bab ii tinjauan pustaka 2.1 keselamatan pasien

26
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keselamatan Pasien 2.1.1 Definisi Keselamatan Pasien Keselamatan pasien didefinisikan sebagai layanan yang tidak mencederai dan merugikan pasien ataupun sebagai suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan keselamatan pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (IOM dalam Cahyono, 2008; Depkes RI, 2006). Jadi dapat disimpulkan bahwa keselamatan pasien adalah bentuk layanan yang diberikan oleh suatu rumah sakit yang mengacu pada pencegahan insiden dan keamanan tindakan, guna meningkatkan mutu pelayanan. 2.1.2 Sasaran Keselamatan Pasien Sasaran keselamatan pasien menurut WHO (Permenkes RI, 2011) ada enam yang meliputi: (1) melakukan identifikasi pasien secara tepat, (2) meningkatkan komunikasi yang efektif, (3) meningkatkan keamanan penggunaan obat yang membutuhkan perhatian atau yang perlu diwaspadai, (4) mengurangi risiko salah

Upload: others

Post on 19-Nov-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keselamatan Pasien

2.1.1 Definisi Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien didefinisikan sebagai layanan yang tidak mencederai dan

merugikan pasien ataupun sebagai suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan

pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi penilaian risiko, identifikasi dan

pengelolaan hal yang berhubungan dengan keselamatan pasien, pelaporan dan

analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta

implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (IOM dalam Cahyono,

2008; Depkes RI, 2006).

Jadi dapat disimpulkan bahwa keselamatan pasien adalah bentuk layanan yang

diberikan oleh suatu rumah sakit yang mengacu pada pencegahan insiden dan

keamanan tindakan, guna meningkatkan mutu pelayanan.

2.1.2 Sasaran Keselamatan Pasien

Sasaran keselamatan pasien menurut WHO (Permenkes RI, 2011) ada enam yang

meliputi: (1) melakukan identifikasi pasien secara tepat, (2) meningkatkan

komunikasi yang efektif, (3) meningkatkan keamanan penggunaan obat yang

membutuhkan perhatian atau yang perlu diwaspadai, (4) mengurangi risiko salah

15

lokasi, salah pasien, dan prosedur tindakan operasi, (5) mengurangi risiko infeksi

nosokomial, (6) mengurangi risiko pasien cedera karena jatuh.

2.1.3 Macam Kejadian Keselamatan Pasien

Macam kejadian yang terkait dalam keselamatan pasien meliputi beberapa istilah

menurut Cahyono (2008) dan Permenkes RI (2011) yaitu:

a. Kejadian potensial cedera (KPC)

KPC atau reportable circumstances adalah suatu kondisi yang sangat berpotensi

untuk menimbulkan cedera, akan tetapi belum terjadi insiden.

b. Kejadian nyaris cidera (KNC)

KNC atau near miss didefinisikan sebagai kesalahan yang mungkin terjadi namun

tidak sampai mencederai pasien.

c. Kejadian tidak cedera (KTC)

KTC atau no harm incident adalah suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien

akan tetapi tidak timbul cedera.

d. Kejadian tidak diharapkan (KTD)

Kejadian tidak diharapkan atau adverse event dapat diartikan sebagai cedera atau

komplikasi yang tidak diinginkan, yang dapat mengakibatkan timbulnya

kecacatan, kematian, atau perawatan yang lebih lama yang disebabkan oleh

manajemen medis dan bukan karena penyakit yang diderita.

16

e. Kejadian sentinel

Kejadian sentinel didefinisikan sebagai suatu KTD yang mengakibatkan cedera

serius bahkan kematian terhadap pasien.

2.1.4 Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit

Mengacu pada sasaran keselamatan pasien, maka rumah sakit harus merancang

proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja

melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan

perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.

Adapun tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit antara lain; (1) membangun

budaya keselamatan pasien, (2) pimpinan dan dukungan terhadap staf, (3) integrasi

aktivitas manajemen risiko. (4) membangun sistem pelaporan, (5) melibatkan dan

berkomunikasi dengan pasien dan publik, (6) belajar dan berbagi pengalaman tentang

keselamatan pasien, dan (7) implementasi solusi untuk mencegah kerugian (Cahyono,

2008).

2.2 Budaya Keselamatan Pasien

2.2.1 Definisi Budaya Keselamatan Pasien

Budaya keselamatan pasien merupakan kesadaran konstan dan potensi aktif oleh staf

sebuah organisasi dalam mengenali sesuatu yang tampak tidak beres. Staf dan

organisasi yang mampu mengakui kesalahan, belajar dari kesalahan, dan mau

17

mengambil tindakan untuk mengadakan perbaikan dikatakan sudah melaksanakan

budaya keselamatan (NHS, 2013).

Budaya keselamatan pasien didefinisikan sebagai pola terpadu perilaku individu dan

organisasi berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai bersama yang terus berusaha untuk

meminimalkan tindakan yang dapat membahayakan pasien yang mungkin timbul dari

proses perawatan (Kizer, 1999 dalam Fleming, 2012). Organisasi dengan budaya

keselamatan positif memiliki karakteristik bahwa ada komunikasi yang dibentuk

dengan rasa saling percaya tentang pentingnya keselamatan, dan dengan keyakinan

dalam tindakan pencegahan yang efektif, serta membangun organisasi yang terbuka

(open), adil (just), informatif dalam melaporkan kejadian keselamatan pasien yang

terjadi (reporting), dan belajar dari kejadian tersebut (learning) (Madden, 2008;

NSPA, 2004).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa budaya keselamatan pasien

merupakan produk dari nilai-nilai, sikap, kompetensi individu dan kelompok yang

terbuka, adil, informatif dalam pelaporan insiden keselamatan pasien, serta belajar

dari kejadian. Budaya keselamatan pasien menentukan komitmen dan gaya dari suatu

organisasi serta dapat diukur dengan kuesioner.

2.2.2 Dimensi Budaya Keselamatan Pasien

James Reason dalam Reiling (2006) dan NPSA (2004) menyebutkan bahwa budaya

keselamatan pasien dapat dibagi menjadi beberapa dimensi seperti:

18

a. Budaya keterbukaan (open culture)

Budaya keterbukaan dalam suatu organisasi merupakan proses pertukaran

informasi antar perawat dan staf. Dimensi ini memiliki karakteristik bahwa

perawat akan merasa nyaman membahas insiden yang terkait dengan keselamatan

pasien serta mengangkat isu-isu terkait keselamatan pasien bersama dengan rekan

kerjanya, juga supervisor atau pimpinan. Komunikasi terbuka dapat diwujudkan

dalam kegiatan supervisi dan dalam kegiatan tersebut perawat melakukan

komunikasi terbuka tentang risiko terjadinya insiden dalam konteks keselamatan

pasien, membagi dan bertanya informasi seputar isu-isu keselamatan pasien yang

potensial terjadi dalam setiap kegiatan keperawatan. Keterbukaan juga ditujukan

kepada pasien. Pasien diberikan penjelasan akan tindakan dan juga kejadian yang

telah terjadi. Pasien diberikan informasi tentang kondisi yang akan menyebabkan

resiko terjadinya kesalahan. Perawat memiliki motivasi untuk memberikan setiap

informasi yang berhubungan dengan keselamatan pasien.

b. Budaya pelaporan (reporting culture)

Budaya pelaporan merupakan bagian penting dalam rangka meningkatkan

keselamatan pasien. Perawat akan membuat pelaporan jika merasa aman. Aman

yang dimaksud apabila membuat laporan maka tidak akan mendapatkan

hukuman. Perawat yang terlibat merasa bebas untuk menceritakan atau terbuka

terhadap kejadian yang terjadi. Perlakuan yang adil terhadap perawat, tidak

menyalahkan secara individu tetapi organisasi lebih fokus terhadap sistem yang

19

berjalan akan meningkatkan budaya pelaporan. Menciptakan program evaluasi

atau sistem pelaporan, adanya upaya dalam peningkatan laporan, serta adanya

mekanisme reward yang jelas terhadap pelaporan merupakan langkah nyata

dalam membangun dimensi budaya ini.

c. Budaya keadilan (just culture)

Perawat saling memperlakukan secara adil antarperawat ketika terjadi insiden,

tidak berfokus untuk mencari kesalahan individu (blaming), tetapi lebih

mempelajari secara sistem yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Aspek

dalam budaya keadilan yang perlu mendapat perhatian adalah keseimbangan

antara kondisi laten yang mempengaruhi dan dampak hukuman yang akan

diberikan kepada individu yang berbuat kesalahan. Perawat dan organisasi

bertanggung jawab terhadap tindakan yang diambil. Perawat akan membuat

laporan kejadian jika yakin bahwa laporan tersebut tidak akan mendapatkan

hukuman atas kesalahan yang terjadi. Lingkungan terbuka dan adil akan

membantu untuk membuat pelaporan yang dapat menjadi pelajaran dalam

keselamatan pasien. Budaya tidak menyalahkan perlu dikembangakan dalam

menumbuhkan budaya keselamatan pasien. Cara organisasi membangun budaya

keadilan dengan memberikan motivasi dan keterbukaannya terhadap perawat

untuk memberikan informasi kejadian yang dapat diterima dan tidak dapat

diterima. Hal ini juga termasuk kerjasama antar perawat sehingga mengurangi

rasa takut untuk melaporkan kejadian berkaitan dengan keselamatan pasien.

20

d. Budaya pembelajaran (learning culture)

Budaya pembelajaran memiliki pengertian bahwa sebuah organisasi memiliki

sistem umpan balik terhadap kejadian kesalahan atau insiden dan pelaporannya,

serta pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas perawat dalam

melaksanakan asuhan keperawatan. Setiap lini di dalam organisasi, baik perawat

maupun manajemen menggunakan insiden yang terjadi sebagai proses belajar.

Perawat dan manajemen berkomitmen untuk mempelajari insiden yang terjadi,

mengambil tindakan atas insiden untuk diterapkan guna mencegah terulangnya

kesalahan.

2.2.3 Penerapan Budaya Keselamatan Pasien oleh Perawat Pelaksana

Penerapan budaya keselamatan bermanifestasi sebagai iklim keselamatan dan

merupakan sebuah potret dari budaya keselamatan yang berlaku dalam individu dan

kelompok, serta dapat diukur dengan kuesioner (Agnew et al, 2013). Organisasi yang

menerapkan budaya keselamatan pasien berarti anggota dalam organisasi tersebut

harus membangun organisasi yang terbuka (open), adil (just), informatif dalam

melaporkan kejadian yang terjadi (reporting), dan belajar dari kejadian tersebut

(learning).

Penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana adalah tindakan yang

dilakukan oleh perawat pelaksana yang mencerminkan dimensi budaya keselamatan

pasien yaitu keterbukaan dan melaporkan ketika terjadi insiden keselamatan pasien,

keadilan antar perawat ketika terjadi insiden keselamatan pasien, serta pembelajaran

21

terhadap suatu kesalahan atau insiden keselamatan pasien (KBBI, 2013; NPSA, 2004;

Reiling, 2006).

Menerapkan budaya keselamatan pasien yang baik adalah ketika perawat secara aktif

dan konstan menyadari potensial terjadinya kesalahan dan dapat mengidentifikasi

serta mengenali kejadian yang telah terjadi, belajar dari kesalahan dan mengambil

tindakan untuk memperbaiki kesalahan tersebut (NPSA, 2004). Penerapan budaya

keselamatan pasien oleh perawat pelaksana disimpulkan sebagai suatu tindakan yang

dilakukan oleh perawat pelaksana yang mencerminkan keterbukaan, pelaporan,

keadilan, dan pembelajaran terhadap insiden keselamatan pasien yang dapat diukur

dengan kuesioner.

2.2.4 Manfaat Penerapan Budaya Keselamatan Pasien

Manfaat utama dalam penerapan budaya keselamatan pasien adalah organisasi

menyadari apa yang salah dan pembelajaran terhadap kesalahan tersebut (Reason,

2000 dalam Cahyono, 2008). Fleming (2006) juga mengatakan bahwa fokus

keseluruhan terhadap penerapan budaya keselamatan pasien dengan melibatkan

seluruh komponen yang terlibat dalam organisasi akan lebih membangun budaya

keselamatan pasien dibandingkan apabila hanya fokus terhadap programnya saja.

Adapun manfaat dalam penerapan budaya keselamatan pasien secara rinci antara lain

(NPSA, 2004):

a. Membuat organisasi kesehatan lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi

atau jika kesalahan terjadi.

22

b. Meningkatnya laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan yang

terjadi akan berpotensial menurunnya kejadian yang sama berulang kembali dan

keparahan dari insiden keselamatan pasien.

c. Kesadaran akan keselamatan pasien, yaitu bekerja untuk mencegah error dan

melaporkan jika ada kesalahan.

d. Berkurangnya perawat yang merasa tertekan, bersalah, malu karena kesalahan

yang telah diperbuat.

e. Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang pernah mengalami insiden,

pada umumnya akan mengalami perpanjangan hari perawatan dan pengobatan

yang diberikan lebih dari pengobatan yang seharusnya diterima pasien.

f. Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan terapi.

g. Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan pasien.

2.2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Budaya Keselamatan

Pasien oleh Perawat Pelaksana

a. Manajemen dan kepemimpinan (leadership)

Transformasi atau perubahan penerapan budaya dari budaya yang negatif menuju

budaya yang positif memerlukan pengkajian manajemen dan pengarahan

kepemimpinan. Ketika kepemimpinan dan manajemen berkomitmen untuk

budaya keselamatan pasien, seluruh anggota organisasi akan mengikuti dan

dengan demikian dapat menemukan akar penyebab masalah dan menjadikan

haltersebut sebagai suatu proses dalam organisasi (Marquis & Huston 2010).

23

Dalam suatu proses transformasi nilai (proses internalisasi nilai keselamatan

pasien menjadi bagian dari budaya organiasai) pemimpin mulai mengajak perawat

untuk melihat, percaya, bergerak dan menyelesaikan perubahan sehingga

organisasi menemukan nilai-nilai kolektif dan memakai nilai-nilai tersebut

sebagai perekat, menjadi tuntunan dalam membentuk kebiasaan dan perilaku

setiap individu dan kelompok (Cahyono, 2008). Hal tersebut didikung oleh

penelitian yang mengatakan ada hubungan yang positif antara kepemimpinan

efektif oleh kepala ruang dengan penerapa budaya keselamatan pasien (Setiowati,

2010).

Ada 3 domain perilaku kepemimpinan yang mampu menjadi agen perubahan

(change agent) bagi perilaku anggota dalam suatu organisasi yakni pengarahan

(direction), pengawasan (supervision), serta koordinasi (coordination) (Gillies,

1994).

1) Pengarahan

Pengarahan mengacu pada penugasan, perintah, kebijakan, peraturan, standar,

pendapat, saran, dan pertanyaan untuk mengarahkan perilaku bawahan.

Kebijakan, prosedur, standar, dan tugas menjadi alat dalam memimpin orang

lain untuk menghasilkan perilaku yang diinginkan. Perintah dalam

pengarahan dapat berupa perintah lisan atau tertulis oleh atasan organisasi

yang membutuhkan untuk bawahan untuk bertindak atau menahan diri dari

bertindak dengan cara tertentu (Gillies, 1994)

24

2) Supervisi

Supervisi pelayanan keperawatan dikatakan sebagai kegiatan dinamis yang

bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan kepuasan antara dua komponen

yang terlibat yaitu supervisor atau pimpinan, orang yang disupervisi sebagai

mitra kerja dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan keperawatan (Arwani

& Supriyatno, 2006). Supervisi merupakan perilaku kepemimpinan yang

berfungsi untuk memeriksa pekerjaan, mengevaluasi kinerja, memperbaiki

kinerja staf, memberi dukungan, yang pada akhirnya akan meningkatkan

kinerja (Gillies, 1994; Rowe & Haywood, 2007). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa lebih banyak dukungan yang diberikan oleh pemimpin

atau supervisor untuk keselamatan pasien akan meningkatkan penerapan

budaya keselamatan pasien oleh perawat, yakni meningkatkan frekuensi

keterbukaan dan pelaporan atas insiden keselamatan pasien. Persepsi yang

baik tentang keselamatan pasien juga dikatakan menjadi meningkat dan

kemungkinan dapat menyebabkan meningkatnya keterbukaan dan pelaporan

insiden keselamatan pasien (Jardali et al, 2011).

3) Koordinasi

Koordinasi adalah kegiatan kepemimpinan yang mencakup semua kegiatan

yang memungkinkan staf untuk bekerja bersama secara harmonis. Koordinasi

penting dilakukan untuk keberhasilan suatu organisasi kesehatan. Umumnya

koordinasi kegiatan staf terjadi selama pertemuan kelompok kerja utama

25

karena beberapa anggota mengkhususkan diri dalam tugas terkait, seperti

kegiatan menyempurnakan tujuan, identifikasi masalah, dan analisis data. Staf

yang lain mengkhususkan diri dalam kegiatan perawatan. Pemecahan masalah

dalam kegiatan koordinasi harus cukup panjang untuk memungkinkan diskusi

lengkap dari topik masalah, dan dalam kegiatan ini staf yang wajib hadir

dibebaskan dari tugas perawatan pasien (Gillies, 1994).

b. Faktor kepegawaian (staffing)

Kepegawaian merupakan komponen utama dari faktor yang mengakibatkan

perawat mau menerapkan budaya keselamatan pasien. Memiliki tenaga kerja yang

kuat, mampu, dan termotivasi adalah salah satu tantangan terbesar dalam rumah

sakit. Tenaga medis di rumah sakit sering mengalami stress dan sulit tidur akibat

panjangnya jam kerja yang mungkin menyebabkan penyimpangan dalam kinerja

sehingga mengarah pada penurunan kualitas dan kinerja perawat. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa perawat yang termotivasi akan meningkatkan persepsi

perawat mengenai keselamatan pasien dan keamanan bekerja, sehingga akan

melaporkan secara terbuka insiden keselamatan pasien yang terjadi (Jardali et al,

2011).

c. Lingkungan fisik dan akreditasi rumah sakit

Lingkungan fisik rumah sakit yaitu ukuran rumah sakit dan status akreditasi

rumah sakit juga merupakan faktor yang mempengaruhi penerapan budaya

keselamatan pasien. Rumah sakit kecil mencetak frekuensi pelaporan insiden

26

keselamatan pasien lebih tinggi disbanding RS besar, serta memiliki persepsi

yang tinggi mengenai keselamatan pasien. Rumah sakit besar biasanya selalu

menerima menghadapi tantangan yang datang terutama untuk mengerjakan

pekerjaan yang lebih berkualitas, akibat birokrasi yang ada. Sebaliknya rumah

sakit kecil memiliki budaya yang lebih homogen di mana anggotanya lebih

mungkin dan mudah untuk membagi nilai-nilai yang sama terutama mengenai

keselamatan pasien. Rumah sakit yang terakreditasi dikatakan memiliki anggota

dengan persepsi dan frekuensi pelaporan insiden keselamatan pasien lebih tinggi

dibandingkan rumah sakit non-akreditasi (Jardali et al, 2011).

d. Karakteristik perawat pelaksana

Kinerja atau performance dalam suatu organisasi kesehatan tergantung pada

pengetahuan, keterampilan, dan motivasi pekerja kesehatan itu sendiri (Negussie,

2010). Karakteristik perawat merupakan ciri-ciri individu yang melekat pada

dirinya yang memengaruhi performance.

1) Usia

Kemampuan dan keterampilan seseorang seringkali dihubungkan dengan usia,

sehingga semakin lama usia seseorang maka pemahaman terhadap masalah

akan lebih dewasa dalam bertindak, dan berpengaruh terhadap produktivitas

dalam bekerja (Depkes RI, 2002 dalam Hasmoko, 2008). Penelitan oleh

Setiowati (2010) menyatakan usia perawat pelaksana berhubungan positif

dengan penerapan budaya keselamatan pasien. Hal tersebut didukung oleh

27

penelitian oleh Nurmalia (2012) yang menyatakan usia dewasa muda

dianggap lebih mudah menerima perubahan sehingga mempengaruhi dalam

mempersepsikan budaya keselamatan pasien.

2) Tingkat pendidikan perawat

Pendidikan merupakan suatu metode pengembangan organisasi dimana staf

mendapatkan pengetahuan dan keterampilan untuk tujuan positif dan staf

mendapat pengetahuan yang penting untuk penampilan kinerjanya dalam hal

kognitif, psikomotor, dan sikap. Pendidikan adalah indikator yang

menunjukkan kemampuan individu untuk menyelesaikan pekerjan yang

menjadi tanggung jawabnya (Hasibuan, 2008). Latar belakang pendidikan

perawat berpengaruh terhadap penerapan keselamatan pasien. Survey

berdasarkan evidence based di New Zealand, Amerika Serikat, dan Thailand

menyebutkan ada kenaikan insidensi faktor penyebab kematian pasien di RS

pada tenaga perawat dengan latar belakang pendidikan campuran dan terdapat

penurunan pada ketenagaan yang sudah teregistrasi (Ridley, 2008).

3) Masa kerja

Masa kerja adalah jangka waktu yang dibutuhkan seseorang dalam bekerja

sejak mulai masuk dalam lapangan pekerjaan, semakin lama seseorang

bekerja semakin terampil dan berpengalaman dalam melaksanakan

pekerjaannya (Siagian, 2000 dalam Zakiyah, 2012). Masa kerja akan

memberikan pengalaman kerja yang lebih banyak pada seseorang.

28

Pengalaman kerja berhubungan dengan kinerja seseorang. Hasil penelitian

oleh Setiowati (2012) menunjukkan ada hubungan positif antara masa kerja

dengan penerapan budaya keselamatan pasien.

2.2.6 Mengukur Penerapan Budaya Keselamatan Pasien

Salah satu alat untuk mengukur penerapan budaya keselamatan pasien adalah dengan

instrument kuesioner The Hospital Survey of Patient Safety Culture (HSOPSC) yang

dikembangkan oleh Agency for Health Care Research and Quality (AHRQ). Agency

for Health Care Research and Quality merupakan suatu komite untuk kualitas

kesehatan di Amerika yang memimpin lembaga Federal untuk peneltian tentang

kualitas kesehatan, biaya, outcome, dan keselamatan pasien. AHRQ mendanai 100

penelitian untuk mengidentifikasi instrumen yang dijadikan alat untuk menilai

budaya keselamatan pasien (Fleming, 2006).

Pada dasarnya empat dimensi budaya keselamatan pasien yakni budaya keterbukaan,

pelaporan, keadilan, dan budaya pembelajaran digunakan dalam menilai budaya

keselamatan pasien dalam suatu organisasi kesehatan. The Hospital Survey of Patient

Safety Culture yang dikembangkan oleh AHRQ menggunakan komponen-komponen

sebagai indikator masing-masing dimensi budaya keselamatan pasien. Indikator

dimensi budaya keterbukaan antara lain (1) komunikasi terbuka, (2) kerjasama dalam

unit, (3) kerjasama antar unit, (4) persepsi keselamatan pasien. Indikator dimensi

budaya keadilan adalah (1) umpan balik (feedback) dan komunikasi, (2) staffing, (3)

respon tidak menghukum. Indikator dimensi budaya pelaporan mengandung

29

komponen (1) pelaporan kejadian, (2) hand over sedangkan indikator dari dimensi

budaya pembelajaran mengandung komponen (1) pembelajaran oleh perawat, (2)

ekspektasi manajer, dan (3) dukungan manajemen (Fleming, 2006).

2.3 Supervisi Pelayanan Keperawatan

2.3.1 Definisi Supervisi Pelayanan Keperawatan

Berbicara mengenai supervisi keperawatan tidak akan lepas dari supervisor, penerima

supervisi (supervisee) dan komponen dari supervisi tersebut (Halpern & McKimm,

2006). Supervisi pelayanan keperawatan diartikan sebagai penyediaan pemantauan

(monitoring), bimbingan, dan umpan balik (feedback) tentang masalah-masalah

pribadi, profesional, dan perkembangan pendidikan dalam konteks perawatan yang

aman bagi pasien (Kilminster, 2000 dalam Kennedy et al, 2007).

Supervisi pelayanan keperawatan adalah kolaborasi yang sifatnya formal antara dua

atau lebih yang difokuskan pada dukungan untuk staf yang disupervisi dalam rangka

meningkatkan kesadaran diri dan perkembangan profesionalisme (Lynch et al, 2008).

Supervisi pelayanan keperawatan dikatakan sebagai kegiatan dinamis yang bertujuan

untuk meningkatkan motivasi dan kepuasan antara dua komponen yang terlibat yaitu

supervisor atau pimpinan, orang yang disupervisi sebagai mitra kerja dan pasien

sebagai penerima jasa pelayanan keperawatan (Arwani & Supriyatno, 2006).

Supervisi pelayanan keperawatan merupakan interaksi dan komunikasi professional

antara supervisor keperawatan dan perawat pelaksana yakni dalam interaksi

komunikasi tersebut perawat pelaksana menerima bimbingan, dukungan, bantuan,

30

dan dipercaya, sehingga perawat pelaksana dapat memberikan asuhan yang aman

kepada pasien (Halpern & McKimm 2006; Suyanto, 2008).

Supervisi pelayanan keperawatan sesuai dengan beberapa pengertian diatas dapat

disimpulkan interaksi dan komunikasi professional yakni perawat yang disupervisi

mendapatkan pembinaan, bimbingan, dukungan, dan umpan balik oleh supervisor

sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan dengan baik, terampil, aman, dan

tepat secara menyeluruh kepada pasien sehingga meningkatkan mutu asuhan

keperawatan.

2.3.2 Komponen Supervisi Pelayanan Keperawatan

Komponen dalam supervisi pelayanan keperawatan yaitu:

a. Komponen normatif

Komponen normatif atau managerial adalah mempromosikan dan mematuhi

kebijakan dan prosedur, pengembangan standar, dan memberikan kontribusi ke

unit klinis (Winstanley & White, 2011). Komponen ini dapat diberikan apabila

supervisor memiliki persepsi positif untuk perawat pelaksana yang disupervisi.

Komponen ini berfokus dalam mempertahankan kinerja perawat pelaksana yang

baik dengan cara menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, membuat suatu

perencanaan, mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan yang dibutuhkan

untuk memberikan dukungan kerja yang lebih lanjut, menciptakan keselamatan

pasien, mempertahankan standar yang ada, dan memberikan kepercayaan kepada

31

perawat pelaksana sehingga hal tersebut dapat meningkatkan profesionalisme dan

menciptakan kualitas pelayanan yang bermutu (Lynch et al, 2008).

b. Komponen formatif

Komponen formatif juga disebut komponen edukatif. Komponen ini berfokus

pada pengembangan pengetahuan dan keterampilan perawat pelaksana sehingga

memungkinkan prawat pelaksana bekerja sesuai dengan standar yang berlaku

sebagai aspek tanggung jawab dalam melakukan praktek. Kondisi ini dapat

dicapai melalui refleksi pada praktek yang sudah dilakukan dengan mendukung

dan menciptakan lingkungan yang kondusif. Hal ini merupakan tanggung jawab

bersama dari supervisor dan perawat pelaksana yang disupervisi. Adapun tugas

dari supervisor dalam komponen ini antara lain memberikan kritik konstruktif,

memberikan tantangan dalam praktek apabila diperlukan, memonitor kepatuhan

perawat terhadap kode etik dan standar yang berlaku, memberikan umpan balik

yang jujur, secara teratur mengevaluasi efektivitas kegiatan supervisi, serta

mengidentifikasi pemecahan masalah yang diperlukan (Lynch et al, 2008).

c. Komponen restoratif

Komponen ini disebut juga pastoral support, memungkinkan staf untuk mengerti

dan mengelola stres emosional dalam melaksanakan praktek keperawatan

(Winstanley & White, 2011). Komponen restoratif berfokus dalam memberikan

rasa aman bagi perawat pelaksana untuk terbuka mengungkapkan perasaan dan

permasalahan yang dihadapi, pengalaman dan praktik dalam pembelajaran,

32

mengatasi konflik, pemberian dukungan pada staf, proses interaksi, serta

meningkatkan kesadaan diri. Adapun tugas supervisor dalam hal ini adalah

memberikan dukungan atau motivasi, membantu perawat pelaksana untuk

berinteraksi, memonitoring reaksi atau respon terhadap materi yang dibawa oleh

supervisor, meningkatkan pengalaman dan pengembangan, dan meningkatkan

kesadaran diri (Lynch et al, 2008).

2.3.3 Supervisor Keperawatan

Menurut Suyanto (2008) supervisi keperawatan dilaksanakan oleh personil atau

bagian yang bertanggung jawab antara lain:

a. Kepala ruangan

Kepala ruangan bertanggung jawab untuk melakukan supervisi pelayanan

keperawatan yang diberikan pada pasien diruang perawatan yang dipimpinnya.

b. Pengawas keperawatan

Ruang perawatan dan unit pelayanan yang berada di bawah unit pelaksana

fungsional mempunyai pengawas keperawatan yang bertanggung jawab

mengawasi jalannya pelayanan keperawatan.

c. Kepala bidang keperawatan

Sebagai top manajer dalam keperawatan, kepala bidang keperawatan bertanggung

jawab untuk melakukan supervisi melalui para pengawas keperawatan. Kepala

bidang keperawatan memiliki tanggung jawab dalam mengusahakan seoptimal

mungkin kondisi kerja yang aman dan nyaman, efektif, dan efisien.

33

Pada intinya, tugas dari supervisor keperawatan yang terdiri atas kepala ruangan,

pengawas keperawatan dan kepala bidang keperawatan adalah mengorientasikan,

melatih, dan memberikan pengarahan kepada perawat pelaksana dalam pelaksanaan

tugas. Tujuan memberikan pelayanan bimbingan dalam memberikan asuhan

keperawatan dan juga hal terkait keselamatan pasien agar perawat yang disupervisi

menyadari, mengerti terhadap peran dan fungsi sebagai pelaksana asuhan

keperawatan yang aman.

2.3.4 Kompetensi Supervisor dalam Supervisi Pelayanan Keperawatan

Kegiatan supervisi merupakan kegiatan dengan fokus peningkatan mutu dan kualitas

pelayanan kesehatan sebagai tujuan utama. Agar tidak menyimpang dari tujuan, maka

ada beberapa kompetensi yang harus dimiliki seorang supervisor (Arwani &

Supriyatno, 2006) diantaranya:

a. Kemampuan memberikan pengarahan dan petunjuk

Kompetensi pertama yang harus dikuasai supervisor adalah kemampuan

memberikan pengarahan dan petunjuk yang jelas mengenai tugas dan tanggung

jawab sehingga dapat dimengerti oleh perawat pelaksana.

b. Kemampuan memberikan saran dan bantuan

Kompetensi kedua adalah bahwa supervisor harus mampu memberikan saran,

nasihat, dan bantuan yang benar-benar dibutuhkan oleh perawat pelaksana.

Supervisor harus mampu melakukan pendekatan asertif terhadap seluruh perawat

pelaksana.

34

c. Kemampuan memberikan motivasi

Seorang supervisor harus mampu memberikan motivasi untuk meningkatkan

semangat kerja perawat pelaksana.

d. Kemampuan memberikan latihan dan bimbingan

Kompetensi yang harus dimiliki supervisor adalah harus mampu memberikan

latihan dan bimbingan yang diperlukan oleh perawat pelaksana. Seorang

supervisor harus mampu sebagai contoh bagi perawat pelaksana dalam

memberikan bimbingan yang tepat, mampu mengidentifikasi kesalahan yang

terjadi dalam kegiatan keperawatan agar perbaikan yang dilakukan juga tepat.

e. Kemampuan dalam melakukan penilaian objektif

Terlaksananya penilaian yang objektif dapat terjadi bila supervisor mampu

menjaga hubungan profesional dan membedakan hubungan pribadi saat bekerja,

serta mampu membuat standar penilaian untuk menilai kinerja tersebut.

2.3.5 Fungsi Supervisi Pelayanan Keperawatan

Fungsi supervisi pelayanan keperawatan menurut Rowe & Haywood (2007) ada

empat yaitu fungsi manajemen, pembelajaran dan pengembangan, dukungan, dan

negosiasi. Keempat fungsi tersebut saling bergantung satu sama lain dan salah satu

fungsi tidak dapat dilakukan secara efektif tanpa fungsi yang lain.

a. Fungsi manajemen (pengelolaan)

Fungsi manajemen dalam supervisi pelayanan keperawatan adalah pengembangan

sumber daya manusia melalui pemberian motivasi, mengatasi konflik,

35

pendelegasian, komunikasi, dan memfasilitasi kerjasama staf dengan manajer atau

kolega. Penilaian kinerja, pengawasan mutu, pengawasan hukum dan etika juga

merupakan fungsi manajemen supervisi pelayanan keperawatan (Marquis &

Huston 2010; Swansburg, 2000).

b. Fungsi pembelajaran dan pengembangan

Fungsi ini adalah untuk membantu perawat merefleksikan kinerja mereka,

mengidentifikasi kebutuhan belajar dan pengembangan, serta mengembangkan

rencana atau mengidentifikasi peluang untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

c. Fungsi dukungan

Fungsi dukungan berguna untuk perawat dalam melaksanakan perannya.

Dukungan dapat diberikan oleh supervisor pada situasi tertentu, kejadian khusus

atau masalah pribadi yang mungkin berdampak pada pekerjaan dan kinerja

perawat (Rowe & Haywood, 2007).

d. Fungsi negosiasi

Fungsi negosiasi adalah untuk meningkatkan efektifitas hubungan antara perawat

pelaksana, tim kesehatan lain, organisasi, dan lembaga lain yang bekerja di dalam

lingkungan yang sama. Untuk mencapai fungsi negosiasi dapat dilakukan melalui

melakukan pengarahan kepada perawat terhadap isu-isu kunci, sensitif terhadap

keluhan-keluhan perawat, melakukan pengarahan kepada perawat terhadap

perubahan dan perkembangan yang mempengaruhi area kerja mereka (Rowe &

Haywood, 2007).

36

2.3.6 Evaluasi Supervisi Pelayanan Keperawatan

Supervisi pelayanan keperawatan dapat dievaluasi menggunakan instrumen kuesioner

untuk mengevaluasi proses supervisi menurut persepsi perawat yang disupervisi.

Winstanley & White menjelaskan salah satu kuesioner yang dapat digunakan adalah

The Manchester Clinical Supervision Scale. Kuesioner ini merupakan satu-satunya

instrumen penelitian yang telah divalidasi secara internasional.

Bentuk-bentuk pernyataan yang ada dalam dalam instrumen disusun berdasarkan data

kualitatif melalui wawancara yang berasal dari sebuah penelitian di Inggris dan

Scotlandia. Hasil wawancara tersebut disusun menjadi sebuah instrument oleh

Profesor White, Butterworth, dan Bishop. Manchester Clinical Supervision Scale

terdiri atas tiga komponen yang merupakan pengembangan dari model Protocor yaitu

normatif (mempertahankan kinerja dan meningkatkan profesionalisme), formatif

(meningkatkan pengetahuan dan keterampilan), dan restoratif (memberikan

dukungan) (Winstanley & White, 2011).

2.4 Hubungan Supervisi Pelayanan Keperawatan dengan Penerapan Budaya

Keselamatan Pasien oleh Perawat Pelaksana

Individu yang menerapkan budaya keselamatan pasien berarti membangun perilaku

yang terbuka, adil, informatif dalam melaporkan insiden terkait keselamatan pasien,

dan mau belajar atas insiden tersebut (NPSA, 2006). Penerapan budaya negatif

menuju penerapan budaya keselamatan mengindikasikan terjadi perubahan dalam

sistem suatu organisasi maupun perilaku dari anggota organisasi. Dalam organisasi,

37

perubahan menuju penerapan budaya keselamatan tersebut akan bisa terjadi bila

faktor kepemimpinan berperan didalamnya. Kepemimpinan yang efektif akan dapat

mempengaruhi bawahannya dalam pencapaian suatu tujuan organisasi (Cahyono,

2008). Salah satu perilaku kepemimpinan yang bisa menjadi agen perubahan adalah

supervisi (Gillies, 1994).

Supervisi pelayanan keperawatan sesuai adalah interaksi dan komunikasi professional

yakni perawat yang disupervisi mendapatkan pembinaan, bimbingan, dukungan, dan

umpan balik oleh supervisor sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan dengan

baik, terampil, aman, dan tepat secara menyeluruh kepada pasien sehingga

meningkatkan mutu asuhan keperawatan (Halpern & McKimm 2006; Suyanto, 2008).

Supervisi pelayanan keperawatan dapat meningkatkan kesadaran perawat atas dirinya

dan lingkungan kerja termasuk kesadaran terhadap cara berpikir, membuat keputusan,

dan prestasi kerja. Kegiatan supervisi yang mendukung perawat pelaksana dan

memberikan kesempatan untuk berkembang dan merefleksikan kemampuannya

berkontribusi signifikan terhadap kesejahteraan dan keselamatan pasien (Tony et al,

2007).

Supervisi pelayanan keperawatan mampu memberi manfaat kepada perawat

pelaksana dalam meningkatkan perasaan didukung, mengurangi isolasi profesional,

menurunkan tingkat kelelahan kerja dan emosional, meningkatkan kepuasan kerja

dan moral, serta mengembangkan praktek professional dan dukungan dalam praktek

(Driscoll, 2007). Hyrkas (2000) membuktikan supervisi pelayanan keperawatan

38

dapat meningkatkan hubungan perawat yang disupervisi dengan supervisor serta

dalam hubungan antar perawat yang lain. Hubungan antara para perawat yang

disupervisi dengan tim supervisor dikarakteristikan sebagai peningkatan evaluasi diri,

keberanian, keterbukaan, menolong dan saling memahami antar anggota tim. Selama

kegiatan kegiatan pengawasan tim atau supervisi klinis, keberanian perawat untuk

meneliti masalah-masalah yang ada dalam tim menjadi meningkat, termasuk

keterbukaan membahas isu atau topik-topik yang sensitif yang ada dalam pekerjaan

dan pasien. Dengan demikian, karakteristik keterbukaan dalam melaporkan isu-isu

terkait pekerjaan, termasuk masalah pasien, tercermin dalam hubungan antarperawat

dalam kegiatan supervisi pelayanan keperawatan.

Halpern & McKimm (2006) yang menyebutkan bahwa supervisi adalah tempat di

mana isu-isu atau dilema seputar masalah pasien dapat dibicarakan dan ditangani.

Melalui supervisi pelayanan keperawatan, disebutkan pula perawat yang disupervisi

menemukan batas-batas dari diri sendiri dan rekan-rekan mereka, serta belajar untuk

memberikan kesempatan berpendapat dan beropini terhadap masalah-masalah yang

terjadi dalam pekerjaan mereka. Secara tidak langsung, hal tersebut dapat dikatakan

sebagai berperilaku adil terhadap rekan kerja (Hyrkas, 2000). Hasil penelitian juga

menyebutkan perawat yang disupervisi melaporkan bahwa hubungan antar anggota

tim menjadi lebih dekat, yang pada akhirnya meningkatkan kolaborasi, semangat tim,

perasaan kebersamaan, dan juga peningkatan keaktifan mereka dalam mendiskusikan

masalah-masalah yang terkait dalam peningkatan kualitas pekerjaan (Jones, 2003

39

dalam Tony et al, 2007). Perawat yang disupervisi juga melaporkan secara jelas

peningkatan dalam memperaktekkan diskusi masalah-masalah yang terjadi dalam

kegiatan keperawatan mereka. Hubungan antara anggota tim tumbuh lebih matang,

semangat kelompok dan solidaritas serta keterampilan pemecahan konflik menjadi

semakin berkembang akibat kegiatan supervisi tersebut (Hyrkas, 2000).

Kegiatan supervisi juga mampu meningkatkan kebutuhan akan belajar. Hasil

penelitian membuktikan setelah disupervisi responden sangat bersedia untuk

berpartisipasi dalam pendidikan pelayanan baik di dalam maupun di luar organisasi

mereka. Masalah keselamatan dalam bekerja adalah topik penting yang dibahas.

Perawat yang telah menerima pendidikan tentang pelayanan keperawatan terkait isu-

isu keselamatan menjadi semakin meningkatkan perasaan mereka, meningkatkan

prinsip keselamatan dalam setiap kegiatan yang mereka laksanakan. Supervisi dapat

meningkatan kualitas melalui peningkatan perhatian terhadap kapasitas kerja.

Kualitas yang dimaksud antara lain meningkatkan fleksibilitas dalam bekerja,

memperjelas gambaran pekerjaan, dan peningkatan efisiensi kerja, serta sebagai

refleksi kerja untuk mengubah rutinitas yang kurang baik. Peningkatan kualitas

tersebut pada akhirya akan memperkuat aturan manajemen dan memudahkan

mengatur kegiatan asuhan kepada pasien (Hyrkas, 2000).