bab ii pendekatan teoritis 2.1 tinjauan pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola...

33
9 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Perkembangan Sistem Pertanian Padi Sawah di Pedesaan Jawa Sebelum tahun 1960an, para petani di pedesaan Jawa menerapkan sistem pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh Suhirmanto (2003) yakni (1) usahatani tidak menggunakan fasilitas modal dari luar keluarga, (2) pekerjaan di sektor pertanian menjadi satu-satunya mata pencaharian, (3) cara produksi tradisional dengan digunakannya input yang berasal dari lokal (lingkungan sekitar), dan (4) penggunaan tenaga kerja tradisi dan menggunakan tenaga kerja keluarga, dan sebagainya. Sejak tahun 1960an, para petani di pedesaan Jawa menerapkan sistem pertanian modern sebagai implementasi dari kebijakan revolusi hijau. Salah satunya mengenai kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan utama yang telah mengantarkan teknologi di daerah pedesaan, paket BIMAS, INMAS, INSUS, SupraINSUS dan sebagainya. Sampai tahun 1987 sudah jelas bahwa kebijakan tersebut dapat meningkatkan produksi padi, bahkan mencapai swasembada beras setelah tahun 1984. Namun, dari tulisan-tulisan dalam Bechtold (1988) menjadi representasi bahwa modernisasi dan mekanisasi pertanian di Indonesia nyata-nyata telah menyebabkan ketergantungan desa-desa pertanian pada pemerintah pusat. Sistem ekonomi kapitalis yang diusung melalui program-program BIMAS/INMAS telah merombak seluruh sendi perekonomian mulai dari struktur kelembagaan ekonomi, sosial, budaya bahkan politik desa setempat. Merujuk pada tulisan Sajogyo (1982), diketahui bahwa modernisasi pertanian di pedesaan Jawa justru tidak menciptakan pembangunan bagi masyarakat. Perkembangan ekonomi pedesaan di Jawa, wilayah utama padi sawah yang telah memasuki “revolusi hijau”, menunjukkan beberapa hal yaitu (1) perubahan dalam kelembagaan penguasaan tanah yang telah menyebabkan terjadinya diferensiasi kelas petani; (2) munculnya sistem pengupahan dan

Upload: ngotuong

Post on 16-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

9

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Perkembangan Sistem Pertanian Padi Sawah di Pedesaan Jawa

Sebelum tahun 1960an, para petani di pedesaan Jawa menerapkan sistem

pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang

tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh Suhirmanto (2003) yakni (1)

usahatani tidak menggunakan fasilitas modal dari luar keluarga, (2) pekerjaan di

sektor pertanian menjadi satu-satunya mata pencaharian, (3) cara produksi

tradisional dengan digunakannya input yang berasal dari lokal (lingkungan

sekitar), dan (4) penggunaan tenaga kerja tradisi dan menggunakan tenaga kerja

keluarga, dan sebagainya.

Sejak tahun 1960an, para petani di pedesaan Jawa menerapkan sistem

pertanian modern sebagai implementasi dari kebijakan revolusi hijau. Salah

satunya mengenai kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan

utama yang telah mengantarkan teknologi di daerah pedesaan, paket BIMAS,

INMAS, INSUS, SupraINSUS dan sebagainya. Sampai tahun 1987 sudah jelas

bahwa kebijakan tersebut dapat meningkatkan produksi padi, bahkan mencapai

swasembada beras setelah tahun 1984.

Namun, dari tulisan-tulisan dalam Bechtold (1988) menjadi representasi

bahwa modernisasi dan mekanisasi pertanian di Indonesia nyata-nyata telah

menyebabkan ketergantungan desa-desa pertanian pada pemerintah pusat. Sistem

ekonomi kapitalis yang diusung melalui program-program BIMAS/INMAS telah

merombak seluruh sendi perekonomian mulai dari struktur kelembagaan ekonomi,

sosial, budaya bahkan politik desa setempat.

Merujuk pada tulisan Sajogyo (1982), diketahui bahwa modernisasi

pertanian di pedesaan Jawa justru tidak menciptakan pembangunan bagi

masyarakat. Perkembangan ekonomi pedesaan di Jawa, wilayah utama padi sawah

yang telah memasuki “revolusi hijau”, menunjukkan beberapa hal yaitu (1)

perubahan dalam kelembagaan penguasaan tanah yang telah menyebabkan

terjadinya diferensiasi kelas petani; (2) munculnya sistem pengupahan dan

Page 2: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

10

teknologi unggul yang bias pada pemilik tanah dan penggarap; (3) terjadinya

perluasan kepemilikan tanah yang memperkecil peluang tenaga kerja; (4)

terjadinya peningkatan penyerapan tenaga kerja; (5) terjadinya perkembangan

teknologi mekanisasi di Jawa yakni pemakaian bibit unggul (padi) dan pupuk

pabrik yang mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja di desa; (6) adanya

penyerapan tenaga kerja luar pertanian di desa (7) berkembangnya kelembagaan

perkreditan pertanian di desa, akan tetapi porsi nilai kredit pertanian menurun oleh

karena beralih ke bidang-bidang dagang, industri, dan jasa; (8) adanya perubahan

gaya hidup rumah tangga desa yang lebih konsumtif sehingga merubah pola

pengeluaran rumah tangga desa dan pemilikan modal bukan-tanah, dan (9)

meningkatnya sumber pendapatan dari usaha luar pertanian khususnya untuk

golongan miskin dan tidak memiliki tanah.

Pembangunan pertanian yang didasarkan pada kebijakan revolusi hijau

cenderung tidak menunjukkan adanya suatu keberlanjutan baik secara sosial,

ekonomi, maupun ekologi. Sehubungan dengan itu, pada pertengahan tahun 1980,

konsep keberlanjutan telah mendapat perhatian yang lebih besar sebagai kritik

atas pendekatan industrial pada proses pembangunan pertanian. Dalam

perkembangnya, sistem pertanian organik juga muncul sebagai salah satu istilah

dari pembangunan berkelanjutan tersebut (Salikin, 2003). Sistem pertanian

organik muncul sebagai kritik atas sistem pertanian modern atau revolusi hijau.

Menilik sisi historis pertanian di seluruh pelosok dunia, sebelum sistem pertanian

modern tersebut berkembang, banyak sistem pertanian tradisional yang

berlangsung dan bertahan selama berabad-abad dalam hal kemampuannya untuk

mempertahankan tingkat produksi yang stabil dan berterus-terus. Namun

demikian, sistem tersebut terpaksa mengalami perubahan yang begitu cepat

dengan berkembangnya berbagai mekanisme penerapan kebijakan revolusi hijau.

Adapun pertanian organik yang dilakukan oleh petani-petani di Indonesia

mulai berkembang di tahun 1999 dengan diinisiasi oleh berbagai bentuk

pendampingan dari lembaga-lembaga swadaya (LSM) masyarakat. Masyarakat

petani di beberapa pedesaan di Indonesia khususnya di Jawa sudah merubah

sistem pertanian mereka dari sistem pertanian modern menjadi sistem pertanian

organik (Wangsit, 2003; Kartini, 2005). Pertanian organik ini pada mulanya

Page 3: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

11

berfokus pada perubahan sistem produksi pertanian dari sistem pertanian

konvensional (merujuk pada kebijakan revolusi hijau) atau sistem pertanian

modern (merujuk pada modernisasi pertanian). Pada tahun 2001, pemerintah

Indonesia melalui Departemen Pertanian juga telah melakukan serangkaian

tahapan sosialisasi mengenai pertanian organik kepada masyarakat1. Untuk

memajukan pertanian organik, Departemen Pertanian menempatkan perencanaan

dan implementasi pertanian organik sebagai salah satu kebijakan pemerintah

dalam program pembangunan pertanian di Indonesia. Kebijakan pemerintah

tersebut ditujukan untuk menumbuhkan, memfasilitasi, mengarahkan dan

mengatur perkembangan pertanian organik melalui adanya sinergi aktivitas dan

pelaku usaha yang dapat mempercepat pencapaian tujuan dari slogan “Go

Organic 2010” yaitu menjadikan “Indonesia sebagai salah satu produsen pangan

organik utama dunia”. Pertanian organik dirancang pengembangannya dalam

enam tahapan mulai dari tahun 2001 hingga tahun 2010

Di tingkat kabupaten, sebagai contoh program pengembangan pertanian

organik di Kabupaten Bogor merupakan bagian dari program Ketahanan Pangan

yang dirumuskan dalam rencana strategis Dinas Pertanian Kabupaten Bogor tahun

2004-2005. Program pengembangan pertanian organik yang diimplementasikan di

Kabupaten Bogor ditujukan pada kelompok tani di desa-desa yang menjadi sentra

agribisnis (Lampiran 2). Program pengembangan pertanian organik ini dimulai

pada tahun 2006, meskipun secara umum pertanian organik di Kabupaten Bogor

sudah berkembang sekitar tahun 2000. Sehubungan dengan itu, program ini belum

secara spesifik diuraikan dalam rencana strategis Dinas Pertanian Kabupaten

Bogor sebagai bagian dari rumusan program ketahanan pangan.

2.1.2 Sistem Pertanian Organik

Salikin (2003) mengemukakan bahwa sistem pertanian organik merupakan

salah satu model dari sistem pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian organik

pun paling tidak memiliki tujuh keunggulan dan keutamaan sebagai berikut :

1. Orisinal. Sistem pertanian organik lebih mengandalkan keaslian atau

orisinalitas sistem budi daya tanaman ataupun hewan dengan menghindari 1 Dede Sulaeman. Perkembangan Pertanian Organik di Indonesia.

http://agribisnis.deptan.go.id/index.php?files=Berita_Detail&id=344

Page 4: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

12

rekayasa genetika maupun introduksi teknologi yang tidak selaras dengan

alam. Intervensi manusia terhadap tanaman atau hewan tetap mengikuti

kaidah-kaidah alamiah yang selaras, serasi dan seimbang. Namun

demikian, pertanian organik tidak berarti anti teknologi baru, sejauh hal itu

memenuhi azas selaras, serasi, dan seimbang dengan alam.

2. Rasional. Sistem pertanian organik berbasis pada rasionalitas bahwa

hukum keseimbangan lamiah adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna.

Manusia sebagai bagian dari sistem jagad raya bukan ditakdirkan menjadi

penguasa alam raya, tetapi bertanggung jawab untuk menjaga dan

melestarikannya.

3. Global. Saat ini, sistem pertanian organik menjadi isu global dan mendapat

respon serius di kalangan masyarakat pertanian, terutama di negara-negara

maju di mana masyarakat sudah sangat sadar bahwa pertanian ramah

lingkungan menjadi faktor penentu kesehatan manusia dan kesinambungan

lingkungan.

4. Aman. Sistem pertanian organik menempatkan keamanan produk

pertanian, baik bagi kesehatan manusia ataupun bagi lingkungan, sebagai

pertimbangan utama. Pertimbangan berikutnya adalah kuantitas dan

kualitas komoditas pertanian, termasuk kecukupan kadar gizi dan volume

yang mampu memenuhi kebutuhan hidup manusia.

5. Netral. Sistem pertanian organik tidak menciptakan ketergantungan atau

bersifat netral sehingga tidak memihak pada salah satu bagian ataupun

pelaku dalam sistem agroekosistem. Hubungan saling ketergantungan atau

simbiosis yang terbina antarpelaku sistem lebih bersifat mutualisme atau

saling menguntungkan.

6. Internal. Sistem pertanian orgnik selalu berupaya mendayagunakan potensi

sumber daya alam internal secara intensif. Artinya, introduksi input-input

pertanian dari luar ekosistem (external inputs) pertanian sedapat mungkin

dihindari untuk mengurangi terjadinya disharmoni siklus agroekosistem

yang sudah berlangsung lama dan terkendali oleh kaidah hukum alam.

7. Kontinuitas. Sistem pertanian organik tidak berorientasi jangka pendek,

tetapi lebih pada pertimbangan jangka panjang untuk menjamin

Page 5: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

13

keberlanjutan kehidupan, baik untuk generasi sekarang maupun generasi

yang akan datang.

Sistem pertanian organik sebenarnya warisan para leluhur yang sebagian

besar adalah petani, namun banyak petani sekarang justru berpaling pada

pertanian yang rakus akan bahan-bahan kimia. Senada dengan Rienjtes (1992)

yang mengemukakan bahwa sistem pertanian organik adalah meliputi cara

produksi, aturan dan nilai yang melandasi, hubungan-hubungan sosial yang

terbentuk dengan diterapkannya sistem pertanian organik ini sebagai upaya

pengelolaan sumber daya lahan pertanian yang menjamin keberlanjutan

lingkungan. Adapun menurut IFOAM (2008) pertanian organik memiliki prinsip-

prinsip yang merupakan akar perkembangannya. Prinsip-prinsip tersebut

menyajikan kontribusi pertanian organik pada dunia dan visi untuk perbaikan

pertanian dalam konteks global. Pertanian merupakan aktivitas dasar bagi manusia

karena manusia memerlukan pangan untuk bertahan hidup dan menjaga kesehatan

setiap hari. Sejarah, budaya dan nilai-nilai komunitas seluruhnya melekat dalam

pertanian. Prinsip-prinsip yang diterapkan pada pertanian mencakup secara luas

termasuk cara-cara manusia mengolah tanah, air, tanaman, dan hewan untuk

diproduksi, disajikan dan didistribusikan sebagai bahan makanan dan lainnya.

Prinsip-prinsip ini juga memberi perhatian pada cara-cara manusia berinteraksi

dengan lingkungan hidup sekitar, hubungan antar manusia dan membentuk

generasi berikutnya. Pertanian organik didasarkan pada : (1) The principle of

health, (2) The principle of ecology, (3) The principle of fairness, dan (4) The

principle of care. Prinsip-prinsip ini diterapkan secara keseluruhan, sebagai

komposisi yang menjadi etika prinsip untuk menginspirasi aksi.

The principle of health

Pertanian organik berperan disamping aktivitas penanaman, proses

produksi, distribusi dan konsumsi juga termasuk untuk menjamin keberlanjutan

dan menjamin kesehatan ekosistem serta organisme dari yang terkecil hingga

tanah. Pertanian organik ditekankan untuk memproduksi pangan berkualitas dan

bernutrisi tinggi yang berkontribusi untuk menjaga kesehatan dan kelangsungan

Page 6: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

14

hidup. Sehubungan dengan itu, maka perlu dihindari penggunaan pupuk,

pestisida, obat-obatan dan zat-zat berbahaya yang berdampak pada kesehatan.

The principle of ecology

Pertanian organik didasarkan pada sistem dan siklus ekologi, bekerja sama

dengan kondisi tersebut, dan membantu kondisi tersebut agar berkelanjutan.

Budidaya organik, peternakan, dan sistem panen harus merujuk pada suatu sistem

dan siklus ekologi yang bersifat alami. Pengelolaan pertanian organik harus

diadaptasikan pada kondisi lokal, ekologi, budaya, dan skala. Input sebaiknya

dikurangi dengan daur ulang, dan pengelolaan material dan energi yang efisien

yang ditujukan untuk memperbaik kapasitas lingkungan dan melestarikan sumber

daya. Mereka yang memproduksi, memproses, memperdagangkan, atau

mengkonsumsi produk organik harus menjaga keamanan dan manfaat lingkungan

bersama termasuk lingkungan hidup, iklim, habitat, keanekaragaman, udara, dan

air.

The principles of fairness

Pertanian organik harus dapat membangun hubungan yang meyakinkan

adanya keadilan yang ditujukan pada lingkungan hidup bersama dan kesempatan

hidup. Keadilan dikarakteristikan dengan adanya kesetaraan, saling menghargai,

keadilan, dan kesediaan untuk berbagi sumber daya dunia, diantara manusia dan

dalam hubungan antar manusia dengan makhluk lainnya. Prinsip tersebut

menekankan siapapun yang terlibat dalam pertanian organik harus mengarahkan

hubungan antar manusia dalam sikap yang saling menjaga keadilan pada setiap

tingkatan dan kelompok baik petani, pekerja, pengolah, pedagang, distributor,

bahkan konsumen. Pertanian organik harus menyajikan keterlibatan setiap orang

dengan kualitas kehidupan yang lebih baik, dan berkontribusi pada ketahanan

pangan, dan mengurangi kemiskinan. Aktivitas produksi dan konsumsi harus

dikelola dengan merujuk pada keadilan sosial dan ekologi serta dapat menjamin

kelangsungan generasi dimasa depan. Keadilan juga mencakup sistem produksi,

sistem distribusi dan perdagangan yang terbuka,adil, dan dapat memperhitungkan

biaya lingkungan juga biaya sosial.

Page 7: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

15

The principles of care

Prinsip ini menekankan bahwa pencegahan dan tanggung jawab adalah

kunci perhatian dalam pengelolaan, pengembangan dan pilihan teknologi dalam

pertanian organik. Ilmu sangat penting untuk memastikan bahwa pertanian

organic benar-benar menyehatkan, aman, dan menjamin kelangsungan ekologi.

Meskipun demikian, pengetahuan ilmiah sendiri tidak cukup. Pengalaman praktik,

akumulasi kebijakan, tradisional dan pengetahuan lokal menyajikan solusi yang

utama yang teruji dari waktu ke waktu. Pertanian organik harus dapat mencegah

resiko yang signifikan dengan mengadopsi teknologi yang tepat dan menolak hal-

hal tidak terprediksi, seperi rekayasa genetik. Pengambilan keputusan harus

merefleksikan nilai dan kebutuhan semua pihak yang terkena dampak, melalui

proses yang transparan dan partisipatif.

Pertanian organik, jika dibanding dengan pertanian modern yang bertumpu

pada pupuk, benih unggul, teknologi dan pestisida, memiliki beberapa manfaat

berikut2. Pertama, manfaat ekologis. Pertanian organik menjamin kegemburan dan

kesuburan tanah dan terhindarnya polusi. Jadi, pertanian organik ramah dan

bersahabat dengan alam sehingga menjamin keseimbangan ekosistem.

Kedua, manfaat ekonomis. Pertanian organik tidak memerlukan pupuk,

pestisida, benih unggul dan teknologi mahal. Petani tidak perlu membelanjakan

semua input tersebut. Sementara hasil produksinya, meski awalnya kurang

memuaskan, dalam jangka panjang lebih menguntungkan. Pertanian organik juga

menjamin keberlanjutan, karena petani bisa membuat benih sendiri.

Ketiga, manfaat sosial budaya. Pertanian organik menjadi faktor

pengintegrasi dan pusat kreasi petani. Jika revolusi hijau memisahkan mereka,

pertanian organik justru menyatukan. Petani bisa berkumpul untuk belajar, tukar

pengalaman dan melakukan uji coba secara bersama-sama. Di sini juga tumbuh

kembali rasa saling untuk percaya dan membutuhkan. Mereka sadar, bahwa

permasalahan petani itu berat, tidak mungkin diselesaikan seorang diri, melainkan

dalam kebersamaan.

Keempat, manfaat politis. Pertanian organik dikembangkan atas inisiatif

dan kreativitas rakyat, bukan karena program atau komando pihak lain. Dengan 2 Roman N. Landong. 2004. Pertanian Organis, Inovasi untuk Kemandirian Petani. Wacana Organis, Edisi No.5/Th2(Desember 2003 – Februari 2004).

Page 8: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

16

demikian daulat petani dapat dioptimalkan. Mereka tidak lagi bergantung pada

perusahaan atau tengkulak. Kondisi itu tentu bisa memperkuat daya tawar politik

mereka sehingga tidak lagi menjadi obyek eksploitasi pihak lain, baik pemerintah,

partai politik atau pun perusahaan. Dengan kata lain, pertanian organik membuat

rakyat mandiri, otonom, dan maju.

Kelima, berperspektif gender. Pertanian organik mengembangkan peran

perempuan sebagai pembuat benih utama. Perempuan menemukan ruang bagi

artikulasi kepentingan dan kemampuan dirinya sebagai kekuatan produktif serta

menghidupkan. Keterampilan perempuan dalam membuat benih, merawat

tanaman dan menyimpan hasil bisa dipulihkan.

Dari uraian yang dikemukakan seputar sistem pertanian organik, maka

dapat diidentifikasi berbagai perbedaan antara sistem pertanian non-organik

dengan sistem pertanian organik sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.

2.1.4 Aktivitas dalam Sistem Pertanian Padi Sawah

Uphoff (1986) menguraikan bahwa pembangunan pada dasarnya

meibatkan perbaikan-perbaikan atau peningkatan pada 3 kategori yaitu teknologi,

sumberdaya, dan kelembagaan. Pembangunan kelembagaan tampaknya sulit

dalam program pembangunan pertanian, padahal sangat penting khususnya terkait

dengan teknologi dan sumber daya alam. Pembangunan kelembagaan dalam

pertanian pada hakekatnya ditujukan untuk penguatan kelembagaan nasional.

Pembahasan dititikberatkan pada pembangunan kapasitas kelembagaan

untuk mendukung pembangunan pertanian di tingkat lokal. Proses tersebut dapat

disimpulkan secara analisis sebagai berikut :

1. Pertanian perlu merubah sumber daya alam, termasuk tanaman dan hewan

menjadi produk yang bermanfaat melalui pemanfaatan sumber daya

manusia sehingga menjadi lebih produktif dengan adanya penggunaan

modal berupa sarana infrastruktur, peralatan, kredit dan sebagainya.

2. Pembangunan kelembagaan lokal untuk bidang pertanian lebih kompleks

dibandingkan pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan infrastruktur

pedesaan, atau pelayanan kesehatan, karena dalam kelembagaan lokal

Page 9: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

17

terdapat dua hal berbeda yang harus terlibat yaitu adanya kelembagaan

pendukung, dan unit-unit produksi.

Tabel 1. Perbedaan Sistem Pertanian Non-Organik dengan Organik

Faktor Pembeda Sistem Pertanian Non-Organik Sistem Pertanian Organik Harga Standar harga pasar Harga premium Biaya produksi Biaya produksi lebih rendah Biaya produksi lebih tinggi Kemudahan dilakukan Lebih sederhana Lebih membutuhkan ekstra

perhatian Tingkat resiko Resiko rendah karena sudah

terbiasa Resiko kegagalan tinggi (pada tahap awal)

Pendapatan di tingkat petani

Harga di tingkat petani sangat rendah

Pendapatan di tingkat petani lebih tinggi karena dihargai lebih mahal

Prospek jangka panjang Dalam jangka panjang menyebabkan ketidakberlanjutan secara ekologi dan ekonomi

Lebih prospektif secara ekonomi dan ekologi untuk jangka panjang

Nilai-nilai sosial Degradasi nilai-nilai sosial Memperkuat nilai-nilai sosial Pengetahuan lokal Menghilangkan pengetahuan

lokal Mengembangkan kembali praktek dan pengetahuan lokal

Aspek sosial Monopoli kapitalis Meningkatkan kedaulatan petani/kemandirian/ pengambilan keputusan/partisipasi/ pemberdayaan/aksi sosial

Lapangan kerja Mekanisasi menyebabkan marginalisasi tenaga kerja perempuan dan laki-laki

Membuka lapangan kerja baru bagi perempuan

Sikap terhadap alam Merusak keseimbangan ekosistem Melestarikan alam Ketergantungan Ketergantungan terhadap input

luar Melepas ketergantungan

Produk Produk mengandung bahan karsinogenik

Produk lebih sehat

Sumber input Input luar Lokalism Dampak terhadap tanah Merusak tanah Perbaikan tanah Dampak lingkungan Menyebabkan polusi Meredam polusi Kualitas produk Produk mengandung bahan

karsinogenik Kualitas produk

Penggunaan energi Eksploitasi energi Pemanfaatan energi Dampak terhadap tenaga kerja

Marginalisasi tenaga kerja Kesempatan kerja

Penggunaan input Input luar Orisinil Dasar pemikiran Irasional Rasional – seimbang Cakupan Global dan dimonopoli oleh

TNCs Global – direspon seluruh dunia

Keamanan Tidak aman bagi manusia dan lingkungan

Aman – sehat bagi manusia dan lingkungan

Penggunaan sumber daya Eksternal Internal – sumberdaya potensi lokal

Prinsip pengelolaan Eksplotasi Kontinuitas – untuk regenerasi Sumber : Disarikan dari berbagai sumber

Page 10: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

18

3. Aktivitas-aktivitas pertanian menjadi 3 set yaitu (1) perolehan atau

penyediaan input, (2) merubah input menjadi produk melalui penggunaan

tenaga kerja dan pengelolaan dari para ahli, dan (3) menempatkan output

pada pencapaian keuntungan terbaik.

4. Dalam aktivitas-aktivitas tersebut, dibutuhkan dukungan untuk bidang

pertanian dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan investasi-investasi yang

menunjang dari lembaga-lembaga di tingkat nasional dan tingkat regional,

seperti lembaga penelitian, lembaga penyuluhan, dan sarana infrastuktur.

5. Kompleksitas dari pertanian muncul dari adanya keberagaman unit-unit

dan kelembagaan-kelembagaan yang terlibat dan dari kesulitan-kesulitan

dalam meraih keragaan terbaik dalam bentukan kelembagaan tersebut.

Lembaga-lembaga pendukung sebagaimana diuraikan berikut

merepresentasikan jejaring yang krusial dalam mencapai efektivitas dan perluasan

pembangunan pertanian. Aktivitas-aktivitas difokuskan pada berbagai tingkatan

mulai dari level individu sampai pada arena internasional. Adapun tabel analisis

aktivitas-aktivitas pertanian mengidentifikasikan secara spesifik input, produksi,

dan aktivitas output. Analisis aktivitas pertanian menurut Uphoff (1986) adalah

mencakup sebagai berikut :

I. Aktivitas input (secara umum dimediasi oleh kelembagaan-kelembagaan lokal).

A. Input material, meliputi : benih dan pembenihan (pemilihan, pertukaran,

penyajian), nutrisi (pupuk kimia biasanya disalurkan melalui kelembagaan

lokal, termasuk sumber daya lain dari berbagai nutrisi), bahan-bahan

kimia, pembajakan, peralatan, pakan, dan obat-obatan penumbuh.

B. Input modal, meliputi : kredit jangka pendek (produksi untuk tanaman

musim), kredit jangka menengah (untuk perlengkapan atau pilihan lain),

Kredit jangka panjang (lebih sering untuk pemilihan lahan).

C. Input secara umum (biasanya dikelola oleh kelembagaan nasional),

meliputi : akses tanah (sistem peladangan berpindah, rental atau

pengelolaan pembagian tanaman), teknologi (informasi tentang tanaman

baru, praktik, atau teknik, dikembangkan secara umum melalui penelitian

dan pengembangan melalui sistem penyuluhan, dapat menggunakan sistem

Page 11: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

19

dari komunikasi atau pendidikan), dan kebijakan (hubungan harga,

subsidi-subsidi, dan lainnya).

D. Input tidak langsung meliputi : pengelolaan sumber daya alam (proteksi

dan persediaan dari tanah, air, hutan, dan sumber daya alam lainnya),

infrastruktur pedesaan (jalan, persediaan air, perumahan, dan lainnya), dan

pembangunan sumber daya manusia (pendidikan, melek aksara, kesehatan,

lainnya).

II. Aktivitas produksi (biasanya dilakukan oleh individu atau kelompok

perusahaan; dengan melibatkan pertukaran dari tenaga kerja atau input seperti

kekuatan traktor tapi kadang-kadang benar-benar menjadi wadah bagi sumber

daya dengan produser-produser yang mau mengambil resiko)

A. Tenaga Kerja (aktivitas kerja), meliputi : (1) untuk tanaman tahunan

(persiapan lahan, penanaman, termasuk perawatan yang memungkinkan),

(2) untuk tanaman musiman, kecuali : berkurangnya frekuensi persiapan

lahan dan penanaman, benih yang memungkinkan dan atau pemotongan

cabang, penipisan dan perkawinan, pemupukan, proteksi tanaman,

pengendalian hama dan penyakit, manajemen air (yang memungkinkan

untuk irigasi), pemanenan, pemilihan benih, (3) untuk ternak yaitu pakan,

termasuk rumput yang berkualitas seperti jerami, kandang, pengendalian

penyakit, pemberian susu, pemotongan hewan, pembiakan, perbanyakan.

B. Manajemen (aktivitas pengambilan keputusan), meliputi : dapat

memahami dan menentukan input, memobilisasi, koordinasi, supervisi,

input tenaga kerja, menentukan macam-macam dan durasi dari produksi,

meyakinkan keseimbangan antara input dan output.

III. Aktivitas output, meliputi : penyimpanan (setelah panen dan atau setelah

prosesing atau pengolahan), pengolahan (secara manual dan atau memakai

mesin), transportasi (untuk prosesing, penyimpanan dan penjualan),

pemasaran (seluruhnya dijual dan atau eceran).

Kegiatan produksi dapat dilakukan baik oleh individu, rumah tangga,

kelompok atau perusahaan, pada umumnya rumah tangga menjadi pusat aktivitas

produksi. Penyediaan input dan penanganan output, adalah sebaliknya, berada

dalam rentang dari tingkat kelompok atau tingkat perusahaan kemudian di tingkat

Page 12: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

20

komunitas, beranjak ke tingkat lokalitas dan seringkali juga berada di tingkat

regional.

Aktivitas pertanian sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Uphoff

(1986) secara garis besar merupakan aktivitas pada sistem pertanian non-organik

maupun sistem pertanian organik. Hanya terdapat beberapa perbedaan dalam

implementasinya sebagaimana tabel berikut :

Tabel 2. Aktivitas Pertanian pada Sistem Pertanian Non-Organik dan Organik

Aktivitas Pertanian Sistem Pertanian Non Organik

Sistem Pertanian Organik

Prinsip Peningkatan produksi dan

keuntungan melalui intensifikasi lahan

Keseimbangan ekologis dan kedaulatan petani

I. Aktivitas Input A. Input Material Input dari Luar Komunitas Lokal B. Input Modal Lembaga permodalan (penyedia

kredit) Tengkulak/Pengijon

Milik sendiri dan atau milik komunitas

C. Input Secara Umum 1. Akses tanah Lahan bukan milik sendiri Lahan milik sendiri 2. Informasi Kebijakan pemerintah Pengetahuan lokal

3. Kebijakan Harga ditentukan oleh pasar Harga ditentukan dengan mekanisme fair trade

D. Input Tidak Langsung 1. Pengelolaan sumber

daya alam Komunitas petani setempat dan pihak terkait

Komunitas petani setempat dan pihak terkait

A. Tenaga Kerja Petani penggarap dan tenaga kerja upahan

Lebih intensif oleh petani penggarap

B. Manajemen Penyuluh dan opinion leader Petani penggarap A. Penyimpanan Lembaga pemerintah seperti Bulog Lumbung milik komunitas B. Pengolahan Mesin Manual C. Transportasi Transportasi modern yang disediakan

oleh petani pemodal besar Menggunakan sarana transportasi modern

D. Pemasaran Dijual seluruhnya dan eceran ke pasar

Dijual seluruhnya dan eceran

Sumber : Disarikan dari berbagai sumber

2.1.5 Kelembagaan Pertanian Padi Sawah

Definisi Kelembagaan

Merujuk pada Uphoff (1986), kelembagaan adalah seperangkat norma dan

perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan melayani tujuan yang bernilai

secara kolektif. Kelembagaan tersebut didasarkan pada sektor-sektor tingkat

lokalitas terbagi menjadi tiga bidang yaitu (1) sektor publik (public sector), sektor

Page 13: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

21

partisipatori (participatory sector), dan sektor swasta (private sector).

Kelembagaan sektor publik di tingkat lokal mencakup administrasi dan

pemerintah lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai bentuk organisasi

yang mutakhir. Kelembagaan sektor partisipatori tumbuh dan dibangkitkan oleh

masyarakat secara sukarela. Sementara itu, kelembagaan sektor swasta,

berorientasi pada upaya mencari keuntungan, yakni dalam bidang jasa,

perdagangan, dan industri.

Koentjaraningrat dalam Soekanto (1982) menggunakan istilah pranata

sosial untuk menyatakan kelembagaan sebagai rules of the games. Pranata

merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada

aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam

kehidupan masyarakat. Adapun Schmid dalam Tonny (2004) mengemukakan

bahwa kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat,

yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan

bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak

lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus

mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau

kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam

tertentu.

Norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu untuk memenuhi

kebutuhan hidup manusia oleh Soekanto (1982) lebih diistilahkan sebagai

lembaga kemasyarakatan (social institution). Suatu lembaga kemasyarakatan yang

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dari manusia, pada

dasarnya mempunyai beberapa fungsi, yaitu antara lain :

1. Memberikan pedoman pada anggota-anggota masyarakat, bagaimana

mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi

masalah-masalah dalam masyarakat yang terutama menyangkut

kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan.

2. Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan.

3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem

pengendalian-sosial (social control) yaitu artinya sistem pengawasan

daripada masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.

Page 14: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

22

Scott (2008) menguraikan bahwa kelembagaan adalah gabungan dari

elemen regulatif, normatif, dan pengetahuan budaya bersamaan dengan gabungan

aktivitas dan sumber daya, menyajikan stabilitas dan makna untuk kehidupan

sosial. Adanya sistem regulatif, normatif, dan pengetahuan budaya merupakan

bahan dasar utama dalam suatu kelembagaan. Ketiga elemen membentuk suatu

kontinum yang bergerak dari kebingungan menuju ketidakbingungan, dari tekanan

legal menuju penerimaan apa adanya.

Sebagai suatu konsepsi yang terintegrasi, merujuk D’Andrade dalam Scott

(2008) lebih lanjut mengemukakan bahwa perwujudan kelembagaan adalah untuk

menjadi suatu sistem yang lebih menentukan (overdetermined systems).

Overdetermined yang dimaksud adalah merujuk pada sanksi sosial ditambah

dengan tekanan untuk menciptakan konformitas, ditambah dengan adanya

penghargaan langsung secara intrinsik, ditambah dengan nilai, dimana

keseluruhannya beraksi atau bergerak bersama untuk memberikan sistem makna

sehingga menjadi kekuatan yang mengarahkan. Tabel 3. menguraikan tiga elemen

(tiga pilar) yang teridentifikasi sebagai penunjang kelembagaan.

Tabel 3. Three Pillars of Institution

Regulative Normative Cultural-Cognitif Basis of compliance

Expedience Social obligation Taken for-grantness Shared understanding

Basis of order Regulative rules Binding expectations

Constitutive schema

Mechanism Coersive Normative Mimetic Logic Instrumentality Appropriateness Orthodoxy Indicators Rules

Laws Sanctions

Certification Accreditation

Common belief Shared logic of action Isomorphism

Affect Fear Guilt/Innocence Shame/Honor Certainty/Confusion Basis of legitimacy

Legally sanctioned Morally governed Comprehensible Recognizable Culturally supported

Sumber : Scott, 2008

Scott (2008) lebih lanjut menjelaskan bahwa kelembagaan yang dibentuk

atas pilar regulatif mengatur perilaku anggotanya dengan menitikberatkan adanya

kepatuhan terhadap proses-proses regulatif yang eksplisit yakni seting peraturan

Page 15: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

23

(rule-setting), pemantauan (monitoring), dan aktivitas pemberian sanksi

(sanctioning activities). Baik individu maupun organisasi-organisasi

mengkonstruksi sistem peraturan atau menyesuaikan diri terhadap peraturan

tersebut untuk memenuhi kepentingan mereka seperti melakukan hal-hal yang

bersifat instrumental dan menunjukkan kepatuhan. Adanya paksaan menjadi

mekanisme kontrol yang tampak dalam proses tersebut.

Pemaksaan, sanksi, dan kepatuhan adalah pusat bahan dasar dari pilar

regulatif ini, namun ketiganya seringkali muncul dengan adanya peraturan-

peraturan, baik dalam bentuk tata kelakuan informal maupun dalam bentuk hukum

dan peraturan formal. Terkait dengan keterlibatan kepemimpinan dalam

penerapan regulasi ini, bila kekuatan untuk memaksa dilegitimasi atau diperkuat

dengan pemberian kewenangan secara normatif maka akan mendukung dan

semakin memaksakan penggunaan kekuasaan yang dimiliki. Oleh karena itu, pilar

regulatif dan normatif dapat saling menguatkan. Kelembagaan-kelembagaan yang

didukung oleh satu pilar, seiring berjalannya waktu dan perubahan lingkungan,

dapat bertahan dengan adanya pilar-pilar yang lain. Sistem yang stabil dari suatu

peraturan, baik informal maupun formal, dilatarbelakangi oleh adanya

pengawasan dan kekuatan untuk memberikan sanksi yang diiringi dengan rasa

bersalah atau tidak bersalah. Pilar ini pun menuntut adanya bentuk pengawasan

yang relevan dengan kesepakatan, baik secara eksplisit dan implisit serta adanya

rancangan insentif atau tunjangan yang tepat.

Pilar normatif juga menjadi salah satu bahan dasar kelembagaan yang

dititikberatkan pada adanya rumusan atau resep, evaluasi, dan kewajiban sosial

dalam kehidupan sosial. Sistem normatif melibatkan nilai dan norma. Nilai adalah

konsepsi dari pilihan bersama dengan konstruksi yang standar dimana keberadaan

berbagai struktur dan perilaku dapat digabungkan dan dinilai. Sedangkan norma

menspesifikasi bagaimana sesuatu harus dijalankan. Nilai dan norma menyatakan

suatu makna yang sah untuk mencapai tujuan yang bernilai. Sistem normatif

mendefinisikan tujuan dan juga merancang langkah-langkah yang tepat untuk

mencapai tujuan tersebut. Sebagian nilai dan norma dapat diterapkan kepada

seluruh anggota dari suatu kolektivitas, namun sebagian nilai dan norma yang lain

hanya dapat diterapkan pada aktor tertentu atau posisi aktor tertentu. Hal ini

Page 16: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

24

terkait dengan peranan yang dimiliki aktor tersebut dimana peran dapat

didefinisikan sebagai konsepsi dari tujuan dan aktivitas yang tepat dan sebagai

individu atau posisi sosial yang spesifik. Keyakinan ini merupakan harapan

normatif yakni bagaimana aktor yang spesifik tersebut harus berperilaku, baik

dalam konstruksi formal maupun informal. Sebagaimana halnya dalam perilaku

berorganisasi yang dispesifikasi dengan adanya standard operating procedures

sebagai literatur yang bersifat birokratis dan organisasional.

Meskipun pengertian peraturan sudah meluas, tetapi juga termasuk

pengetahuan budaya sebagai elemen normatif seperti kebiasaan, prosedur,

konvensi, peran, keyakinan, paradigma, kode-kode, budaya-budaya, dan

pengetahuan-pengetahuan, semuanya berfokus pada kewajiban sosial. Norma

dapat membangkitkan kekuatan perasaan, namun berbeda dengan yang menyertai

pelanggaran peraturan dan regulasi. Penyesuaian diri lebih pada evaluasi dan

penghargaan dari diri sendiri. Menurut Parsons, keberadaan nilai dan norma

menjadi dasar utama untuk membentuk pengaturan sosial yang stabil.

Kelembagaan juga dapat didasarkan pada pilar cultural-cognitif atau

pengetahuan budaya yang menitikberatkan untuk berbagi konsepsi yang

mengkonstitusi keaslian dari realitas sosial dan kerangkanya, melalui

pembentukan makna. Dalam paradigma kognitif, apa yang tercipta adalah juga

untuk tercipta dalam representasi internal individu terhadap lingkungannya.

Simbol-simbol, kata-kata, tanda-tanda, dan gerakan-gerakan tubuh membentuk

makna-makan yng diatributkan untuk berbagai objek dan aktivitas.

Weber menyatakan bahwa untuk memahami atau untuk menjelaskan

berbagai aksi (action), tidak hanya menganalisis kondisi objektif, tetapi juga

interpretasi subjektif dari pada aktor terhadap aksi (action) tersebut. Label

cultural-cognitif mengakui adanya proses interpretasi “internal” yang dibentuk

oleh kerangka budaya “eksternal”. Adanya skema yang terorganisasi dan

kebiasaan- kebiasaan merupakan hal yang melekat dalam bentuk budaya itu

sendiri. Adapun peran-peran sosial diberikan dari interpretasi yang berbeda-beda

secara budaya dibandingkan secara normatif. Peran-peran tersebut muncul sebagai

pemahaman bersama yang membangun aksi-aksi tertentu dengan aktor-aktor

tertentu pula. Peran-peran yang berbeda dapat dan akan berkembang pada konteks

Page 17: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

25

yang terlokalisasi sebagai pola yang berulang. Selain itu, peningkatan dari sistem

keyakinan dan kerangka budaya yang semakin meluas diadopsi oleh para aktor

baik secara individu maupun organisasi-organisasi. Adapun dimensi afektif dari

pilar cultural-cognitif ini mengekspresikan perasaan dari perasaan yang positif

untuk merasa yakin dan percaya di satu sisi, sementara merasa tidak yakin dan

disorientasi pada sisi yang lain. Konsepsi cultural-cognitif dalam kelembagaan ini

menekankan adanya peranan sentral yang dimainkan oleh konstruksi mediasi

sosial dan kerangka pemaknaan bersama.

Soekanto (1982) lebih lanjut menguraikan bahwa lembaga kemasyarakatan

merupakan himpunan daripada norma dari segala tingkatan yang berkisar pada

suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Agar hubungan antar

manusia di dalam sesuatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka

dirumuskanlah norma-norma di masyarakat. Untuk membedakan kekuatan

mengikat daripada norma-norma tersebut, maka secara sosiologis terdapat empat

pengertian, yaitu :

a. cara (usage), menunjuk pada suatu bentuk perbuatan. Norma ini

mempunyai kekuatan yang sangat lemah bila dibandingkan dengan

kebiasaan (folkways); cara (usage) lebih menonjol di dalam hubungan

antar individu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan terhadap norma

tersebut, tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, akan tetapi hanya

sekedar celaan dari individu dihubunginya.

b. kebiasaan (folkways), mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar

daripada cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang

dalam bentuk yang sama, merupakan perikelakuan yang diakui dan

diterima oleh masyarakat. Apabila seseorang tidak melakukan perbuatan

tersebut, maka dianggap sebagai suatu penyimpangan.

c. tata-kelakuan (mores), yakni kebiasaan yang diterima sebagai norma-

norma pengatur. Tata-kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari

kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar

maupun tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Tata-

kelakuan tersebut, di satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain

pihak melarangnya, sehingga secara langsung merupakan suatu alat agar

Page 18: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

26

supaya anggota-anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-

perbuatannya dengan tata-kelakuan tersebut.

d. adat-istiadat (custom), merupakan tata-kelakuan yang kuat integrasinya

dengan pola-pola perikelakuan masyarakat dan memiliki kekuatan

mengikat yang semakin kuat. Anggota-anggota masyarakat yang

melanggar adat-isitiadat, akan mendapat sanksi yng keras dan kadang-

kadang secara tidak langsung diperlakukan.

Norma-norma tersebut di atas, setelah mengalami suatu proses, pada

akhirnya menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut

dinamakan prosess pelembagaan (institutionalization), yaitu suatu proses yang

dilewati oleh suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari

salah satu lembaga kemasyarakatan dimana norma kemasyarakatan tersebut

dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Scott (2008), terdapat tiga alternatif mekanisme yang menggarisbawahi

proses dari pelembagaan sistem sosial yakni pelembagaan berbasis pada

pengembalian yang semakin meningkat (institutionalization based on increasing

return), pelembagaan berbasis pada peningkatan komitmen (institutionalization

based on increasing commitments), dan pelembagaan berbasis pada peningkatan

objektifikasi ((institutionalization based on increasing objectification).

Pusat argumentasi dari pengembalian yang semakin meningkat untuk

pelembagaan adalah menggarisbawahi peran insentif sebagai pendorong

munculnya motivasi dalam kehidupan sosial. Biaya yang dikeluarkan dan manfaat

yang diperoleh (cost and benefit) menjadi hal penting sebagai bentuk positive

feedback dalam pelembagaan yang dibangun. Adapun pelembagaan yang

ditopang oleh pilar normatif berfokus pada mekanisme dari berbagai komitmen.

Dalam prosesnya, melibatkan faktor penting yaitu adanya norma dan nilai (norms

and values), terkait dengan struktur dan prosedur yang terbentuk (structures and

procedures), melibatkan para individu (individuals), dan terdapat aktor-aktor yang

berperan secara kolektif (collective actors). Penghargaan terhadap kesepakatan-

kesepakatan yang dibangun (honoring the contract) menjadi utama dalam

menjalankan proses tersebut. terdapat makna yang signifikan yakni bahwa untuk

melembaga adalah menyatukan nilai dengan penerapan teknis dalam melakukan

Page 19: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

27

sesuatu (Selznick dalam Scott, 2008). Istilah komitmen itu sendiri dibangun atas

dasar berbalikan (resiprositas) dan kepercayaan (trust) antara pihak-pihak yang

terlibat.

Mekanisme pelembagaan yang ketiga adalah pelembagaan berbasis pada

peran objektifikasi dari keyakinan-keyakinan yang terbagi diantara individu

terkait. Keyakinan-keyakinan objektif seringkali malekat pada rutinitas, bentuk-

bentuk dan dokumen-dokumen. Selain itu, proses ini pun menekankan bahwa ide-

ide-keyakinan-keyakinan, skema-skema dan asumsi-asumsi memainkan peran

yang sangat kuat dalam proses pelembagaan.

Sehubungan dengan itu, lembaga kemasyarakatan dapat dibedakan sebagai

(1) peraturan (regulative social institution) dan yang sungguh-sungguh berlaku

(operative social institution). Lembaga kemasyarakatan dianggap sebagai

peraturan apabila norma-norma tersebut membatasi serta mengatur perikelakuan

orang-orang. Adapun lembaga kekeluargaan dianggap sebagai yang sungguh-

sungguh berlaku, apabila norma-normanya sepenuhnya membantu pelaksanaan

pola-pola kemasyarakatan. Perikelakuan perseorangan merupakan hal yang

sekunder bagi lembaga kemasyarakatan yang dianggap sebagai peraturan.

Proses – pelembagaan sebenarnya tidak berhenti demikian saja, akan tetapi

dapat berlangsung lebih jauh lagi hingga suatu norma kemasyarakatan tidak hanya

menjai institutionalized dalam masyarakat, akan tetapi menjadi internalized.

Maksudnya adalah suatu taraf perkembangan di mana para anggota masyarakat

dengan sendirinya ingin berperikelakuan sejalan dengan perikelakuan yang

memang sebenarnya memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan perkataan lain,

norma-norma tadi telah mendarahdaging (internalized).

Kelembagaan-kelembagaan pertanian sebagai lembaga kemasyarakatan

yang ditujukan untuk memenuhui kebutuhan akan mata pencaharian dapat

diidentifikasi dari tulisan Kano (1980), Ropke (1986), Hayami dan Kikuchi

(1987), Suhirmanto (2003), dan Radandima (2003) yakni kelembagaan hubungan-

hubungan kerja pertanian yang meliputi bentuk hubungan kerja (sistem gotong

royong, sistem upah harian dan sistem upah borongan), dan biaya upah

(mencangkul, sewa ternak, bajak dan sewa traktor); kelembagaan penguasaan

lahan yang meliputi struktur kepemilikan tanah, cara pengusahaan tanah, pola

Page 20: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

28

penyakapan, tingkat keeratan hubungan pemiliki-penyakap, serta arah dan cara

peralihan hak milik atas tanah; kelembagaan panen, kelembagaan sewa lahan,

kelembagaan sewa lahan, kelembagaan bagi hasil, kelembagaan bagi hasil bibit,

kelembagaan pinjaman modal, kelembagaan tebasan, kelembagaan diversifikasi,

kelembagaan sistem pengairan. Kelembagaan-kelembagaan tersebut muncul dan

berubah seiring dengan perkembangan sistem pertanian dari tradisional menjadi

sistem pertanian modern atau konvensional. Selain itu, dinamika kelembagaan

tersebut juga terbentuk dengan masuknya teknologi seperti halnya teknologi

irigasi. Namun, faktor lain yang utama mempengaruhi dinamika kelembagaan

pertanian tersebut adalah kebijakan revolusi hijau sebagai implementasi dari

modernisasi pertanian. Sehubungan dengan itu, seiring dengan adanya perubahan

sistem pertanian maka berubah pula kelembagaan pertanian pada masyarakat

setempat. Demikian pula halnya dengan terjadinya perubahan dari sistem

pertanian modern atau konvensional menjadi sistem pertanian organik.

Beberapa Hasil Penelitian Kelembagaan Pertanian Padi Sawah

Merujuk pada Suhirmanto (2003) dan Radandima (2003), diketahui bahwa

introduksi pertanian modern telah menyebabkan terjadinya perubahan pada

kelembagaan-kelembagaan pertanian. Hasil penelitian Suhirmanto (2003)

menunjukkan bahwa, berubahnya sistem pertanian dari sistem pertanian

tradisional menjadi sistem pertanian modern berdampak pada melemahnya

kelembagaan tradisi baik pada bidang kegiatan produksi maupun non-produksi.

Selain itu, juga menyebabkan tidak berfungsinya kelembagaan formal seperti

kelompok tani dan koperasi unit desa. Akan tetapi, di sisi lain perubahan tersebut

juga membentuk kelembagaan-kelembagaan baru yaitu : (1) sewa lahan, (2) bagi

hasil, (3) bagi hasil bibit, (4) pinjaman modal, (5) tebasan, (6) diversifikasi

pertanian, (8) sistem tenaga upah. Adapun dari hasil penelitian Radandima (2003),

diketahi bahwa pertanian modern melalui adanya pembangunan irigasi

menyebabkan terjadinya perubahan pada kelembagaan penguasaan lahan dan

kelembagaan hubungan kerja pertanian.

Hayami dan Kikuchi (1987) menguraikan analisis kelembagaan yang secara

khusus diartikan sebagai hubungan kontrak antara petani dan buruh tani yang

Page 21: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

29

dikembangkan dalam satuan usahatani keluarga (rumahtangga) petani. Hubungan

“bapak-anak buah” antara petani dan buruh tani itu digambarkan sebagai

kompleks beragam kaitan pasaran dengan saling mengenal pribadi dimana syarat

ekonomi dan efisiensi dapat terjamin.

Kano (1980) menguraikan sejarah perekonomian masyarakat pedesaan di

Jawa dengan menyajikan tinjauan kritis Collier terhadap konsep Geertz mengenai

involusi pertanian. Collier dalam Kano (1980) menyampaikan pandangan bahwa

introduksi pertanian modern melalui penerapan dan perluasan program Bimas,

khususnya dengan penggunaan jenis-jenis bibit unggul, telah meningkatkan

pemakaian tenaga kerja dan produktivitas sawah.

Ropke (1986) menguraikan inovasi pertanian melalui kebijakan revolusi

hijau telah menyebabkan perubahan pada hak-hak panen dalam budidaya padi.

Berkembangnya teknologi pupuk dan benih telah menyebakan perubahan pada

institusi panen yaitu dari hak panen dengan sistem terbuka menjadi lebih eksklusif

dengan sistem kontraktual. Hak panen yang lebih terbatas diberikan kepada

pekerja yang menandatangani kontrak, untuk melakukan kegiatan “tanpa bayaran”

seperti memindahkan tanaman padi yang masih muda, membersihkan gulma, dan

lain-lain.

Berbagai bentuk perubahan kelembagaan sebagai dampak munculnya

introduksi pertanian modern pada padi sawah sebagaimana yang diuraikan oleh

para ahli di atas dapat dilihat dalam Tabel 4.

2.1.6 Pertanian Berkelanjutan

Pembangunan pedesaan berkelanjutan menjadi salah satu fokus

pembangunan yang berkelanjutan. Pedesaan memiliki karakteristik sumberdaya

alam yang berbeda dengan wilayah lainnya. Sumberdaya alam tersebut baik

dataran tinggi maupun dataran rendah memiliki daya dukung yang berbeda-beda.

Selain memperhatikan hubungan manusia dengan manusia, pembangunan

pedesaaan juga memperhatikan hubungan manusia dengan sumberdaya alam.

Hubungan-hubungan tersebut membentuk suatu entitas sosial baik berupa

kelembagaan maupun kelompok.

Page 22: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

30

Tabel 4. Perubahan Bentuk-Bentuk Kelembagaan Pertanian Padi Sawah sebagai Dampak Introduksi Pertanian Modern

Hasil Penelitian Kelembagaan Pertanian

Kano (1980) Munculnya kelembagaan-kelembagaan dalam proses intensifikasi pertanian sebagai dampak adanya kebijakan perluasan dan penerapan program BIMAS telah meningkatkan pemakaian tenaga kerja dan produktivitas sawah

Ropke (1986) Adanya perubahan kelembagaan panen dalam budidaya padi yaitu perubahan hak panen dengan sistem terbuka menjadi hak eksklusif atau sistem kontraktual

Hayami dan Kikuchi (1987)

Munculnya kelembagaan hubungan-hubungan kerja dalam kaitannya dengan penggunaan teknologi, penggunaan bibit/benih dan pupuk, pemanfaatan irigasi, tingkat pendapatan, jumlah tenaga kerja, luas kepemilikian lahan, dan peningkatan produktivitas lahan

Suhirmanto (2003) Munculnya kelembagaan penguasaan lahan, meliputi : struktur kepemilikan tanah, cara pengusahaan tanah, pola penyakapan, tingkat keeratan hubungan pemilik-penyakap, serta arah dan cara peralihan hak milik atas tanah.

Munculnya kelembagaan hubungan kerja pertanian yaitu, - Bentuk hubungan kerja, meliputi sistem gotong royong,

sistem upah harian upah harian dan sistem upah borongan, - Sistem pengupahan dan pembiayaan, meliputi upah

mencangkul, sewa ternak bajak dan sewa traktor

Radandima (2003) Munculnya kelembagaan sewa lahan, kelembagaan bagi hasil, kelembagaan bagi hasil bibit, kelembagaan pinjaman modal, dan kelembagaan tebasan

Munculnya kelembagaan penguasaan lahan, meliputi : struktur kepemilikan tanah, cara penguasaan tanah, pola penyakapan, tingkat keeratan hubungan pemilik penyakap, arah dan cara peralihan hak atas tanah

Sumber : Disarikan dari berbagai sumber

Merujuk pada Lele (1991), dari arti katanya, pembangunan berkelanjutan

merupakan suatu frase yang terdiri dari konsep keberlanjutan (sustainability) dan

pembangunan (development). Keberlanjutan itu sendiri dapat dikonotasikan baik

secara harfiah, secara ekologis, maupun secara sosial. Adapun konsep

pembangunan dapat dikonotasikan dari segi proses maupun dari segi tujuannya.

Keberlanjutan secara sosial dapat diartikan sebagai keberlanjutan basis sosial dari

kehidupan manusia, dan ini terkait dengan konsep pembangunan yang lebih

ditekankan pada aspek tujuannya yakni untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam

kehidupan manusia tersebut. Sehubungan dengan hal ini, maka dapat

Page 23: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

31

diinterpretasikan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah mengutamakan dan

memberikan arti penting pada tercapainya tujuan yang tradisional dan

keberlanjutan secara ekologis dan sosial. Menurut Rientjes (1999), pertanian

berkelanjutan mencakup hal-hal sebagai berikut :

(1) Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumber daya alam

dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan – dari manusia,

tanaman, dan hewan sampai organism tanah – ditingkatkan. Tekanannya adalah

pada penggunaan sumber daya yang bisa diperbaharui.

(2) Berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup

menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan/atau pendapatan sendiri, serta

mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan

biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis ini bisa diukur bukan hanya

dalam hal produk usaha tani yang langsung namun juga dalam hal fungsi seperti

melestarikan sumber daya alam dan meminimalkan risiko;

(3) Adil, yang berarti bahwa sumber daya dan kekuasaan didistribusikan

sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi

dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan

teknis serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki kesempatan

untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan, baik di lapangan maupun di

dalam masyarakat. Kerusuhan sosial bisa mengancam sistem sosial secara

keseluruhan, termasuk sistem pertaniannya.

(4) Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman,

hewan, dan manusia dihargai). Martabat dasar semua makhuk hidup dihormati,

dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar,

seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang. Integritas

budaya dan spiritualitas masyarakat dijaga dan dipelihara.

(5) Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu

menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus

misalnya dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus, misalnya

pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar, dan lain-lain. Hal ini

meliputi bukan hanya pengembangan teknologi yang baru dan sesuai, namun juga

inovasi dalam arti sosial dan budaya.

Page 24: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

32

Adapun pembangunan berkelanjutan dari perspektif sosiologi lebih

difokuskan pada dimensi manusia dalam pembangunan., sehingga jika kita

memilih untuk mengkonseptualisasikan pembangunan berkelanjutan dari dimensi

manusia, maka akan dititikberatkan pada keberlanjutan sistem sosial masyarakat.

(Gale and Corday, 1994). Para sosiolog akan menempatkan keberlanjutan sistem

sosial, partisipasi dan pemberdayaan sebagai poin penting dalam mengklarifikasi

pembangunan yang berkelanjutan tersebut. (Gale and Corday, 1994, and Lele,

1991). Sehubungan dengan itu, keberlanjutan sistem sosial diinterprestasikan

sebagai keberlanjutan kelembagaan.

John Howell dalam Nasdian (2007) mengatakan bahwa istilah

keberlanjutan kelembagaan memiliki tiga pengertian. Definisi pertama adalah

membangun kelembagaan pada sektor publik yang memiliki kemampuan untuk

menampilkan fungsi-fungsi utama tanpa dukungan dari keuangan luar dan

pendampingan teknis. Pengertian kedua dari keberlanjutan kelembagaan adalah

bekerja untuk membangun keseimbangan yang sesuai dan peranan sosial bagi

sektor masyarakat, sektor swasta, dan sektor sukarelawan pada negara

berkembang dimana terjadi kekurangan keseimbangan sebagai faktor yang

melemahkan keragaan ekonomi. Ketiga, istilah keberlanjutan kelembagaan juga

dapat menjadi acuan untuk membangun kapasitas kelembagaan untuk merespon

masalah-masalah dalam kebijakan publik, dengan menyediakan masukan-

masukan yang dibutuhkan dan bagaimana hal itu dapat ditampilkan.

Tertulis pada awal tahun 1980, Gordon K. Douglas dalam Eicher (1998)

mendefinisikan tiga alternatif pendekatan konseptual mengenai definisi

keberlanjutan pertanian yakni :

1. keberlanjutan pertanian terkait dengan istilah teknik dan ekonomis, dengan

melihat kapasitas untuk menyediakan permintaan yang semakin beragam

dan meningkat terhadap komoditi pertanian. Dalam arus utama para

ekonom sumberdaya dan pertanian, adanya kepastian harga dari komoditi

pertanian yang senantiasa berulang-ulang dalam jangka waktu lama

merepresentasikan suatu bukti bahwa perubahan produksi pertanian telah

mengikuti pola yang berkelanjutan.

Page 25: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

33

2. keberlanjutan pertanian sebagai pertanyaan ekologis merujuk pada suatu

sistem pertanian dimana mengurangi polusi dan fakor-faktor yang merusak

keseimbangan ekologi dari sistem yang tidak berkelanjutan. Kondisi

tersebut seharusnya digantikan dengan sesuatu yang menghargai

kealamian fungsi-fungsi penguatan biofisik dalam jangka waktu lama.

3. keberlanjutan pertanian di bawah istilah pertanian alternatif, menempatkan

keberlanjutan tersebut pada titik berat yang paling utama terkait dengan

keberlanjutan tidak hanya sebagai sumber daya fisik tapi sejumlah set

nilai-nilai komunitas (National Research Council dalam Eicher, 1998).

Masyarakat dan komunitas pedesaan memiliki ilmu-ilmu konvensional

yang mendasari sistem pertanian dan sistem pengelolaan lingkungan

mereka. Sehubungan dengan itu, hal ini menjadi perhatian utama dalam

upaya penguatan atau merevitalisasi dari budaya dan komunitas pedesaan

itu sendiri, dipandu oleh nilai-nilai gotong-royong dan kemandirian diri

dan atau adanya pendekatan secara keseluruhan dan terintegrasi dari

dimensi fisik dan kultural dari produksi dan konsumsi.

2.1.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberlanjutan Kelembagaan

Menurut Cernea (1993), dalam perspektif sosiologi, terdapat dua elemen

yang dapat menjadi alat untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan yakni

adanya pengorganisasian sosial (social organization) dan teknik sosial (social

techniques). Pertama, pengorganisasian sosial sebagai konsep yang membantu

menjelaskan mengenai aksi sosial, hubungan antar manusia, bentuk kompleks dari

organisasi sosial, perencanaan kelembagaan, dan aspek budaya, motivasi,

stimulus, dan nilai yang meregulasi perilaku dalam berhadapan dengan sumber

daya alam. Pengorganisasian sosial merupakan bangunan sosial yang mencakup

para pelaku sosial itu sendiri; kontrak sosial yang mengatur hubungan antara

masyarakat lokal dengan para stakeholder; hak-hak pengelolaan sumber daya

alam yang merujuk pada sistem budaya setempat, meliputi hak kepemilikan,

penguasaan, atau penentuan orang yang memiliki peran sebagai “public building”;

sistem otoritas dan mekanisme penguatan kepatuhan; ketiadaan batas-batas antara

selang pengorganisasian produksi dari sistem berbasis keluarga menjadi

Page 26: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

34

perusahaan besar; pertukaran jaringan tenaga kerja; termasuk nilai dan sistem

kepercayaan setempat.

Kedua, adanya teknik sosial yang tepat untuk mempercepat koordinasi

aksi sosial, mencegah keburukan perilaku, membantu perkembangan asosiasi,

keahlian dalam perencanaan sosial, dan pembangunan modal sosial. Teknik sosial

sebagai alat untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan ini berada pada

selang dari membangun kesadaran publik hingga berinvestasi dalam membangun

modal sosial, dari konsultasi-konsultasi sederhana hingga membangun

pengelolaan partisipatif, dari sistem insentif hingga kontrol kelembagaan, dari

tradisi hingga merubah praktik lama dan memperkenalkan inovasi baru, dari

pemberdayaan hingga membentuk kohesi sosial, dari perilaku individu yang

bermotif ekonomi hingga membangun kekuatan solidaritas, kepercayaan,

pengorganisasian diri dan penerimaan nilai-nilai kelompok. Alat tersebut juga

dapat dikombinasikan untuk merubah pola-pola sosial alat dan mempromosikan

budaya dari proteksi sumber daya alam. Community-centered approach menjadi

salah satu strategi. Strategi yang bersifat sosial dan teknis serta rumusan tujuan

harus diarahkan untuk membangun dan memperkuat pengaturan kelembagaan.

Suatu teknik sosial tidak bisa diterapkan secara universal karena keragaan struktur

kelembagaan untuk pengelolaan lingkungan pada level lokal membutuhkan lebih

dari sekedar mengembalikan tradisi dan kelembagaan lama. Lebih lanjut,

keberlanjutan kelembagaan itu sendiri ditentukan oleh adanya partisipasi

masyarakat, tata kelola yang baik dalam sistem pemerintahan, kinerja masyarakat,

kompleksitas masyarakat, dan kemerosotan yang terjadi dalam berbagai aspek

kehidupan pada masyarakat tersebut.

Adapun merujuk pada Tonny (2004), tingkat keberlanjutan kelembagaan

komunitas lokal dapat dianalisis dari faktor-faktor internal dan eksternal sebagai

faktor-faktor penentu yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan komunitas

lokal. Komunitas lokal tersebut juga mencakup komunitas petani padi sawah.

Faktor-faktor eksternal yang dimaksud adalah meliputi (1) intervensi pemerintah

yang berdampak positif, (2) intervensi pemerintah yang berdampak negatif, (3)

Ketersediaan sarana dan prasarana umum, dan (4) jejaring kerjasama antar

kelembagaan. Sedangkan faktor-faktor internal mencakup (1) kepemimpinan, (2)

Page 27: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

35

pendidikan anggota, (3) aturan tertulis, (4) aturan tidak tertulis, (5) ukuran

kelembagaan, (6) usia kelembagaan, (7) kecukupan anggaran, dan (8) proses

pendirian kelembagaan. Namun, secara spesifik dari hasil penelitian mengenai

keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal di Daerah Aliran Sungai (DAS)

Citanduy diketahui bahwa adanya program-program pengembangan jejaring

kerjasama, intervensi positif pemerintah, kecukupan anggaran, dan aturan-aturan

tertulis dapat meningkatkan keberlanjutan kelembagaan grassroots di DAS

Citanduy tersebut.

2.1.3 Dari Revolusi Hijau ke Pertanian Organik : Pergeseran Paradigma Pembangunan

Revolusi hijau merupakan kebijakan pembangunan yang dapat

dianalogikan dengan pembahasan Korten (1984) tentang ”pembangunan yang

mementingkan produksi”. Menurutnya, pendekatan pembangunan seperti itu

terutama berkiblat pada kebutuhan sistem komando yang menitikberatkan pada

kekuasaan formal, kurang memihak pada kelembagaan non-formal sehingga

lambat menyesuaikan diri dengan jaringan yang dibentuk di sekitar masyarakat

setempat. Pembangunan yang mementingkan produksi tersebut didasarkan pada

prinsip-prinsip sentralisasi, mobilisasi, penaklukan, eksploitasi, hubungan

fungsional, nasional, ekonomi konvensional, unsustainability.

Program pembangunan dengan pendekatan seperti production centered

development sulit untuk melembaga dalam kehidupan masyarakat dengan ikatan

tradisi yang masih kuat karena pendekatan tersebut mementingkan produksi dan

berdasarkan pandangan materialistis yang sempit terhadap tujuan-tujuan

masyarakat. Menurut Korten (1984), jalan keluarnya adalah melaksanakan

program pembangunan dengan pendekatan ”pembangunan memihak rakyat”

people centered development, yang memperhatikan inisiatif yang kreatif dari

masyarakat sebagai sumber pembangunan yang utama. Lebih lanjut,

pembangunan yang memihak rakyat ini didasarkan atas prinsip-prinsip

desentralisasi, partisipasi, pemberdayaan, pelestarian, jejaring sosial, teritorial,

keswadayaan lokal, dan sustinability.

Dalam konteks pergeseran paradigma pembangunan ini, maka perubahan

sistem pertanian dari non-organik yang didasarkan atas kebijakan revolusi hijau

Page 28: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

36

menuju sistem pertanian organik tampak pada Gambar 2. Lebih lanjut, Korten and

Carner (1984) menjelaskan beberapa pengertian dari prinsip-prinsip tersebut.

Sentralistik merujuk pada pemusatan kebijakan pembangunan yang didominasi

oleh pemerintah pusat. Melalui desentralisasi, kebijakan pembangunan diarahkan

untuk lebih diinisiasi di tingkat lokal. Dengan kebijakan yang berada di tangan

pemerintah pusat ini, mengarahkan seluruh masyarakat untuk menerapkan

kebijakan tersebut. Proses mobilisasi ini bertolak belakang dengan partisipasi.

Menurut Arnstein (1969), partisipasi adalah suatu proses bertingkat dari

pendistibusian kekuasaan pada komunitas sehingga mereka memperoleh kontrol

lebih besar pada hidup mereka sendiri. Menurut Arnstein (1969), terdapat 8

tingkatan yang menunjukkan tipe partisipasi dan non-partisipasi komunitas

(citizen) dalam menentukan “produk akhir” (Gambar 3).

Gambar 2. Perubahan Sistem Pertanian dari Non-Organik menuju Sistem Pertanian Organik dalam Konteks Pergeseran Paradigma Pembangunan

Sistem Pertanian Non-Organik

Sistem Pertanian Organik

Input luar Orisinil

Irasional – tidak seimbang

Rasional – seimbang

Persoalan lingkungan di tingkat dunia

Global – direspon seluruh dunia

Tidak aman bagi manusia dan lingkungan

Aman – sehat bagi manusia dan lingkungan

Menciptakan ketergantungan

Netral – tidak menciptakan ketergantungan

Eksternal – sumber daya luar

Internal – sumberdaya potensi lokal

Page 29: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

37

Manipulasi dan terapi disebut juga level non-participation, dimana adanya

partisipasi lebih dikarenakan adanya tekanan pemegang kekuasaan. Inisiatif

pembangunan pun tidak bertujuan untuk memberdayakan komunitas tetapi

membuat pemegang kekuasaan untuk “menyembuhkan” atau “mendidik”

komunitas. Pada level partisipasi informing tokenism menunjukkan bahwa

komunitas bisa mendapatkan informasi, sementara pada level partisipasi

consultation tokenism menunjukkan bahwa adanya konsultasi menunjukkan

bahwa komunitas dapat menyuarakan pendapat, akan tetapi pada kedua level

tersebut tidak ada jaminan kalau pendapat komunitas akan diakomodasi.

Placation sebagai level tertinggi tokenism, komunitas bisa memberikan saran

kepada pemegang kekuasaan, tetapi kewenangan menentukan tetap ada pada

pemegang kekuasaan. Patnership, membuat komunitas dapat bernegoisasi dan

terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendelegasian kewenangan dan kontrol,

komunitas memegang mayoritas pengambilan keputusan dan kekuasaan

pengelolaan.

Paradigma pembangunan yang mementingkan produksi memiliki prinsip

penaklukan dimana kekuasaan, pengambilan keputusan, akses dan kontrol

sumberdaya berada di tangan pemerintah pusat. Sementara paradigma

pembangunan yang memihak rakyat, membantu masyarakat untuk berdaya dalam

Gambar 3. Tingkatan Tipe Partisipasi dan Non-Partisipasi Komunitas

Page 30: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

38

mengelola sumberdaya mereka. Menurut Jim Ife (1995), pemberdayaan artinya

memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan kepada

warga untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menentukan masa

depannya sendiri dan berpartisipasi dalam dan memenuhi kehidupan

komunitasnya.

Demi kepentingan peningkatan produksi, eksploitasi terhadap sumberdaya

alam dan lingkungan tidak mempertimbangkan keberlanjutan dan kapasitas daya

dukung alam sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan dan semakin

cepatnya pengurangan sumberdaya alam (Korten and Carmer, 1984). Padahal

menurut IFOAM (2008), sumberdaya alam pun terbatas sehingga diperlukan

prinsip-prinsip pengelolaan yang adil untuk menjamin kelestarian sumberdaya

alam sekaligus menjamin kelangsungan hidup manusia. Di samping itu,

pembangunan yang mementingkan produksi diimplementasikan melalui

hubungan-hubungan fungsional seperti melalui birokrasi lembaga-lembaga

pemerintah terkait merujuk pada tugas pokok dan fungsi lembaga-lembaga

tersebut. Berbeda halnya dengan pembangunan yang memihak rakyat yang lebih

mengutamakan terbangunnya jejaring sosial. Hubungan-hubungan yang terbentuk

di antara pihak-pihak terkait baik dari elemen pemerintah, swasta, lembaga

swadaya masyarakat, maupun masyarakat itu sendiri merupakan mekanisme dan

manifestasi dalam mencapai tujuan pembangunan (Korten, 1984).

Pada pembangunan yang mementingkan produksi, peningkatan produksi

ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam skala nasional. Implikasinya adalah

proses produksi yang bersifat massal melalui industrialisasi dan penyeragaman

produk. Keragaan produksi diindikasikan dengan peningkatan pendapatan secara

nasional dengan mengesampingkan indikator sistem produksi yang menjamin

kesehatan manusia dan kelangsungan lingkungan. Padahal merujuk pembangunan

yang memihak rakyat, basis teritori menjadi penting. Menurut Korten (1984),

paradigma tersebut tidak mengesampingkan produktivitas karena menjadi faktor

kelangsungan hidup manusia. Namun, keragaan produksi tersebut didasarkan atas

kebutuhan setiap masyarakat yang relatif berbeda-beda menurut ketersediaan

sumberdaya lokal yang dimilikinya. Keswadayaan lokal menjadi sistem ekonomi

yang dapat mendorong terakumulasinya aset komunitas. Aset bersama tersebut

Page 31: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

39

digunakan untuk menjamin kelangsungan sistem produksi yang dapat memenuhi

kebutuhan komunitas dengan mempertimbangkan indikator kesehatan dan

keberlanjutan sistem ekologi setempat. Keberlanjutan tersebut merupakan salah

satu prinsip penting dalam pembangunan yang memihak rakyat.

2.2 Kerangka Pemikiran

Pembangunan pertanian industrial merupakan sebuah implementasi dari

adanya modernisasi pertanian. Banyak ahli mengemukakan bahwa pertanian

modern melalui kebijakan revolusi hijau tersebut menyebabkan berbagai dampak

negatif termasuk terjadinya perubahan dalam bentuk-bentuk kelembagaan

pertanian khususnya pada budidaya padi sawah. Oleh karena itu, untuk mengatasi

dampak negatif yang muncul tersebut berkembanglah isu pertanian berkelanjutan

yang salah satu bentuknya adalah sistem pertanian organik.

Dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat sehubungan dengan

sistem pertanian organik, diperlukan suatu mekanisme pengaturan yakni dengan

adanya peran dan fungsi kelembagaan pertanian. Kelembagaan pertanian organik

yang dimaksud menyangkut seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat,

yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan

bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak

lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus

mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau

kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya

tertentu. Kelembagaan tersebut ditopang oleh gabungan dari elemen regulative,

normative, dan cultural-cognitive bersamaan dengan gabungan aktivitas dan

sumber daya hingga menyajikan stabilitas dan makna untuk kehidupan sosial.

Pilar regulatif mengatur perilaku anggotanya dengan menitikberatkan adanya

kepatuhan terhadap proses-proses regulatif yang eksplisit yakni seting peraturan

(rule-setting), pemantauan (monitoring), dan aktivitas pemberian sanksi

(sanctioning activities). Pilar normatif menitikberatkan pada adanya rumusan

atau resep, evaluasi, dan kewajiban sosial dalam kehidupan sosial. Adapun pilar

cultural-cognitif menitikberatkan adanya proses berbagi konsepsi yang

Page 32: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

40

mengkonstitusi keaslian dari realitas sosial dan kerangkanya, melalui

pembentukan makna.

Keberlanjutan kelembagaan yang dimaksud diindikasikan dengan adanya

ketahanan sistem sosial masyarakat setempat. Terdapat dua elemen yang menjadi

alat untuk mencapai kondisi tersebut yaitu adanya pengorganisasian sosial dan

teknik sosial. Pengorganisasian sosial menempatkan masing-masing pelaku

menurut statusnya untuk memainkan peranan sosial dengan mekanisme penguatan

kepatuhan yang dibangun oleh seluruh anggota. Adapun teknik sosial merupakan

teknik untuk mempercepat proses pengorganisasian sosial yang berada pada

selang dari membangun kesadaran publik hingga berinvestasi dalam membangun

modal sosial, dari konsultasi-konsultasi sederhana hingga membangun

pengelolaan partisipatif, dari sistem insentif hingga kontrol kelembagaan, dari

tradisi hingga merubah praktik lama dan memperkenalkan inovasi baru, dari

pemberdayaan hingga membentuk kohesi sosial, dari perilaku individu yang

bermotif ekonomi hingga membangun kekuatan solidaritas, kepercayaan,

pengorganisasian diri dan penerimaan nilai-nilai kelompok. Bekerjanya elemen

pengorganisasian sosial dan teknik sosial dalam membangun keberlanjutan

kelembagaan dalam sistem pertanian padi sehat dipengaruhi oleh faktor internal

maupun eksternal.

Faktor-faktor eksternal yang dimaksud adalah meliputi (1) tata kelola yang

baik dalam sistem pemerintah, (2) jejaring kerjasama antar kelembagaan, dan (3)

ketersediaan sarana dan prasarana umum. Adanya tata kelola yang baik dalam

sistem pemerintah menjadi kekuatan-kekuatan yang secara bijaksana dan arif

mampu mendukung dan memfasilitasi berjalannya mekanisme kelembagaan-

kelembagaan yang terbentuk dalam masyarakat. Di samping itu, keberlanjutan

kelembagaan juga memerlukan jejaring kerjasama antar kelembagaan yang

sinergis untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan bersama. Faktor lain yang

mempengaruhi adalah ketersediaan sarana dan prasarana umum yang mendukung

dan memberi kemudahan antar pelaku untuk berinteraksi dan menjalankan

aktivitas dengan lebih dinamis.

Adapun faktor-faktor internal mencakup (1) kepemimpinan, (2 aturan

tertulis, (3) aturan tidak tertulis, (4) proses pendirian kelembagaan, dan (5)

Page 33: BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 … · pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh

41

partisipasi komunitas. Peran dan fungsi kepemimpinan menjadi faktor penting

dalam pengorganisasian sosial dan meningkatkan efektivitas teknik sosial yang

dijalankan. Aturan tertulis dan aturan tidak tertulis menjadi faktor yang

mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan oleh karena menjadi dasar kepatuhan

anggota yang mengandung sanksi sosial sekaligus menjadi kontrol sosial dan

pengatur diantara para pelaku. Terkait dengan proses pendirian kelembagaan,

pada umumnya kelembagaan-kelembagaan dibentuk untuk memenuhi kebutuhan

para pelaku yang terlibat sehingga muncul mekanisme atau tata kelakuan yang

berpola sebagai akibat bekerjanya tata aturan atau norma yang telah dibangun

bersama. Selain itu, semua bentuk kelembagaan melibatkan partisipasi komunitas

sebagai aktor kunci dalam menjalankan mekanisme kelembagaan.

Modernisasi Pertanian

Dampak : 1. Perubahan kelembagaan untuk pengaturan input 2. Perubahan kelembagaan penguasaan lahan 3. Perubahan kelembagaan panen 4. Perubahan kelembagaan hubungan kerja

Sistem Pertanian Organik

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Kelembagaan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik

- Pilar Regulative - Pilar Normative - Pilar cultural-

cognitive

Bentuk Kelembagaan Pertanian Organik Aktivitas dan Pelaku

Keberlanjutan Kelembagaan Faktor internal : 1. Kepemimpinan 2. Aturan tertulis 3. Aturan tidak

tertulis 4. Proses pendirian

kelembagaan 5. Partisipasi

komunitas

Faktor eksternal : 1. Tata kelola yang

baik dalam sistem pemerintahan

2. Jejaring kerjasama antar kelembagaan

3. Ketersediaan sarana dan prasarana umum

Pertanian Berkelanjutan