Obat antimikroba tidak memiliki efek pada
penyakit glomerulonefritis dan demam rematik. Pada infeksi akut bakteri
streptokokus pemberian dosis penisilin atau eritromisin yang
menghasilkan tingkat jaringan efektif untuk 10 hari dapat mencegah
terjadinya penyakit post-streptokokal yaitu dengan menghilangkan
stimulus antigen (sebelum hari kedelapan). Obat antimikroba juga berguna
dalam mencegah terjadinya infeksi kembali oleh Streptokokus kelompok
β-hemolitik pada pasien dengan demam rematik (Jawetz, 2013).
2.4 Uji Kepekaan Terhadap Antimikroba (In Vitro)
Uji kepekaan bakteri terhadap obat-obatan secara in vitro bertujuan
untuk mengetahui obat antimikroba yang masih dapat digunakan untuk
mengatasi infeksi oleh mikroba tersebut. Uji kepekaan terhadap obat
antimikroba pada dapat dilakukan melalui cara sebagai berikut:
2.4.1 Metode Dilusi Tabung
Cara ini digunakan untuk menentukan Kadar Hambat Minumal
(KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM) dari obat antimikroba. Prinsip
dari metode dilusi yaitu menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi
media cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Kemudian
25
masing-masing tabung diisi dengan antimikroba yang telah diencerkan
secara serial (Dzen, 2010).
Selanjutnya, seri tabung diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24
jam dan diamati terjadinya kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah
antimikroba pada tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai
tampak jernih (tidak ada pertumbuhan mikroba) adalah KHM dari mikroba.
Selanjutnya biakan dari semua tabung yang jernih diinokulasikan pada
media agar padat, diinkubasikan dan keesokan harinya diamati ada
tidaknya koloni mikroba yang tumbuh. Konsentrasi terendah antimikroba
pada biakan padat yang ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan
koloni mikroba adalah KBM dari mikroba terhadap bakteri uji (Dzen,
2010).
2.4.2 Metode Dilusi Cakram
Obat dijenuhkan ke dalam kertas saring (cakram kertas). Cakram
kertas yang mengandung antimikroba tertentu ditanam pada media
perbenihan agar padat yang telah dicampur dengan mikroba yang diuji,
kemudian diinkubasikan 37oC selama 24 jam. Selanjutnya diamati adanya
area (zona) jernih di sekitar cakram kertas yang menunjukkan tidak adanya
pertumbuhan mikroba (Dzen, 2010).
Untuk mengevaluasi hasil uji kepekaan tersebut (apakah isolat
mikroba sensitif atau resisten terhadap antimikroba), dapat dilakukan dua
cara, yaitu:
26
a. Cara Kirby Bauer
Membandingkan diameter dari area jernih (zona hambatan) di
sekitar cakram dengan tabel standar yang dibuat oleh NCCLS (National
Committee for Clinical Laboratory Standard). Dengan tabel NCCLS ini
dapat diketahui kriteria sensitif, sensitif intermediet dan resisten.
b. Cara Joan-Stokes
Membandingkan radius zona hambatan yang terjadi antara bakteri
kontrol yang sudah diketahui kepekaannya terhadap obat tersebut dengan
isolat bakteri yang diuji. Pada cara Joan-Stokes, prosedur uji kepekaan
untuk bakteri kontrol dan bakteri uji dilakukan bersama-sama dalam satu
piring agar (Dzen, 2010).
2.5 Hasil Penelitian Aktivitas Antrimikroba Ekstrak Daun Kemangi
(Ocimum bacilicum)
Pada penelitian yang dilakukan Ibrahim (2015), dijelaskan bahwa ekstrak
daun kemangi dengan pelarut etanol 95% dianggap sangat efektif dalam
mengekstraksi bahan aktif dari daun kemangi. Dengan menggunakan metode
difusi, ekstrak kemangi dengan konsentrasi 10 mg/ml dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Escherichia coli sebesar 9 mm. Pada penelitian Azam (2016),
juga disebutkan bahwa ektrak daun kemangi dengan pelarut etanol 95% dengan
metode difusi memiliki daya hambat pada bakteri Staphylococcus aureus, Bacillus
subtilis, dan Bacillus thuringiensis sebesar 4 mm. Selain itu Adam (2015),
menjelaskan bahwa ektrak daun kemangi dengan pelarut etanol 80% dan dalam
konsentrasi sebesar 6,25 µg dan dengan metode difusi dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus sebesar 4,4 mm, Klebsiella
27
pneumoniae sebesar 5,4 mm, Proteus mirabilis sebesar 5,4 mm, Pseudomonas
aeruginosa sebesar 7,8 mm, dan pada Enterococcus faecalis sebesar 5,5 mm.
Pada penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh penulis yang dilakukan
dengan metode dilusi tabung, didapatkan hasil Kadar Bunuh Minimal (KBM)
terhadap bakteri Staphylococcus aureus sebesar 12,5% yaitu terdapat bakteri
sejumlah 5 CFU/ml.