bab ii teori dan kajian pustaka a. tinjauan penelitian …eprints.umm.ac.id/42707/3/bab 2.pdf ·...
TRANSCRIPT
10
BAB II
TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Ada Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini
antara lain; Penelitian Harwanti (2009) menggunakan 2 alat analisis, analisis
regeresi berganda untuk mengetahui variabel yang paling dominan untuk
dijadikan moderating dan uji nilai seilisih mutlak untuk melihat perbedaan
nilai inflasi setelah dipengaruhi suku bunga SBI. Hasil menunjukkan bahwa
Uji F dan Uji t memiliki pengaruh signifikan antara inflasi, suku bunga
terhadap Harga Saham dan didapat pengaruh yang lebih besar ketika inflasi
dipengaruhi suku bunga sebagai moderating yaitu sebesar 22,7%.
Penelitian Astuti et al. (2013) menyatakan bahwa tingkat suku SBI dan
nilai tukar (kurs) rupiah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG), inflasi berpengaruh negatif dan tidak
signifikan terhadap IHSG, sementara itu Indeks Nikei 225 dan Indeks Hang
Seng berpengaruh positif dan signifikan terhadap IHSG. Secara simulatan
terdapat perngaruh yang signifikan terhadap tingkat suku bunga SBI, nilai tukar,
Indeks Nikei 225 dan Indeks Hang Seng.
Witjaksono (2009), didalam penelitiannya menyatakan bahwa tingkat
suku bunga SBI berpengaruh negatif terhadap IHSG, harga minyak dunia
berpengaruh positif terhadap IHSG, harga emas dunia berpengaruh positif
terhadap IHSG, Kurs rupiah berpengaruh negatif terhadap IHSG, indeks
11
Nikkei225 berpengaruh positif terhadap IHSG, indeks Dow Jones berpengaruh
positif terhadap IHSG.
Hasil penelitian dari Zuhdi (2012) menunjukkan secara parsial, tingkat
Inflasi tidak berpengaruh terhadap IHSG, tingkat suku bunga SBI berpengaruh
positif terhadap IHSG, nilai kurs dollar (USD/IDR) berpengaruh negatif
terhadap IHSG, dan indeks Dow Jones (DJIA) berpengaruh positif terhadap
IHSG. Variabel yang paling dominan terhadap IHSG adalah tingkat suku
bunga SBI.
Penelitian Jayanti, Darmanto dan Sudjana (2014) menggunakan alat
analisis regresi linier berganda. Hasil uji t, menunjukkan bahwa secara parsial
tingkat inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap IHSG, tingkat suku bunga
SBI dan Nilai tukar Rupiah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IHSG,
indeks dow jones dan indeks KLSE berpengaruh positif dan signifikan
terhadap IHSG.
Penelitian Adisetiawan (2009) menunjukkan ada hubungan timbal
balik yang signifikan terhadap antara inflasi dan suku bunga SBI, tidak ada
hubungan timbal balik antara suku bunga SBI dengan Indeks Harga Saham
Gabungan, dan tidak ada hubungan timbal balik yang signifikan antara inflasi
dengan Indeks Harga Saham Gabungan. Hasil penelitian Firda (2015)
menunjukkan terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara tingkat inflasi
dan suku bunga SBI, secara parsial tingkat inflasi dan suku bunga SBI
berpengaruh signifikan terhadap IHSG.
12
B. Teori dan Kajian Pustaka
1. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Pergerakan Indeks Harga Saham sangat penting bagi para Investor.
Menurut Purwanta dan Hendy (2006:47) Indeks Harga Saham adalah
indikator yang dapat digunakan investor untuk mengetahui pergerakan
pasar. Indeks merupakan salah satu pedoman bagi investor untuk
melakukan investasi di pasar modal, khususnya saham yang berfungsi
sebagai indikator tren pasar. Menurut Sunariyah (2011:136) Indeks harga
saham merupakan deskripsi dari harga-harga saham pada suatu saat
tertentu maupun dalam periodisasi tertentu pula. Indeks harga saham
tersebut merupakan catatan terhadap perubahan-perubahan maupun
pergerakan harga saham sejak mulai pertama kali beredar sampai pada
suatu saat tertentu, dan penyajian indeks harga saham berdasarkan
satuan angka dasar yang telah disepakati.
Pergerakan nilai indeks akan menunjukkan perubahan situasi pasar
yang terjadi. Pasar yang sedang bergairah atau terjadi transaksi yang aktif
(bullish), ditunjukkan dengan indeks harga saham yang mengalami
kenaikan. Kondisi inilah yang biasanya menunjukkan keadaan yang
diinginkan. Keadaan stabil ditunjukkan dengan indeks harga saham yang
tetap, sedangkan yang lesu (bearish) ditunjukkan dengan indeks harga
saham yang mengalami penurunan. IHSG dapat dijadikan barometer
13
kesehatan ekonomi suatu negara dan sebagai dasar melakukan analisis
statistik atas kondisi pasar terakhir (current market).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menggunakan semua
perusahaan tercatat sebagai komponen perhitungan Indeks. Agar IHSG
dapat menggambarkan keadaan pasar yang wajar, Bursa Efek Indonesia
berwenang mengeluarkan dan atau tidak memasukkan satu atau beberapa
Perusahaan Tercatat dari perhitungan IHSG. Dasar pertimbangannya
antara lain, jika jumlah saham Perusahaan Tercatat tersebut yang dimiliki
oleh publik (free float) relatif kecil sementara kapitalisasi pasarnya cukup
besar, sehingga perubahan harga saham Perusahaan Tercatat tersebut
berpotensi mempengaruhi kewajaran pergerakan IHSG (idx.co.id).
Hari dasar untuk perhitungan IHSG adalah tanggal 10 Agustus 1982.
Pada tanggal tersebut, Indeks ditetapkan dengan Nilai Dasar 100 dan
saham tercatat pada saat itu berjumlah 13 saham (Jogiyanto, 2003:61).
Dasar perhitungan IHSG adalah agregat nilai pasar di seluruh saham
yang tercatat. Agregat nilai pasar adalah total dari perkalian setiap saham
yang tercatat dengan masing-masing harganya pada hari tersebut. Dalam
perhitungan indeks, IHSG menggunakan seluruh saham tercatat sebagai
komponen perhitungan indeks.
Rumus yang digunakan untuk menghitung Indeks Harga Saham
Gabungan adalah sebagai berikut (Jogiyanto, 2003:60):
𝐼𝐻𝑆𝐺𝑡 =𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑃𝑎𝑠𝑎𝑟
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐷𝑎𝑠𝑎𝑟× 100
14
Indeks harga saham menurut Darmadji dan Fakhruddin (2009:95),
merupakan indikator utama yang menggambarkan pergerakan harga
saham. Di pasar modal sebuah indeks diharapkan memiliki lima fungsi:
1) Sebagai indikator trend pasar
2) Sebagai indikator tingkat keuntungan.
3) Sebagai tolak ukur kinerja portofolio.
4) Memfasilitasi pembentukan portofolio dengan strategi pasif
5) Memfasilitasi berkembangnya produk derivatif.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan
Menurut Samsul (2015:201), faktor makroekonomi
mempengaruhi harga saham di pasar seperti tingkat inflasi, tingkat suku
bunga, peraturan perpajakan, kebijakan pemerintah, kurs valuta asing,
tingkat bunga pinjaman luar negeri, eknomi internasional, siklus eknomi,
paham ekonomi dan peredaran uang. Menurut Sjahrir (1997:58),
variabel ekonomi yang berpengaruh terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan adalah tingkat suku bunga domestik, yang diwakili oleh
tingkat inflasi, suku bunga SBI, dan nilai kurs.
Tandelilin (2001:48) mengatakan perubahan suku bunga akan
mempengaruhi harga saham secara terbalik, ceteris paribus. Artinya,
jika suku bunga meningkat, maka harga saham akan turun, ceteris
paribus, dan sebaliknya. Tinggi rendahnya suku bunga akan
memengaruhi investasi di pasar modal karena investor dapat
mengalihkan dana investasinya dalam bentuk simpanan bank dan
15
pembelian di pasar uang, sehingga akan berdampak pada merosotnya
Indeks Harga Saham Gabungan.
Meurut Alwi (2003:87) mengungkapkan bahwa Indeks Harga
Saham Gabungan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor
eksternal dan faktor Internal. Faktor eksternal diantaranya adalah
perubahan suku bunga, kurs valuta, inflasi, regulasi dan deregulasi
ekonomi yang di keluarkan oleh pemerintah, berbagai isu baik dari
dalam negeri atau luar negeri, serta gejolak politik dalam negeri. Faktor
internal diantaranya pengumuman laporan keuangan perusahaan, seperti
peramalan laba sebelum akhir tahun fiskal dan setelah akhir tahun fiskal,
earning per share (EPS) dan dividen per share (DPS), price earning ratio,
net profit margin, return on assets (ROA).
Menurut Sunariyah (2011:166) faktor yang mempengaruhi harga
sekuritas adalah tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga mempunyai
hubungan yang negatif dengan harga sekuritas, apabila suku bunga naik
maka harga sekuritas akan turun. Faktor selain tingkat suku bunga yaitu
laba perusahaan, kebijakan deviden, dan perubahan yang mendasar dalam
organisasi.
3. Inflasi
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa pengertian dari inflasi
adalah sebuah nilai ketika tingkat dari harga yang berlaku di dalam suatu
bidang ekonomi. Sebagai salah satu dari indikator di dalam melihat
kestabilitasian perekonomian satu wilayah tertentu, perkembangan harga
16
jasa dan barang pada umumnya dapat dihitung melalui indeks harga dari
para konsumen. Dengan demikian, angka inflasi amatlah mempengaruhi
besar kecilnya produksi suatu barang.
Inflasi dan perekonomian sangat saling berkaitan. Apabila tingkat
inflasi tinggi, sudah dipastikan akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi,
dimana akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Inflasi
dihubungkan dengan adanya kenaikan harga barang-barang dan jasa.
Pengukuran inflasi dapat dikaitkan dengan adanya Indeks Harga
Konsumen (IHK), dimana indeks tersebut mengukur harga rata-rata dari
barang tertentu seperti makanan, perumahan, sandang, dan aneka barang
dan jasa yang dibeli oleh konsumen. Kenaikan harga barang dan jasa
berarti berkurangnya nilai uang terhadap barang dan jasa saat itu.
Menurut Sukirno (2006: 302) bahwa tingkat inflasi yaitu persentase
kecepatan kenaikan harga-harga dalam satu tahun tertentu, biasanya
digunakan sebagai ukuran untuk menunjukkan sampai dimana buruknya
masalah ekonomi yang dihadapi. Dalam perekonomian yang pesat
berkembang, inflasi yang rendah tingkatnya dinamakan inflasi merayap
yaitu inflasi mencapai angka antara 2 – 4 persen. Sering sekali inflasi lebih
serius, dengan tingkat mencapai 5 sampai 10 persen atau lebih tinggi.
Rahardja dan Manurung (2008:165) menyatakan bahwa, Inflasi
adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus
menerus. Naiknya harga suatu barang dapat dikatakan sebagai gejala
inflasi jika kenaikan harga barang tersebut dapat memicu kenaikan harga
17
barang secara umum dan terus menerus dalam artian bukan hanya
sesaat.
Peningkatan biaya produksi lebih tinggi dari peningkatan harga yang
dapat dinikmati oleh perusahaan maka profitabilitas perusahaan akan turun.
Selain itu, inflasi yang meningkat menyebabkan penurunan daya beli
rupiah yang telah diinvestasikan. Risiko inflasi juga bisa disebut sebagai
risiko daya beli, jika Inflasi mengalami peningkatan, investor biasanya
menuntut tambahan premium inflasi untuk mengkompensasikan
penurunan daya beli yang dialaminya.
Menurut Tandelilin (2001:212) Inflasi yang tinggi akan berdampak
naiknya harga-harga secara umum, dan ini berdampak pada
melonjakkan biaya modal perusahaan, sehingga perusahaan akan
mengalami persaingan investasi yang artinya adanya kecenderungan
investor berinvetasi di pasar uang dan tentunya dapat mengakibatkan harga
saham di pasar modal mengalami penurunan secara signifikan. Sebaliknya
jika tingkat inflasi suatu negara mengalami penurunan, maka hal ini akan
menjadi sinyal yang positif bagi investor seiring dengan turunnya risiko
daya beli uang dan risiko penurunan pendapatan riil.
Boediono (2012:161) mengemukakan bahwa inflasi adalah
kecenderungan harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus
menerus. Artinya bahwa kenaikan tersebut tidak kepada barang tertentu
saja namun pada sebagian besar-barang. Dikenal, terdapat tiga jenis inflasi
yaitu: (1) tingkat keparahan inflasi, (2) penyebab timbulnya inflasi, dan
18
(3) asal mula terjadinya inflasi. Berdasarkan hasil pengukuran Indeks
Harga, Inflasi dibedakan menjadi empat tingkat, yaitu (Boedieono,
2012:162):
a. Inflasi ringan (dibawah 10% per tahun),
b. Inflasi sedang (antara 10-30% per tahun),
c. Inflasi berat (30-100% per tahun), dan
d. Hiper-inflasi (diatas 100% per tahun).
Inflasi adalah suatu variabel ekonomi makro yang dapat sekaligus
menguntungkan dan merugikan suatu perusahaan. Tandelilin (2001: 214)
melihat bahwa peningkatan inflasi secara relatif merupakan signal negatif
bagi pemodal di pasar modal. Hal ini dikarenakan peningkatan inflasi akan
meningkatkan biaya perusahaan. Jika peningkatan biaya produksi lebih
tinggi dari peningkatan harga yang dapat dinikmati oleh perusahaan,
maka profitabilitas perusahaan akan turun. Secara langsung, inflasi
mengakibatkan turunnya profitabilitas dan daya beli uang. Secara tidak
langsung inflasi mempengaruhi lewat perubahan tingkat bunga.
Inflasi yang didasarkan pada penyebab timbulnya inflasi terdiri
dari: inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat (demand
inflation) dan inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi (cost
inflation). Inflasi yang didasarkan pada asal mula terjadinya inflasi
terdiri dari inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)
dan inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation).
19
Menurut Bank Indonesia, inflasi dapat disebabkan oleh tiga hal yaitu
sebagai berikut:
a. Tarikan Permintaan (demand full inflation).
b. Dorongan Biaya (cost-push inflation)
c. Ekspektasi Inflasi (inflation expectation)
Menurut Sukirno (2002:303) faktor-faktor yang menimbulkan
inflasi dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
a. Inflasi tarikan permintaan
Inflasi tarikan permintaan terjadi apabila sektor perusahaan tidak
mampu dengan cepat melayani permintaan masyarakat di pasar.
Masalah akan kurangnya barang berlaku dan ini yang akan
mendorong naiknya harga-harga.
b. Inflasi desakan biaya
Inflasi desakan biaya adalah masalah kenaikan harga-harga yang
timbul akibat kenaikan biaya produksi. Bertambanya biaya produksi
akan mendorong perusahaan menaikkan harga, walaupun mereka
harus mengambil resiko akan menghadapi pengurangan permintaan
barang yang diproduksinya.
Menurut Murni (2006:206) dampak atau akibat yang ditimbulkan
oleh inflasi adalah sebagai beritkut:
a. Inflasi akan menurunkan pendapatan riil yang diterima oleh
masayrakat dan ini sangat merugikan orang-orang yang
berpenghasilan tetap.
20
b. Inflasi menimbulkan dampak buruk terhadap neraca pembayaran,
karena menurunnya ekspor dan meningkatnya impor menyebabkan
ketidaksengajaan terhadap aliran masuk ke luar negeri
c. Pada saat keadaan inflasi, pemilik modal lebih cenderung
menanamkan modalnya dalam bentuk pembelian tanah, rumah dan
bangunan. Pengalihan investasi ini menyebabkan kegiatan investasi
berkurang dan kegiatan ekonomi menurun.
d. Biaya produksi naik akibat inflasi, hal ini merugikan pengusaha dan
menyebabkan kegiatan investasi beralih pada kegiatan yang kurang
mendorong produk nasional.
e. Inflasi akan mengurangi nilai kekayaan berbentuk uang. Seperti
tabungan masyarakat di bank nilai riilnya akan menurun.
4. Tingkat Suku Bunga
Karl dan Fair (2001:635) mendefinisikan Suku Bunga adalah
pembayaran bunga tahunan dari suatu pinjaman, dalam bentuk persentase
dari pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga yang diterima tiap tahun
dibagi dengan jumlah pinjaman. Menurut Sunariyah (2011:80) suku bunga
adalah harga dari pinjaman. Suku bunga dinyatakan sebagai presentase
uang pokok per unit. Bunga merupakan suatu ukuran harga sumber daya
yang digunakan oleh debitur yang dibayarkan kepada kreditur.
Menurut Boediono (2012:4) suku bunga adalah harga dari
penggunaan dana investasi (loanable fund). Tingkat suku bunga
merupakan salah satu indikator dalam menentukan seseorang akan
21
melakukan investasi atau menabung. Pada umumnya ketika tingkat bunga
rendah, maka semakin banyak dana mengalir sehingga mengakibatkan
pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Begitu juga ketika tingkat bunga
tinggi, maka sedikit dana yang mengalir akan mengakibatkan
pertumbuhan ekonomi yang rendah. (Sundjaja dan Barlian, 2003:57).
Selain suku bunga internasional, tingkat diskonto suku bunga
Indonesia juga merupakan faktor penting dalam penentuan suku bunga di
Indonesia. Tingkat suku bunga atau interest rate merupakan rasio
pengembalian sejumlah investasi sebagai bentuk imbalan yang diberikan
kepada investor. Besarnya tingkat suku bunga bervariatif sesuai dengan
kemampuan debitur dalam memberikan tingkat pengembalian kepada
kreditur. Tingkat suku bunga tersebut dapat menjadi salah satu pedoman
investor dalam pengembalian keputusan investasi pada pasar modal.
Sebagai wahana alternatif investasi, pasar modal menawarkan suatu
tingkat pengembalian (return) pada tingkat resiko tertentu.
Investor dapat memutuskan bentuk investasi yang mampu
menghasilkan keuntungan yang optimal dengan membandingkan tingkat
keuntungan dan resiko pada pasar modal dengan tingkat suku bunga yang
ditawarkan sektor keuangan. Tingkat suku bunga sector keuangan yang
lazim digunakan sebagai panduan investor disebut juga tingkat suku bunga
bebas resiko (risk free), yaitu meliputi tingkat suku bunga bank sentral dan
tingkat suku bunga deposito.
22
Menurut Sukirno (2006:103), suku bunga adalah persentase
pendapatan yang diterima oleh kreditur dari pihak debitur selama interval
waktu tertentu. Perubahan tingkat suku bunga selanjutnya akan
mempengaruhi keinginan untuk mengadakan investasi, misalnya pada
surat berharga, dimana harga dapat naik atau turun tergantung pada tingkat
bunga, bila tingkat bunga naik maka surat berharga turun dan sebaliknya,
sehingga ada kemungkinan pemegang surat berharga akan menderita
capital loss atau capital gain.
Menurut Siamat (2005:455-456) Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
pada prinsipnya adalah surat berharga atas unjuk dalam rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu
pendek dan diperjual belikan dengan diskonto. Suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia merupakan suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral
untuk mengontrol peredaran uang di masyarakat, dengan kata lain
pemerintah melakukan kebijakan moneter.
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) di dalam Undang-Undang No. 13
Tahun 1968 tentang Bank Sentral disebutkan bahwa salah satu tugas Bank
Indonesia (BI) adalah sebagai otoritas moneter yang salah satunya adalah
operasi pasar terbuka. Dalam operasi pasar terbuka, BI dapat melakukan
transaksi surat berharga termasuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang
merupakan hutang berjangka waktu pendek.
Tingkat suku bunga SBI yang tinggi dilakukan untuk menyedot dana
dari masyarakat agar investasi dan konsumsi menurun, dan tesimpan di
23
perbankan. Hal tersebut biasanya dilakukan pada saat kondisi inflasi yang
tinggi dan nilai uang rendah sedangkan tingkat suku bunga SBI yang
rendah dilakukan agar investasi dan konsumsi menjadi bergairah dengan
demikian dana akan berputar dan dunia usaha berjalan. Penentuan tingkat
bunga haruslah memperhatikan tingkat inflasi yang terjadi.
Tingkat suku bunga SBI di pasar juga menentukan minat masyarakat
dalam menentukan pilihannya. Apabila tingkat suku bunga semakin tinggi,
maka pilihan investor dalam melakukan investasi akan semakin rendah.
Alasannya, karena investor akan menambah pengeluaran investasinya
apabila keuntungan yang diharapkan dari investasi yang lebih besar dari
tingkat suku bunga yang harus dibayar untuk dana investasi tersebut yang
merupakan biaya dari penggunaan dana, demikian pula sebaliknya.
Menurut Peraturan Bank Indonesia No 18/12/PBI/2016 tentang
Operasi Moneter, Sertifikat Bank Indonesia memiliki karakteristik sebagai
berikut:
a. Berjangka waktu sekurangnya 1 bulan dan paling lama 12 bulan,
yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung dari tanggal
penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh tempo
b. Diterbitkan dan diperdagangkan dengan system diskonto
c. Diterbitkan tanpa warkat (Scripless), artinya Sertifikat Bank
Indonesia yang diterbitkan tanpa adanya fisik Sertifikat Bank
Indonesia itu sendiri, dan bukti kepemilikan bagi pemegang Sertifikat
Bank Indonesia hanya berupa pencatatan elektronik
24
d. Dapat dipindah tangankan (negotiable),
5. Hubungan Inflasi, Suku Bunga SBI dengan Indeks Harga Saham
Gabungan.
Inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat
umum dan terus menerus (Rahardja dan Manurung, 2008:165). Tingkat
inflasi yang tinggi dapat menyebabkan daya beli masyarakat akan
mengalami penurunan dan terjadinya peningkatan harga faktor produksi.
Hal itu akan memicu jumlah uang yang beredar di masyarakat akan lebih
banyak. Samsul (2015:209) mengatakan, apabila ingin menekan inflasi
maka jumlah uang yang beredar harus dikurangi (tight money) dengan cara
menjual surat surat berharga (SBI). Jumlah uang beredar akan
mempengaruhi tingkat suku bunga yang pada gilirannya akan
mempengaruhi harga sekuritas.
Jumlah uang yang beredar meningkat, maka tingkat bunga akan
menurun dan harga saham naik sehingga pasar akan menjadi bullish, jika
tingkat suku bunga naik, harga saham akan turun dan pasar modal akan
dapat mengalami bearish (Samsul 2015:210). Mankiw (2000:158)
mengatakan menurut persamaan Fisher, kenaikan dalam tingkat inflasi
akan menyebabkan kenaikan dalam tingkat suku bunga. Hubungan ini
disebut hubungan satu untuk saatu anatara tingkat inflasi dan tingkat suku
bunga. Hal ini akan berdampak pada harga saham di pasar, dengan
menurunnya tingkat suku bunga, akan mendorong harga saham meningkat.
Investor akan mengalihkan investasinya dari perbankan ke pasar modal,
25
sehingga harga saham terdorong naik dan meningkatkan IHSG (Samsul,
2015:201).
C. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir ini menunjukkan bahwa adanya hubungan
langsung antara Inflasi terhadap suku bunga dan Indeks Harga Saham
Gabungan sedangkan suku bunga berhubungan langsung dengan Indeks
Harga Saham Gabungan. Hal ini ditunjukkan pada gambar kerangka
berfikir dibawah ini:
Indeks Harga Saham Gabungan merupakan variabel terikat yang
dipengaruhi oleh variabel bebas dan merupakan faktor ekstern yang
mempunyai pengaruh besar terhadap indeks harga saham gabungan (Z),
yaitu tingkat inflasi (X), dan suku bunga (Y) sebagai variabel mediasi.
D. Hipotesis
Hipotesis adalah proposisi hasil pemikiran atau pemahaman logis.
Hipotesis merupakan proposisi atau dugaan belum terbukti bahwa
tentatif menjelaskan fakta atau fenomena, serta kemungkinan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan penelitin. Dari teori diatas, peneliti
SBI
(Y)
INF
(X) IHSG
(Z)
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
26
merumuskan hipotesis sebagai kesimpulan sementara atas masalah-masalah
yang diajukan. Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini sebagai berikut:
H0: Tingkat Inflasi tidak berpengaruh terhadap suku bunga SBI
H1: Tingkat inflasi berpengaruh terhadap suku bunga SBI,
H0: Suku bunga SBI tidak terbukti menjadi mediator peranan Inflasi ke
Indeks Harga Saham Gabungan
H2: Suku bunga SBI terbukti menjadi mediator peranan Inflasi ke Indeks
Harga Saham Gabungan
H0: Tingkat Inflasi tidak berpengaruh terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan
H3: Tingkat Inflasi berpengaruh terhadap Indeks Harga Saham Gabungan.