bab ii peran perserikatan bangsa-bangsa dan …eprints.umm.ac.id/40466/3/bab ii.pdf · israel...
TRANSCRIPT
24
BAB II
PERAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DAN KETERLIBATAN
AMERIKA SERIKAT DALAM KONFLIK PALESTINA ISRAEL
Bab dua akan menjelaskan mengenai peran PBB terkait permasalahan pemukiman
Yahudi di kawasan Palestina. Peran PBB mampu dijelaskan dengan berbagai resolusi-
resolusi yang telah dikeluarkan. Selain itu bab II juga akan mengkaji mengenai
dinamika keterlibatan Amerika Serikat dalam forum PBB serta di luar forum PBB
terkait afinitas untuk menyelesaikan konflik Palestina Israel. Keterlibatan Amerika
Serikat ditandai dengan berbagai mediasi yang bertujuan untuk memperoleh proses
rekonsiliasi kedua belah pihak yang berseteru.
2.1 Peran Perserikatan Bangsa Bangsa Dalam Konflik Palestina-Israel
Konflik Palestina-Israel merupakan konflik yang kompleks antara dua bangsa
yang memiliki identitas berbeda. Berbagai latar belakang permasalahan yang
dipandang sangat luas memposisikan konflik ini dikenal sebagai konflik “never-
ending”.31 Bukan hanya dikategorikan sebagai konflik regional, konflik Palestina-
Israel telah merambah sebagai konflik global karena implikasinya yang besar terhadap
31Ingrid Baukhol, 2015, Security and Fear in Israeli and Palestinian Conflict Narrative, Thesis, Jurusan
Psikologi Univ. of Gotherburg School of Global Studies,hal. 6 sumber
https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/39985/4/gupea_2077_39985_4.pdf pada (5/30/2018, 1.30)
25
dunia internasional. PBB sebagai organisasi perdamaian global hadir, bertujuan untuk
meminimalisir permasalahan yang mampu berkembang.
PBB merupakan sebuah organisasi perdamaian internasional yang berfungsi
untuk memelihara terciptanya keamanan dunia. Cara yang digunakan untuk
menyelesaikan konflik yakni dengan sebisa mungkin menyelesaikannya dengan cara
damai. Konsepsi mengenai prosedur penciptaan kondisi damai telah dirancang dalam
lima prinsip dasar piagam PBB yang berbunyi sebagai berikut;32
Tertuang pada pasal 2 ayat 3 Bab VI dan VII Piagam yang membahas mengenai
prinsip untuk menyelesaikan permasalahan internasional dengan cara damai;
Kedua tertuang pada pasal 2 ayat 4 piagam terkait penggunaan cara-cara
kohesif dalam menyelesaikan konflik;
Pasal 39 yang membahas mengenai tanggung jawab apabila adanya suatu
ancaman;
Pasal 26 piagam dalam pasal ini PBB mengatur mengenai persenjataan;
Pasal 11 ayat 1 Piagam mengatur mengenai kerjasama yang berorientasi pada
pemeliharaan kondisi damai dunia.
Banyak upaya yang telah dilakukan oleh PBB untuk mewujudkan perdamaian
pada konflik Palestina-Israel. Upaya yang telah dilakukan masih belum mampu
32 Danial, Peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Dalam Proses Penylesaian Konflik
Internasional, Banten: Universitas Sultan Ageng Tritayasa.
26
mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak untuk tercapainya rekonsiliasi. Pada
realitanya organisasi PBB dipandang gagal sebagai organisasi perdamaian global
karena anggapan sebagai organisasi yang tidak mengikat.
Salah satu badan PBB yang berperan aktif dalam memelihara perdamaian
dunia atas permasalahan internasional merupakan DK PBB. DK PBB terdiri dari 15
anggota, yang dibagi atas 5 negara anggota tetap yakni Inggris, Amerika, Perancis,
Rusia dan Cina. 10 negara anggota tidak tetap dipilih untuk masa jabatan satu hingga
dua tahun. DK PBB merupakan badan terkuat di PBB yang bertugas menjaga
perdamaian dunia.33 Tidak menutup kemungkinan untuk badan-badan lain yang ada di
dalam tubuh PBB untuk memberikan sebuah rekomendasi atas suatu kasus yang sudah
jelas menjadi bagian dalam kinerja DK PBB. Berdasarkan prosedurnya pemilihan
ketua dalam DK PBB diganti setiap satu bulan sekali secara bergantian hal ini
diharapkan agar tidak adanya sifat bias.34 Kedudukan DK PBB yang disebut sebagai
salah satu badan terkuat, namun dalam realitanya DK PBB mendapatkan bantuan dari
staff militer yang diperoleh dari setiap negara anggota PBB lainnya.35
Berdasarkan prinsipnya DK PBB memiliki fungsi sebagai primary
responsibility dimana pada bagian ini DK PBB menjadi pemegang tanggung jawab
33 Bennedictus Mega Herlambang, 2016, Peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk Menghentikan Kejahatan Perang yang Dilakukan Para Pihak yang Bertikai dalam Konflik
Bersenjata di Suriah, Yogayakarta: Universitas Atma Jaya. 34 Susan Gustina, 2012, Peranan Dewan Keamanan PBB Dalam Penyelesaian Konflik Israel-Palestina
(Studi Kasus Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1860 Tahun 2009, Padang: Universitas Andalas. 35 Susan Gustina,Op.cit.
27
utama apabila terjadi sebuah konflik internasional. Hal ini menjadikannya jelas
perbedaan tanggung jawab antara Majelis Umum PBB dengan DK PBB secara
ekstenstif. DK PBB memiliki prinsip-prinsip yang jelas untuk menciptakan
mengupayakan perdamaian global. Diharapkan prinsip yang ada mampu menghindari
keputusan yang ditentukan secara semena-mena.
Menurut Narsif dalam bukunya Hukum Organisasi Internasional Dewan
Keamanan PBB memiliki beberapa kewenangan, sebagai berikut;
1. Berupaya agar PBB dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
2. Melaksanakan kewajiban yang bertujuan untuk menciptakan dan memelihara
perdamaian dunia;
3. Menyelesaikan sengketa internasional dengan cara damai;
4. Memiliki wewenang untuk menentukan tindakan atas suatu ancaman;
5. Keputusan dalam persenjataan;
6. Menyampaikan laporan tahunan kepada Dewan Majelis umum PBB.
Secara garis besar, upaya yang dilakukan DK PBB untuk mencapai tujuannya
dalam menjaga perdamaian dunia dapat diklasifikasikan ke dalam dua cara. Apabila
dunia internasional diposisikan dalam keadaan keos maka untuk memelihara
perdamaian dengan melakukan penyelesaian masalah secara damai berdasarkan bab VI
Piagam PBB. Tindakan yang dilakukan bisa berupa arbitrase, penyelesaian yudisial,
28
penyelidikan, dan penyelesaian masalah di bawah Majelis Umum PBB.36 Selain
menggunakan cara damai DK PBB juga dapat menggunakan cara kohesif yang tertuang
dalam bab VII Piagam PBB. Tindakan yang dilakukan bisa teraplikasi dalam berbagai
bentuk antara lain retorsi, reprisals, pasifik blokade, dan intervensi.37 Patut menjadi
perhatian adalah DK PBB tidak memiliki hak untuk menyelesaikan seluruh sengketa
internasional namun, DK PBB dapat melakukan investigasi apabila terdapat hal yang
mampu membahayakan kestabilitasan internasional.
Tidak ada ketentuan tertentu dalam pengajuan kasus ke dalam majelis DK PBB.
Persidangan dapat dilakukan setiap waktu apabila adanya permintaan dari Sekretaris
Jenderal, permintaan dari Majelis Umum, atau atas permintaan negara anggota DK
PBB itu sendiri apabila ada suatu kasus yang mengancam perdamaian dunia.38 Ketika
melakukan diskusi para anggota DK PBB memiliki satu suara dan juga hak veto atas
draf resolusi yang telah ditentukan. Untuk meloloskan suatu draft resolusi DK PBB
setidaknya harus mengantungi 14 suara dari anggota DK PBB dan tanpa adanya veto
dari lima negara anggota tetap.
Hak veto merupakan hak khusus yang diberikan kepada 5 negara anggota tetap
(Inggris, Amerika, Rusia, Perancis, Cina) dimana kelima negara ini merupakan 2
negara superpower dan 3 negara big power.39 Secara garis besar alasan yang
36 Danial, Op.cit. 37 Danial, Op.cit. 38 Susan Gustina,Op.cit. 39 Iyase et,al,2017, A Ctritique of Veto Power Systmen in The United Nations Security Council, Ota,
Covenant University, sumber
29
menjadikan kelima negara tersebut memiliki wewenang lebih dari pada anggota
lainnya, dikarenakan diperlukannya ketidak terbatasan dalam menentukan suatu
keputusan. Selain itu berdasarkan indikator power kelima negara ini merupakan lima
negara terkuat yang diharapkan mampu memiliki kemampuan lebih dalam menjaga
kestabilitasan internasional. Pemberian hak veto pada dasarnya menyimpang dari asas
PBB yang menyatakan equality among states yang tertuang pada pasal 2 ayat 1 piagam
PBB.40
Pembahasan terkait upaya penyelesaian konflik Palestina-Israel telah cukup
banyak dilakukan. Seperti mengeluarkan berbagai resolusi terkait permasalahan yang
dianggap melanggar aturan hukum internasional. Meskipu telah banyak resolusi-
resolusi yang telah tercipta dan juga keikutsertaan aktif yang telah ditunjukkan PBB
dalam konflik. PBB masih belum mampu menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah
institusi perdamaian internasional yang kuat. Melihat beberapa resolusi atau kebijakan-
kebijakan yang telah dibuat masih belum mampu berjalan secara efisien. Sampai
dengan tahun 2009 setidaknya terdapat 101 resolusi yang dikeluarkan oleh DK PBB
terkait permasalahan Israel dan Palestina. Terkait permasalahan ilegalnya pemukiman
Yahudi, DK PBB telah meloloskan tiga resolusi yakni resolusi nomor 446, resolusi
nomor 452 dan resolusi nomor 462. Pasca keluarnya resolusi nomor 462 pembahasan
http://eprints.covenantuniversity.edu.ng/9742/1/CRITIQUES%20OF%20VETOforCD.pdf hal.3
(1/3/2018, 10.10) 40 Narsif, Hukum Organisasi Internasional, Fakultas Hukum Padang, hlm. 64
30
terkait permasalahan maraknya pembangunan pemukiman Yahudi kerap mendapatkan
veto dan tidak mampu lolos.
Resolusi 446 merupakan resolusi pertama yang mengkaji permasalahan
pembangunan pemukiman Yahudi. Dikaji pada 22 Maret 1979 resolusi ini memiliki 14
aspek yang menjadi perhatian DK PBB terkait pembangunan pemukiman. Okupasi
Israel merujuk pada wilayah Palestina Tepi Barat, Jerusalem Timur, Jalur Gaza dan
juga Dataran Tinggi Golan di Siria dianggap tidak memiliki legal validitas dan juga
konstitusi yang jelas. Resolusi menghasilkan 12 mosi setuju dan 3 abstain.41 Ketiga
negara yang memilih untuk abstain merupakan Inggris, Norwegia dan juga Amerika
Serikat. Resolusi nomor 446 juga menorehkan hasil terkait pembentukan komisi yang
terdiri dari tiga anggota DK PBB yang diangkat oleh Presiden Dewan setelah adanya
konsultasi dengan para anggota DK PBB lainnya. Komisi ini bertugas untuk
menginvestigasi kondisi pemukiman Yahudi di Palestina sejak terjadinya okupasi
tahun 1967 termasuk kawasan Yersualem. Komisi yang dibentuk mendapatkan
dukungan kuat dari Sekretaris Jenderal PBB dengan menyediakan fasilitas yang
diperlukan untuk melancarkan misinya. Pada persidangannya negara Arab Saudi juga
diundang tetapi tidak memiliki hak untuk memilih terkait hasil resolusi yang
ditentukan.42
41 Draft Resolusi 446 PBB, 1979, sumber http://www.securitycouncilreport.org/atf/cf/%7B65BFCF9B-
6D27-4E9C-8CD3-CF6E4FF96FF9%7D/IP%20S%20RES%20446.pdf pada (5/30/2018, 10.40) 42 Ibid.
31
2.2 Dinamika Keterlibatan Amerika Serikat dalam Resolusi PBB
Melihat konflik Palestina-Israel tentu tidak bisa terlepaskan dari keadidayaan
Amerika Serikat yang memiliki peranan penting dalam mengkondisikan tatanan
internasional. Keterlibatan Amerika Serikat tidak terlepas dari posisinya sebagai
negara superpower dimana eksistensi dan pengaruhnya dalam dunia internasional
sangat besar. Sebagai negara superpower Amerika dipandang masih belum mampu
bersikap adil dalam menyikapi konflik ini. Sikap yang ditunjukkan Amerika Serikat
malah sebaliknya, menjadikan konflik ini semakin kompleks untuk diselesaikan.
Keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemerintah Amerika tidak bisa terlepaskan
pada realita bahwa Amerika dan Israel merupakan dua negara yang memiliki hubungan
yang cukup kuat. Israel merupakan salah satu sekutu penting bagi Amerika Serikat di
kawasan Timur Tengah. Banyak kerjasama antara keduanya yang telah di tanda tangan
dalam berbagai bidang.
Posisi Amerika Serikat kerap dipandang bias terhadap negara Israel karena
kerap melakukan veto atas resolusi-resolusi mengenai pemukiman Yahudi. Setidaknya
Amerika Serikat telah mengeluarkan veto sebanyak 43 kali untuk melindungi Israel
dari tekanan dunia internasional.43 Mayoritas veto yang dikeluarkan Amerika dengan
jumlah total 83 setengahnya ditujukan untuk kepentingan Israel.44 Posisi Amerika
43 AIPAC, The U.S Veto Supporting Israel at the U.N, sumber https://www.aipac.org/-
/media/publications/comms/aipac-fact-sheet-us-veto-united-nations.pdf pada (5/30/2018, 09.45) 44 Vetoed Draft Resolutions in the United Nations Security Council 1946-2015, 2015, Research Analysts
Paper, Foreign Commonwealth Office, hal. 3-4, sumber
https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/4791
32
Serikat terkait okupasi pemukiman Yahudi dapat dilihat melalui sikap Presiden,
Kongres dan juga pernyataan Gedung Putih.
Pada masa pemerintahan Jimmy Carter pada tahun 1977-1981 Amerika Serikat
menunjukkan sikap untuk tidak melakukan intervensi terkait permasalahan
pemukiman. Hal ini ditunjang dengan sikap Presiden Carter yang memilih untuk
abstain dalam tiga resolusi yang dikeluarkan oleh DK PBB. Resolusi nomor 465 pada
tahun 1980, resolusi 452 tahun 1979 dan resolusi nomor 446 tahun 1979.45 Badang
legislatif Amerika Serikat tidak mengeluarkan tindakan khusus terkait pemukiman
Israel namun, Gedung Putih mengeluarkan dua pernyataan terkait sikap yang dipilih
mengenai masalah tersebut. Pada tahun 1980 Gedung Putih menyatakan pernyataan
jelas yang menganggap pemukiman Yahudi merupakan tindakan ilegal. Pada 1976
Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, William Scranton menyatakan di depan
Dewan Keamanan terkait kehadiran pemukiman yang dianggap sebagai hambatan
terciptanya perdamaian di kawasan tersebut.
Presiden Ronald Reagen yang memimpin pada tahun 1981-1989 setidaknya
telah melakukan veto terkait pemukiman Yahudi pada 1983 dan 1986. Reagen telah
memveto dua resolusi DK PBB terkait kecaman pembangunan pemukiman Yahudi di
Gaza.46 Gedung Putih mampu digambarkan sedikit berbeda terkait sikap yang dipilih,
21/RA_Newsletter_Nov_2015_Vetoed_draft_resolutions_in_the_UN_Security_Council_-
_Sept_2015.pdf pada (5/30/2018, 11.13) 45 Ibid. 46 Jeffrey L. Chiderster, Reagan’s Legacy in a World Transformed, 2015, America: Harvard University
Press.
33
ragu-ragu untuk menyatakan tindakan pemukiman sebagai tindakan ilegal, menentang
pembongkaran pemukiman yang sudah dibangun tetapi mendukung pembekuan
tindakan pembangunan yang berkelanjutan.
Dilanjutkan pada masa pemerintahan George H.W Bush pada 1989-1983,
posisi Amerika Serikat semakin jelas untuk kerap melindungi pembangunan
pemukiman Israel. Tahun 1991-1992 Amerika memveto dua resolusi yang dikaji pada
Majelis Umum PBB resolusi 46/199 dan 47/172.47 Kongres mulai menunjukkan sikap
terkait permasalahan pemukiman dengan mengeluarkan S.Con.Res 113 (Kongress ke
102) yang lolos dari dua badan House dan juga Senat mendesak Yersualem sebagai
kota yang tak terbagi dan seluruh masyarakat yang mendiaminya mendapatkan
perlindungan. Pada tahun 1990 House meloloskan H.Con.Res 240 tetapi tidak
mendapatkan dukungan dari Senat terkait dukungan Amerika untuk menjadikan
Jerusalem sebagai ibu kota Israel.48 Gedung Putih mengeluarkan pernyataan terkait
sikap tidak adanya pemberian jaminan perlindungan terhadap Israel apabila masih
adanya pembangunan pemukiman di kawasan Tepi Barat maupun di Jerusalem Timur.
Posisi Amerika Serikat pada masa pemerintahan Bill Clinton dipandang lebih
agresif dalam menyikapi permasalahan pemukiman Yahudi. Berbagai resolusi baik
dalam Majelis Umum maupun DK PBB kerap mendapatkan veto Amerika Serikat.
47 Lara Friedman, 2016, US President, the UN Security Council, & Resolution Critical of Israel: The
Historicol Record 1967-present, American for Peace Now, sumber https://peacenow.org/WP/wp-
content/uploads/US-Israel-UNSCRs-1967-present.pdf pada (5/26/2018, 08.33) 48 AIPAC.,op.cit.
34
Beberapa diantaranya resolusi DK PBB pada tahun 1997 yang meminta untuk
dilakukan pemberhentian pembangunan. Mulai dari tahun 1993 hingga tahun 2000
Amerika di bawah kepemimpinan Clinton menyatakan ketidak setujuannya terkait 10
hasil resolusi Majelis Umum PBB. Pada tahun 1995 Kongres mengeluarkan
amandemen HR 3074 (104 Kongress) terkait US-Israel Free Trade Area
Implementation yang memberikan otoritas tambahan kepada Presiden mengenai
kualifikasi zona industri di kawasan Tepi Barat dan Gaza dimana resolusi ini diloloskan
oleh Senat.
Pemerintahan George W. Bush pada tahun 2001-2009 memberikan mosi setuju
pada resolusi DK PBB terkait pedoman penciptaan kondisi damai di kawasan. PBB
menyepakati perlu adanya pedoman dikenal dengan Roadmap for Peace yang terfokus
pada pembangunan two-state system termasuk pembekuan pembangunan pemukiman.
Berbagai resolusi Majelis Umum DK PBB pada pemerintahan George Bush junior
kerap menyatakan voted against beberapa resolusi diantaranya ES 10/9, 56/61, 57/126,
58/98, 59/123, 61/118, 62/108 dan 63/97.49 Sikap Gedung Putih ditandai dengan
penolakan pembangunan diperjelas dengan pernyataan Bush terkait Israel harus
membubarkan posko-posko yang tidak berototoritas di kawasan, serta pembekuan
pemukiman yang perlu dilakukan secepatnya karena berdampak pada proses damai
yang diupayakan.
49 Fact Sheet: 40 Years of US Position Towards Israeli Settlement in the Occupied Palestine Territory,
,2017, Arab Center Washington DC, sumber http://arabcenterdc.org/wp-
content/uploads/2017/02/FactsheetSettlements_FINAL-Feb2017.pdf pada (5/30/2018, 954)
35
Pada masa pemerintahan Barack Obama selama dua periode administrasinya
dipandang memiliki kecondongan untuk menciptakan perdamaian di kawasan tersebut.
Hal ini ditunjang dengan keinginan sejak Obama melakukan kampanye sebelum
akhirnya terpilih sebagai Presiden ke 44 Amerika. Posisi Amerika di bawah
kepemimpinan Obama terkait permasalahan pemukiman juga menjadi perhatian
kongres. Setidaknya badan legislatif Amerika telah mengeluarkan dua resolusi pada
tahun 2013 dan 2015 yang menolak dan tidak mendukung ekspansi pembangunan
pemukiman pemerintahan Israel. Keterlibatan Amerika Serikat dalam PBB yang
menangani kasus pemukiman ditandai dengan masih adanya veto seperti halnya pada
resolusi DK PBB tahun 2011.50 Gedung Putih secara jelas menyatakan posisinya tidak
setuju terkait pembangunan pemukiman. Dapat dilihat berbagai pernyataan yang telah
disampaikan.
Tahun 2013/2014 John Kerry selaku Sekretaris Negara menyalahkan
pemerintah Israel atas gagalnya negosiasi damai karena adanya konstruksi 700
pemukiman. “The position of the United States is that we considered..the settlements
to be illegitimate”. Tahun 2011 Hillarry Clinton selaku Sekretaris Negara menyatakan
“pembangunan pemukiman Israel sebagai tindakan yang tidak terlegitimasi”. Tahun
2009 Juru Bicara Gedung Putih Robert Gibbs menyatakan “kecemasan akan perluasan
Jerusalem dan Pemukiman dimana tindakan ini membuat upaya negosiasi sulit
50 Friedman.,op.cit.
36
tercapai”. Pada tahun 2009 pada pidato Obama di Kairo menyatakan perhatian yang
sama “doesn’t accept the legitimacy of continued Israeli settlements”.51
Melihat posisi Amerika Serikat terkait permasalahan pemukiman dari berbagai
periode pemerintahan Presiden. Dapat ditarik kesimpulan bahwa Amerika menyatakan
sikapnya untuk tidak mendukung pembangunan Pemukiman Yahudi. Baik Gedung
Putih ataupun Kongres umumnya menolak pembangunan pemukiman yang semakin
luas. Pernyataan menolak pembangunan pemukiman tidak ditunjang dengan realita
yang ada. Sikap berbeda ditunjukkan Amerika dengan kerap melakukan veto berbagai
resolusi dalam PBB. Kenyataannya terdapat kepentingan lain yang menjadi
pertimbangan Amerika Serikat dalam melakukan berbagai veto yang telah dilakukan.
Sikap berbeda ditunjukkan Amerika pada masa pemerintahan Barack Obama
pada periode kedua yang memilih untuk abstain dalam resolusi nomor 2334 yang
mengkaji tindakan ilegal pembangunan pemukiman Yahudi. Kebijakan ini merupakan
kebijakan pertama yang mampu lolos menorehkan sebuah resolusi atas kecaman
pembangunan Israel oleh DK PBB. Resolusi terakhir yang mampu lolos dikaji pada
sekitar tahun 1980 di bawah kepemimpinan Ronald Reagen. Selain itu kebijakan ini
merupakan kebijakan yang berbeda ditunjukkan oleh pemerintahan Obama. Dimana
pada tahun 2011 Obama memveto resolusi yang sama.
51 Arab Center.,op.cit.
37
Tabel 2.1 Posisi Amerika Serikat terkait Permasalahan Pemukiman Yahudi
No. Presiden Kongres Pernyataan Gedung
Putih
1. Jimmy Carter 1977-1981
1). 1979 Abstain dalam
Resolusi 446 DK PBB
terkait ancaman
pembangunan pemukiman
terhadap proses damai dan
meminta Israel untuk
mematuhi Konvensi Jenewa
4.
2). 1979 Abstain dalam
Resolusi 452 DK PBB
terkait ilegalnya
pembangunan pemukiman
Yahudi.
3) 1980 Abstain dalam
Resolusi Nomor 465 dan
471 terkait menyesali
program pemukiman
pemukiman dan meminta
anggota untuk tidak
membantu Israel.
- 1). 1976 Pernyataan
sikap Duta Besar
Amerika Serikat pada
Forum DK PBB terkait
adanya pembangunan
Israel dipandang
pemerintah Amerika
sebagai ancaman
terhadap proses
negosiasi Israel dengan
negara berkonflik.
2). 1980 Pernyataan
sikap jelas mengenai
posisi Amerika Serikat
yang menggangap
pemukiman Israel
adalah pemukiman
ilegal.
2. Ronald Reagen 1981-1989
1). 1983 Veto Resolusi DK
PBB terkait kecaman
pemukiman Yahudi.
2). 1988 Resolusi 607
meminta Israel untuk
melakukan pembekuan
pembangunan pemukian.
Berdasarkan Konvensi
Jenewa.
- 1).1982 Presiden
Reagen dipandang ragu
untuk memilih posisi
Amerika terkait
permasalahan
pemukiman, namun
mendukung pembekuan
pembangunan.
2). Reagan Plan “Tidak
akan mendukung
ekspansi pembangunan
pemukiman Yahudi”.
38
3). 1988 Abstain dalam
Resolusi 608 DK PBB
merujuk pada Resolusi 607.
3. George H.W Bush 1989-
1993
1). 1991Voted Aginst
Resolusi 46/199 dan 47/172
Majelis Umum PBB terkait
penyelesan pembanguna
pemukiman dan
konsekuensinya.
1). 1991 S.Con.Res
113 (102nd
Congress) resolusi
yang lolos dari dua
badan legislatif
Amerika mengenai
kedudukan
Yerusalem yang tak
terbagi.
2). H.Con.Res 240,
lolos House of
Representative
namun tidak lolos
Senate mengenai
dukungan
Yerusalem untuk
menjadi bagian
Israel.
1). Amerika Tidak
menerima proposal
terkait permintaan
bantuan apabila masih
adanya pembangunan
pemukiman.
2). 1990 Bush
menekankan posisi
Amerika , “... the
foreign
policy of the US says we
do not believe
there should be new
settlements in the
West Bank or in East
Jerusalem... ”
4. Bill Clinton 1993-2001
1). 1997 Veto Resolusi DK
PBB terkait pemberhentian
pembangunan Har Homa di
Yerusalem Timur dan
pemeberhentian
keseluruhan pembangunan.
2). 1997 Veto Resolusi DK
PBB terkait aktivitas
pemukiman.
3). 1993-2000 Voted
Against Resolusi Majelis
Umum PBB pada beberapa
Resolusi 48/212, 49/132,
50/129, 51/133, 52/66,
1). HR 3074 (104th
Congress)
pemberian otoritas
tambahan terhadap
Presiden terkait
kualifikasi zona
industri yang
disahkan oleh
Senate.
1). Pada masa akhir
jabatannya Clinton
menyampaikan
statement terhadap
Timur Tengah “[Israel]
must understand that…
the settlement enterprise
and building bypass
roads in what… will one
day be part of
[Palestine] is
inconsistent with Oslo."
2). 2000 Parameter
Clinton merupakan
panduan terkait
pembahasan status
permanen konflik
Palestina-Israel.
39
51/223, 54/78, ES10/6,
55/132, 3S10/7.
5. George W. Bush 2001-
2009
1). 2003 Vote terkait
Resolusi 1515
pembentukan Roadmap for
Peace sebagai panduan
penciptaan sistem dua
negara.
2). 2001-2008 Voted
Against beberapa resolusi
Majelis Umumr PBB (ES
10/9, 56/61, 57/126, 58/98,
59/123, 60/106, 61/118,
62/108, 63/97)
- 1). Bush menyatakan
Israel harus melakukan
pemberhentian
pembangunan karena
mengancam proses
damai.
6. Barack Obama 2009-2017
1). 2014Vote Against
Resolusi Majelis Umum
PBB 69/93.
2). 2011 Veto Resolusi DK
PBB.
3). 2009-2014 Vote against
beberapa Resolusi PBB
(64/93, 65/104, 66/78,
67/120, 68/82, 69/92).
4). 2015 Veto against
Resolusi PBB 70/89.
5). 2016 Abstain dalam
Resolusi DK PBB 2334.
1). 2013 H.Res.238
(113th Congress)
pemberhentian
pembangunan
pemukiman.
2). 2015 H.Res.126
(114th Congress)
pembekuan
ekspansi
pemukiman.
3). 2016 House of
Representative
memperjelas
section 304 terkait
barang produksi
pemukiman Israel.
4). 2016 House of
Representative
Amerika harus
tetap memveto
resolusi DK PBB
1). Berbagai aktor
penting Gedung Putih
mengecam
pembangunan
pemukiman Yahudi
yang mengancam proses
perdamaian. (John
Kerry, Clinton, Juru
Bicara Gedung Putih)
40
terkait Palestina-
Israel.
Sumber: Fact Sheet: 40 Years of US Position Towards Israeli Settlement in the Occupied
Palestine Territory, ,2017, Arab Center Washington DC, sumber http://arabcenterdc.org/wp-
content/uploads/2017/02/FactsheetSettlements_FINAL-Feb2017.pdf
2.2.1 Inisiasi Mediasi Amerika Serikat dalam Konflik Palestina-Israel
Keterlibatan Amerika Serikat bukan hanya dalam lingkup PBB, di luar badan
perdamaian internasional tersebut Amerika kerap melakukan berbagai upaya negosiasi
dan dialog untuk menciptakan cita-cita damai Palestina-Israel. Semenjak adanya partisi
bangsa Arab dan Yahudi serta munculnya berbagai perseteruan yang mewarnai
konflik. Amerika Serikat menandai negaranya sebagai negara yang terlibat aktif untuk
mengadakan proses rekonsiliasi. Mayoritas Presiden Amerika setidaknya telah
melakukan dialog atau perjanjian terkait permasalahan tersebut. Kebijakan serta upaya
negosiasi Amerika Serikat dibawah kepemimpinan yang berbeda mampu
diterjemahkan sebagai bentuk keikutsertaan. Di bawah ini merupakan beberapa
perjanjian atau negosiasi yang melibatkan peranan Amerika Serikat.
Perjanjian Camp David
Pada perjanjian ini Amerika Serikat bertindak sebagai pemrakarsa, ditanda
tangani oleh Presiden Mesir Anwar Sadat dan juga Perdana Menteri Israel Menachen
41
Begin pada 17 September 1978 bertempat di Gedung Putih Amerika Serikat.52 Selama
13 hari perundingan dilakukan secara tertutup. Presiden Jimmy Carter selaku inisiator
perjanjian Camp David berhasil menorehkan tiga hal penting selama perundingan.
Secara umum terfokus pada penyelesaian masalah negara Israel dan bangsa Arab.
Pertama gencatan senjata dan penarikan militer Israel atas wilayah yang diduduki pasca
berhasil memenangkan perang, kedua adanya rekoknisi bangsa Arab atas Israel, dan
yang terakhir yakni tidak adanya ancaman yang ditunjukkan bangsa Arab terhadap
Israel dan juga tidak adanya pembagian atas wilayah Jerusalem.
Perpecahan yang terjadi antara Israel dan Mesir semenjak berdirinya Israel
sebagai negara yang berdaulat pada 1948 mampu berimplikasi pada kestabilitasan
wilayah Timur Tengah. Cara peperangan digunakan sebagai cara tunggal untuk
menyelesaikan ketidaksukaan antara satu sama lain dirasa kurang mampu
menyelesaikan pertikaian. Pada akhirnya cara diplomatik dipilih sebagai sebagai cara
yang diharapkan mampu mengakomodasi keinginan dari kedua belah pihak. Selama
hampir lebih 30 tahun rakyat di kawasan Timur Tengah berada pada posisi yang keos
akan peperangan dan intensitas yang tinggi dari banyak pihak yang terlibat. Pasca
adanya perjanjian ini hubungan kedua belah pihak semakin membaik ini terlihat dari
kunjungan yang dilakukan Presiden Mesir yang berkunjung ke Israel disambut dengan
baik begitupun sebaliknya kunjungan yang dilakukan Israel ke negara Mesir.53
52 Karna Adam, et al, 2015, Time for a Change: The Role of the United States in the Israeli-Palestinian
Conflict, Task Force Report, The Nelson A. Rockefeller Center at Dartmouth College, 53 Ibid., hal.21
42
Oslo Occurd I dan II
Perjanjian Oslo pertama terjadi pada 20-22 Januari 1993, perjanjian ini didasari
ketika adanya pemberontakan Intifada yakni suatu gerakan ektrimis yang dilakukan
oleh orang-orang tertindas yang berorientasi untuk mengambil alih Palestina. Gerakan
intifada yang diprakarsai oleh kelompok ektrimis berlangsung selama 6 tahun hingga
pada akhirnya muncul perjanjian Oslo. Perjanjian Oslo memiliki 17 Pasal dan 4 lainnya
yang dikenal dengan the Declaration of Principles on Interim Self Government
Arrangement.54 Perjanjian Oslo dipandang belum mampu meminimalisir
permasalahan terlihat kondisi kawasan yang masih dirundung konflik. Perjanjian Oslo
kedua muncul sebagai upaya lain, diselenggarakan pada 28 September 1995 yang
berfokus pada pelebaran kekuasaan otonom Palestina.55 Terdapat setidaknya 6 kota
yang dikembalikan kepada Plaestina dari kekuasaan Israel.
Wye River I dan II
Pada bulan Oktober 1998, Perdana Menteri Israel Netanyahu dan pemegang
kekuasaan Palestina Yasir Arafat menandatangani perjanjian Wye River I. Proses
perundingan terjadi satu tahun sebelumnya hingga pada akhirnya kedua belah pihak
bersedia menandatangi momerandum. Perundingan ini merupakan hasil dari inisiasi
Amerika Serikat Presiden Clinton yang mengajak kedua belah pihak untuk duduk dan
54 Vera Ellen Paat, 2013, Posisi Amerika Serikat Dalam Penyelesaian Konflik Palestina-Israel, Manado:
Jurnal Plitico, Vol. 2, No. 2, sumber https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/politico/article/view/1421
pada (3/28/2018, 03.07) 55 Ibid.
43
melakukan dialog. Ini merupakan salah satu pergerakan yang progresif melihat pada
waktu itu baik Israel dan Palestina tidak melakukan perundingan selama berbulan-
bulan. Bertempat di Wye River Maryland Amerika Serikat, fokus utama pembahasan
perjanjian ini merupakan kelanjutan dari Oslo II dan Protokol Hebron yang belum
mampu menyelesaikan masalah.56 Permasalahan yang masih dihadapi dan kurang
efektifnya perjanjian-perjanjian yang telah ditanda tangani, menjadikan Palestina dan
Israel melakukan perundingan kembali terkait isi dari perjanjian Wye River. Hal ini
merujuk pada perjanjian Wye River II. Meski lokasi terjadinya perundingan bukan
terjadi di Maryland Amerika Serikat namun dilaksanakan di Mesir, pembahasan terkait
penentuan kemerdekaan Palestina dan status final menjadi poin penting dalam
perundingan kali ini. 57
Setalah dilakukannya berbagai dialog yang melibatkan banyak aktor. Muncul
ide-ide terkait cara untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel dengan pembagian
kekuasaan yang jelas. Beberapa pilihan muncul seperti pemberian status quo,
menciptakan negara tunggal Israel, negara sekuler bahkan opsi tiga negara.58 Dari
beberapa opsi yang ada menciptakan dua negara Palestina-Israel yang terpisah
merupakan opsi yang paling memungkin dan diterima. Pada masa pemerintahan
Obama pilihan pembentukan dua negara Palestina dan Israel hidup berdampingan
dengan teritorial yang jelas menjadi perhatian yang intensif. Ditekankan kembali oleh
56 Ibid. 57 Ibid. 58 Karna, Op.cit., hal.46-48
44
John Kerry selaku Sekretaris Negara yang telah membentuk parameter potensi resolusi
yang terfokus pada solusi dua negara.
Tabel 2.2 Peranan Mediasi Amerika Serikat dalam Beberapa Perjanjian Terkait
Penyelesaian Konflik Palestina-Israel
No Nama Perjanjian Tahun Keterangan
1. Camp David I 1978 Perjanjian Camp David I merupakan
perjanjian yang diprakarsai oleh
Amerika Serikat atas perang Israel dan
negara-negara Arab. Perjanjian Camp
David merupakan perjanjian pertama
pasca perang yang telah terjadi lebih
dari 30 tahun.
2. The Madrid Conference 1991 Konferensi negara-negara Arab Israel,
Siriah, Libanon, Yordania dan
Palestina. Konferensi ini merupakan
konferensi pertama Palestina secara
resmi yang diwakili oleh PLO.
Dorongan dari Amerika Serikat atas
terselenggaranya konferensi ini sangat
besar.
3. The Oslo Accords 1993 Perjanjian Oslo mengkaji terkait
pembagian wilayah Palestina atas
kedudukan Israel pasca perang.
4. Hebron 1997 Poin utama dalam perjanjian ini
membahas mengenai penarikan
pasukan militer Israel dari beberapa
wilayah Palestina.
5. Wye River 1998 Isi perjanjian Wye River lebih
menekankan beberapa isu yang dikaji
pada perjanjian Oslo. Pada perjanjian
ini juga dibahas terkait penundaan
kemerdekaan Palestina.
45
6. Camp David II 2000 Camp David yang diprakarsai oleh Bil
Clinton lebih mengarah pada
perjanjian terkait prosedur pengelolan
wilayah seperti pembagian air,
pemukiman dan pengungsi, serta status
Yerusalem.
7. Annapolis 2007 Konferensi yang dilaksankan di
Maryland merupakan konferensi
terkait upaya damai Palestina-Israel.
Pengimpelementasian “Roadmap for
Peace” merupakan cara untuk
mewujudkan hal tersebut.
8. The Kerry Talk 2013-14 John Kerry sebagai Mentri Luar Negeri
Amerika merevitalisasi proses
perdamaian Israel-Palestina.
Perundingan terkait masalah
pemukiman Israel, pendiskusian terkait
status final Palestina dan pembebasan
tahanan.
2.3 Resolusi DK PBB Nomor 2334
Pada 23 Desember 2016 DK PBB selaku badan keamanan tertinggi PBB
mengkaji permasalahan mengenai pemukiman Yahudi di kawasan Palestina. Latar
belakang dari pada adanya sidang DK PBB di dasari pada makarnya pembangunan
pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur. Okupasi masyarakat Israel di
teritori Palestina ditandai sejak adanya perang enam hari yang terjadi pada tahun 1967.
Implikasi dari kemenangan Israel pasca berakhirnya perang berdampak pada afinitas
pemerintah dan masyarakat untuk melakukan aneksasi dalam pembangunan
pemukiman. Jumlah tersebut setiap tahunnya semakin bertambah banyak, hal ini
didasari karena intensitas pemerintah Israel dalam melakukan kegiatan ekspansi
46
melalui berbagai kebijakan yang terinstitusi. Sampai dengan tahun 2016 jumlah ini
telah berkembang secara substansial diperkirakan mencapai angka 621.000 pemukim
yang mendiami wilayah Tepi Barat. Jumlah tersebut dipresentasikan secara gabungan
dimana 200.000 masyarakat mendiami wilayah Jerusalem Timur.59 Berdasarkan
hukum humanitarian internasional yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 4 Pasal 49
yang berbunyi sebagai berikut60;
“Individual or mass forcible transfers, as well as deportations of
protected persons from occupied territory to the territory of the
Occupying Power or to that of any other country, occupied or
not, are prohibited, regardless of their motive.”
Tertera dengan jelas bahwasanya setiap negara yang menduduki wilayah lain
tidak boleh mengusir masyarakat yang dikuasai lalu membawa masyarakatnya sendiri
masuk untuk mendiami wilayah tersebut. Meskipun telah adanya aturan yang jelas
mengenai aturan kekuasaan atas suatu wilayah. Israel tidak menerapkan aturan tersebut
secara patuh. Sebaliknya, Israel malah membangun pemukiman yang ditujukan untuk
bangsanya sendiri dengan jumlah yang sangat masif.
59 UN Secretary-General’s report to the Security Council presents key opportunity to highlight Israel’s
ongoing illegal settlement activy and its impact on Palestinians, 2017, Amnesty International Public
Statement sumber https://www.amnesty.org/download/Documents/MDE1559522017ENGLISH.pdf
pada (5/29/2018, 10.45) 60 Konvensi Genewa, Deportasi, Transfer, evakuasi,
http://www.un.org/en/genocideprevention/documents/atrocity-crimes/Doc.33_GC-IV-EN.pdf,
(312/1/2018, 9.40)
47
Berdasar penelitian yang dilakukan oleh Peace Now selaku lembaga statistik
internasional wilayah Tepi Barat merupakan wilayah yang paling mendominasi
sebagai kawasan pembangunan pemukiman. Masyarakat Palestina mendiami kawasan
tersebut dengan jumlah populasi 88% dari wilayah total, sisanya 12% dihuni oleh
pemukim Israel. Jumlah ini terus berkembang setiap tahunnya sejak tahun 1976,
jumlah populasi pemukim hingga tahun 2016 sudah mencapai angka 400.000.
Gambar 2.1 Populasi Palestina dan Israel di Kawasan Tepi Barat
PopulasiTepi Barat
Palestina Israel
2.935.368 (Palestina)399.300 (Israel)
48
Gambar 2.2 Jumlah Pertumbuhan Pemukim Israel di Kawasan Palestina
Tahun 1976-201661
Kebijakan pemerintah Israel dalam membangun pemukiman Yahudi pada
wilayah Palestina telah berlanjut hampir 50 tahun. Kondisi ini telah mengancam dan
menimbulkan berbagai dampak permasalahan lainnya. Termasuk kerusakan berbagai
fasilitas, pembunuhan, refugi, penahanan sewenang-wenang, dan eksploitasi sumber
daya Palestina. Berbagai otoritas pemerintah dalam menargetkan pembangunan
berkelanjutan salah satunya ditandai dengan adanya keputusan Kneseet selaku badan
Legislatif Israel pada 6 Februari.62 Kenisah mengesahkan undang-undang yang
memungkinkan pemerintah untuk menyita tanah Palestina apabila telah adanya
61 Ibid. 62 Isael: Law for Regulation of Settlement in Judea and Samaria, 2017, Library of Congress, sumber
https://www.loc.gov/law/help/israel-settlement/judea-and-samaria.php pada (5/28/2018, 10.33)
49
pembangunan Israel pada daerah tersebut. Hukum tersebut akan secara retroaktif
memungkinkan untuk melegalkan 80 hektare tanah pribadi di Palestina.63
Melihat kondisi tersebut masyarakat internasional memikirkan perlu adanya
tindakan untuk menghentikan kegiatan pembangunan pemukiman Israel yang semakin
masif. DK PBB pada akhirnya mampu meloloskan sebuah Resolusi Nomor 2334 yang
di dalamnya memuat kecaman atas tindakan pembangunan Israel. Secara umum
resolusi ini terfokus pada konsepsi mengenai tindakan ilegal tanpa adanya validitas
hukum yang jelas pada pembangunan pemukiman yang dibangun dikawasan Palestina.
Hal tersebut perlu adanya tindakan sedrgera mungkin untuk menyelesaikan masalah
terutama dengan adanya opsi solusi dua negara.64
Kasus ini diajukan oleh beberapa negara diantaranya Venezuela, Senegal,
Malaysia dan Selandia Baru.65 Sesuai dengan prosedur perundingan DK PBB akhirnya
masalah pemukiman bangsa Yahudi yang dikaji pada bulan Desember 2016
menorehkan hasil. Dimana hasil diskusi melalui perundingan anggota DK PBB sangat
tidak diekspektasikan. Resolusi ini untuk pertama kalinya mampu lolos setelah kerap
mendapatkan tradisi veto dari Amerika Serikat dengan persentase suara mendapatkan
63 UN Secretary-General’s report to the Security Council presents key opportunity to highlight Israel’s
ongoing illegal settlement activy and its impact on Palestinians, 2017, Amnesty International Public
Statement sumber https://www.amnesty.org/download/Documents/MDE1559522017ENGLISH.pdf
pada (5/29/2018, 10.45) 64 UNSC Resolustion 2334, sumber http://www.un.org/webcast/pdfs/SRES2334-2016.pdf, pada
(3/21/2018,7.50) 65 NP, 2016, Israel settlements: Netanyahu rejects ‘Shameful’ UN Vote, BBC News, sumber
http://www.bbc.com/news/world-middle-east-38425512, (3/21/2018, 7.47)
50
14 motion setuju dan 1 abstain. Sesuai dengan prosedur pemungutan suara untuk
meloloskan sebuah draf resolusi setidaknya mendapatkan 14 suara setuju dan tanpa
adanya sebuah veto. Ini merupakan resolusi DK PBB pertama yang mengkaji mengenai
pemukiman Yahudi sejak tahun 1980 yang tertuang dalam Resolusi Nomor 465.
Resolusi nomor 2334 hadir pada pertemuan DK PBB ke 7853. Setidaknya
terdapat 13 hal yang menjadi perhatian. Beberapa aspek yang tertuang dalam resolusi
ini diantaranya mengenai penegasan larangan pembangunan pemukiman Yahudi di
Palestina yang merubah demografi yang telah ditentukan PBB pada Resolusi Nomor
181, terkait partisi bangsa Arab dan Yahudi. Mengecam untuk dilakukannya
pemberhentian tindakan sesegera mungkin karena berdampak pada berbagai
permasalahan lainnya. Permintaan Sekretaris Jenderal untuk melakukan kegiatan
laporan terhadap Dewan setiap tiga bulan sekali sejak resolusi terimplementasi.
Mendesak percepatan upaya perdamaian melalui berbagai negosiasi diplomatis.66
Secara ketegasan resolusi ini tidak memiliki dampak yang signifikan secara langsung
namun, resolusi ini memiliki implikasi secara diplomatis dan politik untuk jangka
panjang.
Seperti halnya resolusi-resolusi lain terkait permasalahan Israel ditangani
berdasarkan Piagam PBB Nomor 6 terkait Pacific Settlement of Disputes. Resolusi
nomor 2334 tidak memuat penentuan hukum namun, berisi tentang rekomendasi untuk
66 UNSC resolution 2334, op.cit.
51
komonutias internasional. Resolusi tidak bisa dengan sendirinya digunakan sebagai
sumber dalam Pengadilan Internasional. Tetapi resolusi ini dapat digunakan oleh
Plaestina sebagai sumber landasan terkait permasalahan legalnya pembangunan
pemukiman Yahudi.67
Pada bab selanjutnya peneliti akan menjelaskan faktor-faktor yang
memengaruhi kebijakan Amerika Serikat terkait sikap abstain dalam Sidang DK PBB.
Resolusi Nomor 2334 untuk pertama kalinya pasca tahun 1980 mampu lolos. Melihat
dalam periode pemerintahan yang sama Barack Obama menunjukkan dua sikap yang
berbeda. Pada tahun 2011 Amerika memilih untuk memveto draft resolusi yang telah
didiskusikan, namun tahun 2016 dengan kasus dan resolusi yang sama Amerika
memilih untuk abstain.
67 Alan Baker, 2016, The Danger of UN Security Council Resolution 2334, Jerusalem Center for Public
Affairs sumber http://www.europarl.europa.eu/meetdocs/2014_2019/documents/d-
il/dv/thedangersofunscresolution2334_/thedangersofunscresolution2334_en.pdf pada (45/29/2018,
07.40)