bab ii tinjauan pustaka 2.1 geologi...

30
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Dalam bab ini akan dibahas mengenai geologi regional daerah penelitian, yang meliputi fisiografi regional, stratigrafi regional, struktur geologi regional, sejarah geologi regional dan sumberdaya geologi apa saja yang ada di daerah penelitian, yang disarikan dari para peneliti terdahulu. 2.1.1 Fisiografi Regional Secara umum Hamilton (1979), Sukamto (1975a; 1975b), dan Smith (1983) telah membagi wilayah Sulawesi ke dalam tiga bagian fisiografi (Gambar 2.1) yaitu : 1. Busur Vulkanik Neogen (Neogene Volcanic Arc), terdiri dari kompleks basement Paleozoikum Akhir dan Mesozoikum Awal pada bagian utara dan tengahnya, batuan melange pada awal Kapur Akhir di bagian selatan (Sukamto, 2000), sedimen flysch berumur Kapur Akhir hingga Eosen yang kemungkinan diendapkan pada fore arc basin (cekungan muka busur) (Sukamto, 1975a;1975c) pada bagian utara dan selatan, volcanic arc (busur vulkanik) berumur Kapur Akhir hingga pertengahan Eosen, sekuen batuan karbonat Eosen Akhir sampai Miosen Awal dan volcanic arc (busur vulkanik) Miosen Tengah hingga Kuarter (Silver dkk, 1983). Batuan plutonik berupa granitik dan diorit berumur Miosen Akhir

Upload: trannhi

Post on 11-Jun-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

Dalam bab ini akan dibahas mengenai geologi regional daerah penelitian, yang

meliputi fisiografi regional, stratigrafi regional, struktur geologi regional, sejarah

geologi regional dan sumberdaya geologi apa saja yang ada di daerah penelitian, yang

disarikan dari para peneliti terdahulu.

2.1.1 Fisiografi Regional

Secara umum Hamilton (1979), Sukamto (1975a; 1975b), dan Smith (1983)

telah membagi wilayah Sulawesi ke dalam tiga bagian fisiografi (Gambar 2.1) yaitu :

1. Busur Vulkanik Neogen (Neogene Volcanic Arc), terdiri dari kompleks basement

Paleozoikum Akhir dan Mesozoikum Awal pada bagian utara dan tengahnya,

batuan melange pada awal Kapur Akhir di bagian selatan (Sukamto, 2000),

sedimen flysch berumur Kapur Akhir hingga Eosen yang kemungkinan

diendapkan pada fore arc basin (cekungan muka busur) (Sukamto, 1975a;1975c)

pada bagian utara dan selatan, volcanic arc (busur vulkanik) berumur Kapur Akhir

hingga pertengahan Eosen, sekuen batuan karbonat Eosen Akhir sampai Miosen

Awal dan volcanic arc (busur vulkanik) Miosen Tengah hingga Kuarter (Silver

dkk, 1983). Batuan plutonik berupa granitik dan diorit berumur Miosen Akhir

4

hingga Pleistosen, sedangkan batuan vulkanik berupa alkali dan kalk-alkali

berumur Paleosen sampai Pleistosen. Sulawesi bagian barat memiliki aktifitas

vulkanik kuat yang diendapkan pada lingkungan submarine sampai terestrial

selama periode Pliosen hingga Kuarter Awal di bagian selatan, namun pada

Sulawesi Utara aktifitas vulkanik masih berlangsung hingga saat ini.

Gambar 2. 1 Pembagian jalur fisiografi Sulawesi (Smith, 1983)

5

2. Sekis dan Batuan Sedimen Terdeformasi (Central Schist Belt), tersusun atas fasies

metamorfik sekis hijau dan sekis biru. Bagian barat merupakan tempat terpisahnya

antara sekis tekanan tinggi dengan sekis temperatur tinggi, genes, dan batuan

granitik (Silver dkk, 1983). Fasies sekis biru mengandung glaukofan, krosit,

lawsonit, jadeit, dan aegerine.

3. Kompleks Ofiolit (Ophiolite), merupakan jalur ofiolit dan sedimen terimbrikasi

serta molasse. Pada lengan Tenggara Sulawesi (segmen selatan) didominasi oleh

batuan ultramafik (van Bemmelen, 1970; Hamilton, 1979; dan Smith, 1983),

harzburgit dan serpentin harzburgit (Silver dkk, 1983), sedangkan pada lengan

Timur Sulawesi (segmen utara) merupakan segmen ofiolit lengkap, berupa

harzburgit, gabro, sekuen dike diabas dan basalt, yang merupakan hasil dari

tumbukan antara platform Sula dan Sulawesi pada saat Miosen Tengah sampai

Miosen Akhir (Hamilton, 1979; Smith, 1983), serta batuan sedimen pelagos dan

klastik yang berhubungan dengan batuan ultramafik (Silver dkk, 1983).

Berdasarkan pembagian di atas, maka daerah penelitian terletak pada Jalur Sekis

dan Batuan Terdeformasi (Central Schist Belt). Jalur ini merupakan fasies

metamorfik sekis hijau dan sekis biru yang penyebarannya mulai dari Sulawesi

Tengah memanjang hingga Sulawesi Tenggara.

6

2.1.2 Stratigrafi Regional

Berdasarkan himpunan batuan, struktur dan umur batuan, terdapat 3 kelompok

batuan (Simandjuntak, 1983), pada daerah penelitian yaitu :

1. Batuan Malihan Kompleks Mekongga

Batuan malihan berderajat rendah (low grade metamorphic) ini merupakan batuan

alas di lengan tenggara Sulawesi. Batuan malihan kompleks Mekongga ini

diperkirakan berumur Permo-Karbon. Dan termasuk kepada batuan metamorf

fasies epidot-amfibolit. Batuan malihan ini terjadi karena adanya proses burial

metamorphism. Batuan penyusunnya berupa sekis mika, sekis kuarsa, sekis klorit,

sekis mika-amfibol, sekis grafit dan genes.

2. Kelompok Batuan Sedimen Mesozoikum

Di atas batuan malihan itu secara tak selaras menindih batuan sedimen klastika,

yaitu Formasi Meluhu dan sedimen karbonat Formasi Laonti. Keduanya

diperkirakan berumur Trias Akhir hingga Jura Awal. Formasi Meluhu tersusun

dari batusabak, filit dan kuarsit, setempat sisipan batugamping hablur. Formasi

Laonti terdiri atas batugamping hablur bersisipan filit di bagian bawahnya dan

setempat sisipan kalsilutit rijangan.

3. Kelompok Mollasa Sulawesi

Pada Neogen tak selaras di atas kedua mendala yang saling bersentuhan itu,

diendapkan Kelompok Molasa Sulawesi. Batuan jenis Molasa yang tertua di

daerah penelitian adalah Formasi Langkowala yang diperkirakan berumur akhir

Miosen Tengah. Formasi ini terdiri dari batupasir konglomerat. Formasi

7

Langkowala mempunyai Anggota Konglomerat yang keduanya berhubungan

menjemari. Di atasnya menindih secara selaras batuan berumur Miosen Akhir

hingga Pliosen yang terdiri dari Formasi Eemoiko dan Formasi Boepinang.

Formasi Eemoiko dibentuk oleh batugamping koral, kalkarenit, batupasir

gampingan dan napal. Formasi Boepinang terdiri atas batulempung pasiran, napal

pasiran, dan batupasir. Secara tak selaras kedua formasi ini tertindih oleh Formasi

Alangga dan Formasi Buara yang saling menjemari. Formasi Alangga berumur

Pliosen, terbentuk oleh konglomerat dan batupasir yang belum padat. Formasi

Buara dibangun oleh terumbu koral, setempat terdapat lensa konglomerat dan

batupasir yang belum padat. Formasi ini masih memperlihatkan hubungan yang

menerus dengan pertumbuhan terumbu pada pantai yang berumur Resen. Satuan

batuan termuda yaitu endapan sungai, rawa, dan kolovium.

2.1.3 Struktur Geologi Regional

Struktur geologi di Sulawesi didominasi oleh arah barat laut – tenggara yang

berupa sesar mendatar sinistral dan sesar naik (Gambar 2.2).

Sesar Palu–Koro memotong Sulawesi bagian barat dan tengah, menerus ke

bagian utara hingga ke Palung Sulawesi Utara yang merupakan batas tepi benua di

Laut Sulawesi. Jalur Sesar Palu – Koro merupakan sesar mendatar sinistral dengan

pergeseran lebih dari 750 km (Tjia, 1973; Sukamto, 1975), arah gerak sesuai dengan

jalur Sesar Matano dan jalur Sesar Sorong. Sesar Sadang yang terletak di bagian barat

dan sejajar dengan Sesar Palu berada pada lengan Selatan Sulawesi, menghasilkan

8

lembah Sungai Sadang dan Sungai Masupu yang sistemnya dikontrol oleh sesar

mendatar (Hamilton, 1979).

Sesar Gorontalo merupakan sesar mendatar dekstral (Katili, 1969; Sukamto,

1975) yang berlawanan arah dengan Sesar Palu – Koro dan pola sesar sungkupnya

memperlihatkan arah yang konsekuen terhadap platform Banggai – Sula sehingga

memberikan gambaran adanya kemungkinan kompresi mendatar yang disebabkan

oleh dorongan platform Banggai – Sula kearah barat.

Gambar 2. 2 Struktur utama di Sulawesi, Hamilton (1979)

9

Sesar Matano merupakan sesar mendatar sinistral berarah barat laut – timur

memotong Sulawesi Tengah dan melalui Danau Matano, merupakan kelanjutan dari

Sesar Palu ke arah timur yang kemudian berlanjut dengan prisma akresi Tolo di Laut

Banda Utara.

Sistem Sesar Lawanopo berarah barat laut – tenggara, melewati Teluk Bone dan

Sulawesi Tenggara. Sesar ini kemungkinan berperan dalam pembukaan Teluk Bone,

seperti pembukaan yang terjadi di daratan Sulawesi Tenggara yang merupakan zona

sesar mendatar sinistral Neogen. Sesar Lawanopo memisahkan mintakat benua

Sulawesi Tenggara pada lengan Tenggara Sulawesi dengan metamorf Sulawesi

Tengah.

Sesar naik Batui terletak pada bagian timur lengan Timur Sulawesi, merupakan

hasil dari tumbukan platform Banggai – Sula dengan Sulawesi yang menyebabkan

pergeseran secara oblique sehingga Cekungan Gorontalo menjadi terangkat.

Kompleks Pompangeo diduga telah beberapa kali mengalami masa perlipatan.

Perlipatan tua diperkirakan berarah utara – selatan atau baratdaya – timurlaut,

sedangkan lipatan muda berarah baratlaut – tenggara atau barat – timur, serta ada pula

yang berarah hampir sama dengan lipatan tua.

Perdaunan atau foliasi juga umumnya berkembang baik dalam satuan batuan

malihan Kompleks Pompangeo dan di beberapa tempat dalam amfibolit, sekis

glaukofan dan serpentin yang tersekiskan dalam Kompleks Ultramafik. Secara umum

perdaunan berarah barat – timur dan baratlaut – tenggara. Di beberapa tempat

perdaunan terlipat dan pada jalur sesar mengalami gejala kink banding.

10

Belahan umumnya berupa belahan bidang sumbu dan di beberapa tempat

berupa belahan retak (fracture cleavage). Belahan retak umumnya dijumpai dalam

batupasir malih dan batugamping malih. Secara umum bidang belahan berarah sejajar

atau hampir sejajar dengan bidang perlapisan; oleh karenanya belahan ini

digolongkan sebagai berjajar bidang sumbu.

Kekar dijumpai hampir pada semua batuan, terutama batuan beku (Kompleks

Ultramafik dan Mafik), batuan sedimen malih Mesozoikum, dan batuan malihan

(Kompleks Pompangeo). Dalam batuan Neogen kekar kurang berkembang. Sejarah

pengendapan batuan di daerah Sulawesi Tenggara diduga sangat erat hubungannya

dengan perkembangan tektonik daerah Indonesia bagian timur, tempat Lempeng

Samudera Pasifik, Lempeng Benua Australia dan Lempeng Benua Eurasia saling

bertumbukkan.

2.1.4 Sejarah Geologi Regional

Pada Zaman Kapur, Cekungan Sulawesi Barat dan Sulawesi Timur dipisahkan

oleh palung yang merupakan zona subduksi bagian barat, menghasilkan magmatisma

(Miosen Awal) di Sulawesi Barat dan metamorfisma pada bagian barat Sulawesi

Timur (Sukamto dan Simandjuntak, 1981).

Pergerakan relatif berarah baratlaut dari benua Australia pada Kala Eosen (60-

40 juta tahun lalu), menghasilkan perpindahan lempeng Australia, mintakat Meratus

dan Sulawesi Barat yang tumbuh oleh akresi pada saat subduksi awal lantai samudera

11

Pasifik (Daly dkk, 1987) sehingga menghasilkan sedimen flysch di Sulawesi Barat

bagian selatan dan utara pada Kala Paleosen sampai Eosen.

Di bawah pengaruh pergerakan Lempeng Pasifik, busur vulkanik bergeser ke

arah barat dan kerak samudera menunjam ke bawah perputaran lengan Sulawesi

Utara dan di bawah Sulawesi Timur.

Pada Eosen Akhir, perubahan arah gerak Lempeng Pasifik dari utara-baratlaut

menjadi barat-baratlaut menghasilkan banyak lempeng-lempeng kecil di sebelah barat

Pasifik oleh transform utara-baratlaut dan zona rekahan yang merupakan zona

subduksi (Hilde dkk, 1977), diantaranya Lempeng Filipina yang memunculkan Busur

Filipina dan Sulawesi Barat (Seno dan Maruyama, 1984).

Subduksi di bagian selatan dari kerak Hindia-Australia yang terperangkap

dihentikan oleh tumbukan fragmen benua Australia (Buton dan Banggai-Sula)

dengan Sulawesi Timur. Buton merupakan bagian dari orogenesa akhir Tersier di

Sulawesi, pada saat itu Sulawesi aktif membentuk sistem subduksi di sebelah timur.

Pada Miosen Awal sistem busur kepulauan antara Australia dan Pasifik mulai

bertumbukan dengan paparan utara Australia sehingga mengakibatkan pergerakan

langsung dengan sistem lempeng Pasifik/Filipina ke arah barat. Pada saat yang sama

pemekaran Lempeng Pasifik bertambah (Hilde dkk, 1977) dan pemekaran Lempeng

Caroline berhenti (Weissel dan Anderson, 1978).

Tumbukan antara Australia Utara dan Pasifik menyebabkan terpisahnya

mikrokontinen Banggai-Sula dan Buton dari Kepala Burung dan terangkut ke barat

akibat rotasi Sulawesi Utara serta tarikan dari subduksi di Sulawesi Barat. Terjadinya

12

magmatisma berhubungan pula dengan proses tekanan batuan di Sulawesi Timur

akibat pergerakan ke arah barat dari mikrokontinen Banggai-Sula.

Pada Miosen Tengah fragmen Buton dan Banggai-Sula bertumbukan dengan

Sulawesi Timur dan kontaraksi dari tumbukan tersebut berakhir pada 15 juta tahun

yang lalu, sebagai bagian dari sabuk sesar naik yang ditutupi sedimen tak

terdeformasi (Kundig, 1956), lalu diikuti fase sesar mendatar mengiri berarah

timurlaut yang memotong sabuk sesar naik dan menempatkan Banggai-Sula pada

baratlaut.

Smith (1983), mengungkapkan model kinematik yang dapat menjelaskan

evolusi tumbukan di Sulawesi Timur yaitu:

1. Tumbukan terjadi antara dua fragmen benua yang terpisah (platform

Tukangbesi dan Sula) dengan Sulawesi.

2. Penyatuan secara oblique antara platform Sula dengan Sulawesi menghasilkan

tumbukan dengan arah pergerakan ke utara diawali dari Buton dan berakhir

pada Lengan Timur Sulawesi.

Rekonstruksi tentang dinamika platform Tukangbesi dan Sula (Gambar 2.3)

menurut Smith (1983) :

1. Fragmen Tukangbesi dan fragmen Sula merupakan fragmen benua yang berasal

dari paparan utara New Guinea (Irian Jaya) (Visser dan Hermes, 1962;

Hamilton, 1979). Pada Miosen Awal bertumbukan dengan muka busur

kepulauan bagian selatan (Jacques dan Robinson, 1977; Hamilton, 1979)

sehingga terlepas dan bergerak ke arah barat mengikuti jalur sesar mendatar

13

mengiri Sorong. Australia yang bergerak ke arah utara menuju Eurasia sejak

kala Eosen (Johnson dkk, 1976; Smith dkk, 1981) mendorong terjadinya

tumbukan antara fragmen Tukangbesi dengan Buton pada Miosen Tengah,

sedangkan fragmen Sula yang terlepas lebih akhir dibanding fragmen

Tukangbesi bertumbukan dengan Sulawesi di lengan Tenggara dan lengan

Timur pada Kala Miosen Akhir.

2. Tukangbesi dan Sula merupakan fragmen yang berbeda. Tumbukan antara

fragmen Sula yang merupakan fragmen benua dengan Sulawesi di Buton

dimulai pada Miosen Tengah dan terus bergerak ke utara sehingga bersentuhan

dengan lengan Timur Sulawesi pada akhir Miosen Akhir. Fragmen Sula

bergerak ke utara dan meninggalkan batuan sedimen yang terdeformasi kuat,

membentuk jejak tumbukan. Tukangbesi yang merupakan fragmen kerak yang

belum jelas bertumbukan dengan Buton pada Miosen Akhir, dan peristiwa ini

sebagai akibat dari berlanjutnya konvergensi Buton pada Miosen Tengah dan

Miosen Akhir.

3. Tukangbesi dan Sula merupakan fragmen benua yang pada awalnya bersatu.

Fragmen ini bertumbukan dengan Sulawesi pada Miosen Awal di Buton

sehingga terpecah dan bagian selatannya tertinggal sebagai platform

Tukangbesi, sedangkan bagian yang lainnya terus bergerak ke utara sebagai

platform Sula.

14

Tumbukan antara busur kepulauan Sulawesi dan platform Banggai-Sula

menghasilkan ofiolit di lengan Timur dan lengan Tenggara Sulawesi (Gambar 2.4).

Ofiolit lengan Timur Sulawesi (segmen utara) yang dihasilkan akibat tumbukan

antara platform Sula dan Sulawesi pada saat Miosen Tengah sampai Miosen Akhir

(Hamilton, 1979; Smith, 1983), merupakan sekuen ofiolit lengkap dan umumnya

merupakan kompleks ofiolit tektonik ekstensif. Ofiolit tersebut tersingkap di daerah

Poh Head yang didominasi oleh gabro dan diabas pada bagian bawah dari unit ofiolit

di bagian utara sesar naik Batui.

Gambar 2. 3 Rekonstruksi dinamika mintakat Tukangbesi dan Sula (Smith, 1983).

15

Berdasarkan penanggalan radiometri K-Ar pada gabro, dolerit dan basal, ofiolit

Sulawesi Timur berumur antara 93.4±2 dan 32.2±2 yang diinterpretasikan sebagai

indikasi lantai samudera Kapur dengan gunung bawah laut berumur Eosen atau

Oligosen (Simandjuntak, 1986). Ofiolit tersebut dibentuk oleh punggungan tengah

samudra Kapur Akhir – Eosen pada koordinat 17-24 LS (Surono & Sukarna, 1995).

Ofiolit Lengan Tenggara Sulawesi terdiri dari batuan ultramafik (van

Bemmelen, 1970; Hamilton, 1979; Smith, 1983) dan mélange yang dipisahkan oleh

Sesar Lawanopo dengan metamorf Sulawesi Tengah serta dipisahkan oleh Sesar

Labengke dengan sedimen karbonat paparan benua Zaman Paleogen. Ofiolit lengan

Tenggara Sulawesi (segmen selatan) didominasi oleh serpentin hasburgit (Silver dkk,

1983), hasburgit, batugamping, chert, serpih merah dan hornblenda (Silver dkk,

1983; Endharto & Surono, 1991).

Sekuen sedimen di Lengan Timur Sulawesi terdiri dari sekuen paparan benua

Trias – Paleogen yang terdiri dari sedimen klastik kaya karbonat dan kuarsa, sekuen

sedimen laut dalam yang terdiri dari rijang dan radiolaria kaya kalsilutit berumur

Kapur dan merupakan bagian dari ofiolit, serta sekuen sedimen klastik post-orogenic

Neogen atau tipe sedimen molasse yang diendapkan pada bagian atas kompleks

tumbukan dan terdiri dari material yang berasal dari kompleks basement benua yang

dicirikan dengan kehadiran fragmen vulkanik menengah-asam, fragmen kuarsit, K-

feldspar, muskovit, biotit serta genes dan sekuen ofiolit.

16

Tektonik selama Miosen Tengah telah membelokan Sulawesi Barat menjadi

bentuknya saat ini dan memunculkan metamorf pada bagian leher pulaunya (Sukamto

dan Simandjuntak, 1981). Banyaknya batuan karbonat tebal di bagian selatan

Sulawesi mengindikasikan paparan yang stabil selama Eosen sampai Miosen.

Kejadian tektonik pada Pliosen Awal merupakan tumbukan ke arah utara dari

paparan pasif Australia dengan Palung Sunda dan muka busur Banda (Audley dan

Charles, 1981). Kontraksi arah utara-baratlaut menghasilkan zona tegasan mendatar

dari utara Busur Banda di Sulawesi Selatan dan deformasi ini memotong sesar naik

yang lebih tua dan sesar mendatar berarah timur - timurlaut sebagai zona sesar Palu

dan Walanae. Kedua zona sesar tersebut berasosiasi dengan sesar naik dan struktur

ekstensional yang terletak di pusat vulkanik aktif Sulawesi (Berry dan Grady, 1986)

dan sesar Walanae bertanggung jawab untuk lahirnya Cekungan pull-apart Bone dan

depresi Walanae, Sulawesi Selatan.

2.2 Batuan Metamorf

Metamorf berasal dari kata “meta” yang artinya berubah dan “morf” yang

artinya bentuk. Jadi batuan metamorf adalah hasil dari perubahan-perubahan

fundamental batuan yang sebelumnya telah ada (batuan beku, sedimen, dan

metamorf) akibat mengalami proses metamorfosis.

Proses metamorfosis adalah proses perubahan yang terjadi pada batuan asal

akibat adanya penambahan suhu (T) dan tekanan (P) yang berlangsung dalam

keadaan padat tanpa terjadi perubahan unsur-unsur kimia (isokimia) atau perubahan

17

kimiawi dalam batas-batas tertentu saja, dan meliputi proses-proses rekristalisasi,

reorientasi dan pembentukan mineral-mineral baru dengan penyusunan kembali

elemen-elemen kimia yang sebelumnya telah ada.

Metamorfosa terjadi dalam suatu lingkungan yang sangat berbeda dengan

lingkungan tempat batuan asalnya terbentuk. Banyak mineral-mineral hanya stabil

dalam batas-batas tertentu dalam suhu, tekanan, dan kimiawi. Jika batuan tersebut

dikenakan suhu dan tekanan yang lebih tinggi daripada dekat permukaan, batas

kestabilan mineral dapat dilampaui, penyesuaian mekanis dan kimiawi dapat terjadi

dalam batuan membentuk mineral-mineral baru yang stabil dalam kondisi baru.

Metamorfosis dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Metamorfosis Kontak, yaitu proses metamorfosis yang terjadi akibat perubahan

temperatur, yaitu pada aktifitas intrusi magma.

2. Metamorfosis Dinamik, yaitu proses metamorfosis yang terjadi akibat perubahan

tekanan, biasanya dijumpai di daerah pergeseran atau pergerakan (dislokasi),

misalnya pada zona sesar.

3. Metamorfosis Regional yaitu proses metamorfosis yang terjadi akibat perubahan

temperatur dan tekanan, meliputi daerah yang luas dan umumnya dijumpai pada

lingkungan tektonik, misalnya pembentukan pegunungan dan zona penunjaman.

18

Batuan metamorf diklasifikasikan berdasarkan tekstur, struktur, dan komposisi

mineralnya :

1. Tekstur

Pada batuan metamorf tekstur dibedakan antara yang memiliki foliasi atau non

foliasi. Foliasi adalah orientasi kesejajaran mineral penyusun batuan metamorf, foliasi

harus dibedakan dengan orientasi perlapisan batuan sedimen, hal tersebut karena

tidak ada hubungan sama sekali antara foliasi dengan sifat perlapisan batuan sedimen.

Foliasi

Berdasarkan kenampakan batuan asal pembentuk, batuan metamorf dibagi

menjadi dua, yaitu:

a. Kristoblastik

Kristoblastik yaitu bila batuan asal sudah tidak terlihat lagi. Berdasarkan sifat

butir/kristal dan hubungannya dengan yang lain, batuan metamorf dibagi

menjadi:

Homoblastik, jika terdiri atas satu tekstur saja.

Heteroblastik, jika terdiri lebih dari satu tekstur. Contoh Lepidoblastik dan

Granoblastik.

19

Jenis tekstur dibagi menjadi:

Lepidoblastik, bila sebagian besar mineralnya berbentuk pipih (mika group).

Nematoblastik, bila sebagian besar mineralnya berbentuk kristalin

(piroksen).

Granoblastik, bila sebagian besar mineralnya granular/equidimensional

(kuarsa).

Porfiroblastik, seperti porfirik dalam batuan beku.

Bentuk kristal:

Idioblastik, bila sebagian besar mineralnya berbentuk euhedral.

Hipidioblastik, bila sebagian besar mineralnya berbentuk subhedral.

Xenoblastik, bila sebagian besar mineralnya berbentuk anhedral.

b. Palimset

Tekstur asli dari batuan asal masih terlihat, dibagi menjadi:

Blasto ofitik, bila batuan asal memiliki tekstur ofitik.

Blasto porfiritik, bila batuan asal mempunyai tekstur porfiritik.

Blasto psefitik, bila batuan asal mempunyai tekstur pebble (psefitik).

Blasto psamatik, bila batuan asal batuan sedimen klastik berukuran pasir

(psamitik).

Blasto pelitik, bila batuan asal batuan sedimen klastik berukuran lempung

(argilit).

20

2. Struktur

Jenis struktur foliasi

Slaty, menampakkan belahan-belahan sangat halus umumnya terdiri dari

mineral yang pipih dan sangat halus (mika).

Phyllitic, foliasi sudah mulai ada oleh kepingan-kepingan halus mika, terdiri

dari bentuk kristal lepiplastik.

Schistose, foliasi sudah mulai jelas oleh kepingan mika, dengan belahan yang

merata atau menerus, terdiri dari selang seling kristal lepidoblastik dan

granoblastik.

Gneissic, foliasi diperlihatkan oleh penyusunan mineral-mineral granular dan

pipih (mika), belahan tidak rata atau terputus-putus.

Jenis struktur non foliasi

Granulose, penyusun terdiri atas mineral berbentuk butir, berukuran relatif

sama (equidimensional).

Hornfelsic, sebagian besar terdiri atas mineral tanpa pensejajaran mineral

sedikitpun atau tidak terdapat mineral-mineral pipih.

Milonitic, struktur yang terjadi dari metamorfosa kataklastik, yaitu sifat

tergerus, berupa lembar/bidang/bidang penyerpihan. Disebut juga jalur milonit.

Breksi kataklastik, fragmen-fragmen pembentuk/butir terdiri atas mineral yang

sama dengan matriks dan semennya, menunjukkan orientasi arah.

21

Milonitic pada skala kecil biasanya terlihat di bawah mikroskop. Breksi

kataklastik harus diamati secara langsung di lapangan. Keduanya umum terdapat pada

jalur sesar atau patahan.

3. Komposisi Mineral

Jika batuan asal diberikan suatu perubahan yang lebih tinggi tekanan dan

temperaturnya sehingga kestabilannya terlampaui maka akan terjadi penyesuaian

yang mengarah terhadap sifat mekanis dan kimiawi, serta akan membentuk mineral

baru.

Pembentukan mineral baru sangat tergantung pada batuan asal dan kondisi

termal/tekanan/kimia pada saat proses metamorfosa berlangsung (Tabel 2.2). Mineral

dari batuan asal, yaitu kuarsa, hornblende, biotit, muskovit, ortoklas, dolomit,

plagioklas, dan kalsit.

Tabel 2. 1 Jenis-jenis batuan metamorf berdasarkan strukturnya

22

Mineral khas batuan metamorf, yaitu:

Silimanit, andalusit, staurolit, kianit menunjukkan proses metamorfosis regional

Garnet, korundum, wolastonit menunjukkan proses Metamorfosis thermal

Larutan kimia, yaitu epidot, klorit, wolastonit

Tabel 2. 2 Zona derajat metamorfosis regional

Derajat Metamorfosis Mineral Khas

Rendah (Low Grade Metamorphism) Klorit, Biotit

Menengah (Medium Grade Metamorphism) Almandit, Kianit, Stourolit

Tinggi (High Grade Metamorphism) Silimanit

2.2.1 Fasies Batuan Metamorf

Konsep fasies metamorfik diperkenalkan oleh Eskola, 1915 (Bucher & Frey,

1994). Eskola mengemukakan bahwa kumpulan mineral pada batuan metamorf

merupakan karakteristik genetik yang sangat penting sehingga terdapat hubungan

antara kumpulan mineral dan kompisisi batuan pada tingkat metamorfosa tertentu.

Dengan kata lain sebuah fasies metamorfik merupakan kelompok batuan yang

termetamorfosa pada kondisi yang sama yang dicirikan oleh kumpulan mineral yang

23

tetap. Tiap fasies metamorfik dibatasi oleh tekanan dan temperatur tertentu serta

dicirikan oleh hubungan teratur antara komposisi kimia dan mineralogi dalam batuan.

Penamaan fasies metamorfosa tentunya tidak ideal, misalnya fasies batutanduk

(hornfels), salah satunya diberi nama batutanduk-piroksen, karena mineral kritisnya

adalah diopsid-hipersten-plagioklas. Tetapi batutanduk lainnya yang mengandung

juga piroksen, dalam hal ini mineral kritisnya ialah plagioklas-hornblende-diopsid,

tergolong dalam fasies lain yang disebut fasies batutanduk-hornblende.

Gambar 2. 4 Diagram temperatur dan tekanan dari variasi fasies metamorfos (Bucher

dan Frey, 1994 dan Yardley, 1989)

24

Bucher and Frey (1994); Yardley (1989), membagi fasies metamorfosa regional

berdasarkan pertambahan temperatur yang terdiri dari:

Tabel 2. 3 Standard metamorphic facies (Bucher and Frey, 1994 and Yardley 1989)

Konsep fasies metamorfik didasarkan pada metamorfisme batuan mafik dan

pemahaman sejarah temperatur dan tekanan dari fasies metamorfik serta analisis

paragenesa batuan mafiknya. Mineral kelompok zeolit merupakan indicator yang baik

untuk temperatur metamorfisme tingkat paling rendah. Zona analsim-heulandit pada

fasies zeolit terbentuk pada temperatur 1000C – 2000C. Kemudian zona ini diganti

Amphibolite

Granulite

Hornblende + plagioclase (An > 20) in mafic rocks and kyanite in pelitic

Augite + orthopyroxene + plagioclase; also Mg-Fe garnet

EclogiteFeldspar-free assemblages typified by jadeite-rich clinopyroxene and pyrope-

rich garnet in mafic rocks

Blueschist

Greenschist

Phrenite ± pumpellyite + quartz is typical (without zeolites or glaucophane or

lawsonite)

Glaucophane + lawsonite; also jadeite + quartz + aragonite

Albite + epidote + actinolite ± chlorite ± calcite in mafic rocks and pyrophyllite

in pelitic rocks

Facies name

Zeolite

Mineralogical characteristics

Zeolites, especially laumontite and heulandite; also analcime; the assemblage

quartz + laumonitite + chlorite is diagnostic

Phrenite-pumpellyite

25

oleh zona laumontit yang terbentuk pada temperatur 2000C – 2750C. Umumnya

metamorfisme metabasit zona laumontit secara langsung masuk ke dalam fasies

prehnit-pumpelit atau fasies prehnit-aktinolit. Antara suhu 3000C – 4000C prehnit

merupakan fase kunci dalam metabasit tingkat rendah dan berguna dalam indicator

kondisi P dan T. umumnya ubahan langsung dari Ca-plagioklas atau sebagai

pengganti zeolit yang terbentuk lebih awal. Dalam fasies prehnit-pumpelit dan fasies

prehnit-aktinolit, piroksen terubah menghasilkan klorit, aktinolit, dan pumpelit.

Dengan meningkatnya temperatur, prehnit dan pumpelit menjadi tidak stabil dan

diganti oleh mineral kelompok epidot.

Karakteristik fasies sekis hijau (greenschist) yaitu aktinolit + klorit + kuarsa +

albit + epidot + sfen. Transisi dari sekis hijau ke fasies amfibolit adalah fasies epidot

amfibolit ditandai dengan perubahan aktinolit ke hornblende dan albit ke oligoklas.

Perubahan temperatur dan mineralogi dipengaruhi oleh tekanan dan kimia batuan,

juga adanya miscibility gap dalam Ca-amfibol dan plagioklas (peristerit gap).

Peristerit gap dalam batuan metabasit terbentuk pada tekanan rendah (2 kbar)

dipelajari oleh Maruyama et al (1982).

Mereka menemukan bahwa zona transisi terdiri atas “peristerit pairs” + epidot

+ klorit + Ca-amfibol (biasanya aktinolit + hornblende) + kuarsa +sfen terbentuk

pada temperatur 3700C – 4200C. Pada temperatur yang lebih tinggi dari sekis hijau,

kumpulan mineral ini diganti oleh zona amfibolit terdiri atas plagioklas (An20 – An50)

+ hornblende + klorit + sfen + ilmenit. Di bawah kondisi tekanan lebih tinggi,

amfibolit dikarakteristikan oleh oligoklas + hornblende + epidot + rutil. Jika

26

metabasit termetamorfisme di bawah fasies granulit atau piroksen horfels, dicirikan

oleh kehadiran struktur granoblastik, dengan mineralogi terdiri atas hipersten +

anortit + plagioklas + klinopiroksen + spinel + garnet. Dalam beberapa granulit,

Piroksen hornblende hadir pada temperatur 7000C – 7500C. Di bawah kondisi fasies

granulit tekanan tinggi, anortit plagioklas menjadi meningkat tidak stabil dan

akhirnya mineral tersebut ke luar. Garnet umumnya jarang teramati pada fasies

piroksen hornfels sementara pada fasies granulit umumnya dapat teramati. Perubahan

dari piroksenit pembawa spinel-garnet dan lerzolit terjadi dalam fasies granulit

sampai fasies eklogit. Dalam fasies eklogit, kumpulan mineralnya adalah omfasit +

garnet dalam jumlah yang sama. Fase asesorisnya adalah kuarsa, rutil, dan kianit.

Metabasit dari lingkungan sekis biru didominasi oleh mineral Na-amfibol

seperti glaukofan dan krosit. Kumpulan mineral dari sekis biru mengindikasikan

kondisi metamorfisme pada temperatur rendah dengan tekanan tinggi. Pada tekanan

lebih rendah dari fasies eklogit, fasies sekis biru terbentuk pada tekanan 5-8 kbar dan

pada temperatur 2000C – 3500C. Mineralogi metabasitnya adalah galena + epidot

(lawsonit) + sfen + albit + kuarsa + klorit + mika putih + kalsit. Sekis biru pada

tekanan lebih tinggi mengandung sedikit jadeit piroksen ke glaukofan. Banyak fasies

penambahan ke Na-amfibol (glaukofan-krosit), fasies sekis biru bertemperatur lebih

tinggi umumnya mengandung garnet dan amfibol sekunder seperti aktinolit atau Na-

Ca amfibol diketahui sebagai baroisit.

27

2.2.2 Klasifikasi Robertson (1999)

Menurut Robertson (1999), proses metamorfisme dikontrol oleh antara lain:

perubahan temperatur dan tekanan, kimia fluida, perubahan fluida, rata-rata tekanan

dan lain-lain. Tekanan merupakan fungsi penentuan ke dalaman dalam kerak,

sementara temperatur berfungsi untuk mengetahui gradient geothermal dan

geothermal suatu wilayah. Pemahaman tentang proses metamorfisme penting karena

batuan ini dapat memberikan informasi tentang evolusi geologi suatu daerah.

Robertson (1999), membagi klasifikasi batuan metamorf menjadi 6 kategori

(Gambar 2.6), yaitu:

1. Batuan metamorf dengan protolith batuan sedimen (Sedimentary protolith)

2. Batuan metamorf dengan protolith batuan vulkanoklastik (Volcanoclastic

protolith)

3. Batuan metamorf dengan protolith batuan beku (Igneous protolith)

4. Batuan metamorf dengan protolith yang tidak diketahui (Protolith unknown or

undefined)

5. Batuan metamorf yang terbentuk akibat hasil dari proses struktur geologi

(Mechanically broken and reconstituted rocks)

6. Batuan metasomatik dan hirotermal (Metasomatic and hydrothermal rocks)

28

Gambar 2. 5 Klasifikasi Batuan Metamorf (Robertson, 1999)

29

2.3 Geokimia Batuan Metamorf

Magma memiliki elemen-elemen utama (major elements) yang khusus dan

dapat menunjukkan asosiasi dengan tectonic setting yang terjadi di daerah tersebut.

Misalnya Calc Alkali yang menunjukkan bahwa daerah tersebut berasosiasi dengan

zona subduksi, dimana K-thoelitic basalt yang merupakan produk magma yang

umumnya terbentuk pada batas lempeng. Tetapi tidak semua elemen-elemen utama

juga dapat menunjukkan tempat batuan itu terbentuk atau tectonic setting yang terjadi

di daerah tesebut, misalnya K-thoelitic yang umumnya terbentuk di mid oceanic

ridges, terdapat juga pada back arc basins, oceanic islands, islands arc, dan active

continental margin. Oleh karena itu juga dibutuhkan analisis elemen-elemen jejak

(trace elements) dan juga analisis isotop Sr-Nd-Pb dari batuan yang dapat

menunjukkan lingkungan tempat pembekuan magma.

Berdasarkan elemen-elemen utamanya magma dibagi menjadi tiga, yaitu :

Thoelitic, Calc alkaline, dan Alkaline. Dan di tiap seri magma ini terbentuk batuan

mulai dari basal-asam. Komposisi kimia dari batuan metemorf tidak akan jauh beda

dari dari protolithnya, kecuali adanya kemungkinan bertambah atau berkurangnya

unsur-unsur volatil seperti H2O, CO2, O2 dan S. Pada batuan metamorf pelitik yang

berasal dari clay-rich shales terdapat jumlah mineral aluminious dengan konsentrasi

tinggi dan melimpahnya mika, klorit dan mineral aluminious lainnya.

30

2.3.1 AFM Diagram

Composition diagram digunakan untuk mengetahui hubungan antara komposisi

mineral dengan komposisi kimia unsur-unsur utama suatu batuan. Diagram tersebut

dapat menunjukan visualisasi dari suatu mineral yang dapat terbentuk pada suhu,

tekanan dan komposisi fluida tertentu.

AFM diagram digunakan untuk mengetahui komposisi kimia dan kandungan

mineral pada pelitic rocks. Pertama kali ditemukan oleh Thomson (1957), dan

menggunakan metode dengan menggunakan 5 komponen unsur utama yaitu: SiO2,

Al2O3, FeO, MgO, dan K2O. Dan 3 komponen minor unsur utama: Fe2O3, TiO2 dan

P2O5 digunakan untuk mengoreksi.

Pelitic rocks, umumnya banyak terdapat kuarsa yang dapat mengindikasikan

bahwa SiO2 banyak terdapat pada batuan tersebut, dan membentuk mineral-mineral

kelompok silikat lain pada batuan tersebut atau tetap mengkristalisasi sebagai kuarsa.

Karena pada batuan pelitik terdapat mineral mika putih maka digunankan AKFM

tetrahedron.

31

Terdapat 3 unsur utama yang digunakan dalam AFM diagram yaitu: A

(Aluminium), F (Besi) dan M (Magnesium). Rumus yang digunakan adalah rumus

dari Mason (1990) yaitu sebagai berikut:

A : [Al2O3] – 3 x [K2O] – [Na2O]

F : [FeO] – [TiO2] – [Fe2O3]

M : [MgO]

Gambar 2. 6 Contoh AFM diagram

32

2.4 Petrogenesis Batuan Metamorf

Petrogenesis adalah cabang dari petrologi yang menjelaskan seluruh aspek

terbentuknya batuan mulai dari asal-usul atau sumber, proses primer terbentuknya

batuan hingga proses sekunder yaitu perubahan-perubahan pada batuan tersebut.

Proses primer menjelaskan bagaimana batuan itu terbentuk dan batuan asal (protolith)

dari batuan tersebut.

Dalam konteks batuan metamorf, batuan telah mengalami ubahan sehungga

sifat fisik dan kimiawinya telah berubah dari batuan asalnya (protolith). Berhubung

proses petrogenetik tersebut umumnya terjadi di bawah permukaan bumi dan

sebagian besar berlangsung lama (dalam skala waktu geologi) maka analisisnya

bersifat interpretatif. Analisis interpretatif tersebut berdasarkan pada data objektif

atau deskriptif hasil pemerian yang meliputi warna, tekstur, struktur, komposisi

mineral dan kenampakan khusus lainnya.