bab ii tinjauan pustaka 2.1 ekosistem...

24
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Sungai Sungai merupakan badan air mengalir (perairan lotic) yang membentuk aliran di daerah daratan dari hulu menuju ke arah hilir dan akhirnya bermuara ke laut. Air sungai sangat berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan organisme daratan seperti; tumbuhan, hewan, dan manusia di sekitarnya serta seluruh biota air di dalamnya (Downes et al., 2002). Sungai mempunyai fungsi utama menampung curah hujan dan mengalirkannya sampai ke laut. Ekosistem sungai merupakan habitat bagi organisme akuatik yang keberadaannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Organisme akuatik tersebut diantaranya tumbuhan air, plankton, perifiton, bentos, ikan, serangga air, dan lain-lain. Sungai juga merupakan sumber air bagi masyarakat yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan kegiatan, seperti kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri, sumber mineral, dan pemanfaatan lainnya (Suwarno, 1991). Secara umum, alur sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian, bagian hulu, bagian tengah dan bagian hilir. Bagian hulu merupakan daerah sumber erosi karena pada umumnya alur sungai melalui daerah pegunungan atau perbukitan yang mempunyai cukup ketinggian dari permukaan laut. Substrat permukaan pada bagian hulu pada umumnya berupa bebatuan dan pasir. (Suwarno, 1991). Hulu sungai merupakan zona antara ekosistem daratan dengan ekosistem perairan dan sering kali merupakan daerah yang kaya akan biodiversitas (Louhi, dkk., 2010). Alur sungai di bagian hulu mempunyai kecepatan aliran yang lebih besar dari

Upload: ngodien

Post on 08-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Sungai

Sungai merupakan badan air mengalir (perairan lotic) yang membentuk

aliran di daerah daratan dari hulu menuju ke arah hilir dan akhirnya bermuara ke

laut. Air sungai sangat berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan

organisme daratan seperti; tumbuhan, hewan, dan manusia di sekitarnya serta

seluruh biota air di dalamnya (Downes et al., 2002). Sungai mempunyai fungsi

utama menampung curah hujan dan mengalirkannya sampai ke laut. Ekosistem

sungai merupakan habitat bagi organisme akuatik yang keberadaannya sangat

dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Organisme akuatik tersebut diantaranya

tumbuhan air, plankton, perifiton, bentos, ikan, serangga air, dan lain-lain. Sungai

juga merupakan sumber air bagi masyarakat yang dimanfaatkan untuk berbagai

keperluan dan kegiatan, seperti kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri,

sumber mineral, dan pemanfaatan lainnya (Suwarno, 1991).

Secara umum, alur sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian, bagian hulu,

bagian tengah dan bagian hilir. Bagian hulu merupakan daerah sumber erosi

karena pada umumnya alur sungai melalui daerah pegunungan atau perbukitan

yang mempunyai cukup ketinggian dari permukaan laut. Substrat permukaan pada

bagian hulu pada umumnya berupa bebatuan dan pasir. (Suwarno, 1991). Hulu

sungai merupakan zona antara ekosistem daratan dengan ekosistem perairan dan

sering kali merupakan daerah yang kaya akan biodiversitas (Louhi, dkk., 2010).

Alur sungai di bagian hulu mempunyai kecepatan aliran yang lebih besar dari

15

bagian hilir, sehingga pada saat banjir material hasil erosi yang diangkut tidak saja

partikel sedimen halus tetapi juga apsir, kerikil, bahkan batu (Suwarno, 1991).

Bagian tengah merupakan daerah peralihan antara bagian hulu dan hilir.

Kemiringan dasar sungai lebih landai sehingga kecepatan aliran relatif lebih kecil

pada bagian hulu. Permukaan dasar bagian tengah umunya berupa pasir atau

lumpur (Suwarno, 1991). Bagian hilir merupakan daerah aliran sungai yang akan

bermuara ke laut atau sungai lainnya. Bagian tersebut umumnya melalui daerah

bagian dengan substrat permukaan berupa endapan pasir halus sampai kasar,

lumpur, endapan organik dan jenis endapan lainnya yang sangat labil. Alur sungai

bagian hilir mempunyai bentuk yang berkelok-kelok. Bentuk alur tersebut

dinamakan meander (Suwarno, 1991).

Ekosistem sungai (lotic) dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan

zona krenal (mata) air yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi

menjadi rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat

pada tebing-tebing yang curam, limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk

genangan air yang selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil. Beberapa

mata air akan membentuk aliran sungai di daerah pegunungan yang disebut zona

rithral, ditandai dengan relief aliran sungai yang terjal. Zona ritral dapat dibagi

menjadi tiga bagian, yaitu epirithral (bagian yang paling hulu), metarithral (bagian

tengah) dan hyporithral (bagian yang paling akhir). Setelah melewati zona

hyporithral, aliran sungai akan memasuki zona potamal, yaitu aliran sungai pada

daerah-daerah yang relatif lebih landai dibandingkan dengan zona rithral. Zona

potamal dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu epipotamal , metapotamal dan

hypopotamal (Barus, 2004).

16

Struktur fisik sungai menyediakan relung biologi yang melimpah terhadap

organisme-organisme akuatik. Daerah di bawah batu pada dasar perairan terdapat

tempat yang gelap untuk bersembunyi bagi organisme akuatik berukuran kecil,

sedangkan pada permukaan atas batu yang terpapar cahaya matahari merupakan

tempat bagi alga yang menempel (Goldman & Horne, 1983). Secara ekologis

organisme di perairan sungai dapat dibedakan menjadi dua zone atau subhabitat,

yaitu :

a. Subhabitat riam : merupakan bagian sungai yang airnya dangkal tetapi arusnya

cukup kuat untuk mencegah terjadinya pengendapan sedimen dasar, sehingga

dasar sungai bersifat keras. Pada daerah ini hidup organisme bentik atau perifiton

khususnya yang dapat melekat atau berpegang erat pada substrat padat dan jenis

ikan yang dapat berenang melawan arus.

b. Subhabitat arus lambat : merupakan bagian sungai yang lebih dalam dan

arusnya lebih lemah atau lambat dibandingkan subhabitat riam. Pada daerah ini

partikel-partikel cenderung mengendap sebagai sedimen di dasar sungai. Pada

daerah ini hidup organisme bentos, nekton dan kadang-kadang plankton (Suradi,

1993).

Biota pada ekosistem sungai terbagi atas biota non akuatik dan biota

akuatik. Biota non akuatik adalah biota yang hidup diluar perairan sungai

misalnya adalah tanaman yang berada di DAS (Daerah Aliran Sungai), serangga

yang hidup diarea sekitar sungai seperti semut, capung, kupu-kupu, dan lain-lain.

Biota akuatik merupakan biota yang sebagian atau seluruh hidupnya berada di

perairan. Berdasarkan cara hidupnya biota akuatik dapat dikelompokkan menjadi

neuston, pleuston, nekton, plankton, perifiton, bentos, dan demersal. neuston

17

merupakan biota akuatik yang hidup dilapisan tipis permukaan air. Seperti halnya

neuston, pleuston juga hidup dipermukaan air tetapi sebagian tubuhnya berada

dibawah permukaan air. Nekton umunya terdiri atas biota akuatik yang hidup dan

bergerak bebas didalam kolom air. Plankton merupakan kelompok biota akuatik

baim hewan atau tumbuhan yang pergerakannya selalu dipengaruhi arus air dan

umunya berukuran mikroskopis. Perifiton adalah kelompok biota akuatik yang

hidup menempel pada permukaan tumbuhan, tongkat, batu, atau substrat lain yang

berada didalam air. Biota bentik atau bentos merupakan kelompok hewan atau

tumbuhan yang hidup didasar perairan. Sedangkan kelompok biota akuatik yang

sebagian besar hidupnya dihabiskan didasar perairan disebut demersal (Wardhana,

2006).

2.2 Keanekaragaman

2.2.1 Deskripsi Keanekaragaman

Istilah keanekaragaman hayati atau “biodiversitas” menunjukkan sejumlah

variasi yang ada pada makhluk hidup baik variasi gen, jenis, dan ekosistem yang

berada pada suatu lingkungan tertentu. Keanekaragaman hayati dapat

dikelompokkan atas keanekaragaman tingkat gen, keanekaragaman tingkat

spesies/jenis, dan keanekaragaman tingkat ekosistem baik ditinjau dari segi

kenakeragaman flora dan keanekaragaman fauannya (Novita, L., dkk., 2009).

1. Keanekaragaman Tingkat Gen

Gen adalah pembawa sifat makhluk hidup. Variasi genetif merupakan

komposisi genetif antara individu dengan jenis yang sama. Keaneragaman gen

dalam satu jenis memunculkan varietas. Keanekaragaman genetif memungkinkan

individu atau jenis makhluk hidup yang keanekaragaman tersebut dapat

18

beradaptasi terhadap kondisi yang berebeda akibat perubaha lingkungan (Novita,

L., dkk., 2009).

2. Keanekaragaman Tingkat Spesies (Jenis)

Keanekaragaman spesies (jenis) adalah berbagai jenis hewan dan

tumbuhan yang ada dan mudah dikenali karena perbedaan penampakannya.

Keanekaragaman jenis menunjukkan adanya jumlah dan variasi jenis organisme

yang ada. Keanekaragaman spesies mencakup jenis-jenis hewan, tumbuhan, serta

mikrorganisme yang ada di suatu wilayah (Novita, L., dkk., 2009).

Keanekaragaman jenis atau spesies dapat digunakan untuk menyatakan

struktur komunitas. Ukuran keanekaragaman dan penyebabnya nmencakup

sebagian besar pemikiran tentang ekologi. Hal itu terutama karena

keanekaragaman dapat menghasilkan kestabilan dan dengan demikian

berhubungan dengan pemikiran sentral ekologi, yaitu tentang keseimbangan suatu

sistem (Price, 1997) dalam Suheriyanto (2008).

Keanekaragaman β atau keanekaragaman antar komunitas dapat dihitung

dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu kesamaan komunitas dan indeks

keanekaragaman (Smith, 1992 dalam Suheriyanto, 2008). Sedangkan Price (1997)

menyatakan bahwa keanekaragaman lebih mudah didefinisikan dengan

menggunakan suatu indeks keanekaragaman yang sudah umum digunakan yaitu

indeks keanekatagaman Shannon-Weaver (H’).

Dimana pi adalah proporsi spesies ke i didalam sampel total.

19

Nilai indeks keanekaragaman spesies tergantun g dari kekayaan spesies

dan kemerataan spesies. Nilai minimum H’. Nilai minimum H’ adalah 0, yaitu

nilai indeks keanekaragaman untuk komunitas dengan satu spesies tunggal dan

akan meningkat sesuai peningkatan kekayaan spesies dan kemerataan spesies

(Molles, 2005). Kemerataan spesies adalah komponen utama kedua dari

keanekaragaman spesies. Kemerataan spesies menurut Odum (1998) adalah

pembagian individu yang merata diantara spesies. Jadi, apabila satu spesies

ditambahkan, maka keanekaragamannya akan meningkat dan apabila spesies-

spesies mempunyai distribusi kepadatan yang sama maka keanekaragaman juga

akan meningkat (Suheriyanto, 2008).

Menurut Kerbs (1985), indeks kemerataan atau Evennes (E) dapat dihitung

melalui rumus sebagai berikut:

Keterangan rumus:

E = Indeks keanekaragaman

H’ = Indeks kemerataan

Hmaks = Keanekaragaman spesies maksimum

= ln S (S adalah jumlah spesies)

Nilai indeks dominansi dapat dihitung dengan menggunakan rumus

Simpson (1949) sebagai berikut.

atau

Keterangan rumus:

C = Indeks dominansi

ni = Jumlah individu dari seluruh jenis

20

N = Jumlah total individu dari seluruh jenis

Pi = Proporsi spesies ke I di dalam sampel total

Persentase atau besarnya pengaruh yang diberikan suatu jenis hewan

terhadap komunitasnya dapat ditentukan dengan menghitung indeks nilai penting.

Menurut Sugianto (1994) dalam (Suheriyanto, 2013), indeks nilai penting

duirumuskan sebagai berikut :

a. Frekuensi (F)

Frekuensi dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan rumus :

Fi = Frekuensi relative untuk spesies ke i

Ji = Jumlah plot yang terdapat spesies ke i

K = Jumlah total plot yang dibuat

b. Frekuensi Relatif

Frekuensi relatif dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan rumus :

Fr = Frekuensi relatif spesies ke i

Fi = Frekuensi untuk spesies ke i

ƩF = Jumlah total frekuensi untuk semua spesies

21

c. Kelimpahan (K)

Kelimpahan dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan rumus :

K = Kelimpahan spesies untuk spesies ke i

ni = Jumlah total individu spesies ke i

A = Luas total daerah yang disampling

d. Kelimpahan relatif (Kr)

Kelimpahan relatif dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan rumus :

Kr = Kelimpahan relatif spesies ke i

Ki = Kelimpahan untuk spesies ke i

ƩK = Jumlah kelimpahan semua spesies

e. Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks Nilai Penting (INP) dirumuskan sebagai berikut :

INP = Fr + Kr

Keterangan rumus :

INP = Indeks nilai penting

Fr = Frekuensi relatif

Kr = Kelimpahan relatif

22

3. Keanekaragaman Tingkat Ekosistem

Keanekaragaman ekosistem menggambarkan jenis-jenis populasi

organisme yang ada didalam suatu wilayah tertentu. Interaksi antara

keanekaragaman hayati dengan lingkungannya (interaksi antara komponen abiotik

dan biotik) membentuk keanekaragaman ekosistem (Novita, L., dkk., 2009).

2.2.3 Keanekaragaman Fauna Ekosistem Sungai

Menurut Odum (1994), diantara binatang konsumen 4 kelompok yang

menyusun sebagian besar biomasa dari kebanyakan ekosistem air tawar adalah

moluska, serangga air, udang-udangan, dan ikan yang disebut dengan biota

akuatik.

Berdasarkan cara hidupnya, biota akuatik dapat dikelompokkan menjadi

neuston, pleuston, nekton, plankton, perifiton, bentos, demersal. Neuston adalah

organisme yang mengapung atau berenang di permukaan air atau

bertempat pada permukaan air, misalnya serangga air. Nekton adalah organisme

air yang dapat berenang sendiri didalam air sehingga tidak bergantung pada arus

air atau gerakan air yang disebabkan oleh angin. Beberapa organisme yang

termasuk kedalam nekton adalah ikan, udang, dan beberapa serangga air. Plankton

terdiri alas fitoplankton dan zooplankton yang biasanya melayang-layang

(bergerak pasif) mengikuti gerak aliran air. Perifiton merupakan tumbuhan atau

hewan yang melekat/bergantung pada tumbuhan atau benda lain, misalnya keong.

Bentos adalah semua organisme air yang hidupnya terdapat pada substrat dasar

suatu perairan, baik yang bersifat sesil (melekat) maupun vagil (bergerak bebas).

Demersal adalah kelompok biota akuatik yang sebagian besar hidupnya

dihabiskan di dasar perairan (Wardhana, 2006).

23

Berdasarkan ukuran tubuhnya, fauna sungai dibagi menjadi dua yaitu

makrofauna dan mikrofauna. Mikrofauna adalah hewan dengan ukuran kurang

dari 10mm dan tidak dapat dapat terlihat langsung oleh mata sehingga harus

menggunakan alat pembesar (lup atau mikroskop). Makrofauna adalah fauna atau

hewan dengan ukuran lebih dari 10mm dan dapat terlihat langsung oleh mata

tanpa harus menggunakan alat pembesar (lup atau mikroskop). Beberapa

organisme yang termasuk kedalam makrofauna sungai adalah kelas Pisces untuk

hewan vertebrata sedangkan untuk hewan invertebrata terdapat Mollusca,

Crustaceae, dan Annelida. Pada penelitian ini, pembahasan akan difokuskan pada

keanekaragaman makrofauna tingkat spesies (jenis) yang ada pada ekosistem

sungai Brantas area Kampus III Universitas Muhammadiyah Malang. Berikut

adalah uraian dari masing-masing makrofauna tersebut.

a) Makrovertebrata Perairan Sungai

Hewan yang tergolong kedalam makrovertebrata perairan sungai adalah

kelas Pisces atau ikan. Ikan termasuk vertebrata akuatis dan bernafas dengan

insang (beberapa jenis bernafas melalui alat tambahan berupa modifikasi

gelembung renang/gelembung udara). Mempunyai otak yang terbagi menjadi

region- region. Otak dibungkus dalam tulang kranium (tulang kepala) yang berupa

kartilago (tulang rawan) atau tulang sejati. Memiliki sepasang mata. Kecuali ikan-

ikan siklostomata, mulut ikan disokong oleh rahang. Telinga hanya terdiri dari

telinga dalam, berupa saluran - saluran sirkular, sebagai organ keseimbangan

(equilibrium). Sirkulasi mengangkut aliran seluruh darah dan jantung melalui

insang lalu keseluruh bagian lain. Tipe ginjal adalah pronefros dan mesonefros

(Brotowidjojo, 1993).

24

Ikan termasuk hewan yang bersifat poikiloterm, serta selalu membutuhkan

air untuk hidupnya, karena ikan merupakan hewan air yang mengalami kehidupan

sejak lahir atau menetas dari telurnya sampai akhir hidupnya di air (Achjar, 1986).

Selanjutnya dijelaskan bahwa air merupakan habitat ikan yang erat kaitannya

dengan pembentukan struktur tubuh ikan, proses pernapasan, cara pergerakan,

cara memperoleh makanan, reproduksi dan segala hal yang diperlukan bagi ikan.

Menurut Rifai, dkk (1983) penyebaran ikan diperairan sangat dipengaruhi

oleh faktor - faktor lingkungan yang dapat digolongkan menjadi empat macam,

yaitu: Universitas Sumatera Utara faktor biotik, abiotik, faktor teknologi dan

kegiatan manusia. Faktor biotik yaitu faktor alam yang hidup atau jasad hidup,

baik tumbuh - tumbuhan maupun hewan. Dan faktor abiotik mencakup faktor fisik

dan kimia, yaitu cahaya, suhu, arus, garam - garam organik, angin, pH, oksigen

terlarut, salinitas dan BOD.

b) Makroinvertebrata Perairan Sungai

Makroinvertebrata merupakan invertebrata dasar perairan dengan

pergerakan relatif lambat dan keberadaannya bergantung pada keadaan substrat

dasar, kecepatan arus, dan kualitas perairan (Yunitawati, 2012).

Makroinvertebrata atau lebih dikenal sebagai siput air ini merupakan salah

satu makroinvertebrata yang terdapat di berbagai perairan. Kelas ini memiliki

variasi yang sangat beeragam pada perairan tawar dengan cangkangnya yang

beragam dari bentuk yang spiral sampai bentuk yang piringan (Susanto, 2012).

Makroinvertebrata biasanya mengkonsumsi algae serta debris tumbuhan maupun

hewan pada permukaan batu atau tumbuhan tempat tinggalnya (Putri, 2007).

Kondisi habitat yang disukai oleh makroinvertebrata adalah berada pada Ph

25

dengan kisaran antara 6,7-9,0, serta kadar oksigen terlarut 0,5-14 ppm

(Minggawati, 2013). Makroinvertebrata sungai biasanya merupakan bentos

(Yuniar, 2012).

Berdasarkan tempat hidupnya, bentos dapat dibedakan menjadi epifauna

yaitu bentos yang hidupnya di atas substrat dasar perairan dan infauna,yaitu

bentos yang hidupnya tertanam di dalam substrat dasar perairan. Berdasarkan

siklus hidupnya bentos dapat dibagi menjadi holobentos, yaitu kelompok bentos

yang seluruh hidupnya bersifat bentos dan merobentos, yaitu kelompok bentos

yang hanya bersifat bentos pada fase-fase tertentu dari siklus hidupnya (Barus,

2004). Menurut Lalli dan Pearsons (1993), hewan bentos dapat dikelompokkan

berdasarkan ukuran tubuh yang bisa melewati lubang saring yang dipakai untuk

memisahkan hewan dari sedimennya. Berdasarkan kategori tersebut bentos dibagi

atas :

a. Makrozoobentos, kelompok hewan yang lebih besar dari 1,0 mm. Kelompok

ini adalah hewan bentos yang terbesar, jenis hewan yang termasuk kelompok ini

adalah molusca, annelida, crustaceae, beberapa insekta air dan larva dari diptera,

odonata dan lain sebagainya.

b. Mesobentos, kelompok bentos yang berukuran antara 0,1 mm -1,0 mm.

Kelompok ini adalah hewan kecil yang dapat ditemukan di pasir atau lumpur.

Hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca kecil, cacing kecil, dan

crustaceae kecil.

c. Mikrobentos, kelompok bentos yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm.

Kelompok ini merupakan hewan yang terkecil. Hewan yang termasuk ke

dalamnya adalah protozooa khususnya cilliata.

26

2.3 Materi Biologi SMA/MA

Sesuai dengan kurikulum yang berlaku saat ini yaitu kurikulum 2013 telah

diuraikan terkait ruang lingkup mata pelajaran Biologi SMA/MA. Biologi sebagai

bagian dari struktur keilmuan IPA tidak terlepas dari hukum-hukum dan

karakteristik dalam IPA. Biologi juga terdiri dari produk dan proses, serta

menumbuhkan sikap dan nilai pada diri peserta didik. Namun demikian, sebagai

bidang kajian tersendiri, Biologi memiliki karakteristik khusus yang berbeda dari

kajian IPA lainnya seperti fisika dan kimia. Biologi mempelajari tentang gejala-

gejala alam pada makhluk hidup dan perikehidupan, serta kaitan biologi dengan

lingkungan alam dan sosial. Maka Biologi mempelajari tentang Bioproses yang

berlangsung pada objek biologi berupa kingdom makhluk hidup dan bioproses

pada tingkat organisasi kehidupan dari mulai seluler hingga biosfer. Biologi

memiliki tema-tema kajian yang dapat dikaji dari bioproses yang terjadi pada

objek biologi dan struktur organisasi kehidupan. Biologi sebagai keilmuan

memiliki ruang lingkup berupa: Objek Biologi, berupa kingdom atau kerajaan

makhluk hidup, Tingkat Organisasi Kehidupan, mulai dari molekul sampai

dengan biosfer, dan Tema persoalan dalam biologi, terdiri dari 9 (Sembilan) tema.

1. Ruang Lingkup Biologi yang termasuk objek Biologi, yaitu:

Menurut Withaker (1969), objek kajian biologi yang berupa seluruh ragam

kehidupan dikelompokkan menjadi 5 dunia kehidupan (kingdom), dan sembilan

tema. Sedangkan menurut Carl Woose (1977), kingdom monera dibedakan

menjadi dua subkingdom, yakni Archaebacteria dan Eubacteria.

a. Monera

b. Protista

27

c. Mycota (Fungi)

d. Plantae

e. Animalia

2. Ruang Lingkup Biologi yang termasuk organisasi kehidupan, yaitu:

Semua objek tersebut dikaji pada berbagai tingkat organisasi kehidupan

yang meliputi tujuh tingkat, yaitu mulai dari tingkat molekul, sel, jaringan dan

organ, individu (organisme), populasi, komunitas, serta biosfer. Urutan tingkatan

biologi dan organisasinya dinamakan hierarki kehidupan.

a. Molekul

b. Sel

c. Jaringan dan organ

d. Organisme

e. Populasi

f. Komunitas

g. Biosfer

3. Ruang Lingkup Biologi yang termasuk tema-tema Biologi, yaitu:

a. Biologi sebagai penemuan (inquiry)

b. Sejarah perkembangan biologi,

c. Keanekaragaman dan keseragaman,

d. Hubungan struktur dan fungsi,

e. Genetika dan keberlangsungan hidup,

f. Organisme dan lingkungan,

g. Perilaku organisme,

h. Evolusi,

28

i. Regulasi dan homeostasis.

Ruang lingkup untuk tiap kelas adalah sebagai berikut:

Kelas X

Ruang lingkup biologi (obyek, permasalahan,cabang, produk dan profesi yang

berkaitan dengan biologi), keanekaragaman hayati, klasifikasi mahluk hidup dan

ekosistem

Kelas XI

Struktur dan fungsi sel sebagai unit struktural dan fungsional mahluk hidup,

struktur dan fungsi jaringan dan organ tumbuhan dan hewan serta struktur, fungsi

dan kelainan pada sistem organ terutama sistem organ pada manusia

Kelas XII

Pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup, proses metabolisme sel,

Genetika, evolusi dan bioteknologi (PERMENDIKBUD No. 59 Tahun 2014).

Berdasarkan penjelasan diatas materi yang akan dijadikan bahan sebagai

pengembangan bahan ajar oleh peneliti terletak pada kelas X yaitu tentang

Kenakeragaman Hayati yang berfokus pada keanekaragaman fauna ekosistem

sungai. Sebagai langkah untuk mempermudah penjelasan materi bagi siswa

SMA/MA keanekaragaman fauna yang diuraikan pada pengembangan bahan ajar

difokuskan pada keanekaragaman tingkat jenis yaitu keanekaragaman makrofauna

yang paling dominan (makrozoobentos, crustaceae, mollusca, dan pisces). Adapun

Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang berkaitan dengan materi

Keanekaragaman Fauna seperti pada tabel 2.1

29

Tabel 2.1 Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pada Kurikulum 2013 materi Keanekaragaman Hayati

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar

4. Mengolah, menalar, dan menyaji

dalam ranah konkret dan ranah

abstrak terkait dengan

pengembangan dari yang

dipelajarinya di sekolah secara

mandiri, dan mampu menggunakan

metoda sesuai kaidah keilmuan.

3.2 Menganalisis data hasil obervasi

tentang berbagai tingkat

keanekaragaman hayati (gen, jenis dan

ekosistem) di Indonesia.

4.2 Menyajikan hasil identifikasi usulan

upaya pelestarian keanekaragaman

hayati Indonesia berdasarkan hasil

analisis data ancaman kelestarian

berbagai keanekaragaman hewan dan

tumbuhan khas Indonesia yang

dikomunikasikan dalam berbagai

bentuk media informasi.

2.4 Pengembangan Bahan Ajar

2.4.1 Definisi Bahan Ajar

Salah satu unsur penting dalam proses pembelajaran adalah bahan ajar.

Kualitas pembelajaran juga ditentukan oleh kualitas bahan ajar yang digunakan

oleh guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Menurut Dimyati dan

Mudjiono (2009), bahan ajar dapat berwujud benda dan isi pendidikan. Isi

pendidikan tersebut dapat berupa pengetahuan, perilaku, nilai, sikap, dan metode

pemerolehan. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang dapat digunakan untuk

membantu guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Menurut Majid

(2009) bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu

guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar baik berupa bahan

tertulis maupun bahan tidak tertulis, dengan menggunakan bahan ajar

memungkinkan siswa untuk dapat mempelajari materi atau KD secara runtut dan

30

sistematis sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua pembelajaran

secara utuh dan terpadu.

Bahan ajar memiliki dua kedudukan yaitu sebagai bahan ajar pokok

ataupun suplementer. Bahan ajar pokok adalah bahan ajar yang memenuhi

tuntutan kurikulum. Sedangkan bahan ajar suplementer adalah bahan ajar yang

dimaksudkan untuk memperkaya, menambah, ataupun memperdalam isi

kurikulum (Depdiknas, 2008). Menurut Sudrajat (2008), adapun prinsip-prinsip

untuk menentukan cakupan materi bahan ajar meliputi, 1) keluasan materi, adalah

menggambarkan berapa banyak materi-materi yang dimasukkan kedalam suatu

bahan ajar, 2) kedalaman materi adalah seberapa detail konsep-konsep yang harus

dipelajari/dikuasai oleh siswa.

Sebuah bahan ajar paling tidak mencangkup anatara lain: (1) petunjuk

belajar (petunjuk siswa atau guru); (2) kompetensi yang akan dicapai; (3)

informasi pendukung; (4) latihan-latihan; (5) petunjuk kerja, dapat berupa lembar

kerja (LK); dan (6) evaluasi (Majid, 2005). Berdasarkan uraian tersebut, terdapat

panduan khusus dalam menyusun bahan ajar yang baik sehingga tujuan dibuatnya

bahan ajar dapat tercapai. Bahan ajar yang baik seharusnya minimal mencangkup

keenam aspek yang telah diuraikan.

2.4.2 Manfaat Bahan Ajar

Bahan ajar merupakan komponen penting dalam keseluruhan proses

pembelajaran mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan sebagai pedoman

guru dalam sistem pembelajaran. Menurut Majid (2005), manfaat bahan ajar

dalam proses pembelajaran baik bagi guru ataupun siswa adalah:

(1) Membantu siswa dalam mempelajari sesuatu;

31

(2) Memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran;

(3) Membuat kegiatan pembelajaran jadi lebih menarik; dan

(4) Menyediakan berbagai jenis pilihan bahan ajar.

2.4.3 Jenis Bahan Ajar

Menurut Mudlofir (2011), bahan ajar secara garis besar dapat

dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu:

1. Bahan ajar pandang (visual)

Terdiri dari bahan cetak (printed) seperti antara lain handout, buku, modul,

lembar kerja siswa, brosur, leaflet dan non cetak seperti model/maket.

2. Bahan ajar dengar (audio)

Seperti kaset, radio, piringan hitam, dan compact disk audio.

3. Bahan ajar pandang dengar (audio visual)

Seperti compact disk dan film

4. Bahan ajar multimedia interaktif

Seperti CAI (Computer Assisted) dan bahan ajar berbasis web.

2.4.4 Pengembangan Bahan Ajar Modul

2.4.4.1. Modul

Menurut Djauhar, dkk (2008) modul merupakan suatu unit program

pembelajaran yang disusun dalam bentuk tertentu untuk keperluan belajar, dalam

pengertian ini dapat diketahui bahwa modul dimaksud sebagai modul

pembelajaran (instructional module). Menurut Prastowo (2012), Modul

merupakan salah satu bahan ajar cetak yang disusun dengan struktur tertentu yang

memungkinkan siswa dapat belajar mandiri. Melalui pembelajaran dengan modul

ini, diharapkan siswa mampu belajar tanpa adanya bimbingan dari guru atau

tenaga pendidik lainnya. Sedangkan menurut Majid (2008), modul merupakan

32

sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar peserta didik dapat belajar secara

mandiri tanpa atau dengan bimbingan guru.

Menurut beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan, bahwa modul

adalah suatu paket pembelajaran mandiri yang terdiri dari serangkaian

kegiatan belajar yang disusun secara sistematis, operasional, terarah dan

digunakan oleh siswa yang disertai petunjuk/pedoman penggunaannya baik

bagi siswa maupun bagi guru untuk mempermudah siswa mencapai seperangkat

tujuan pembelajaran dan belajar secara mandiri.

Menurut Prastowo (2012), modul termasuk dalam kelompok sumber

belajar yang menggunakan bahasa verbal yang tertulis sebagai media utama

komunikasi. Struktur modul meliputi tujuh komponen, yaitu: (1) judul, (2)

petunjuk belajar, (3) kompetensi dasar atau materi pokok, (4) informasi

pendukung, (5) latihan, (6) tugas atau langkah kerja, dan (7) penilaian.

Komponen-komponen tersebut membuat modul menjadi salah satu bahan ajar

yang dapat menuntun siswa untuk belajar mandiri. Sebuah modul akan bermakna

kalau peserta didik dapat dengan mudah menggunakannya. pembelajaran

dengan modul memungkinkan seorang peserta didik yang memiliki kecepatan

tingggi dalam belajar akan lebih cepat menyelesaikan satu atau lebih

kompetensi dasar dibandingkan dengan peserta didik lainnya. Oleh karena itu,

modul harus menggambarkan kompetensi dasar yang akan dicapai oleh peserta

didik, disajikan dengan menggunakan bahasa yang baik, menarik, dilengkapi

dengan ilustrasi.

33

2.4.4.2. Model Pengembangan Modul

Menurut Sugiyono (2010), penelitian dan pengembangan merupakan

metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan

menguji keefektifan produk yang akan dikembangkan. Menurut Kurniawan

(2013), dalam mengembangkan bahan belajar pertama kali yang perlu dilakukan

adalah dengan menganalisis kebutuhan bahan ajar dilapangan dan karakteristik

sasaran, setelah menganalisis karakteristik dan kebutuhan siswa, selanjutnya

mendesain bahan belajar sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa.

Menurut Amin (2010), Amin (2015), dan Amin (2016), pengembangan bahan ajar

berupa modul berbasis penelitian kekinian dan berbasis penelitian sangat penting

karena akan memberikan penguatan pengembangan pendidikan yang dilandasi

oleh perkembangan keimuan biologi kekinian. Hal ini diharapkan mampu

mempermudah siswa dalam mengembangkan kemampuan kognitif, psikomotorik,

dan afektifnya secara maksimal.

Penelitian pengembangan modul telah banyak dilakukan oleh peneliti-

peneliti sebelumnya dengan model, karakteristik serta materi pengembangan yang

berbeda. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Budiningsih (2011) menunjukkan

bahwa modul sistem pernafasan berbasis LC dengan penekanan pada tahap

engagement mendapat tanggapan yang sangat baik dari siswa dan guru dan sesuai

dengan standar kelayakan bahan ajar menurut kriteria BSNP. Puspitaningrum

(2013) telah melakukan pengembangan modul biologi materi keanekaragaman

mamalia berbasis potensi lokal untuk siswa SMA/MA kelas X semester genap

mendapat respon yang baik dari siswa dan memiliki kualitas yang sangat baik

sehingga modul yang dikembangkan layak digunakan sebagai acuan guru dalam

34

pembelajaran biologi sekaligus dapat dipakai siswa sebagai salah satu bahan ajar

biologi.

Penelitian dilakukan menggunakan prosedur penelitian pengembangan

ADDIE. yang terdiri atas 5 tahap, yaitu Analyze, Design, Develope,

Implementation, dan Evaluation (Branch, 2009). Gambar 3.1 menunjukkan

konsep model pengembangan ADDIE (Clark, 2015)

Gambar 2.1 Tahap-tahap model pengembangan ADDIE. Sumber: Clark, 2015

a) Analyze

Tahap analisis merupakan tahap awal dari penelitian pengembangan yang

bertujuan untuk mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan penyebab dari

ketidakseimbangan kondisi nyata dengan kondisi ideal (performance gap) atau

masalah yang ada sehingga memerlukan suatu pengembangan produk.

b) Design

Tahap ini merupakan tahap kedua dari penelitian pengembangan yang

dilakukan. Tahap ini bertujuan untuk memverifikasi tujuan yang diharapkan

35

dengan kesesuaian spesifikasi produk yang dikembangkan. Pada akhir tahap ini,

akan diperoleh spesifikasi fungsi dari produk yang dikembangkan. Berikut adalah

langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini.

1) Mendaftar hal-hal yang dibutuhkan.

2) Menyusun tujuan pengembangan produk.

3) Menyusun strategi pengujian.

c) Development

Tahap ini merupakan tahap pengembangan, yang memiliki tujuan untuk

mengembangkan bahan ajar serta memvalidasi bahan ajar yang dikembangkan.

Setelah melewati tahap ini, akan dihasilkan produk dibutuhkan untuk tahap

Implentation. Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai

berikut.

1) Menyusun isi/materi.

2) Memilih atau mengembangkan media pendukung.

3) Melakukan revisi formatif. Revisi dilakukan berdasarkan hasil validasi dan uji

coba awal.

d) Implementation

Tahap implement atau penerapan bertujuan untuk menerapkan produk

yang telah dikembangkan agar dapat menciptakan lingkungan belajar yang

menarik untuk siswa.

e) Evaluate

Tahap evaluate atau evaluasi bertujuan untuk menilai kualitas produk.

Berikut adalah uraian dari langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini.

1) Menentukan kriteria evaluasi.

36

2) Memilih alat evaluasi.

3) Melakukan evaluasi (Branch, 2009).

37

2.5 Kerangka Konseptual

Ekosistem Sungai

Biotik Abiotik

Fauna Flora

Suhu, pH,

COD, BOD,

DO

Keanekaragaman Fauna

Ekosistem Sungai

4. Pembelajaran biologi menuntut interaksi antara subjek belajar dengan objek yang dipelajari.

5. Guru seharusnya dapat mengembangkan bahan ajar yang dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran.

6. Modul merupakan bahan ajar yang dapat menuntun siswa untuk belajar secara mandiri.

4. Pembelajaran biologi dilakukan didalam kelas dengan metode ceramah, diskusi-presentasi, dan praktikum sederhana.

5. Guru menggunakan buku paket, modul, handout yang hanya berisi materi dalam proses pembelajaran

6. Modul yang ada hanya berisi ringkasan materi.

Dibutuhkan bahan ajar yang dapat memfasilitasi siswa melakukan pembelajaran langsung dilingkungan dan menuntun siswa untuk belajar secara mandiri sehingga dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran.

Pengembangan Modul Biologi tentang Keanekaragaman Fauna pada Ekosistem Sungai berbasis Riset Identifikasi untuk siswa

SMA/MA Kelas X.

Proses pembelajaran biologi masih cenderung monoton karena bahan ajar yang tersedia masih kurang dapat menuntun siswa untuk belajar secara mandiri

Uji Validasi dan Kefektivan

Tidak Layak Layak

Modul Biologi tentang Keanekaragaman Fauna pada Ekosistem Sungai berbasis Riset Identifikasi untuk siswa SMA/MA Kelas X.

Ekosistem Sungai

Biotik Abiotik

Fauna Flora

Suhu, pH,

COD, BOD,

DO

Keanekaragaman Fauna

Ekosistem Sungai

1. Pembelajaran biologi menuntut interaksi antara subjek belajar dengan objek yang dipelajari.

2. Guru seharusnya dapat mengembangkan bahan ajar yang dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran.

3. Modul merupakan bahan ajar yang dapat menuntun siswa untuk belajar secara mandiri.

1. Pembelajaran biologi dilakukan didalam kelas dengan metode ceramah, diskusi-presentasi, dan praktikum sederhana.

2. Guru menggunakan buku paket, modul, handout yang hanya berisi materi dalam proses pembelajaran

3. Modul yang ada hanya berisi ringkasan materi.

Dibutuhkan bahan ajar yang dapat memfasilitasi siswa melakukan pembelajaran langsung dilingkungan dan menuntun siswa untuk belajar secara mandiri sehingga dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran.

Pengembangan Modul Biologi tentang Keanekaragaman Fauna pada Ekosistem Sungai berbasis Riset Identifikasi untuk siswa

SMA/MA Kelas X.

Proses pembelajaran biologi masih cenderung monoton karena bahan ajar yang tersedia masih kurang dapat menuntun siswa untuk belajar secara mandiri

Uji Validasi dan Keterbacaan

Tidak Layak Layak

Modul Biologi tentang Keanekaragaman Fauna pada Ekosistem Sungai berbasis Riset Identifikasi untuk siswa SMA/MA Kelas X.