bab ii tinjauan politik hukum pembatasan …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_bab-ii, iii,...
TRANSCRIPT
25
BAB II
TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN PERMOHONAN PERKARA
SENGKETA SELISIH PEROLEHAN SUARA HASIL PEMILIHAN KEPALA
DAERAH DI MAHKMAH KONSTITUSI
A. Pengertian Tentang Politik Hukum
Pembentukan hukum, begitulah dua kata dari asal kata politik hukum, arti
ini merupakan aktivitas dalam sendi negara hukum atau dikenal dalam arti
pembentukan undang-undang. Bagi penyelenggara negara, dalam
menyelenggarakan dan mengelola negara, undang-undang sebagai dasar legalitas
penyelenggaraan negara. Demikian hal, dikatakan lalim bila suatu tindakan
pemerintah yang mengelola serta menyelenggarakan pemerintahan tanpa landasan
undang-undang.42
Dalam mengamati politik hukum dikatakan perlunya penjabaran dimensi
hukum sebagai alat serta cakupan politik hukum dan peran politik terhadap
hukum serta indikator politik dan hukum pada orientasi politik hukum (undang-
undang) sebagai pembangunan hukum nasional. Hal ini dimaksudkan agar tidak
terdapat pemahaman kabur mengenai pendalaman politik hukum. Demikian hal,
sampailah pada bagaimana tinjauan politik hukum pembatasan permohonan
perkara sengketa selisih perolehan suara hasil pemilihan kepala daerah di
Mahkamah Konstitusi.
42
Patriani Siahan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang: Pasca Amandemen
UUD 1945, (Jakarta: Konpress, 2012), hlm. xiii.
26
Istilah politik hukum bagi kalangan ilmuan hukum lebih mempopulerkan
pada pandangan yang dikemukakan oleh Padmo Wahjono, sebagaimana dikutip
oleh Mahfud MD dalam persmaan definisi secara subtantif dalam karya bukunya
berjudul Politik Hukum di Indonesia, Bahwa istilah Politik Hukum adalah
kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan
dibentuk. Rumusan definisi demikian lebih diperjelas kembali oleh Padmo
Wahjono dalam karyanya yang berjudul Menyelisik Proses Terbentuknya
Perundang-Undangan, mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan
penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan
sesuatu.43
Menyangkut persamaan definisi secara substantif ini, Mahfud MD
menjabarkan pandangannya substansi mengenai politik hukum adalah legal police
atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan sebagai
pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka
mencapai tujuan negara. Demikian hal, pandangan ini memberi ukuran
substantifnya pada pilihan hukum baik hukum-hukum yang akan dicabut atau
tidak diberlakuakan atas pilihan hukum-hukum yang akan diberlakukan sebagai
upaya tujuan negara sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD
1945.44
43
Mahfud MD, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 1.
44
Ibid.., hlm. 1.
27
Pengertian Politik hukum dapat dibagi kedealam beberapa pengertian yang
diataranya secara etimologis dan terminologis. Sebagai persfektif etimologis
politik hukum merupakan terjemahan bahasa Belanda “recht politik” yang berarti
kebijakan (policy) sehingga dapat dikatakan sebagai kebijakan hukum, sedangkan
kebijakan dalam kamus bahan Indonesia berarti rangkaian konsepdan asas dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Dengan
demikian, politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis
besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan
cara bertindak dalam bidang hukum.45
Sarjipto Rahardjo mendifinisikan politik hukum mendefinisikan politik
hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai
tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Demikian hal, kembali
Sarjipto Rahrdjo membagi pertanyaan mendasar terhadap studi politik hukum,
yaitu: Pertama, tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada;
Kedua, cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dicapai
mencapai tujuan tersebut; Ketiga, kapan wkatunya hukum itu perlu diubah dan
melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebagaiknya dilakukan; dan Keempat,
dapatlah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu kita
memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan
tersebut secara baik.46
45
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa,
2008.
46
Sarjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 1991), hlm. 352.
28
Dari pendekatan studi hukum inilah, perumusan mengenai variabel politik
hukum sebagaimana hakikatnya dapat dilihat melalui dua disiplin hukum, yakni
anatara displin ilmu hukum dan filsafat hukum. Demikian hal, Pandangan ini
dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan Purbadcaraka yang dikutip oleh Sri
Soemantri, mengatakan pada ilmu hukum terarah pada cara untuk mencapai
tujuan, kemudian letak filsafat hukum diarahkan untuk melihat tujuan yang
diinginkan.47
Pendekatan demikian sembari terbagi dalam dua tataran:
Pertama, dikatakan sebagai displin hukum pada tataran kelahiran politik
hukum sebagai aktivitas pembuatan kebijakan. Selaras dengan pandangan negara
hukum, politik hukum sebagai perwujudan negara berdasarkan hukum, hal ini
sebagai reaksi penolakan terhadap negara berdasarkan kekuasaan. Kedua,
dikatakan pula pada tataran politik hukum dalam displin hukum sebagai ruang
gerak pada orientasi etik dan teknik kegiatan pembentukan hukum dan penemuan
hukum. Demikian hal, politik hukum pada kedua ukuran ini guna mengamati
jangkauan hukum yang dibentuk memiliki nilai guna dan gerak dalam proses
modifikasi masyarakat yang dinginkan. Transformasi diatas menegaskan
perlibatan akan unsur-unsur yang mendukung terjadinya proses harus menjadi
perhatian bersama, baik dalam hal ihwal idiologi atau ajaran-ajaran politik.48
Sebagai sebuah dualitas tataran dari displin hukum ini terhadap politik
hukum, tak lepas keberangkatannya melalui pandangan dari sejak jauh-jauh hari
47
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi Dalam Batang Tubuh UUD
1945 (sebeum dan sesudah Perubahan UUD 45), (Bandung: Alumni Bandung, 2006), hlm. 35. 48
Ibid.., hlm. 40.
29
atas sumbangsih pemikiran Socrates yang menyampaikan pendefinisian hukum
sebagai tatanan kebijakan, yakni sesuai dengan hakikat manusia sebagai tatanan
yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum tidak mengamini
aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filusufionia),
tidak pula bahwa hukum sebagai aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri
(kontra kaum sofis). Sejatinya hukum adalah tatanan objektif untuk mencapai
kebajikan dan keadilan umum.49
Menurut Sudarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui
badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengeksprseikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.50
1. Segi Hukum Sebagai Alat
Di awal mengenai pengertian politik hukum sebagai pemaparan kebijakan
suatu pilihan hukum yang akan diberlakukan dan penggantian hukum yang lama
sebagai upaya perwujudan hukum yang di cita-citakan. Kemudian, pada tataran
pembentukan hukum yang oleh badan-badan pembentuk hukum dalam
mengaspirasikan suara masyarakat, keberlakuan pembentukan hukum demikian
tak lepas dari sarana dalam menjembatani proses pembentukan hukum sebagai
posisi perwujudan tujuan negara. Hal ini diamini oleh pendapat Sunaryati Hartono
49
Veri Junaidi., dkk, Politik Hukum Sistem Pemilu: Potret Keterbukaan Dan Partisipasi
Publik Dalam Menyusun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan DPR, DPD,
dan DPRD, (Jakarta: Yayasan Perludem, 2013), hlm. 28.
50 Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum
Pidana, (Bandung: Sinar baru, 1983), hlm. 20.
30
yang dikutip oleh Mahfud MD dengan pernyataan “hukum sebagai alat”
menunjukkan posisi hukum sebagai saran pencapaian hukum dalam kerangka
sistem hukum nasional atas pengejawantahan cita-cita bangsa, sekaligus tujuan
negara.51
Senada dengan pandangan yang dikemukakan oleh Hoogerwerf dalam
Bachan Mustafa mengatakan bahwa kebijakan dalam politik hukum sebagai
sarana yang memiliki sifat yuridis pemerintahan dengnan membedakan kriteria
sarana sebagai: Pertama, Sarana untuk pengaturan aktivitas-aktivitas warganegara
(undang-undang, ketentuan-ketentuan administrasi dan sanksi); Kedua, Sarana
untuk pengaturan antara pemerintah dan yang diperintah (perlindungan hukum,
diantaranya dalam bentuk banding dan apel administrasi serta pengadila
administrasi, dan perlindungan kepentingan-kepentingan, antara lain dalam
bentuk “Inspraak” dan keterbukaan; Ketiga, sarana untuk pengaturan tindakan-
tindakan dari hubungan antara badan-badan pemerintahan (diataranya meliputi
pengawasan, perencanaan, berjangka dan analisis kebijaksanaan.52
Sarana pencapaian hukum dalam pembagiannya terbagi kedalam dua sifat
keberlakuan politik hukum: Pertama, bersifat permanen dalam arti pemberlakuan
pada hukum dalam rentang jangka panjang seperti prinsip yudisial, pergantian
hukum-hukum kolnial diganti dengan hukum-hukum nasional, penguasaan
sumber daya alam oleh negara melalui undang-undang agraria, ekonmi
51
Mahfud MD, Politik Hukum.., hlm. 2-3. 52
Bachan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2003), hlm. 53.
31
kerakyatan, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan produk hukum lainnya yang
bersifat permanen dalam menunjuk langkah format yang terkandung dalam
muatan UUD atas keberlakuan politik hukum. Kedua, bersifat periodik dalam arti
keberlakuan atau pencabutan hukum secara politik hukum dengan pilihan yang
dibuat atau dibentuk sesuai dengan sistuasiyangberkembang dan dihadapi pada
setiap periode tertentu. Misalnya, 2004-2009 terdapat 250 lebih rencana program
legislasi nasional (prolegnas).53
2. Dimensi Kajian Politik Hukum
Pada studi politik hukum, terdapat dua hal yang menjadi letak
perkembangan hukum, kedua hal tersebut meliputi dimensi politis dan dimensi
filosofis. Dikatakan sebagai kajian politik dan hukum memiliki keterkaitan yang
relevan dalam perkembangan hukum, perkembangan demikian dilandasi oleh
pandangan dengan melihat law as a political instrument yang kemudian arah
perkembangannya terhadap poitik hukum sebagai bidang kajian tersndiri dengan
sebutan political gelding van recht, dalam arti dasar berlakunya hukum secara
politik. Manifestasi perkembangan tersebut berkaitan dengan adanya landasan
sosiologis dan landasan filosofis dalam mencari keterlibatan kebenaran ilmiah.
Sebagai dimensi filosofis dalam kajian hukum sebagai sisi keberangkatan
ide-ide pemikiran hukum dalam sifat keabstrakan kajiannya atas perumusan
kongkret tentang apa dan bagaimana hukum seharusnya hukum yang akan datang
(ius constituendum), yang akan dibentuk, dirumuskan, dan filsafat hukum.
53
Ibid.., hlm. 3.
32
demikian hal, pengkajian ilmu hukum menjadi arus timbal balik secara signifikan
antara filsafat hukum dengan politik hukum yang dikaji ilmu hukum.54
Pemikiran yang demikian itu dapatlah dikatakan bahwa ilmu hukum
adalah suatu kajian tentang hukum yang berada dalam domein antara politik
hukum disatu pihak dan filsafat hukum dilain pihak dan ketiga-tiganya filsafat
hukum, politik hukum merupakan suatu kerangka dasar tentang kajian hukum
yang dapat dikembangkan dalam kerangka kajian yang lebih rinci, sehingga hal
ini tidak boleh diabaikan begitu saja.
William Zevenbergen mengutarakan pandangan bahwa politik hukum
mencoba menjawab pertanyaan, peraturan-peraturan hukum mana yang patut
untuk dijadikan hukum. Perundang-undangan itu sendiri merupakan bentuk dari
politik hukum (legal policy).55
Pengertian legal policy, ini diamini dalam
pandangan Mahfud MD, mencangkup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum
yang dapat menunjukkan sifat dan kearah mana hukum dibangun. Politik hukum
memberi pilihan ke arah landasan dalam proses pembentukan hukum dengan
kesesuaian, situasi, dan kondisi, kultur serta nilai yang berkembang dimasyarakat
dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.56
54
Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm 19.
55
Ibid.., hlm. 19.
56
Mahfud MD, Politik Hukum.., hlm. 9.
33
3. Objek Kajian Politik Hukum
Objek politik hukum adalah hukum, yaitu hukum yang berlaku saat ini,
hukum yang berlaku di waktu yang lalu, maupun yang seharusnya berlaku di
waktu yang akan datang. sehingga, pada objek politik hukum dengan pendekatan
yang dipakai dalam mempelajari objek politik hukum adalam praktis ilmiah. Hal
ini terlihat pada pengejawantahan dari penunjukkan eksistensi hukum terhadap
politik hukum dari negara tertentu. Di lain hal, politik hukum
pengejawantahannya pada eksistensi hukum negara tertentu.57
Maksud diatas menyelaraskan pandangan yang dikemukakan oleh
terminologi Logeman sebagai hukum yang berlaku disni dan kini, kemudian
dalam tafsiran politik hukum, merupakan hukum yang dibuat atau ditetapkan
negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal
tersebut.58
Sebagai objek kajian, hukum suatu negara memiliki orientasi nilai,
posisi nilai sebagai ukuran kegunaan hukum itu bagi negaranya yang terdapat dari
berbagai lapisan kehidupan dan sifatnya disenangi oleh kehidupan yang
mengngkan kehidupannya bernilai dalam tataran kebermanfaatannya dan
keberlakuannya serta penjamin ketertiban dan kepastian hukum.dari keberadaan
hukum yang memiliki orientasinya seecara bernialai sekaligus ditaati,
menandakan adanya keberlakuan hukum berwatak responsif. Namun
keberlakuannya tidaklah terwujud apabila hukuum daijadikan kehendak atas
57
E. Utrech, Pengantar dalam Hukum indonesia, (Jakarta: Penerbitan universitas
Kesembilan, 1966), hlm. 74-75.
58
Regen, B.S, Politik Hukum, (Bandung: Utomo, 2006), hlm. 17.
34
kristalisasi dan kehendak politik tertentu dapat melahirkan hukum dengan
karakter tertentu.
Lebih lanjut kembali pada objek kajian politik hukum dapat dikatakan
berada pada tujuan negara. Sebagaimana pengertian dari politik hukum
menggambarkan disiplin ilmu yang mengarah pada pembangunan hukum
nasional. Arah pemabangunan nasional ini kemudian dalam paradigma suatu
negara tumbuh kembangnya berada pada kedudukannya sebagai dasar dan
idiologi negara yang tidak dipersoalkan lagi.
B. Politik Hukum Di Indonesia
Politik hukum di Indonesia adalah kebijakan dasar penyelenggara negara
(Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, yang dan telah berlaku,
yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat untuk mencapai tujuan
negara (Republik Indonesia) yang dicita-citakan.
Tujuan politik hukum nasional termuat di dalam pembukaan UUD 1945,
yang kemudian disampaiakan Mahfud MD dalam Ceramah Kunci Prosiding
Konferensi dan Dialog Negara Hukum: Pertama, sebagai konsep dalam bernegara
hukum tercantum dalam salah satu kalimat pad alinea empat yang menyatakan,
“...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar negara Indonesia merdeka akan dijalankan berdasarkan
hukum, hal inilah peletakan UUD diposisikan sebagai aturan hukum tertinggi;
35
Kedua, Konsep negara hukum tersebut untuk membentuk pemerintahan
negara yang bertujuan, baik untuk melindungi HAM secara individual maupun
kolektif yang tercermin dalam kalimat: “....melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia ang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,..”.59
Sehingga dari segi aspek dapat ditarik kedalam dua aspek yang saling
memiliki keterkaitan:
1. Sebagai satu alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk mencapai suatu sistem hukum nasional yang
dikehendaki;
2. Dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa
Indonesia yang lebih besar.
Sistem hukum memiliki arti kesatuan hukum dan/atau perundang-
undangan yang meliputi komponen secara berkaitan, dalam bangunan pencapaian
tujuan negara cita hukum negara yang berlandadaskan Pembukaan dan Pasal-
Pasal UUD 1945.60
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa Pembukaan dan Pasal-pasal
UUD 1945 merupakan sumber dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia.
59
Pidato disampaikan dalam acara Prosiding Konferensi dan Dialog Negara Hukum..,
hlm. 60.
60
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), hlm. 22.
36
Penegasan keduanya sebagai sumber politik hukum nasional didasarkan pada dua
alasan yaitu:
1. Pembukaan dan Pasal-Pasal UUD 1945 memuat tujuan, dasar, cita
hukum dan norma dasar negara Indonesia yang harus menjadi tujuan
dan pijakan dari politik hukum di Indonesia.
2. Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 mengandung nilai-nilai khas
yang bersumber dari pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang
diwariskan oleh nenek moyang sejak berabad-abad yang lalu.61
Upaya pembentukan hukum yang melalui politik hukum sebagai sarana
pencapaian tujuan cita negara hukum, maka politik hukum nasional harus berpijak
pada kerangka dasar pijakan: Pertama, Politik hukum nasional harus selalu
mengarah pada cita-cita bangsa, yakni masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila; Kedua, Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan
negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
Ketiga, Politik hukum nasional harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila
sebagai dasar negara, yakni: berbasis moral agama, menghargai dan melindungi
hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi, mempersatukan seluruh unsur bangsa
dengan semua ikatan promordialnya, meletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan
rakyat, membangun keadilan sosial;
61
Ibid., hlm. 23.
37
Keempat, Politik hukum nasional harus dipandu oleh keharusan untuk:
melindungi semua unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan bangsa yang
mencakup ideologi dan teritori, mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan
kemasyarakatan, mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi
(kedaulatan hukum), menciptakan toleransi hidup beragama berdasarkan
keadaban dan kemanusiaan; dan,
Kelima, Sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum
Pancasila, yakni sistem hukum yang mengambil atau memadukan berbagai 27
nilai kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum
prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya. Sistem hukum yang demikian,
mempertemukan unsur-unsur baik dari tiga sistem nilai dan meletakkannya dalam
hubungan keseimbangan, yakni: keseimbangan antara individualisme dan
kolektifisme, keseimbangan antara rechtsstaat dan the rule of law, keseimbangan
anatara hukum sebagai alat untuk memajukan dan hukum sebagai cermin nilai-
nilai yang hidup di dalam masyarakat, keseimbangan antara negara agama dan
negara sekuler (theo-demokratis) atau religius nation state.62
Sebagai cita hukum nasional, maka politik hukum nasional diposisikan
dalam bentuk dan proses atas pedomannya, begitu juga pada tataran dalam
mengoperasionalkan pedoman politik hukum yang baik, maka hasil kritalisasi
yang telah dirumuskan kedalam suatu produk hukum, mengindikasiakn bahwa
62
Ibid., hlm. 30-32.
38
terdapat hirarkis tata urutan perundang-undangan yang tak lepas dari dimana
keadaan hukum itu diberlakukan di suatu negara.
Pada transisi paska kemerdekaan Indonesia, aturan dalam pembentukan
perundang-undangan dengan produk hukum legalitasnya yakni Undang-Undang
Nomoror 12 Tahun 2011 perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Secara hirarkis tata urutan
perundang-undangan, termuat dalam Pasal 7 ayat (1).
Undang-undang ini merupakan amanat reformasi dalam ranggka
perwujudan pembangunan hukum nasional atas dukungan melalui cara dan
metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang
memiliki kewenangan dalam pembentukannya. Demikian hal, dalam amanat
reformasi inilah jika sampai pada UUD 1945 sejak keempat kalinya perubahan
terhadap UUD 1945 yang dibidani oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).63
Rumusan Pasal dalam UUD yang merupakan produk amandemen dari
MPR dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Dewan Perwakilan Daerah sebagai
cetak biru dalam rangka memformulasikan tujuan negara, dan kemudian
perumusannya yang ditukangi oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai proses
legislasi nasional. Kedua produk hukum tersebut maupun keseluruhan heirarkis
63
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,
(Jakarta: Pusat Studi hukum tata Negara Universitas Indonesia, 2002), hlm. 5.
39
produk hukum cakupannya perlu di perhatikan, sejak keberlakuan UUD 1945
memberikan kewenangan legislatif secara teknik proseduralnya.64
C. Politik Hukum Pembatasan Permohonan Perkara Sengketa Selisih
Perolehan Suara Hasil Pemilihan Kepala Daerah Di Mahkamah
Konstitusi
Politik hukum pembatasan perkara sengketa selisih perolehan suara hasil
pemilihan kepala daerah termuat dalam Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang R.I Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang, dalam rinciannya sebagai berikut
ini:
Tabel 1.Ambang Batas (Sistem treshold)
No Jumlah penduduk
(pemilihan Calon
Gubernur dan
Calon Wakil
Gubernur)
Perbedaan suara
Pemohon dengan
Pasangan calon
Peraih suara
Terbanyak
Jumlah penduduk
(pemilihan Calon
Bupati dan Calon
Wakil Bupati serta
Walikota dan Wakil
Walikota)
Perbedaan suara
Pemohon dengan
Pasangan calon
Peraih suara
Terbanyak
64
Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan..., hlm. 5.
40
1 ≤2.000.000 2% ≤ 250.000 2%
2
>2.000.000-
6.000.000
1,5% > 250.000- 500.000 1,5%
3
>6.000.000-
12.000.000
1.5% >500.000- 1.000.000 1%
4 >12.000.000 0,5% >1.000.000 0,5%
Pada politik hukum terkait sistem pengajuan pembatalan penetapan hasil
perhitungan Suara Pilkada meliputi: Pertama, sebagai sistem threshold politik
hukum pasal 185 UU Pilkada penerapanya sebagai kebijakan arah kebijakan yang
akan dibentuk. Sekaligus pembentuk Undang-Undang mencegah Mahkamah
Konstitusi tidak mengulang keterperosokan kembali dalam kasus suap perkara
Pilkada yang dapat merenggut kehormatan kekuasaan kehakiman serta merenggut
kedaulatan rakyat.65
Disisi lain, penangan pilkada satu putaran (serentak) lebih
berat dari pada sebelumnya, yang kemudian pemberlakuan selisih tipis yang
begitu ketat yang menjadi persyaratan serta indikator di jauh-jauh hari pasangan
calon Pilkada menggugat kekalahannya ke Mahkamah Konstitusi. Demikian hal,
agar yang kalah tidak mempersoalkan ke Mahkamah Konstitusi maka perlunya
penerapan selisih tipis yang ketat yang menjadi pembatasnya. Serta belum adanya
definisi konferehensif mngenai pelanggaran struktur, sistematis, dan masif, dalam
hal ini pembentuk UU menerapkan pemangkasan jumlah kasus yang ditangani
oleh Mahkamah Konstitusi, serta pada tataran politik hukum tentunya mencegah
65
Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Pengajuan Perkara.., hlm. 86.
41
terjadinya tradisi yang memungkinkan ketiadaan tindak penegakan etika dan
budaya moral yang makin dewasa. 66
Kedua, Sejak jauh-jauh hari pelaksanaan pilkada telah terlaksana secara
langsung, karena Mahkamah menegaskan konsitensi dalam sifat isu konstitusi
terkait pemisahan kewenangan dengan isu kebijakan (legal policy), penegasan
demikian secara relevansinya melalui preoblem kebijakan dengan problem
konstitusi, sebagaimana dalam beberapa putusan MK No. 017/PUU-I/2003, No.
002/PUU-II/2004, dan putusan No. 114/PUU-VII/2009, dengan kesimpulan
terhadap konteks kebijakan hukum terbuka, syarat-syarat untuk mengikuti pemilu,
hak pilih, dan mekanisme penyelesaian sengketa hasil Pemilu sebagai
kewenangan pembentuk Undang-Undang67
.
Menjelang akhir tahun 2013, terdapat sekelompok warga negara
mengajukan permohonan ke Mahkamah Kontitusi, permohonan ditunjuk terkait
kewenangan Mahkamah dalam Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 dan Pasal 29
ayat (1) huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
terhadap UUD NRI 1945 khususnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (2), dan
Pasal 24C ayat (1). Uraian alasan pemohon dalam pokoknya adalah Pilkada bukan
termasuk dalam ruang lingkup pemilihan umum, hal ini yang menjadi ukuran
penanganan perselisihannya bukan menjadi ruang lingkup Mahkamah Konstitusi.
66
Kelik Pramudya, Mewujudkan Sistem Penyelesaian Hasil Pilkada Yang Efektif Dan
Berkeadilan (Manifeting Effective And Fair Resolution System On The Local Election Result),
Jurnal Retvinding, Vol 4: 1, (April 2015), hlm. 28.
67
Muji Kartika Rahayu, Menafsir demokrasi Konstitusional: Pengertian, Rasionalitas
Dan Demokrasi Konstitusilitas Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 Menurut Mahkamah
Konstitusi, (Konsorsium Reformasi Nasional, 2014), hm. 119.
42
Sebagaimana terjadi kontraksi terhadap kepastian hukum dan meniadakan asas
”lex superiori derogat legi inferiori”, dikarenakan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI
1945 kedudukannya dalam norma hukum sebagai norma tertinggi tidak
memberikan kewajiban kepada norma hukum yang lebih rendah untuk mengatur
penyelesaian sengketa Pilkada diberikan kepada Mahkamah Konstitusi.68
Para
pemohon juga menyampaikan bahwa diberikannya kewenangan menyelesaikan
sengketa hasil Pilkada sebagai kekeliruan yang mencedrai nilai-nilai
konstitusionalisme serta berpotensi tinggi mengganggu tugas pokok Mahkamah
Konstitusi sebagai pengawal konstitusi.
Kemudian pada puncak putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Konstitusi menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk
seluruhnya dan menyatakan Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 dan Pasal 29 ayat
(1) huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kewenangan
mengikat. Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan
ini karena yang dimaksudkan pemilihan umum setiap lima tahun sekali
sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E UUD NRI 1945 adalah pemilihan umum
anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan
setiap lima tahun sekali.69
68
Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Pengajuan Perkara Sengketa Hasil.., hlm. 88.
69
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PU-XI/2013,
www.mahkamahkonstitusi.go.id, diakses 13 Maret 2018, 22.00 WIB.
43
Selang setahun pasca keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengeluarkan
wewenang sengketa hasil Pilkada sebagai wewenang MK, ternyata DPR melalui
Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Pilkada menyerahkan kembali kepada
Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada samapai
dengan dibentuknya badan peradilan khusus sebelum pelaksanaan pemilihan
serentak nasional.
Pembahasan DPR bersama Pemerintah sejak diberlakuannya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 belum berencana untuk melakukan pasal 157
Undang-Undang Nomor 1 Tahaun 2015 untuk melakukan perubahan ketentuan
Pasal 157. Pasal 157 dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 dianggap sudah
memadai dan menjadi solusi terbaik. Ketentuan Pasal 157 yang lama (sebelum
diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015) memberikan wewenang
kepada Pengadilan Tinggi (PT) yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung untuk
menyelesaikan perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan.70
Pembentuk Undang-Undang selaku pemangku kebijakan telah
mengalihkan kembali wewenang mengenaisengketa hasil Pilkada dari Mahkamah
Agung Kepada Mahkamah Konstitusi sebelum nantinya ditangani peradilan
khusus dikarenakan saat Mahkamah Agung menggelar pertemuan dengan komisi
II DPR membahas kewenangan sengketa pilkada yang bakal ditangani Mahkamah
Agung sesuai yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
Mahkmah Agung berpandangan sengketa pilkada sebaiknya tidak ditangani
Mahkamah Agung, tetapi tetap menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
70
Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Pengajuan Perkara Sengketa Hasil.., hlm. 89.
44
Demikian hal, Mahkamah Agung satu sisi mengakui belum siapnya untuk
menyidangkan perkara sengketa pilkada baik dari segi infrastruktur maupun
Sumber Daya Manusia (SDM) karena belum menyiapkan Hakim ad hoc yang
akan menangani sengketa.71
Pada hasil pertemuan itu menghimpun kesimpulan bahwa sebagai respon
atas keberatan Mahkamah Agung dan dikembalikannya wewenang mengadili
sengketa Pilkada ke Mahkamah Konstitusi dalam masa transisi, maka pembentuk
undang-undang yang memberikan wewenang kepada Mahkamah Konstitusi untuk
mengadili sengketa hasil Pilkada dengan sejumlah ketentuan. Sebagai tujuan
menghindari penyalahgunaan wewenang oleh hakim Mahkmah Konstitusi atas
dasar doktrin terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang terlalu luas tafsirannya
sebagaimana pernah terjadi, maka dibuat ketentuan syarat jumlah perbedaan suara
yang bervariasi antara 0,5% sampai 2% sesuai jumlah penduduk kabupaten/kota
atau provinsi untuk dapat mengajukan perkara perselisihan hasil Pilkada ke
Mahkamah Konstitusi.72
Ketiga, Mahkamah Konstitusi dalam memandang kebijakan atas
pembatasn pengajuan pembatalan hasil suara oleh pemohon, MK tidak serta merta
menolak permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, namun adanya
pemeriksaan pendahuluan inilah yang menentukan diterima atau tidaknya
permohonan tersebut dengan syarat lengkapnya berkas permohonan dan sesuai
71
Ibid.., hlm. 89-90.
72
Ibid.., hlm. 90.
45
dengan syarat yang telah ditentukan. Rasionalitas Pasal 158 sesungguhnya
merupakan bagian dari konsensus ataupun kebijakan pembentuk UU mendorong
terbangunnya etika dan budaya politik dalam perumusan norma dimana seseorang
yang turut serta dalam kontestasi pemilihan gubernur, bupati dan walikota tidak
serta merta menggugat suatu hasil pemilihan ke MK dengan perhitungan yang
sulit diterima oleh penalaran yang wajar.73
73
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XII/2005,
www.mahkamahkonstitusi.go.id, diakses 19 Maret 2018, 18.00 WIB
46
BAB III
KEWENANGAN DAN FUNGSI MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP
PEMBATASAN PERMOHONAN PERKARA SENGKETA SELISIH
PEROLEHAN SUARA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH
A. Kewenangan Mahkamah Konstititusi Secara Teoritik
Teori kewenangan dimuncul dari terjemahan bahasa Inggris yang
berbentuk istilah kata “authority of theory” kemudian dalam bahasa Belanda
dengan istilah bentuk kata “theorie der autoritat”. Kemudian dalam perihal
kewenangan dari HD. Stoud, oleh Ridwan HB mengutip pernyataan terhadap
pengertian kewenangan yakni “keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan
perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subyek hukum publik di
dalam hubungan hukum publik”.74
Demikian hal, dari kedua unsur pengertian
diatas, terdapat kandungan unsur yakni dengan konsep kewenangan terdapat
“aturan hukum” dan “sifat hubungan hukum”.
Sumber kewenangan diperoleh melalui peraturan perundang-undangan.
Demikian hal, Inroharto mengemukakan 3 (tiga) macam kewenangan, yakni
Kewenangan Atribusi, Kewenangan Delegasi, dan Kewenangan Delegasi dan
Mandat. Kemudian berbeda dengan van Wijk, F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek
dengan menyebutkan hanya terdapat dua cara dalam memperoleh kewenangan,
74
Mohammad Ady Nugroho, Kewenangan Mahkmah Konstitusi (Telaah Atas Putusan
MK No. 46/PUU-XIV/2016), Makalah disampaikan dalam Public Discussion on Constitutional
Law “ Penegasan MK terhadap Pembentuk UU dalam Penormaan Kriminalisiasi (Studi Putusan
MK No. 46/PUU-XIV/2016)” diselenggarakan oleh CONSTAN (Center for Indonesia Contitution
Analysis di UIN Sunan Kalijaga pada tanggal 23 Desember 2017, hlm. 2.
47
yaitu Atribusi dan delegasi, kemudian perbedaan keduanya yakni Atribusi
berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut
pelimpahan wewenang yang telah ada.75
Pasca gejolak reformasi 1998 melalui amandemen UUD NRI Tahun 1945,
yang kemudian secara bertahap di Tahun 2002 dengan ide pembentukan konstitusi
diihlami melalui bentuk kewenangan atribusi baru. Rekontruksi yang terjadi pula
pada struktur dan kelembagaan kekuasaan kehakiman Indonesia dimana secara
tekstual tertera dalam Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945. Melalui amandemen ke-3
(tiga) bahwa:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.76
Pembentukan Mahkamah Konstitusi mulai dikenalkan oleh Hans Kelsen
sebagai sebuah lembaga yudikatif tidak dengan proses yang instan.77
Telaah
historis menyebutkan bahwa ikhtiar pembentukan lembaga yang kita kenal
dengan istilah Constitutional Court oleh Hans Kelsen menyatakan bahwa
konstitusi harus diposisikan dan perlakukan superior dari undang-undang biasa.
75
Ridwan H.R, Hukum administrasi Negara.., hlm. 101-102.
76
Lihat Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
77
Ibid., hlm. 1.
48
Kemudian melalui gagasan dalam menjaga kontitusi inilah diperlukan atau
dirancangnya peradilan khusus yang memiliki kekuasaan merdeka dalam
kehakiman untuk mengawasi produk undang-undang sekaligus membatalkan jika
terdapat muatan undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar, sebagaimana konstitusi negara Austria dengan cita ikhtiar inilah
dibentuknya peradilan khusus yang diresmikan pada tahun 1920,
perkembangannya hingga ke eropa dan Indonesia.78
Merujuk cita negara hukum, di tahun 2001 secara resmi Indonesia melalui
dokumen sejarah dari amanat reformasi atas rumusan the founding leaders
membentuk Mahkamah Konstitusi Indonesia secara dokumen otentik melalui
amandemen ke-3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara konstitusional dalam
menjaga konstitusi. Rumusan konstitusional secara yuridis, keberadaan
Mahkamah Konstitusi teredaksi melalui Pasal 7A, Pasal 7B, 24 ayat (2), dan Pasal
24C. Pengejawantahan keberadaan Mahkamah Konstitusi demikian dibekali
dengan kewenangan serta kelembagaan sebagai penunjang fungsi Mahkamah
Konstitusi di Indonesia.79
Melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 perubahan atas Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi menunjukkan peran
Mahkamah Konstitusi baik terhadap perorangan, kesatuan masyarakat adat
sepeanjang masih hidup, badan hukum publik dan privat, lembaga negara, partai
78
Maruar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), hlm. 3.
79
MK-RI, Menegakkan Negara Hukum yang Demokratis; Catatan Tiga Tahun
Mahkamah Konstitusi 2003-2006, (Jakarta: Setjen MK-RI, 2006), hlm. 78.
49
politik, atupun pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dalam hal ini
jika hak dan/atau wewenang konstitusionalnya dirugikan dapat mengajukan
permohonan ke Mahkamah Konstitusi.80
Secara filosofis dari keberadaan Mahkamah Konstitusi upaya penegakan
keadilan substantif dan prinsip-prinsip good governance. Demikian hal,
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara pengawal dan penafsir konstitusi
dengan pergseran doktrin dari adanya supremasi parlemen yang digantikan
dengan ajaran supremasi konstitusi.81
Pemikiran mengenai pentingnya keberadaan Mahkamah Konstitusi
menjadikan Indonesia sebagai negara ke-78 dalam membentuk Mahkamah
Konstitusi sebagai fenomena negara modern abad ke-20. Ikhtiar pembentukan
organ konstitusi dalam menjalankan pedoman dari visi kelembagaannya yakni
tegaknya konstitusi dalam rangka mewejudkan cita negara hukum dan demokrasi
dalam berkehidupan atas kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.82
Diantara pemikiran dari terbentuknya Mahkamah Konstitusi baik secara
teoritik diawal dan secara eksistensinya dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia melalui garis historis keotentikan diatas dapat menggambarkan bahwa
ide hingga keberadaan Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang dalam
80
Indra Perwira, dkk., “Budaya Konstitusi (Constitutional Culture) Dalam UUD 1945
Perubahan Dikaitkan Dengan Gagasan Perubahan Kelima UUD 1945”, Jurnal Konstitusi, Vol. II,
No. 2, (November, 2010), hlm. 60.
81
Mariyadi Faqih, “Nilai-Nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan
Mengikat”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 3, (Juni, 2010), hlm. 97.
82 MK-RI, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Setjen MK-RI, 2010), hlm. 5.
50
menjalankan salah satu organ kekuasaannya yang berdasarkan prinsip check and
balances sebagai titik temu dari muatan keberadaan Mahkamah Konstitusi
sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana tercantum
dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 mengatur tentang kekuasaan kehakiman,
kekuasaan ini dilakukan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Melanjutkan dari pertimbangan dan ukuran garis kewenangan Mahkamah
Konstitusi secara teoritik dan eksistensinya melalui kehidupan ketatanegaraan,
demikian hal bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi melalui titik temu dapat
diuraikan dalam beberapa muatan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia secara eksplisit tercantum dalam Pasal 24C yakni
Pertama, kewenangan Mahkamah Konstitusi oleh Undang-Undang Dasar NRI
1945 yang memberikan wewenang dalam menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar.83
Kedua, kewenangan Mahkamah Konstitusi oleh Undang-Undang Dasar
NRI 1945 yang memberikan wewenang dalam memutus sengketa kewenangan
lembaga negara. Kewenangan ini sebagai upaya dalam mengatasi terjadinya
konflik antar lembaga-lembaga negara dalam menafsirkan UUD NRI 1945 dalam
penyelenggaraan di kehidupan ketatanegaraan. Ketiga, kewenangan Mahkamah
83
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
tingkat terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Lihat Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
51
Konstitusi oleh Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang memberikan wewenang
dalam memutus pembubaran partai politik.84
Keempat, kewenangan Mahkamah Konstitusi oleh Undang-Undang Dasar
NRI 1945 memutus perselisihan tentang pemilihan umum. Timbulnya
kewenangan ini menjadi penting sebagai konsekuensi dari sistem pemilihan yang
digunakan, yakni pemilihan langsung. Demikian hal upaya Mahkamah Konstitusi
dalam kewenangan ini menjaga konstitusionalitas suatu hak memilih dan dipilih,
termasuk didalamnya mengenai hak perolehan suara yang sah secara
konstitusional serta muatannya melalui asas pemilihan itu sendiri. Kelima,
kewenangan Mahkamah Konstitusi oleh Undang-Undang Dasar NRI 1945 dalam
memutus atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan
atau Wakil Presiden menurut UUD.85
Pada perkembangannya, Mahkamah
Konstitusi mendapatkan tambahan kewenangan memutus sengketa pemilukada,
hal ini di latarbelakangi oleh pengalihan kewenangan dari Mahkamah Agung oleh
Mahkamah Konstitusi terkait kewenangan memutus perselisihan hasil suara
pemilukada.
Melalui rujukan hasil perubahan ketiga UUD NRI 1945, hingga beberapa
kewenangan Mahkamah Konstitusi terkait kewenangan yang bersifat tambahan
84
Ibid.
85
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Lihat Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945.
52
dalam perkembangan sistem ketatanegaraan dapat terelaborasi ke dalam enam hal,
antara lain:
1. Melakukan pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar NRI 1945;
2. Memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga negara;
3. Memutus pembubaran partai politik;
4. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum;
5. Memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat) bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau
perbuatan tercela;
6. Memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR (Dewan Perakilan
Rakyat) bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah tidak lagi
emiliki syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden;
7. Memutus perselisihan tentang selisih hasil pemilihan kepala daerah.
B. Fungsi Mahkamah Konstitusi Secara Teoritik
Istilah fungsi berasal dari terjemahan bahasa inggris, yaitu “function” yang
berarti sesuatu yang mengandung kagunaan atau manfaat. Dalam suatu lembaga
atau institusi formal, fungsi memiliki kegunaan yang dituju pada kekuasaan
berupa hak dan tugas yang dimiliki oleh seseorang dalam kedudukannya di
53
sebuah organisasi untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan bidang tugasnya
masing-masing. Adanya fungsi di suatu lembaga atau institusi disusun guna
mengihlami pedoman atau haluan bagi organisasi dan/atau institusi dalam
mencapai tujuan organ tersebut. Keterkaitan fungsi dalam organ
dimplementasikan melalui wewenang yang didalamnya meliputi kemampuan
bertindak dalam tindakan hukum publik. Demikian hal, secara yuridis wewenang
ini diberikan melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku serta
melakukan hubungan-hubungan hukum.86
Dalam ruang lingkup organisasional, fungsi keterkaitannya dalam
hubungan hukum dikaitkan dengan wewenang yang didasarkan pada hukum
publik. Dikatakan hukum publik karena wewenang meliputi hak dan kewajiban,
disatu sisi wewenang diartikan sebagai hak, dan disisi lain wewenang meliputi
kewajiban sebagai hukum publik. Wewenang tidak diartikan pula sebagai kuasa
an sich. Artinya, dalam menjalankan hak berdasarkan hukum publik selalu terikat
kewajiban berdasarkan hukum publik tidak tertulis (asas umum) pemerintahan
yang baik. Demikian hal, mengenai pembagian ini dibedakan menjadi beberapa
sifat wewenang dalam hubungannya terkait hukum publik dalam lingkup hak dan
kewajiban: Pertama, Pemberian wewenang: yakni pemberian hak kepada, dan
pembebanan kewajiban terhadap badan (atribusi dan/atau mandat); Kedua,
Pelaksanaan wewenang: yakni menjalankan hak dan kewajiban publik yang
berarti mempersiapkan dan mengambil keputusan; Ketiga, Akibat dan
86
Muammar Himawan, Pokok-Pokok Organisasi Modern, (Jakarta: Bina Ilmuan, 2004),
hlm. 3.
54
pelaksanaan wewenang: yakni seluruh hak dan/atau kewajiban yang terletak
rakyat (burger), kelompok rakyat dan badan.87
Mengihlami cita negara hukum, UUD NRI 1945 dalam struktur pasal
memuat bab mengenai kekuasaan kehakiman yang diatur secara jelas dalam Pasal
24 ayat (1) berbunyi “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Kemudian pada Pasal 24 ayat (2) menyatakan “Kekuasaan kehakiman
diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Arti redaksi pasal ini
menunjukkan cita negara hukum dalam koridor ketatanegaraan eksistensinya dari
prinsip check and balances, sebuah kekuasaan secara khusus sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman yang sejajar oleh sebuah Mahkamah Agung,
kemudian secara umum sejajar pula dengan lembaga lain dari cabang kekuasaan
yang berbeda sebagai upaya mengimplementasikan supremasi konstitusi dengan
pemisahan atau pembagian kekuasaan yang meliputi Presiden, MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat) dan/atau DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) serta DPD
Dewan Perwakilan Daerah), dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).88
Melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang (perubahan atas UU
Nomor 24 Tahun 2003) Mahkamah Konstitusi, tugas dan fungsinya tidak lain
menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu, dalam hal ini
87
Prajudi Admosudirjo, Teori Kewenangan, (Jakarta: PT. Rineka, 2001), hlm. 48.
88
Asosiasi Pengajar Hukum Acara MK, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:
Setjen MK-RI, 2010), hlm. 3.
55
dimaksudkan untuk mengemban serta menjaga konstitusi yang tidak lepas dari
upaya dalam rangka terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil. Ukuran
dasar fungsi dari keberadaan Mahkamah Konstitusi ini sebagai koreksi
ketatanegaraan dari pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu terhadap
apa yang ditafsirkan secara ganda dalam muatan konstitusi. Demikian hal, maksud
arti dari adanya fungsi Mahkamah Konstitusi yakni Mahkamah Konstitusi juga
merupakan penafsir tertinggi konstitusi (the sole interpreter of constitution).89
C. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Penyelesaian Permohonan
Sengketa Selisih Hasil Pemilihan Kepala Daerah
Sejak keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia menjadi perhatian
khalayak umum, khususnya para ilmuan dari tataran akademisi hingga tokoh-
tokoh pemerhati konstitusi, perhatian ini tidak lepas dari keterkaitan kewenangan
tambahan kewenangan dalam penylesaian sengketa pilkada. Perhatian ini tidak
lepas dari pengalihan kewenangan yang di alihkan dari Mahkamah Agung oleh
Mahkamah Konstitusi.
Secara filosofis, setiap kewenangan oleh organ negara yang secara khusus
dalam kekuasaan yudikatif ditunjuk pada kekuasaan kehakiman hakikatnya
sebagai kekuasaan yang merdeka. Artinya, kekuasaan negara ini (kehakiman)
dituntut dalam mengemban tugasnya untuk bebas dari segala bentuk intervensi
89
Abdul Mukthie Fajar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), hlm. 119.
56
baik dari dalam maupun dari luar kekuasaan kehakiman, terkeculai dengan catatan
atas dasar kekuatan idiologi Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Demikian hal,
karena kandungan falsafah Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, yang
diletakkan dalam UUD NRI Tahun 1945 dan berbagai peraturan perundang-
undangan adalah koridor hukum dasar dan koridor hukum operasional bagi
eksisnya indepedensi kekuasaan kehakiman sebagai prasyarat tegaknya hukum
dan keadilan yang dicita-citakan.90
Melalui kacamata sosiologis, harapan kekuasaan kehakiman dalam
menentukan atau mengisi jabatan didalam tubuh salah satu organ yudisial ini baik
dalam prihal pengisian jabatan hakim, maupun beberapa oragan struktural
didalamnya, akan tetapi dalam perihal pengisian jabatan hakim konstitusi menjadi
relevan ketika jabatan ini di isi oleh organ lain yakni melalui organ legislatif
(DPR), organ Eksekutif (Presiden), dan Yudikatif oleh (MA) ini menjadi bagian
penting terjaga prinsip check an balances satu sama lain antar ketiga organ ini.
Sebagai pertimbangan lain kelayakan pemberlakuan terselenggaranya peradilan
yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme, sebagai konsekuensinya
penyelenggaraan hukum acara Mahkamah Konstitusi ini menjadi aturan yang
bersifat Peraturan Mahkamah Konstitusi yang berlaku dalam proses peradilan
sering menjadi acuan sesuai dengan hukum formil dan materiil dalam menjamin
kebutuhan masyarakat yang senantisa menjunjung kehormatan penyelenggaraan
kehakiman.
90
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang tentang Mahkamah konstitusi, (Jakarta: Badan Pembina Hukum Nasional, 2016), hlm. 86.
57
Demikian hal, maka setiap tindakan kekuasaan kehakiman dituntut dalam
janka kewenangan yang sesuai dan tunduk pada nilai falsafah pandangan
kebutuhan kehidupan berbangsa salah satunya dalam menjaga koridor pemilihan
umum berdasarkan prinsip demokrasi yang berdasarkan hukum negara
Indonesia.91
Dalam perspektif yuridis, kekuasaan kehakiman dituntut mampu
menyelanggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, setiap kewenangan yang terimplemetasi
melalui penyelenggaraan/kegiatan peradilan mampu meneguhkan prinsip dari
visi-misi peradilan itu sendiri. Hal ini menjadikan pedoman penting dimana ketika
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa pemilihan
kepala daerah mampu dan menjadi kewenangan terbatas dari segi sengketa yang
sesuai pedoman rumusan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Arti ini menjukkan
bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjaga konstitusi didalamnya terdapat
proses poros demokrasi yang sesuai dengan asas penyelenggaraan pemilihan
sebagai prinsip demokrasi Inodonesia, dan dalam keteraturan dari dimensi
perjalanan demokrasi di Indonesia.92
Pertimbangan kekuasaan yang di bekali beberapa kewenangan tidak lepas
dari kajian mengapa Mahkamah Konstitusi diamanahkan dalam proses mengadili
sengketa pilkada, hal ini tidak lepas dari keberangkatan beberapa rujukan yang
91
Ibid., hlm. 87.
92
Ibid., hlm. 88-89.
58
bersifat kontekstual dalam proses peralihan Mahkamah Konstitusi mengemban
penyelesaian sengketa meliputi beberapa perihal penting dan bagaimana
kewenangan Mahkamah Konsitiusi dalam mengembannya melalui kewenangan
yang diberikan oleh Undang-Undang dan oleh sifat kewenangan Mahkamah
Konstitusi terhadap kewenangan dalam kebijakan yang bersifat terbuka serta
kewenangan secara konstitusional melalui Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Sejak peralihan kewenangan Penyelesaian sengketa Pemilihan kepala
daerah dari Mahkamah Agung di alihkan ke Mahkamah Konstitusi melalui serah
terima kewenangan yang dilakukan pada tanggal 29 oktober 2008 dan diikuti
dengan dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 08A Tahun 2008 tentang pengalihan
wewenang mengadili sengketa pilkada dari Mahkamah agung ke Mahkamah
Konstitusi yang terhitung 1 November 2008.93
Sebagaimana Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa Pemilu
berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. Dalam perjalanan mengemban kewenangan
penyelesaian sengketa pemilukada akibat dari penafsiran Pemilukada sebagai
bagian dari pemerintahan daerah, yang penyelenggaraanya dilakukan oleh KPUD,
sedangkan KPUD sendiri tidak bertanggungjawab kepada KPU Pusat melainkan
DPRD. Disisi lain terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya memutus
perselisihan hasil pemilu yang diselenggarakan oleh KPU Pusat. Setelah
diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
93
Mahkamah Agung, Laporan Mahkamah Agung Tahun 2008, hlm. 39.
59
Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang menyangkut pertanggungjawaban
penyelenggaraan pemilihan umum baik KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/kota
menyelengarakan Pemilukada bertanggungjawab kepada KPU Pusat. Demikian
hal terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi yang secara konstitusional
mengadili perselisihan sengketa pemilihan umum berdasarkan UUD NRI Tahun
1945.94
Di tahun 2004, Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya untuk perkara
No. 73/PUU-III/2004 belum mengkategorika pemilihan kepala daerah termasuk
rezim pemilihan umum, namun Mahkamah Konstitusi dalam hal ini meyakinkan
argumen pemohon dengan titik temu argumen pemilihan kepala daerah sebagai
rezim pemilihan umum. Demikian hal, Pasal 22E ayat (1) sampai dengan ayat (6),
dimana pasal yang memiliki keterkaitan satu kesatuan yang harmonis terkait
dengan asas maupun teknis dalam pemilihan menganut aturan UUD 1945 dalam
Bab VIIB tentang Pemilihan Umum yaitu, arti ini menunjukkan dalam membaca
pasal ini diharuskan dalam membaca kategori keterkaitan pasal dengan konstitusi.
Demikian hal, jika titik temu kesatuan dalam hal ini maka peran para Hakim
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksanya dan melakukan intepretasi.95
Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
penyelenggaraan pemilihan umum menandakan bahwa pemilukada yang awalnya
sebagai rezim pemerintah daerah berubah drastis menjadi rezim pemilihan umum.
94
Ibid., Lihat Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945.
95
Ni‟matul Huda dan Sri Hastuti, “Peran dan Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam
Pembangun Politik Hukum Pemerintahan Daerah”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 3, Vol 19
(Juli 2012), hlm. 343.
60
Kewenangan yang akan diemban Mahkamah Konstitusi ini dilakukan paling lama
18 bulan sejak Undang-Undang Pemerintahan Daerah diundangkan.
Dinundangkannya Undang-Undang Pemerintah Daerah No. 12 Tahun 2008
dengan bersama keberlalakuannya pelaksanaan Pasal 236C UU No. 12 Tahun
2008 tentang Pemrintahan Daerah.
Pada saat dimana munculnya sekelompok warga negara mengajukan
permohonan ke Mahkamah Kontitusi, permohonan ditunjuk terkait kewenangan
Mahkamah dalam Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 dan Pasal 29 ayat (1) huruf
e UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD NRI
1945 khususnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (2), dan Pasal 24C ayat (1).
Uraian alasan pemohon dalam pokoknya adalah Pilkada bukan termasuk dalam
ruang lingkup pemilihan umum, hal ini yang menjadi ukuran penanganan
perselisihannya bukan menjadi ruang lingkup Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana terjadi kontraksi terhadap kepastian hukum dan meniadakan asas
”lex superiori derogat legi inferiori”, dikarenakan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI
1945 kedudukannya dalam norma hukum sebagai norma tertinggi tidak
memberikan kewajiban kepada norma hukum yang lebih rendah untuk mengatur
penyelesaian sengketa Pilkada diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Para
pemohon juga menyampaikan bahwa diberikannya kewenangan menyelesaikan
sengketa hasil Pilkada sebagai kekeliruan yang mencedrai nilai-nilai
61
konstitusionalisme serta berpotensi tinggi mengganggu tugas pokok Mahkamah
Konstitusi sebagai pengawal konstitusi.96
Kemudian pada puncak putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Konstitusi menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk
seluruhnya dan menyatakan Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 dan Pasal 29 ayat
(1) huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kewenangan
mengikat. Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan
ini karena yang dimaksudkan pemilihan umum setiap lima tahun sekali
sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E UUD NRI 1945 adalah pemilihan umum
anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan
setiap lima tahun sekali.97
Pelaksanaan pilkada telah terlaksana secara langsung, karena Mahkamah
menegaskan konsitensi dalam sifat isu konstitusi terkait pemisahan kewenangan
dengan isu kebijakan (legal policy), penegasan demikian secara relevansinya
melalui preoblem kebijakan dengan problem konstitusi, sebagaimana dalam
beberapa putusan MK No. 017/PUU-I/2003, No. 002/PUU-II/2004, dan putusan
No. 114/PUU-VII/2009, dengan kesimpulan terhadap konteks kebijakan hukum
terbuka, syarat-syarat untuk mengikuti pemilu, hak pilih, dan mekanisme
96
Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Pengajuan Perkara Sengketa Hasil.., hlm. 88.
97
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PU-XI/2013,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id , diakses 13 Maret 2018, 22.00 WIB.
62
penyelesaian sengketa hasil Pemilu sebagai kewenangan pembentuk Undang-
Undang.98
Selang setahun pasca keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengeluarkan
wewenang sengketa hasil Pilkada bukan sebagai wewenang MK, ternyata DPR
melalui Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Pilkada menyerahkan kembali kepada
Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada samapai
dengan dibentuknya badan peradilan khusus sebelum pelaksanaan pemilihan
serentak nasional.
Pembahasan DPR bersama Pemerintah sejak diberlakuannya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 belum berencana untuk melakukan pasal 157
Undang-Undang Nomor 1 Tahaun 2015 untuk melakukan perubahan ketentuan
Pasal 157. Pasal 157 dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 dianggap sudah
memadai dan menjadi solusi terbaik. Ketentuan Pasal 157 yang lama (sebelum
diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015) memberikan wewenang
kepada Pengadilan Tinggi (PT) yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung untuk
menyelesaikan perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan.99
Pembentuk Undang-Undang selaku pemangku kebijakan telah
mengalihkan kembali wewenang mengenaisengketa hasil Pilkada dari Mahkamah
Agung Kepada Mahkamah Konstitusi sebelum nantinya ditangani peradilan
98
Muji Kartika Rahayu, Menafsir demokrasi Konstitusional: Pengertian, Rasionalitas
Dan Demokrasi Konstitusilitas Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 Menurut Mahkamah
Konstitusi, (Konsorsium Reformasi Nasional, 2014), hm. 119
99
Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Pengajuan Perkara Sengketa Hasil.., 89.
63
khusus dikarenakan saat Mahkamah Agung menggelar pertemuan dengan komisi
II DPR membahas kewenangan sengketa pilkada yang bakal ditangani Mahkamah
Agung sesuai yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
Mahkmah Agung berpandangan sengketa pilkada sebaiknya tidak ditangani
Mahkamah Agung, tetapi tetap menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Demikian hal, Mahkamah Agung satu sisi mengakui belum siapnya untuk
menyidangkan perkara sengketa pilkada baik dari segi infrastruktur maupun
Sumber Daya Manusia (SDM) karena belum menyiapkan Hakim ad hoc yang
akan menangani sengketa.
64
BAB IV
ANALISIS POLITIK HUKUM PEMBATASAN PERMOHONAN PERKARA
SENGKETA SELISIH PEROLEHAN SUARA HASIL PEMILIHAN KEPALA
DAERAH DI MAHKMAH KONSTITUSI
Hadirnya perbedaan pandangan publik yang melibatkan perdebatan pro
dan kontra mengenai Pasal 158 UU Pilkada tentang penentuan syarat selisih
perolehan suara dengan prosentase tertentu dalam mengajukan sengketa hasil
Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Perbedaan publik pada kelompok pertama
mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan dalam menegakkan
keadilan substantif tidak boleh terkekang dengan Pasal 158 UU Pilkada, disisi lain
pula kelompok oposisi mengatakan Pasal 158 merupakan Undang-Undang yang
masih berlaku dan mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.100
Pembatasan dalam melibatkan Perselisihan Hasil Pilkada pada umumnya
atas kebijakan yang terbuka bagi pembentuk undang-undang, sebagaimana
tafsiran Mahkamah Kontitusi melalui 97/PUU-XI/2013 terhadap kewenangan
penyelesaian PH-Pilkada bagian dari rezim hukum pemerintah daerah yang
terhadap dampaknya terhadap pelaksanaan sengketa hasil pilkada tidak lagi
menjadi kewenangan Mahkmah Konstitusi. Tetapi, selama peradilan pilkada
belum terbentuk, dalam ketentuan perubahan UU Pilkada disebutkan, Mahkamah
Kontsitusi adalah institusi yang diberi mandat sementara hingga peradilan khusus
pilkada terbentuk sebelum tahun 2027. Demikian hal bahasan pada bagian ini
100
Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Pengajuan Perkara Sengketa Hasil.., hlm. 83.
65
mengulas pembatasan permohonan sengketa PH-Pilkada di Mahkmah Konstitusi
dalam rangka upaya perwujudan demokrasi yang beretika.
A. Politik Hukum Pembatasan Permohonan Sengketa Selisih Hasil
Pilkada Di Mahkamah Konstitusi
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada dasarnya dikenal sebagai sistem
memilih seseorang dalam suatu kontestasi yang fairness, demikian hal ini sebagai
prinsip yang lazim dalam sebuah proses pemilu. Pemilu berintegritas sebagai
tolok ukur pemilu yang dilaksanakan atas prinsip demokrasi dengan indikator hak
pilih universal serta kesetaraan politik seperti yang dicerminkan dalam standar
dan perjanjian internasional, profesional, tidak memihak dan transparan dalam
persiapan dan pengelolaannya dalam suatu siklus pemilu. Pada dasarnya dalam
merealisasikan pemilu yang demokratis yakni kesamaan aspek asas
penyelenggaraannya tidak jauh berbeda dengan Pemilu. Menurut Huntington
kategori demokrasi pemilihan ketika para pembuat keputusan yang secara kolektif
mayoritas dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur,
berkala, dan dalam sistem yang membuat mereka bersaing untuk memperoleh
suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suaranya.101
Indonesia dalam menerapkan poros demokrasi melalui pemilihan umum
dan/atau pemilihan kepala daerah eksistensinya memiliki satu tujuan kerangka
101
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga, (jakarta: Grafiti, 2011), hlm. 5-
6.
66
demokratisasi yang dimanifestasikan melalui satu landasan konstituisionalitas
penyelenggaraan hingga kualitas pemilu dan/atau pilkada secara eksplisit termuat
dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai penegasan kedaulatan rakyat
dalam pelaksanaan UUD. Selain penerapan prinsip kedautaan rakyat sebagai
prinsip dalam suatu sistem politik, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
dalam mengadili konstitusionalitas penyelenggaraan pilkada khususnya mengadili
perselisihan hasil pemilihan sebagaimana upaya perwujudan secara oprasional
penerapan asas pemilihan yang terkadung dalam formulasi dasar negara,
konstitusi, hingga dituangkan kembali dalam penjabaran dari UUD Negara RI
1945 sebagai konstitusi negara Indonesia manifestasi langkah nyata mendamping
pemilihan yang fiarness hingga berkualitas nilai-moral yang tertuang dalam asas
pemilihan yang berintegritas, hal ini tak lepas dari apakah pembatasan yang
diterapkan pemangku kebijakan selaku pembuat undang-undang yang diterapkan
oleh Mahkamah Konstitusi dalam mencapai maksud kaidah, asas, dan aturan
dibalik pembatasan dari segi proses perkara sengketa hasil pemilihan daerah
dalam membangun etos demokrasi.102
Sejak dimulainya pilkada serentak pada akhir tahun 2015, perbedaan tajam
mengenai pemberlakuan Pasal 158 UU Pilkada pada awalnya diterima oleh
beberapa kalangan pihak calon, namun diujung pasca keputusan KPU-D mulai
beberapa kalangan menyalahi adanya keberlakuan Pasal 158 UU Pilkada.
keberadaan UU Pilkada dikatakan berlaku, sejak keberlakuannya secara
menyeluruh dan khususnya diatur melalui Pasal 5 ayat (3) sebagai salah satu
102
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, hlm. 749-750.
67
tahapan yang sejak semula diawal sudah diketahui bahkan diterima oleh para
calon peserta Pilkada.103
Bunyi dari keberlakuan Pasal 5 ayat (3) meliputi beberapa tahapan yang
kemudian diketahui dan diterima para calon, yakni: a) Pengumuman pendaftaran
pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati
dan Wakil Bupati, serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota; b)
Pendaftaran pasangan calon Gubernur dan Calon Wakil Gubenur, pasangan Calon
Bupati dan Wakil Bupati, serta pasangan calon Walikota dan Calon Wakil
Walikota; c) Penelitian persyaratan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Wakil Walikota;
d) Penetapan pasangan calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan
calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota; e) Pelaksanaan Kampanye; f) Pelaksanaan pemungutan suara; h)
Penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara; g) Penetapan calon
terpilih; j) Penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil Pemilihan; dan h)
Pengusulan pengesahan pengankatan calon terpilih.104
Mengutip pandangan yang dikemukakan oleh Bayu dwi Anggono, bahwa
terdapat beberapa tinjauan mengenai pengesampingan Pasal 158 dari beberapa
aspek dengan uraian aspeknya meliputi: Pertama, Aspek kontrol kekuasaan
kehakiman.
103
Purnomo s. Pringgodigdo, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Pemilihan Kepala Daerah dalam satu Naskah, Surabaya: (Agustus 2016), hlm.4.
104
Ibid., 4.
68
Tidak hanya pada ketidakpatuhan para calon yang kalah selisih peroleh
suara di Mahkamah Konstitusi, pada perkembangannya beberapa yang
menanggapi hingga menguji ketentual Pasal 158 UU Pilkada dengan dalih tertulis
melalui alasan permohonannya mengungkapkan bahwa keterkaitan kewenangan
Mahkamah Konastitusi terhadap penyelesaian sengketa pilkada, yang kemudian
keberlanjutan pembatasan dalam ketentuan Pasal 158 merupakan ketentuan yang
berlaku sebagaimana kekuasaan kehakiman atas kontrol-kontrol batas
kemerdekaannya dalam menerapkan suatu ketentuan undang-undang Sudikno
Mertokusumo yang batasan dari kekuasaan kehakiman secaramikro terdapat pada
batasan Pancasila, UUD 1945, Undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan
perilaku atau kepentingan para pihak. Disisi lain, secara makro pembatasan
kekuasaan kehakiman dibatasi oleh sistem pemerintahann, politikeknomi, dan
sebagaian.105
Artinya, bahwa secara konstitusional Pasal 158 hingga sampai saat
ini masih berlaku dan dikatakan tidaklah mungkin jika Mahkamah Konstitusi
mengesampingkan ketentuan tersebut yang akan mengakibatkan ketidakpastian
hukum. sehingga hukum yang telah ada dan disepakati keberlakuannya tidaklah
tanpa sebab tujuan baik dalam artia kepastian hukum juga keberlakuan dalam
implikasinya dalam meoprasionalkan yang sesuai keberlakuannya dalam
berbudaya hukum.
Kudua, terkait pada aspek hukum acara yang oleh pandangan Bayu Dwi
Anggono yang mangacu pada pelaksanaan kekuasaan kehakiman terhadap situasi
dalam mengadili sengketa hasil selih suara pemilihan kepala daerah dengan
105
Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Sengketa Perkara.., hlm. 91.
69
keberlakuan dasar wajib terkait pada hukum materiil danhukum formil (hukum
acara). Demikian hal, hukum materiil termuat dalam wewenangnya untuk
mengadili perselisihan sengketa selisih hasil suara pemilihan kepala daerah
melalui Pasal 157 ayat (3) dan kemudian secara hukum formil tercantum baik dari
keseluruhan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Pilkada
serta Peraturan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksanaan wewenang Mahkmah
Konstitusi terhadap sengketa Pilkada terhadap selisih hasil suara.106
Oleh karenanya, oleh Ramlan Subakti terhadap ukuran segi efektifitas
hukum dari adanya pembatasan permohonan sengketa meliputi; a. Banyaknya
sengketa yang membeludak di batas akhir pengajuan menandakan tidak
dimengertinya dasar gugatan yang harus diajukan, serta; b. Banyaknya kasus
pemilihan terkait pilkada yang kemudian tidak memberika indikasi pembuktian
adanya pelanggaran yang relevan sesuai batasan agar melihat kulitas dan
efektifitas pelayanan pencarian keadilan terhadap indikasi benar adanya kesalahan
dan pelanggaran yang besar terjadi dalam proses pemilihan yang berimbas pada
hasil.107
Ketiga, merujuk pada aspek Kemanfaatn. Aspek ini diartikan dalam
kemanfaatn adalah agar pera calon yang sudah tentu memiliki kedudukan hukum,
diantaranya dalam hal sengketa bisa menyesuaikan pada kewenangan absolut
suatu peradilan terkait porsi wewenang masing-masing peradilan yang menangani
106
Ibid., hlm. 91-92.
107
Ramlan Surbakti, dkk, Seri Buku Demokrasi Buku 16: Penangan Sengketa Pemilu,
(Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2012), hlm. 24-25.
70
unsur-unsur sengketa, baik berupa hal mala administrasi, pemalsuan dokumen
maupun beberapa yang lain diantaranya sudah diimbangi beberapa oihak institusi
dengan porsi kewenangan dalam menjamin setiap pencari keadilan. Kemudian
tentuanya antara karakter proses hukum yang berbeda antar peradilan termasuk
Mahkmak Konstitusi dengan kekuatan putusannya bersifat final sangat dihormati
oleh kalangan para pihak yang berselisih. Kendati demikian. Bahwa pembatasan
termasuk didalamnya dalam rangka mengambil sikap setiap para calon yang
memiliki kedudukan hukum tentunya melalui jalur yang sudah di sediakan secara
litigasi.108
B. Upaya Mahkamah Konstitusi Dalam Menerapkan Pembatasan
Permohonan Sengketa Pilkada
Dalam mengemban kewenangan yang oleh Mahkamah Konstitusi emban,
khususnya menangani sengketa selisih hasil perolehan pemilihan kepala daerah
yang kemudian para pihak dalam perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang
diantaranya meliputi pasangan calon sebagai pemohon dan KPU (Komisi
Pemilihan Umum) kabupaten/kota sebagai termohon sebagaimana dalam Pasal 2
PMK (Peraturan Mahkamah Konstitusi) No. 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Pedoman
Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
108
Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Sengketa Perkara Selisih.., hlm. 93-94.
71
Walikota Dengan Satu Pasangan Calon.109
Obyek perselisihan pilkada adalah
hasil perhitungan suara yang ditetapkan oleh KPU yang mempengaruhi penentuan
pasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pilkada dan terpilihnya
pasangan calon sebagai pemenang Pilkada.
Putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan
mengikat, yang amar putusannya menyatakan:
a) Permohonan tidak diterima apabila permohonan tidak memenuhi
persyaratan formil;
b) Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti dan beralasan;
c) Permohonan ditolak apabila permohonan tidak beralasan.
Akibat hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan ini,
KPU, DPRD dan Pemerintah wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah
Konstitusi, Salah satunya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
190/PHPU.D-VIII/2010 yang mengandung penilaian pelanggaran dengan
kategorinya meliputi, Pertama, pelanggaran yang tidak berpengaruh terhadap
hasil Pilkada; Kedua, pelanggaran yang berpengaruh terhadap hasil Pilkada;
Ketiga, penggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan
dapat diukur. Dari ketiga kategori pelanggaran ini Mahkamah Konstitusi dalam
menangani sengketa pilkada hanya berdasarkan kategori pelanggaran kedua dan
ketiga.110
109
Mahkamah Konstitusi, Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil.., hlm. 6.
110
Putusan MK Nomor. 190/PHPU.D-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi.
72
Banyaknya sengketa pilkada yang diajukan dan di putus oleh Mahkamah
Konstitusi merupakan upaya hukum dengan meletakkan demokrasi kepada
koridor hukum, memposisikan hukum sebagai koridor penentu demokrasi sebagai
upaya ke arah stabilitas keteraturan bagi masyarakat. Melihat dari tidak lepasnya
kemunculan suatu perselisihan dari sengketa pilkada yang hampir 30-50% pilkada
berakhir dengan sengketa di Mahkamah Konstitusi, mengindikasian bahwa
permasalahan bangsa terletak pada cara mengambil sikap dalam berdemokrasi.111
Upaya dalam menangani sengketa Pilkada ini oleh Mahkamah Konstitusi
menjadi catatan penting dapat dilihat melalui kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam kewenangan yang bersifat kebijakan hukum terbuka meliputi:
Pertama, Mahkamah Konstitusi melalui kewenangannya dalam
penyelenggaraan proses peradilan mengeluarkan PMK (Peraturan Mahkamah
Konstitusi) Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Dengan Satu
Pasangan Calon.112
PMK (Peraturan Mahkamah Konstitusi) diberlakukan dalam
ukuran alat bantu dari keadilan bukan untuk mengalahkan keadilan. Demikian hal,
perubahan PMK (Pertauran Mahkamah Konstiusi) silih bergantinya dalam
menyesuaikan kebutuhan hukum di masyarakat beberapa banyak mengalami
perkembangan yang di tindak lanjuti melalui perubahannya (PMK) dalam
111
Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Sengketa Perkara Selisih.., hlm. 97.
112
Peraturan Mahkmah Konstitusi Nomor Tahun 2 Tahun 2017 Tentang Pedoman
Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Dengan
Satu Pasangan Calon.
73
pembangunan hukum yang sesuai dalam kebutuhan hukum di masyarat dan
umumnya proses berdemokrasi di Lokal hingga di Indonesia.
Kedua, Berkenaan dengan pelaksanaan Pilkada serentak, Demikian hal ini
diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
pelaksanaan demikian merupakan petunjuk dari Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015, sebagaimana dirubah terakhir kali melalui Undang-Undang Nomor 10 tahun
2016 (UU Pilkada), yang menyatakan “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima)
tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.113
Ketiga, Upaya yang kemudian dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam menyelenggarakan peradilan yakni di tetapkannya pihak pemohon sebagai
pihak pasangan calon kepala daerah yang merasa terdapat perselisihan sesuai
presentase ambang batas selisih suara. Kemudian ditentukan pula mengenai objek
dalam sengketa yakni keputusan Termohon (KPU-D) tentang penetapan perolehan
suara hasil pemilihan umum yang mempengaruhi terpilihanya pemohon sebagai
pasangan calon gubernur, bupati, dan walikota. Selanjutnya batas akhir waktu
pengajuan permohonan yaitu 3 x 24 Jam sejak penetapan hasil oleh KPU.
Kemudian dalam rentang waktu Mahkamah Konstitusi mengadili sengketa
Pilkada juga dituntut terbatas dalam rangka menyeseuaikan dengan pengangkatan
kepala daerah yang nantinya terpilih dalam mengemban amanahnya.
113
https://nasional.kompas.com/read/2017/02/13/21060011/pilkada.serentak.pembelajaran
.demokrasi ,diakses 13 Maret 2018, 22.20 WIB.
74
Mahkamah Konstitusi juga membatasi dalam prihal kriteria pelanggaran
sengketa hasil, melalui perhitungan koefesiensi sebagai bentuk perhitungan. Tidak
lepas pula permohonan diajukan secara tertulis dan harus juga memuat identitas
pemohon, serta uraian kesalahan perhitungan oleh KPUD, permintaan untuk
membatalkan hasil perhitungan suara yang telah ditetapkan, dan permintaan untuk
menetapkan hasil perhitungan suara yang benar, serta diajukan pula alat bukti.114
Menangani sengketa selisih hasil Pilkada, Mahkamah Konstitusi
mengeluarkan putusan hasil musyawarah paling lama 14 hari kerja setelah
permohonan diregistrasi yang amar putusannya dapat menyatakan permohonan
tidak diterima, permohonan dikabulkan, permohonan ditolak, berkenaan putusan
yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, ditunjukkan
pula bagi KPUD, DPRD, dan Pemerintah yang diwajibkan menindak lanjuti
putusan tersebut.115
C. Implikasi Pembatasan Permohonan Sengketa Selisih Hasil Pemilihan
Kepala Daerah Di Mahkmah Konstitusi
Banyaknya sengketa pilkada yang diajukan dan di putus oleh Mahkamah
Konstitusi merupakan upaya hukum dengan meletakkan demokrasi kepada
koridor hukum, memposisikan hukum sebagai koridor penentu demokrasi sebagai
upaya ke arah stabilitas keteraturan bagi masyarakat. Melihat dari tidak lepasnya
kemunculan suatu perselisihan dari sengketa pilkada yang hampir 30-50% pilkada
114
Mahkamah Konstitusi, Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil.., Pasal 5,
hlm. 8.
115
Mahkamah Konstitusi, Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil.., Pasal
12.
75
berakhir dengan sengketa di Mahkamah Konstitusi, mengindikasian bahwa
permasalahan bangsa terletak pada cara mengambil sikap dalam berdemokrasi.116
Maka mekanisme penyelesaian sengketa Pilkada yang menjadi bagian dari
proses demokrasi melalui Mahkamah Konstitusi sebagai hal yang tepat, dalam
meminimalisir penyelesaian diluar pengadilan, dengan kata lain, menghindari
cara-cara yang tidak demokratis atau dikatakan lalim tanpa prosedur hukum.
karena melalui penyelesaian hukum setidaknya Mahkamah Konstitusi menilai
bahkan menunjukkan apabila permaslahan prosesnya yang tidak jujur, adil dan
transparan dalam suatu sengketa pilkada.
Sejak diberlakukannya sistem pembatasan (treshold) kedalam suatu
kebijakan undang-undang Pilkada menandakan upaya pemangku kebijakan
mengaharapkan bahwa dalam mekanisme peradilan yang baik dan benar sangat
mempengaruhi integritas pemilu dan mampu melihat tidak pada tahapan-tahapan
yang dilakukan dalam pemilu, akan tetapi penyelesaian sengketa pada lembaga
ajudikasi pemilu, baik mekanisme maupun prosesnya.117
Terhadap implikasi pembatasan permohonan sengketa selisih hasil
pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi terhadap perwujudan demokrasi
yang akan dituntun dalam kehidupan politik dapat dibagi kebeberapa bagian hal
diantaranya:
116
Ni‟matul Huda, “Penyelesaian Sengketa Pemilihan Bupati Bengkulu Selatan di
Mahkmah Konstitusi”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 18 (Oktober 2011), hlm. 82.
117
Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Sengketa Perkara Selisih.., hlm. 97.
76
Pertama, pembatasan dalam konteks kebijakan sebagai upaya penurunan
konflik, hal ini dalam memenuhi Pasal 6 ayat (1) huruf C UU Penangan Konflik
sosial dengan menyebutkan pencegahan konflik dapat dilakukan salah satunya
melalaui peredaman potensi konflik.118
Kedua, Mencegah Mahkamah Konstitusi
tidak jatuh untuk kedua kalinya dalam kasus suap perkara pilkada dalam kasus
suap perkara Pilkada, demikian hal ini menyangkut nasib kedaulatan rakyat dan
kehormatan masyarakat dihadapan peradilan sekaligus terhadap hukum yang
diberlakukan. Ketiga, sebagai pasal yang mengatur ketentuan pembatasan
permohonan perkara sengketa pilkada, Pasal 158 UU Pilkada merupakan upaya
dari akibat saling lemparnya kewenangan antar Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, serta memangkas jumlah sengketa yang di tangani oleh Mahkmah
Konstitusi. Sehingga implikasi yang terjadi yakni dalam rangkamengintrol
kekuasaan kehakiman dalam mengemban kewenangan Mahkamah Konstitsi
sebagai lembaga yang menjunjung indepedensi suau organ kekuasaan yang
merdeka.
Keempat, mendorong perbaikan moral dan sekaligus budaya politik yang
makin dewasa dalam proses penyelenggaraan serta proses ajudikasi dalam
Pilkada. Demikian beberapa implikasi dan pada implikasi akhir ini sebagimana
dalam pardigma hukum yang menangani konflik-konflik proses demokrasi yang
timbul dan mengoprasionalkan pertanggungjawaban hukum dalam hal Pilkada
secara demokratis dan hasil pemilihan yang dinilai konstitusional berdasarkan
118
Ibid.., hlm. 98.
77
asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan, adil. Sehingga antara Nilai
sebagai unsur ketraturan dan norma sebagai unsur aturan dikontruksikan
seimbang dalam pembangunan hukum yang menuju pada cita tujuan dari politik
hukum berdasarkan Pancasila dan Bangsa Indonesia memiliki upaya budaya
hukum yang berkeadilan serta beradab.