bab ii tinjauan pustakarepository.unsri.ac.id/572/2/rama_87205... · bab ii tinjauan pustaka 2.1...

20
Universitas Sriwijaya 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Modul Berbasis Masalah Pengembangan merupakan salah satu metode dalam penelitian, metode penelitian dan pengembangan merupakan metode yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk dan menguji keefektifannya (Sugiyono, 2015: 407). Pengembangan modul berbasis masalah dalam penelitian ini akan menghasilkan sebuah produk berupa modul cetal yang dipadupadankan dengan media elektronik dalam proses diskusi dan evaluasi, hal ini mengacu kepada teori yang menyatakan bahwa bahan ajar cetak akan lebih menarik dan memberikan nilai tambah apabila digabungkan dengan media ajar multimedia. Ikhsan dkk (2010: 1) menyatakan bahwa Tekhnologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memungkinkan semua bahan ajar cetak menjadi apa yang disebut modul elektronik yang dapat diakses dari website atau diberikan dalam bentuk CD-ROM. Selain itu, menurut Widodo dan Jasmadi (2008: 36) media ajar yang berupa buku atau modul ajar akan lebih memberikan nilai tambah apabila digabungkan dengan media ajar multimedia, misalnya dilengkapi dengan CD yang mampu menampilkan video, film, dan lainnya, sehingga dapat dikatakan buku atau modul ajar multimedia. Gabungan media buku dan multimedia akan meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar. Selanjutnya, menurut Julia dkk, (2017: 430) pembaharuan bahan ajar dapat pula memanfaatkan tekhnologi canggih seperti sekarang ini, sehingga bahan ajar tidak hanya berbentuk cetak saja melainkan dapat pula disajikan dalam bentuk elektronik yang akan memudahkan peserta didik memahami materi yang disampaikan. Ketiga teori tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bahan ajar cetak seperti buku teks atau modul ajar cetak dapat disajikan kedalam bentuk elektronik dengan memanfaatkan tekhnologi yang memungkinkan pengembangan modul cetak menjadi modul elektronik.

Upload: others

Post on 03-Feb-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Universitas Sriwijaya

    7

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Pengembangan Modul Berbasis Masalah

    Pengembangan merupakan salah satu metode dalam penelitian, metode

    penelitian dan pengembangan merupakan metode yang digunakan untuk

    menghasilkan suatu produk dan menguji keefektifannya (Sugiyono, 2015: 407).

    Pengembangan modul berbasis masalah dalam penelitian ini akan menghasilkan

    sebuah produk berupa modul cetal yang dipadupadankan dengan media elektronik

    dalam proses diskusi dan evaluasi, hal ini mengacu kepada teori yang menyatakan

    bahwa bahan ajar cetak akan lebih menarik dan memberikan nilai tambah apabila

    digabungkan dengan media ajar multimedia.

    Ikhsan dkk (2010: 1) menyatakan bahwa Tekhnologi Informasi dan

    Komunikasi (TIK) memungkinkan semua bahan ajar cetak menjadi apa yang

    disebut modul elektronik yang dapat diakses dari website atau diberikan dalam

    bentuk CD-ROM. Selain itu, menurut Widodo dan Jasmadi (2008: 36) media ajar

    yang berupa buku atau modul ajar akan lebih memberikan nilai tambah apabila

    digabungkan dengan media ajar multimedia, misalnya dilengkapi dengan CD yang

    mampu menampilkan video, film, dan lainnya, sehingga dapat dikatakan buku atau

    modul ajar multimedia. Gabungan media buku dan multimedia akan meningkatkan

    motivasi peserta didik untuk belajar. Selanjutnya, menurut Julia dkk, (2017: 430)

    pembaharuan bahan ajar dapat pula memanfaatkan tekhnologi canggih seperti

    sekarang ini, sehingga bahan ajar tidak hanya berbentuk cetak saja melainkan dapat

    pula disajikan dalam bentuk elektronik yang akan memudahkan peserta didik

    memahami materi yang disampaikan.

    Ketiga teori tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bahan ajar cetak

    seperti buku teks atau modul ajar cetak dapat disajikan kedalam bentuk elektronik

    dengan memanfaatkan tekhnologi yang memungkinkan pengembangan modul

    cetak menjadi modul elektronik.

  • Universitas Sriwijaya

    8

    2.1.1 Pengertian Modul

    Pembelajaran menggunakan modul memberikan kesempatan kepada semua

    peserta didik untuk belajar dengan cara dan kecepatan masing-masing. Adapun

    pengertian modul menurut Prastowo (2015: 106) modul merupakan bahan ajar

    dengan bahasa yang mudah dipahami dan sistematis berdasarkan tingkat

    pengetahuan dan usia peserta didik agar mereka dapat belajar secara mandiri

    dengan bantuan yang minimal dari pendidik. Selain itu, menurut Sani (2014: 183)

    modul merupakan suatu unit pembelajaran lengkap yang disusun untuk membantu

    peserta didik mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dengan khusus

    dan jelas. Sedangkan menurut Sudjana dan Rivai (2013: 132) modul merupakan

    susunan tertentu suatu unit program pengajaran yang disusun untuk keperluan

    belajar.

    Berdasarkan pengertian para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa modul

    merupakan bahan ajar lengkap yang disusun secara sistematis dengan bahasa yang

    mudah dimengerti untuk keperluan belajar agar peserta didik dapat mencapai tujuan

    pembelajaran yang telah ditentukan.

    2.1.2 Tujuan Penulisan Modul

    Penelitian modul selain memperhatikan karakteristik siswa yang akan

    diajar, juga harus sesuai dengan tujuan pembuatannya. Adapun tujuan pembuatan

    modul yang tertulis dalam buku yang berjudul Penelitian Modul yang dibuat oleh

    Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (2008: 5-6), sejalan

    dengan pendapat Daryanto & Dwicahyono (2014: 189), tujuan Penulisan modul

    terdiri dari empat hal, yaitu: (1) menyajikan pesan lebih jelas dan mudah agar tidak

    terlalu bersifat verbal; (2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera

    peserta didik dan guru/instruktur; (3) Dapat digunakan dengan variasi secara tepat

    , seperti meningkatkan gairah belajar dan motivasi, memungkinkan pengembangan

    kemampuan berinteraksi langsung dengan lingkungan dan memungkinkan peserta

    didik untuk belajar sendiri sesuai kemampuan dan minatnya; (4) Memungkinkan

    peserta didik mengevaluasi dan mengukur hasil belajarnya sendiri. Sedangkan

    menurut Prastowo (2015: 108) ada 5 tujuan pembuatan modul, yaitu:

  • Universitas Sriwijaya

    9

    1. Agar peserta didik dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan pendidik (yang minimal);

    2. Agar peran pendidik tidak terlalu dominan dan otoriter dalam kegiatan pembelajaran;

    3. Melatih kejujuran peserta didik; 4. Mengakomodasi berbagai tingkat dan kecepatan belajar peserta

    didik;

    5. Agar peserta didik mampu mengukur sendiri tingkat penguasaan materi yang telah dipelajari.

    Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa

    Penelitian modul ini bertujuan untuk melatih kemandirian, kejujuran dan

    memugkinkan peserta didik belajar dengan tingkat penguasaan dan kecepatan

    masing-masing. Pengembangan modul PPKn berbasis masalah ini akan dilakukan

    dengan memperhatikan tujuan dari pembuatan modul tersebut.

    2.1.3 Fungsi Modul

    Penyusunan modul memiliki arti penting dalam kegiatan pembelajaran

    karena modul berfungsi sebagai materi pelajaran atau bahan pembelajaran mandiri.

    Menurut Prastowo (2015: 107-108) sebagai salah satu bahan ajar, modul memiliki

    fungsi sebagai berikut:

    1. Bahan ajar mandiri. Maksudnya, penggunaan modul dalam proses pembelajaran berfungsi meningkatkan kemampuan

    peserta didik untuk belajar sendiri tanpa tergantung pada

    kehadiran pendidik;

    2. Pengganti fungsi pendidik. Maksudnya modul sebagai bahan ajar yang harus mampu menjelaskan materi pembelajaran

    dengan baik dan mudah dipahami oleh peserta didik sesuai

    tingkat pengetahuan dan usia mereka. Sementara, fungsi

    penjelas suatu tersebut juga melekat pada pendidik. Maka dari

    itu, penggunaan modul bisa befungsi sebagai pengganti fungsi

    atau peran fasilitator/pendidik.

    3. Sebagai alat evaluasi. Maksudnya, dengan modul, peserta didik dituntut untuk dapat mengukur dan menilai sendiri tingkat

    penguasaannya terhadap materi yang telah dipelajari. Dengan

    demikian, modul juga sebagai alat evaluasi.

    4. Sebagai bahan rujukan bagi peserta didik. Maksudnya, karena modul mengandung berbagai materi yang harus dipelajari oleh

    peserta didik maka modul juga memiliki fungsi sebagai bahan

    rujukan bagi peserta didik.

    Sejalan dengan pendapat Prastowo, Awalludin (2017: 196) menyatakan

    bahwa sebagai bahan ajar mandiri modul berfungsi meningkatkan kemampuan

  • Universitas Sriwijaya

    10

    peserta didik untuk belajar tanpa tergantung pada kehadiran pendidik, modul juga

    berfungsi sebagai pengganti fungsi pendidik yang artinya modul sebagai bahan

    ajar harus mampu menjelaskan materi pembelajaran agar mudah dipahami, modul

    juga berfungsi sebagai alat evaluasi , dengan menggunakan modul peserta didik

    dapat mengukur dan menilai sendiri tingkat penguasaan terhadap materi yang

    dipelajari.

    Berdasarkan kedua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa fungsi modul

    adalah sebagai bahan belajar mandiri yang mampu meningkatkan kemampuan

    peserta didik belajar secara mandiri dan mengevaluasi sendiri hasil belajarnya.

    Mengingat fungsi modul tersebut maka pengembangan modul ini akan dilakukan

    demi kelancaran proses pembelajaran.

    2.1.4 Karakteristik Modul

    Modul bisa dikategorikan baik dan menarik apabila memenuhi karakteristik

    sebagai bahan ajar yang baik. Adapun karakteristik modul menurut Daryanto (2013:

    9-15) dan sama halnya dengan yang dijelaskan dalam panduan Penelitian modul

    dari Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (2008: 3-4)

    terdapat lima karakteristik modul, yaitu self instruction, self contained, stand alone,

    adaptive, dan user friendly. Kelima karakteristi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

    a. self instruction merupakan karakteristik yang memungkinkan seseorang

    belajar sendiri tanpa ketergantung pada pihak lain. Karakter ini dapat

    dipenuhi dengan memuat : (1) Tujuan pembelajaran yang jelas dengan

    gambaran SK dan KD; (2) Materi pembelajaran yang dikemas dalam

    unit-unit kegiatan khusus, sehingga memudahkan dipelajari secara

    tuntas; (3) Menyediakan contoh dan ilustrasi yang mampu menjelaskan

    materi pembelajaran yang dipaparkan; (4) terdapat soal-soal latihan,

    tugas, dan sejenisnya untuk mengukur tingkat pencapaian peserta didik;

    (5) menyajikan materi kontekstual, yaitu penyajian materi terkait dengan

    suasana kegiatan dan lignkungan peserta didik; (6) Menggunakan Bahasa

    yang mudah dipahami; (7) Rangkuman materi pelajaran; (8) Instrumen

    penilaian yang bersifat self assesment; (9) Umpan balik bagi penilaian

    penguasaan materi peserta didik, sehingga diketahui tingkat

  • Universitas Sriwijaya

    11

    penguasaannya; (10) Informasi referensi yang mendukung materi

    pembelajaran yang dipelajari.

    b. self contained yaitu karakter yang terpenuhi bila modul memuat materi

    pembelajaran yang dibutuhkan. Tujuannya adalah memberikan

    kesempatan kepada peserta didik untuk belajar secara tuntas materi

    pelajaran yang diberikan.

    c. stand alone (berdiri sendiri), yaitu karakter yang menunjkkan bahwa

    modul tidak harus digunakan bersama-sama dengan bahan ajar lain.

    Dengan menggunakan modul, peserta didik tidak perlu bahan ajar lain

    untuk mempelajari dan atau mengerjakan tugas pada modul tersebut.

    d. adaptive yaitu hendaknya modul memiliki daya adaptasi yang tinggi

    terhadap perkembangan ilmu dan tekhnologi. Dikatan adaptif jika modul

    tersebut dapat disesuaikan dengan ilmu pengetahuan dan tekhnologi,

    serta fleksibel jika digunakan di berbagai perangkat keras (hardware).

    e. user friendly (bersahabat), yaitu apabila setiap instruktur dan tampilan

    informasi yang ditampilkan memiliki sifat membantu dan bersahabat

    dengan pemakainya, termasuk juga kemudahan dalam pemakaian,

    merespon dan mengakses sesuai dengan keinginan pemakainya.

    Menggunakan Bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, serta

    menggunakan istilah yang umum digunakan.

    Untuk menghasilkan modul yang mampu meningkatkan motivasi belajar

    dan menarik perhatian peserta didik maka pengembangan modul harus dilakukan

    dengan memenuhi karakteristik modul yang diperlukan (Daryanto dan

    Dwicahyono, 2014: 186). Berdasrkan pendapat tersebut, dapa disimpulkan bahwa

    ada lima macam karakteristik yang harus dipenuhi dalam pembuatan modul

    pembelajaran.

    2.1.5 Pembelajaran dengan Modul

    Modul merupakan salah satu bahan ajar yang dirancang untuk belajar secara

    mandiri, karenanya modul yang dikembangkan harus mampu meningkatkan

  • Universitas Sriwijaya

    12

    motivasi peserta didik serta efektif dalam mencapai kompetensi yang diharapkan

    dari pembelajaran tersebut (Asyhar, 2011: 155).

    Pembelajaran menggunakan modul merupakan pembelajaran mandiri

    menggunakan bahan ajar yang telah disusun secara sistematis dan terarah mengenai

    suatu satuan bahasan tertentu oleh peserta didik . Menurut Sani (2014: 183)

    pembelajaran dengan sistem modul termasuk metode pembelajaran mandiri yang

    memiliki keunggulan, misalnya belajar dapat dilakukan menurut kecepatan masing-

    masing peserta didik.

    Pada kenyataannya, modul dirancang untuk membantu para siswa secara

    individual maupun kelompok dalam mencapai tujuan pembelajaran karena modul

    merupakan jenis kesatuan kegiatan belajar yang terencana sebagai paket program

    pengajaran yang terdiri dari komponen-komponen yang berisi tujuan, bahan,

    metode, alat atau media, serta sumber belajar dan sistem evaluasinya (Sudjana dan

    Rivai, 2013: 132). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

    menggunakan modul merupakan pembelajaran yang ditujukan pada kemandirian

    siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran serta meningkatkan motivasi belajar.

    Modul yang akan dikembangkan pada penelitian ini adalah modul berbasis

    masalah. Masalah pada hakikatnya ialah kesenjangan antara situasi nyata dan

    kondisi yang diinginkan yang menampakkan diri dalam bentuk keluhan atau

    kecemasan (Gulo, 2008: 113). Menurut Barell (2010: 174) pembelajaran berbasis

    masalah atau dapat disebut problem based learning (PBL) adalah salah satu cara

    yang ideal untuk mengembangkan keterampilan pada abad 21 ini. PBL akan

    dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

    2.1.6 Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

    2.1.6.1 Ruang Lingkup Pembelajaran Berbasis Masalah

    Pembelajaran berbasis masalah adalah salah satu strateri yang dapat

    digunakan dalam proses pembelajaran. Menurut sanjaya (2009: 214) model

    pembelajaran berbasis masalah bisa diartikan sebagai rangkaian aktivitas dalam

    pembelajaran yang menekankan pada proses penyelesaian masalah yang terjadi

    secara ilmiah. Sedangkan menurut Arends (2012: 396) pembelajran berbasis

    masalah merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran yang mana siswa akan

  • Universitas Sriwijaya

    13

    mengerjakan dan menyelesaikan permaslahan yang otentik dengan maksud untuk

    menyususn pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan kemampuan

    berpikir, serta mengembangkan kemandirian dan rasa percaya diri.

    Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

    pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu proses pembelajaran yang

    menuntut siswa utnuk mampu mengembangkan kemampuan berpikir, kemandirian

    dan kepercayaan diri untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan dalam

    proses pembelajaran.

    2.1.6.2 Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

    Perubahan-perubahan terus terjadi didalam kehidupan, terutama dalam

    dunia pendidikan. Hal ini juga menjadikan pendekatan alam proses pembelajaran

    ikut mengalami perubahan, pendekatan teacher centered yang dianggap tradisional

    perlahan digantikan dengan pendekatan learner centered yang dicocokkan dengan

    model PBL dalam prosesnya. PBL merupakan model pembelajaran yang

    melibatkan siswa dalam memecahkan masalah nyata, yang menyebabkan motivasi

    dan rasa ingin tahu menjadi meningkat (Gunantara dkk, 2014) dalam

    (https://ejournal.undiksha.ac.id). Selain itu, menurut Dutch (dalam Amir, 2009: 21)

    PBL merupakan pendekatan yang menantang agar siswa belajar untuk belajar,

    bekerja sama mencari solusi bagi suatu masalah yang nyata dalam kelompok,

    dimana masalah digunakan untuk mengaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan

    analisis dan inisiatif atas materi pelajaran. Dalam pengertian lain, yang dinyatakan

    oleh Arends (2012: 396) menyebutkan bahwa PBL adalah pembelajaran yang

    menyuguhkan berbagai situasi masalah yang autentik dan bermakna kepada siswa

    yang berfungsi sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan.

    Selanjutnya, menurut Barell (2007: 3) PBL dapat didefinisikan sebagai proses

    penyelidikan yang dilakukan siswa untuk menyelesaikan pertanyaan,

    keingintahuan dan ketidakpastian tentang fenomena kompleks dalam kehidupan.

    Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa PBL merupakan

    model pembelajaran yang berorientasi masalah yang digunakan untuk

    meningkatkan kerja sama dalam kelompok, rasa ingin tahu, kemampuan berfikir

    kritis dan motivasi belajar siswa.

    https://ejournal.undiksha.ac.id/

  • Universitas Sriwijaya

    14

    2.1.6.3 Karakteristik PBL

    Seperti halnya model pembelajaran lain pada umumnya, PBL memiliki

    karakteristik yang tercakup dalam proses pembelajaran. Menurut Suci (2008) dalam

    (http://www.google.com//santyasa/Lemlit/pendidikan), PBL memiliki karakteristik

    yang membedakannya dengan model pendekatan lainnya, yaitu pembelajaran yang

    bersifat student centered atau berpusat pada siswa. Pada PBL Pembelajaran dimulai

    dengan pemberian masalah yang biasanya memiliki konteks dengan dunia

    nyata.Pembelajar dibuat berkelompok untuk merumuskan masalah, mempelajari

    dan mencari materi yang terkait dengan masalah tersebut bersama kelompoknya

    secara aktif dan pendidik lebih banyak berperan sebagai fasilitatornya (Tan dalam

    Amir, 2009: 12). Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Tan tersebut, menurut

    Amir (2009: 22), dapat dirangkum karakteristik yang tercakup dalam proses PBL

    sebagai berikut:

    Masalah digunakan sebagai awal pembelaajaran.

    Masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang

    disajikan secara mengambang.

    Masalah biasanya menuntut perspektif majemuk.

    Masalah membuat pemelajar tertantang untuk mendapatkan

    pembelajaran diranah pembelajaran yang baru.

    Sangat mengutamakan belajar mandiri.

    Memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi.

    Pembelajaran kolaboratif, komunikatif dan kooperatif.

    Berdasarkan karaketistik diatas dapat disimpulkan bahwa PBL merupakan

    suatu pendekatan dalam pembelajaran yang dimulai dengan suatu maslah yang

    harus diselesaikan oleh pembelajar secara mandiri ataupun berkelompok.

    2.1.6.4 Manfaat PBL

    PBL mampu memberikan manfaat dalam pembelajaran, dalam hal ini

    dikemukakan oleh Smith (dalam Amir 2009: 27), yaitu:

    a. Meningkatkan kecapakan pemecahan masalah para pembelajar;

    b. Meningkatkan pemahaman;

    c. Meningkatkan pengetahuan yang sesuai dengan dunia praktik;

    http://www.google.com/santyasa/Lemlit/pendidikan

  • Universitas Sriwijaya

    15

    d. Mendorong pembelajaran dengan penuh pemikiran;

    e. membangun kemampuan kerjasama;

    f. meningkatkan kemampuan belajar; dan

    g. memotivasi para pembelajar.

    Selain itu, menurut Morrales-mann dan kaitell (dalam Suherman, 2017: 60-

    61) menyimpulkan dari hasil penelitiannya, PBL memberikan manfaat bagi siswa

    dalam meningkatkan kemandirian belajar, kemampuan berfikir kritis, kemampuan

    memecahkan masalah, dan kempuan berkomunikasi.

    Dari kedua pendpapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa PBL bermanfaat

    utnuk meningkatkan kemandirian, pemahaman, kemampuan berfikir kritis,

    membangun kerjasama, memecahakan masalah dan meningkatkan motivasi

    belajar.

    2.1.6.5 Kelebihan dan Kekurangan PBL

    Sama seperti model pembelajaran lainnya, PBL memiliki kelebihan dan

    kekurangan. Kelebihan PBL seperti yang diungkapkan oleh Sanjaya (2009: 220)

    sebagai berikut:

    a. Pemecahan masalah merupakan tekhnik yang cukup bagus untuk lebih

    memahami isi pelajaran.

    b. Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan siswa serta

    memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.

    c. Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.

    d. Pemeahan masalah dapat membantu siswa bagaimana mentransfer

    pengetahuan mereka untuk memahamimasalah dalam kehidupan nyata.

    e. Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan

    pengetahuan abru dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang

    dilakukan

    f. Melalui pemecahan masalah bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa

    setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan sesuatu yang harus

    dimengerti oleh siswa.

    g. Pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan lebih disukai

    oleh siswa.

  • Universitas Sriwijaya

    16

    h. Pemecahan masalah dapat membantu siswa mengembangkan

    kemampuan berpikir kritis.

    i. Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk

    mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.

    j. Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat siswa untuk terus

    menerus belajar.

    Selain kelebihan tersebut, PBL juga memiliki kekurangan yang

    diungkapkan oleh Sanjaya (2009: 221) sebagai berikut: (1) manakala siswa tidak

    memiliki minat terhadap masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka

    mereka akan merasa enggan untuk mencobanya; (2) keberhasilan strategi

    pembelajaran melalui pemecahan maslah membutuhkan waktu yang cukup untuk

    dipersiapkan; (3) tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk

    memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa

    yang mereka ingin pelajari.

    Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa PBL selain memiliki

    kelebihan juga memiliki kekurangan. Oleh karena itu, PBL harus digunakan

    sebaik-baiknya agar mendapatkan hasil yang optimal dalam proses pembelajaran.

    Pengembangan modul berbasis masalah ini diharapkan mampu memberikan

    efek potensial terhadap motivasi belajar siswa, adapun motivasi belajar akan

    dijelaskan sebagai berikut:

    2.1.7 Motivasi Belajar

    2.1.7.1 Teori Motivasi

    Motivasi merupakan dorongan yang mampu mengarahkan dan

    menggerakkan seseorang pada suatu hal untuk mencapai tujuan tertentu.

    Mc.Clelland (dalam Robbins dan Judge, 2008: 230) tidak mengklasifikasikan

    motivasi kedalam hiraki, Mc. Clelland mengemukakan sebuah kebutuhan

    berpeprestasi dalam teori motivasi yang menyatakan bahwa seseorang yang

    memiliki keinginan berprestasi tinggi akan terlihat berbeda dengan orang lain,

    karena mereka akan selalu memiliki keinginan yang kuat untuk melakukan hal-hal

    yang lebih baik dari sebelumnya dan mencari kesempatan untuk memperoleh

    tanggung jawab secara pribadi untuk menemukan jawaban dari setiap masalah yang

  • Universitas Sriwijaya

    17

    ada. Oleh Mc. Clelland, hal ini dibagi kedalam enam aspek yang terkandung dalam

    motivasi berprestasi, yaitu: (1) keinginan untuk menjadi yang terbaik; (2) umpan

    balik; (3) kreatif dan inovatif; (4) tanggung jawab; dan (5) waktu penyelesaian

    tugas. Penelitian ini teori yang akan menggunakan teori motivasi kebutuhan

    berprestasi dari Mc.Clelland, karena motivasi belajar dipengaruhi oleh motivasi

    seseorang untuk meraih prestasi. Seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk

    meraih prestasi akan berusaha melakukan yang terbaik demi mencapai tujuannya.

    Motivasi merupakan pembangkit semangat belajar, oleh karena itu motivasi

    memiliki fungsi penting yang berperan dalam proses pembelajaran. Adapun fungsi

    motivasi belajar menurut Hamalik (2009: 175) yaitu: (1) memberikan dorongan

    agar timbul suatu perbuatan, karena tanpa motivasi perbuatan seperti belajar tidak

    akan timbul; (2) pemberi arah dari perbuatan kepada pencapaian tujuan yang

    diinginkan; dan (3) menggerakkan diri pada suatu pekerjaan yang hendak dilakukan

    secara cepat atau lambat sesuai dengan tujuan. Sejalan dengan pendapat tersebut,

    Sardiman (2012: 85) mengemukakan fungsi motivasi belajar sebagai berikut: (1)

    memberikan dorongan untuk berbuat, dalam hal ini motivasi merupakan motor

    penggerak dari hal-hal yang akan dilakukan; (2) menentukan arah pekerjaan yang

    akan dilakukan, motivasi memberikan arah kepada tujuan yang ingin dicapai; dan

    (3) memberi seleksi pada perbuatan, dalam hal ini motivasi sebagai penentu

    kegiatan yang harus dikerjakan dalam mencapai tujuan.

    Motivasi mampu membuat seseorang melakukan usaha yang lebih banyak

    lagi demi mencapai tujuan. Oleh karena itu Hanafiah dan Suhana (2010: 26)

    menuliskna 4 fungsi motivasi belajar, yaitu:

    1. Motivasi berfungsi sebagai alat pendorong terjadinya perbuatan seperti

    belajar bagi beserta didik;

    2. Motivasi berfungsi sebagai alat yang mampu memberikan

    pengaruhterhadap prestasi belajar siswa;

    3. Motivasi menjadi alat yang memberikan tanggung jawab terhadap

    tujuan yang akan dicapai; dan

    4. Motivasi berfungsi sebagai alat pembangun makna system

    pembelajaran yang lebih baik.

  • Universitas Sriwijaya

    18

    Motivasi belajar yang ada pada diri peserta didik akan menentukan tingkat

    prestasinya. Oleh karena itu, membuat motivasi belajar siswa meningkat menjadi

    hal yang harus dilakukan oleh guru guna menjadikan minat belajar peserta didik

    turut meningkat.

    2.1.7.2 Indikator Motivasi Belajar

    Seorang guru dituntut untuk mampu menumbuhkan, meningkatkan dan

    mempertahannkan motivasi belajar pseserta didiknya. Karena semakin tinggi

    motivasi belajar peserta didik maka harapan tercapainya tujuan pembelajaran secara

    optimal akan meliliki peluang yang semakin besar. Untuk mengetahui seberapa

    besar motivasi belajar peserta didik dapat dilihat dari ciri-ciri yang ada pada diri

    peserta didik tersebut. Adapun ciri-ciri motivasi belajar menurut Sardiman (2012:

    83) yaitu:

    1. Tekun menghadapi tugas (sehingga mampu bekerja dalam waktu yang lama tanpa henti sebelum selesai).

    2. Ulet menghadapi kesulitan (tidak berputus asa). 3. Menunjukan minat terhadap berbagai macam masalah. 4. Lebih senang bekerja mandiri. 5. Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin (hal-hal yang bersifat

    mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif).

    6. Dapat mempertahankan pendapatnya (begitu sudah yakin pada sesuatu)

    7. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini. 8. Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.

    Motivasi dapat dilihat dari kecenderungan seseorang alam bertindak.Untuk

    dapat mengukur motivasi belajar dapat digunakan indikator-indikator motivasi.

    Indikator pencapaian motivasi belajar dalam penelitian ini merujuk kepada teori

    motivasi berprestasi yang disampaikan oleh Mc.Clelland (dalam Rozali, 2013) yang

    dikutip dari (http://download.portalgaruda.org)yaitu sebagai berikut:

    1. Keiginan untuk menjadi yang terbaik. Tinggimya motivasi berprestasi

    seseorang membuat dirinya senantiasa menunjukkan hasil kerja yang

    terbaik.

    2. Umpan balik. Seseorang dengan motivasi yang tinggi sangat menyukai

    umpan balik karena sangat berguna bagi perbaikan bagi hasil kerja

    mereka.

    http://download.portalgaruda.org/

  • Universitas Sriwijaya

    19

    3. Kreatif dan inovatif. Sesorang dengan motivasi yang tinggi tidak

    menyukai pekerjaan rutin yang dilakukan berulang dari waktu ke waktu

    mereka akan mencari cara menyelesaikan tugas dengan kreatif, efektif

    dan efisien.

    4. Waktu penyelesaian tugas. Sesorang dengan kebutuhan berprestasi

    yang tinggi akan berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan secepat

    mungkin.

    5. Tanggung jawab. Seseorang dengan motivasi yang tinggi akan merasa

    bahwa diri nya memiliki tanggung jawab pada tugas yang diberikan dan

    akan terus berusaha menyelesaikannya.

    Motivasi membutuhkan rangsangan untuk dapat tumbuh, bertambah bahkan

    bertahan dalan suatu kondisi yang diinginkan. Seorang anak yang memiliki

    motivasi untuk belajar akan berusaha belajar dengan tekun , dengan harapan

    mendapatkan hasil yang maksimal.

    2.2 Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)

    2.2.1 Latar Belakang PPKn

    Pancasila merupakan dasar filsafat Negara Republik Indionesia yang

    disahkan secara resmi pada tanggal 18 Agustua 2945 oleh PPKI. Pancasila

    berdasarkan asal kata (etimologis) berasal dari bahasa sansekerta, yaitu Pancasyila

    yang mengandung dua macam arti, yaitu panca artinya lima, dan syilla artinya

    dasar, batu alas atau sendi sehingga pancasyila memiliki arti lima dasar (Setijo,

    2010: 15). Sebagai Bangsa Indonesia yang setia, kita sudah seharusnya mempelajari

    Pancasila dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Menurut

    Bakri (2010: 3) pendidikan Pancasila mengembangkan pendidikan kepribadian

    yang harus melestarikan perenungan bangsa dan mengamalkan nya baik pada masa

    jaya maupun pada masa derita.

    Pendidikan Pancasila bertujuan menghasilkan peserta didik yang berlaku

    dan memiliki kemampuan mengambil sikap yang bertanggung jawab, mengenali

    masalah hidup, mengenali perubahan dan perkembangan ilmu dan teknologi serta

    memiliki kemampuan untuk memaknai sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa

  • Universitas Sriwijaya

    20

    (Kaelan, 2008: 15). Selain itu, menurut Syarbaini (2012: 7) Pendidikan Pancasila

    mengarahkan perhatian pada moral yang diharapkan terwujud dalam kehidupan

    sehari-hari, yaitu perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

    memiliki sikap kemanusiaan, berkebudayaan, dan perilaku yang mendukung

    kerakyatan yang mendukung kepentingan bersama serta mengatasi segala persoalan

    dengan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan SK Dirjen

    DIKTI No. 43/DIKTI/KEP/2006, dinyatakan pendidikan kewarganegaraan

    berbasis Pancasila, maka pendidikan kewarganegaraan didukung oleh Pancasila.

    Kewarganegaraan disebut Civicus dalam Bahasa Latin. Kata Civicus sendiri

    diserap kedalam Bahasa inggris menjadi Civicyang berarti mengenai warga negara

    atau kewarganegaraan. Kata Civic kemudian melahirkan kata Civic yang berarti

    ilmu kewarganegaraan dan Civic Education yang berarti pendidikan

    kewarganegaraan (Bastari dkk, 2010: 4).

    Pendidikan kewarganegaraan telah dilakukan serta dikembangkan diseluruh

    dunia dengan berbagai istilah berbeda, yang memiliki peran sangat strategis dalam

    mempersiapkan warganegara yang cerdas , bertanggung jawab dan berkeadaban

    (Kaelan dan Zubaidi, 2010: 1).

    Warganegara yang cerdas, bertanggung jawab dan berkeadaban hanya dapat

    diciptakan dengan sarana kegiatan pendidikan, hal ini bisa berupa pendidikan

    Pancasila dan kewarganegaraan. Melalui pendidikan Pancasila dan

    kewarganegaraan, warga negara Indonesia diharapkan mampu memahami,

    menganalisis dan menjawab permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa,

    serta negara secara berkelanjutan dan konsisten sesuai dengan cita-cita bangsa dan

    tujuan nasional bangsa Indonesia (Sumarsono dkk, 2006: 7).

    2.2.2 Tujuan PPKn

    Tujuan pendidikan Pacncasila dan kewarganegaraan (PPKn) dapat dilihat

    secara umum dan secara khusus. Secara umum tujuan PPKn seperti yang dituliskan

    oleh Bastari dkk (2010: 1-2) sbagai berikut:

    a. Membentuk warganegara yang baik dan cerdas yang mampu mendukung pembangunan juga kelangsungan bangsa dan negara.

    Konsep good citizenship tentunya amat tergantung dari pandangan

    hidup dan sistem politik negara yang bersangkutan.

  • Universitas Sriwijaya

    21

    b. Memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan antar warga negara dengan negara serta

    Pendidikan Pendahuluan Bela Negar agar menjadi warga negara yang

    dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

    Selain itu, menurut Zamroni dan tim ICCE UIN (dalam Bastari, 2010: 5)

    “PPKn adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan

    masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis”. Oleh karena itu dapat Peneliti

    simpulkan bahwa PPKn bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang baik dan

    cerdas, dapat berpikir kritis dan mampu bertindak secara demokratis sehingga

    menjasi warganegara yang berkarakter sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD

    1945.

    2.2.3 Kompetensi yang Diharapkan dari PPKn

    Kompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakan cerdas yang penuh

    dengan rasa tanggung jawab yang harus dimiliki agar seseorang mampu

    melaksanakan tugas-tugasnya dalam bidang pekerjaan tertentu. Sedangkan

    kompetensi PPKn merupakan seperangkat tindakan cerdas dan rasa tanggung

    jawab seorang warga negara dalam hubungan dengan negara serta mampu

    memecahkan berbagai permasalahan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan

    bernegara (Sumarsono dkk, 2010: 6).

    Sikap mental yang cerdas dan bertanggung jawab dari peserta didik

    merupakan sebuah bukti keberhasilan pendidikan kewarganegaraan. Sikap ini

    disertai dengan perilaku seperti yang diungkapkan oleh Bastari dkk, (2010: 2)

    sebagai berikut:

    a. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan menghayati nilai-nilai falsafah bangsa;

    b. Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam masyarakat, berbangsa, dan bernegara;

    c. Rasional, dinamis, dan sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara;

    d. Sersifat profesional yang dijiwai oleh kesadaran bela negara sebagai warga negara; serta

    e. Aktif memanfaatkan ipteks untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa dan negara.

  • Universitas Sriwijaya

    22

    Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keberhasilan PPKn

    dapat dilihat dari sikap dan perilaku peserta didik yang beriman, bertaqwa, berbudi

    pekerti luhur serta aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

    2.3 Materi Memahami Kedudukan dan Fungsi Pancasila

    Memahami kedudukan dan fungsi Pancasila merupakan materi

    pembelajaran yang diajarkan untuk jenjang SMP/MTs pada kurikulum 2013 yang

    dirancang untuk menghasilkan siswa yang memiliki keimanan dan akhlak mulia

    sebagaimana diarahkan oleh Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia

    sehingga dapat berperan sebagai warga Negara yang efektif dan bertanggung jawab.

    Materi ini memuat sejumlah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dengan

    implikasinya yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari sehingga diharapkan dapat

    mendorong siswa menjadi warga Negara yang baik melalui kepeduliannya terhadap

    permasalahan dan tantangan yang dihadapi masyarakat sekitarnya.

    Kompetensi yang dihasilkan bukan lagi terbatas pada kajiannya, tetapi lebih

    ditekankan pada pembentukan sikap dan tindakan nyata yang harus mampu

    dilakukan oleh setiap siswa. Menurut Oesman dan Alfian (dalam Depdiknas, 2005:

    6) Ideologi itu berintikan serangkaian nilai (norma) dasar yang bersifat menyeluruh

    dan mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh suatu masyarakat atau bangsa

    sebagai wawasan atau pandangan hidup mereka.Oleh karena itu, Pancasila menjadi

    tema yang paling banyak dibicarakan.

    2.4 Penelitian Pengembangan

    Metode penelitian dan pengembangan atau dalam Bahasa Inggrisnya

    Research and Developmentadalah suatu metode penelitian yang digunakan untuk

    menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono,

    2015: 407). Selain itu, menurut Borg & Gall (dalam Setyosari, 2015: 276) penelitian

    pengembangan merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengembangkan

    suatu produk pendidikan dan memvalidasinya.

    Produk dari penelitian pengembangan harus memenuhi tiga kriteria, seperti

    yang disebutkan oleh Nieveen (dalam Akker dkk, 1999: 10 ) ketiga kriteria tersebut

    adalah : (1) Valid; (2) Praktis; dan (3) Efektif. Pada penelitian ini, kualitas dari

  • Universitas Sriwijaya

    23

    produk akan diukur dengan: (1) Validasi pakar atau ahli (expert) dan teman sejawat

    yang berisikan validasi isi (content), konstruk dan Bahasa; (2) kepraktisan produk

    berarti apabila perangkat pembelajaran dapat diterapkan oleh guru sesuai dengan

    perencanaan dan mudah dipahami oleh siswa; (3) keefektifan dapat dilihat dari hasil

    penilaian autentik yang meliputi penilaian terhadap proses pembelajaran dan hasil

    belajar siswa.

    2.4.1 Model-model Pengembangan

    Pelaksanakanperangkat pembelajaran membutuhkan model pengembangan

    yang sesuai dengan sistem pendidikan yang dilaksanakan (Sudjana dalam Trianto,

    2010: 178). Sehubungan dengan pendapat tersebut, ada beberapa model

    pengembangan, diantaranya adalah sebagai berikut:

    2.4.1.1 Model Pengembangan Dick, Carey and Carey

    Model Dick, Carey and Carey (Prawiradilaga, 2012: 36) menekankan aspek

    revisi atau perbaikan pembelajaran menyeluruh dari PBM. Dalam hal ini, revisi

    dilakukan dalam batas tugas seorang pengajar. Model ini memiliki 10 langkah

    dengan urutan sebagai berikut:

    1. Merumuskan tujuan kurikuler;

    2. Melaksanakan analisis pembelajaran;

    3. Mengidentifkasi karakteristik siswa;

    4. merumuskan tujuan kinerja/pembelajaran;

    5. mengembangkan assessment belajar;

    6. pengembangan strategi pengajaran;

    7. mengembangkan dan memilih materi pembelajaran;

    8. mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif;

    9. mendesain dan melaksanakan evaluasi sumatif;

    10. revisi pengajaran

    2.4.1.2 Model Pengembangan 4-D

    Pengembangan model 4-D memiliki 4 tahap sesuai dengan namanya, yaitu

    define, desain, develop, dan disseminate atau diadaptasi menjadi 4-P, yaitu

    pendefinisian, perancangan, pengembangan, dan penyebaran (Trianto, 2010: 189).

  • Universitas Sriwijaya

    24

    2.4.1.3 Model Pengembangan ADDIE

    Model pengembangan dari Analysis, Design, Development or Production,

    Implementation or Delivery, and Evaluationsatau disingkat ADDIE. Model ADDIE

    dapat digunakan untuk mengembangkan macam-macam bentuk pengembangan

    produk seperti model, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, media, dan

    bahan ajar. Dua orang pakar yang turut mengembangkan konsep ADDIE adalah

    Reiser dan Molenda. Molenda menyatakan bahwa revisi dapat terjadi terus menerus

    dalam setiap tahap yang dilalui walaupun tidak dinyatakan secara jelas

    (Prawiradilaga, 2012: 21).

    Model ADDIE dipilih pada penelitian ini karena model ini merupakan

    model desain pembelajaran yang berorientasi produk. Model ADDIE dapat

    digunakan untuk mengembangkan berbagai produk, seperti model, strategi

    pembelajaran, metode pembelajaran, media dan bahan ajar (Wiyani, 2013: 37).

    2.5 Teori Evaluasi Formatif Tessmer

    Penelitian pengembangan difokuskan pada 2 tahap, yaitu tahap preliminary

    dan tahap formatif evaluation yang meliputi self evaluation, prototyping (expert

    review, one-to-one, and small g roup), serta field test (Tessmer, 1998: 15). Adapun

    desain evaluasi formatif Tessmer dapat digambarkan sebagai berikut:

    Bagan 2.1 Alur Desain Evaluasi Formatif

    Sumber: Tessmer (1998: 16)

    Self

    Evaluation

    Expert Review

    One-to-one

    Small

    Group

    Field

    Test

    Rev

    ise?

    Revise Revise

  • Universitas Sriwijaya

    25

    2.6 Kerangka Berfikir

    Kerangka berfikir merupakan penjelasan sementara mengenai objek

    permasalahan pada penelitian yang akan dilakukan serta menghubungkan antara

    teori dengan berbagai masalah penting yang akan diteliti. Dalam penelitian ini

    Peneliti ingin mencoba mengatasi permasalahan siswa, yaitu keterbatasan bahan

    ajar PPKn yang terbatas pada bahan ajar cetak berupa buku paket yang dipinjamkan

    dan digunakan untuk proses belajar mengajar yang terkadang menggunakan

    metode ceramah dan diskusi secara berulang. Adapun kerangka berfikir untuk

    penelitian inidigambarkan sebagai berikut:

    Bagan 2.2 Kerangka Berfikir

    Sumber: data primer, diolah tahun 2017

    Proses Belajar Mengajar di Kelas

    Analisis Kebutuhan Siswa

    Dihasilkan Modul Berbasis Masalah pada Mata Pelajaran PPKn Materi

    Memahami Kedudukan dan Fungsi Pancasila untuk Siswa SMP yang

    Valid dan Praktis

    Siswa belajar menggunakan Modul Berbasis Masalah pada Mata

    Pelajaran PPKn Memahami Kedudukan dan Fungsi Pancasila untuk

    Siswa SMP yang Valid dan Praktis

    Hambatan

    Bahan Ajar

    Buku teks

    Buku tugas

    Majalah ilmiah

    Modul

    Jurnal

    LKS

    Pengembangan Modul Berbasis Masalah pada Mata Pelajaran PPKn

    Materi Memahami Kedudukan dan Fungsi Pancasila untuk Siswa SMP

  • Universitas Sriwijaya

    26

    2.7 Alur Penelitian

    Selain kerangka berfikir, terdapat pula alur penelitian untuk melihat

    langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan. Tahapan pengembangan produk

    digambarkan sebagai berikut:

    Bagan 2.3 Alur Penelitian

    Sumber: data primer diolah, tahun 2019

    Analisis masalah dan kebutuhan

    Analisis karakteristik siswa

    Analisis bahan ajar Merancang materi

    Merumuskan tujuan instruksional

    Menentukan format

    Membuat instrument uji validitas

    Membuat instrument kuisioner

    analisis

    Desain

    Development

    (membuat draft modul)

    Draft modul

    Implemtation and evaluation

    Self evaluation

    Revisi

    Prototype 1

    Expert review One-to-one

    Revisi Valid Praktis

    Prototype II

    Small group

    Praktis

    Prototype III

    Field test Produk valid, praktis, dan

    memiliki efek potensial

    Revisi

    ADDIE

    TESSMER

    Ya

    Tidak Tidak

    Ya

    Ya

    Tidak