bab ii tinjauan pustaka 2.1 kecerdasan intelektual ii.pdf · raven dalam fabiola (2005), memberikan...

23
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Intelektual Kecerdasan dalam arti umum adalah suatu kemampuan umum yang membedakan kualitas orang yang satu dengan orang yang lain Joseph (1978). Kecerdasan intelektual lazim disebut dengan inteligensi. Istilah ini dipopulerkan kembali pertama kali oleh Francis Galton, seorang ilmuwan dan ahli matematika yang terkemuka dari Inggris Joseph (1978). Inteligensi adalah kemampuan kognitif yang dimiliki organisme untuk menyesuaikan diri secara efektif pada lingkungan yang kompleks dan selalu berubah serta dipengaruhi oleh faktor genetik Galton dalam Joseph (1978). Menurut Moustafa dan Miller (2003) dimensi yang membentuk kamampuan intelektual yaitu meliputi: 1) Kecerdasan numeric yaitu kecerdasan dalam menangkap serta mengeloha angka dan data 2) Pemahaman verbal yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan kepandaian membaca, menulis dan berbicara. 3) Kecepatan Persepsi yaitu kemampuan mengidentifikasi kemiripan dan perbedan visual dengan cepat dan akurat. 4) Penalaran induktif yaitu kemampuan mengidentifikasi urutan logis dalam sebuah masalah dan memecahkan masalah itu. 5) Penalaran deduktif yaitu kemampuan menggunkan logika dan menilai implikasi dari sebuah argumen.

Upload: vophuc

Post on 04-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecerdasan Intelektual

Kecerdasan dalam arti umum adalah suatu kemampuan umum yang

membedakan kualitas orang yang satu dengan orang yang lain Joseph (1978).

Kecerdasan intelektual lazim disebut dengan inteligensi. Istilah ini dipopulerkan

kembali pertama kali oleh Francis Galton, seorang ilmuwan dan ahli matematika

yang terkemuka dari Inggris Joseph (1978). Inteligensi adalah kemampuan

kognitif yang dimiliki organisme untuk menyesuaikan diri secara efektif pada

lingkungan yang kompleks dan selalu berubah serta dipengaruhi oleh faktor

genetik Galton dalam Joseph (1978).

Menurut Moustafa dan Miller (2003) dimensi yang membentuk

kamampuan intelektual yaitu meliputi:

1) Kecerdasan numeric yaitu kecerdasan dalam menangkap serta mengeloha

angka dan data

2) Pemahaman verbal yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan kepandaian

membaca, menulis dan berbicara.

3) Kecepatan Persepsi yaitu kemampuan mengidentifikasi kemiripan dan

perbedan visual dengan cepat dan akurat.

4) Penalaran induktif yaitu kemampuan mengidentifikasi urutan logis dalam

sebuah masalah dan memecahkan masalah itu.

5) Penalaran deduktif yaitu kemampuan menggunkan logika dan menilai

implikasi dari sebuah argumen.

13

6) Visualisasi spasial yaitu kemampuan membayangkan bagaimana sebuah objek

akan terlihat bila posisi dalam ruangan diubah.

7) Ingatan yang baik yaitu kemampuan membayangkan bagaimana sebuah objek

akan terlihat bila posisi dalam ruangan diubah.

Spearman mengelompokan inteligensi ke dalam dua kategori. Kategori

yang pertama adalah g faktor atau biasa disebut dengan kemampuan kognitif yang

dimiliki individu secara umum, misalnya kemampuan mengingat dan berpikir.

Kategori yang kedua disebut dengan s faktor yaitu merupakan kemampuan khusus

yang dimiliki individu, Eysenck (1981). G faktor lebih merupakan potensi dasar

yang dimiliki oleh setiap orang unuk belajar dan beradaptasi. Intelligensi ini

dipengaruhi oleh faktor bawaan. Faktor s merupakan intelligensi yang

dipengaruhi oleh lingkungan sehingga faktor s yang dimiliki oleh orang yang satu

akan berbeda dengan orang yang lain. Setiap faktor s pasti mengandung faktor g.

Raven dalam Fabiola (2005), memberikan pengertian yang lain.

Ia mendefinisikan inteligensi sebagai kapasitas umum individu yang nampak

dalam kemampuan individu untuk menghadapi tuntutan kehidupan secara

rasional. Inteligensi lebih difokuskan kepada kemampuannya dalam berpikir,

Wechsler mengemukakan bahwa inteligensi adalah kemampuan global yang

dimiliki oleh individu agar bisa bertindak secara terarah dan berpikir secara

bermakna serta bisa berinteraksi dengan lingkungan secara efisien, Wechsler

dalam Anastasi dan Urbina (1997).

Wiramiharja (2003) mengemukakan indikator-indikator dari kecerdasan

intelektual. Penelitiannya tentang kecerdasan ialah menyangkut upaya untuk

14

mengetahui keeratan besarnya kecerdasan dan kemauaan terhadap prestasi kerja.

Ia meneliti kecerdasan dengan menggunakan alat tes kecerdasan yang diambil dari

tes inteligensi yang dikembangkan oleh Peter Lauster, sedangkan pengukuran

besarnya kemauan dengan menggunakan alat tes Pauli dari Richard Pauli, khusus

menyangkut besarnya penjumlahan. Ia menyebutkan tiga indikator kecerdasan

intelektual yang menyangkut tiga domain kognitif. Ketiga indikator tersebut

adalah:

a. Kemampuan figur yaitu merupakan pemahaman dan nalar dibidang bentuk

b. Kemampuan verbal yaitu merupakan pemahaman dan nalar dibidang bahasa

c. Pemahaman dan nalar dibidang numerik atau yang berkaitan dengan angka

biasa disebut dengan kemampuan numerik.

Istilah inteligensi digunakan dengan pengertian yang luas dan bervariasi,

tidakhanya oleh masyarakat umum tetapi juga oleh anggota-anggota berbagai

disiplin ilmu, Sternberg dalam Anastasi (1997). Anastasi (1997) mengatakan

bahwa inteligensi bukanlah kemampuan tunggal dan seragam tetapi merupakan

komposit dari berbagai fungsi. Istilah ini umumnya digunakan untuk mencakup

gabungan kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk bertahan dan maju

dalam budaya tertentu.

Sedangkan indikator kecerdasan intelektual yang dikemukakan oleh

Stenberg dalam Arie (2009) yaitu:

1) Kemampuan memecahkan masalah

Yaitu mampu menunjukkan pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi,

mengambil keputusan tepat, menyelesaikan masalah secara optimal,

menunjukkan fikiran jernih.

15

2) Intelegensi verbal

Yaitu kosa kata baik, membaca dengan penuh pemahaman, ingin tahu secara

intelektual, menunjukkan keingintahuan.

3) Intelegensi praktis

Yaitu situasi, tahu cara mencapai tujuan, sadar terhadap dunia sekeliling,

menunjukkan minat terhadap dunia luar.

Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa indikator kecerdasan

intelektual yaitu 1) kemampuan memecahkan masalah, 2) intelegensi verbal, 3)

intelegensi praktis.

2.2 Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang dalam memonitor

perasaan dan emosinya baik pada dirinya maupun orang lain, mampu

membedakan dua hal itu, dan kemudian menggunakan informasi itu untuk

membimbing pikiran dan tindakannya Salovey & Mayer (1990) dalam Lenaghan,

et al (2007), Hal tersebut seperti yang dikemukakan Patton (1998) bahwa

penggunaan emosi yang efektif akan dapat mencapai tujuan dalam membangun

hubungan yang produktif dan meraih keberhasilan kerja.

Istilah kecerdasan emosional mengandung dua suku kata, yakni emosi dan

kecerdasan. Kecerdasan secara harfiah dapat diartikan sebagai tingkat

kecemerlangan seseorang, dan emosi sebagai suatu gejala yang multidimensional

sebagai unjuk dari tingkat perasaan yang subyektif. Emosi juga diartikan respon

biologis dan psikologis yang menggerakkan badan kita pada suatu reaksi tertentu.

Sedangkan menurut Sojka and Deeter (2002), kecerdasan emosi adalah

16

penerimaan, pengintepretasian, pemberian reaksi dari seseorang ke orang lain. Hal

senada diungkapkan Carmichael (2005) yang menyatakan kecerdasan emosi

adalah proses spesifik dari kecerdasan informasiyang meliputi kemampuan untuk

memunculkan dan mengekspresikan emosi diri sendiri kepada orang lain,

pengaturan emosi (controlling), serta penggunaan emosi untuk mencapai tujuan.

Menurut Prati, et al. (2003) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk

membaca dan memahami orang lain, dan kemampuan untuk menggunakan

pengetahuan untuk mempengaruhi orang lain melalui pengaturan dan penggunaan

emosi Jadi kecerdasan emosi dapat diartikan tingkat kecemerlangan seseorang

dalam menggunakan perasaannya untuk merespon keadaan perasaan dari diri

sendiri maupun dalam menghadapi lingkungannya

Sidle (2007), menyebutkan bahwa kecerdasan emosi merupakan

kemampuan untuk membangkitkan atau membangunkan hati. Seseorang dituntut

untuk mampu mengenali serta mengatur perasaan dan emosinya, juga terhadap

orang lain.

Seorang ahli kecerdasan emosi Goleman (2006), mengatakan bahwa

kecerdasan emosi adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan

perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan

mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang

lain. Goleman mengemukakan lima kecakapan dalam kecerdasan emosi, yang

terbagi dalam kecakapan pribadi dan kecakapan sosial, yaitu Kesadaran diri (Self

awareness), Pengaturan diri (Self management), Motivasi (Motivation), Empati

(Social awareness), Keterampilan sosial (Relationship management).

17

1) Kesadaran Diri (Self Awarness)

Self Awareness adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang dirasakan

dalam dirinya dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan

diri sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri sendiri

dan kepercayaan diri yang kuat.

2) Pengaturan Diri (Self Management)

Self Management adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan

menangani emosinya sendiri sedemikian rupa sehingga berdampak positif

pada pelaksanaan tugas, memiliki kepekaan pada kata hati, serta sanggup

menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran dan mampu pulih

kembali dari tekanan emosi.

3) Motivasi Diri (Self Motivation)

Self Motivation merupakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan

menuntun diri menuju sasaran, membantu pengambilan inisiatif serta

bertindak sangat efektif, dan mampu untuk bertahan dan bangkit dari

kegagalan dan frustasi.

4) Empati (Emphaty)

Empathy merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakakan orang lain,

mampu memahami perspektif orang lain dan menumbuhkan hubungan saling

percaya, serta mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe hubungan.

5) Keterampilan Sosial (Relationship Management)

Relationship Management adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan

baik ketika berhubungan sosial dengan orang lain, mampu membaca situasi

18

dan jaringan sosial secara cermat, berinteraksi dengan lancar, menggunakan

ketrampilan ini untuk mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah,

menyelesaikan perselisihan, serta bekerja sama dalam tim.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa indikator

kecerdasan emosional adalah 1) kemampuan untuk mengetahui perasaan sendiri

sehingga mengetahui kelebihan dan kekurangannya, 2) kemampuan menangani

emosi sendiri, 3) kemampuan memotivasi diri untuk terus maju, 4) kemampuan

merasakan emosi dan kepribadian orang lain, dan 5) kemampuan menjalin

hubungan dengan orang lain.

2.3 Kecerdasan Spiritual

Zohar dan Marshal (2002) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai

rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang dibarengi dengan pemahaman

dan cinta, kecerdasan yang menempatkan perilaku hidup kita dalam konteks

makna yang lebih luas dan kaya, serta kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan

atau jalan hidup seseorang lebih bernilai dan bermakna.

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan

memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu menempatkan perilaku dan hidup

manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, serta menilai bahwa

tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan orang

lain.

Peran kecerdasan spiritual adalah sebagai landasan yang diperlukan untuk

memfungsikan kecerdasan intelektual dan emosional secara efektif. Saat ini dunia

kerja membawa lebih banyak konsentrasi pada masalah spiritual. Para pekerja

19

mendapatkan nilai-nilai hidup bukan hanya dirumah saja, tetapi mereka juga

mencari setiap makna hidup yang berasal dari lingkungan kerja mereka. Mereka

yang dapat memberi makna pada hidup mereka dan membawa spritualitas

kedalam lingkungan kerja mereka akan membuat mereka menjadi orang yang

lebih baik, sehingga kinerja yang dihasilkan juga lebih baik dibanding mereka

yang bekerja tanpa memiliki kederdasan spiritual, Hoffman (2002).

Istilah kecerdasan spiritual mulai muncul karena banyak orang yang

memperdebatkan tentang Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional yang

dipandang hanya menyumbang sebagian dari penentu kesuksesan seseorang

dalam kehidupan. Faktor lain yang juga ikut berperan adalah kecerdasan spiritual

yang lebih menekankan pada makna hidup dan bukan hanya terbatas pada

penekanan agama saja Hoffman (2002).

Zohar dan Marshall (2002) memberikan Sembilan dimensi dari

Kecerdasan Spiritual yang telah berkembang dengan baik, yaitu :

1) Kemampuan untuk bersikap fleksibel

2) Tingkat kesadaran diri yang tinggi

3) Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan

4) Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit

5) Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai

6) Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu

7) Kecenderungan untuk berpandangan holistik

8) Kecenderungan untuk bertanya “mengapa” atau “bagaimana” dan berupaya

untuk mencari jawaban-jawaban mendasar

9) Memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi

20

Kecerdasan spiritual memungkinkan seseorang untuk menyatukan hal-hal

yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan

antara diri dan orang lain. Zohar & Marshall (2002).

Eckersley memberikan pengertian yang lain mengenai kecerdasan

spiritual. Kecerdasan spiritual didefinisikan sebagai perasaan intuisi yang dalam

terhadap keterhubungan dengan dunia luas didalam hidup manusia, Eckersley

(2000) dalam Fabiola (2005). Konsep mengenai kecerdasan spiritual dalam

hubungannya dengan dunia kerja memiliki tiga komponen yaitu kecerdasaan

spiritual sebagai nilai kehidupan dari dalam diri, sebagai kerja yang memiliki arti

dalam komunitas, kerja Ashmos dan Duchon (2000).

Indikator kecerdasan spiritual menurut Idrus (2002) dalam Fabiola (2005)

1) Mutlak jujur

Kata kunci pertama untuk sukses di dunia bisnis adalah mutlak jujur, yaitu

berkata benar dan konsisten akan kebenaran. Ini merupakan hukum spiritual

dalam dunia usaha.

2) Keterbukaan

Keterbukaan merupakan sebuah hukum alam di dunia bisnis, maka logikanya

apabila seseorang bersikap fair atau terbuka maka ia telah berpartisipasi di

jalan menuju dunia yang baik.

3) Pengetahuan diri

Pengetahuan diri menjadi elemen utama dan sangat dibutuhkan dalam

kesuksesan sebuah usaha karena dunia usaha sangat memperhatikan dalam

lingkungan belajar yang baik.

21

4) Fokus pada kontribusi

Dalam dunia usaha terdapat hukum yang lebih mengutamakan memberi

daripada menerima. Hal ini penting berhadapan dengan kecenderungan

manusia untuk menuntut hak ketimbang memenuhi kewajiban. Untuk itulah

orang harus pandai membangun kesadaran diri untuk lebih terfokuas pada

kontribusi.

5) Spiritual non-dogmatis

Komponen ini merupakan nilai kecerdasan spiritual dimana di dalamnya

terdapat kemampuan untuk bersikap fleksibel, memiliki tingkat kesadaran

yang tinggi, serta kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan

penderitaan, kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa indikator kecerdasan

spiritual adalah 1) kejujuran, 2) keterbukaan, 3) pengetahuan diri, 4) fokus pada

kontribusi, dan 5) spiritual non dogmatis.

2.4 Kepemimpinan

Kepemimpinan (leadership) merupakan suatu usaha untuk menggunakan

pengaruh untuk memotivasi individu untuk mencapai tujuan tertentu Gibson et al

(2009). Dalam Handbook of Leadership, kepemimpinan diartikan sebagai

interaksi antar anggota kelompok dalam sebuah kelompok. Pemimpin merupakan

agen perubahan, yaitu orang yang bertindak mempengaruhi orang lain lebih

daripada orang lain mempengaruhinya. Kepemimpinan terjadi saat anggota

sebuah kelompok mengubah motivasi atau kompetensi orang lain dalam

kelompok. Keefektifan pemimpin diukur dengan pencapaian satu atau beberapa

22

tujuan. Individu dalam kelompok melihat keefektifan pemimpin berdasarkan pada

kepuasan yang mereka rasakan/dapatkan dari pengalaman kerja.

Menurut Terry dalam Kartono (1998) Kepemimpinan adalah aktivitas

mempengaruhi orang-orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan-tujuan

kelompok. Menurut Ordway Teod dalam bukunya ”The Art Of Leadership”

Kartono (1998). Kepemimpinan merupakan kegiatan mempengaruhi orang-orang

bekerja sama untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Kepemimpinan dapat

terjadi dimana saja, asalkan seseorang menunjukkan kemampuannya

mempengaruhi perilaku orang lain ke arah tercapainya suatu tujuan tertentu.

Sedangkan Young dalam Kartono (1998) mendefinisikan bahwa kepemimpinan

adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup

mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu, berdasarkan

akseptasi atau penerimaan oleh kelompoknya dan memiliki keahlian khusus yang

tepat bagi situasi khusus.

2.5 Kepemimpinan Transformasional

Seperti telah dikemukakan, konsep awal tentang kepemimpinan

transformasional telah diformulasi oleh Burns (1978) dari penelitian deskriptif

mengenai pemimpin politik. Kepemimpinan transformasional sebagai proses

“para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan

motivasi yang lebih tinggi”, seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, dan

bukan di dasarkan atas emosi, seperti keserakahan, kecemburuan sosial, atau

kebencian (James McGregor Burns, 1978).

23

Menurut Bass dalam Swandari (2003) mendefinisikan bahwa

kepemimpinan transformasional sebagai pemimpin yang mempunyai kekuatan

untuk mempengaruhi bawahan dengan cara-cara tertentu. Dengan penerapan

kepemimpinan transformasional bawahan akan merasa dipercaya, dihargai, loyal

dan respek kepada pimpinannya. Pada akhirnya bawahan akan termotivasi untuk

melakukan lebih dari yang diharapkan. Sedangkan menurut O’Leary (2001)

kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan yang digunakan oleh

seseorang manajer bila ia ingin suatu kelompok melebarkan batas dan memiliki

kinerja melampaui status quo atau mencapai serangkaian sasaran organisasi yang

sepenuhnya baru. kepemimpinan transformasional pada prinsipnya memotivasi

bawahan untuk berbuat lebih baik dari apa yang bisa dilakukan, dengan kata lain

dapat meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri bawahan yang akan

berpengaruh terhadap peningkatan kinerja.

Kepemimpinan transformasional adalah pemimpin yang memotivasi

bawahan untuk bekerja demi tercapai sasaran organisasi dan memuaskan

kebutuhan mereka pada tingkat lebih tinggi Burn (1978). Kepemimpinan

transformasional (transformational leadership) berdasarkan prinsip pengembangan

bawahan (follower development). Pemimpin transformasional mengevaluasi

kemampuan dan potensi masing-masing bawahan untuk menjalankan suatu

tugas/pekerjaan, sekaligus melihat kemungkinan untuk memperluas tanggung

jawab dan kewenangan bawahan di masa mendatang Nugroho (2006). Hal

seanada juga dikemukakan oleh Dvir yaitu kepemimpinan tranformasional

mendasarkan diri pada prinsip pengembangan bawahan (follower development).

24

Pemimpin mengembangkan dan mengarahkan potensi dan kemampuan bawahan

untuk mencapai bahkan melampaui tujuan organisasi (Dvir, 2002).

Burns dalam Heru (2004) mendefinisikan kepemimpinan transformasional

sebagai a process in which leaders and followers raise one another to higher

levels of morality and motivation. Kepemimpinan transformasional adalah suatu

proses, yaitu pemimpin dan pengikutnya saling merangsang diri satu sama lain

untuk penciptaan level yang tinggi dari moralitas dan motivasi yang dikaitkan

dengan tugas pokok dan fungsi mereka.

Berkaitan dengan kepemimpinan transformasional, Bass dalam Howell

dan Hall-Merenda (1999) mengemukakan adanya empat karakteristik

kepemimpinan transformasional, yaitu:

1) karisma,

2) inspirasional,

3) stimulasi intelektual, dan

4) perhatian individual

Sedangkan indikator gaya kepemimpinan transformasional (Stephen P.Robbins,

2007) yaitu;

(1) visi dan misi, menanamkan kebanggaan, meraih penghormatan dan

kepercayaan;

(2) mengkomunikasikan harapan tinggi, menggunakan symbol untuk

memfokuskan pada usaha; menggambarkan maksud penting secara sederhana

(3) mendorong intelegensi, rasionalitas dan pemecahan masalah secara hati-hati;

25

(4) memberikan perhatian pribadi, melayani secara pribadi, melatih dan

menasehati.

2.6 Kinerja

2.6.1 Pengertian kinerja

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kinerja berarti “kemampuan

kerja“. Kata kinerja dalam bahasa Inggris sering diartikan “performance“ yang

berarti pelaksanaan. Irianto (2001), mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan

kinerja karyawan adalah hasil dari banyak tugas atau pekerjaan individual yang

dibuat secara terus menerus oleh karyawan dalam satu periode. Selanjutnya

kinerja dapat dikatakan suatu hasil yang ditunjukkan karyawan kepada organisasi

tentang prestasi atau kemunduran yang telah dicapai oleh karyawan. Ukuran

prestasi yang dipakai dapat dikaitkan dengan standar pelaksanaan tugas yang telah

ditetapkan perusahaan, dapat juga dikaitkan dengan pencapaian prestasi pada

periode sebelumnya. Aspek-aspek yang terkait dalam kinerja karyawan meliputi

jumlah pekerjaan yang dapat terselesaikan, ketelitian dalam melaksanakan suatu

pekerjaan/tugasnya dan ketepatan dalam melaksanakan suatu tugasnya sesuai

dengan waktu yang telah ditentukan.

Prawirosentono (1985), bahwa kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai

oleh seseorang atau sekelompok dalam suatu organisasi dalam kurun waktu

tertentu, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam

rang ka upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak

melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Berdasarkan pengertian

ini sebenarnya terdapat hubungan yang erat antara kinerja perorangan (individual

26

performance) dengan kinerja lembaga (institusional performance). Selain itu,

kinerja karyawan adalah tingkat pencapaian persyaratan kerja.

Kinerja diartikan sebagai hasil dari usaha seseorang yang telah dicapainya

dengan kemampuan yang telah dimilikinya pada kondisi tertentu. Dengan

demikian kinerja merupakan hasil keterkaitan antara usaha, kemampuan, dan

persepsi tugas yang telah dibebankan (Timpe, 2002).

2.6.2 Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja adalah suatu usaha untuk mengevaluasi kinerja karyawan

pada masa kini, maupun pada masa yang lalu berdasarkan standar yang ditetapkan

untuknya. Proses penilaian terdiri dari, penentuan standar kerja, penilaian kinerja

aktual dibandingkan dengan standar dan memberikan umpan balik kepada

karyawan untuk memotivasi peningkatan kinerjanya Dessler (2003). Penilaian

kinerja dimaksudkan untuk mengukur efektivitas pemanfaatan sumber daya yang

dimiliki oleh organisasi yang bersangkutan. Dalam penilaian kinerja, dinilai

kontribusi karyawan terhadap organisasi selama periode waktu tertentu. Umpan

balik kinerja memungkinkan karyawan mengetahui seberapa baik mereka bekerja

jika dibandingkan dengan standar-standar organisasi. Seiring dengan itu

karyawan-karyawan membutuhkan umpan balik atas kinerja mereka sebagai

pedoman perilakunya dimasa depan. Penilaian kinerja pada prinsipnya mencakup

baik aspek kualitatif maupun kuantitatif dari pelaksanaan pekerjaan adalah proses

dimana organisasi mengevaluasi pelaksanaan kerja individu.

Dharma (2000) menyebutkan banyak pengukuran yang dapat digunakan

dalam pengukuran kinerja, ada tiga pengukuran yang digunakan.

27

1) Kuantitas yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran

kuantitas melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan

kegiatan ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan.

2) Kualitas yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik atau tidak). Pengukuran

kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran tingkat kepuasan yaitu

seberapa baik penyelesaiannya berkaitan dengan bentuk keluaran.

3) Ketepatan waktu yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan.

Pengukuran ketepatan waktu merupakan jenis khusus dari pengukuran

kuantitatif yang menentukan ketepatan waktu penyelesaian suatu kegiatan.

Penerapan standar diperlukan untuk mengetahui apakah kinerja karyawan

telah sesuai dengan sasaran yang diharapkan, sekaligus melihat besarnya

penyimpangan dengan cara membandingkan antara hasil pekerjaan secara aktual

dengan hasil yang diharapkan atau standar tertentu. Dalam penelitian ini penilaian

terhadap kinerja karyawan di PT Pos Indonesia Cabang Denpasar diukur dengan

tiga kreteria yaitu (1) jumlah pekerjaan yang diselesaikan, (2) kualitas pekerjaan

dan (3) ketepatan waktu.

2.6.3 Metode-metode penilaian kinerja

Aspek penting dari suatu sistem penilaian kinerja adalah standar yang

jelas. Sasaran utama dari adanya standar tersebut ialah teridentifikasinya unsur-

unsur kritikal suatu pekerjaan. Standar itulah yang merupakan tolok ukur

seseorang melaksanakan pekerjaannya. Standar yang telah ditetapkan tersebut

harus mempunyai nilai komparatif yang dalam penerapannya harus dapat

28

berfungsi sebagai alat pembanding antara prestasi kerja seorang karyawan dengan

karyawan lain yang melakukan pekerjaan sejenis.

Metode penilaian prestasi kerja pada umumnya dikelompokkan menjadi 3

macam, yakni : (1) Result-based performace evaluation, (2) Behavior-based

performance evaluation, (3) Judgment-based performance evaluation.

1) Penilaian Performance Berdasarkan Hasil (Result-based performance

evaluation)

Tipe kriteria performance ini merumuskan performansi pekerjaan

berdasarkan pencapaian tujuan organisasi, atau mengukur hasil-hasil akhir

(end results). Sasaran performansi bisa ditetapkan oleh manajemen atau oleh

kelompok kerja. Tetapi jika menginginkan agar para pekerja meningkatkan

produktivitas mereka, maka penetapan sasaran secara partisipatif, dengan

melibatkan para pekerja, akan jauh berdampak positif terhadap peningkatan

produktivitas organisasi. Praktek penetapan tujuan secara partisipatif, yang

biasanya dikenal dengan istilah manajemen by objective (MBO), dianggap

sebagai sarana motivasi yang sangat strategis karena para pekerja langsung

terlibat dalam keputusan-keputusan perihal tujuan yang telah ditetapkan

sebelumnya. Para pekerja akan cenderung menerima tujuan-tujuan itu sebagai

tujuan mereka sendiri, dan merasa lebih bertanggung jawab untuk dan selama

pelaksanaan pencapaian tujuan-tujuan itu.

29

2) Penilaian Performansi Berdasarkan Perilaku (Behavior Based Performance

Evaluation)

Tipe kriteria performansi ini mengukur sarana (means) pencapaian

sasaran (goals) dan bukannya hasil akhir (end result). Dalam praktek,

kebanyakan pekerjaan tidak memungkinkan diberlakukannya ukuran-ukuran

performansi yang berdasarkan pada obyektivitas, karena melibatkan aspek-

aspek kualitatif. Jenis kriteria ini biasanya dikenal dengan BARS

(behaviorally anchored rating scales) dibuat dari critical incidents yang

terkait dengan berbagai dimensi performansi. BARS menganggap bahwa para

pekerja bisa memberikan uraian yang tepat mengenai perilaku atau

performansi yang efektif dan yang tidak efektif. Standar-standar dimunculkan

dari diskusi-diskusi kelompok mengenai kejadian-kejadian kritis di tempat

kerja. Sesudah serangkaian sesion diskusi, skala dibangun bagi setiap dimensi

pekerjaan. Jika tercapai tingkat persetujuan yang tinggi diantara para penilai

maka BARS diharapkan mampu mengukur secara tepat mengenai apa yang

akan diukur. BARS merupakan instrumen yang paling bagus untuk pelatihan

dan personil produksi dari berbagai departemen. Sifatnya kolaboratif,

memakan waktu yang banyak, dan biasa pada jenis pekerjaan tertentu, adalah

job specific, tidak dapat ditransferkan dari satu organisasi ke organisasi lain.

3) Penilaian Performansi Berdasarkan Judgement (Judgement-Based

Performance Evaluation)

Ini merupakan tipe kriteria performansi yang menilai dan/atau

mengevaluasi performansi kerja pekerja berdasarkan deskripsi perilaku yang

30

spesifik, quantity of work, quality of work, job knowledge, cooperation,

initiative, dependability, personal qualities dan yang sejenis lainnya. Dimensi-

dimensi ini biasanya menjadi perhatian dari tipe kriteria yang satu ini.

(1) Quantity of work, jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu

yang ditentukan;

(2) Quality of work, kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat

kesesuaian dan kesiapannya;

(3) Job knowledge, luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan

keterampilannya;

(4) Cooperation, kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain (sesama

anggota organisasi).

(5) Initiative, semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam

memperbesar tanggung jawabnya;

(6) Dependability, kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan

penyelesaian kerja;

(7) Personal qualities, menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah-

tamahan dan integritas pribadi (Gomes, 2001).

2.6.4 Hambatan Penilaian Kinerja

Penilaian yang dilakukan dengan baik sesuai fungsinya akan sangat

menguntungkan organisasi, yaitu akan dapat meningkatkan kinerja. Akan tetapi,

dalam proses melakukan penilaian kinerja yang baik terdapat beberapa tantangan

yaitu.

31

1) Kesalahan penilai

Proses penilaian tentu saja dilakukan oleh manusia yang tidak luput dari

kesalahan-kesalahan, yang dapat diakibatkan keterbatasan manusia dalam

melihat sesuatu. Ada beberapa kecenderungan kesalahan penilaian yang harus

diperhatikan yaitu,

(1) Hallo effect, penyimpangan yang terjadi karena pendapat pribadi/subyektif

penilai mempengaruhi penilaian kinerja, umumnya dipengaruhi oleh ciri-

ciri pegawai yang mengesankan seseorang sangat disukai atau tidak

disukai oleh penilai.

(2) The error of central tendency, penilai tidak senang memberikan penilaian

jelek atau baik kepada pegawai, sehingga cenderung menilai secara rata-

rata.

(3) The liniency and strictness biases, penilai terlalu lunak atau terlalu keras.

Terlalu lunak mengakibatkan penilai cenderung memberikan nilai terlalu

tinggi, dan terlalu keras mengakibatkan penilai memberikan nilai terlalu

rendah sehingga tidak mencerminkan pelaksanaan kinerja yang

sesungguhnya.

(4) Personal prejudice, penilaian didasarkan atau dipengaruhi oleh prasangka-

prasangka yang tidak baik terhadap suatu kelompok masyarakat, misalnya

suku atau jenis kelamin.

(5) The recency effect, penilai mendasarkan penilaiannya pada perilaku-

perilaku kerja yang paling akhir terjadi.

32

2) Ketidaksiapan penilai

Penilai mungkin tidak disiapkan untuk melakukan penilain sehingga

mengakibatkan penilai kurang percaya diri, keterbatasan pengetahuan

mengenai pekerjaan dan kurangnya waktu untuk melakukan penilaian.

3) Ketidakefektifan praktek dan kebijakan organisasi

Dalam hal ini terjadi tidak adanya reward penilai, kebiasaan yang terjadi

bahwa penilaian yang jelek terhadap bawahan berarti menunjukan kelemahan

atasan dalam membina bawahan. Kurangnya rasa tanggung jawab dari atasan

terhadap organisasi mengakibatkan munculnya ketidakpedulian akan kinerja

pegawai, yang mengakibatkan penilaian tidak dilakukan dengan baik.

4) Formulir penilaian yang tidak baik

Metode-metode penilaian biasanya menggunakan formulir penilaian, dan

sering kali formulir penilaian tersebut tidak jelas, tidak mencakup aspek utama

dari kinerja dan formulir yang kompleks atau rumit (Hariandja, 2002).

2.6.5 Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Kinerja

Mahmudi (2005) menyatakan variabel-variabel yang mempengaruhi

kinerja diantaranya adalah :

1). Faktor personal / Individu, meliputi: pengetahuan, keterampilan,

kemampuan, kepercayaan diri, motivasi dan komitmen yang dimiliki setiap

individu.

2). Faktor kepemimpinan, meliputi : kualitas di dalam memberikan dorongan,

semangat, arahan dan dukungan yang memberikan manajer dan team leader.

33

3). Faktor tim, meliputi kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh

rekan dalam sati tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kelompok

dan keeratan anggota tim.

4). Faktor sistem meliputi : sistem kerja, fasilitas kerja yang diberikan oleh

organisasi, proses organisasi dan kultur kinerja di dalam organisasi.

5). Faktor kontekstual (situasional), meliputi tekanan dan perubahan lingkungan

kerja eksternal dan internal.

Sutemeister dalam Srimulyo (1999) mengemukakan pendapatnya, bahwa

kinerja dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu :

1 ) Faktor kemampuan meliputi :

a. pengetahuan : pendidikan, pengalaman, latihan dan minat

b. keterampilan ; kecakapan dan kepribadian

2 ) Faktor motivasi meliputi :

a. kondisi sosial : organisasi formal dan informal, kepemimpinan

b. serikat kerja kebutuhan individu : fisiologis, sosial dan egoistik

c. kondisi fisik : lingkungan kerja.

Jadi dapat di simpulkan bahwa dimensi dimensi yang di pergunakan untuk

mengukur suatu kinerja yaitu: quantity of work, quality of work, job knowledge,

cooperation, initiative, dependability, personal qualities.