bab ii tinjauan pustaka 2.1 fisiografi...

12
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Regional Bemmelen dalam Martodjojo (2003) membagi wilayah fisiografi Jawa bagian Barat menjadi lima wilayah fisiografi yang memiliki arah secara umum Barat-Timur. Zona tersebut dari Utara ke Selatan terdiri dari Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, Pegunungan Bayah dan Pegunungan Selatan Jawa Barat. Daerah Cimayang termasuk ke dalam Zona Bogor, seperti yang ditampilkan pada gambar 2.1. Gambar 2.1 Fisiografi Jawa bagian Barat menurut van Bemmelen dalam Martodjojo (2003)

Upload: hoangque

Post on 30-Jul-2018

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiografi Regional

Bemmelen dalam Martodjojo (2003) membagi wilayah fisiografi Jawa

bagian Barat menjadi lima wilayah fisiografi yang memiliki arah secara umum

Barat-Timur. Zona tersebut dari Utara ke Selatan terdiri dari Dataran Pantai

Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, Pegunungan Bayah dan Pegunungan Selatan

Jawa Barat. Daerah Cimayang termasuk ke dalam Zona Bogor, seperti yang

ditampilkan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Fisiografi Jawa bagian Barat menurut van Bemmelen dalam

Martodjojo (2003)

8

2.2 Geologi Regional

Geologi regional merupakan salah satu data penunjang dalam suatu

penelitian geologi. Data yang diperoleh dari analisis geologi geologi regional

merupakan gambaran umum dari data geologi yang terdapat di daerah penelitian.

Data geologi regional yang dapat diperoleh antara lain adalah morfologi,

stratigrafi, dan struktur geologi.

2.2.1 Morfologi

Daerah Cimayang merupakan daerah pebukitan dengan ketinggian antara

300 meter hingga 500 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan lereng

antara 10° hingga 20°. Punggungan pegunungan yang ada di wilayah ini memiliki

arah baratlaut-tenggara.

2.2.2 Stratigrafi

Daerah penelitian tersusun oleh Formasi Cimapag, Formasi Badui,

Formasi Bojongmanik, Formasi Sareweh, Batuan Gunungapi Endut, serta Intrusi

Andesit berdasarkan kepada Peta Geologi Regional Lembar Leuwidamar terubah

(Sujatmiko dan Santosa, 1992).

1. Formasi Cimapag

Formasi Cimapag merupakan formasi yang terdiri dari breksi atau

konglomerat, lava, kayu terkersikkan, dan batuan.

9

2. Formasi Badui

Formasi Badui merupakan formasi yang berumur miosen tengah yang

tersusun dari konglomerat, batupasir, dan tuf.

3. Formasi Bojongmanik

Formasi Bojongmanik merupakan formasi yang terdiri dari tiga anggota

berbeda, yaitu :

a. Anggota Batulempung Formasi Bojongmanik yang tersusun oleh

batulempung, batulempung pasiran dan lignit.

b. Anggota Batugamping Formasi Bojongmanik yang tersusun oleh

batugamping, batulempung, napal dan tuf.

c. Anggota Batupasir Formasi Bojongmanik yang tersusun oleh batupasir,

batupasir bitumen, napal berfosil, batupasir tufan, tuf batuapung dan

sisipan lignit.

Martodjojo (2003) mengemukakan bahwa menurut Siswojo Formasi

Bojongmanik memiliki ketebalan 350 meter di lokasi stratotipenya,

Koolhoven menyebutkan ketebalan 500-600 meter dan Sanda pada

pengukuran si Sungai Ciberang di Jasinga memperoleh ketebalan 625

meter.

4. Formasi Sareweh

Formasi Sareweh terbagi menjadi dua anggota yang berbeda, yaitu :

a. Anggota Batulempung Formasi Sareweh, yang tersusun atas batulempung,

batupasir, napal dan tuf.

10

b. Anggota Batugamping Formasi Sareweh, yang tersusun atas batugamping

dan batulempung.

5. Intrusi Andesit

Intrusi Andesit berumur Plistosen-Holosen. Intrusi Andesit ini tersusun dari

andesit, andesit hornblende, basal, diabas, dan andesit terpropilitkan.

6. Batuan Gunungapi Endut

Batuan Gunungapi Endut berumur Plistosen dan tersusun atas Breksi

gunungapi, lava dan tuf.

2.2.3 Struktur Geologi

Sujatmiko dan Santosa (1992) dalam peta geologi lembar Leuwidamar

secara umum menjelaskan wilayah penelitian dan sekitarnya memiliki arah

perlipatan barat-timur dengan sesar normal yang memiliki arah timurlaut-

baratdaya.

2.3 Mineralisasi

Mineralisasi merupakan pembentukan mineral dalam batuan yang

menyebabkan terjadinya endapan mineral. Bateman (1950) menjelaskan bahwa

endapan mineral merupakan akumulasi atau konsentrasi dari satu atau lebih

substansi bermanfaat yang biasanya jarang terdistribusi di kerak luar. Mineral

bijih bisa terdapat sebagai endapan primer atau endapan sekunder. Endapan

primer merupakan endapan yang terbentuk pada saat periode metalisasi,

sedangkan endapan sekunder merupakan endapan yang terjadi setelah periode itu.

Ransome dalam Bateman (1950) menyebutkan terminologi hypogene dan

11

supergene. Primer dan hypogene dianggap memiliki arti yang sama. Semua

mineral hypogene dapat dikatan primer, namun tidak semua mineral bijih primer

dapat dikatakan hypogene. Hal tersebut karena mineral hypogene hanya berasal

dari larutan yang naik ke permukaan. Contohnya yaitu hematit sedimenter yang

merupakan mineral bijih primer, namun bukan merupakan mineral hypogene

karena bukan berasal dari larutan yang naik ke permukaan.

2.3.1 Proses Pembentukan Endapan Mineral

Proses pembentukan endapan mineral dapat melalui berbagai cara. Suhu,

tekanan, dan air memainkan peranan penting dalam pembentukan endapan

mineral. Bateman (1950) membagi proses pembentukan endapan mineral menjadi

beberapa tipe, yaitu :

1. Kristalisasi magma

Magma merupakan larutan silikat cair. Kristalisasi magma menghasilkan

mineral-mineral tertentu. Beberapa magma menghasilkan mineral

ekonomis seperti apatit, magnetit, atau kromit.

2. Sublimasi

Panas dari larutan magma menyebabkan pembentukan uap dari substansi

tertentu yang nantinya akan terendapkan sekitar fumarol atau intrusi

dangkal. Reaksi antar gas juga mungkin terjadi.

3. Distilasi

Minyak dan gas dipercaya merupakan hasil distilasi dari material organik

yang terendapkan bersama dengan sedimen laut.

12

4. Evaporasi dan supersaturasi

Garam akan terpresipitasi ketika terjadi evaporasi pelarutnya teruapkan

dan konsentrasinya sudah lewat-jenuh. Contohnya adalah pengendapan

garam dari hasil penguapan air asin. Contoh lainnya dalam pertambangan

adalah terbentuknya cadangan nitrat di cili.

5. Reaksi antara gas dengan gas, padatan, atau cairan lain

Hasil presipitasi magma menghasilkan emisi gas yang memiliki

kandungan elemen dan komponen yang terkandung pada deposit mineral.

Gas tersebut lalu bereaksi dengan sekitarnya dapat berupa gas, padatan,

atau cairan lain.

6. Reaksi antara cairan dengan cairan atau padatan lain

Reaksi ini terjadi ketika cairan mengalami reaksi dengan cairan atau

padatan lainnya. Hal ini terjadi ketika cairan tersebut berinteraksi dengan

cairan atau padatan lain saat proses transportnya.

7. Presipitasi bakteri

Endapan mineral yang terbentuk karena adanya presipitasi bakteri.

Contohnya adalah bakteri Chrenotrix yang menyebabkan presipitasi

ekstensif dari bijih besi.

8. Pemisahan antara campuran padatan

Mineral memiliki campuran antara satu jenis mineral pada mineral lainnya

adalah hal yang wajah pada larutan alamiah, contohnya seperti campuran

antara argentit dan galena. Sebagian padatan stabil di suhu yang rendah,

namun yang lainnya hanya stabil pada suhu yang tinggi dan menjadi tidak

13

stabil apda suhu yang rendah. Pada saat inilah terjadi pemisahan antara

campuran padatan tersebut.

9. Deposisi koloid

Endapan yang terbentuk akibat adanya pemisahan larutan koloid.

10. Proses erosi

Proses erosi secara fisika dan kimia merupakan salah satu proses

terbentuknya endapan mineral. Proses erosi secara fisika sebenarnya tidak

secara langsung mengubah komposisi kimia mineral, namun dapat

memperluas bidang untuk terjadinya reaksi kimia. Proses erosi secara

fisika juga berfungsi untuk melepaskan dan mengkonsentrasikan mineral

yang telah ada sebelumnya.

11. Metamorfisma

Faktor penyebab dari metamorfisma yaitu tekanan, panas, dan air

menyebabkan terjadinya rekombinasi dan rekristalisasi mineral yang

beberapa diantaranya menjadi endapan yang ekonomis.

2.3.2 Mineralisasi Hidrotermal

Guilbert dan Park (1985) mengemukakan bahwa larutan hidrotermal

merupakan larutan encer yang panas. Sumber dari larutan hidrotermal bisa

bermacam-macam salah satunya berasal dari pemisahan larutan magma. Fluida

magma yang merupakan asal dari larutan hidrotermal dapat mengalami

pencampuran dengan air tanah yang terdapat di permukaan sehingga larutan

hidrotermal yang dihasilkan dapat memiliki karakteristik berbeda dengan fluida

magma asal.

14

Komposisi larutan magma dipercaya dapat ditentukan dari (White dalam

Guilbert and Park, 1985) :

1. Tipe magma dan sejarah kristalisasi

2. Hubungan antara suhu dan tekanan selama atau setelah pemisahan dari magma

3. Sifat dari air lain yang mungkin bercampur dengan larutan magma ketika

berpindah

4. Reaksi dengan batuan samping

Berdasarkan kepada kandungan sulfida, sistem hidrotermal terbagi

menjadi dua yaitu sistem hidrotermal sulfida rendah atau low sulfidation dan

sistem hidrotermal sulfida tinggi atau high sulfidation.

Gambar 2.2 Model sistem hidrotermal sulfida tinggi dan sulfida rendah

(Corbett dan Leach, 1997).

Pada gambar 2.2 terlihat terdapat dua sistem hidrotemal, yaitu sistem

hidrotermal sulfida tinggi dan sulfida rendah. Pada sistem hidrotermal sulfida

15

rendah fluida yang berkerja pada sistem memiliki sifat mendekati netral,

sedangkan pada sistem hidrotermal sulfida tinggi fluida yang terdapat pada sistem

merupakan fludia yang memiliki sifat asam dan panas.

Sistem hidrotermal sulfida rendah dan sistem hidrotermal sulfida tinggi

memiliki karakteristik fluida yang berbeda sehingga mineral serta zona alterasi

yang dihasilkan berbeda pula seperti yang terlihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perbedaan antara sistem hidrotermal sulfida rendah dan sistem

hidrotermal sulfida tinggi (Corbett dan Leach, 1997).

Model endapan epithermal telah diperkenalkan oleh beberapa peneliti

sebelumnya diantaranya adalah Buchanan (1981) yang membuat model endapan

epithermal menjelaskan tentang pembentukan mineral, lingkungan pengendapan

serta jenis alterasi.

16

Gam

bar

2.3

Model

epit

erm

al B

uch

anan

dal

am S

uban

dri

o A

.S. an

d B

asuki,

N.I

. (2

010)

yan

g m

enam

pil

an m

odel

te

nta

ng p

emben

tukan

min

eral

, li

ngkungan

pen

gen

dap

an s

erta

je

nis

alt

eras

i yan

g t

erja

di.

PR

=pro

pil

itik

SI=

Sil

ika;

AD

=A

dula

ria;

IL

L=

Illi

t;

SE

R=

Ser

isit

; C

EL

=C

elad

onit

, A

L=

Alu

nit

, k

aoli

nit

, pir

it. C

H=

Kal

sedonik

, C

C=

Cru

stif

orm

-Coll

ofo

rm,

dan

X=

Kri

stal

in,

17

Gambar 2.4 Mekanisme zonasi metal pada sistem hidrotermal (Corbett dan Leach,

1997)

2.4 Atomic Absorption Spectofotometry (AAS)

AAS (Atomic Absorption Spectofotometry) atau spektofotometer serapan

atom merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui komposisi Cu, Au,

Ag, Pb, Zn, As dalam batuan. Metode yang digunakan untuk menganalisis kadar

Au dan Ag pada sampel batuan pada penelitian ini sesuai dengan SNI 13-3613-

1994 yang mengatur tentang cara uji kemurnian emas dengan spektrofotometer

serapan atom. Sedangkan untuk pengukuran kadar Pb, Cu, Zn, As sesuai dengan

SNI 13-6974-2003 yang mengatur tentang percontoh batuan sulfida - penentuan

kadar Pb, Cu, Zn, Fe, Mn, dan Cd dengan spektrofotometer serapan atom.

Tahapan analisis AAS yang sesuai dengan standar SNI 13-6974-2003 yaitu

contoh batuan dicampur dengan asam campur HCl dan HNO3 atau HNO3, HF,

18

HClO4, dan HCl. Setelah contoh larut, diencerkan sampai volume tertentu, dan

unsur-unsurnya diperiksa dengan AAS dalam suasana asam dan atau lantanum.

Prosedur pelarutan contoh tersebut dapat dilakukan dengan salah satu metode

sebagai berikut:

1. Pelarutan dengan HF, HCl, HNO3, dan HClO4

2. Pelarutan dengan air raja (aquaregia)

3. Pelarutan dengan HF, HCl, HNO3, dan HClO4 dan larutan La3+

Pengukuran larutan dengan AAS dengan cara membandingkan serapan dari

larutan seri standar dengan larutan uji pada saat dibakar oleh nyala campuran

udara-asetilena (udara-C2H2), dengan perhitungan sebagai berikut :

% =𝐶 × 𝑓𝑝 𝑥 𝑉

𝑊 × 1000 × 100

𝐶 = Konsentrasi unsur dalam pembacaan

𝑓𝑝 = Faktor pengenceran

𝑉 = Volume larutan induk dalam mililiter

𝑊 = Berat contoh dalam miligram

% = Kadar unsur