bab ii tinjauan politik hukum pembatasan …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_bab-ii, iii,...

53
25 BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN PERMOHONAN PERKARA SENGKETA SELISIH PEROLEHAN SUARA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI MAHKMAH KONSTITUSI A. Pengertian Tentang Politik Hukum Pembentukan hukum, begitulah dua kata dari asal kata politik hukum, arti ini merupakan aktivitas dalam sendi negara hukum atau dikenal dalam arti pembentukan undang-undang. Bagi penyelenggara negara, dalam menyelenggarakan dan mengelola negara, undang-undang sebagai dasar legalitas penyelenggaraan negara. Demikian hal, dikatakan lalim bila suatu tindakan pemerintah yang mengelola serta menyelenggarakan pemerintahan tanpa landasan undang-undang. 42 Dalam mengamati politik hukum dikatakan perlunya penjabaran dimensi hukum sebagai alat serta cakupan politik hukum dan peran politik terhadap hukum serta indikator politik dan hukum pada orientasi politik hukum (undang- undang) sebagai pembangunan hukum nasional. Hal ini dimaksudkan agar tidak terdapat pemahaman kabur mengenai pendalaman politik hukum. Demikian hal, sampailah pada bagaimana tinjauan politik hukum pembatasan permohonan perkara sengketa selisih perolehan suara hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi. 42 Patriani Siahan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang: Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Konpress, 2012), hlm. xiii.

Upload: voquynh

Post on 16-Aug-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

25

BAB II

TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN PERMOHONAN PERKARA

SENGKETA SELISIH PEROLEHAN SUARA HASIL PEMILIHAN KEPALA

DAERAH DI MAHKMAH KONSTITUSI

A. Pengertian Tentang Politik Hukum

Pembentukan hukum, begitulah dua kata dari asal kata politik hukum, arti

ini merupakan aktivitas dalam sendi negara hukum atau dikenal dalam arti

pembentukan undang-undang. Bagi penyelenggara negara, dalam

menyelenggarakan dan mengelola negara, undang-undang sebagai dasar legalitas

penyelenggaraan negara. Demikian hal, dikatakan lalim bila suatu tindakan

pemerintah yang mengelola serta menyelenggarakan pemerintahan tanpa landasan

undang-undang.42

Dalam mengamati politik hukum dikatakan perlunya penjabaran dimensi

hukum sebagai alat serta cakupan politik hukum dan peran politik terhadap

hukum serta indikator politik dan hukum pada orientasi politik hukum (undang-

undang) sebagai pembangunan hukum nasional. Hal ini dimaksudkan agar tidak

terdapat pemahaman kabur mengenai pendalaman politik hukum. Demikian hal,

sampailah pada bagaimana tinjauan politik hukum pembatasan permohonan

perkara sengketa selisih perolehan suara hasil pemilihan kepala daerah di

Mahkamah Konstitusi.

42

Patriani Siahan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang: Pasca Amandemen

UUD 1945, (Jakarta: Konpress, 2012), hlm. xiii.

Page 2: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

26

Istilah politik hukum bagi kalangan ilmuan hukum lebih mempopulerkan

pada pandangan yang dikemukakan oleh Padmo Wahjono, sebagaimana dikutip

oleh Mahfud MD dalam persmaan definisi secara subtantif dalam karya bukunya

berjudul Politik Hukum di Indonesia, Bahwa istilah Politik Hukum adalah

kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan

dibentuk. Rumusan definisi demikian lebih diperjelas kembali oleh Padmo

Wahjono dalam karyanya yang berjudul Menyelisik Proses Terbentuknya

Perundang-Undangan, mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan

penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan

sesuatu.43

Menyangkut persamaan definisi secara substantif ini, Mahfud MD

menjabarkan pandangannya substansi mengenai politik hukum adalah legal police

atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan sebagai

pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka

mencapai tujuan negara. Demikian hal, pandangan ini memberi ukuran

substantifnya pada pilihan hukum baik hukum-hukum yang akan dicabut atau

tidak diberlakuakan atas pilihan hukum-hukum yang akan diberlakukan sebagai

upaya tujuan negara sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD

1945.44

43

Mahfud MD, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 1.

44

Ibid.., hlm. 1.

Page 3: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

27

Pengertian Politik hukum dapat dibagi kedealam beberapa pengertian yang

diataranya secara etimologis dan terminologis. Sebagai persfektif etimologis

politik hukum merupakan terjemahan bahasa Belanda “recht politik” yang berarti

kebijakan (policy) sehingga dapat dikatakan sebagai kebijakan hukum, sedangkan

kebijakan dalam kamus bahan Indonesia berarti rangkaian konsepdan asas dalam

pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Dengan

demikian, politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis

besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan

cara bertindak dalam bidang hukum.45

Sarjipto Rahardjo mendifinisikan politik hukum mendefinisikan politik

hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai

tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Demikian hal, kembali

Sarjipto Rahrdjo membagi pertanyaan mendasar terhadap studi politik hukum,

yaitu: Pertama, tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada;

Kedua, cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dicapai

mencapai tujuan tersebut; Ketiga, kapan wkatunya hukum itu perlu diubah dan

melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebagaiknya dilakukan; dan Keempat,

dapatlah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu kita

memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan

tersebut secara baik.46

45

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa,

2008.

46

Sarjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 1991), hlm. 352.

Page 4: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

28

Dari pendekatan studi hukum inilah, perumusan mengenai variabel politik

hukum sebagaimana hakikatnya dapat dilihat melalui dua disiplin hukum, yakni

anatara displin ilmu hukum dan filsafat hukum. Demikian hal, Pandangan ini

dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan Purbadcaraka yang dikutip oleh Sri

Soemantri, mengatakan pada ilmu hukum terarah pada cara untuk mencapai

tujuan, kemudian letak filsafat hukum diarahkan untuk melihat tujuan yang

diinginkan.47

Pendekatan demikian sembari terbagi dalam dua tataran:

Pertama, dikatakan sebagai displin hukum pada tataran kelahiran politik

hukum sebagai aktivitas pembuatan kebijakan. Selaras dengan pandangan negara

hukum, politik hukum sebagai perwujudan negara berdasarkan hukum, hal ini

sebagai reaksi penolakan terhadap negara berdasarkan kekuasaan. Kedua,

dikatakan pula pada tataran politik hukum dalam displin hukum sebagai ruang

gerak pada orientasi etik dan teknik kegiatan pembentukan hukum dan penemuan

hukum. Demikian hal, politik hukum pada kedua ukuran ini guna mengamati

jangkauan hukum yang dibentuk memiliki nilai guna dan gerak dalam proses

modifikasi masyarakat yang dinginkan. Transformasi diatas menegaskan

perlibatan akan unsur-unsur yang mendukung terjadinya proses harus menjadi

perhatian bersama, baik dalam hal ihwal idiologi atau ajaran-ajaran politik.48

Sebagai sebuah dualitas tataran dari displin hukum ini terhadap politik

hukum, tak lepas keberangkatannya melalui pandangan dari sejak jauh-jauh hari

47

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi Dalam Batang Tubuh UUD

1945 (sebeum dan sesudah Perubahan UUD 45), (Bandung: Alumni Bandung, 2006), hlm. 35. 48

Ibid.., hlm. 40.

Page 5: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

29

atas sumbangsih pemikiran Socrates yang menyampaikan pendefinisian hukum

sebagai tatanan kebijakan, yakni sesuai dengan hakikat manusia sebagai tatanan

yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum tidak mengamini

aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filusufionia),

tidak pula bahwa hukum sebagai aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri

(kontra kaum sofis). Sejatinya hukum adalah tatanan objektif untuk mencapai

kebajikan dan keadilan umum.49

Menurut Sudarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui

badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang

dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengeksprseikan apa yang

terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.50

1. Segi Hukum Sebagai Alat

Di awal mengenai pengertian politik hukum sebagai pemaparan kebijakan

suatu pilihan hukum yang akan diberlakukan dan penggantian hukum yang lama

sebagai upaya perwujudan hukum yang di cita-citakan. Kemudian, pada tataran

pembentukan hukum yang oleh badan-badan pembentuk hukum dalam

mengaspirasikan suara masyarakat, keberlakuan pembentukan hukum demikian

tak lepas dari sarana dalam menjembatani proses pembentukan hukum sebagai

posisi perwujudan tujuan negara. Hal ini diamini oleh pendapat Sunaryati Hartono

49

Veri Junaidi., dkk, Politik Hukum Sistem Pemilu: Potret Keterbukaan Dan Partisipasi

Publik Dalam Menyusun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan DPR, DPD,

dan DPRD, (Jakarta: Yayasan Perludem, 2013), hlm. 28.

50 Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum

Pidana, (Bandung: Sinar baru, 1983), hlm. 20.

Page 6: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

30

yang dikutip oleh Mahfud MD dengan pernyataan “hukum sebagai alat”

menunjukkan posisi hukum sebagai saran pencapaian hukum dalam kerangka

sistem hukum nasional atas pengejawantahan cita-cita bangsa, sekaligus tujuan

negara.51

Senada dengan pandangan yang dikemukakan oleh Hoogerwerf dalam

Bachan Mustafa mengatakan bahwa kebijakan dalam politik hukum sebagai

sarana yang memiliki sifat yuridis pemerintahan dengnan membedakan kriteria

sarana sebagai: Pertama, Sarana untuk pengaturan aktivitas-aktivitas warganegara

(undang-undang, ketentuan-ketentuan administrasi dan sanksi); Kedua, Sarana

untuk pengaturan antara pemerintah dan yang diperintah (perlindungan hukum,

diantaranya dalam bentuk banding dan apel administrasi serta pengadila

administrasi, dan perlindungan kepentingan-kepentingan, antara lain dalam

bentuk “Inspraak” dan keterbukaan; Ketiga, sarana untuk pengaturan tindakan-

tindakan dari hubungan antara badan-badan pemerintahan (diataranya meliputi

pengawasan, perencanaan, berjangka dan analisis kebijaksanaan.52

Sarana pencapaian hukum dalam pembagiannya terbagi kedalam dua sifat

keberlakuan politik hukum: Pertama, bersifat permanen dalam arti pemberlakuan

pada hukum dalam rentang jangka panjang seperti prinsip yudisial, pergantian

hukum-hukum kolnial diganti dengan hukum-hukum nasional, penguasaan

sumber daya alam oleh negara melalui undang-undang agraria, ekonmi

51

Mahfud MD, Politik Hukum.., hlm. 2-3. 52

Bachan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2003), hlm. 53.

Page 7: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

31

kerakyatan, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan produk hukum lainnya yang

bersifat permanen dalam menunjuk langkah format yang terkandung dalam

muatan UUD atas keberlakuan politik hukum. Kedua, bersifat periodik dalam arti

keberlakuan atau pencabutan hukum secara politik hukum dengan pilihan yang

dibuat atau dibentuk sesuai dengan sistuasiyangberkembang dan dihadapi pada

setiap periode tertentu. Misalnya, 2004-2009 terdapat 250 lebih rencana program

legislasi nasional (prolegnas).53

2. Dimensi Kajian Politik Hukum

Pada studi politik hukum, terdapat dua hal yang menjadi letak

perkembangan hukum, kedua hal tersebut meliputi dimensi politis dan dimensi

filosofis. Dikatakan sebagai kajian politik dan hukum memiliki keterkaitan yang

relevan dalam perkembangan hukum, perkembangan demikian dilandasi oleh

pandangan dengan melihat law as a political instrument yang kemudian arah

perkembangannya terhadap poitik hukum sebagai bidang kajian tersndiri dengan

sebutan political gelding van recht, dalam arti dasar berlakunya hukum secara

politik. Manifestasi perkembangan tersebut berkaitan dengan adanya landasan

sosiologis dan landasan filosofis dalam mencari keterlibatan kebenaran ilmiah.

Sebagai dimensi filosofis dalam kajian hukum sebagai sisi keberangkatan

ide-ide pemikiran hukum dalam sifat keabstrakan kajiannya atas perumusan

kongkret tentang apa dan bagaimana hukum seharusnya hukum yang akan datang

(ius constituendum), yang akan dibentuk, dirumuskan, dan filsafat hukum.

53

Ibid.., hlm. 3.

Page 8: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

32

demikian hal, pengkajian ilmu hukum menjadi arus timbal balik secara signifikan

antara filsafat hukum dengan politik hukum yang dikaji ilmu hukum.54

Pemikiran yang demikian itu dapatlah dikatakan bahwa ilmu hukum

adalah suatu kajian tentang hukum yang berada dalam domein antara politik

hukum disatu pihak dan filsafat hukum dilain pihak dan ketiga-tiganya filsafat

hukum, politik hukum merupakan suatu kerangka dasar tentang kajian hukum

yang dapat dikembangkan dalam kerangka kajian yang lebih rinci, sehingga hal

ini tidak boleh diabaikan begitu saja.

William Zevenbergen mengutarakan pandangan bahwa politik hukum

mencoba menjawab pertanyaan, peraturan-peraturan hukum mana yang patut

untuk dijadikan hukum. Perundang-undangan itu sendiri merupakan bentuk dari

politik hukum (legal policy).55

Pengertian legal policy, ini diamini dalam

pandangan Mahfud MD, mencangkup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum

yang dapat menunjukkan sifat dan kearah mana hukum dibangun. Politik hukum

memberi pilihan ke arah landasan dalam proses pembentukan hukum dengan

kesesuaian, situasi, dan kondisi, kultur serta nilai yang berkembang dimasyarakat

dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.56

54

Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm 19.

55

Ibid.., hlm. 19.

56

Mahfud MD, Politik Hukum.., hlm. 9.

Page 9: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

33

3. Objek Kajian Politik Hukum

Objek politik hukum adalah hukum, yaitu hukum yang berlaku saat ini,

hukum yang berlaku di waktu yang lalu, maupun yang seharusnya berlaku di

waktu yang akan datang. sehingga, pada objek politik hukum dengan pendekatan

yang dipakai dalam mempelajari objek politik hukum adalam praktis ilmiah. Hal

ini terlihat pada pengejawantahan dari penunjukkan eksistensi hukum terhadap

politik hukum dari negara tertentu. Di lain hal, politik hukum

pengejawantahannya pada eksistensi hukum negara tertentu.57

Maksud diatas menyelaraskan pandangan yang dikemukakan oleh

terminologi Logeman sebagai hukum yang berlaku disni dan kini, kemudian

dalam tafsiran politik hukum, merupakan hukum yang dibuat atau ditetapkan

negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

tersebut.58

Sebagai objek kajian, hukum suatu negara memiliki orientasi nilai,

posisi nilai sebagai ukuran kegunaan hukum itu bagi negaranya yang terdapat dari

berbagai lapisan kehidupan dan sifatnya disenangi oleh kehidupan yang

mengngkan kehidupannya bernilai dalam tataran kebermanfaatannya dan

keberlakuannya serta penjamin ketertiban dan kepastian hukum.dari keberadaan

hukum yang memiliki orientasinya seecara bernialai sekaligus ditaati,

menandakan adanya keberlakuan hukum berwatak responsif. Namun

keberlakuannya tidaklah terwujud apabila hukuum daijadikan kehendak atas

57

E. Utrech, Pengantar dalam Hukum indonesia, (Jakarta: Penerbitan universitas

Kesembilan, 1966), hlm. 74-75.

58

Regen, B.S, Politik Hukum, (Bandung: Utomo, 2006), hlm. 17.

Page 10: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

34

kristalisasi dan kehendak politik tertentu dapat melahirkan hukum dengan

karakter tertentu.

Lebih lanjut kembali pada objek kajian politik hukum dapat dikatakan

berada pada tujuan negara. Sebagaimana pengertian dari politik hukum

menggambarkan disiplin ilmu yang mengarah pada pembangunan hukum

nasional. Arah pemabangunan nasional ini kemudian dalam paradigma suatu

negara tumbuh kembangnya berada pada kedudukannya sebagai dasar dan

idiologi negara yang tidak dipersoalkan lagi.

B. Politik Hukum Di Indonesia

Politik hukum di Indonesia adalah kebijakan dasar penyelenggara negara

(Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, yang dan telah berlaku,

yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat untuk mencapai tujuan

negara (Republik Indonesia) yang dicita-citakan.

Tujuan politik hukum nasional termuat di dalam pembukaan UUD 1945,

yang kemudian disampaiakan Mahfud MD dalam Ceramah Kunci Prosiding

Konferensi dan Dialog Negara Hukum: Pertama, sebagai konsep dalam bernegara

hukum tercantum dalam salah satu kalimat pad alinea empat yang menyatakan,

“...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu

Undang-Undang Dasar negara Indonesia merdeka akan dijalankan berdasarkan

hukum, hal inilah peletakan UUD diposisikan sebagai aturan hukum tertinggi;

Page 11: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

35

Kedua, Konsep negara hukum tersebut untuk membentuk pemerintahan

negara yang bertujuan, baik untuk melindungi HAM secara individual maupun

kolektif yang tercermin dalam kalimat: “....melindungi segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia ang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,..”.59

Sehingga dari segi aspek dapat ditarik kedalam dua aspek yang saling

memiliki keterkaitan:

1. Sebagai satu alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh

pemerintah untuk mencapai suatu sistem hukum nasional yang

dikehendaki;

2. Dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa

Indonesia yang lebih besar.

Sistem hukum memiliki arti kesatuan hukum dan/atau perundang-

undangan yang meliputi komponen secara berkaitan, dalam bangunan pencapaian

tujuan negara cita hukum negara yang berlandadaskan Pembukaan dan Pasal-

Pasal UUD 1945.60

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa Pembukaan dan Pasal-pasal

UUD 1945 merupakan sumber dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia.

59

Pidato disampaikan dalam acara Prosiding Konferensi dan Dialog Negara Hukum..,

hlm. 60.

60

Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajawali

Pers, 2010), hlm. 22.

Page 12: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

36

Penegasan keduanya sebagai sumber politik hukum nasional didasarkan pada dua

alasan yaitu:

1. Pembukaan dan Pasal-Pasal UUD 1945 memuat tujuan, dasar, cita

hukum dan norma dasar negara Indonesia yang harus menjadi tujuan

dan pijakan dari politik hukum di Indonesia.

2. Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 mengandung nilai-nilai khas

yang bersumber dari pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang

diwariskan oleh nenek moyang sejak berabad-abad yang lalu.61

Upaya pembentukan hukum yang melalui politik hukum sebagai sarana

pencapaian tujuan cita negara hukum, maka politik hukum nasional harus berpijak

pada kerangka dasar pijakan: Pertama, Politik hukum nasional harus selalu

mengarah pada cita-cita bangsa, yakni masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Pancasila; Kedua, Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan

negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan

ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;

Ketiga, Politik hukum nasional harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila

sebagai dasar negara, yakni: berbasis moral agama, menghargai dan melindungi

hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi, mempersatukan seluruh unsur bangsa

dengan semua ikatan promordialnya, meletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan

rakyat, membangun keadilan sosial;

61

Ibid., hlm. 23.

Page 13: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

37

Keempat, Politik hukum nasional harus dipandu oleh keharusan untuk:

melindungi semua unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan bangsa yang

mencakup ideologi dan teritori, mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan

kemasyarakatan, mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi

(kedaulatan hukum), menciptakan toleransi hidup beragama berdasarkan

keadaban dan kemanusiaan; dan,

Kelima, Sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum

Pancasila, yakni sistem hukum yang mengambil atau memadukan berbagai 27

nilai kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum

prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya. Sistem hukum yang demikian,

mempertemukan unsur-unsur baik dari tiga sistem nilai dan meletakkannya dalam

hubungan keseimbangan, yakni: keseimbangan antara individualisme dan

kolektifisme, keseimbangan antara rechtsstaat dan the rule of law, keseimbangan

anatara hukum sebagai alat untuk memajukan dan hukum sebagai cermin nilai-

nilai yang hidup di dalam masyarakat, keseimbangan antara negara agama dan

negara sekuler (theo-demokratis) atau religius nation state.62

Sebagai cita hukum nasional, maka politik hukum nasional diposisikan

dalam bentuk dan proses atas pedomannya, begitu juga pada tataran dalam

mengoperasionalkan pedoman politik hukum yang baik, maka hasil kritalisasi

yang telah dirumuskan kedalam suatu produk hukum, mengindikasiakn bahwa

62

Ibid., hlm. 30-32.

Page 14: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

38

terdapat hirarkis tata urutan perundang-undangan yang tak lepas dari dimana

keadaan hukum itu diberlakukan di suatu negara.

Pada transisi paska kemerdekaan Indonesia, aturan dalam pembentukan

perundang-undangan dengan produk hukum legalitasnya yakni Undang-Undang

Nomoror 12 Tahun 2011 perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Secara hirarkis tata urutan

perundang-undangan, termuat dalam Pasal 7 ayat (1).

Undang-undang ini merupakan amanat reformasi dalam ranggka

perwujudan pembangunan hukum nasional atas dukungan melalui cara dan

metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang

memiliki kewenangan dalam pembentukannya. Demikian hal, dalam amanat

reformasi inilah jika sampai pada UUD 1945 sejak keempat kalinya perubahan

terhadap UUD 1945 yang dibidani oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).63

Rumusan Pasal dalam UUD yang merupakan produk amandemen dari

MPR dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Dewan Perwakilan Daerah sebagai

cetak biru dalam rangka memformulasikan tujuan negara, dan kemudian

perumusannya yang ditukangi oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai proses

legislasi nasional. Kedua produk hukum tersebut maupun keseluruhan heirarkis

63

Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,

(Jakarta: Pusat Studi hukum tata Negara Universitas Indonesia, 2002), hlm. 5.

Page 15: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

39

produk hukum cakupannya perlu di perhatikan, sejak keberlakuan UUD 1945

memberikan kewenangan legislatif secara teknik proseduralnya.64

C. Politik Hukum Pembatasan Permohonan Perkara Sengketa Selisih

Perolehan Suara Hasil Pemilihan Kepala Daerah Di Mahkamah

Konstitusi

Politik hukum pembatasan perkara sengketa selisih perolehan suara hasil

pemilihan kepala daerah termuat dalam Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-

Undang R.I Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang, dalam rinciannya sebagai berikut

ini:

Tabel 1.Ambang Batas (Sistem treshold)

No Jumlah penduduk

(pemilihan Calon

Gubernur dan

Calon Wakil

Gubernur)

Perbedaan suara

Pemohon dengan

Pasangan calon

Peraih suara

Terbanyak

Jumlah penduduk

(pemilihan Calon

Bupati dan Calon

Wakil Bupati serta

Walikota dan Wakil

Walikota)

Perbedaan suara

Pemohon dengan

Pasangan calon

Peraih suara

Terbanyak

64

Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan..., hlm. 5.

Page 16: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

40

1 ≤2.000.000 2% ≤ 250.000 2%

2

>2.000.000-

6.000.000

1,5% > 250.000- 500.000 1,5%

3

>6.000.000-

12.000.000

1.5% >500.000- 1.000.000 1%

4 >12.000.000 0,5% >1.000.000 0,5%

Pada politik hukum terkait sistem pengajuan pembatalan penetapan hasil

perhitungan Suara Pilkada meliputi: Pertama, sebagai sistem threshold politik

hukum pasal 185 UU Pilkada penerapanya sebagai kebijakan arah kebijakan yang

akan dibentuk. Sekaligus pembentuk Undang-Undang mencegah Mahkamah

Konstitusi tidak mengulang keterperosokan kembali dalam kasus suap perkara

Pilkada yang dapat merenggut kehormatan kekuasaan kehakiman serta merenggut

kedaulatan rakyat.65

Disisi lain, penangan pilkada satu putaran (serentak) lebih

berat dari pada sebelumnya, yang kemudian pemberlakuan selisih tipis yang

begitu ketat yang menjadi persyaratan serta indikator di jauh-jauh hari pasangan

calon Pilkada menggugat kekalahannya ke Mahkamah Konstitusi. Demikian hal,

agar yang kalah tidak mempersoalkan ke Mahkamah Konstitusi maka perlunya

penerapan selisih tipis yang ketat yang menjadi pembatasnya. Serta belum adanya

definisi konferehensif mngenai pelanggaran struktur, sistematis, dan masif, dalam

hal ini pembentuk UU menerapkan pemangkasan jumlah kasus yang ditangani

oleh Mahkamah Konstitusi, serta pada tataran politik hukum tentunya mencegah

65

Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Pengajuan Perkara.., hlm. 86.

Page 17: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

41

terjadinya tradisi yang memungkinkan ketiadaan tindak penegakan etika dan

budaya moral yang makin dewasa. 66

Kedua, Sejak jauh-jauh hari pelaksanaan pilkada telah terlaksana secara

langsung, karena Mahkamah menegaskan konsitensi dalam sifat isu konstitusi

terkait pemisahan kewenangan dengan isu kebijakan (legal policy), penegasan

demikian secara relevansinya melalui preoblem kebijakan dengan problem

konstitusi, sebagaimana dalam beberapa putusan MK No. 017/PUU-I/2003, No.

002/PUU-II/2004, dan putusan No. 114/PUU-VII/2009, dengan kesimpulan

terhadap konteks kebijakan hukum terbuka, syarat-syarat untuk mengikuti pemilu,

hak pilih, dan mekanisme penyelesaian sengketa hasil Pemilu sebagai

kewenangan pembentuk Undang-Undang67

.

Menjelang akhir tahun 2013, terdapat sekelompok warga negara

mengajukan permohonan ke Mahkamah Kontitusi, permohonan ditunjuk terkait

kewenangan Mahkamah dalam Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 dan Pasal 29

ayat (1) huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

terhadap UUD NRI 1945 khususnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (2), dan

Pasal 24C ayat (1). Uraian alasan pemohon dalam pokoknya adalah Pilkada bukan

termasuk dalam ruang lingkup pemilihan umum, hal ini yang menjadi ukuran

penanganan perselisihannya bukan menjadi ruang lingkup Mahkamah Konstitusi.

66

Kelik Pramudya, Mewujudkan Sistem Penyelesaian Hasil Pilkada Yang Efektif Dan

Berkeadilan (Manifeting Effective And Fair Resolution System On The Local Election Result),

Jurnal Retvinding, Vol 4: 1, (April 2015), hlm. 28.

67

Muji Kartika Rahayu, Menafsir demokrasi Konstitusional: Pengertian, Rasionalitas

Dan Demokrasi Konstitusilitas Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 Menurut Mahkamah

Konstitusi, (Konsorsium Reformasi Nasional, 2014), hm. 119.

Page 18: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

42

Sebagaimana terjadi kontraksi terhadap kepastian hukum dan meniadakan asas

”lex superiori derogat legi inferiori”, dikarenakan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI

1945 kedudukannya dalam norma hukum sebagai norma tertinggi tidak

memberikan kewajiban kepada norma hukum yang lebih rendah untuk mengatur

penyelesaian sengketa Pilkada diberikan kepada Mahkamah Konstitusi.68

Para

pemohon juga menyampaikan bahwa diberikannya kewenangan menyelesaikan

sengketa hasil Pilkada sebagai kekeliruan yang mencedrai nilai-nilai

konstitusionalisme serta berpotensi tinggi mengganggu tugas pokok Mahkamah

Konstitusi sebagai pengawal konstitusi.

Kemudian pada puncak putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah

Konstitusi menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk

seluruhnya dan menyatakan Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 dan Pasal 29 ayat

(1) huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kewenangan

mengikat. Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan

ini karena yang dimaksudkan pemilihan umum setiap lima tahun sekali

sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E UUD NRI 1945 adalah pemilihan umum

anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan

setiap lima tahun sekali.69

68

Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Pengajuan Perkara Sengketa Hasil.., hlm. 88.

69

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PU-XI/2013,

www.mahkamahkonstitusi.go.id, diakses 13 Maret 2018, 22.00 WIB.

Page 19: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

43

Selang setahun pasca keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengeluarkan

wewenang sengketa hasil Pilkada sebagai wewenang MK, ternyata DPR melalui

Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Pilkada menyerahkan kembali kepada

Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada samapai

dengan dibentuknya badan peradilan khusus sebelum pelaksanaan pemilihan

serentak nasional.

Pembahasan DPR bersama Pemerintah sejak diberlakuannya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2015 belum berencana untuk melakukan pasal 157

Undang-Undang Nomor 1 Tahaun 2015 untuk melakukan perubahan ketentuan

Pasal 157. Pasal 157 dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 dianggap sudah

memadai dan menjadi solusi terbaik. Ketentuan Pasal 157 yang lama (sebelum

diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015) memberikan wewenang

kepada Pengadilan Tinggi (PT) yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung untuk

menyelesaikan perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan.70

Pembentuk Undang-Undang selaku pemangku kebijakan telah

mengalihkan kembali wewenang mengenaisengketa hasil Pilkada dari Mahkamah

Agung Kepada Mahkamah Konstitusi sebelum nantinya ditangani peradilan

khusus dikarenakan saat Mahkamah Agung menggelar pertemuan dengan komisi

II DPR membahas kewenangan sengketa pilkada yang bakal ditangani Mahkamah

Agung sesuai yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015

Mahkmah Agung berpandangan sengketa pilkada sebaiknya tidak ditangani

Mahkamah Agung, tetapi tetap menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

70

Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Pengajuan Perkara Sengketa Hasil.., hlm. 89.

Page 20: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

44

Demikian hal, Mahkamah Agung satu sisi mengakui belum siapnya untuk

menyidangkan perkara sengketa pilkada baik dari segi infrastruktur maupun

Sumber Daya Manusia (SDM) karena belum menyiapkan Hakim ad hoc yang

akan menangani sengketa.71

Pada hasil pertemuan itu menghimpun kesimpulan bahwa sebagai respon

atas keberatan Mahkamah Agung dan dikembalikannya wewenang mengadili

sengketa Pilkada ke Mahkamah Konstitusi dalam masa transisi, maka pembentuk

undang-undang yang memberikan wewenang kepada Mahkamah Konstitusi untuk

mengadili sengketa hasil Pilkada dengan sejumlah ketentuan. Sebagai tujuan

menghindari penyalahgunaan wewenang oleh hakim Mahkmah Konstitusi atas

dasar doktrin terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang terlalu luas tafsirannya

sebagaimana pernah terjadi, maka dibuat ketentuan syarat jumlah perbedaan suara

yang bervariasi antara 0,5% sampai 2% sesuai jumlah penduduk kabupaten/kota

atau provinsi untuk dapat mengajukan perkara perselisihan hasil Pilkada ke

Mahkamah Konstitusi.72

Ketiga, Mahkamah Konstitusi dalam memandang kebijakan atas

pembatasn pengajuan pembatalan hasil suara oleh pemohon, MK tidak serta merta

menolak permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, namun adanya

pemeriksaan pendahuluan inilah yang menentukan diterima atau tidaknya

permohonan tersebut dengan syarat lengkapnya berkas permohonan dan sesuai

71

Ibid.., hlm. 89-90.

72

Ibid.., hlm. 90.

Page 21: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

45

dengan syarat yang telah ditentukan. Rasionalitas Pasal 158 sesungguhnya

merupakan bagian dari konsensus ataupun kebijakan pembentuk UU mendorong

terbangunnya etika dan budaya politik dalam perumusan norma dimana seseorang

yang turut serta dalam kontestasi pemilihan gubernur, bupati dan walikota tidak

serta merta menggugat suatu hasil pemilihan ke MK dengan perhitungan yang

sulit diterima oleh penalaran yang wajar.73

73

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XII/2005,

www.mahkamahkonstitusi.go.id, diakses 19 Maret 2018, 18.00 WIB

Page 22: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

46

BAB III

KEWENANGAN DAN FUNGSI MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP

PEMBATASAN PERMOHONAN PERKARA SENGKETA SELISIH

PEROLEHAN SUARA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH

A. Kewenangan Mahkamah Konstititusi Secara Teoritik

Teori kewenangan dimuncul dari terjemahan bahasa Inggris yang

berbentuk istilah kata “authority of theory” kemudian dalam bahasa Belanda

dengan istilah bentuk kata “theorie der autoritat”. Kemudian dalam perihal

kewenangan dari HD. Stoud, oleh Ridwan HB mengutip pernyataan terhadap

pengertian kewenangan yakni “keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan

perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subyek hukum publik di

dalam hubungan hukum publik”.74

Demikian hal, dari kedua unsur pengertian

diatas, terdapat kandungan unsur yakni dengan konsep kewenangan terdapat

“aturan hukum” dan “sifat hubungan hukum”.

Sumber kewenangan diperoleh melalui peraturan perundang-undangan.

Demikian hal, Inroharto mengemukakan 3 (tiga) macam kewenangan, yakni

Kewenangan Atribusi, Kewenangan Delegasi, dan Kewenangan Delegasi dan

Mandat. Kemudian berbeda dengan van Wijk, F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek

dengan menyebutkan hanya terdapat dua cara dalam memperoleh kewenangan,

74

Mohammad Ady Nugroho, Kewenangan Mahkmah Konstitusi (Telaah Atas Putusan

MK No. 46/PUU-XIV/2016), Makalah disampaikan dalam Public Discussion on Constitutional

Law “ Penegasan MK terhadap Pembentuk UU dalam Penormaan Kriminalisiasi (Studi Putusan

MK No. 46/PUU-XIV/2016)” diselenggarakan oleh CONSTAN (Center for Indonesia Contitution

Analysis di UIN Sunan Kalijaga pada tanggal 23 Desember 2017, hlm. 2.

Page 23: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

47

yaitu Atribusi dan delegasi, kemudian perbedaan keduanya yakni Atribusi

berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut

pelimpahan wewenang yang telah ada.75

Pasca gejolak reformasi 1998 melalui amandemen UUD NRI Tahun 1945,

yang kemudian secara bertahap di Tahun 2002 dengan ide pembentukan konstitusi

diihlami melalui bentuk kewenangan atribusi baru. Rekontruksi yang terjadi pula

pada struktur dan kelembagaan kekuasaan kehakiman Indonesia dimana secara

tekstual tertera dalam Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945. Melalui amandemen ke-3

(tiga) bahwa:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi.76

Pembentukan Mahkamah Konstitusi mulai dikenalkan oleh Hans Kelsen

sebagai sebuah lembaga yudikatif tidak dengan proses yang instan.77

Telaah

historis menyebutkan bahwa ikhtiar pembentukan lembaga yang kita kenal

dengan istilah Constitutional Court oleh Hans Kelsen menyatakan bahwa

konstitusi harus diposisikan dan perlakukan superior dari undang-undang biasa.

75

Ridwan H.R, Hukum administrasi Negara.., hlm. 101-102.

76

Lihat Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

77

Ibid., hlm. 1.

Page 24: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

48

Kemudian melalui gagasan dalam menjaga kontitusi inilah diperlukan atau

dirancangnya peradilan khusus yang memiliki kekuasaan merdeka dalam

kehakiman untuk mengawasi produk undang-undang sekaligus membatalkan jika

terdapat muatan undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar, sebagaimana konstitusi negara Austria dengan cita ikhtiar inilah

dibentuknya peradilan khusus yang diresmikan pada tahun 1920,

perkembangannya hingga ke eropa dan Indonesia.78

Merujuk cita negara hukum, di tahun 2001 secara resmi Indonesia melalui

dokumen sejarah dari amanat reformasi atas rumusan the founding leaders

membentuk Mahkamah Konstitusi Indonesia secara dokumen otentik melalui

amandemen ke-3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara konstitusional dalam

menjaga konstitusi. Rumusan konstitusional secara yuridis, keberadaan

Mahkamah Konstitusi teredaksi melalui Pasal 7A, Pasal 7B, 24 ayat (2), dan Pasal

24C. Pengejawantahan keberadaan Mahkamah Konstitusi demikian dibekali

dengan kewenangan serta kelembagaan sebagai penunjang fungsi Mahkamah

Konstitusi di Indonesia.79

Melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 perubahan atas Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi menunjukkan peran

Mahkamah Konstitusi baik terhadap perorangan, kesatuan masyarakat adat

sepeanjang masih hidup, badan hukum publik dan privat, lembaga negara, partai

78

Maruar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2011), hlm. 3.

79

MK-RI, Menegakkan Negara Hukum yang Demokratis; Catatan Tiga Tahun

Mahkamah Konstitusi 2003-2006, (Jakarta: Setjen MK-RI, 2006), hlm. 78.

Page 25: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

49

politik, atupun pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dalam hal ini

jika hak dan/atau wewenang konstitusionalnya dirugikan dapat mengajukan

permohonan ke Mahkamah Konstitusi.80

Secara filosofis dari keberadaan Mahkamah Konstitusi upaya penegakan

keadilan substantif dan prinsip-prinsip good governance. Demikian hal,

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara pengawal dan penafsir konstitusi

dengan pergseran doktrin dari adanya supremasi parlemen yang digantikan

dengan ajaran supremasi konstitusi.81

Pemikiran mengenai pentingnya keberadaan Mahkamah Konstitusi

menjadikan Indonesia sebagai negara ke-78 dalam membentuk Mahkamah

Konstitusi sebagai fenomena negara modern abad ke-20. Ikhtiar pembentukan

organ konstitusi dalam menjalankan pedoman dari visi kelembagaannya yakni

tegaknya konstitusi dalam rangka mewejudkan cita negara hukum dan demokrasi

dalam berkehidupan atas kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.82

Diantara pemikiran dari terbentuknya Mahkamah Konstitusi baik secara

teoritik diawal dan secara eksistensinya dalam sistem ketatanegaraan Republik

Indonesia melalui garis historis keotentikan diatas dapat menggambarkan bahwa

ide hingga keberadaan Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang dalam

80

Indra Perwira, dkk., “Budaya Konstitusi (Constitutional Culture) Dalam UUD 1945

Perubahan Dikaitkan Dengan Gagasan Perubahan Kelima UUD 1945”, Jurnal Konstitusi, Vol. II,

No. 2, (November, 2010), hlm. 60.

81

Mariyadi Faqih, “Nilai-Nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan

Mengikat”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 3, (Juni, 2010), hlm. 97.

82 MK-RI, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Setjen MK-RI, 2010), hlm. 5.

Page 26: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

50

menjalankan salah satu organ kekuasaannya yang berdasarkan prinsip check and

balances sebagai titik temu dari muatan keberadaan Mahkamah Konstitusi

sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana tercantum

dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 mengatur tentang kekuasaan kehakiman,

kekuasaan ini dilakukan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi.

Melanjutkan dari pertimbangan dan ukuran garis kewenangan Mahkamah

Konstitusi secara teoritik dan eksistensinya melalui kehidupan ketatanegaraan,

demikian hal bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi melalui titik temu dapat

diuraikan dalam beberapa muatan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia secara eksplisit tercantum dalam Pasal 24C yakni

Pertama, kewenangan Mahkamah Konstitusi oleh Undang-Undang Dasar NRI

1945 yang memberikan wewenang dalam menguji undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar.83

Kedua, kewenangan Mahkamah Konstitusi oleh Undang-Undang Dasar

NRI 1945 yang memberikan wewenang dalam memutus sengketa kewenangan

lembaga negara. Kewenangan ini sebagai upaya dalam mengatasi terjadinya

konflik antar lembaga-lembaga negara dalam menafsirkan UUD NRI 1945 dalam

penyelenggaraan di kehidupan ketatanegaraan. Ketiga, kewenangan Mahkamah

83

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

tingkat terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan

memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

Lihat Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 27: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

51

Konstitusi oleh Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang memberikan wewenang

dalam memutus pembubaran partai politik.84

Keempat, kewenangan Mahkamah Konstitusi oleh Undang-Undang Dasar

NRI 1945 memutus perselisihan tentang pemilihan umum. Timbulnya

kewenangan ini menjadi penting sebagai konsekuensi dari sistem pemilihan yang

digunakan, yakni pemilihan langsung. Demikian hal upaya Mahkamah Konstitusi

dalam kewenangan ini menjaga konstitusionalitas suatu hak memilih dan dipilih,

termasuk didalamnya mengenai hak perolehan suara yang sah secara

konstitusional serta muatannya melalui asas pemilihan itu sendiri. Kelima,

kewenangan Mahkamah Konstitusi oleh Undang-Undang Dasar NRI 1945 dalam

memutus atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan

atau Wakil Presiden menurut UUD.85

Pada perkembangannya, Mahkamah

Konstitusi mendapatkan tambahan kewenangan memutus sengketa pemilukada,

hal ini di latarbelakangi oleh pengalihan kewenangan dari Mahkamah Agung oleh

Mahkamah Konstitusi terkait kewenangan memutus perselisihan hasil suara

pemilukada.

Melalui rujukan hasil perubahan ketiga UUD NRI 1945, hingga beberapa

kewenangan Mahkamah Konstitusi terkait kewenangan yang bersifat tambahan

84

Ibid.

85

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden

dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Lihat Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945.

Page 28: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

52

dalam perkembangan sistem ketatanegaraan dapat terelaborasi ke dalam enam hal,

antara lain:

1. Melakukan pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang

Dasar NRI 1945;

2. Memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga negara;

3. Memutus pembubaran partai politik;

4. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum;

5. Memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR (Dewan

Perwakilan Rakyat) bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah

melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap

negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau

perbuatan tercela;

6. Memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR (Dewan Perakilan

Rakyat) bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah tidak lagi

emiliki syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden;

7. Memutus perselisihan tentang selisih hasil pemilihan kepala daerah.

B. Fungsi Mahkamah Konstitusi Secara Teoritik

Istilah fungsi berasal dari terjemahan bahasa inggris, yaitu “function” yang

berarti sesuatu yang mengandung kagunaan atau manfaat. Dalam suatu lembaga

atau institusi formal, fungsi memiliki kegunaan yang dituju pada kekuasaan

berupa hak dan tugas yang dimiliki oleh seseorang dalam kedudukannya di

Page 29: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

53

sebuah organisasi untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan bidang tugasnya

masing-masing. Adanya fungsi di suatu lembaga atau institusi disusun guna

mengihlami pedoman atau haluan bagi organisasi dan/atau institusi dalam

mencapai tujuan organ tersebut. Keterkaitan fungsi dalam organ

dimplementasikan melalui wewenang yang didalamnya meliputi kemampuan

bertindak dalam tindakan hukum publik. Demikian hal, secara yuridis wewenang

ini diberikan melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku serta

melakukan hubungan-hubungan hukum.86

Dalam ruang lingkup organisasional, fungsi keterkaitannya dalam

hubungan hukum dikaitkan dengan wewenang yang didasarkan pada hukum

publik. Dikatakan hukum publik karena wewenang meliputi hak dan kewajiban,

disatu sisi wewenang diartikan sebagai hak, dan disisi lain wewenang meliputi

kewajiban sebagai hukum publik. Wewenang tidak diartikan pula sebagai kuasa

an sich. Artinya, dalam menjalankan hak berdasarkan hukum publik selalu terikat

kewajiban berdasarkan hukum publik tidak tertulis (asas umum) pemerintahan

yang baik. Demikian hal, mengenai pembagian ini dibedakan menjadi beberapa

sifat wewenang dalam hubungannya terkait hukum publik dalam lingkup hak dan

kewajiban: Pertama, Pemberian wewenang: yakni pemberian hak kepada, dan

pembebanan kewajiban terhadap badan (atribusi dan/atau mandat); Kedua,

Pelaksanaan wewenang: yakni menjalankan hak dan kewajiban publik yang

berarti mempersiapkan dan mengambil keputusan; Ketiga, Akibat dan

86

Muammar Himawan, Pokok-Pokok Organisasi Modern, (Jakarta: Bina Ilmuan, 2004),

hlm. 3.

Page 30: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

54

pelaksanaan wewenang: yakni seluruh hak dan/atau kewajiban yang terletak

rakyat (burger), kelompok rakyat dan badan.87

Mengihlami cita negara hukum, UUD NRI 1945 dalam struktur pasal

memuat bab mengenai kekuasaan kehakiman yang diatur secara jelas dalam Pasal

24 ayat (1) berbunyi “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Kemudian pada Pasal 24 ayat (2) menyatakan “Kekuasaan kehakiman

diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada

dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Arti redaksi pasal ini

menunjukkan cita negara hukum dalam koridor ketatanegaraan eksistensinya dari

prinsip check and balances, sebuah kekuasaan secara khusus sebagai salah satu

pelaku kekuasaan kehakiman yang sejajar oleh sebuah Mahkamah Agung,

kemudian secara umum sejajar pula dengan lembaga lain dari cabang kekuasaan

yang berbeda sebagai upaya mengimplementasikan supremasi konstitusi dengan

pemisahan atau pembagian kekuasaan yang meliputi Presiden, MPR (Majelis

Permusyawaratan Rakyat) dan/atau DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) serta DPD

Dewan Perwakilan Daerah), dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).88

Melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang (perubahan atas UU

Nomor 24 Tahun 2003) Mahkamah Konstitusi, tugas dan fungsinya tidak lain

menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu, dalam hal ini

87

Prajudi Admosudirjo, Teori Kewenangan, (Jakarta: PT. Rineka, 2001), hlm. 48.

88

Asosiasi Pengajar Hukum Acara MK, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:

Setjen MK-RI, 2010), hlm. 3.

Page 31: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

55

dimaksudkan untuk mengemban serta menjaga konstitusi yang tidak lepas dari

upaya dalam rangka terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil. Ukuran

dasar fungsi dari keberadaan Mahkamah Konstitusi ini sebagai koreksi

ketatanegaraan dari pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu terhadap

apa yang ditafsirkan secara ganda dalam muatan konstitusi. Demikian hal, maksud

arti dari adanya fungsi Mahkamah Konstitusi yakni Mahkamah Konstitusi juga

merupakan penafsir tertinggi konstitusi (the sole interpreter of constitution).89

C. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Penyelesaian Permohonan

Sengketa Selisih Hasil Pemilihan Kepala Daerah

Sejak keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia menjadi perhatian

khalayak umum, khususnya para ilmuan dari tataran akademisi hingga tokoh-

tokoh pemerhati konstitusi, perhatian ini tidak lepas dari keterkaitan kewenangan

tambahan kewenangan dalam penylesaian sengketa pilkada. Perhatian ini tidak

lepas dari pengalihan kewenangan yang di alihkan dari Mahkamah Agung oleh

Mahkamah Konstitusi.

Secara filosofis, setiap kewenangan oleh organ negara yang secara khusus

dalam kekuasaan yudikatif ditunjuk pada kekuasaan kehakiman hakikatnya

sebagai kekuasaan yang merdeka. Artinya, kekuasaan negara ini (kehakiman)

dituntut dalam mengemban tugasnya untuk bebas dari segala bentuk intervensi

89

Abdul Mukthie Fajar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:

Konstitusi Press, 2006), hlm. 119.

Page 32: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

56

baik dari dalam maupun dari luar kekuasaan kehakiman, terkeculai dengan catatan

atas dasar kekuatan idiologi Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Demikian hal,

karena kandungan falsafah Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, yang

diletakkan dalam UUD NRI Tahun 1945 dan berbagai peraturan perundang-

undangan adalah koridor hukum dasar dan koridor hukum operasional bagi

eksisnya indepedensi kekuasaan kehakiman sebagai prasyarat tegaknya hukum

dan keadilan yang dicita-citakan.90

Melalui kacamata sosiologis, harapan kekuasaan kehakiman dalam

menentukan atau mengisi jabatan didalam tubuh salah satu organ yudisial ini baik

dalam prihal pengisian jabatan hakim, maupun beberapa oragan struktural

didalamnya, akan tetapi dalam perihal pengisian jabatan hakim konstitusi menjadi

relevan ketika jabatan ini di isi oleh organ lain yakni melalui organ legislatif

(DPR), organ Eksekutif (Presiden), dan Yudikatif oleh (MA) ini menjadi bagian

penting terjaga prinsip check an balances satu sama lain antar ketiga organ ini.

Sebagai pertimbangan lain kelayakan pemberlakuan terselenggaranya peradilan

yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme, sebagai konsekuensinya

penyelenggaraan hukum acara Mahkamah Konstitusi ini menjadi aturan yang

bersifat Peraturan Mahkamah Konstitusi yang berlaku dalam proses peradilan

sering menjadi acuan sesuai dengan hukum formil dan materiil dalam menjamin

kebutuhan masyarakat yang senantisa menjunjung kehormatan penyelenggaraan

kehakiman.

90

Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Naskah Akademik Rancangan Undang-

Undang tentang Mahkamah konstitusi, (Jakarta: Badan Pembina Hukum Nasional, 2016), hlm. 86.

Page 33: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

57

Demikian hal, maka setiap tindakan kekuasaan kehakiman dituntut dalam

janka kewenangan yang sesuai dan tunduk pada nilai falsafah pandangan

kebutuhan kehidupan berbangsa salah satunya dalam menjaga koridor pemilihan

umum berdasarkan prinsip demokrasi yang berdasarkan hukum negara

Indonesia.91

Dalam perspektif yuridis, kekuasaan kehakiman dituntut mampu

menyelanggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, setiap kewenangan yang terimplemetasi

melalui penyelenggaraan/kegiatan peradilan mampu meneguhkan prinsip dari

visi-misi peradilan itu sendiri. Hal ini menjadikan pedoman penting dimana ketika

kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa pemilihan

kepala daerah mampu dan menjadi kewenangan terbatas dari segi sengketa yang

sesuai pedoman rumusan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Arti ini menjukkan

bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjaga konstitusi didalamnya terdapat

proses poros demokrasi yang sesuai dengan asas penyelenggaraan pemilihan

sebagai prinsip demokrasi Inodonesia, dan dalam keteraturan dari dimensi

perjalanan demokrasi di Indonesia.92

Pertimbangan kekuasaan yang di bekali beberapa kewenangan tidak lepas

dari kajian mengapa Mahkamah Konstitusi diamanahkan dalam proses mengadili

sengketa pilkada, hal ini tidak lepas dari keberangkatan beberapa rujukan yang

91

Ibid., hlm. 87.

92

Ibid., hlm. 88-89.

Page 34: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

58

bersifat kontekstual dalam proses peralihan Mahkamah Konstitusi mengemban

penyelesaian sengketa meliputi beberapa perihal penting dan bagaimana

kewenangan Mahkamah Konsitiusi dalam mengembannya melalui kewenangan

yang diberikan oleh Undang-Undang dan oleh sifat kewenangan Mahkamah

Konstitusi terhadap kewenangan dalam kebijakan yang bersifat terbuka serta

kewenangan secara konstitusional melalui Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Sejak peralihan kewenangan Penyelesaian sengketa Pemilihan kepala

daerah dari Mahkamah Agung di alihkan ke Mahkamah Konstitusi melalui serah

terima kewenangan yang dilakukan pada tanggal 29 oktober 2008 dan diikuti

dengan dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 08A Tahun 2008 tentang pengalihan

wewenang mengadili sengketa pilkada dari Mahkamah agung ke Mahkamah

Konstitusi yang terhitung 1 November 2008.93

Sebagaimana Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa Pemilu

berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. Dalam perjalanan mengemban kewenangan

penyelesaian sengketa pemilukada akibat dari penafsiran Pemilukada sebagai

bagian dari pemerintahan daerah, yang penyelenggaraanya dilakukan oleh KPUD,

sedangkan KPUD sendiri tidak bertanggungjawab kepada KPU Pusat melainkan

DPRD. Disisi lain terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya memutus

perselisihan hasil pemilu yang diselenggarakan oleh KPU Pusat. Setelah

diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang

93

Mahkamah Agung, Laporan Mahkamah Agung Tahun 2008, hlm. 39.

Page 35: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

59

Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang menyangkut pertanggungjawaban

penyelenggaraan pemilihan umum baik KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/kota

menyelengarakan Pemilukada bertanggungjawab kepada KPU Pusat. Demikian

hal terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi yang secara konstitusional

mengadili perselisihan sengketa pemilihan umum berdasarkan UUD NRI Tahun

1945.94

Di tahun 2004, Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya untuk perkara

No. 73/PUU-III/2004 belum mengkategorika pemilihan kepala daerah termasuk

rezim pemilihan umum, namun Mahkamah Konstitusi dalam hal ini meyakinkan

argumen pemohon dengan titik temu argumen pemilihan kepala daerah sebagai

rezim pemilihan umum. Demikian hal, Pasal 22E ayat (1) sampai dengan ayat (6),

dimana pasal yang memiliki keterkaitan satu kesatuan yang harmonis terkait

dengan asas maupun teknis dalam pemilihan menganut aturan UUD 1945 dalam

Bab VIIB tentang Pemilihan Umum yaitu, arti ini menunjukkan dalam membaca

pasal ini diharuskan dalam membaca kategori keterkaitan pasal dengan konstitusi.

Demikian hal, jika titik temu kesatuan dalam hal ini maka peran para Hakim

Mahkamah Konstitusi untuk memeriksanya dan melakukan intepretasi.95

Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang

penyelenggaraan pemilihan umum menandakan bahwa pemilukada yang awalnya

sebagai rezim pemerintah daerah berubah drastis menjadi rezim pemilihan umum.

94

Ibid., Lihat Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945.

95

Ni‟matul Huda dan Sri Hastuti, “Peran dan Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam

Pembangun Politik Hukum Pemerintahan Daerah”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 3, Vol 19

(Juli 2012), hlm. 343.

Page 36: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

60

Kewenangan yang akan diemban Mahkamah Konstitusi ini dilakukan paling lama

18 bulan sejak Undang-Undang Pemerintahan Daerah diundangkan.

Dinundangkannya Undang-Undang Pemerintah Daerah No. 12 Tahun 2008

dengan bersama keberlalakuannya pelaksanaan Pasal 236C UU No. 12 Tahun

2008 tentang Pemrintahan Daerah.

Pada saat dimana munculnya sekelompok warga negara mengajukan

permohonan ke Mahkamah Kontitusi, permohonan ditunjuk terkait kewenangan

Mahkamah dalam Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 dan Pasal 29 ayat (1) huruf

e UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD NRI

1945 khususnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (2), dan Pasal 24C ayat (1).

Uraian alasan pemohon dalam pokoknya adalah Pilkada bukan termasuk dalam

ruang lingkup pemilihan umum, hal ini yang menjadi ukuran penanganan

perselisihannya bukan menjadi ruang lingkup Mahkamah Konstitusi.

Sebagaimana terjadi kontraksi terhadap kepastian hukum dan meniadakan asas

”lex superiori derogat legi inferiori”, dikarenakan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI

1945 kedudukannya dalam norma hukum sebagai norma tertinggi tidak

memberikan kewajiban kepada norma hukum yang lebih rendah untuk mengatur

penyelesaian sengketa Pilkada diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Para

pemohon juga menyampaikan bahwa diberikannya kewenangan menyelesaikan

sengketa hasil Pilkada sebagai kekeliruan yang mencedrai nilai-nilai

Page 37: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

61

konstitusionalisme serta berpotensi tinggi mengganggu tugas pokok Mahkamah

Konstitusi sebagai pengawal konstitusi.96

Kemudian pada puncak putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah

Konstitusi menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk

seluruhnya dan menyatakan Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 dan Pasal 29 ayat

(1) huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kewenangan

mengikat. Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan

ini karena yang dimaksudkan pemilihan umum setiap lima tahun sekali

sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E UUD NRI 1945 adalah pemilihan umum

anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan

setiap lima tahun sekali.97

Pelaksanaan pilkada telah terlaksana secara langsung, karena Mahkamah

menegaskan konsitensi dalam sifat isu konstitusi terkait pemisahan kewenangan

dengan isu kebijakan (legal policy), penegasan demikian secara relevansinya

melalui preoblem kebijakan dengan problem konstitusi, sebagaimana dalam

beberapa putusan MK No. 017/PUU-I/2003, No. 002/PUU-II/2004, dan putusan

No. 114/PUU-VII/2009, dengan kesimpulan terhadap konteks kebijakan hukum

terbuka, syarat-syarat untuk mengikuti pemilu, hak pilih, dan mekanisme

96

Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Pengajuan Perkara Sengketa Hasil.., hlm. 88.

97

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PU-XI/2013,

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id , diakses 13 Maret 2018, 22.00 WIB.

Page 38: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

62

penyelesaian sengketa hasil Pemilu sebagai kewenangan pembentuk Undang-

Undang.98

Selang setahun pasca keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengeluarkan

wewenang sengketa hasil Pilkada bukan sebagai wewenang MK, ternyata DPR

melalui Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Pilkada menyerahkan kembali kepada

Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada samapai

dengan dibentuknya badan peradilan khusus sebelum pelaksanaan pemilihan

serentak nasional.

Pembahasan DPR bersama Pemerintah sejak diberlakuannya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2015 belum berencana untuk melakukan pasal 157

Undang-Undang Nomor 1 Tahaun 2015 untuk melakukan perubahan ketentuan

Pasal 157. Pasal 157 dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 dianggap sudah

memadai dan menjadi solusi terbaik. Ketentuan Pasal 157 yang lama (sebelum

diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015) memberikan wewenang

kepada Pengadilan Tinggi (PT) yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung untuk

menyelesaikan perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan.99

Pembentuk Undang-Undang selaku pemangku kebijakan telah

mengalihkan kembali wewenang mengenaisengketa hasil Pilkada dari Mahkamah

Agung Kepada Mahkamah Konstitusi sebelum nantinya ditangani peradilan

98

Muji Kartika Rahayu, Menafsir demokrasi Konstitusional: Pengertian, Rasionalitas

Dan Demokrasi Konstitusilitas Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 Menurut Mahkamah

Konstitusi, (Konsorsium Reformasi Nasional, 2014), hm. 119

99

Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Pengajuan Perkara Sengketa Hasil.., 89.

Page 39: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

63

khusus dikarenakan saat Mahkamah Agung menggelar pertemuan dengan komisi

II DPR membahas kewenangan sengketa pilkada yang bakal ditangani Mahkamah

Agung sesuai yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015

Mahkmah Agung berpandangan sengketa pilkada sebaiknya tidak ditangani

Mahkamah Agung, tetapi tetap menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Demikian hal, Mahkamah Agung satu sisi mengakui belum siapnya untuk

menyidangkan perkara sengketa pilkada baik dari segi infrastruktur maupun

Sumber Daya Manusia (SDM) karena belum menyiapkan Hakim ad hoc yang

akan menangani sengketa.

Page 40: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

64

BAB IV

ANALISIS POLITIK HUKUM PEMBATASAN PERMOHONAN PERKARA

SENGKETA SELISIH PEROLEHAN SUARA HASIL PEMILIHAN KEPALA

DAERAH DI MAHKMAH KONSTITUSI

Hadirnya perbedaan pandangan publik yang melibatkan perdebatan pro

dan kontra mengenai Pasal 158 UU Pilkada tentang penentuan syarat selisih

perolehan suara dengan prosentase tertentu dalam mengajukan sengketa hasil

Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Perbedaan publik pada kelompok pertama

mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan dalam menegakkan

keadilan substantif tidak boleh terkekang dengan Pasal 158 UU Pilkada, disisi lain

pula kelompok oposisi mengatakan Pasal 158 merupakan Undang-Undang yang

masih berlaku dan mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.100

Pembatasan dalam melibatkan Perselisihan Hasil Pilkada pada umumnya

atas kebijakan yang terbuka bagi pembentuk undang-undang, sebagaimana

tafsiran Mahkamah Kontitusi melalui 97/PUU-XI/2013 terhadap kewenangan

penyelesaian PH-Pilkada bagian dari rezim hukum pemerintah daerah yang

terhadap dampaknya terhadap pelaksanaan sengketa hasil pilkada tidak lagi

menjadi kewenangan Mahkmah Konstitusi. Tetapi, selama peradilan pilkada

belum terbentuk, dalam ketentuan perubahan UU Pilkada disebutkan, Mahkamah

Kontsitusi adalah institusi yang diberi mandat sementara hingga peradilan khusus

pilkada terbentuk sebelum tahun 2027. Demikian hal bahasan pada bagian ini

100

Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Pengajuan Perkara Sengketa Hasil.., hlm. 83.

Page 41: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

65

mengulas pembatasan permohonan sengketa PH-Pilkada di Mahkmah Konstitusi

dalam rangka upaya perwujudan demokrasi yang beretika.

A. Politik Hukum Pembatasan Permohonan Sengketa Selisih Hasil

Pilkada Di Mahkamah Konstitusi

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada dasarnya dikenal sebagai sistem

memilih seseorang dalam suatu kontestasi yang fairness, demikian hal ini sebagai

prinsip yang lazim dalam sebuah proses pemilu. Pemilu berintegritas sebagai

tolok ukur pemilu yang dilaksanakan atas prinsip demokrasi dengan indikator hak

pilih universal serta kesetaraan politik seperti yang dicerminkan dalam standar

dan perjanjian internasional, profesional, tidak memihak dan transparan dalam

persiapan dan pengelolaannya dalam suatu siklus pemilu. Pada dasarnya dalam

merealisasikan pemilu yang demokratis yakni kesamaan aspek asas

penyelenggaraannya tidak jauh berbeda dengan Pemilu. Menurut Huntington

kategori demokrasi pemilihan ketika para pembuat keputusan yang secara kolektif

mayoritas dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur,

berkala, dan dalam sistem yang membuat mereka bersaing untuk memperoleh

suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suaranya.101

Indonesia dalam menerapkan poros demokrasi melalui pemilihan umum

dan/atau pemilihan kepala daerah eksistensinya memiliki satu tujuan kerangka

101

Samuel P. Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga, (jakarta: Grafiti, 2011), hlm. 5-

6.

Page 42: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

66

demokratisasi yang dimanifestasikan melalui satu landasan konstituisionalitas

penyelenggaraan hingga kualitas pemilu dan/atau pilkada secara eksplisit termuat

dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai penegasan kedaulatan rakyat

dalam pelaksanaan UUD. Selain penerapan prinsip kedautaan rakyat sebagai

prinsip dalam suatu sistem politik, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

dalam mengadili konstitusionalitas penyelenggaraan pilkada khususnya mengadili

perselisihan hasil pemilihan sebagaimana upaya perwujudan secara oprasional

penerapan asas pemilihan yang terkadung dalam formulasi dasar negara,

konstitusi, hingga dituangkan kembali dalam penjabaran dari UUD Negara RI

1945 sebagai konstitusi negara Indonesia manifestasi langkah nyata mendamping

pemilihan yang fiarness hingga berkualitas nilai-moral yang tertuang dalam asas

pemilihan yang berintegritas, hal ini tak lepas dari apakah pembatasan yang

diterapkan pemangku kebijakan selaku pembuat undang-undang yang diterapkan

oleh Mahkamah Konstitusi dalam mencapai maksud kaidah, asas, dan aturan

dibalik pembatasan dari segi proses perkara sengketa hasil pemilihan daerah

dalam membangun etos demokrasi.102

Sejak dimulainya pilkada serentak pada akhir tahun 2015, perbedaan tajam

mengenai pemberlakuan Pasal 158 UU Pilkada pada awalnya diterima oleh

beberapa kalangan pihak calon, namun diujung pasca keputusan KPU-D mulai

beberapa kalangan menyalahi adanya keberlakuan Pasal 158 UU Pilkada.

keberadaan UU Pilkada dikatakan berlaku, sejak keberlakuannya secara

menyeluruh dan khususnya diatur melalui Pasal 5 ayat (3) sebagai salah satu

102

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, hlm. 749-750.

Page 43: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

67

tahapan yang sejak semula diawal sudah diketahui bahkan diterima oleh para

calon peserta Pilkada.103

Bunyi dari keberlakuan Pasal 5 ayat (3) meliputi beberapa tahapan yang

kemudian diketahui dan diterima para calon, yakni: a) Pengumuman pendaftaran

pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati

dan Wakil Bupati, serta Pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota; b)

Pendaftaran pasangan calon Gubernur dan Calon Wakil Gubenur, pasangan Calon

Bupati dan Wakil Bupati, serta pasangan calon Walikota dan Calon Wakil

Walikota; c) Penelitian persyaratan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,

Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Wakil Walikota;

d) Penetapan pasangan calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan

calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan calon Walikota dan Calon

Wakil Walikota; e) Pelaksanaan Kampanye; f) Pelaksanaan pemungutan suara; h)

Penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara; g) Penetapan calon

terpilih; j) Penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil Pemilihan; dan h)

Pengusulan pengesahan pengankatan calon terpilih.104

Mengutip pandangan yang dikemukakan oleh Bayu dwi Anggono, bahwa

terdapat beberapa tinjauan mengenai pengesampingan Pasal 158 dari beberapa

aspek dengan uraian aspeknya meliputi: Pertama, Aspek kontrol kekuasaan

kehakiman.

103

Purnomo s. Pringgodigdo, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang

Pemilihan Kepala Daerah dalam satu Naskah, Surabaya: (Agustus 2016), hlm.4.

104

Ibid., 4.

Page 44: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

68

Tidak hanya pada ketidakpatuhan para calon yang kalah selisih peroleh

suara di Mahkamah Konstitusi, pada perkembangannya beberapa yang

menanggapi hingga menguji ketentual Pasal 158 UU Pilkada dengan dalih tertulis

melalui alasan permohonannya mengungkapkan bahwa keterkaitan kewenangan

Mahkamah Konastitusi terhadap penyelesaian sengketa pilkada, yang kemudian

keberlanjutan pembatasan dalam ketentuan Pasal 158 merupakan ketentuan yang

berlaku sebagaimana kekuasaan kehakiman atas kontrol-kontrol batas

kemerdekaannya dalam menerapkan suatu ketentuan undang-undang Sudikno

Mertokusumo yang batasan dari kekuasaan kehakiman secaramikro terdapat pada

batasan Pancasila, UUD 1945, Undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan

perilaku atau kepentingan para pihak. Disisi lain, secara makro pembatasan

kekuasaan kehakiman dibatasi oleh sistem pemerintahann, politikeknomi, dan

sebagaian.105

Artinya, bahwa secara konstitusional Pasal 158 hingga sampai saat

ini masih berlaku dan dikatakan tidaklah mungkin jika Mahkamah Konstitusi

mengesampingkan ketentuan tersebut yang akan mengakibatkan ketidakpastian

hukum. sehingga hukum yang telah ada dan disepakati keberlakuannya tidaklah

tanpa sebab tujuan baik dalam artia kepastian hukum juga keberlakuan dalam

implikasinya dalam meoprasionalkan yang sesuai keberlakuannya dalam

berbudaya hukum.

Kudua, terkait pada aspek hukum acara yang oleh pandangan Bayu Dwi

Anggono yang mangacu pada pelaksanaan kekuasaan kehakiman terhadap situasi

dalam mengadili sengketa hasil selih suara pemilihan kepala daerah dengan

105

Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Sengketa Perkara.., hlm. 91.

Page 45: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

69

keberlakuan dasar wajib terkait pada hukum materiil danhukum formil (hukum

acara). Demikian hal, hukum materiil termuat dalam wewenangnya untuk

mengadili perselisihan sengketa selisih hasil suara pemilihan kepala daerah

melalui Pasal 157 ayat (3) dan kemudian secara hukum formil tercantum baik dari

keseluruhan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Pilkada

serta Peraturan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksanaan wewenang Mahkmah

Konstitusi terhadap sengketa Pilkada terhadap selisih hasil suara.106

Oleh karenanya, oleh Ramlan Subakti terhadap ukuran segi efektifitas

hukum dari adanya pembatasan permohonan sengketa meliputi; a. Banyaknya

sengketa yang membeludak di batas akhir pengajuan menandakan tidak

dimengertinya dasar gugatan yang harus diajukan, serta; b. Banyaknya kasus

pemilihan terkait pilkada yang kemudian tidak memberika indikasi pembuktian

adanya pelanggaran yang relevan sesuai batasan agar melihat kulitas dan

efektifitas pelayanan pencarian keadilan terhadap indikasi benar adanya kesalahan

dan pelanggaran yang besar terjadi dalam proses pemilihan yang berimbas pada

hasil.107

Ketiga, merujuk pada aspek Kemanfaatn. Aspek ini diartikan dalam

kemanfaatn adalah agar pera calon yang sudah tentu memiliki kedudukan hukum,

diantaranya dalam hal sengketa bisa menyesuaikan pada kewenangan absolut

suatu peradilan terkait porsi wewenang masing-masing peradilan yang menangani

106

Ibid., hlm. 91-92.

107

Ramlan Surbakti, dkk, Seri Buku Demokrasi Buku 16: Penangan Sengketa Pemilu,

(Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2012), hlm. 24-25.

Page 46: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

70

unsur-unsur sengketa, baik berupa hal mala administrasi, pemalsuan dokumen

maupun beberapa yang lain diantaranya sudah diimbangi beberapa oihak institusi

dengan porsi kewenangan dalam menjamin setiap pencari keadilan. Kemudian

tentuanya antara karakter proses hukum yang berbeda antar peradilan termasuk

Mahkmak Konstitusi dengan kekuatan putusannya bersifat final sangat dihormati

oleh kalangan para pihak yang berselisih. Kendati demikian. Bahwa pembatasan

termasuk didalamnya dalam rangka mengambil sikap setiap para calon yang

memiliki kedudukan hukum tentunya melalui jalur yang sudah di sediakan secara

litigasi.108

B. Upaya Mahkamah Konstitusi Dalam Menerapkan Pembatasan

Permohonan Sengketa Pilkada

Dalam mengemban kewenangan yang oleh Mahkamah Konstitusi emban,

khususnya menangani sengketa selisih hasil perolehan pemilihan kepala daerah

yang kemudian para pihak dalam perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang

diantaranya meliputi pasangan calon sebagai pemohon dan KPU (Komisi

Pemilihan Umum) kabupaten/kota sebagai termohon sebagaimana dalam Pasal 2

PMK (Peraturan Mahkamah Konstitusi) No. 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan

Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Pedoman

Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

108

Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Sengketa Perkara Selisih.., hlm. 93-94.

Page 47: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

71

Walikota Dengan Satu Pasangan Calon.109

Obyek perselisihan pilkada adalah

hasil perhitungan suara yang ditetapkan oleh KPU yang mempengaruhi penentuan

pasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pilkada dan terpilihnya

pasangan calon sebagai pemenang Pilkada.

Putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan

mengikat, yang amar putusannya menyatakan:

a) Permohonan tidak diterima apabila permohonan tidak memenuhi

persyaratan formil;

b) Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti dan beralasan;

c) Permohonan ditolak apabila permohonan tidak beralasan.

Akibat hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan ini,

KPU, DPRD dan Pemerintah wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah

Konstitusi, Salah satunya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

190/PHPU.D-VIII/2010 yang mengandung penilaian pelanggaran dengan

kategorinya meliputi, Pertama, pelanggaran yang tidak berpengaruh terhadap

hasil Pilkada; Kedua, pelanggaran yang berpengaruh terhadap hasil Pilkada;

Ketiga, penggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan

dapat diukur. Dari ketiga kategori pelanggaran ini Mahkamah Konstitusi dalam

menangani sengketa pilkada hanya berdasarkan kategori pelanggaran kedua dan

ketiga.110

109

Mahkamah Konstitusi, Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil.., hlm. 6.

110

Putusan MK Nomor. 190/PHPU.D-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi.

Page 48: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

72

Banyaknya sengketa pilkada yang diajukan dan di putus oleh Mahkamah

Konstitusi merupakan upaya hukum dengan meletakkan demokrasi kepada

koridor hukum, memposisikan hukum sebagai koridor penentu demokrasi sebagai

upaya ke arah stabilitas keteraturan bagi masyarakat. Melihat dari tidak lepasnya

kemunculan suatu perselisihan dari sengketa pilkada yang hampir 30-50% pilkada

berakhir dengan sengketa di Mahkamah Konstitusi, mengindikasian bahwa

permasalahan bangsa terletak pada cara mengambil sikap dalam berdemokrasi.111

Upaya dalam menangani sengketa Pilkada ini oleh Mahkamah Konstitusi

menjadi catatan penting dapat dilihat melalui kewenangan Mahkamah Konstitusi

dalam kewenangan yang bersifat kebijakan hukum terbuka meliputi:

Pertama, Mahkamah Konstitusi melalui kewenangannya dalam

penyelenggaraan proses peradilan mengeluarkan PMK (Peraturan Mahkamah

Konstitusi) Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah

Konstitusi Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara

Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Dengan Satu

Pasangan Calon.112

PMK (Peraturan Mahkamah Konstitusi) diberlakukan dalam

ukuran alat bantu dari keadilan bukan untuk mengalahkan keadilan. Demikian hal,

perubahan PMK (Pertauran Mahkamah Konstiusi) silih bergantinya dalam

menyesuaikan kebutuhan hukum di masyarakat beberapa banyak mengalami

perkembangan yang di tindak lanjuti melalui perubahannya (PMK) dalam

111

Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Sengketa Perkara Selisih.., hlm. 97.

112

Peraturan Mahkmah Konstitusi Nomor Tahun 2 Tahun 2017 Tentang Pedoman

Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Dengan

Satu Pasangan Calon.

Page 49: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

73

pembangunan hukum yang sesuai dalam kebutuhan hukum di masyarat dan

umumnya proses berdemokrasi di Lokal hingga di Indonesia.

Kedua, Berkenaan dengan pelaksanaan Pilkada serentak, Demikian hal ini

diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

pelaksanaan demikian merupakan petunjuk dari Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2015, sebagaimana dirubah terakhir kali melalui Undang-Undang Nomor 10 tahun

2016 (UU Pilkada), yang menyatakan “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima)

tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia”.113

Ketiga, Upaya yang kemudian dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi

dalam menyelenggarakan peradilan yakni di tetapkannya pihak pemohon sebagai

pihak pasangan calon kepala daerah yang merasa terdapat perselisihan sesuai

presentase ambang batas selisih suara. Kemudian ditentukan pula mengenai objek

dalam sengketa yakni keputusan Termohon (KPU-D) tentang penetapan perolehan

suara hasil pemilihan umum yang mempengaruhi terpilihanya pemohon sebagai

pasangan calon gubernur, bupati, dan walikota. Selanjutnya batas akhir waktu

pengajuan permohonan yaitu 3 x 24 Jam sejak penetapan hasil oleh KPU.

Kemudian dalam rentang waktu Mahkamah Konstitusi mengadili sengketa

Pilkada juga dituntut terbatas dalam rangka menyeseuaikan dengan pengangkatan

kepala daerah yang nantinya terpilih dalam mengemban amanahnya.

113

https://nasional.kompas.com/read/2017/02/13/21060011/pilkada.serentak.pembelajaran

.demokrasi ,diakses 13 Maret 2018, 22.20 WIB.

Page 50: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

74

Mahkamah Konstitusi juga membatasi dalam prihal kriteria pelanggaran

sengketa hasil, melalui perhitungan koefesiensi sebagai bentuk perhitungan. Tidak

lepas pula permohonan diajukan secara tertulis dan harus juga memuat identitas

pemohon, serta uraian kesalahan perhitungan oleh KPUD, permintaan untuk

membatalkan hasil perhitungan suara yang telah ditetapkan, dan permintaan untuk

menetapkan hasil perhitungan suara yang benar, serta diajukan pula alat bukti.114

Menangani sengketa selisih hasil Pilkada, Mahkamah Konstitusi

mengeluarkan putusan hasil musyawarah paling lama 14 hari kerja setelah

permohonan diregistrasi yang amar putusannya dapat menyatakan permohonan

tidak diterima, permohonan dikabulkan, permohonan ditolak, berkenaan putusan

yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, ditunjukkan

pula bagi KPUD, DPRD, dan Pemerintah yang diwajibkan menindak lanjuti

putusan tersebut.115

C. Implikasi Pembatasan Permohonan Sengketa Selisih Hasil Pemilihan

Kepala Daerah Di Mahkmah Konstitusi

Banyaknya sengketa pilkada yang diajukan dan di putus oleh Mahkamah

Konstitusi merupakan upaya hukum dengan meletakkan demokrasi kepada

koridor hukum, memposisikan hukum sebagai koridor penentu demokrasi sebagai

upaya ke arah stabilitas keteraturan bagi masyarakat. Melihat dari tidak lepasnya

kemunculan suatu perselisihan dari sengketa pilkada yang hampir 30-50% pilkada

114

Mahkamah Konstitusi, Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil.., Pasal 5,

hlm. 8.

115

Mahkamah Konstitusi, Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil.., Pasal

12.

Page 51: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

75

berakhir dengan sengketa di Mahkamah Konstitusi, mengindikasian bahwa

permasalahan bangsa terletak pada cara mengambil sikap dalam berdemokrasi.116

Maka mekanisme penyelesaian sengketa Pilkada yang menjadi bagian dari

proses demokrasi melalui Mahkamah Konstitusi sebagai hal yang tepat, dalam

meminimalisir penyelesaian diluar pengadilan, dengan kata lain, menghindari

cara-cara yang tidak demokratis atau dikatakan lalim tanpa prosedur hukum.

karena melalui penyelesaian hukum setidaknya Mahkamah Konstitusi menilai

bahkan menunjukkan apabila permaslahan prosesnya yang tidak jujur, adil dan

transparan dalam suatu sengketa pilkada.

Sejak diberlakukannya sistem pembatasan (treshold) kedalam suatu

kebijakan undang-undang Pilkada menandakan upaya pemangku kebijakan

mengaharapkan bahwa dalam mekanisme peradilan yang baik dan benar sangat

mempengaruhi integritas pemilu dan mampu melihat tidak pada tahapan-tahapan

yang dilakukan dalam pemilu, akan tetapi penyelesaian sengketa pada lembaga

ajudikasi pemilu, baik mekanisme maupun prosesnya.117

Terhadap implikasi pembatasan permohonan sengketa selisih hasil

pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi terhadap perwujudan demokrasi

yang akan dituntun dalam kehidupan politik dapat dibagi kebeberapa bagian hal

diantaranya:

116

Ni‟matul Huda, “Penyelesaian Sengketa Pemilihan Bupati Bengkulu Selatan di

Mahkmah Konstitusi”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 18 (Oktober 2011), hlm. 82.

117

Bayu Dwi Anggono, Pembatasan Sengketa Perkara Selisih.., hlm. 97.

Page 52: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

76

Pertama, pembatasan dalam konteks kebijakan sebagai upaya penurunan

konflik, hal ini dalam memenuhi Pasal 6 ayat (1) huruf C UU Penangan Konflik

sosial dengan menyebutkan pencegahan konflik dapat dilakukan salah satunya

melalaui peredaman potensi konflik.118

Kedua, Mencegah Mahkamah Konstitusi

tidak jatuh untuk kedua kalinya dalam kasus suap perkara pilkada dalam kasus

suap perkara Pilkada, demikian hal ini menyangkut nasib kedaulatan rakyat dan

kehormatan masyarakat dihadapan peradilan sekaligus terhadap hukum yang

diberlakukan. Ketiga, sebagai pasal yang mengatur ketentuan pembatasan

permohonan perkara sengketa pilkada, Pasal 158 UU Pilkada merupakan upaya

dari akibat saling lemparnya kewenangan antar Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi, serta memangkas jumlah sengketa yang di tangani oleh Mahkmah

Konstitusi. Sehingga implikasi yang terjadi yakni dalam rangkamengintrol

kekuasaan kehakiman dalam mengemban kewenangan Mahkamah Konstitsi

sebagai lembaga yang menjunjung indepedensi suau organ kekuasaan yang

merdeka.

Keempat, mendorong perbaikan moral dan sekaligus budaya politik yang

makin dewasa dalam proses penyelenggaraan serta proses ajudikasi dalam

Pilkada. Demikian beberapa implikasi dan pada implikasi akhir ini sebagimana

dalam pardigma hukum yang menangani konflik-konflik proses demokrasi yang

timbul dan mengoprasionalkan pertanggungjawaban hukum dalam hal Pilkada

secara demokratis dan hasil pemilihan yang dinilai konstitusional berdasarkan

118

Ibid.., hlm. 98.

Page 53: BAB II TINJAUAN POLITIK HUKUM PEMBATASAN …digilib.uin-suka.ac.id/33396/2/14340090_BAB-II, III, IV.pdf · negara melalui lembaga negara atas pejabat yang diberi wewenang untuk hal

77

asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan, adil. Sehingga antara Nilai

sebagai unsur ketraturan dan norma sebagai unsur aturan dikontruksikan

seimbang dalam pembangunan hukum yang menuju pada cita tujuan dari politik

hukum berdasarkan Pancasila dan Bangsa Indonesia memiliki upaya budaya

hukum yang berkeadilan serta beradab.