bab ii tinjauan pustaka 2.1 kanker 2.1.1 pengertian kanker ii .pdf12 atau jaringan di sekitarnya...

51
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker 2.1.1 Pengertian Kanker Kanker merupakan pertumbuhan abnormal dari sel-sel yang disebabkan oleh beberapa perubahan dalam ekspresi gen yang menyebabkan keseimbangan, disregulasi, proliferasi, dan kemati sel, dan pada akhirnya sel-sel tersebut berkembang menjadi populasi sel yang dapat menyerang jaringan dan bermetastasis ke sel atau jaringan lainnya, menyebabkan morbiditas, dan jika tidak ditangani akan menyebabkan kematian dari host (Ruddon, 2007). Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel abnormal mulai dari pertumbuhan pramaligna sampai ganas atau metastasis yang bersifat parasit pada manusia (Brooker, 2008). Kanker adalah pertumbuhan sel abnormal yang cenderung menyerang jaringan di sekitarnya dan menyebar ke organ tubuh lain yang letaknya jauh. Proliferasi sel yang tidak terkontrol terjadi pada sel kanker yang akhirnya menyebakan perubahan genetik secara krusial pada sel tersebut (Corwin, 2008). Berdasarkan uraian dari para ahli, dapat disimpulkan bahwa kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan pertumbuhan sel yang abnormal karena adanya perubahan dalam ekspresi gen, menyerang sel

Upload: hoangnhan

Post on 22-Jul-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker

2.1.1 Pengertian Kanker

Kanker merupakan pertumbuhan abnormal dari sel-sel yang

disebabkan oleh beberapa perubahan dalam ekspresi gen yang

menyebabkan keseimbangan, disregulasi, proliferasi, dan kemati sel, dan

pada akhirnya sel-sel tersebut berkembang menjadi populasi sel yang

dapat menyerang jaringan dan bermetastasis ke sel atau jaringan lainnya,

menyebabkan morbiditas, dan jika tidak ditangani akan menyebabkan

kematian dari host (Ruddon, 2007).

Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan

sel abnormal mulai dari pertumbuhan pramaligna sampai ganas atau

metastasis yang bersifat parasit pada manusia (Brooker, 2008).

Kanker adalah pertumbuhan sel abnormal yang cenderung

menyerang jaringan di sekitarnya dan menyebar ke organ tubuh lain yang

letaknya jauh. Proliferasi sel yang tidak terkontrol terjadi pada sel kanker

yang akhirnya menyebakan perubahan genetik secara krusial pada sel

tersebut (Corwin, 2008).

Berdasarkan uraian dari para ahli, dapat disimpulkan bahwa kanker

merupakan suatu penyakit yang disebabkan pertumbuhan sel yang

abnormal karena adanya perubahan dalam ekspresi gen, menyerang sel

12

atau jaringan di sekitarnya sehingga terjadi kerusakan, dan dapat

menyebabkan kematian.

2.1.2 Epidemiologi Kanker

Menurut data data International Agency for Research on Vancer

(IARC), ada sekitar 12,7 juta kasus baru kanker pada tahun 2008 di seluruh

dunia, di mana 5,6 juta terjadi di Negara ekonomi maju dan 7,1 juta pada

Negara berkembang. Estimasi pederita kanker pada tahun 2030 di seluruh

dunia mencapai 21,4 juta kasus baru, dan 13,2 juta kematian akibat kanker.

Estimasi kasus kanker yang menduduki peringkat pertama pada laki-laki

adalah kanker paru dan bronkus, pada wanita yang menduduki peringkat

pertama adalah kanker payudara (GLOBOCAN, 2012).

2.1.3 Etiologi Kanker

Etiologi penyebab kanker menurut Davey tahun 2006 dapat

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor genetik, faktor

kimia, virus atau organisme lain, faktor diet, paparan radiasi, dan beberapa

tidak diketahui penyebab pastinya.

a. Faktor genetik atau kanker yang diturunkan misalnya kanker

neuroblastoma (40% kasus), kanker payudara, neurotromatosis, kanker

kolon, tumor wilms, kanker ovarium, xeroderma pigmentosum.

b. Faktor kimia yang dapat menyebabkan terjadinya kanker antara lain asap

rokok yang dapat menyebabkan kanker paru, mulut, bibir, laring,

13

esophagus, kandung kemih, dan pankreas. Bahan kimia lain yang dapat

memicu terjadinya kanker adalah asbes, pewarna natraien, parasetamol

dengan dosis berlebih, asap rokok, hormon seks eksogen, afiatoksin, dan

alkohol.

c. Faktor diet pada kanker adalah diet yang menimbukan risiko tinggi

terjadinya kanker seperti diet yang kurang sayur, diet tinggi garam, nutrisi

berlebih, lemak dan daging yang berlebih, diet rendah polisakarida selain

pati, kandungan pengawet tinggi, rendah vitamin C.

d. Faktor paparan radiasi meliputi paparan radiasi radon terjadi secara alami,

sumber radioaktif alami, penggunaan radioaktif pada diagnose medis, dan

radiasi buatan manusia seperti radiasi senjata nuklir.

e. Virus atau organisme lain yang menyebabkan kanker diantaranya virus

Eipstein-Barr yang dapat menyebabkan kanker nasofaring, limfoma

Hodgkin. Hepatitis B/C, Helicobacter pylori, Human Papiloma Virus

(HVP),infeksi HIV yang dapat memicu terjadinya Kaposi (HHVB),

Limfoma (EBV) termasuk Non Hodgkin, dan serviks primer.

f. Faktor yang tidak diketahui penyebabnya sebanyak 30% dan idiopatik.

Etiologi kanker yang diungkapkan oleh Manuaba, Sudarsa, Wim de

Jong, Sukardja dalam Sjamsuhidajat, tahun 2007 umunya sama dengan yang

diungkapkan oleh Davey tahun 2005, yaitu bersifat multifaktorial. Namun, ada

beberapa faktor yang dijelaskan lebih rinci diantaranya parasit, inflamasi

kronik, hormon, serta penurunan imunitas.

14

a. Parasit

Keganasan yang disebabkan oleh parasit adalah keganasan pada bulu-

buli nontransisional, yang disebabkan oleh Schistosoma hematobium.

Keganasan ini banyak dijumpai di Mesir sepanjang sungai Nil.

b. Inflamasi Kronik

Kanker yang terjadi karena inflamasi adalah karsinoma kolorektal,

yang didahului dengan koitis ulseratif atau penyakit Crhon kronis, kanker

kulit seperti karsinoma sel basal atau sel skuamosa, sering didapatkan pada

pasien yang menderita xeroderma pigmentosum, suatu kelaianan gen

perbaikan DNA.

c. Peranan Hormon

Keterlibatan hormon dalam pencetus terjadinya kanker telah terbukti

secara klinis maupun eksperimental. Bukti eksperimental pada tikus, kanker

uterus lebih mudah terjadi pada tikus yang diberi sediaan esterogen, dan

pada manusia pemberian terapi esterogen pasca menopause memengaruhi

perkembangan karsinoma korpus uteri. Kanker clear cell carcinoma pada

vulva dan vagina anak perempuan berusia lebih dari 15 tahun disebakan

adanya pemberian terapi dietilstilbestrol (DES), yang digunakan untuk

mencegah terjadinya abortus. Selain itu, terdapat cacat bawaan pada alat

kelamin luar dan dalam anak lelaki serta perempuan.

d. Sunat dan Fimosis

Sunat atau sirkumsisi dapat mencegah terjadinya kanker penis, namun

sirkumsisi yang tidak lengkap menyebabkan fimosis. Smegma yang

15

tertimbun antara glands dan prepusium pada keadaan fimosis menyebabkan

iritasi kronik yang mungkin disertai balanopostitis. Iritasi setempat yang

berlangsung lama dan menahun ini dapat menybabkan kanker planoselular

di glans penis atau permukaan dalam prepusium.

e. Penurunan Imunitas

Penurunan imunitas yang biasa terjadi dipicu oleh tindakan medis yang

menyebabkan terjadinya penurunan imun seperti tindakan kemoterapi dan

pemberian kotikosteroid dalam jangka waktu yang lama, atau penyinaran

yang luas dapat menyebabkan kanker setelah sepuluh tahun atau lebih.

Kanker yang terjadi biasanya adalah limfoma maligna dan leukemia.

Imunosupresi oleh infeksi HIV menyebabkan tumor Kaposi.

2.1.4 Patofisiologi Kanker

Kanker terjadi diawali dengan adanya faktor-faktor yang

mencetuskan kanker yang dapat merusak DNA seperti kimiawi, radiasi,

dan virus. Zat-zat tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan sel, jika

perbaikan DNA pada sel-sel yang rusak gagal, maka terjadi mutasi genum

sel somatik. Mutasi ini menyebabkan terjadinya aktivasi onkogen-pemicu

pertumbuhan, inaktivasi gen supresor tumor, hal-hal tersebut menyebakan

terjadinya proliferasi sel yang tidak terkontrol.

Mutasi gen juga menyebabkan terjadinya perubahan pada gen yang

mengatir apoptosis, sehingga apoptosis menurun. Akibat adanya

proliferasi yang tidak terkontrol dan apoptosis yang menurun terjadilah

ekspansi klonal yang akan menyebakan terjadinya progresi tumor, progresi

16

tumor menjadi keganasan dipengaruhi oleh angiogenesis. Angiogenesis

didefinisikan sebagai pertumbuhan pembuluh darah baru. Proses ini sangat

penting untuk penyembuhan, pertumbuhan, perkembangan, dan

pemeliharaan. Faktor lain yang mempengaruhi keganasan adalah mutasi

tambahan dan imunitas. Sel kanker yang sudah terbentuk akan mengalami

invasi lokal, kemudian berkembang menjadi metastase ke jaringan atau

organ lainnya (Manuaba, Sudarsa, Wim de Jong, Sukardja dalam

Sjamsuhidajat, 2007).

2.1.5 Tanda dan Gejala Kanker

Tanda dan gejala pada kanker berbeda-beda menurut jenisnya.

Manifestasi klinis atau tanda dan gejala kanker menurut Manuaba,

Sudarsa, Wim de Jong, Sukardja dalam Sjamsuhidajat (2007)

diantaranya adalah lesi primer dapat berupa benjolan, plakat,

pembengkakan, atau luka, baik itu luka erosi atau ulkus pada kulit,

payudara, kelenjar gondok, mulut, otot atau organ dalam.

Infiltrasi dan pengerutan pengerutan dan penyusutan terjadi

karena adanya jaringan parut karena terjadi penyusupan atau infiltrasi

yang mengandung banyak jaringan ikat. Bendungan pembuluh darah

atau pembuluh limfe, edema di sekitar tumor, obstruksi, tampilan

gejala klinis yang terjadi saat obstroksi berupa ganguan alat yang

bersangkutan, misalnya ileus pada karsinoma kolon. Stridor dapat

terjadi akibat penyumbatan trachea oleh karsioma tiroid, atau

17

atelectasis lobus paru karena karsinoma bronkus menutup bronkus.

Ikterus di sekitar tumor, perdarahan dan nyeri.

Menurut gejala klinis yang ditimbulkan oleh kanker

dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu kelainan yang disebabkan

langsung oleh adanya masa tumor, dan kelainan fisiologis yang timbul

secara tidak langsung. Gejala klinis yang dapat terjadi dapat berupa

perubahan pada kebiasaan buang air besar ataupun kecil, ulkus yang

tidak sembuh, perdarahan atau pengeluaran secret abnormal, penebalan

atau benolan pada payudara atau tempat lainnya, kesulitan mencerna,

atau menelan, perubahan nyata pada kutil atau nevus, dan batuk atau

suara serak yang sangat mengganggu (Shires et al, 2000).

Menurut Carlson et al (2004) dalam Grassi & Riba, data yang

dikumpulkan dari 2071 pasien didapatkan lima penyebab yang paling

sering menimbulkan masalah yang terkait dengan distress pada pasien

kanker adalah kelelahan, mengantuk, nyeri, ketakutan adan kecemasan

akan masa depan.

2.1.6 Jenis-jenis Kanker

Kanker, karsinoma, atau sarkoma tumbuhnya menyusup (infiltratif)

ke jaringan sekitar sambil merusaknya (destruktif), dapat menyebar ke

bagian lain tubuh, dan umumnya fatal jika dibiarkan. Neoplasma jinak

memiliki batas yang tegas dan tidak menyusup, tidak merusak, tetapi dapat

terus membesar sehingga menekan jaringan disekitarnya dan umunya tidak

18

bermetastasis, contoh umum dari neoplasma jinak adalah limpoma

(Manuaba, Sudarsa, Wim de Jong, Sukardja dalam Sjamsuhidajat, 2007).

Gambar 2.1. Bagan perbedaan neoplasma dan non neoplasma (Sumber :

Manuaba, Sudarsa, Wim de Jong, Sukardja dalam Sjamsuhidajat tahun 2007)

Menurut Tambayong (2000) neoplasma diklasifikasikan menurut asal

selnya. Nama sel neoplasma berasal dari dua terminologi. Terminologi pertama

didasarkan pada tipe jaringan asal, dan yang kedua sufiks “-oma” (tumor) pada

bagian akhirnya. Berikut merupakan klasifikasi atau jenis maligna atau sel kanker

berdasarkan jenis sel terbentuknya kanker.

19

Tabel 2.1. Klasifikasi maligna atau sel kanker berdasarkan sel terbentuknya

Sel Maligna Sel Maligna

Epitel

a. Skuamosa

b. Sel basal

c. Glandular

d. Terpigmentasi

a. Karsinoma sel

skuamosa

b. Karsinoma sel

basal

c. Adenokarsinoma

d. Melanoma maligna

Jaringan penyambung

a. Fibrosa

b. Lemak

c. Tulang

d. Kartilago

e. Pembuluh

darah

f. Pembuluh

limfe

g. Sumsum

tulang

a. Fibrosarkoma

b. Liposarkoma

c. Osteosarkoma

d. Kondrosarkoma

e. Angiosarkoma

f. Limfangiosarkom

a

g. Mieloma multiple

h. Leukemia\Sarkom

a Ewig

Otot

a. Otot polos

b. Otot Rangka

a. Leimoisarkoma

b. Rabdomiosarkoma

Limfoid

a. Limfoma maligna

b. Limfosarkoma

c. Sarkoma sel

reticulum

d. Leukemia limfatik

e. Penyakit Hodgkin

Saraf

a. Pembungkus

saraf

b. Sel glial

c. Sel ganglion

d. Meninges

a. Neurofibrosarkoma

b. Glioblastoma

c. Meningioma

maligna

Sel darah lain

a. Eritrosit

b. Granulosit

c. Monosit

d. Sel plasma

e. Limfosit T

atau B

a. Pilisitemia vera

b. Leukemia mielogsitik

c. Leukemia monositik

d. Mieloma multiple

e. Leukemia limfositik.

(Sumber : Bullock, 1996, dalam Tambayong (2000).

Neoplasma juga dapat dibedakan berdasakan stadium perkembangannya,

ini bertujuan untuk menentukan seberapa jauh penyakit ini berkembang dan

menentukan pengobatan dan Survival rate ( Tambayong,2000). Berikut

merupakan tahap perkembangan sel kanker atau maligna.

20

Gambar 2.2. Tahap atau stadium neoplasma (Sumber : Tambayong (2000).

2.1.7 Terapi pada Kanker

Menururt Manuaba, Sudarsa, Wim de Jong, Sukardja dalam

Sjamsuhidajat (2007) perencanaan terapi kanker meliputi penentuan

apakah tumor hanya memerlukan tindakan bedah saja, atau memerlukan

modalitas terapi lain, baik sebelum (terapi prabedah/neo-adjuvant)

maupun sesudah bedah (terapi pasca bedah/adjuvant). Terapi sistemik pra

atau pasca bedah mempunyai target terapi yang kurang lebih sama yaitu

mencegah terjadinya mikrometastasis.

21

a. Terapi Pembedahan

Terapi pembedahan mempunyai berbagai fungsi, antara lain

sebagai alat diagnostik, staging, terapi definitif, profilaksis, paliatif,

atau kedaruratan onkologis, rekonstruktif, sitoreduktif/debulking, dan

sebagai persiapan untuk akses vascular.

b. Radioterapi

Radioterapi adalah penyinaran yang menyebabkan ionisasi

pada sasaran sehingga merusak DNA sel yang berada dalam salah satu

fase pembiakan sel dan menimbulkan apoptosis sel. Terapi radiasi

merupakan terapi setempat atau lokal

c. Terapi Paliatif

Terapi paliatif bertujuan mengobati dan menghilangkan

gejala yang menggangu kehidupan penderita sehari-hari. Terapi

paliatif terutama ditujukan pada penderita kanker yang sudah tidak

dapat diobati lagi dan diperkirakan akan meninggal dunia dalam waktu

yang relatif singkat. Masalah-masalah yang timbul pada penderita

kanker terminal adalah masalah sosioekonomi, psikologis, dan fisik.

Terapi paliatif yang penting menurut WHO adalah manajemen nyeri

yang baik. Dalam terapi paliatif, hal terpenting yang harus diperhatikan

adalah komunikasi yang baik, sikap suportif, saling percaya, empati,

dan simpati. Bimbingan rohani harus selalu dianjurkan bagi pasien dan

keluarga.

22

d. Terapi sistemik

Terapi sistemik terdiri dari tiga golongan , yaitu kemoterapi

menggunakan obat sitostatik, terapi hormon menggunakan sediaan

hormon dan antihormon, dan terapi imun. Umumnya terapi sistemik

diberikann melalui saluran cerna atau peredaran darah. Konsep

kemoterapi adalah membunuh sel kanker . Kemoterapi bekerja pada

tiap fase siklus sel. Pada umumnya kemoterapi bekerja pada siklus S

(sinteis DNA) dan sikuls M (mitosis). Semakin aktif sel tumor

berproliferasi (bersiklus) semakin sensitif sel tumor terhadap

kemoterapi. Pada umumnya, kemoterapi bekerja pada sel kanker

dengan menstimulasi apoptosis sel.

Menurut Davey (2006), kemoterapi bekerja dengan cara merusak DNA

dari sel-sel yang membelah cepat dan cara yang kedua adalah dengan merusak

apparatus spindel sel untuk mencegah terjadinya pembelahan sel, dan

menghambat sintesis DNA.

Kemoterapi menyebabkan mielosupresi sehingga menimbulkan risiko

infeksi (neutropenia) dan perdarahan (trombositopenia). Kerusakan memberan

mukosa menyebabkan nyeri pada mulut, diare, dan stimulasi zona pemicu

kemotaksis menimbulkan mual dan muntah. Jaringan yang membelah dengan

cepat seperti folikel rambut, epitel saluran germinal, menjadi menurun

sehingga menyebabkan kebotakan (alopesia) dan infertilitas. Banyak kasus

efek lanjut seperti keganasan sekunder juga ditemukan (Davey, 2006).

23

Efek kemoterapi dasarnya adalah pada sel tubuh yang aktif

berproliferasi, seperti sel darah, sel mukosa usus/mulut, sumsum tulang, dan

sel folikel rambut. Efek samping yang sering muncul meliputi mual dan

muntah, hiperpigmentasi kulit (jari, wajah), stomatitis, diare, enteritis, hand-

foot syndrome, alopesia, infeksi pada pasien immunocompromised), dan

penekanan terhadap sumsum tukang. Semua efek samping tersebut bersifat

reversible atau sementara. Kemoterapi juga berisiko memunculkan keganasan

baru, mulai lima tahun setelah pengunaannnya. Risiko ini tidak terlalu tinggi,

tetapi tetap ada seumur hidup. Sering terjadi resistensi tumor terhadap

kemoterapi. Efek ini dapat dihindari sebagian dengan pemberian kemoterapi

kombinasi beberapa obat yang berbeda mekanisme kerjanya, yang tidak

menyebabkan efek samping serupa dan dalam dosis yang lebih kecil

dibandingkan dengan penggunaan tunggal (Manuaba, Sudarsa, Wim de Jong,

Sukardja dalam Sjamsuhidajat (2007).

2.2 KECEMASAN

2.2.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan merupakan suatu respon emosional seperti ketakutan,

tekanan, dan rasa kegelisahan, untuk mengantisipasi suatu bahaya, dimana

sumber dari kecemasan tersebut tidak diketahui atau tidak dikenali.

Kecemasan dianggap patologis ketika mengganggu kelangsungan hidup,

keinginan untuk berprestasi dan mencapai tujuan, atau kepuasan, atau menjadi

alasan sebagai ketidaknyamanan emosional (Shahrokh & Hales, 2003 dalam

24

Tonwsend, 2008). Ansietas atau kecemasan merupakan suatu keadaan yang

berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya, kondisi ini

dialami secara subjektif dan dikumunikasikan dalam hubungan interpersonal,

dan tidak memiliki objek yang spesifik dan dianggap sebagai objek yang

berbahaya dan diperlukan untuk bertahan hidup (Stuart & Sundeen, 2005).

Kecemasan atau ansietas merupakan perasaan takut yang tidak jelas dan

tidak didukung oleh situasi. Ketika rasa cemas ada, individu akan merasa tidak

nyaman, takut, atau memiliki firasat akan ditimpa bahaya, sedangkan individu

tersebut tidak mengetahui kenapa perasaan tersebut muncul, dan stimulus

penyebab kecemasan tersebut tidak teridentifikasi dengan jelas (Comer, 1992

dalam Videbeck, 2008).

Definisi kecemasan dapat disimpulkan sebagai suatu respon emosional

individu seperti timbulnya rasa gelisah, tidak nyaman, perasaan akan

terjadinya bahaya, tanpa mengetahui objek atau sumber penyebab timbulnya

respon tersebut.

2.2.2 Etiologi dan Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kecemasan atau ansietas

menurut Stuart & Sundeen (2005) meliputi dua fator yaitu faktor

predisposisi dan fator stresor pencetus. Faktor-faktor tersebut adalah:

a. Faktor Predisposisi

Teori-teori yang dikembangkan untuk menjelaskan timbulnya

kecemasan adalah:

25

1. Teori psikodinamik

Teori ini menjelaskan bahwa ansietas atau kecemasan timbul

karena adanya koonflik adatara dua elemen kepribadian, yaitu id

dan superego. Id mencerminkan adanya dorongan insting dan

impuls primitif dari individu seseorang, sedangkan superego

merupakan hati nurani dan dikendalikan oleh norma-norma dan

budaya yang dianut oleh individu. Konflik yang terjadi antara id

dan superego ditengahi oleh ego atau aku, fungsinya adalah untuk

menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentanhgan tersebut,

dan fungsi ansietas adalah sebagai penanda atau pengingat bahwa

ada tanda dari bahaya.

2. Teori Intepersonal

Penjelasan timbulnya kecemasan akibat adanya rasa takut

terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.

Kecemasan juga dikaitkan dengan perkembangan trauma, seperti

perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kelemahan spesifik.

3. Teori perilaku

Menurut teori ini kecemasan merupakan suatu hasil dari

perasaan frustasi, yaitu segala sesuatu yang menggangu

kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Pakar lain menyebutkan bahwa kecemasan atau ansietas

26

merupakan suatu dorongan atau keinginan dari dalam individu

untuk belajar dengan tujuan menghindari kepedihan.

4. Teori Kajian Keluarga

Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan ansietas

merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Ada

tumpang tindih dalam gangguan ansietas antara gangguan ansietas

dengan depresi.

5. Teori Kajian Biologis

Kecemasan timbul karena otak mengandung reseptor khusus

untuk benzodiazepine. Reseptor ini mungkin membantu mengatur

ansietas. Penghambat asam aminobutiri-gamma nerogultor

(GABA) juga mungkin memainkan peran utama dalam mekanisme

biologis berhubungan dengan kecemasan, sebagaimana halnya

dengan endorphin. Selain itu, telah dibuktikan bahwa kesehatan

umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi

terhadap ansietas. Kecemasan mungkin disertai dengan gangguan

fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk

mengatasi stressor.

b. Stresor Pencetus

Stresor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau

eksternal. Stresor pencetus dapat dikelompokkan dalam dua kategori

yaitu: Ancaman terhadap integritas seseorang, hal ini meliputi

ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya

27

kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Ancaman

terhadap sistem diri seseorang yaitu, ancaman terhadap sistem individu

ini dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang

terintegrasi seseorang.

Teori lain yang disebutkan oleh Videbeck tahun 2008, menyebutkan ada dua

teori biologi dan psikodinamik. Berikut penjelasan tentang teori tersebut:

a. Teori biologi

1. Teori gentik

Teori ini mengungkapkan bahwa pewarisan sifat pada individu yang

mengalami kecemasan terjadi. Insiden gangguan panic mencapai 25%

pada kerabat tingkat pertama, dengan wanita berisiko dua kali lipat lebih

besar dari pada pria. Kembar monozigot memiliki concordance lima kali

lebih besar dari pada kembar dizigot (DSM-IV-TR, 2000). Dijelaskan lagi

oleh peneliti Horrwath dan Weissman (2000), suatu kemungkinan

“sindrom kromosom 13”. Kromosom ini dikatakan terlibat dalam

hubungan genetic yang mungkin pada gangguan panik, sakit kepala hebat,

dan masalah ginjal, kantung kemih, atau tiroid, atau prolapse katup mitral.

2. Teori Neurokimia

Asam gama-amino butirat (GABA) merupakan neurotransmiter asam

amino yang diyakini tidak berfungsi pada gangguan ansietas. Gaba , suatu

neurotransmitter inhibitor, berfungsi sebagai agen antiansietas alami

tubuh dengan mengurangi ekstabilitas sel sehingga mengurangi frekuensi

bangkitan neuron. Karena GABA mengurangi ansietas dan noreprinefrin

28

meningkatkan ansietas, diperkirakan bahwa masalah pengaturan

neurotransmitter ini menimbulkan gangguan ansietas.

Benzodiazepin merupakan obat kelas ansiolitik, yang membantu

mengurangi frekuenasi bangkitan sel dan mengurangi ansietas. Serotonin

(5-HT), neurotrasnmiter indolamin yag biasanya terlibat dalam psikosis

dan gangguan mood, memiliki banyak subtype, dan tipe 5-HT1a berperan

dalam terjadinya ansietas, juga memengaruhi agresi dan mood.

3. Teori psikodinamik

a. Intrapsikis atau psikoanalitis

Kecemasan yang dialami oleh seseorang merupakan mekanisme

pertahanan untuk mengendalikan kesadaran terhadap kecemasan itu

sendiri. Jika seseorang memiliki pikiran dan perasaan yang tidak tepat

sehingga meningkatkan perasaan ansietas, individu tersebut

menyimpan impuls yang tidak tepat tersebut ke dalam alam bawah

sadar sehingga impuls tersebut tidak dapat diingat kembali.

b. Teori Interpersonal

Teori ini menjelaskan bahwa kecemasan timbul dari masalah-

masalah dalam hubungan interpersonal. Pada Individu dewasa,

kecemasan timbul akibat dari kebutuhan individu tersebut untuk

menyesuaikan diri dengan norma dan nilai kelompok budayanya.

Semakin tinggi tingkat kecemasan yang dialami, semakin rendah

kemampuan untuk mengkomunikasikan dan menyelesaikan masalah,

29

dan semakin besar pula kesempatan untuk menderita gangguan

kecemasan.

c. Teori Perilaku

Para ahli menyatakan teori perilaku adalah bagaimana kecemasan

dipandang sebagai sesuatu yang diperlajari melalui pengalaman

individu. Namun sebaliknya, perilaku dapat diubah atau ditinggalkan

melalui pengalaman baru. Ahli teori perilaku percaya bahwa individu

dapat memodifikasi perilaku maladaptif tanpa memahami penyebab

perilaku tersebut. Mereka menyatakan bahwa perilaku yang

mengganggu kehidupan individu dapat ditiadakan atau ditingalkan

melalui pengalaman berulang yang dipandu oleh seorang ahli terapi

terlatih.

2.2.3 Tanda dan Gejala Kecemasan

Tanda dan gejala kecemasan menurut Stuart & Sundeen (2005) dibagi

menjadi respon fisiologis, perilaku, kognitif, dan afektif.

a. Respon fisiologis

1. Kardiovaskular

Pada sistem ini individu dapat mengalami palpitasi jantung berdebar,

tekanan darah meninggi dan mengalami respon parasimpatis diantaranya

adalah rasa mau pingsan, pingsan, tekanan darah menurun, dan denyut nadi

menurun.

30

2. Respirasi

Perubahan pada sistem pernapasan pada individu yang mengalami

ansietas atau kecemasan adalah napas cepat, napas pendek, tekanan pada

dada, napas dangkal, pembengkakan pada tenggorok, sensasi tercekik,

terengah-engah.

3. Neuromuskular

Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia,

tremor, rigiditas, gelisah, wajah tegang, kelemahan umum, kaki goyah,

gerakan yang janggal.

4. Gastrointestinal

Kehilangan napsu makan, menolak makan, respon parasimpatis antara

lain rasa tidak nyaman pada abdomen, mula, rasa terbakar pada jantung, dan

diare.

5. Traktus Urinarius

Sering berkemih dan tidak dapat menahan kencing.

6. Kulit

Pada kulit wajah terdapat kemerahan, berkeringat lokal atau setempat

(pada telapak tangan), gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat,

dan berkeringat seluruh tubuh.

b. Respon perilaku

Respon perilaku pada individu yang mengalami kecemasan antara lain

adalah gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, kurang

31

koordinasi, cenderung mendapat cedera, menarik diri dan hubungan

interpersonal, menghindar, hiperventilasi

c. Respon Kognitif

Respon kognitif pada kecemasan adalah dapat mengalami perhatian

yang terganggu, konsentrasi yang buruk, pelupa, salah dalam memberikan

penilaian, preokupasi, hambatan berpikir, bidang persepsi menurun,

kreativitas menurun, bingung, sangat waspada, kesadaean diri meningkat,

kehilangan objektivitas, takut kehilangan kontrol, takut pada gambaran

visual, takut cedera atau kematian.

d. Respon Afektif

Mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, ketakutan,

alarm, teror, dan gelisah.

2.2.4 Dampak kecemasan

Diagnosis kecemasan pada pasien dengan perawatan paliatif dapat

didukung dengan adanya beberapa respon somatik sebagai akibat dari

kecemasan itu sendiri. Respon somatik dari kecemasan diantaranya adalah

nyeri yang memburuk dan tidak dapat dijelaskan, insomnia, kehilangan nafsu

makan, atau peningkatan mual dan muntah. Respon nonsomatik (kognitif

atau psikologik) dari kecemasan yang dapat timbul pada pasien dengan

perawatan paliatif adalah keraguan dan ketidakmampuan untuk membuat

keputusan, konsentrasi yang buruk, pikiran yang tidak menyenangkan tentang

32

kanker, ketakutan akan kematian, dan ketergantungan pada orang lain (Quill

& Miller, 2014).

Kuebler, Heidrich, & Esper (2007) masalah-masalah yang dapat

ditimbulkan akibat adanya kecemasan meliputi masalah fisik, masalah medis

ataupun masalah yang berpengaruh terhadap psikososial, emosional dan

spiritual dari individu. Dampak kecemasan tersebut dijelaskan sebagai

berikut :

a. Dampak kecemasan pada fisik

1. Setiap gejala yang tidak bisa dihilangkan seperti rasa nyeri atau

dipsnea.

2. Proses yang mendasari (hipoksia dan sepsis)

3. Reaksi obat yang merugikan seperti akatsia (haloperidol), psikosis

(kortikosteroid), atau toksisitas (meperidin)

4. Obat-obatan atau zat withdrawal (alkohol, antikonvulsan,

benzodiazepine, nikotin, dan opioid.

5. Delirium yang aktual atau yang mungin terjadi.

b. Masalah medis yang dikaitkan dengan kecemasan adalah

1. Kardiovaskular : angina, aritmia, penyakir valvular, gagal jantung

kongestif, infraksi miokardial.

2. Keseimbangan cairan dan elektrolit : dehidrasi, hiponatremi,

hiperkalemia, hiperkalsemia, atau hipokalemia.

3. Endokrin : hipotiroid, hipertiroid, Cushing’s syndrome, penyakit

Addison, hiperparatiroid, abnormalitas kadar glukosa.

33

4. Pernapasan : hipoksia, pneumothoraks, emboli paru, penyakit paru

obstruksi kronis (PPOK), dipsnea, asma, sleep apnea, pneumonia.

5. Neurologi : ensepalopati, vertigo, delirium, serebrovaskular,

multiple sclerosis, transient ischemic attacks, hematoma.

6. Hematologi/ malignansi : beberapa metastasi ke otak, anemia,

pheochromocytoma.

7. Nutrisional : Anemia, defisiensi folat, defisiensi vitamin B12.

8. Obat dan efek samping pengobatan : contohnya , bronkodilator,

phenothiazines stimulant digunakan untuk menangkal efek sedatif

samping opioid: kafein, methylphenidate (Ritalin), amfetamin,

9. Beberapa proses infeksi contohnya pneumonia dan infeksi pada

saluran kemih.

c. Dampak kecemasan pada psikososial, emosional, dan spiritual

1. Reaksi normal pada situasi yang mengancam

2. Indikasi adanya gangguan kecemasan (Anxiety Disorder).

3. Ekspresi eksistensial pada duka cita spiritual.

(Kuebler, Heidrich, & Esper.2007).

2.2.5 Mekanisme Timbulanya Kecemasan

Kecemasan diawali dengan adanya stimulus dari internal dan

eksternal, stimulus tersebut akan diambil kembali oleh amygdala

kemudian dianalisis. Respon emosional yang didapatkan dari stresor akan

mestimulasi komponen stres dan sistem dopaminergic. Adanya stimulasi

34

tersebut menyebabkan neuron dari Corticotropin Releasing Hormone

((CRH) pada amygdala merespon adanya glukokortikoid dengan cara

merangsang terjadinya keccemasan (Tsigos & Chrousos, 1996 dalam

Parker, 2012).

Kecemasan dan ketakutan akan mengaktifkan respon dari sistem

saraf autonom yang mengaktifkan respon involunter dan otomatis

kemudian mempengaruhi sistem saraf parasimpatis (membalikan respon

stress) dan simpatis (menyiapkan tubuh untuk stress) kemudian muncul

reaksi fisik dari ketakutan dan kecemasan (Anxiety Carre UK, 2014).

2.2.6 Tingkat atau jenis kecemasan

Menurut Videbeck (2008), tingkat kecemasan dibedakan menjadi

empat, dan setiap tingkat kecemasan memiliki respon yang berbeda-beda

mulai dari respon fisik, kognitif dan emosional. Tingkat kecemasan

tersebut meliputi :

1) Kecemasan ringan (1+)

a. Respon Fisik : Ketegangan otot ringan, sadar akan lingkungan,

rileks atau sedikit gelisah, penuh perhatian, dan rajin.

b. Respon Kognitif : lapang persepsi luas, terlihat tenang, percaya

diri, perasaan gagal sedikit, waspada dan memerhatikan banyak

hal, mempertimbangkan informasi, tingkat pembelajaran optimal.

c. Respon Emosional : perilaku otomatis, sedikit tidak sabar, aktivitas

menyendiri, terstimulasi, dan tenang.

35

2) Kecemasan Sedang (2+)

a. Respon Fisik : Ketegangan otot sedang, tanda-tanda vital

meningkat, pupil dilatasi, mulai berkeringat, sering mondar-

mandir, memukulkan tangan, suara berubah bergetar, nada suara

meningkat, sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah,

nyeri punggung.

b. Respon Kognitif : lapang persepsi menurun, tidak perhatian secara

selektif, fokus terhadap stimulus meningkat, rentang perhatian

menurun, penyelesaian masalah menurun, pembelajaran terjadi

dengan memfokuskan.

c. Respon Emosional : tidak nyaman, mudah tersinggung,

kepercayaan diri goyah, tidak sabar, dan gembira.

3) Kecemasan Berat (3+)

a. Respon Fisik : Ketegangan otot berat, hiperventilasi, kontak mata

buruk, pengeluaran keringat meningkat, bicara cepat, nada suara

tinggi, tindakan, tanpa tujuan dan serampangan, rahang

menegang, menggertakan gigi, kebutuhan ruang gerak meningkat,

mondar-mandir, berteriak, meremas tangan, gemetar.

b. Respon Kognitif : lapang persepsi terbatas, proses berpikir

terpecah-pecah, sulit berpikir, penyelesaian masalah buuruk, tidak

mampu mempertimbangkan informasi, hanya memperhatikan

ancaman, preokupasi dengan pikiran sendiri, dan egosentris.

36

c. Respon Emosional : Sangat cemas, agitasi, takut, bingung, merasa

tidak adekuat, menarik diri, peyangkalan, ingin bebas.

4) Panik (4+)

a. Respon Fisik : flight, fight, atau freeze, ketegangan otot sangat

berat, agitasi motoric kasar, pupil dilatasi, tanda-tanda vital

meningkat kemudian menurun, tidak dapat tidur, hormone stress

dan neurotrasnmiter berkurang, mulut ternganga.

b. Respon Kognitif : persepsi sangat sempit, pikiran tidak logis,

tergangu, kepribadian kacau, tidak dapat menyelesaikan masalah,

fokus pada pikiran sendiri, tidak rasional, sulit memahami

stimulus eksternal, halusinasi, waham, ilusi mungin terjadi.

c. Respon Emosional : merasa terbebani, merasa tidak mampu, tidak

berdaya, lepas kendali, mengamuk, putus asa, marah sangat takut,

mengharapkan hasil sangat buruk, kaget, takut, lelah.

Menurut Shoemaker, N, 2005 dalam Kuebler, Heidrich, & Esper,

(2007) kecemasan dibedakan menjadi empat jenis, dan memiliki

manifestasi yang berbeda baik dari manifestasi fisik, emosional dan

kognitif, Tingkat kecemasan tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut:

37

Tabel 2.2. Tingkat kecemasan dan manifestasi klinis

Tingkat

kecemasan

Manifestasi

fisik

Manifestasi

emosional

Manifestasi kognitif

Ringan (Mild) Peningkatan

denyut nadi dan

tekanan darah

Afek positif Waspada, dapat

menyelesaikan masalah,

menyiapkan diri untuk

belajar atau menerima

informasi baru.

Sedang

(Moderate)

Peningkatan

tanda-tanda

vital,

ketegangan

otot, diaporesis

Tegang, dan

ketakutan

Perhatian fokus pada satu

objek, mungkin dapat

berkonsentrasi jika

diarahkan.

Berat (Severe) Fight or flight

respon, mulut

kering,mati rasa

pada

ekstremitas

distres Penurunan persepsi dan

sensori, dapat fokus hanya

pada detail, tidak dapat

menerima atau belajar

informasi yang baru

Panik (Panic) Perburukan dari

tanda dan gejala

dari kecemasan

berat

Benar-benar

merasa

terbebani

Mengabaikan isyarat

ekstternal, fokus pada

stimulus internal, tidak dapat

belajar

Sumber : Shoemaker, N, 2005 dalam Kuebler, Heidrich, & Esper, 2007

2.2.7 Pengukuran Tingkat Kecemasan

Tingkat kecemasan pada seseorang dapat diketahui dengan

menggunakan alat ukur (instrumen) kecemasan. Instrumen pengukuran

cemas ada berbagai macam yang sudah teruji validitas dan reabilitasya.

Instrumen-instrumen tersebut antara lain adalah Hamilton Rating Scale for

Anxiety (HRS-A), Beck Anxiety Inventory (BAI), Depression Anxiety and

Stress Scales (DASS).

Menurut Hawari (2008) HRS-A merupakan alat ukur kecemsan yang

terdiri dari 14 kelompok gejala kecemasan yang terdiri atas perasan cemas,

ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan

depresi, gejala somatik fisik dan sensorik,

38

gejala kardiovaskuler, gejala respiratori, gejala urogenital, gejala autonom,

dan tingkal laku saat wawancara. Responden diminta untuk menjawab 14

kelompok gejala tersebut dengan pilihan jawaban (skor) antara 0-4, yang

artinya 0 = tidak ada gejala sama sekali, 1 = 1 dari gejala yang ada, 2 =

separuh gejala yang ada, 3 = lebih dari separuh gekala yang ada, 4 =

semua gejala ada. Skor dari ke 14 kelompok gejala akan dijumlahkan dan

diinterpreatsikan, skor <14 = ridak ada kcemasan, 14-20 = kecemsan

ringan, 21-27 kecemasan sedang, 28-41 = kecemasan berat, dan 42-56 =

kecemasan berat sekali.

Instrumen BAI merupakan instrumen yang digunakan sebagai alat

ukur yang digunakan untuk megukur tingkat kecemasan dan terdiri dari 21

pertanyaan. Setiap pertanyaan pada BAI merupakan deskripsi singkat

mengenai gejala kecemasan, yaitu gejala subjektif misalnya tidak dapat

santai, gejala neurofisiologis misalnya mati rasa atau kesemutan, gejala

autonomy misalnya merasa panas atau gerah, dan gejala yang

berhubungan dengan panik yaitu sulit berkonsentrasi

Responden diminta menjawab 21 pertanyaan dengan pilihan

jawaban ( skor) 0 = tidak pernah dialami, 1 = gejala ringan ( mengalami

gejala tetapi tidak merasa terganggu), 3 = gejala berat ( sangat

mengganggu dengan gejala yang cukup dialami). Skor tersebut kemudian

dijumlahkan dan diinterpretasikan dengan kategori skor 0-7 = ridak cemas,

8-15 = cemas ringan, 16-25 = cemas sedang, dan 26-63 = cemas berat

(Leyfer et al, 2006).

39

Menurut Mc Dowell (2006) DASS merupakan instrument yang

digunakan oleh peneliti untuk menilai keparahan gejala inti depresi,

kecemasan, dan stress. Instrumen ini terdiri dari 42 pertanyaan atau

seperangkat skala subjektif yang dibentuk untuk mengukur status

emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stress. Setiap skala

subjektif tersebut terdiri atas 14 butir pertanyaan.

Selanjutnya, responden diminta menjawab 14 butir pertanyaan dari

masing-masing skala yang akan diukur dengan pilihan jawaban (skor) 0 =

tidak pernah dialami sama sekali, 1 = jarang dialami, 2 = sering dialami, 3

= selalu dialami. Setelah responden menjawab pertanyaan tersrbut, skor

dijumlahkan dan diinterpretasikan. Khusus untuk kecemasan , jumlah skor

0-7 = normal, 8-9 = ringan, 10-14 = sedang, 15-19 = berat, >20 = sangat

berat.

Instrumen BAI adalah istrumen baku yang sudah diuji validitas dan

reabilitanya. Hasil penelitian yang dilakukan bahwa BAI dapat

mencerminkan tingkatan kecemasan pada pasien yang mendapat

perawatan primer atau inap dan pasien rawat jalan yang mendapatkan

pengobatan.

Dari ketiga jenis intrumen tersebut, peneliti akan menggunakan

istrumen BAI sebagai istrumen untuk mengukur tingkat kecemasan pada

pasien yang menjalani kemoterapi. BAI dipilih sebagai istrumen karena

BAI dapat digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan pada remaja

40

sampai lansia. BAI mengandung deskripsi singkat tentang gejala

kecemasan yang dialami seseorang sehingga pengukuran tingkat

kecemasan dapat dilakukan dengan mudah dan dalam waktu relatif

singkat.

2.2.8 Terapi untuk Mengatasi Kecemasan

Menurut Hawari (2008), manajemen untuk mengurangi kecemasan

dapat dilakukan dengan:

a) Terapi Psikofarmaka

Obat-obatan yang digunakan adalah obat anticemas (anxiolityc)

dan obat antidepresi (antidepreant). Obat-obatan tersebut adalah

Diazepam, Clobazam, Bromazepam, Lorazepam, Buspirone HCL,

Methprobamate, Alprazolam, Chlordiazepoxide HCL, Oxazolam,

Hidroxyne HCL, Kava-kava rhizome adalah jenis obat anticemas.

Obat-obatan anti depresi diantaranya adalah Clomipramine HCl,

Imipramine, Amitriptyline, Doxepin, Maprotiline, Mianserin,

Amoxapine, Molobemide, Fluvoxamine maleate, opipramol diHCl,

fluoxetine HCl, Tranzodone,, Sentraline HCl (SSRI), Citalopram,

Mirtazapine, dan Tianeptine.

b) Terapi Somatik

Terapi ini diberikan pada orang yang mengalami kecemasan

dengan gejala somatic (fisik) seperti keluhan pada sistem pencernaan,

kardiovaskuler, pernapasan, urogenital, otot, dan tulang. Terapi

41

somatik berupa pemberian obat-obatan untuk mengurangi gejala

somatic yang timbul pada pasien.

c) Psikoterapi

Psikoterapi dalah terapi penunjang yang digunakan untuk

mengatasi kecemasan selain diberikan farmakoterapi, dan terapi

somatik. Psikoterapi diantaranya adalah terapi suportif, terapi re-

edukatif, re-kostruktif, kognitif, psikodinamik, perilaku, dan keluarga.

Tujuan dari terapi psikoterapi adalah untuk memperkuat struktur

kepribadian, kepercayaan diri, ketahanan, dan kekebalan baik fisik

maupun mental serta kemampuan beradaptasi dan menyelesaikan

stressor pada diri seseorang.

d) Terapi Psikoreligius

Terapi psikoreligius erat hubunganya dengan kekebalan dan

daya dalam menghadapai berbagai problem kehidupan yang

merupakan strsor psikososial. Terapi psikoreligius sudah banyak

diteliti, dan hasilnya menunjukkan bahwa komponen agama

menduduki tempat yang penting di dalam manajemen kecemasan.

e) Terapi Psikososial

Terapi psikososial bertujuan untuk memulihkan kembali

kemampuan adaptasi agar individu dapat kembali berfungsi secara

wajar dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah, di sekolah/kampus,

di tempat kerja, maupun di lingkungan pergaulan sosialnya. Terapi ini

tergantung dari jenis stesor psikososial yang dihadapi seseorang.

42

f) Konseling

Terapi-terapi yang digunakan dalam manajemen kecemasan

khususnya psikoterapi dilakukan melalui konseling. Konselor

memberikan konseling bukan hanya pada individu tetapi juga pada

keluarga, kawan dekat, suami/istri, dan anak atau anggota keluarga

lain. Konseling ini dilakukan secara terprogram baik dalam tahapan-

tahapan konsultasi, maupun frekuensi dari konsultasi yang dimaksud.

Menurut Jacobs & Gundling dalam Bradly, Jacobs, dan Gundling (2009),

terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi kecemasan dapat berupa

Complementary Altervative Medicine (CAM) yang digunakan sebagai kombinasi

terapi selain terapi utama pada pasien dengan gangguan kecemasan. Terapi-terapi

komplemter tersebut adalah:

a. Akupuntur

Akupuntur sering dikaitkan dengan perubahan fisiologis dan

biokimia pada sistem saraf seperti peningkatan dalam endomorphin-1, beta

endorphin, encephalin, dan tingkat serotonin. Banyak dari efek fisiologis

yang berhubungan dengan relaksasi dan analgesia.

b. Aromaterapi

Aromaterapi menyangkut penggunaan minyak atsiri yang penting

untuk penyembuhan. Aplikasi penggunaan aromaterapi diterapkan pada

kulit, dihirup, atau diencerkan pada vaporizer. Dalam penelitian-penelitian

yang telah dilakukan tidak ada bukti yang menunujukkan bahwa

43

aromaterapi adalah pengobatan yang efektif untuk gangguan kecemasan.

Namun, ada manfaat anxiolytic jangka pendek pada pasien rawat inap

yang diberikan terapi pijat yang dikombinasikan dengan aromaterapi.

c. Meditasi

Meditasi memungkinkan seseorang untuk secara sadar mengatur

perhatian mereka atau mengatur kesadaran. Jenis-jenis meditasi yang

biasanya digunakan di Amerika Serikat adalah concentration meditation

and mindfulness meditation, tujuan utama dari meditasi adalah

memusatkan perhatian pada satu objek, suara, gambar, atau napas

seseorang. Meditasi yang paling sering digunakan adalah relaxation

response and transcendental Meditation. Penelitian lain mengidentifikasi

lima uji klinis yang dilakukan secara acak mengevaluasi pengaruh dari

meditasi pada kondisi kecemasan dan menyimpulkan ada bukti yang

cukup mengenai efektivitas terapi meditasi untuk gengguan kecemasan.

d. Terapi Relaksasi

Terapi relaksasi meliputi rentang terapi yang mengutamakan

ketenangan rasa tenang dan kesejahteraan. Jenis terapi relaksasi yang

paling popular yang ditemukan oleh Herbert Bensin adalah relaksasi otot

progresif dan respon relaksasi. Teknik relaksasi mengajarkan pasien untuk

mengenali gejala kecemasan, seperti faktor pemicu terjadinya kecemasan

dan tanda kecemasan itu sendiri.

44

Menurut Medifocus (2011), terapi komplementer yang dapat digunakan untuk

memanagenemen kondisi pada pasien dengan penyakit-penyakit kronis seperti

kecemasan, nyeri kronis, gangguan tidur dan stress. Terapi-terapi tersebut adalah

Mind-body terapi yang sangat populer digunakan terapi tersebut meliputi meditasi,

hipnotis, guided imagery, dan terapi relaksasi. Jenis meditasi yang diketahui ada

dua yaitu concentration meditation dan mindfulness meditation.

a. Consentration Meditation adalah meditasi yang berfokus pada satu objek

misalkan mantra, yaitu sebuah kata yang diulang dalam waktu tertentu.

Contohnya adalah meditasi transcendental dan relaxation response.

b. Mindfulness Meditation adalah konsentrasi bukan hanya pada satu objek

atau mantra saja, fokus dari tipe meditasi ini adalah berbagai aspek

pengalaman manusia seperti sensasi fisik.

2.2.9 Kecemasan pada Pasien Kemoterapi

Kecemasan adalah suatu respon yang normal terjadi terhadap

adanya ancaman, ketidakpastian, dan kehilangan kontrol. Kecemasan

pada pasien kanker muncul pada saat dinyatakan menderita kanker, dan

kecemasan timbul karena menjalani proses pengobatan kanker yang

menyebabkan stres dan traumatis. Saat pertama kali mendapatkan

informasi mengenai diagnosis penyakitnya pasien bisanya merasa cemas

dan mudah tersinggung (Levenson,2011).

45

Kemoterapi adalah masalah utama dari distres emosional termasuk

kecemasan. Pengetahuan tentang toksisitas dapat menjadi penyebab

kecemasan sebelum dilakukannya kemoterapi, tapi pengulangan post-

infuse mual dan muntah sering menimbulkan stres yang terjadi pada pre-

infusi. Studi terbaru mengindikasikan bahwa kecemasan yang diantisipasi

(anticipatory anciety), memiliki kondisi yang sama terjadi pada beberpa

pasien dan saling mempengaruhi dengan antisipasi terhadap mual

(antisipatory nausea), yang masing-masing dapat saling meningkatakan

proses terjadinya kecemasan ataupun mual (Noyes & Saric, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Lutfa dan Maliya di Rumah Sakit DR.

Moewardi Surakarta, analisis dilakukan terhadap 44 psaien pada pasien

yang menjelani kemoterapi lebih dari tiga kali, faktor-faktor yang diduga

menyebabkan kecemasan adalah umur, pendidikan pasien, frekuensi

dilakukan kemoterapi, dan tingkat adaptasi.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa uji regresi yang

dilakukan dengan melihat nilai p terkecil dari seluruh nilai p yang

dianalisis diidapatkan nilai variabel adaptasi mempunyai nilai p terkecil

yaitu 0,012. Interpreatsi nilai p pada variabel tingkat adaptasi adalah

variabel adaptasi pasien yang paling mempengaruhi kecemasan pada

pasien yang menjalani kemoterapi (Lutfa & Maliya, 2008).

46

Namun pada analisis statistik didapatkan usia pasien juga

mempengaruhi secara signifikan terhadap tingkat kecemasan pada pasien.

Dari hasil penelitin ini dapat diketahui juga bahwa pasien yang memiliki

tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki tingkat kecemasan yang relatif

lebih rendah (Lutfa & Maliya, 2008).

Penelitian mengenai dampak kecemasan pada pasien kemoterapi juga

dilakukan oleh Winie et al, peneltian ini dilakukan pada pasien kanker

wanita, hasil dari penelitian ini menunujukkan bahwa presentasi

kecemasan dan depresi lebih besar dibandingkan dengan pasien kanker

yang menjalani radioterapi, kecemasan dan depresi memiliki efek

merugikan pada domain secara keseluruhan dan kualitas hidup wanita-

wanita yang menjalani terapi adjuvan untuk kanker payudara (Winie et all,

2010 ).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Breen, et al menemukan bahwa

prevalensi kecemasan didapatkan sebanyak 45% dan depresi 25% . Survei

ini dilakukan pada 192 pasien yang menjalani kemoterapi dengan berbagai

macam jenis kanker. Sindrom distres yang timbul antara lain gejala pada

gastrointestinal (mual, muntah, nyeri), malaise umum (kelelahan, merasa

lemah, sakit kepala), emosional (merasa depresi, merasa cemas), gejala

fisik umum (masalah pada mulut dan tenggorokan, napas pendek). Namun,

kelompok yang memberikan hubungan yang signifikan pada terjadinya

kecemasan adalah malaise umum, dan gejala lain tidak berkontibusi secara

sigifikan (Breen, et al, 2009).

47

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan yang

timbul pada pasien kemoterapi dipengaruhi oleh banyak faktor,

diantaranya adalah, usia, tingkat penidikan, adaptasi pasien, dan efek

samping yag timbul karena kemoterapi juga mempengaruhi kecemasan

pada pasien kemoterapi.

Mual dan muntah yang terjadi pada pasien dapat menimbulkan

kecemasan, dan sebaliknya kecemasan dapat menimbukkan mual dan

muntah pada pasien sebelum dilakukannya kemoterapi. Kecemasan pada

pasien kemoterapi juga mempengaruhi kualitas hidup pasien.

2.3 TERAPI NYANYIAN (CHANTING) MANTRA OM

2.3.1 Pengertian Terapi Nyanyian (Chanting) Mantra Om

Mantra adalah suatu suara, suku kata, kata, atau kelompok kata

yang terdiri kata-kata yang mempertimbangkan kekuatan atau kemampuan

untuk menciptakan transformasi. Dalam bahasa sansekerta, mantra terdiri

atas akar kata “man” yang berarti berpikir dan akhiran “tra” menunjukkan

peralatan atau instrument, jadi dapat diartikan mantra adalah instrument

dari pikiran (Macdonell, 192,dalam Whitney, 2003, dalam Gelfo, 2013 ).

Mantra umumnya dinyanyikan dan kadang diucapkan dalam acara ritual

seperti pemujaan, berdoa untuk penghormatan kepada Tuhan, dan untuk

mengurangi rasa ego diri dan meningkatnya perasaan terhubung dengan

Tuhan selama kehidupan (Gelfo, 2013).

48

Kata “mantra” dalam bahasa sansekerta diartikan sebagai sesuatu

yang membebaskan pikiran. Sebuah mantra adalah nyanyian dari kata atau

suara yang digunakan, bukan hanya mengacu pada artinya tapi pada

kualitas bunyi atau suara yang mengalunkan atau menyanyikannya

(Weiss,2008). Banyak orang yang baru dalam menjalani meditasi

mempunyai pemikiran tentang apa itu suara dengungan yang dibuat pada

saat orang-orang bermeditasi. Beberapa praktisioner meditasi

mengucapkan “Om” atau “Aum”. Om adalah ucapan yang menjadi suara

dari semua suara yang berasal dari satu sumber, kumpulan dari suara di

seluruh alam semesta (Nijar, 2014).

Nyanyian (Chanting) om adalah suatu jalan yang digunakan untuk

mencapai ketenangan sejati yang didapatkan dari mengucapakan atau

menyanyikan mantra OM. Chanting om membangkitkan kembali jiwa

manusia untuk sadar dan mengenali kembali Tuhan (Ray,2010). Dalam

yoga, chanting om dipercaya dapat menghubungkan jiwa pada alam

semesta. Fisika moderen menyatakan bahwa alam semesta terbentuk dari

partikel-partikel dan gelombang-gelombang. Suara adalah gelombang

yang menciptakan partikel yang bergetar, sebaliknya goyangan partikel

dapat menghasilkan gelombang suara.(Brown & Patricia, 2012).

49

Chanting om adalah tradisi Hindu dimana menyanyikan kata OM

atau AUM. Kata itu diucapkan dengan membuka lebar mulut untuk

menciptakan A (AH) yang panjang yang muncul dari tenggorokan

belakang. Suara tersebut diikuti dengan meneruskannya melalui

pengucapan u (OO dengan bibir yang membulat) sampai mulut tertutup

rapat sambil dan terdengar suara M (Angelo, 2011). Chanting om adalah

suatu cara dimana mantra om dinyanyikan sehingga menghasilkan getaran

yang dirasakan oleh orang yang menyanyikannya. Chanting om

menciptakan gelombang suara dan dipercaya dapat menyadarkan diri

untuk mengenali dan merasakan Tuhan dan menghubungkan jiwa dengan

alam semesta.

2.3.2 Tahapan Terapi Nyanyian (Chanting) Mantra Om

Menurut Brown & Patricia (2012) tahapan dari chanting om ada

tujuh tahapan, suara om biasanya dinyanyikan pada notasi rendah

dibandingkan notasi tinggi. Vibrasi dari notasi yang tinggi cenderung diam

pada tenggorokan dan kepala, dimana notasi yang rendah menghasilkan

vibrasi yang lebih baik dan menyentuh tubuh. Tahapan tersrbut meliputi:

a. Chanting om dapat dilakukan dalam berbagai posisi. Untuk

meningkatkan kemampuan diri dalam merasakan vibrasi, dapat

diawalai dengan mengambil posisi duduk pada kursi.

b. Duduk pada kursi dengan posisi tulang belakang lurus, kaki dalam

keadaan nyaman dan lurus. Menapak pada lantai, tangan istirahat.

50

Tutup mata dan ambil napas pelan sebanyak dua kali, tarik napas

melalui hidung dan keluarkan melalui mulut.

c. Ambil napas dalam secara perlahan, dan ketika napas dihembuskan

keluar, nyanyikan om secara perlahan dengan nada rendah :

o…o…o…o…m…m…m…

d. Ucapkan kata “AUM” dalam tiga bagian suara :

a….a….a….o..o…o..m..m…m…

e. Tutup mata dan ulangi a…o…m… sebanyak tiga kali, menhentikan

suara tersebut setelah dirasakan ada tempat dalam tubuh di mana setiap

suara menciptakan vibrasi paling intens, biarkan mata tertutup setelah

pengucapan a…o…m… panjang, perhatikan bagaimana perasaan

anda.

Gambar 2.3. Posisi saat melakukan Terapi Nyanyian (Chanting) Mantra Om (Sumber :

http://thenoticeca.com/wp-content/uploads/2013/03/Sitting-Mountain.jpg )

51

Chanting om dilakukan dalam keadaan rileks, damai, dan dalam waktu dan

durasi yang nyaman menurut seseorang, dan disesuaikan dengan gaya hidup.

Waktu dan durasi tidak masalah dalam melakukan chanting om baik itu lima atau

30 menit, hal penting yang harus diperhatikan adalah tentukan waktu yang

diinginkan dan lakukan setiap hari, dan lakukan sampai waktu yang ditentukan

habis (Ray, 2010). Tahapan dalam melakukan chanting om menurut (Ray, 2010).

adalah

a. Duduk dengan nyaman, dengan punggung yang tegak dan tangan tangan

disatukan, mata tertutup,

b. Pikirkan menyanyikan kata “O-o-oM-m-m,” perlahan dan seirama dengan

pernapasan.

c. Jangan berusaha untuk menganggu pernapasan normal

d. Panjang nyanyian tergantung dari lama pernapasan, jika mempunyai

pernapasan yang panjang maka pengucapan dapat panjang, namun jika

pernapasan pendek maka pengucapan juga pendek.

e. Jika dirasaksan sudah cukup mengucapkan dalam pikiran maka, dapat

diawali dengan nyanyian secara perlahan.

f. Awali dengan menarik napas dalam, kemudian ketika menghembuskan

perlahan nyanyikan mantra om.

g. Setelah dirasakan waktu untuk chanting om cukup maka rasakan sensasi

yang dirasakan setelah melakukan chanting om.

52

Menurut Angelo (2011) chanting om, dengan cara:

a. Duduk pada posisi meditasi, atau duduk pada kursi dengan kaki

disilangkan pada lantai, dengan tangan yang diistirahatkan, punggung dan

leher lurus dan buat posisi senyaman mungkin

b. Ambil tiga kali napas dalam, tubuh rileks saat menarik dan

menghembuskan napas.

c. Pada napas dalam selanjutnya, nyanyikan kata OM. Perhatikan seluruh

suara dari awal hingga akhir terdengar.

d. Bernapas dalam lagi dan ucapkan kata om sepanjang menghembuskan

napas, dan lakukan dengan keadaan yang nyaman.

Lakukan selama lima menit, jika dirasakan kurang, maka dapat dilakukan

selama sepuluh menit.

e. Kemudian nyanyikan mantra Om, perhatikan seolah-olah nyanyian om

tersebut dapat mengentuh samapai ke kening.

f. Fokuskan perhatian pada seluruh suara dari awal samapai akhir.

g. Lakukan selama lima menit dan rasakan kenyamanannya. Kemudian buka

mata perlahan, gerakkan jari-jari, dan gosokkan tangan bersamaan.

53

2.3.3 Manfaat Terapi Nyanyian (Chanting) Mantra Om

Chanting Om menyembuhkan di semua tingkatan, baik itu fisik,

emosional, mental, dan spiritual. Chanting om mempunyai efek untuk

penyembuhan dan memurnikan tubuh, pikiran, dan membangkitkan

semangat (Ray, 2010). Chanting om mengoreksi ketidakseimbangan

emosi dan fungsi otak yang penting (Brown & Gerbarg, 2012). Suara

mempunyai efek menyembuhkan, karena suara memproduksi vibrasi.

Vibrasi ini membawa energi yang dimunculkan dari sumber yang

menghasilkan energy tersebut (Nijar, 2014).

Chanting om telah dijadikan acuan untuk relaksasi, seperti meditasi

untuk mengurangi respon kecemasan dengan mengaktifkan struksur yang

terlibat dalam respon relaksasi seprti cingulate cortex, dorsolateral,

prefrontal, partial cortices, hippocampus dan temporal lobe. Chanting om

menenangkan emosi, dan membantu dalam mengambil keputusan.

Chanting om mempunyai efek positif yang besar pada tubuh dan jiwa.

Dengan melakukan Chanting om akan membantu dalam menghilangkan

kesulitan, dan menghilangkan agitasi, dan kecemasan (Rhoutman &

Ruhela, 2014).

54

2.3.4 Pengaruh Terapi Nyanyian (Chanting) Mantra Om dan Kecemasan

Penelitian tentang bagaimana Chanting Mantra Om dapat

menurunkan kecemasan dan organ apa yang dipengaruhi sehinggga dapat

menurunkan kecemasan. Salah satunya dilakukan oleh Kalyani et al

(2011). Penelitian yang dilakukan oleh Kalyani et al yaitu meneliti tentang

bagaimana Chanting Om dalam mempengaruhi otak, dan bagian mana saja

yang dipengaruhi. Kalyani et al meyakini adanya stimulus nervus vagus

dari vibrasi saat menyanyikan mantra OM yang memberikan efek positif

terhadap tubuh. Studi ini dilakukan pada 9 orang laki-laki yang tidak

memiliki masalah baik psikis maupun fisik, dengan rentang usia 22-39

tahun. Dalam penelitian ini peserta diinstruksikan untuk melakukan

Chanting Mantra Om tanpa tekanan dan interupsi. Pertama bagian huruf

O diucapkan selama 5 detik diikuti dengan konsonan M bagian selanjutnya

bagian OM diucapkan selama 10 detik. Studi elektrofisiologi mengenai

penggunaan Chanting OM, dan Chanting Om secara keras dipilih dalam

studi ini. Ini dilakukan utuk membantu dalam melakukannya secara

objektif selama fMRI seperti halnya untuk menimbulkan sensasi vibrasi

dan stimulasi nervus vagus melalui auricular braches , kondisi yang

digunakan sebagai kontrol adalah dengan mengeluarkan suara “ssssss….”

Dalam durasi yang sama yaitu 15 detik.

55

Hasil yang didapatkan dari pernelitian ini adalah tidak ada aktivasi

otak secara signifikan selama Chanting Om, namun ditemukan deaktivasi

secara signifikan dari amiglada, anterior cingulate gyrus, hippocampus

insula, orbitofrontal cortex, parahippocampal gyrus dan thalamus selama

Chanting Om. Kalyani et al (2011).

Amigdala, anterior cingulate gyrus, hippocampus insula,

orbitofrontal cortex, parahippocampal gyrus dan thalamus adalah bagian

dari sistem limbik, dan hipotalamus memiliki peran kunci dalam

pengaturan sistem limbik. Sistem limbik sendiri memiliki fungsi internal

yaitu pengaturan fungsi vegetatif otak dan pengaturan yang erat berkaitan

dengan pengaturan perilaku. Banyak fungsi perilaku yang dicetuskan dari

hiputalamus dan struktur-struktus limbik lainnya juga dijalarkan melalui

nuclei reticular di batang otak dan nukeli asosiasinya (Guyton & Hall,

2006).

Pakar Naad Yoga (suara yoga) menemukan bahwa ada 84 reflek

poin pada langit-langit atas mulut, yang terhubung dengan kelenjar

pituritary yang letaknya tidak jauh dan hipotalamus, yang mengasilkan

energi sejenis dengan meridian akupuntur. Ketika lidah menyentuh point

meridian tersebut dengan chanting, energi akan terbentuk seperti akupreser

dan menstimulasi pituitary dan hipotalamus, dan mempengaruhi kerja

endokrin dan sistem saraf (Khalsa, 2001: 115 dalam Gelfo, 2013).

56

Penelitian yang dilakukan oleh Rotham dan Ruhela (2014),

meneliti tentang pengaruh chanting mantra om terhadap tingkat kecemasan

pada pada 84 orang yang masuk dalam National Sports Organization

(NSO). Sampel dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok A mendapatkan

perlakuan chating ditambah musik, kelompok B mendapatkan perlakuan

tanpa musik, dan kelompok C tidak mendapatkan perlakuan. Namun

sebelum perlakuan ketiga kelompok melakukan latihan terlebih dahulu

selama 40 menit, seperti yoga, aerobic, atau kick boxing. Tingkat

kecemasan diukur sebelum intervensi dilakukan, kelompok A dan B

mendapatkan intervensi dengan durasi 20 menit selama delapan minggu.

Hasilnya adalah intervensi Chanting Om baik dengan musik atau tanpa

musik terbukti signifikan dapat menurunkan kecemasan.

Dengan hasil nilai P<0,005, sedangkan perbedaan penurunan

tingkat kecemasan pada grup A yang mendapatkan intervensi Chanting

Om dan musik dengan grup B yang mendapat intervensi Chanting Om

saja, didapatkan P< 0,001 dengan interpretasi tidak ada perbedaan yang

signifikan antara intervensi pada grup A dan B.

57

Daftar pustaka

Angelo, J. (2012). Self-Healing with Breathwork. US : Inner Traditions.

Breen, et al. (2009). Is Symptom Burden A Predictor of Anxiety and Depression

in Patients with Cancer About to Commence Chemotherapy?. Medical

Journal of Australia, (Online) Volume 190, Number 7.

https://www.mja.com.au/ diakses 30 Desember 2014.

Brown & Gerbarg. (2012). The Healing Power of Breath : Simple Techniques

Reduce Stress and Anxiety, Enhance Concetration, and Balance Your

Emotions. United States of America : Random House, Inc.

58

Copel, Linda C. (2007). Kesehatan Jiwa & Psikiatrik Pedoman Klinis Perawat.

Jakarta : EGC.

Davey,Patrick.(2005). At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga

Hawari, D.H. (2008). Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Cetakan Kedua, Edisi

Kedua. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Kalyani, et al. (2011). Neurohemodynamic Correlates of „OM‟ Chanting : A Pilot

Fuctional Magnetic Resonance Imaging Study. International Journal of Yoga

Volume 4 Number 1 (Online). http://www. ncbi.nlm.nih.gov diakses 1 Januari 2015.

Kuebler, Heidrich & Esper (2007). Palliative & End of Life Care. Missouri : Elsevier

Health Sciences, Inc.

Levenson, J.L. (2011). Textbook of Psychopsysiologic Disorder Psychiatric Care

of the Medically Ill. Arlington : American Psychiatric Publishing, Inc

Leyfer, Ruberg, and Borden. (2006). Examination of Util-ity of The Beck Anxiety

Inventory and It‟s Factors as Screener for Anxiety Disorder. Journal Of Anxiety

Disorder, Volume 20, Number 3 : 444-458.

Lutfa & Maliya. (2008). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Pasien

dalam Tindakan Kemoterapi di Rumah Sakit DR. Moewardi Surakarta Berita

Ilmu Keperawatan, Volume 1, No 4.

McDowell, I. (2006). Measuring Health : A Guide to Rating Scales and Quetionaries,

Third Edition. New York : Oxford University Press

59

Nijar, P. (2014). Everithing I Thought I Was & What I Came To Be. United

Satates of America : Xlibris LLC.

Noyes & Saric. (2006). The Anxiety Disorder. Cambridge : Cambridge University

Press

Parker, Rolland. S. (2012). Conscussive Brain Trauma Neurobehavioral Impairment and

Maladaptation Second Edition. US : CRC Press

Quill & Miller. (2014). Palliative Care and Ethics. New York : Oxford University

Press.

Ray, A. (2010). Om Chanting & Meditation.Uttarakhand : Inner Light Publisher.

Ruddon, Raymond W. (2007). Cancer Biology Fourth Edition. New York :

Oxford University Press

Shires et al. (2000). Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Jakarta :EGC

Tambayong, Jan. (2000). Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta :EGC

Weiss, G. (2008). The Healing Power of Meditation. California : Basic Health

Publication, Inc.

Winnie, et al.(2010). Anxiety, depression and quality of life among Chinese breast

cancer patients during adjuvant therapy. European Journal of Oncology

Nursing (Online), Volume 14, Issue 1

http://www.ejoncologynursing.com/issue/S1462-3889(10)X0002-3 diakses

30 Desember 2014

60

Bradly, Jacobs, dan Gundling. (2009).The ACP Evidance-Based Guide to

Complementary & Alternative Medicine..United States of America :

Scribe,Inc.

Medifocus . (2011). Medifocus Guidebook on : Complementary Cancer

Therapies.(Online) http://www.medifocus.com/2009/index.php?a=a

Diakses 10 Januari 2014.

Guyton & Hall. (2006). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC.

Dhansioa, Bhargav, dan Metri. (2015). Immediate Effet of Mind Sound

Resonance Technique on State Anxiety and Cognitive Function in Patients

Suffering from Generalized Anxiety disorder : A self Controlled Pilot

Study. International Journal of Yoga. Volume 8 , Issue 1(Online).

http://www.ijoy.org.in/article.asp?issn=0973-

6131;year=2015;volume=8;issue=1;spage=70;epage=73;aulast=Dhanso

ia Diakses 10 Januari 2015

61