bab ii tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/60711/56/bab ii.pdf · kadar normal asam urat (au) di...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Asam Urat (AU)
1. Definisi
Asam urat (AU) merupakan komponen organik yang dihasilkan dari
pemecahan purin. Purin dapat ditemukan di dalam makanan dan minuman
(Oliveira dan Burini, 2012). Asam urat (AU) adalah produk akhir dari
metabolisme purin di dalam tubuh manusia oleh karena hilangnya aktivitas
uricase (enzim paroksismal hati yang mengkatalisis oksidasi asam urat
menjadi alantoin selama katabolisme purin), sehingga kadar asam urat (AU)
pada manusia lebih tinggi dibandingkan dengan mamalia lainnya (Alvarez
dan Macarron, 2010)
2. Patologi Asam Urat (AU)
Produksi asam urat (AU) sangat tergantung dari asupan purin
(Richette dan Bardin, 2010). Basa purin dan nukleotidanya ditangkap oleh
hepar dengan cepat dan diubah menjadi xanthin, dimetabolisme oleh asam
urat (AU) atau didaur ulang oleh jalur salvage atau sintesisdenovo, yang
terakhir memerlukan energi yang besar (konsumsi ATP). Pembentukan asam
urat oleh xanthin terjadi melalui hipoxanthin oleh aksi dari xantin oksidase
(Oliviera dan Burini, 2012).
Asam urat (AU) merupakan produk akhir dari metabolisme purin.
Produk eksogen dari asam urat (AU) berasal dari diet, dan protein hewani
9
yang secara signifikan berkontribusi dengan produksi purin. Produksi endogen dari
asam urat (AU) sebagian besar berasal dari hepar, usus, dan jaringan lain seperti
otot, ginjal, dan endotel vaskuler (Chaudhary et al, 2013)
3. Ekskresi
Asam urat (AU) diekskresi melalui ginjal. Selain diekskresi, asam
urat (AU) juga difiltrasi terlebih dahulu. Ginjal akan mengekskresi asam urat
sebanyak 2/3 yang ada di darah, 1/3 sisanya diekskresi melalui saluran
pencernaan. Hampir semua asam urat (AU) difiltrasi di glomerulus,
sementara post-glomerular reabsorption and secretionakan mengatur jumlah
ekskresi asam urat (AU). Tubulus proksimal merupakan tempat reabsorpsi
dan sekresi dari asam urat (AU) (Maiuolo et al, 2015). Namun, sebagian
besar yakni sekitar 90% asam urat (AU) direabsorbsi untuk dikembalikan ke
darah (Alvarez et al, 2010).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyerapan asam urat (AU)
oleh ginjal adalah konsentrasi plasma, volemia, dan aliran modulatorplasma
ginjal. Pada tahap ini, ekskresi urat oleh ginjal mengikuti extrarenal limiting
factors seperti pada filtrasiglomerulus (Oliveira dan Burini, 2012).
4. Kadar Asam Urat (AU)
Kadar normal asam urat (AU) di dalam darah pada orang dewasa
yakni, 1,5-6,0mg /dL untuk wanita dan 2,5-7,0mg/dL pada laki-laki.
Konsentrasi asam urat (AU) dapat diukur melalui serum, plasma, urin, dan
embun udara ekspirasi (Jinet al, 2012). Kelarutan asam urat (AU) di dalam
10
air rendah, pada manusia, konsentrasi rata-rata asam urat (AU) di dalam
darah dekat dengan batas kelarutan (6,8mg/dL). Ketika kadar asam (AU),
urat didalam darah sudah lebih dari 6,8mg/dL, kristal asam urat (AU) akan
membentuk monosodium urate (MSU). Manusia tidak dapat
mengoksidasikan asam urat (AU) menjadi komponen yang lebih larut karena
tidak memiliki enzim uricase. Sehingga asam urat (AU) akan diekskresi
melalui ginjal (Jinet al, 2012).
5. Faktor-Faktor Penyebab Asam Urat (AU)
a. Genetik / riwayat keluarga
Asam urat (AU) dapat menjadi penyakit keturunan, dimana
penderita harus memperhatikan beberapa faktor penyebab asam urat
(AU), terutama dalam pola makan dan gaya hidup.
b. Stress
Stress akan mempengaruhi kondisi ini, sehingga memungkinkan
terjadinya peningkatan kadar asam urat (AU) dalam serum.
c. Asupan senyawa purin berlebihan
Bahan pangan yang tinggi kandungan purinnya dapat
meningkatkan kadar asam urat (AU) dalam darah antara 0,5-0,75 g/ml
purin yang dikonsumsi. Konsumsi lemak atau minyak yang tinggi seperti
makanan yang digoreng, santan, margarin atau mentega dan buah-buahan
yang mengandung lemak tinggi seperti durian dan alpukat juga
berpengaruh terhadap pengeluaran asam urat (AU) (Krisnatuti, 2007).
d. Konsumsi alkohol yang berlebihan
11
Minum alkohol dapat menimbulkan serangan gout karena alkohol
meningkatkan produksi asam urat (AU). Kadar laktat darah meningkat
akibat produk sampingan dari metabolisme normal alkohol. Asam laktat
menghambat ekskresi asam urat (AU) oleh ginjal sehingga terjadi
peningkatan kadarnya dalam serum (Carter, 2002).
e. Kegemukan (obesitas)
Seseorang dinyatakan obesitas jika indeks massa tubuh (IMT)
lebih dari 30. Obesitas merupakan salah satu faktor gaya hidup yang
berkontribusi terhadap kenaikan asam urat selain diet tinggi purin dan
konsumsi alkohol (Lyuet, 2003). Berat badan yang berlebihan dapat
menyebabkan asam urat (AU). Hal ini disebabkan lemak yang banyak
didalam tubuh orang gemuk akan menghambat proses pengeluaran asam
urat (AU) melalui urin.
f. Hipertensi dan penyakit jantung
Asam urat (AU) merupakan faktor risiko untuk penyakit jantung
koroner. Diduga kristal asam urat (AU) akan merusak endotel (lapisan
bagian dalam pembuluh darah koroner), yang memungkinkan terjadinya
asam urat (AU).
g. Obat-obatan tertentu (diuretika)
Obat anti hipertensi, terutama thiazide diduga secara tidak
langsung mempengaruhi metabolisme lemak yang pada akhirnya
mengurangi pengeluaran asam lemak, seperti obat-obatan diuretik,
12
aspirin dosisrendah, levodopa, diazoksid, asam nikotinat, asetazolamid,
dan etambutol.
h. Gangguan fungsi ginjal
Sebagian besar atau hampir dua pertiga bagian asam urat (AU)
dibuang oleh ginjal melalui urin, karena itu gangguan fungsi ginjal
merupakan penyebab utama hambatan untuk pembuangan asam urat
(AU).
i. Aktivitas fisik
Salah satu penyebab yang mempengaruhi kadar asam urat (AU)
adalah olahraga atau aktivitas fisik. Olah raga atau gerakan fisik akan
menyebabkan peningkatan kadar asam laktat. Asam laktat terbentuk
dari proses glikosisis yang terjadi di otot. Jika otot berkontraksi didalam
media anaerob, yaitu media yang tidak memiliki oksigen maka glikogen
yang menjadi produk akhir glikolisis akan menghilang dan muncul
laktat sebagai produksi akhir utama (Mayers, 2003). Peningkatan asam
laktat dalam darah akan menyebabkan penurunan pengeluaran asam urat
oleh ginjal.
j. Umur
Proses penuaan akan mengakibatkan gangguan dalam
pembentukan enzim urikinase yang mengoksidasi asam urat (AU)
menjadi alotonin yang mudah dibuang. Jika pembentukan enzim ini
terganggu maka kadar asam urat (AU) darah menjadi naik. Penyakit
13
asam urat (AU) lebih sering menyerang pria di atas 30 tahun. Hal ini
disebabkan karena pria mempunyai kandungan asam urat (AU) dalam
darah lebih tinggi dibanding wanita yang baru meningkat setelah
menopause (Sustrani, 2004).
k. Penyakit degeneratif (hipertensi, jantung, dan daibetes militus)
Asam urat (AU) merupakan penyakit pokok dan menjadi
penyerta dari penyakit degeneratif. Jika kadar asam urat (AU) tinggi,
maka perlu dicurigai adanya faktor penyakit degeneratif.
6. Akibat yang ditimbulkan oleh Asam Urat (AU)
Penimbunan kristal monosodium urat (MSU) pada sendi dan
jaringan lunak merupakan pemicu utama terjadinya keradangan atau
inflamasi pada gout artritis (Nuki dan Simkin, 2006). Penyakit ini
mengganggu kualitas hidup penderitanya. Peningkatan kadar asam urat
(AU) dalam darah (hiperurisemia) merupakan faktor utama terjadinya
artritis gout (Roddy dan Doherty, 2010). Masalah akan timbul jika
terbentuk kristal-kristal monosodium urat (MSU) pada sendi-sendi dan
jaringan sekitarnya. Kristal-kristal berbentuk seperti jarum ini
mengakibatkan reaksi peradangan yang jika berlanjut akan menimbulkan
nyeri hebat yang sering menyertai serangan artritis gout (Carter, 2006).
7. Alat Ukur Asam Urat (AU)
Pemeriksaan kadar asam urat (AU) darah di laboratorium bisa
dilakukan dengan 2 metode yaitu cara cepat menggunakan stik dan metode
enzimatik. Pemeriksaan kadar asam urat dengan menggunakan stik dapat
14
dilakukan dengan menggunakan alat UA Sure Blood Uric Meter. Prinsip
pemeriksaan alat tersebut adalah UA Sure Blood Uric Acid Test Strips
menggunakan katalis yang digabung dengan teknologi biosensor yang
spesifik terhadap pengukuran asam urat. Strip pemeriksaan dirancang
dengan cara tertentu sehingga pada saat darah diteteskan pada zona reaksi
dari strip, katalisator asam urat memicu oksidasi asam urat dalam darah
tersebut. Intensitas dari elektron yang terbentuk diukur oleh sensor dari
UASure dan sebanding dengan konsentrasi asam urat dalam darah. Nilai
Rujukan untuk laki laki : 3.5-7.2 mg/dl, sedangkan untuk perempuan : 2,6-
6,0 mg/dl (Sutrani, 2004).
Gambar 2.1 UA Sure Blood Uric Acid Test Strips
Sumber: www.urictest.com
Prinsip pemeriksaan kadar asam urat (AU) metode enzimatik adalah
Uricase memecah asam urat (AU) menjadi allantoin dan hidrogen
peroksida. Kemudian adanya peroksidase, peroksida, Toos dan 4 amino
phenazone akan memberikan warna quinoneimine. Intensitas warna merah
yang terjadi sebanding 12 dengan konsentrasi asam urat (AU). Nilai rujukan
untuk laki-laki: 3.4-7.0 mg/dl, sedangkan untuk perempuan: 2.4-5.7 mg/dl
(Parahita, 2009). Persiapan bagi penderita yang diambil sampelnya yaitu
15
puasa 10-12 jam dan dilarang mengkonsumsi makanan tinggi purin
misalnya: daging, jerohan, sarden, otak, minimal 24 jam sebelum uji
dilaksanakan, karena dapat mempengaruhi terhadap hasil pemeriksaan yang
dikerjakan (Wulandari, 2018).
B. Osteoarthritis Knee
1. Definisi
Osteoarthritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif yang bersifat
kronis dikarenakan adanya patologi di cartilago yang ditandai dengan nyeri,
kekakuan sendi, dan disintegrasi tulang rawan sehingga mengakibatkan
disabilitas (Malgaonkar et al, 2015). Osteoarthritis (OA) dapat menyerang
di wristjoint, dan spine, tetapi lebih banyak ditemukan menyerang di area
knee dan hip (Tracey, 2016).
2. Etiologi
Osteoarthritis knee (OA) pada umumnya menyerang pada lansia
dengan rentang umur rata-rata 65 tahun keatas (Anwer dan Alghadir, 2014).
Data US National Library of Medicine National Institute of Health tahun
2015 menyebutkan bahwa prevalensi terjadinya Osteoarthritis (OA) di
dunia berdasarkan radiografi dan simtomatik yang paling banyak adalah
Osteoarthritis knee (OA), yaitu 25,4% dan 15,4% dari populasi yang terjadi
pada individu dengan usia lebih dari 65 tahun (Nejati et al, 2015).
16
Menurut Mc Keag (1992) dalam Sudirman (2010) beberapa
predisposisi yang berhubungan dengan terjadinya osteoarthritis knee (OA)
yaitu: umur, gender, etnis, geografis, obesitas, bone density, hiperurisemia.
Selain itu faktor biomekanik lokal seperti gen bawaan conginetal
anomalies, trauma, gerakan yang berulang-ulang, dan injury juga dapat
berdampak pada osteoarthritis (OA) (Diracoglu et al, 2005).
3. Patologi Osteoarthritis Knee (OA)
Patofisiologi Osteoarthritis Knee (OA) yaitu karena adanya gesekan
patogenesis termasuk kontribusi dari faktor biomekanik dan metabolik yang
mengubah homeostasis jaringan tulang rawan artikular dan tulang
subchondral. Dalam pengaturan fisiologis, integrin memodulasi sel / ECM
sinyal, ECM memiliki peran penting untuk mengatur pertumbuhan dan
diferensiasi serta menjaga tulang rawan homeostasis. Ekspresi integrin yang
abnormal mengubah sel / ECM sinyal dan memodifikasi sintesis kondrosit,
dengan ketidak seimbangan berikut sitokin destruktif lebih faktor regulasi.
IL-1, TNF-alpha dan sitokin prokatabolik lain mengaktifkan degradasi
enzimatik dari matriks tulang rawan dan tidak diimbangi dengan sintesis
yang memadai pada inhibitor (Iannone dan Lapadula, 2013)
Beberapa tahap terjadinya osteoarthritis (OA), diantaranya; Tahap I
terjadi kerusakan proteolitik matriks tulang rawan, tahap II ada fibrilasi dan
erosi dari permukaan tulang rawan, disertai dengan pelepasan atau
pemecahan produk ke dalam cairan sinovial, tahap III: inflamasi sinovial
dimulai ketika sel sinovial mencerna produk yang rusak melalui fagositosis
17
dan produksi protease dan cytokinesproinflamasi (Enohumah dan
Imarengiaye, 2008).
Felson (2008) dalam Rifhan (2011) memaparkan bahwa ligament
dan capsula, otot-otot dan saraf sensori memiliki peran besar sebagai
pelindung sendi yang mana fungsi dari komponen tersebut adalah
memberikan batasan pada range of motion (ROM) pada Osteoarhtritis knee
(OA) meskipun kerusakan identik idiopatik, namun kemungkinan besar
diawali oleh gagalnya mekanisme perlindungan sendi dan diikuti oleh
proses degenaritif dan patogenesis lainnya (Felson et al, 2008).
4. Patofisiologi Osteoarthritis (OA)
Tulang rawan sendi dibentuk oleh sel tulang rawan sendi yang dapat
disebut kondrosit dan matriks rawan sendi. Kondrosit berfungsi untuk
mensintesis dan memelihara matriks tulang rawan agar secara fungsi,
bantalan rawan sendi tetap terjaga dengan baik. Matriks rawan sendi
terdiri atas proteoglikan, air dan kolagen. Patofisiologi dari penyakit
osteoarthritis (OA) dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu sebagai berikut:
a. Fase I
Pada fase I ini, terjadi peleburan proteolitik di matriks kartilago.
Akibatnya metabolisme pada kondrosit terpengaruh, sehingga
menyebabkan meningkatnya produksi enzim seperti metalloproteinase,
enzim tersebut kemudian akan hancur di dalam matriks kartilago.
Kondrosit juga akan memproduksi penghambat protease yang kemudian
18
dapat mempengaruhi proteolitik. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan
penipisan pada kartilago.
b. Fase II
Pada fase IIini, terjadi fibrilasi dan erosi ataupun penipisan dari
permukaan kartilago yang disertai dengan adanya pelepasan
proteoglikan dan fragmen kolagen ke dalam cairan sinovial.
c. Fase III
Pada fase III ini, dari proses penguraian dari produk kartilago
yang masuk dan menginduksi ke dalam cairan sinovia. Cairan synovial
merespon karena adanya inflamasi, dengan memproduksi magrofag
sinovia seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin 1 (IL-
1), dan metalloproteinase. Keadaan ini akan mengakibatkan kartilago
mengalami destruksi atau kerusakan. Molekul-molekul yang mendukung
terjadinya inflamasi lainnya seperti nitric oxide (NO) juga akan ikut
terlibat. Keadaan ini akan mnyebabkan perubahan arsitektur sendi serta
akan memberikan dampak secara langsung terhadap pertumbuhan tulang
akibat adanya usaha stabilitas sendi. Perubahan yang terjadi tersebut dan
juga inflamasi dapat memberikan pengaruh pada permukaan sendi,
akibatnya menjadi keadaan gangguan yang progresif (Helmi, 2012).
19
5. Tanda dan Gejala
Menurut Soeroso (2006) dalam Rifhan (2011) krepitasi merupakan
tanda umum yang dapat dijumpai dalam osteoarhtritis (OA), pada tingkat
lanjut terdapat pembengkakan sendi yang simetris, perubahan pola jalan
(gait patologis), dan deformitas (Rifhan, 2011). Pada penelitian terdahulu,
tanda dan gejala pada osteoarthritis (OA) yang mungkin terjadi adalah
sebagai berikut:
20
a. Nyeri
Nyeri yang semakin lama semakin menigkat ketika beraktivitas
dan diikuti saat istirahat, fenomena ini sering disebut dengan gelling
phenomenon (sinusas, 2012)
b. Stiffnes
Pada osteoarthritis knee (OA) salah satu yang khas adalah
terdapat stiffness yang terjadi pada pagi hari dan umumnya terjadi dalam
30 menit dan pada malam hari sebelum tidur, hal ini terjadi ketika
ekstremitas tidak digunakan tapi secara bertahap akan hilang (Sinusas,
2012).
c. Swelling dan Deformitas
Swelling biasanya secara intermitten, dan adanya deformitas pada
varus dan valgus kemungkinan menandakan adanya kontraktur pada
kapsul sendi dan joint instability yang berhubungan dengan
osteoarthritis (OA) (Creamer, 2000).
d. Join locking / unstable
Unstable joint menjadi hal umum yang dikeluhkan oleh pasien,
kemungkinan dikarenakan patologis yang terjadi pada osteoarthritis
sehingga mengganggu pergerakan sendi (Sinusas, 2012).
21
e. Muscle Spasm
Spasme merupakan respon protektif, sehingga ketika bergerak
kemudian nyeri, maka tubuh mencoba untuk berhenti bergerak sehingga
spasme terjadi. Spasme juga dapat menyebabkan nyeri dalam akumulasi
metabolis sehingga otot merasa lelah dan menyebabkan keterbatas gerak
sendi (Porter, 2003).
f. Muscle Arthropy
Dikarenakan jarang aktif dalam pergerakan sehingga
mengakibatkan respon patologi atau inhibisi nyeri, sehingga terjadi
kelemahan otot yang menyebabkan muscle arthtropy (Creamer, 2000)
g. Krepitasi
Krepitasi terjadi akibat adanya penekanan pada cartilago yang
mengindikasikan sinovitis (Porter, 2003)
h. Joint Instability
Hal ini terjadi akibat dari kehilangan respon propioseptif dan
kehilangan kontrol ligamen (Porter, 2003)
i. Lost Of Function
Gejala yang sering terlihat yaitu seperti gangguan pola jalan,
kesulitan menaiki anak tangga, kegiatan rekreasi dan sosial (Porter,
2003).
22
j. Deformitas
Deformitas kemungkinan terjadi meliputi genu valgus dan varus
dan disertai kontraktur (Porter, 2003).
6. Diagnosis Osteoarthritis (OA)
a. Diagnosis osteoarthritis knee (OA) ditegakkan berdasarkan riwayat
terdahulu, gambaran klinis yang dijumpai, dan physical examination,
serta radiografi atau pemeriksaaan penunjang (Pratiwi et al, 2015).
Berdasarkan American College of Rheumatology (2016) kriteria
klasifikasi untuk mendiagnosis osteoarthritis knee (OA) adalah sebagai
berikut:
1) Berusia >50 tahun
2) Terdapat morning stiffnes <30 menit
3) Terdapat krepitasi pada knee joint
4) Bone tenderness
5) Bone enlargement
6) Tidak ada rasa hangat saat dipalpasi
b. Diagnosa menurut Wahyuningsih (2009) kriteria untuk osteoarthritis
lutut, koksa dan tangan menggunakan kriteria yang telah di atur oleh
American college of Rheumatology, yaitu:
23
Tabel.2.1 Kriteria Diagnostik menurut American college of Rheumatology.
Osteoarthritis (Wahyuninsih, 2009)
c. Diagnosis menurut Imayati, 2012 osteoarthritis (OA) selain
berdasarkan gejala klinis juga didasarkan pada hasil radiologi. Namun
pada awal penyakit, radiografi sendi seringkali masih normal. Adapun
beberapa gambaran radiologis sendi yang menyokong diagnosis
osteoarthritis (OA) adalah:
1) Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada
bagian yang menanggung beban).
2) Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral.
3) Kista tulang
4) Osteofit pada pinggir sendi
5) Perubahan struktur anatomi sendi (Imayati, 2012).
Pada hasil radiografi pasien ditemukan adanya osteofit.
Pemeriksaan penunjang laboratorium osteoarthritis (OA) biasanya tidak
banyak berguna. Darah tepi (hb, leukosit, laju endap darah) dalam batas-
KLINIK RADIOGRAFIK
Sendi Lutut
Nyeri Lutut dan minimal 3 dari 6
kriteria berikut :
Nyeri lutut 1 dari kriteria berikut :
a. Usia > 50 tahun Osteofit
b. Kaku saat pagi hari < 30
menit
Penyempiran celah sendi yang
seringkali asimetris dan perubahan
struktur anatomi
c. Terdapat krepitasi Kista subkondral dan sklerosis
d. Nyeri tekan
e. Pembesaran Tulang
f. Tidak panas pada perabaan
24
batas normal kecuali osteoarthritis (OA) generalisata yang harus
dibedakan dengan artritis peradangan (Imayati, 2012).
7. Pemeriksaan Osteoarthritis
Selain itu juga dapat dilakukan beberapa pemeriksaan fisik yaitu;
anamnesis sistem, pemeriksaan gerak dasar, pemeriksaan vital sign, palpasi
dan pemeriksaan khusus (dancing patella test, zohlen sign). Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan tibiofemoral joint line tenderness,
crepitus, angular deformity, pain dan effusion (Pratiwi et al, 2015)
a. Dancing Patella Test
Dancing Patella Test merupakan tes yang mengindikasikan
adanya efusi didalam knee joint. Sehingga apabila terdapat efusi hal
tersebut mengindikasikan adanya abnormalitas cairan sinovial di dalam
knee joint. Prosedur melakukan dancing patella test yaitu; pasien tidur
terlentang atau berdiri, pemeriksa menggunakan satu tangan di area
suprapatellar melakukan tekanan pada area proximal ke distal,
kemudian satu tangan yang lain melakukan tekanan di arah berlawanan
dengan sedikit tekanan ke arah medial dan lateral. Tes bernilai positif
apabila terdapat tahanan yang mengindikasikan terdapatnya efusi di
dalam knee joint (Buckup, 2004).
25
Gambar 2.2. Dancing Patella Test
Sumber: Buckup, 2004
b. Zohlen Sign
Zohlen sign mengindikasikan adanya kerusakan pada kartilago.
Prosedur untuk melakukan tes Zohlensign yaitu pasien terlentang
dengan kaki extensi, kemudian pemeriksa menekan di area medial dan
lateral knee joint ke arah proximal patella atau diberikan penekan pada
trochlear groove, hal tersebut akan menyebabkan adanya retropatellar
atau terdapat nyeri peripatellar yang mengindikasikan adanya
kerusakan kartilago (Buckup, 2004)
Gambar 2.3. Zohlen Sign
Sumber: Buckup, 2004
26
8. Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan adalah X-
ray, MRI, Soeroso (2006) dalam Rifhan (2011) dan Sinusas (2012)
memaparkan bahwa pada saat pemeriksaan radiografi akan ditemukan
beberapa gambaran diagnostik diantaranya; terdapat penyempitan celah
sendi dan pada umumnya asimetris, terdapat krista popliteal atau baker cyst,
Osteofit di pinggiran sendi, Perubahan struktur anatomi sendi, deformitas
valgus – varus. lateral instability (Rifhan dan Sinusas, 2012)
9. Grade
Untuk mengetahui grade pada osteoarthtitis (OA) memakai sistem
kellgren dan lawrence, meerupakan sistem yang telah diterima oleh World
Health Organisation (WHO) sejak tahun 1961, dan masih di terapkan
sampai sekarang. Grade dapat di ketahui dari pemeriksaan fisik,
pemeriksaan spesifik atau data penunjang (Pratiwi, 2015).
Table.2.2Grade Osteoarthritis
Sumber: Pratiwi, 2015
No. Grade Keterangan
1. 0 Tidak ada gambaran radiografi yang mengindikasikan Osteoarthritis
2. 1 Sendi normal, namun terdapat osteofit
3. 2 Osteofit pada knee joint tempat dengan skleorosis subkondral, celah
sendi normal, terdapat kista subkondral
4. 3 Osteofit moderat, terdapat deformitas pada garis tulang, terdapat
penyempitan celah sendi
5. 4 Terdapat banyak osteofit, tidak ada celah sendi, terdapat
kistasubkondral dan sklerosis
27
Acute Grade 1 Grade 2 Grade 3 Grade 4
Gambar 2.4. Radiologis Grade Osteoarthritis Berdasarkan grade Kellgren-
Lawrence
10. Penatalaksanaan Osteoarthritis knee (OA)
Treatment untuk penatalaksanaan osteoarthritis knee (OA) di
bedakan menjadi 3 macam, yaitu secara farmakologis, non-farmakologis,
dan pembedahan atau surgery (Sinusas, 2012)
a. Pembedahan / Surgery
Pembedahan ditegakkan apabila pasien memiliki gejala yang tidak
cocok untuk diberikan treatment lain. Tindakan pembedahan yang
dilakukan, yaitu berupa total joint replacement.
b. Farmakologis
Terapi farmakologis yang biasa diberikan adalah acetaminophen,
NSAID, ibuprofen, naproxen, diclofenac, celebrex, meloxicam,
nabumetone, naproxen, oxaprozin, dan sulindac (Sinusas, 2012)
28
c. Non – farmakologis
Terapi non-farmakologis untuk mengatasi permasalahan yang
terdapat pada osteoarhtritis (OA) adalah memakai berbagai modalitas dan
exercise. Modalitas therapeutik yang biasa dipakai adalah ultrasound, TENS,
bracing, splinting. Menurut American College of Rheumatology (ACR) dalam
On Hip and Knee osteoarthritis (OA) Treatment (2012) treatment secara non-
farmakologis untuk osteoarthritis (OA) pada lutut yang direkomendasikan
yaitu dengan aerobic exercise, strengtheningexercise, hydrotherapyexercise,
dan weightloss (Farzinmehr dan Lakeh, 2014).
11. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi apabila penanganan
osteoarthritis knee (OA) tidak maksimal, yaitu diantaranya; nyeri,
kelemahan otot, penurunan derajat range of motion (ROM), Micrystaline
arthrophy, Osteonekrosis, Ruptur Bakercyst, Bursitis, Symtomatic Meniscal
Tear (Vesri,2013).
12. Womac
Kuesioner Western Ontario and McMaster Universities
Osteoarthritis Index (WOMAC) awalnya dikembangkan pada tahun 1982
untuk digunakan pada pasien dengan kondisi osteoarthritis pada lutut atau
pinggul. Terdapat tiga subdomain dalam kuesioner ini yaitu: pertama,
tingkat keparahan nyeri pada berbagai posisi atau pergerakan; Kedua,
tingkat keparahan kekakuan sendi, dan ketiga, kesulitan dalam melakukan
aktivitas fungsional sehari-hari. Memiliki total 24 item, masing-masing
item memberikan 5 tanggapan yaitu none dinilai 0, skala 1 menunjukkan
29
gejala ringan, skala 2 dinilai gejala sedang, skala 3 dinilai berat dan skala 4
dinilai sangat berat. Pengisian kuesioner ini memakan waktu sekitar 7 menit
untuk menyelesaikannya. Skor dihitung untuk setiap subdomain dan untuk
skor total, dengan skor maksimal 100 menunjukkan tidak ada gejala lutut.
Skor WOMAC juga bisa dihitung dari KOOS (Graaf, et al, 2014).
C. Anatomi Knee Joint
Knee joint atau disebut juga sendi lutut merupakan sendi yang paling besar
pada tubuh manusia dan merupakan sendi yang paling rentan karena menjadi
tumpuan dari berat beban tubuh manusia (Schmidler, 2016). Ballinger (2007) dalam
Dian (2013) memaparkan bahwa knee joint merupakan sendi yang tersusun dari Os
Fibula, Os. Tibia, dan Os Femur yang kemudian disatukan dan diikat oleh
ligamentum (Schmidler, 2016; Dian 2013). Knee joint disusun oleh beberapa
komponen yaitu adalah sebagai berikut:
1. Persendian
Knee joint merupakan jenis hinge joint dan secara konseptual terbentuk
dari beberapa hubungan antar tulang atau articulatio, yaitu patello-femoral joint
(hubungan antara Os patella dengan Os femur), tibio-femoral joint (hubungan
antara Os tibia dan Os femur), dan tibio-fibular joint (hubungan antara Os tibia
dengan Os fibula) ( Dianet al., 2013).
30
Gambar 2.5. Struktur Knee Joint
Sumber: Conaghan dan Nelson, 2012
Keterangan:
2. Ligamentum
Ligamentum merupakan ikatan dari beberapa ligament. Ligament adalah
sebuah jaringan fibrosa yang tersusun oleh serat kolagen yang memiliki sifat
sangat kuat, fleksibel dan resisten dari pukulan atau tekanan dari luar maupun
1. Quadriceps Muscle 9. Fat
2. Fat 10. Meniscus
3. Bursa 11. Articular Cartilage
4. Femur 12. Bursa
5. Patella 13. Patellar Tendon
6. Synovial Membrane 14. Tibia
7. Synovial Fluid 15. Fibula
8. Articular Cartilage
31
dalam, ligament berfungsi sebagai penghubung tulang dengan tulang atau sendi
(Quinn, 2016).
Komponen yang terkandung di dalam ligament adalah kolagen tipe 1
sebesar 85% dan terdapat kandungan kolagen tipe III, VI, V, XI dan XIV, serta
<1% proteoglycans, elastins dan protein lainnya (glycoprotein: actin, laminin,
integrin) (Frank, 2004). Fungsi utama ligament adalah sebagai stabilisator
secara pasif dan membantu pergerakan sendi ketika diberikan tahanan untuk
mencapai lingkup gerak sendi secara normal. Selain itu ligament juga berfungsi
sebagai pelindung sendi yang mempertahankan homeostasis postur (Mulyadi et
al, 2015).
Ligament yang terdapat pada knee joint merupakan jenis articular,
secara struktural lebih padat jika dibanding dengan jenis struktur ligament
lainnya (Hadi dan Puji, 2015). Beberapa ligament diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Medial Collateral Ligament (MCL)
Disebut medial collateral ligament (MCL) karena tempat ligament
ini berada di tengah sendi lutut. Medial Collateral Ligament (MCL)
berfungsi untuk menahan beban dari permukaan luar sendi lutut, sebagai
penahan beban tubuh ketika rotasi tibia pada femur, dan juga berperan saat
gerakan translasi Os. tibia pada Os. Femur (Lowe et al, 2016)
b. Lateral Collateral Ligament (LCL)
Lateral collateral ligament (LCL) merupakan ligament
extracapsular. Lateral collateral ligament (LCL) menempel pada
32
epycondylus lateralis dari Os Femur dan persendian dengan tendon m.
Biceps Femoris ke bagian conjoined tendon. Fungsi dari LCL adalah sebagai
penahan beban varus pada knee joint dan saat gerakan rotasi Os. tibia
terhadap Os. Femur (Lowe et al, 2016).
c. Posterior Cruciatum Ligament (PCL)
Posterior Cruciatum Ligament (PCL) adalah ligament yang
terhubung dari posterior superficial Os. Tibia. Posterior cruciatum
ligament (PCL) memiliki bentuk yang pendek. PCL berfungsi sebagai
penahan ketika gerakan posterior translation atau ketika knee flexi 75-90
derajat, rotasi dan valgus / varus pada knee joint, medial tibial rotation 90
derajat (Lowe et al, 2016).
d. Anterior Cruciatum Ligament (ACL)
Anterior cruciatum ligament (ACL) tepatnya berada di area depan
pada knee joint. Anterior Cruciatum Ligament (ACL) bertanggung jawab
untuk menahan beban di anterior knee joint, anterior translation Os. Tibia
terhadap Os. Femur (Lowe et al, 2016)
e. Cartilago
Cartilago merupakan tulang rawan yang melapisi ujung tulang.
Cartilago dibutuhkan untuk mentransmisikan beban tubuh dan gerakan dari
satu segmen ke segmen lainnya. Sehingga, cartilago sangat bermanfaat
sebagai adaptability dan stabilitas sendi (Nwamaka, 2009).
33
Cartilago mengandung kolagen, sehingga semakin tinggi kandungan
serabut kolagen pada cartilago, maka semakin kuat. Cartilago tidak memiliki
kapiler darah sehingga makanan didapatkan dari jaringan sekitar. (Hartono,
2015). Secara holistik penyusun cartilago terdiri atas Chondroblast,
Chondrosit, substansi interseluler (matrix), dan perichondrium. Komponen
tersebut terbuat dari 10% aggrecan, 75% air, dan campuran dari serat kolagen
(Nwamaka et al, 2009)
Gambar 2.6. Articular Cartilage
Sumber: Oatis, 2009
f. Membran Synovial dan Cairan Synovial
Solomon et al (2001) dalam Nwamaka (2009) menjelaskan, bahwa
membran synovial disebut juga synovium yang berasal dari bahasa Latin,
berarti “dengan telur”, sebab cairan sinovial yang terdapat pada sendi
menyerupai putih telur (Mulyadi, 2014). Membran synovial menyelubungi
34
capsule joint pada sendi lutut. Membran sinovial juga terdapat di permukaan
ujung tulang, ligament intra-artikular dan tendon (Nwamaka, 2009).
Struktur synovium pada umumnya terdiri dari 2 lapisan, yaitu lapisan
luar atau subintima yang bersama-sama membentuk sebuah perlindungan
untuk melindungi cairan sinovial dan jaringan sekitarnya dan memiliki
fungsi preventif untuk menghindari terjepitnya sendi ketika terjadi trauma
(Mulyadi 2014). Jenis sel intima ada 2, yaitu fibroblast dan makrofag.
Fibroblast bekerja untuk pembuatan rantai polimer gula atau hyaluronan
yang berfungsi untuk melumasi sendi. Sedangkan makrofag berfungsi untuk
menelan molekul asing yang berbahaya (Mulyadi, 2014).
Adanya hyaluronic di dalam cairan synovial sehingga menyebabkan
cairan synovial bersifat kental yang berfungsi untuk membantu
mengumpulkan dan menahan air, meningkatkan pelumasan dan mengurangi
gesekan, sehingga sel-sel di dalam sendi dapat bergerak dan bekerja
(William dan Wilkins, 2003).
g. Meniscus
Meniscus adalah bantalan pada sisi dalam dan luar pada knee joint.
Komposisi meniscus diantaranya adalah; 72% air dan 28% komponen
organik (paling banyak adalah ECM atau extracellular matrix dan sel). Pada
umumnya, kolagen terbuat dari 75% zat organik, 17% GAGs, 2% DNA dan,
<1% glycoprotein dan elastin, dengan komposisi yang sedemikian rupa
sehingga meniscus berfungsi sebagai shock absorber (Makris et al, 2011).
Meniscus sering diartikan sebagai cartilago semilunaris atau disebut dengan
35
lamella fibrocartilage berbentuk. Pada sendi lutut, meniscus ada dua
macam, yaitu meniscus medialis dan meniscus lateralis (Makris et al, 2004)
Gambar 2.7. Ligament pada knee joint
Sumber: Flandry dan Hommel, 2011
h. Bursa
Beberapa bursa yang terdapat pada knee joint yaitu; suprapatellar
bursa (terletak di bawah m. Quadriceps), prepatellar bursa (terletak
diantara patella dan kulit), infrapatellar bursa terdiri dari bagian
superfacial yang terletak diantara ligamentum patella dan kulit,
sedangkan deepinfra patellar terletak diantara ligamentum patella dan
tibia, poplitea bursa (mengelilingi tendon popliteus), semimembranosus
bursa (terletak diantara tendon M. Semimebranosus, condylusmedialis
dan Os tibia) (Houglum dan Bertoti, 2012).
36
i. Otot penyusun knee joint
Beberapa otot-otot yang bekerja pada sendi lutut berdasarkan
gerakannya, terbagi menjadi 2 grup yaitu otot penggerak extensor knee
dan flexor knee (Houglum dan Bertoti, 2012).
Otot penggerak extensorknee antara lain adalah grup
m.Quadriceps (musculus rectus femoris, musculus vastus lateralis,
musculus Vastus medialis, musculus vastus intermedius) (Chavan dan
Wabale, 2016). Musculus Rectus femoris terletak di medial anterior Os.
Femur. M. Rectus femoris memiliki 2 tendon, melekat di SIAS dan di
cekungan atas acetabulum. Sedangkan insertionya berada di basis ossis
patellae (Fandrian et al., 2014). Musculus vastus medialis berorigo di
inferior intertrochantericline, part superior dari supra condylus
berinsersio di basismedialis patella, diinervasi oleh nervus femoralis.
Musculus vastus lateralis letaknya berada di sisi lateral, diinervasi oleh
nervus femoralis. Musculus Vastus Intermedius (MVI) terletak di
belakang rectusfemoris, Origo di 2/3 superior facies anterior dan aspek
lateral femur, sedangkan insersionya di tepi proximal, lateral dan medial
Os. Patella. Vastus intermedius bersama dengan grup otot quadriceps
berperan saat extensi knee, otot ini diinervasi oleh n. Femoralis (Bertoti
et al, 2014)
37
Gambar 2.8. Musculus Quadriceps Femoris (MQF)
Sumber: Cristina et al, 2015
Sedangkan otot penggerak flexor knee yaitu grup otot hamstring
yaitu bicep femoris, semitendinosus, semimembranosus otot-otot lain
yang juga berkontribusi ketika gerakan fleksi lutut yaitu gastrocnemius,
plantaris, popliteus, gracillis, dan sartorius (Houglum dan Bertoti,
2012). Bicepsfemoris terdiri dari 2 caput, yaitu caputlongum dan caput
brevis. Origo caput longum di tuberositas ischiadicum dan caput brevis
di 1/3 medial labium lateral linea asperae insersionya menyatu di caput
fibulae, diinervasi dari nervus ischiadicus, sehingga berperan pada
gerakan extensi hip, lateral rotasi hip, flexi knee dan rotasi lateral knee
(Bertoti, 2012).
Semi tendinosus diinervasi oleh nervus ischiadicus, berorigo di
tuberositas ischiadicum dan berinsertio di permukaan medial dari
tuberositas tibiae. Berperan pada gerakan extensi hip, medial rotasi hip,
flexi knee, dan medial rotasi knee. Musculus semimembranosus berorigo
pada tuberositas ischiadicus, dan insertionya di proximal tibiae (di
38
bawah condylus medialis) diinervasi oleh nervus ischiadicus.
Gastrocnemius memiliki 2 caput, Caput medial berorigo di facies
poplitea femoris (proximal condylus medialis)dan caput lateral di facies
poplitea femoris (proximal condylus lateralis), sedangakn insertionya di
tuberositascalcanei dan diinervasi oleh nervustibialis yang
memungkinkan dalam pergerakan flexi knee dan plantar flexi (Bertotiet
al, 2012).
Gambar 2.9. Otot posteriorknee joint
Sumber: (Kristal2012 dan Speck 2013)
j. Persarafan pada Knee Joint
Beberapa nervus yang mempersarafi knee joint yaitu: nervus
femoralis, nervus obturatorius, nervus peroneus communis, nervus
tibialis (Dhananjaya, 2012). Nervus femoralis (L2-L4) adalah nervus
yang plaing besar dari plexus lumbalis dan mempersyarafi m. Sartorius,
m. Pectineus, m. Iliopsoas, m. Quadriceps femoris (Dhananjaya, 2012).
39
Nervus obturatorius (L2-L4) memiliki 2 cabang yaitu cabang anterior
dan posterior, cabang anterior melewati obturator externus dan adductor
brevis ke pectineus dan adductor longus, sedangkan cabang posterior
melewati adductor brevis dan adductor magnus (Wheeless, 2011).
Nervus peroneus communis terbentuk dari gabungan 4 divisi posterior
dari plexus sacralis (L4-L5 dan S1-S2), Nervus peroneus communis
memiliki cabang sensoris yang meliputi articularsuperior dan inferior
ke sendi lutut dan nervus cutaneous suralis lateralis kemudian
bergabung dengan nervus cutaneous suralis medial membentuk nervus
suralis yang mensarafi kulit pada tungkai bawah bagian dorsal (Jupardi,
2002). Nervus tibialis merupakan cabang dari nervus ischiadicus.
Perjalanan syarafnya dimulai dari superior fossa popliteal dan turun
secara vertikal menuju sisi dorso medial pergelangan kaki (Dhananjaya,
2012)
40
Gambar 2.2.1. Persarafan pada Knee Joint
Sumber: Razii, 2012
Keterangan:
D. Lansia
1. Definisi Lanjut Usia (LANSIA)
Lansia ialah suatu proses penuaan atau menuju terjadinya tua, yang
secara perlahan-lahan menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri atau mempertahankan fungsi normalnya, sehingga sulit untuk bertahan
terhadap insfeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Lnjut usia
1. Gluteus maximus 10. Common peroneal N.
2. Gluteus medius 11. semitendinosus
3. Gluteus minimus 12. T. of biceps femoris
4. Superior gluteal n. 13. Tibial n.
5. Pudendal n. 14. n. to soleus and Gastrocnemeus
6. Piriformis 15. Sural communicating branch
7. N. to Obturator internus 16. Soleus
8. P. Coutaneous n. of thigh 17. Sural n.
9. Sciatic n. 18. Flexor halluces longus
10.
41
(LANSIA) di katakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia (Fatimah, 2010).
Menjadi tua merupakan proses ilmiah, yang dimana seseorang akan
melalui 3 (tiga) tahap kehidupan yang berbeda yaitu, anak-anak, dewasa dan
tua. Tiga tahap ini memiliki nilai yang berbeda-beda baik secara biologis dan
psikologis (Nugroho, 2016).
Lanjut usia (LANSIA) adalah seseorang yang usianya telah mencapai
60 tahun ke atas, baik pria dan wanita. Lanjut usia (LANSIA) merupakan
kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari
kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu
proses yang sering disebut Aging Process atau proses penuaan. Sedangkan
Departeman kesehatan RI (DEPKES) menyebutkan seseorang dikatakan
berusia lanjut jika usia 55 tahun keatas dan menurut World Health organisation
(WHO) lanjut usia (LANSIA) dimulai dari usia 60 tahun. Lanjut usia
(LANSIA) bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu
proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan keadaan internal dan eksternal dari diri sendiri. Lansia
adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan
kemampuan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis. Kegagalan ini
berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan
kepekaan secara individual (Efendi, 2009).
42
2. Klasifikasi Lanjut Usia (LANSIA)
a. Pra lanjut usia (LANSIA) (prasenilis) seseorang yang berusia antara 45
sampai 59 tahun
b. Lanjut usia (LANSIA) yaitu seseorang yang telah berusia 60 tahun atau
lebih, kemudian lansia resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun
lebih atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan beberapa
tambahan masalah kesehatan yang akan di alami.
c. Lanjut usia (LANSIA) potensial yaitu Lanjut usia (LANSIA) yang masih
mampu melakukan pekerjaan atau kegiatannya secara mandiri atau dengan
bantuan orang lain yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
d. Lanjut usia (LANSIA) tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya untuk
mencari nafkah atau menghasilkan barang dan jasa sehingga hidupnya
bergantung pada bantuan orang lain (Maryam et al, 2008).
3. Batasan Lanjut Usia (LANSIA)
Menurut World Health Organization (WHO) dalam buku Vina Dwi
Wahyunita dan Fitrah (2010) menjelaskan beberapa batas umur lansia, yaitu:
a. Usia pertengahan (middle age) : 45 – 59 tahun
b. Usia lanjut (fiderly) : 60 – 74 tahun
c. Lansia tua (old) : 75 – 90 tahun
d. Lansia sangat tua (very old) : >90 tahun
4. Masalah umum yang Terjadi pada Lanjut usia (LANSIA)
Pada usia yang semakin bertambah tentunya akan ada beberapa aspek
yang mempengaruhi tubuh, yang awalnya baik akan menurun. Menurut
43
Wahyunita dan Fitrah, (2010) memahami kesehatan pada lanjut usia
(LANSIA), adapun beberapa perubahan yang terjadi pada lansia yaitu:
a. Fisik
Secara fisik seorang lansia yang akan mengalami sexual prowess
atau kemampuan seksual, memang secara langsung tidak tampak, namun
pada produksi secret dan spermatogenesisnya mengalami penurunan. Gejala
ini yang sering terjadi pada seorang pria, berbeda dengan wanita yang
mengalami menopause atau berhentinya menstruasi dan dapat
mengakibatkan penurunan kemapuan fisik dan permasalahan
psikologisnya. Yang termasuk perubahan fisik, antara lain perubahan sel,
kardiovaskuler, respirasi, persarafan, muskuloskeletal, gastrointestinal,
genitourinaria, vesika, vagina, pendengaran, penglihatan, endoktrin, kulit,
belajar dan memori, inteligensi, personality dan adjustment (pengaturan),
dan pencapaian (Achievement).
b. Psikologis dan Sosial
Apabila dilihat dari sisi kejiwaannya, seorang lanjut usia (LANSIA)
akan mudah tidak stabil kejiwaanya apabila mengalami penghinaan,
penolakan, ataupun rasa kasihan yang tidak sesuia dengan keadaannya,
maka dari itu lanjut usia (LANSIA) lebih memilih untuk hidup sendiri tanpa
bergantung pada orang lain. Selain itu akan muncul sikap cerewat, pelupa
sering mengeluh dan egois yang tidak mereka sadari.
44
5. Problem Kesehatan yang Terjadi Pada Lanjut Usia (LANSIA)
Masalah-masalah kesehatan yang ssering terjadi pada Lanjut usia
(LANSIA) akibat perubahan sistem, antara lain:
a. Lanjut Usia (LANSIA) dengan masalah kesehatan pada sistem pernafasan,
antara lain: Penyakit Paru Obstruksi Kronik, tuberkulosis, influenza dan
pneumonia.
b. Lanjut Usia (LANSIA) dengan masalah kesehatan pada sistem
kardiovaskuler, antara lain: Hipertensi, penyakit Jantung Koroner, Cardiac
Heart Failure.
c. Lanjut Usia (LANSIA) dengan masalah kesehatan pada sistem neurologi,
seperti Cerebro Vaskuler Accident.
d. Lanjut Usia (LANSIA) dengan masalah kesehatan pada sistem
muskuloskeletal, antara lain: Faktur, Osteoarthritis, Rheumatoid Arthritis,
Gout Artritis, Osteoporosis.
e. Lansia dengan masalah kesehatan pada sistem endotrin, seperti Diabetes
militus (DM).
f. Lanjut Usia (LANSIA) dengan masalah kesehatan pada sistem sensorik,
antara lain: Katarak, Galukoma, Presbikusis.
g. Lanjut Usia (LANSIA) dengan masalah kesehatan pada sistem pencernaan,
antara lain: Ginggivitis/Periodontis, Gastritis, Hemoroid, Konstipasi.
h. Lanjut Usia (LANSIA) dengan masalah kesehatan pada sistem reproduksi
dan perkemihan, antara lain: Menoupause, BPH, Inkontinensia.
45
i. Lanjut Usia (LANSIA) dengan masalah kesehatan pada sistem integumen,
antara lain: Dermatitis Seborik, Pruritus, Candidiasis, HerpesZoster, Ulkus
Ekstremitas Bawah, PressureUlcer.
j. Lansia dengan masalah kesehatan jiwa, seperti Dimensia.
6. Fisiologis Lanjut Usia (LANSIA)
Penuaan pada Lanjut usia (LANSIA) memungkinkan terjadinya
penurunan anatomis dan fungsional yang progresif. Andrea dan Tobin
(peneliti), memperkenalkan “Hukum 1%”, yang menyatakan bahwa secara
prediksi fungsi organ akan mengalami penurunan sebanyak 1% setiap tahunnya
setelah usia 30 tahun (Martono, 2004). Pada Lanjut usia (LANSIA) kerap
dijumpai permasalahan yang berhubungan dengan kemampuan gerak dan
fungsi. Menurut Kamso yang dikutip oleh Zuhdi (2000), pada lanjut usia
(LANSIA) terjadi penurunan kekuatan otot sebesar 88%, fungsi pendengaran
dan penglihatan masing-masing 67% dan 72%, daya ingat dan kognisi besar
61% serta kelenturan tubuh yang berkurang sebesar 64%. Permasalahan yang
muncul padaxlanjut usia (LANSIA) disebabkan oleh adanya perubahan
fisiologis yang terjadi. Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi akibat proses
penuaan yaitu :
a. System Panca Indra
Setiap indra yang ada pada lanjut usia (LANSIA) akan mengalami
penurunan fungsi yang diakibatkan oleh permasalahan fisiologis, seperti
mata atau indera penglihatan akan berkumpul disekitar kornea, semakin
lama dalam waktu ke waktu akan membentuk lingkaran berwarna putih atau
46
kekuningan diantara iris dan sklera (Suhartin, 2010), selain itu indera
pendengaran atau telinga juga megalami penurunan fungsi yaitu Presbikusis
adalah permasalahan yang terjadi pada pendengaran akibat proses penuaan
dimana telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi sensorineural, hal
tersebut terjadi karena adanya komponen telinga bagian dalam dan saraf
tidak berfungsi dengan benar sehingga terjadi perubahan konduksi atau
aliran suara. Dampak dari hal ini adalah kehilangan fungsi pendengaran
secara bertahap dan progresif. Selain hal diatas, permasalahan pada telinga
adalah ketidakmampuan untuk mendengar suara dengan frekuensi tinggi
(Chaccione, 2005) dan masih banyak lagi permasalahan-permasalahan pada
indera lainnya.
b. System Persarafan
Permasalahan persarafan akan terjadi pada tingkat perifer bahkan
sampai pusat, menurut Martono (2004), pada lanjut usia (LANSIA) akan
berkurangnya massa otak sebesar 10%. Massa rata-rata pada saat lahir
adalah 350 gr kemudian pada usia 20 tahun meningkat menjadi 1,375 gr,
setelah itu,massa otak akan mulai menurun pada usia 45-50 tahun
penurunan ini lebih kurang 11% dari massa maksimal. Massaxdan volume
otak berkurangxrata-rata 5-10% selama umur 20-90 tahun. Otak pada
umumnya akan mengandung sekitar 100 juta sel diantaranya sel neuron
yang sebagaimana diketahui berfungsi sebagai penyalur impuls listrik dari
susunan saraf pusat. Pada proses penuaan, otak diperkirakan akan
kehilangan sekitar 100.000 neuron setiap tahunnya,yang terjadi pada neuron
adalah secara berangsur-angsur tonjolan yang ada pada dendrit di neuron
47
akan hilang disusul dengan membengkaknya batang dendrit dan batang sel.
Secara progresif terjadi fragmentasi dan kematian sel karena ketidak
mampuan untuk melakukan regenerasi sel. Pada semuaxsel terdapat
kekurangan lipofusin (pigment wear and tear) yang terbentuk didalam
sitoplasma, kemungkinan berasal dan lisosom atau mitokondria (Suhartin,
2010).
c. System Muskuloskeletal
Permasalah pertama yang terjadi pada system muskuloskeletal
adalah pada otot, menurut Lumbantobing (2005), perubahan yang jelas
terjadi dan nampak pada sistem otot lanjut usia (LANSIA) adalah
berkurangnya massa otot atau atrofi. Otot yang mengalami atrofi
merupakan akibat dari berkurangnya aktivitas fisik yang menggunakan otot-
otot terkait, permasalahan metabolik atau di inervasi saraf (Martono, 2004).
Perubahan-perubahan yang timbul padaxsistem otot lebih disebabkan oleh
dis-use atau inaktif. Lansia yang aktif sepanjang masaumurnya, cenderung
akan lebih dapat mempertahankan massa otot, koordinasi dan kekuatan otot
dibanding mereka yang hidupnya tidak terlalu beraktifitas (Rubenstein,
2006).
Pada tulang juga akan mengalami permasalahan, yaitu kehilangan
kandungan kalsium dan massa tulang pada tubuh yang berkurang secara
drastis karena faktor penuaan dan dis-use (Wilk, 2009). Bertambahnya usia,
perusakan dan pembentukan tulang akan terjadi secara lambat. Hal tersebut
dikarenakan adanya penurunan produksi hormon estrogen pada wanita,
48
vitamin D, dan beberapa hormonxlain. Tulang-tulang besar menjadi lebih
berongga, adanya perubahan kecil pada struktur tulang, sehingga
mengakibatkan mudah patah baik yang diakibatkan oleh benturan yang
ringan maupun spotan (Martono, 2004). Dampak dari hal ini adalah
peningkatan terjadinya resiko osteoporosis dan fraktur (Suhartin, 2010).