bab ii teori dan perumusan hipotesis a. tinjauan...
TRANSCRIPT
9
BAB II
TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian tentang kemiskinan di berbagai daerah telah
dilakukan oleh sejumlah peneliti antara lain:
Penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto (2010) dengan judul “Analisis
Pengaruh PDRB, Pendidikan dan Pengangguran terhadap Kemiskinan
Kabupaten/Kota di Jawa Tengah”. Tulisannya menganalisis mengenai
pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen.
Diperoleh hasil penelitian yakni PDRB berpengaruh negatif dan tidak
signifikan terhadap kemiskinan di Jawa Tengah. Pendidikan juga berpengaruh
negatif namun signifikan terhadap Kemiskinan di Jawa Tengah. Sedangkan
variabel pengangguran berpengaruh negatif namun signifikan terhadap
kemiskinan di Jawa tengah.
Selanjutnya penelitian oleh Yudha (2013) yang mempunyai judul
“Pertumbuhan Ekonomi, Upah Minimum, Tingkat Pengangguran Terbuka dan
Inflasi”. Penelitian ini membahas mengenai pengaruh Pertumbuhan ekonomi,
Upah minimum, Pengangguran terbuka dan Inflasi terhadap Kemiskinan di
Indonesia tahun 2009-2011.
Hasil yang didapatkan adalah bahwa Pertumbuhan ekonomi berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap kemiskinan di Indonesia. Upah minimum
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan di Indonesia.
Pengangguran terbuka mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
10
kemiskinan. Inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan di
Indonesia.
Penelitian dilakukan Nugroho (2015) dengan judul “Pengaruh PDRB,
Tingkat Pendidikan dan Pengangguran terhadap Kemiskinan di Kota
Yogyakarta”. Tulisannya membahas mengenai pengaruh beberap variabel
independen terhadap variabel dependen yaitu kemiskinan.
Dengan menggunakan analisis regresi, penelitian ini menemukan hasil
bahwa PDRB berpengaruh negatif terhadap kemiskinan dikarenakan setiap
kenaikan PDRB tidak dibarengi dengan kenaikan jumlah kemiskinan.
Pendidikan juga berpengaruh negatif terhadap kemiskinan, yang berarti bahwa
tidak hanya dengan pendidikan akan dapat mengurangi tingkat kemiskinan di
Kota Yogyakarta. Sedangkan variabel pengangguran berpengaruh positif
dimana setiap kenaikan jumlah orang yang menganggur maka juga akan
mempengaruh kenaikan jumlah orang miskin.
B. Teori dan Kajian Pustaka
1. Kemiskinan
Dalam arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan
kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam
arti luas, (Chambers dalam Suryawati, 2005 pada Prasetyo, 2010:18)
mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang
memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan
(powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of
11
emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan
(isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara (Chambers dalam
Prasetyo, 2010:18), pemahaman utamanya mencakup:
a. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan
pangan sehari-hari, sandang, perumahan, pelayanan kesehatan.
Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan
barang-barang dan pelayanan dasar.
b. Gambaran tentang kebutuhan sosial termasuk keterkucilan sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam
masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan
sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang
ekonomi.
c. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang
memadai. Makna memadai di sini sangat berbeda-beda melintasi
bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan garis
kemiskinan atau jumlah rupiah untuk konsumsi orang perbulan. Definisi
menurut UNDP (dalam Cahyat 2007: 2), kemiskinan adalah suatu situasi
dimana seseorang atau rumah tangga mengalami kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan dasar, sementara lingkungan pendukungnya kurang
memberikan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan secara
12
berkesinambungan atau untuk keluar dari kerentanan. Pada dasarnya
definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
a. Kemiskinan absolut
Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat
pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok
atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk
hidup secara layak.
Dengan demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan
tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan
untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan
perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya.
Bank dunia mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai hidup
dengan pendapatan di bawah USD $1/hari dan kemiskinan menengah
untuk pendapatan di bawah $2/hari.
b. Kemiskinan relatif
Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada
orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya
tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya
(lingkungannya).
Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan
golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula
jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga
13
kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi
pendapatan.
Todaro (1995: 37) menyatakan bahwa variasi kemiskinan di
negara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1)
luasnya negara, (2) perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh negara
yang berlainan, (3) perbedaan kekayaan sumber daya alam dan
kualitas sumber daya manusianya, (4) relatif pentingnya sektor publik
dan swasta, (5) perbedaan struktur industri.
Badan Pusat Statistik (2016), mengartikan kemiskinan sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi
penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran
perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Sedangkan garis kemiskinan
merupakan penjumlahan dari garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis
kemiskinan non makanan (GKNM). Garis Kemiskinan Makanan (GKM)
merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang
disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Sedangkan Garis
Kemiskinan Non Makanan (GKNM) diartikan sebagai kebutuhan
minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan, (BPS
2017).
2. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan Ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita
dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi disini meliputi tiga aspek
yaitu (i) Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses (aspek ekonomi),
14
suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. (ii)
Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan adanya kenaikan output
perkapita, dalam hal ini ada 2 aspek penting, yaitu: output total dan jumlah
penduduk. Output perkapita adalah output total dibagi dengan jumlah
penduduk. (iii) Pertumbuhan ekonomi dikaitkan dengan perspektif waktu,
suatu perekonomian dikatakan tumbuh bila dalam jangka waktu yang
cukup lama (lima tahun) mengalami kenaikan output perkapita. Suatu
perekonomian dapat dikatakan mengalami pertumbuhan jika kegiatan
ekonomi lebih tinggi daripada yang dicapai sebelumnya (Boediono, 1999).
Adanya pertumbuhan ekonomi mengindikasikan semakin banyaknya
orang yang bekerja. Penduduk yang masih menganggur akan memperoleh
peluang bekerja yang lebih besar, dan di sisi lain, para pekerja yang sudah
bekerja tapi dengan gaji yang rendah, dapat mencari pekerjaan lain dengan
pendapatan yang lebih besar. Pada akhirnya, para penduduk miskin
berpendapatan rendah akan berkurang jumlahnya (Siregar dan
Wahyuniarti, 2008).
Pertumbuhan ekonomi adanya perluasan atau peningkatan dari gross
domestic product potensial atau output dari suatu negara. Samuelson, 1996
mengungkapkan bahwa ada empat faktor pertumbuhan ekonomi,
diantaranya:
a. Sumber daya manusia yaitu tenaga kerja, ketrampilan, pengetahuan dan
disiplin kerja. Faktor ini merupakan faktor penting dalam pertumbuhan
ekonomi.
15
b. Sumber daya alam. Faktor produksi kedua adalah tanah. Sumber daya
yang penting disini adalah tanah yang dapat ditanami, gas dan minyak,
hutan, air dan bahan mineral lain.
c. Pembentukan modal. Akumulasi modal, seperti kita ketahui
membutuhkan pengorbanan konsumsi untuk beberapa tahun lamanya.
d. Perubahan teknologi dan inovasi. Sebagai tambahan bagi ketiga faktor
klasik tersebut, pertumbuhan ekonomi tergantung pada fungsi ke empat
yang vital yaitu teknologi.
3. Pendidikan (Angka Melek Huruf)
Pendidikan adalah pionir dalam pembangunan masa depan suatu
bangsa. Jika dunia pendidikan suatu bangsa sudah jeblok, maka
kehancuran bangsa tersebut tinggal menunggu waktu.
Pendidikan menyangkut pembangunan karakter dan sekaligus
mempertahankan jati diri manusia suatu bangsa. Sehingga, setiap bangsa
yang ingin maju maka pembangunan dunia pendidikan selalu menjadi
prioritas utama.
Banyak orang miskin yang mengalami kebodohan atau mengalami
kebodohan bahkan secara sistematis. Karena itu, menjadi penting untuk
memahami bahwa kemiskinan bisa mengakibatkan kebodohan dan
kebodohan jelas identik dengan kemiskinan. Untuk memutus rantai sebab
akibat diatas, ada satu unsur kunci yaitu pendidikan. Karena pendidikan
adalah sarana menghapus kebodohan sekaligus kemiskinan. Namun
ironisnya, pendidikan di Indonesia selalu terbentur oleh tiga realitas
(Winardi, 2010 dalam Wijayanto, 2007:26).
16
a. Kepedulian Pemerintah yang bisa dikatakan rendah terhadap
pendidikan yang harus kalah dari urusan yang lebih strategis yaitu
Politik. Bahkan, pendidikan dijadikan jargon politik untuk menuju
kekuasaan agar bisa menarik simpati di mata rakyat.
Jika melihat negara lain, ada kecemasan yang sangat mencolok
dengan kondisi sumber daya manusia (SDM) ini. Misalnya, Amerika
serikat. Menteri Perkotaan di era Bill Clinton, Henry Cisneros, pernah
mengemukakan bahwa dia khawatir tentang masa depan Amerika
Serikat dengan banyaknya penduduk keturunan Hispanik dan kulit
hitam yang buta huruf dan tidak produktif.
Menurut Marshal (dalam Tambunan, 1997) bahwa suatu bangsa tidak
mungkin memiliki tenaga kerja bertaraf internasional jika seperempat
dari pelajarnya gagal dalam menyelesaikan pendidikan menengah.
Kecemasan yang sederhana, namun penuh makna, karena masyarakat
Hispanik cuma satu diantara banyak etnis di Amerika Serikat. Dan di
Indonesia, dapat dilihat adanya pengabaian sistematis terhadap kondisi
pendidikan, bahkan ada kecenderungan untuk menganaktirikannya,
dan harus kalah dari dimensi yang lain.
b. Penjajahan terselubung. Di era globalisasi dan kapitalisme ini, ada
sebuah penjajahan terselubung yang dilakukan negara-negara maju
dari segi kapital dan politik yang telah mengadopsi berbagai dimensi
kehidupan di negara-negara berkembang.
17
Umumnya, penjajahan ini tentu tidak terlepas dari unsur ekonomi.
Dengan hutang negara yang semakin meningkat, badan atau
organisasi donor pun mengintervensi secara langsung maupun tidak
terhadap kebijakan ekonomi suatu bangsa.
Akibatnya, terjadilah privatisasi di segala bidang. Bahkan, pendidikan
pun tidak luput dari usaha privatisasi ini. Dari sini pendidikan semakin
mahal yang tentu tidak bisa di jangkau oleh rakyat. Akhirnya, rakyat
tidak bisa lagi mengenyam pendidikan tinggi dan itu berakibat
menurunnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Sehingga,
tidak heran jika tenaga kerja di Indonesia banyak yang berada di
sektor informal akibat kualitas sumber daya manusia yang rendah, dan
ini salah satunya karena biaya pendidikan yang memang mahal. Apa
lagi ditengah iklim investasi global yang menuntut pemerintah
memberikan kerangka hukum yang dapat melindungi Investor dan
juga buruh murah. Buruh murah ini merupakan hasil dari adanya
privatisasi (otonomi kampus), yang membuat pendidikan tidak lagi
bisa dijangkau rakyat. Akhirnya, terbentuklah link up sistem
pendidikan, dimana pendidikan hanya mampu menyediakan tenaga
kuli dengan kemampuan minim.
c. Kondisi masyarakat sendiri yang memang tidak bisa mengadaptasikan
dirinya dengan lingkungan yang ada. Tentu hal ini tidak terlepas dari
kondisi bangsa yang tengah dilanda krisis multidimensi sehingga
harapan rakyat akan kehidupannya menjadi rendah.
18
Bisa dikatakan, telah terjadi deprivasi relatif (istilah Karl Marx yang
di populerkan Ted R.Gurr) dalam diri masyarakat. Hal ini akan
berdampak pada kekurangannya respek terhadap dunia pendidikan,
karena mereka lebih mementingkan urusan perut daripada sekolah.
Akibatnya, kebodohan akan menghantui, dan kemiskinan pun akan
mengiringi. Sehingga, kemiskinan menjadi sebuah reproduksi sosial,
dimana dari kemiskinan akan melahirkan generasi yang tidak terdidik
akibat kurangnya pendidikan, dan kemudian menjadi bodoh serta
kemiskinan pun kembali menjerat.
Badan Pusat Statistik (2016) mengartikan Angka Melek Huruf
sebagai penduduk yang berusia 5 tahun keatas yang memiliki
kemampuan membaca dan menulis kalimat sederhana dalam huruf latin,
huruf arab dan huruf lainnua (seperti huruf jawa, kanji, dan sebagainya)
terhadap penduduk usia 15 tahun keatas. Angka melek huruf dapat
dirumuskan:
Dimana:
a = Jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas yang dapat
membaca dan menulis
b = Jumlah penduduk usia 15 tahun keatas
Angka melek huruf yang tinggi mengindikasikan bahwa adanya
sebuah sistem pendidikan dasar yang efektif dan atau program
keaksaraan yang memungkinkan sebagian penduduk untuk memperoleh
19
kemampuan menggunakan kata-kata tertulis dalam kehidupan sehari-hari
dan melanjutkan pembelajaran.
Semakin mendekati seratus persen berarti bahwa tingkat
pendidikan semakin baik. Hal inilah yang dibutuhkan dalam
pembangunan sebuah daerah, khususnya untuk menuntaskan angka
kemiskinan yang hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi
pemerintah daerah.
4. Pengangguran Terbuka
Pengangguran terbuka adalah persentase penduduk dalam angkatan
kerja yang tidak memiliki pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan.
(Badan Pusat Statistik). Masalah pengangguran yang menyebabkan
tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak
mencapai potensi maksimal yaitu masalah pokok makro ekonomi yang
paling utama (Nuramin dalam Kussetiyono, 2013: 43). Berdasarkan
pendekatan angkatan kerja, pengangguran terbagi menjadi tiga jenis,
yaitu:
a. Pengangguran friksional. Pengangguran jenis ini adalah pengangguran
yang muncul karena pencari kerja masih mencari pekerjaan yang
sesuai jadi ia menganggur bukan karena tidak ada pekerjaan.
Pengangguran ini tidak menimbulkan masalah, dan bisa diselesaikan
dengan pertumbuhan ekonomi.
b. Kedua, pengangguran struktural. Pengangguran struktural adalah
pengangguran yang muncul karena perubahan struktur dan komposisi
perekonomian. Pengangguran ini sulit diatasi karena terkait dengan
20
strategi pembangunan sebuah negara. Meskipun demikian,
pengangguran jenis ini bisa diatasi dengan melakukan pelatihan agar
tercipta tenaga kerja terampil.
c. Ketiga, pengangguran musiman. Pengangguran yang terjadi karena
faktor musim, misalnya para pekerja di industri yang mengandalkan
hidupnya dari pesanan. Pengangguran jenis ini juga tidak
menimbulkan banyak masalah. Meskipun belum ada bukti empirik
yang mendukung, pengangguran yang muncul karena keterpurukan
industri sebagian besar adalah pengangguran friksional dan struktural.
Pengangguran friksional yang muncul di Indonesia tidak karena
menganggur secara “sukarela” melainkan karena kondisi krisis
ekonomi (M. Kuncoro dalam Whisnu Adi, 2011: 40).
21
Pengangguran terbuka diartikan sebagai tenaga kerja yang benar-
benar tidak mempunyai pekerjaan (BPS 2016). Pengangguran terbuka
terdiri dari:
Gambar 2.1. Struktur Angkatan Kerja
Angkatan Kerja
Mencari
Pekerjaan
Pengangguran Terbuka Bekerja
Mempersiapkan
Usaha
Merasa tidak
mungkin
mendapatkan
pekerjaan
Sudah punya
pekerjaan tapi
belum mulai
bekerja
Sedang bekerja Sementara tidak
bekerja
Penduduk
Usia Kerja Bukan Usia Kerja
Bukan Angkatan Kerja
Sekolah Mengurus RT Lainnya
Sumber: Sadono Sukirno, 2000.
22
a. Penduduk yang tidak mempunyai pekerjaan dan sedang mencari
pekerjaan.
b. Penduduk yang tidak mempunyai pekerjaan dan sedang
mempersiapkan usaha.
c. Penduduk yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mencari
pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan.
d. Penduduk yang mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
5. Hukum Okun
Pada tahun 1962, Okun dalam artikelnya menyajikan dua hubungan
empiris yang menghubungkan tingkat pengangguran dan output riil, yang
kemudian dikenal menjadi Hukum Okun. Hingga saat ini, kedua
persamaan sederhana yang dikembangkan Okun telah digunakan sebagai
aturan praktis sejak saat itu.
Kedua hubungan Okun muncul dari pengamatan dimana lebih
banyak tenaga kerja biasanya diperlukan untuk menghasilkan lebih
banyak barang dan jasa dalam suatu perekonomian. Lebih banyak tenaga
kerja bisa diartikan dalam berbagai bentuk, seperti memiliki karyawan
yang bekerja lebih lama atau menyewa lebih banyak pekerja. Untuk
menyederhanakan analisis, Okun mengasumsikan bahwa tingkat
pengangguran dapat berfungsi sebagai pengganti variabel dari jumlah
tenaga kerja yang digunakan dalam perekonomian.
The difference version (Okun, 1962). Hubungan Okun yang
pertama mengungkap bagaimana perubahan dalam tingkat pengangguran
23
dari satu seperempat hingga berikutnya berpindah secara triwulanan
dalam output riil. Bentuk formulanya (Knotek, 2007):
Perubahan pada tingkat pengangguran = a + b * (pertumbuhan output Real)
Hubungan ini disebut difference version dari hukum Okun. Disini
Okun menemukan bahwa terdapat hubungan yang terjadi dalam waktu
yang bersamaan antara pertumbuhan output dan perubahan dalam
pengangguran yaitu, bagaimana output tumbuh bervariasi secara
bersamaan dengan perubahan dalam tingkat pengangguran. Parameter b
sering disebut sebagai "koefisien Okun".
The gap version (Okun, 1962). Pada hubungan okun yang pertama
didasarkan pada statistik makroekonomi mudah diakses, sedangkan
hubungan kedua Okun mengaitkan tingkat pengangguran dengan
kesenjangan antara output potensial dan output aktual. Dalam output
potensial, Okun berusaha untuk mengidentifikasi berapa banyak
perekonomian akan memproduksi "dalam kondisi full employment".
Dalam kondisi full employment, Okun mempertimbangkan apa yang dia
yakini bahwa tingkat pengangguran berada pada level cukup rendah
untuk menghasilkan sebanyak mungkin output tanpa menghasilkan
terlalu banyak tekanan inflasi.
Tingkat pengangguran yang tinggi, menurut Okun, biasanya akan
dikaitkan dengan sumber daya yang tidak terpakai. Dalam keadaan
24
seperti itu, yang akan terjadi adalah tingkat output aktual berada di
bawah kemampuan potensialnya. Tingkat pengangguran yang sangat
rendah akan dikaitkan dengan skenario terbalik. Dengan demikian
hubungan kedua dari Hukum Okun, atau gap version dari hukum Okun,
memiliki formula (Knotek, 2007):
Tingkat Pengangguran = c + d * (Gap antara output potensial dan output aktual)
Variabel c dapat diartikan sebagai tingkat pengangguran yang
terkait dengan full employment. Koefisien d akan bernilai positif agar
sesuai dengan persamaan diatas.
The dynamic version (Okun, 1962). Salah satu dari pengamatan
Okun menyatakan bahwa baik output masa lalu dan saat ini dapat
berdampak pada tingkat pengangguran saat ini. Dalam difference version
Hukum Okun, hal ini diartikan bahwa beberapa variabel yang relevan
telah dihilangkan dari sisi kanan dari persamaan. Sebagian didasarkan
pada saran dimana banyak dari ekonom lain untuk menggunakan versi
dinamis dari Hukum Okun. Bentuk umum untuk dynamic version Hukum
Okun akan menunjukkan pertumbuhan output riil, pertumbuhan output
riil masa lalu, dan perubahan dalam tingkat pengangguran sebagai
variabel di sisi kanan persamaan. Variabel ini akan menjelaskan
perubahan tingkat pengangguran yang terjadi saat ini pada sebelah kiri
persamaan. Dynamic version dari hukum Okun ini memberi ruang
25
beberapa kemiripan dengan difference version asli dari hukum Okun.
Namun, pada dasarnya tetap berbeda karena tidak hanya menangkap
korelasi yang terjadi secara bersamaan antara perubahan tingkat
pengangguran dan pertumbuhan output riil. Hubungan dinamis tidak
ketat terkait waktu terjadinya hubungan antara pertumbuhan output dan
perubahan tingkat pengangguran. Namun kelemahan dari versi ini adalah
bahwa hubungan antar variabel tidak dapat ditafsirkan secara sederhana
seperti difference version yang asli dari Hukum Okun.
C. Hubungan Antar Variabel
1. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator untuk melihat
keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat bagi pengurangan
tingkat kemiskinan. Syaratnya adalah hasil dari pertumbuhan ekonomi
tersebut menyebar di setiap golongan masyarakat, termasuk di golongan
penduduk miskin, Siregar dan Wahyuniarti (dalam Khabhibi, 2010: 46).
Penelitian yang dilakukan Yudha (2013: 65), menemukan bahwa terdapat
hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat
kemiskinan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat
kemiskinan. Hubungan ini menunjukkan pentingnya mempercepat
pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan tingkat kemiskinan.
2. Hubungan Pendidikan dengan Kemiskinan
Todaro (1994) menyatakan bahwa selama beberapa tahun, sebagian
besar penelitian dibidang ilmu ekonomi, baik di negara-negara maju
maupun di negara-negara sedang berkembang, menitik beratkan pada
26
keterkaitan antara pendidikan, produktifitas tenaga kerja, dan tingkat
output. Hal ini tidak mengherankan karena, sasaran utama pembangunan
di tahun 1950-an dan 1960-an adalah memaksimumkan tingkat
pertumbuhan output total. Akibatnya, dampak pendidikan atas distribusi
pendapatan dan usaha menghilangkan kemiskinan absolut sebagian besar
telah dilupakan. Selanjutnya Todaro (2000) menyatakan bahwa
pendidikan merupakan tujuan pembangunan yang mendasar. Yang mana
pendidikan memainkan peranan kunci dalam membentuk kemampuan
sebuah negara dalam menyerap teknologi modern dan untuk
mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan
yang berkelanjutan.
Menurut Simmons (dalam Todaro, 1994), pendidikan di banyak
negara merupakan cara untuk menyelamatkan diri dari kemiskinan.
Dimana digambarkan dengan seorang miskin yang mengharapkan
pekerjaaan baik serta penghasilan yang tinggi maka harus mempunyai
tingkat pendidikan yang tinggi. Tetapi pendidikan tinggi hanya mampu
dicapai oleh orang kaya. Sedangkan orang miskin tidak mempunyai
cukup uang untuk membiayai pendidikan hingga ke tingkat yang lebih
tinggi seperti sekolah lanjutan dan universitas. Sehingga tingkat
pendidikan sangat berpengaruh dalam mengatasi masalah kemiskinan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto (2010: 92), dihasilkan
bahwa pendidikan mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap
kemiskinan.
27
3. Hubungan Pengangguran Terbuka dengan Kemiskinan
Hubungan pengangguran dan kemiskinan sangat erat sekali, jika
suatu masyarakat sudah bekerja pasti masyarakat atau orang tersebut
berkecukupan atau kesejahteraanya tinggi, namun di dalam masyarakat
ada juga yang belum bekerja atau menganggur, pengangguran secara
otomatis akan mengurangi kesejahteraan suatu masyarakat yang secara
otomatis juga akan mempengaruhi tingkat kemiskinan. (Sukirno dalam
Yogatama, 2010:34), efek buruk dari pengangguran adalah mengurangi
pendapatan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi tingkat
kemakmuran yang dicapai seseorang. Semakin turunnya kesejahteraan
masyarakat karena menganggur tentunya akan meningkatkan peluang
mereka terjebak dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan.
Apabila pengangguran di suatu negara sangat buruk, kekacauan politik
dan sosial selalu berlaku dan menimbulkan efek yang buruk bagi kepada
kesejahteraan masyarakat dan prospek pembangunan ekonomi dalam
jangka panjang. Penelitian yang dilakukan Yudha (2013) menjelaskan
bahwa variabel pengangguran terbuka mempunyai pengaruh positif
terhadap kemiskinan.
4. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Pengangguran
Pengeluaran suatu negara atau dapat juga disebut dengan GDP
yang dapat digambarkan oleh pertumbuhan ekonomi dapat
mempengaruhi banyak tidaknya variabel pengangguran. Hubungan ini
dikenal dengan Hukum Okun yang dikemukakan oleh ekonom bernama
Arthur Okun. N. Gregory Mankiw (2006:248) mengemukakan bahwa
28
konsep Hukum Okun ini menjelaskan tingkat pengangguran memiliki
hubungan negatif dengan GDP riil. Peningkatan pengangguran
cenderung dikaitkan dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Ketika
tingkat pengangguran meningkat, maka pertumbuhan ekonomi cenderung
tumbuh lebih lambat atau bahkan akan menurun.
5. Hubungan Pendidikan dengan Pengangguran
Pendidikan merupakan modal bagi sumber daya manusia untuk
dapat meningkatkan kemampuan formal maupun keterampilan sehingga
akan memudahkan sumber daya manusia tersebut dalam mencari
pekerjaan yang diinginkan karena telah mempunyai kemampuan dan
daya saing yang tinggi. Dengan hal tersebut maka akan berakibat pada
pengurangan tingkat pengangguran. Pendidikan adalah suatu proses yang
bertujuan untuk menambah keterampilan, pengetahuan dan peningkatan
kemandirian maupun pembentukan kepribadian seseorang, (Arfida,
2003:77).
D. Kerangka Pemikiran
Tujuan perencanaan pembangunan yaitu untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang nantinya penting dalam mengurangi kemiskinan
dan penciptaan lapangan kerja, namun hingga saat ini kemiskinan masih
menjadi hal yang sulit diatasi. Hal ini merupakan permasalahan mendasar
dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah.
Pendidikan menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan
sebuah daerah. Dengan pendidikan yang baik pula maka sebuah masyarakat
akan menciptakan hal yang bermartabat sehingga mendongkrak daerahnya
29
untuk menjadi lebih baik. Pendidikan juga dapat digunakan sebagai penambah
pendapatan masyarakat. Pendidikan yang tinggi pula maka rata-rata
masyarakat akan dapat menerima pendapatan yang lebih tinggi daripada yang
memiliki pendidikan rendah. Pengangguran terbuka cenderung mempunyai
dampak negatif terhadap kemiskinan. Pengangguran terbuka diartikan sebagai
angkatan kerja yang tidak memiliki pekerjaan sama sekali, hal ini yang
membuat mereka tidak mempunyai penghasilan, akibatnya mereka tidak dapat
memenuhi kebutuhan sehingga dapat dikatakan sebagai golongan orang yang
miskin.
Dalam Kerangka pemikiran penelitian ini menyebutkan bahwa
kemiskinan dipengaruhi oleh variabel pembangunan ekonomi, antara lain
Pertumbuhan Ekonomi, Pendidikan dan Pengangguran Terbuka. Kemudian
variabel-variabel tersebut sebagai variabel independen (bebas) dan bersama-
sama, dengan variabel dependen (terikat) yaitu Kemiskinan yang diukur
dengan alat analisis regresi untuk mendapatkan tingkat signifikansinya.
Dengan hasil regresi tersebut diharapkan mendapatkan tingkat signifikansi
setiap variabel independen dalam mempengaruhi kemiskinan. Selanjutnya
tingkat signifikansi setiap variabel independen tersebut diharapkan mampu
memberikan gambaran kepada Pemerintah dan pihak yang terkait mengenai
penyebab kemiskinan di Jawa Timur untuk dapat merumuskan suatu kebijakan
yang relevan dalam upaya pengentasan kemiskinan.
30
E. Hipotesis
Hipotesis adalah pendapat sementara dan pedoman serta arah dalam
penelitian yang disusun berdasarkan pada teori yang terkait, dimana suatu
hipotesis selalu dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang menghubungkan
dua variabel atau lebih (Supranto, 1997) Hipotesis juga diartikan sebagai
jawaban sementara/kesimpulan yang diambil untuk menjawab permasalahan
yang diajukan dalam suatu penelitian yang sebenarnya masih harus diuji secara
empiris. Hipotesis yang dimaksud merupakan dugaan yang mungkin benar atau
mungkin salah.
Dengan mengacu pada dasar pemikiran yang bersifat teoritis dan
berdasarkan studi empiris yang pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian
dibidang ini, maka akan diajukan hipotesis sebagai berikut:
1. Diduga Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh negatif terhadap tingkat
kemiskinan.
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran
Pengangguran
Tebuka
Kemiskinan
Pertumbuhan
Ekonomi
Pendidikan