bab ii tinjauan pustaka 2.1. hasil penelitian terdahulu · pdf filemewah, pajak bumi dan...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang terkait dengan perencanaan pajak dikutip
dari berbagai sumber :
a. Penelitian Fina (2005) yang berjudul “ Analisis Penerapan Perencanaan
Pajak untuk Meminimalkan Pajak Penghasilan Terutang Badan pada PT.
X”, diperoleh kesimpulan bahwa PT. X tersebut meminimalkan PPh
terutang badan dengan mengambil beberapa kebijakan yaitu pemilihan
metode pembukuan, pengelolaan transaksi yang berhubungan dengan
pemberian kesejahteraan karyawan. Kebijakan yang dilakukan oleh PT. X
telah tepat dan benar dalam menentukan transaksi mana saja yang tidak
boleh dijadikan biaya berdasarkan undang-undang perpajakan.
b. Penelitian Fajar (2005) yang berjudul “ Analisis Perencanaan Pajak untuk
Meminimalkan Beban Pajak yang Terutang pada PT. X”, menunjukan
bahwa perusahaan telah menyetorkan pajak penghasilan sesuai dengan
batas waktu yang ditentukan oleh fiskus. Perusahaan telah menghitung
pajak penghasilan terutangnya sesuai peraturan pajak yang berlaku.
Perusahaan juga telah melakukan koreksi fiskal terhadap beban dan
penghasilan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
2
2.2 Pajak
2.2.1 Pengertian Pajak
Pajak merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat sebagai
warga Negara Indonesia dalam pembiayaan Negara dan pembangunan
nasional. Oleh karena itu diperlukan kesadaran masyarakat untuk memenuhi
kewajiban perpajakan yang digunakan untuk membiayai dalam pelaksanaan
pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama.
Menurut Zain ( 2003 : 11), Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara ( yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Menurut Mardiasmo ( 2004 : 1), Pajak adalah iuran masyarakat kepada kas Negara berdasarkan Undang- undang ( yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik ( kontra prestasi ) yang langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Menurut Resmi ( 2003 : 1), Pajak adalah suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas Negara yang disebabkan oleh suatu keadaan , kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari Negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum.
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak
mempunyai ciri-ciri :
3
a. Pajak merupakan iuran masyarakat kepada Negara dan iuran yang
dimaksud adalah uang, non barang.
b. Pajak dipungut berdasarkan undang- undang yang sifatnya dapat
dipaksakan.
c. Pajak dipungut Negara oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
d. Pemerintah tidak memberikan balas jasa secara langsung kepada
masyarakat tapi melalui pembangunan yang dibiayai oleh pendapatan
Negara terutama dari pajak.
e. Pemungutan pajak diperuntukan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin
maupun pembangunan.
Pajak merupakan sumber pendapatan utama pemerintah yang
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum untuk
menyelenggarakan pemerintahan. Pajak diharapkan dapat digunakan untuk
membiayai pengeluaran pemerintah sebagaimana fungsi pajak itu sendiri.
2.2.2 Fungsi Pajak
Pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum,
akan tetapi, hal tersebut adalah bagian dari dua fungsi berikut, yaitu:
a. Fungsi Penerimaan (Budgetair)
4
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan
pengeluaran- pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh yaitu
dimasukannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.
b. Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
pemerintahan dalam bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh
pengenaan pajak yang tinggi atas barang mewah untuk mengurangi gaya
hidup konsumtif, pajak atas minuman keras untuk mengurangi konsumsi
masyarakat ke atas barang tersebut.
2.2.3 Pembagian Jenis Pajak
Secara umum pajak yang diberlakukan di Indonesia dapat dibedakan
dengan klasifikasi sebagai berikut :
a. Menurut Golongan
1. Pajak Langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat
dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung
wajib pajak yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan.
2. Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat
dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
b. Menurut Sifat
5
1. Pajak Subyektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subyeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan.
2. Pajak Objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan
objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh :
Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah.
c. Menurut Pemungut dan Pengelolanya
1. Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.
2. Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak
Reklame, Pajak Hiburan, dan lain- lain.
2.2.4 Asas Pemungutan Pajak
Asas pemungutan pajak merupakan acuan untuk melakukan
pemungutan pajak kepada wajib pajak. Dalam pemungutan pajak, terdapat
asas-asas pemungutan pajak yang dikenal dengan nama The Four Cannos
atau The Four Maxims (Waluyo, 2005: 13), dengan uraian sebagai berikut:
a. Equality (keseimbangan)
6
Pembebanan pajak di antara subjek pajak hendaknya seimbang dengan
kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di
bawah perlindungan pemerintah. Dalam hal equality ini tidak
diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi diantara sesama
wajib pajak. Dalam keadaan yang sama wajib pajak harus diperlakukan
sama dan dalam keadaan berbeda wajib pajak harus diperlakukan berbeda.
b. Certainty (kejelasan)
Pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak mengenal
kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini kepastian hukum yang
diutamakan adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan
ketentuan mengenai pembayarannya.
c. Convenience of payment (pemungutan yang tepat)
Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak,
yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan atau
keuntungan yang dikenakan pajak.
d. Economic of collections (penghematan pungutan)
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin,
jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak
itu sendiri. Karena tidak ada artinya pemungutan pajak jika biaya yang
dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.
7
2.3 Pajak Penghasilan
2.3.1 Pengertian Pajak Penghasilan
Undang- undang pajak penghasilan ini telah beberapa kali mengalami
perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang- undang Perpajakan
Republik Indonesia No.17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Undang-
undang Pajak Penghasilan mengatur pajak atas penghasilan ( laba ) yang
diterima atau yang diperoleh orang pribadi maupun badan.
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2004 : 46.1), Pajak Penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan.
Menurut Supramono (2005 : 20), Pajak Penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima/diperoleh dalam tahun pajak untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran Negara.
Menurut Suandy (Perpajakan 2,2006 : 81), Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam tahun pajak, apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak penghasilan
merupakan pajak yang dikenakan terhadap setiap penghasilan atau tambahan
ekonomis terhadap subjek pajak yang telah memenuhi kriteria. Sehingga
terdapat ketegasan bahwa apabila tidak ada subjek pajaknya, maka tidak dapat
dikenakan pajak penghasilan.
8
2.3.2 Subjek Pajak Penghasilan
Secara garis besar subjek pajak adalah pihak-pihak (orang maupun
badan) yang akan dikenakan pajak. Wajib Pajak adalah subjek pajak yang
telah memenuhi syarat-syarat objektif sehingga kepadanya diwajibkan pajak.
Dengan kata lain setiap Wajib Pajak adalah subjek pajak. Subjek pajak
tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Orang Pribadi
Kedudukan orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal
atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Orang pribadi tidak
melihat batasan umur dan juga jenjang sosial ekonomi, dengan kata lain
berlaku sama untuk semua (nondiscrimination).
b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak
Dalam hal ini, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak
yaitu ahli waris. Penunjukan warisan tersebut dimaksudkan agar
pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap
dapat dilaksanakan, demikian juga dengan tindakan penagihan
selanjutnya.
c. Badan
Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha atau tidak melakukan usaha. Badan terdiri dari
9
perusahaan reksadana yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk
lainnya, perseroan komenditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan bentuk apapun,
persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau
organisasi massa ataupun organisasi politik, lembaga dana pensiun dan
bentuk usaha uraian di atas terlihat bahwa yang dimaksud lainnya. Dari
dengan badan sebagai subjek pajak tidaklah semata yang bergerak dalam
bidang usaha (komersial), namun juga yang bergerak di bidang sosial,
kemasyarakatan dan sebagainya, sepanjang pendiriannya dikukuhkan
dengan akta pendirian oleh yang berwenang.
d. Bentuk Usaha Tetap
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau juga badan yang tidak didirikan
atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam UU PPh N0. 17 Tahun 2000
pasal 2 ayat 2, subjek pajak terdiri dari 2 (dua) jenis yakni:
a. Subjek pajak dalam negeri
10
Subjek Pajak dalam negeri adalah subjek pajak yang secara fisik memang
berada atau bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia.
b. Subjek pajak luar negeri
Termasuk sebagai subjek pajak luar negeri adalah sebagai berikut:
1) Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, ataupun berada di Indonesia namun tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia.
2) Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, ataupun berada di Indonesia namun tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Selain subjek pajak penghasilan, dalam pemungutan pajak penghasilan
juga harus berdasar pada objek pajak penghasilan yang akan dikenakan pajak.
11
2.3.3 Bukan Subjek Pajak Penghasilan
Dalam pemungutan pajak penghasilan harus juga diperhatikan adanya
elemen- elemen yang bukan merupakan subjek pajak penghasilan. Adapun
yang bukan merupakan subjek pajak penghasilan adalah sebagai berikut :
a. Badan perwakilan Negara asing
b. Pejabat- pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat
lain dari Negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada
mereka bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan
syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak memperoleh
penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara
yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik..
c. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan dengan syarat : Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut
dan organisasi tersebut tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian
pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran anggota.
d. Pejabat-pejabat perwakilan oraganisasi internasional yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
2.3.4 Objek Pajak Penghasilan
12
Objek pajak dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak dan
dasar untuk menghitung pajak terutang. Yang menjadi objek pajak
penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
Menurut pasal 4 ayat 1 Undang- undang No. 17 Tahun 2000 yang
termasuk penghasilan sebagai objek pajak antara dengan nama dan bentuk
apapun termasuk :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, premi asuransi jiwa dan asuransi
kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk
lainnya kecuali ditentukan dalam Undang- undang Pajak Penghasilan.
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan
c. Laba usaha
d. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta termasuk :
1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
13
2) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau
anggota.
3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambil alihan usaha.
4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus, satu derajat, dan badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi
yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya.
f. Bunga termasuk premi, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang.
g. Dividen dengan nama dan bentuk apapun, termasuk dividen dari
penghasilan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi.
h. Royalti
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
14
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah
l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
n. Premi asuransi
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak
2.3.5 Tidak Termasuk Objek Pajak penghasilan
Penghasilan yang tidak termasuk dalam kategori penghasilan dan tidak
dapat disebut sebagai objek pajak penghasilan antara lain :
a. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh suatu badan
atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah dan
para penerima zakat yang berhak.
b. Harta hibah yang diterima oleh :
1) Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus atau sederajat.
2) Badan keagamaan, badan sosial, pengusaha kecil termasuk koperasi
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
c. Warisan
d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal.
15
e. Pembayaran klaim dari perusahaan asuransi.
f. Dividen dari sebagian laba yang diterima oleh PT, Koperasi, Yayasan,
atau organisasi sejenis dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah, dari modal
pada badan yang didirikan di Indonesia dengan syarat :
1) Dividen berasal dari laba yang ditahan.
2) Bagi PT, BUMN, dan BUMD yang menerima dividen kepemilikan
saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari
jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar
kepemilikan saham tersebut.
g. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-
bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
h. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham, persekutuan firma, kongsi dan
perkumpulan.
i. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama
lima tahun sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
j. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura yang
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha dengan syarat :
1) Pengusaha kecil, menengah, atau menjalankan kegiatan dalam sektor-
sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia.
16
2.4 Pajak Penghasilan Pasal 23
2.4.1 Pengertian PPh Pasal 23
Pajak Penghasilan pasal 23 termasuk dalam kategori sebagai pajak
subjektif, artinya pajak dikenakan karena ada subjeknya yakni yang telah
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam peraturan perpajakan.
Menurut Harnantoy, (2000: 81), Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pajak yang diterima atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri dan badan usaha tetap (BUT) yang berasal dari: harta atau modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipungut Pajak Penghasilan Psl-21 dan yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subyek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, badan usaha tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya di Indonesia.
Menurut Atep dan Jajat, (2006: 127), Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pajak penghasilan dalam tahun berjalan yang dipotong berdasarkan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Psl-21 yang dibayarkan atau terutang oleh bedan pemerintah atau Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak penghasilan
pasal 23 merupakan pajak yang diterima atas penghasilan yang diterima oleh
Wajib Pajak dalam negeri dan badan usaha tetap (BUT) yang berasal dari:
harta atau modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang
telah dipungut Pajak Penghasilan Ps-21 yang dibayarkan atau terutang oleh
badan pemerintah atau Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
17
2.4.2 Subjek Pajak Penghasilan Pasal 23
Berdasarkan ketentuan Pajak Penghasilan pasal 23, Subjek pajak yang
ditunjuk menjadi Wajib Pajak dari PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam
negeri atau bentuk usaha tetap yang memperoleh penghasilan yang berasal
dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah
dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dan bersifat final. Penghasilan
berupa bunga simpanan koperasi yang tidak melebihi batas yang ditetapkan
dengan menteri keuangan yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya tidak
dipotong Pajak Penghasilan.
Supaya ketentuan ini dapat dilaksanakan dengan baik dan dinamis
sesuai dengan perkembangan dunia usaha, maka Direktur Jenderal Pajak
diberi wewenang untuk menetapkan jenis-jenis jasa lain dan besarnya
perkiraan penghasilan netto. Dalam menetapkan besarnya perkiraan
penghasilan netto, Direktur Jenderal Pajak selain memenfaatkan data dan
informasi intern, dapat memperhatikan pendapat dan informasi dari pihak-
pihak yang terkait.
2.4.3 Objek Pajak Penghasilan Pasal 23
Berdasarkan Undang-undang Pajak No 17 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan, objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah:
18
a. Deviden dalam nama dan bentuk apapun, termasuk deviden dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi. Termasuk dalam pengertian deviden adalah:
1) Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan
nama dan dalam bentuk apapun.
2) Pembayaran kembali karena likuidasi.
3) Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk
saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham.
4) Pembagian laba dalam bentuk saham.
5) Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran.
6) Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau
diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham
oleh perseroan yang bersangkutan.
7) Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang
disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan,
kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan
modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah.
8) Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang
diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut.
9) Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi.
10) Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis.
11) Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi.
19
12) Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham
yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang.Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual
atas nilai nominalnya, sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi
dibeli di bawah nilai nominalnya.,Premi tersebut merupakan penghasilan
bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi
yan membeli obligasi.
c. Royalti.
Royalti pada dasarnya terdiri dari tiga kelompok:
1) hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, hak paten, hak
merek dagang, formula atau rahasia perusahaan.
2) Hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri,
komersial, dan ilmu pengetahuan, misalnya peralatan di industri
khusus seperti anjungan pengeboran minyak.
3) Informasi yang belum diungkapkan secara umum, meskipun belum
dipatenkan, cirinya informasi tersebut telah tersedia sehingga untuk
menghasilkan informasi tersebut tidak perlu melakukan riset lagi.
d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e oleh
penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
20
132 Tahun 2000 jo Keputusan Direktur Jenderal Pajak No Kep-395/
PJ/2001 yang dimaksud dengan hadiah di sini adalah sebagai berikut:
1) Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah undian, pekerjaan dan
kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah pertandingan oleh
raga dan lain-lain.
2) Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan
kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diberikan sehubungan
dengan penemuan bendabenda purbakala.
e. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi.
Bunga simpanan yang dibayarkan koperasi kepaddaa anggotanya terutang
Pajak Penghasilan yang bersifat final, batas bunga simpanan. koperasi
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522/KMK.04/1998 jo,
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-43/PJ4/1998 baik untuk
orang pribadi maupun badan yang tid dipotong Pajak Penghasilan Final
sebesar jumlah yang tidak melebihi Rp 240.000,00 setiap bulannya.
f. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
Penghasilan sewa adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh
sehubungan dengan penggunaan harta berger dan atau harta tidak
bergerak. Beberapa karakteristik dari sewa yaitu:
1) Adanya penyerahan harta dari pihak yang menyewak kepada pihak
yang menyewa untuk digunakan;
2) Adanya perjanjian baik lisan maupun tertulis; dan
21
3) Ada kenyataan bahwa terdapat transaksi sewa.
Ada beberapa macam sewa seperti sewa angkutan dan sewa selain
angkutan darat dan sewa tanah dan atau bangunan.
g. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/ PJ.222/1984
menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan:
1) Jasa teknik adalah pemberian jasa dalam. bentuk pemberian informasi
berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan
dan ilmu pengetahuan.
2) Jasa manajemen adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara
langsung dalam pelaksanaan manajemen dengan balas jasa berupa
imbalan manajemen (management fee).
3) Jasa konstraksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan pelaksanaan konstraksi, dan layanan jasa
konsultansi pengawasan konstruksi.
4) Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagai rangkaian
kegiatan perencanaan dan atau pelaksanaan beserta pengawasan yang
mencakup pekerjaan arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata
lingkungan masing-masing dengan kelengkapannya untuk
mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
22
2.4.4 Pemotong PPh Pasal 23
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pihak-pihak yang
membayarkan penghasilan, yang terdiri atas:
a. Badan pemerintah;
b. Subjek Pajak badan dalam negeri;
c. Penyelenggara kegiatan;
d. Bentuk usaba tetap;
e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya; dan
f. Orang pribadi sebagai WP dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan
dari Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak Pajak Penghasilan
Pasal 23. Sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-50/PJ/1994,
maka Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang sebagai pemotong
Pajak Penghasilan Pasal 23 meliputi:
1) Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang
melakukan pekerjaan bebas.
2) Orang pribadi yang menjalankan usaha dan menyelenggarakan
pembukuan.
2.4.5 Dasar Pemotongan PPh Pasal 23
Penghasilan berupa imbalan jasa yang wajib dilakukan pemotongan
pajak adalah jasa teknik, jasa manajemen jasa konstruksi, jasa konsultan, dan
jasa lain yang diterima atau diperoleh oleh WP selain jasa yang telah dipotong
23
pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Dasar pemotongan
pajak dibedakan menjadi dua, yaitu berdasarkan penghasilan bruto dan
perkiraan penghasilan netto.
a. Pemotongan pajak berdasarkan jumlah penghasilan bruto digunakan untuk
penghasilan yang berupa:
1) Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa
hasil usaha koperasi;
2) Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
3) Royalti;
4) Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e (oleh
penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan
dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
b. Pemotongan pajak berdasarkan perkiraan penghasilan neto digunakan
untuk penghasilan yang berupa:
1) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
24
2.4.6 Perkiraan Penghasilan Netto
Kewenangan menentukan perkiraan penghasilan neto jasa diatur oleh
Direktur Jenderal Pajak. Ketentuan mengenai perkiraan penghasilan neto yang
berlaku sekarang adalah didasarkan pada Keputusan Direktur Jenderal Pajak
No.Kep-170/PJ/2002 sebagai berikut:
Tabel 1: Perkiraan Penghasilan Netto
PERKIRAAN PENGHASILAN NETO
JENIS PENGHASILAN
1. 10% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
a. Jasa pembasmian hama dan jasa pembersihanb. Jasa kateringc. Jasa selain jasa-jasa yang tersebut di atas yang
pembayarannya dibebankan pada dana anggaran pendapatan belanja negara atau daerah
2. 20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat
3. 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor berdasarkan PP No. 5 tahun 2002 (perubahan dari PP 29/1996) dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat
4. 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
a. Jasa teknik dan jasa manajemenb. Jasa perancang/desainc. Jasa instalasi/pemasangan: kecuali dilakukan Wajib
Pajak yang ruang lingkup dan pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
d. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan : perawatan
25
bangunan kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin /sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi
e. Jasa pengeboran minyak (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap.
f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas.g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidan
penambangan selain migas.h. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan Bandar
Udara.i. Jasa penebangan hutan dan land clearing.j. Jasa pengolahan/pembuangan limbah.k. Jasa maklon.l. Jasa recruitment/penyediaan tenaga kerja.m. Jasa perantara.n. Jasa di bidang perdagangn surat-surat berharga
kecuali yang dilakukan BEJ, BES, KSEI, KPEI.o. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang
dilakukan KSEI tidak termasuk sewa gudang yang telah dikenakan Pajak Penghasilan Final berdasarkan PP No. 5 Tahun 2002*)perubahan dari PP 29/1996.
p. Jasa Telekomunikasi yang bukan untuk umum.r. Jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi
termasuk jasa internet.s. Jasa sehubunganl dengan software computer,
termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.5. 50% dari
jumlah bruto tidak termasuk PPN
a. Jasa profesi. b. Jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi. c. Jasa akuntansi dan pembukuan. d. Jasa penilai. e. Jasa aktuaris.
6.131/3% dari jumlah brutotidak termasuk PPN
Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jas perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air gas/AC/tv kabel, sepanjang pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikat sebagaipengusaha konstruksi.
7. 262/3% x PPh Bruto
a. Jasa perencanaan konstruksi. b. Jasa pengawasan konstruksi.
26
Sumber: Atep dan Jajat. 2006. Pemotongan - Pemungutan Pajak Penghasilan dan Kredit Pajak Luar Negeri. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. hal 138.
Setelah mengetahui apa yang dimaksud pajak penghasilan pasal 23,
subjek dan objek pajak penghasilan pasal 23, maka wajib pajak dapat
mengetahui apa yang menjadi dasar pajak itu dikenakan, pada umumnya pajak
penghasilan merupakan beban yang harus ditanggung oleh perusahaan yang
akan mengurangi laba bersih setelah pajak, sehingga wajib pajak berupaya
untuk meminimalkan beban pajak dengan cara melakukan perencanaan pajak
untuk mengoptimalkan laba perusahaan.
2.5 Perencanaan Pajak
2.5.1 Pengertian Perencanaan Pajak
Perencanaan pajak merupakan salah satu fungsi dari manajemen pajak,
dimana beban yang paling minimal dapat dicapai dengan perencanaan pajak
yang tepat dengan tidak melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku, baik
itu melalui penghematan pajak (Tax saving) maupun melalui penghindaran
pajak (Tax avoidance). Melalui perencanaan pajak yang baik perusahaan
dapat mengetahui besarnya jumlah pajak yang paling efisien yang harus
dibayarnya.
Menurut Erik dan Suwarta (2004 : 11), Perencanaan pajak (Tax Planning)merupakan salah satu fungsi tax managemen yang bertitik tolak pada usaha pencapaian efektivitas dan efisiensi dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
27
Menurut Suandy (2006 :7) Perencanaan pajak adalah tahap pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak.
Menurut Zain (2003 : 67), Perencanaan pajak merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya.
Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perencanaan
pajak secara garis besar adalah suatu proses organisasi usaha wajib pajak atau
kelompok wajib pajak sedemikian rupa, sehingga hutang pajaknya, baik pajak
penghasilan maupun pajak lainnya berada pada posisi paling efisien, sepanjang
hal itu mungkin dilakukan baik oleh peraturan perundangan perpajakan maupun
secara komersil. Perlunya perencanaan pajak sebenarnya berangkat dari hal yang
sangat mendasar dari sifat manusia, “kalau bisa tidak membayar, mengapa harus
membayar; kalau bisa membayar kecil, mengapa harus membayar lebih besar”.
Namun semuanya dilakukan dengan itikad baik dan dengan tidak melanggar
peraturan perpajakan.
2.5.2 Motivasi Dilakukan Perencanaan Pajak
Motivasi yang mendasari perencanaan pajak umumnya bersumber tiga
sistem perpajakan yaitu kebijakan perpajakan, undang-undang perpajakan,
28
dan administrasi perpajakan. Ketiga sistem tersebut terjadi menurut proses sesuai
dengan urutan waktu penyusunan sistem perpajakan.
a. Kebijakan Perpajakan
Kebijakan perpajakan merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang
hendak dituju dalam sistem perpajakan. Dari berbagai aspek kebijakan
pajak, terdapat sistem-faktor yang mendorong dilakukannya suatu
perencanaan pajak yaitu jenis pajak yang akan dipungut, subjek dan objek
pajak, sistem pajak, dan prosedur pembayaran pajak.
b. Undang-undang Perpajakan
Kenyataan menunjukan bahwa dimanapun tidak ada undang-undang yang
mengatur setiap permasalahan secara sempurna. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan lain ( Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, dan
Keputusan Direktorat Jendral Pajak). Tidak jarang ketentuan pelaksanaan
tersebut bertentangan dengan undang-undang itu sendiri karena
disesuaikan dengan kepentingan pembuatan kebijakan dalam mencapai
tujuan lain yang diinginkan. Akibatnya terbuka celah bagi wajib pajak
untuk menganalisis kesempatan tersebut dengan cermat untuk
perencanaan pajak yang baik.
c. Administrasi Perpajakan
Indonesia merupakan Negara dengan wilayah luas dan jumlah penduduk
yang banyak. Sebagai Negara berkembang, Indonesia masih mengalami
29
kesulitan dalam melaksanakan administrasi perpajakan secara memadai.
Hal ini mendorong perusahaan untuk melaksanakan administrasi
perpajakan secara memadai juga melaksanakan perencanaan pajak dengan
baik agar terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya
perbedaan penafsiran antara aparat fiskus dengan wajib pajak akibat
luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan �ystem informasi yang
belum efektif.
2.5.3 Jenis- Jenis Perencanaan Pajak
Perencanaan pajak merupakan salah satu cara untuk mengefisiensikan
beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak. Perencanaan pajak itu sendiri
dapat diklaifikasikan menurut jenisnya. Perencanaan pajak terdiri dari:
a. Perencanaan pajak nasional (national tax planning)
Perencanaan pajak nasional merupakan perencanaan pajak yang dilakukan
oleh wajib pajak dalam negeri yang tidak mempunyai kegiatan usaha di
luar negeri dalam upaya mengefisiensikan beban pajak dalam negeri.
b. Perencanaan pajak internasional (international tax planning)
Perencanaan pajak internasional merupakan perencanaan pajak yang
dilakukan oleh wajib pajak yang mempunyai kegiatan usaha diluar negeri
dalam upanya meminimalkan beban pajak dalam negeri dan di negara lain
yang mencakup kegiatan usahanya. Perbedaan utama antara perencanaan
pajak nasional dengan perencanaan pajak internasional adalah peraturan
30
pajak yang akan digunakan. Dalam perencanaan pajak nasional hanya
memperhatikan undang-undang domestik, tetapi dalam perencanaan pajak
internasional di samping undang-undang domestik juga harus
memperhatikan perjanjian pajak (tax treaty) dan undang-undang dari
negara yang terlibat. Dalam perencanaan pajak nasional (national tax
planning), pemilihan atas dilaksanakan atau tidaknya suatu transaksi
hanya bergantung terhadap transaksi tersebut. Artinya untuk
menghindari/mengurangi pajak, Wajib Pajak dapat memilih jenis transaksi
apa yang harus dilaksanakan sesuai dengan hukum pajak yang ada.
Berbeda dengan perencanaan pajak internasional (international tax
planning), yang dipilih adalah negara (yuridiksi) mana yang akan
digunakan untuk suatu transaksi.
Setelah mengetahui secara singkat mengenai perencanaan pajak serta
jenis-jenis perencaan pajak itu sendiri, maka wajib pajak harus mengetahui
tahap-tahap dalam perencanaan pajak.
2.5.4 Tahap- Tahap Dalam Perencanaan Pajak
Dalam globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin tajam, seorang
manajer dalam membuat suatu perencanaan pajak harus mempertimbangkan
adanya kegiatan yang bersifat nasional maupun internasional, maka agar
perencanaan pajak dapat berhasil sesuai yang diharapkan, maka rencana
31
tersebut seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap sebagai
berikut :
a. Menganalisis informasi yang ada (analysis of the exicting data base)
Tahap pertama dari proses pembuatan perencanaan pajak adalah
menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu
proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang harus
ditanggung. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan
masing-masing elemen dari pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun
secara total pajak yang harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan pajak
yang paling efisien. Penting juga untuk memperhitungkan kemungkinan
besarnya penghasilan dari suatu proyek dan pengeluaran- pengeluaran lain
di luar pajak yang mungkin terjadi.
b. Buat suatu model atau rencana besarnya pajak (design of one or more
possible tax plans)
Model perjanjian internasional dapat melibatkan satu atau lebih tindakan-
tindakan berikut :
1) Pemilihan bentuk transaksi operasi atau hubungan internasional. Pada
semua perencanaan perpajakan, paling tidak ada dua Negara yang
ditentukan lebih dahulu. Dari sudut perpajakan, proses perencanaan
tidak dapat berada di luar tahapan pemilihan transaksi, operasi dan
hubungan yang paling menguntungkan.
32
2) Pemilihan Negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau
menjadi residen dari Negara tersebut. Dalam rencana perpajakan
internasional mungkin dapat diperoleh perlakuan khusus dengan
memilih dua atau lebih kemungkinan investasi di Negara-negara yang
berbeda.
3) Penggunaan satu atau lebih Negara tambahan. Perencanaan pajak
internasional sebetulnya merupakan perluasan yang sederhana dari
perencanaan pajak nasional melalui penggunaan elemen asing.
Apabila paling tidak sudah ada satu elemen dari satu proyek,
perencanaan tambahan yuridiksi pajak untuk tujuan meminimumkan
peraturan pajak bisa lebih jelas dan sederhana untuk dicapai.
c. Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak
Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan yang merupakan bagian
kecil dari seluruh perencanaan strategi perusahaan, maka perlu dilakukan
evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan
pajak terhadap beban pajak (tax burden), perbedaan laba kotor dan
pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perencanaan.
d. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak
(debugging the tax plan)
Untuk mengatakan bahwa hasil suatu perencanaan pajak baik atau tidak,
tentu harus dievaluasi melalui berbagai rencana yang dibuat. Dengan
demikian, keputusan yang terbaik atas suatu perencanaan pajak harus
33
sesuai dengan bentuk transaksi dan tujuan operasi. Perbandingan berbagai
rencana harus dibuat sebanyak mungkin sesuai bentuk perencanaan pajak
yang diinginkan. Kadang- kadang suatu rencana harus diubah mengingat
adanya perubahan peraturan atau perundang- undangan. Tindakan
perubahan harus tetap dijalankan walaupun diperlukan penambahan biaya
atau kemungkinan keberhasilannya sangat kecil.
e. Memutakhirkan rencana pajak (updating the tax plan)
Meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek telah
berjalan, tetap perlu diperhitungkan setiap perubahan yang terjadi, baik
dari segi undang- undang meupun pelaksanaannya yang dapat berdampak
terhadap suatu komponen perjanjian. Pemutakhiran dari suatu rencana
adalah suatu konsekuensi yang perlu dilakukan sebagaimana dilakukan
oleh masyarakat yang dinamis. Dengan memberikan perhatian terhadap
perkembangan yang akan datang maupun situasi saat ini, seorang manajer
akan mampu mengurangi akibat yang merugikan dari adanya perubahan,
dan pada saat yang bersamaan mampu mengambil kesempatan untuk
memperoleh manfaat yang potensial.
2.5.5 Tujuan Perencanaan Pajak
Perencanaan merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan laba
bersih perusahaan dengan mengefisiensikan beban pajak. Strategi
mengefisiensikan beban pajak (penghematan pajak) yang dilakukan oleh
34
perusahaan haruslah bersifat legal, supaya terhindar dari sanksi-sanksi pajak
di kemudian hari. Tujuan perencanaan pajak dapat dilihat dari dua pendapat
berikut ini, yaitu :
Menurut Suandy (2006 : 7), Tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak (Tax burden) dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada tetapi berbeda dengan tujuan pembuatan Undang-undang.
Menurut Zain (2003 : 67), Tujuan perencanaan pajak adalah bagaimana pengendalian yang dilakukan oleh manajemen sehingga dapat mengefisienkan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (Tax avoidance) dan bukan penyelundupan pajak (Tax evasion) yang merupakantindakan pidana perpajakan yang tidak dapat ditolerir.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, tujuan dari perencanaan pajak
adalah upaya yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk menghemat beban pajak
yang akan dikeluarkan atau disetor kepada pemerintah, agar laba perusahaan
menjadi optimal.
Jika tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak
(tax burden) dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan
peraturan yang ada tetapi berbeda dengan tujuan pembuat undang-undang,
maka tax planning di sini sama dengan tax avoidance karena secara hakikat
ekonomis keduanya berusaha untuk memaksimalkan penghasilan setelah
pajak (after tax return) karena pajak merupakan unsur pengurang laba yang
tersedia baik untuk dibagikan kepada pemegang saham maupun untuk
diinvestasikan kembali. Dari tujuan perencanaan pajak, maka wajb pajak
dapat membuat strategi yang akan diterapkan dalam perencanaan pajak.
35
2.5.6 Strategi Perencanaan Pajak
Perencanaan merupakan fungsi utama manajemen. Secara umum
perencanaan merupakan proses penentu tujuan organisasi (perusahaan) dan
kemudian menyajikan (mengartikulasikan) dengan jelas strategi (program),
taktik (tata cara pelaksanaan program), dan operasi (tindakan) yang
diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan secara menyeluruh. Setiap
perubahan yang terjadi memerlukan respon strategi baik dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi.
Suatu perencanaan akan memiliki manfaat yang besar bila dapat
dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Strategi
yang dapat ditempuh untuk menghemat beban pajak secara legal menurut
Anonim (2002 : 3-4) antara lain:
a. Tax saving (penghematan pajak)
Upaya untuk mengefisiensikan beban pajak melalui pemilihan �ariff�tive
pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah.
b. Tax avoidance (penghindaran pajak)
Upaya mengefisiensikan beban pajak dengan cara menghindari dari
pengenaan pajak dengan mengarahkan pada transaksi yang bukan objek
pajak.
c. Penundaan beban pajak
Penundaan pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan tanpa melanggar
peraturan yang berlaku.
36
d. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan.
e. Menghindari pemeriksaan pajak dengan cara menghindari lebih bayar,
yaitu dengan cara:
1) Mengajukan pengurangan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 ke
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang bersangkutan. Apabila
berdasarkan estimasi diperkirakan dalam tahun pajak yang
bersangkutan akan terjadi kelebihan pembayaran pajak.
2) Mengajukan permohonan pemebebasan PPh Pasal 22 atas impor
apabila perusahaan melakukan impor.
f. Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan yang berlaku.
Dapat dilakukan dengan cara menguasai peraturan perpajakan yang
berlaku.
Strategi-strategi ini jika dapat dijalankan dengan baik, maka akan
menghasilkan perencanaan pajak yang baik pula dan tidak melanggar
peraturan perpajakan.
2.5.7 Strategi Perencanaan Pajak Dalam Rangka Mengefisienkan PPh Badan
Perencanaan pajak merupakan tindakan atau upaya yang dilakukan
oleh wajib pajak dalam rangka mengefisienkan PPh Badan. Upaya-upaya
yang dilakukan menurut Indonesian Tax Review (2002 :37) antara lain :
a. Pemilihan dasar pembukuan
37
Dasar pembukuan yang diakui Direktorat Jendral Pajak adalah basis
akrual (akrual basis) dan basis kas yang dimodifikasi (modified cash
basis). Basis akrual yaitu pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan
pada saat timbulnya transaksi, meskipun uangnya belum diterima atau
dibayar. Basis kas (cash basis) yaitu pendapatan dan biaya dicatat dan
dilaporkan pada saat terjadinya penerimaan dan pengeluaran uang.
Basis kas yang diakui oleh Direktorat Jendral Pajak atas pelaporan
pendapatan dan biaya dalam rangka menghitung PPh badan sebagai
berikut :
1. Penghitungan jumlah penjualan dalam satu periode harus meliputi
seluruh penjualan, baik yang tunai maupun kredit. Dalam menghitung
harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan
persediaan.
2. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang
dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan
hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
3. Biaya- biaya yang boleh dibebankan adalah biaya-biaya yang telah
dibayar.
Apabila dibandingkan dengan basis akrual dan basis kas menurut versi
perpajakan, yang berbeda hanya biaya administrasi dan umum. Pada basis
akrual biaya administrasi dan umum dibebankan pada saat timbulnya
kewajiban, sedangkan pada basis kas , biaya tersebut dibebankan pada saat
38
terjadinya pembayaran. Dengan demikian, dari sisi efisiensi beban pajak
lebih menguntungkan memilih basis akrual.
b. Pengelolaan transaksi yang berhubungan dengan pemberian kesejahteraan
karyawan.
Strategi efisiensi PPh Badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan
karyawan ini tergantung pada kondisi perusahaan, sebagai berikut :
1) Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak yang telah
dikenakan criter tertinggi (diatas Rp.100.000.000, 00) dan pengenaan
PPh Badan yang tidak final, diupayakan seminimal mungkin
memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan
kenikmatan karena pengeluaran ini tidak dibebankan sebagai biaya.
2) Pada perusahaan yang dikenakan PPh Badan secara final, diupayakan
secara minimal memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam
bentuk natura karena pemberian natura dari pemberi kerja merupakan
objek PPh pasal 21 sedangkan dari sisi perusahaan, biaya-biaya
pemberian natura tersebut tidak mempengaruhi besarnya PPh Badan
karena PPh Badan Final dihitung dari persentase atas penghasilan
bruto sebelum dikurangi dengan biaya-biaya.
3) Pada perusahaan yang rugi, merubah pemberian natura/kenikmatan
menjadi tunjangan hanya akan menaikan PPh pasal 21, sementara PPh
Badan tetap nihil.
39
c. Pemilihan metode penyusutan aktiva tetap dan amortisasi atas aktiva tak
berwujud
Penyusutan dan amortisasi aktiva tetap atau aktiva tidak berwujud yang
diakui oleh fiskus sejak tahun 1995 terdiri dari 2 metode, yaitu :
1) Metode garis lurus
2) Metode saldo menurun
Penyusutan dengan menggunakan metode garis lurus akan menghasilkan
beban penyusutan yang sama tiap tahun. Penyusutan dengan
menggunakan saldo menurun akan menghasilkan beban penyusutan lebih
besar pada awal perolehan atau pembelian aktiva dan akan makin
menurun di tahun-tahun berikutnya tetapi pada akhir umur ekonomis
aktiva tersebut jumlah akumulasi penyusutannya akan sama. Penyusutan
metode saldo menurun ini menguntungkan wajib pajak dari segi likuiditas.
d. Transaksi yang berhubungan dengan withholding Tax
Dalam dunia usaha tidak jarang perusahaan memiliki transaksi yang
mengharuskan adanya pemungutan/pemotongan pihak ketiga dimana
pihak yang bersangkutan tidak bersedia dipotong pajaknya. Apabila
perusahaan tidak memotong withholding tax ( PPh Pasal 21, PPh Pasal 22,
PPh Pasal 23, PPh final, PPh Pasal 26), maka jika dilakukan pemeriksaan
oleh fiskus, perusahaan akan dikenakan kewajiban untuk membayar
withholding tax dimaksud dengan ditambah denda keterlambatan
40
penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak. Untuk mengatasi hal
tersebut dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu :
1) Perusahaan membayar withholding tax, pajak yang dibayarkan ini
tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
2) Nilai transaksi di gross-up, sehingga jumlah transaksi dalam kontrak
sudah termasuk pajak yang harus dipungut. Atas jumlah pajak yang
akan dibayar boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh Final
dan deviden.
e. Penyertaan pada Perseroan Terbatas dalam negeri
Penyertaan modal saham pada perseroan terbatas dalam negeri dapat
dilakukan atas nama perseroan atau perorangan. Apabila modal saham
atas nama perorangan, maka dividen yang diperoleh perorangan tersebut
merupakan objek PPh dan dikenakan pemotongan PPh pasal 23.
Apabila saham atas nama PT, Koperasi, BUMN, BUMD, maka penerima
dividen tersebut bukan objek pajak, sehingga tidak dikenakan pajak
sepanjang memenuhi persyaratan :
1) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan
2) Bagi PT, BUMN dan BUMD yang menerima dividen :
a) Kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% dari jumlah modal disetor.
b) Mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut diatas
(Pasal 4 ayat 3 huruf F undang-undang No.17 Tahun 2000).
41
f. Optimalisasi pengkreditan pajak penghasilan yang telah dibayar
Pajak penghasilan yang dapat dikreditkan antara lain PPh atas penghasilan
tanah atau bangunan bagi perusahaan yang tidak bergerak di bidang real
estate, PPh Pasal 22 atas impor, PPh pasal 22 atas pembelian BBM dari
pertamina untuk selain penyalur, PPh final luar negeri karyawan, PPh
Pasal 23 atas bunga dari non bank, criteri, PPh Pasal 24 yang dipotong
luar negeri.
g. Pengajuan penurunan lump-sum Pajak Penghasilan Pasal 25
Apabila kita mengangsur PPh Pasal 25 tetapi seperti tahun lalu
dikhawatirkan pada akhir tahun berjalan akan terjadi kelebihan
pembayaran pajak. Untuk mengatasinya, mulai bulan april tahun yang
bersangkutan, perusahaan dapat mengajukan permohonan penurunan
lump-sum PPh Pasal 25 dengan disertai proyeksi laba akhir tahun dan
criteri terjadinya penurunan laba.
h. Pengajuan SKB (Surat Keterangan Bebas) PPh pasal 22 dan PPh pasal 23
Untuk beberapa jenis withholding tax seperti PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 (
yang tidak termasuk PPh final) dapat diajukan permohonan SKB oleh
wajib pajak yang memenuhi criteria.
2.5.8 Rekonsiliasi Laporan Keuangan dan Koreksi Pajak
Adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi
komersil dan fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya
42
penghasilan kena pajak. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan
kepentingan antara akuntansi komersil yang mendasarkan laba pada konsep
dasar akuntansi yaitu penandingan antara pendapatan dengan biaya-biaya
terkait, sedangkan dari segi fiskal , wajib pajak harus mengacu pada peraturan
perpajakan, sehingga laporan keuangan komersil yang dibuat berdasarkan
Standar Akuntansi Keuangan harus disesuaikan/dikoreksi secara fiskal
terlebih dahulu sebelum menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
Perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan laporan
keuangan fiskal dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu :
a. Perbedaan waktu (timing differences) adalah perbedaan yang bersifat
sementara karena adanya ketidaksamaan waktu pengakuan penghasilan
dan beban antara peraturan perpajakan dengan Standar Akuntansi
Keuangan. Perbedaan waktu dapat dibedakan menjadi :
1) Perbedaan waktu positif
Apabila pengakuan beban untuk akuntansi lebih lambat dari
pengakuan beban untuk pajak atau pengakuan penghasilan untuk
tujuan pajak lebih lambat dari penghasilan untuk tujuan akuntansi.
2) Perbedaan waktu negatif
Apabila ketentuan perpajakan mengakui beban lebih lambat dari
pengakuan beban akuntansi komersial atau akuntansi mengakui
penghasilan lebih lambat dari pengakuan penghasilan menurut
ketentuan perpajakan.
43
b. Perbedaan tetap (permanent differences) adalah perbedaan yang terjadi
karena peraturan perpajakan menghitung laba fiskal berbeda dengan
menghitung laba menurut Standar Akuntansi Keuangan tanpa ada koreksi
di kemudian hari. Perbedaan tetap dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1) Perbedaan tetap positif, karena ada laba akuntansi yang tidak diakui
oleh ketentuan perpajakan dan pembebasan pajak.
2) Perbedaan tetap negatif, karena disebabkan adanya pengeluaran
sebagai beban laba akuntansi yang tidak diakui oleh ketentuan fiscal
Menurut Gunadi (2005: 201), beberapa penyebab perbedaan laporan
keuangan fiskal dan komersial diantaranya :
a. Perbedaan antara apa yang dianggap penghasilan menurut ketentuan
perpajakan dengan praktek akuntansi, misalnya : kenikmatan dan natura,
inter company dividen, pembebasan utang, dan penghasilan bentuk usaha
tetap karena atribusi force of attraction.
b. Ketidaksamaan pendekatan penghitungan penghasilan, metode depresiasi,
penerapan norma penghitungan, dan pemajakan dengan metode basis
bruto/netto.
c. Pemberian relief atau keringanan yang lain misalnya : rugi-laba pelaporan
aktiva, penghasilan hibah tidak kena pajak, perangsang penanaman dan
penyusutan dipercepat.
44
d. Perbedaan perlakuan kerugian misalnya : kerugian mancanegara atau harta
yang tidak dipakai dalam usaha.
Perbedaan laporan keuangan menurut pajak (fiskal) dan akuntansi
(komersial) tersebut pada waktunya akan dlakukan rekonsiliasi, sehingga
didapatkan laporan keuangan yang siap untuk dipublikaskan dan
dipertanggung jawabkan kepada para pemegang saham perusahaan maupun
investor.
2.6 Beban Pajak
2.6.1 Pengertian Beban Pajak
Bagi perusahaan pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang
diterima atau diperoleh dapat dianggap sebagai beban atau biaya dalam
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan maupun distribusi laba kepada
pemerintah.
Menurut IAI (2004:46.2) Beban pajak adalah jumlah agregat pajak kini
dan pajak tangguhan yang diperhitungkan dalam perhitungan laba
atau rugi pada satu periode.
Menurut Suandy (2001:5) Beban pajak merupakan pengakuan
perusahaan bahwa pajak merupakan suatu beban atau biaya di dalam
menjalankan usaha atau kegiatannya.
Berdasarkan kedua pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa beban
pajak adalah biaya yang harus dikeluarkan perusahaan didalam menjalankan
kegiatan usahanya pada satu periode.
45
Untuk dapat menentukan besarnya beban pajak, harus melakukan
penghitungan penghasilan kena pajak dengan benar dan tepat, maka wajib
pajak perlu memahami biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan
kena pajak (deductible expenses) berdasarkan undang-undang No.17 Tahun
2000 Pasal 6 dan biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
kena pajak (non deductible expenses) berdasarkan undang-undang No. 17
Tahun 2000 Pasal 9.
2.6.2 Biaya yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (Deductible
Expenses)
Biaya- biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah
sebagai berikut :
a. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
termasuk biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan
pekerjaan/jasa termasuk upah, dan lain-lain atau biaya-biaya yang
lazimnya disebut biaya sehari-hari yang dibebankan pada tahun
pengeluaran yang diperlukan.
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak atas biaya lain yang
mempunyai manfaat lebih dari 1(satu) tahun.
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan Menteri
Keuangan.
46
d. Kerugian karena penjualan/ pengalihan harta.
e. Kerugian karena selisih mata uang asing.
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia.
g. Biaya beasiswa, magang dan pelatihan.
2.6.3 Biaya yang Tidak Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (Non
Deductible Expenses )
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak
dalam negeri dan BUT ada biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan yaitu :
a. Pembagian laba dengan nama dan bentuk apapun seperti dividen termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis
dan pemegang sisa hasil usaha koperasi.
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota.
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang
tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi,
cadangan untuk usaha asuransi dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha
pertambangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
47
d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, dwiguna,
dan beasiswa yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika
dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai
penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali penyediaan makan
dan minum bagi seluruh pegawai serta penggantian imbalan dalam bentuk
natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
imbalan sehubungan pekerjaan yang dilakukan.
g. Harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan dan warisan
sebagaimana dimaksud dimuka, kecuali zakat atas penghasilan yang
nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki
oleh pemeluk agama islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
h. Pajak penghasilan
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib
pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
48
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan
dibidang perpajakan.
2.7 Kerangka Pemikiran
Secara singkat penelitian ini menerangkan bagaimana perencanaan
pajak dapat mengefisienkan pajak penghasilan terutang. Sehingga mengetahui
secara finansial perencanaan pajak dalam mengefisienkan pajak terutangnya,
dapat dilihat dari laporan rekonsiliasi keuangan komersil dengan fiskal dan
koreksi fiskal yang dilakukan perusahaan berdasarkan peraturan perpajakan
yang berlaku. Perencanaan pajak dapat dengan memanfaatkan celah-celah
peraturan perpajakan yang pada akhirnya akan menghasilkan penghematan
jumlah pajak yang akan dibayar ke fiskus.