bab ii lembaga perwakilan rakyat dan pembatasan …

30
1 BAB II LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAN PEMBATASAN KEKUASAAN Lembaga perwakilan rakyat sebagai representasi dari rakyat memiliki tugas dan wewenang yang melekat pada dirinya. Anggota lembaga perwakilan rakyat dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum, baik melalui partai politik maupun perseorangan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk dapat mencalonkan diri dan menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat. HAM melekat pada setiap individu dan meliputi segala macam jenis hak yang telah tertuang dalam berbagai macam deklarasi maupun konvenan. Hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum merupakan salah satu dari sekian hak yang dijamin. Hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum tidak terlepas dari konsep dasar dari HAM itu sendiri yakni martabat manusia. Martabat manusia sebagai konsep dimana manusia memiliki martabat yang tidak boleh dibatasi atau dikurangi. Dalam menjalankan tugas dan wewenang sebagai anggota lembaga perwakilan rakyat, ada pembatasan kewenangan yang diberikan oleh undang- undang. Hal ini untuk mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang dan praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sehingga tujuan penulisan dalam bab ini yaitu menjelaskan pembatasan periodisasi angggota lembaga perwakilan rakyat sejalan atau sesuai dengan kerangka hukum HAM.

Upload: others

Post on 03-Dec-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB II

LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAN

PEMBATASAN KEKUASAAN

Lembaga perwakilan rakyat sebagai representasi dari rakyat memiliki

tugas dan wewenang yang melekat pada dirinya. Anggota lembaga

perwakilan rakyat dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan

umum, baik melalui partai politik maupun perseorangan. Hal ini membawa

konsekuensi bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk dapat

mencalonkan diri dan menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat.

HAM melekat pada setiap individu dan meliputi segala macam jenis hak

yang telah tertuang dalam berbagai macam deklarasi maupun konvenan. Hak

atas perlakuan yang sama di hadapan hukum merupakan salah satu dari

sekian hak yang dijamin. Hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum

tidak terlepas dari konsep dasar dari HAM itu sendiri yakni martabat

manusia. Martabat manusia sebagai konsep dimana manusia memiliki

martabat yang tidak boleh dibatasi atau dikurangi.

Dalam menjalankan tugas dan wewenang sebagai anggota lembaga

perwakilan rakyat, ada pembatasan kewenangan yang diberikan oleh undang-

undang. Hal ini untuk mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang dan

praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sehingga tujuan penulisan

dalam bab ini yaitu menjelaskan pembatasan periodisasi angggota lembaga

perwakilan rakyat sejalan atau sesuai dengan kerangka hukum HAM.

2

Untuk mencapai tujuan penulisan di atas maka sistematika penulisan bab

terdiri dari beberapa bagian yaitu sebagai berikut: Pertama, membahas teori

lembaga perwakilan rakyat dan periodisasi; Kedua, membahas mengenai hak

atas perlakuan yang sama di hadapan hukum; Ketiga, membahas konsep

pembatasan/pembagian kekuasaan.

A. Teori Lembaga Perwakilan Rakyat

Lembaga perwakilan rakyat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) Provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Sebagai lembaga

perwakilan rakyat, anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD

kabupaten/kota dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Masing-masing

lembaga perwakilan rakyat memiliki kedudukan, fungsi, tugas dan wewenang

yang berbeda. Dalam sub bab ini akan dijabarkan perlunya lembaga

perwakilan rakyat, teori struktur lembaga perwakilan rakyat serta cara

pengisian jabatan dan periodisasi lembaga perwakilan rakyat.

1. Dasar Pemikiran Perlunya Lembaga Perwakilan Rakyat

Umumnya sebuah negara demokrasi modern dicirikan dengan adanya

organisasi politik yaitu partai politik. Anggota dari partai politik ini yang

setelah melalui prosedur dan mekanisme pemilihan duduk di lembaga

perwakilan. Partai politik secara teoritis memiliki beberapa fungsi yang

diantaranya adalah untuk merumuskan kebijakan umum setelah mengikuti

Pemilu dan mendapatkan suara untuk mewakili di lembaga perwakilan

maupun lembaga pemerintahan. Pada suatu Pemilu, partai politik akan

3

mengkampanyekan program partai sesuai dengan ideologi dan platformnya

yang konsekuensinya nanti bila partai itu menang akan menempatkan

pemimpinnya dan akan merumuskan kebijakan dalam bentuk undang-

undang.

Semenjak demokrasi menjadi atribut utama negara modern, maka

perwakilan merupakan mekanisme untuk mewujudkan gagasan normatif

bahwa pemerintahan harus dijalankan dengan kehendak rakyat (will of the

people). Legitimasi pemerintahan akan tergantung pada kemampuannya

untuk mentransformasikan kehendak rakyat ini sebagai nilai tertinggi di atas

nilai kehendak negara (will of the state). Berdasarkan prinsip normatif seperti

itu, dalam praktek kehidupan demokrasi yang awal, lembaga legislasi

memiliki posisi sentral yang biasanya tercermin dalam doktrin tentang

kedaulatan rakyat. Hal tersebut didasarkan pada satu pandangan bahwa hanya

DPR saja yang mewakili rakyat dan memiliki kompetensi untuk

mengungkapkan kehendak rakyat dalam suatu bentuk undang-undang. Di

pihak lain, eksekutif atau pemerintah hanya mengikuti atau

mengimplementasikan hukum dan prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan

DPR.

Supremasi parlemen atau DPR seperti di atas di banyak negara

demokrasi konstitusional mencapai puncaknya pada abad XIX, yang dikenal

dengan abad parlementarisme. Ichlasul Amal dengan menguti pendapat

Walter Bagchot, menggambarkan supremasi tersebut dengan menyatakan

bahwa lembaga perwakilan rakyat menjalankan berbagai fungsi penting

negara, seperti menominasikan orang yang akan duduk di lembaga eksekutif,

4

menetapkan undang-undang, menyiapkan dan menetapkan anggaran negara,

mengawasi kabinet, menyampaikan keluhan masyarakat dan

memasyarakatkan berbagai isu yang dihadapi negara.1

AH Birch mengemukakan bahwa pada umumnya terdapat lima konsep

pengertian tentang perwakilan atau wakil, yaitu:2

a. Delegated Representation. Menurut konsep ini, seorang wakil adalah

agen/perantara atau juru bicara yang bertindak atas nama yang diwakilinya.

Menurut pengertian ini, wakil tersebut tidak diperkenankan melampaui kuasa

yang diberikan kepadanya.

b. Microcosmic Representation. Konsep ini hanya menunjukkan bahwa

sifat-sifat wakil itu memiliki kesamaan dengan sifat-sifat golongan atau kelas

orang-orang tertentu yang diwakilinya. Konsep ini mempunyai hubungan

dengan masalah kuasa atau hal-hal yang harus dilakukannya.

c. Simbolic Representation. Konsep ini hanya menunjukkan bahwa wakil

melambangkan identitas atau kualitas golongan/kelas orang-orang tertentu

yang diwakilinya. Hal tersebut juga tidak bersangkut paut dengan masalah

kuasa atau hal-hal yang harus dilakukannya.

d. Elective Representation. Konsep ini dianggap belum menggambarkan

kuasa/hal-hal yang harus dilakukan wakil tersebut sehingga belum

menjelaskan tentang hubungan antara wakil dengan yang memilihnya.

e. Party Representation. Semakin meningkatnya organisasi dan disiplin

partai mendorong lahirnya party bosses dan party caucauses. Para wakil

1 Jamal Wiwoho, Lembaga-Lembaga Negara Pasca Amandemen Keempat UUD 1945,

UNS Press, Surakarta, 2006, h. 116-117. 2 Ibid. h. 108-109.

5

dalam lembaga perwakilan menjadi wakil dari organisasi/partai politik

bersangkutan.

Pada perkembangannya, konsep lembaga perwakilan menjadi beragam

sesuai dengan perkembangan sosial politik yang terjadi di masyarakat.

Namun demikian, tugas dan wewenang dari lembaga perwakilan tersebut

dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni sebagai lembaga perwakilan rakyat

yang mengawasi jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh pemegang

kekuasaan eksekutif agar kekuasaan pemerintah tidak menindas rakyat

sehingga kekuasaan tidak dijalankan secara sewenang-wenang dan sebagai

pemegang kekuasaan legislatif untuk menjalankan keinginan rakyat. Dan

diinterpretasikan dalam undang-undang dan juga sebagai pembuat Undang-

Undang Dasar (supreme legislative body of some nations).3

Ada dua hal yang penting untuk dipahami dalam kerangka sistem

perwakilan yang terwujud dalam MPR. Pertama, adanya perbedaan antara

pengertian perwakilan pemikiran atau keterwakilan aspirasi (representation

in ideas) dan perwakilan fisik atau keterwakilan fisik (representation in

presence). Kedua, utusan golongan dalam keanggotaan MPR setelah

dilakukannya restrukturisasi menjadi dua kamar yakni DPR dan DPD.

MPR diharapkan menjadi forum atau lembaga penjelmaan seluruh

rakyat, tetapi mekanisme keterwakilan rakyat melalui fungsi MPR tidak perlu

dan bahkan tidak boleh dipahami secara mutlak, seolah-olah menjadi satu-

satunya saluran kedaulatan rakyat yang sah. Meskipun rakyat telah

menyalurkan aspirasinya melalui pemilihan umum dan wakil-wakil rakyat

3 Lawrence Dood, Coalitions in Parliamentary Government, Princeton University Press,

New Jersey, 1976, h. 16.

6

yang terpilih telah duduk dalam keanggotaan MPR, rakyat secara sendiri-

sendiri masih tetap memiliki hak untuk menyalurkan aspirasi lewat media

lain yang dijamin dalam konstitusi.4

2. Teori Struktur Lembaga Perwakilan Rakyat

Dalam sistem pemerintaha demokratis yang dilaksanakan dengan sistem

perwakilan, keberadaan lembaga perwakilan rakyat dipandang sebagai suatu

keniscayaan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan ini. Lembaga

negara ini merupakan badan yang berwenang sebagai pelaksana kekuasaan

negara dalam hal menentukan kebijakan umum yang mengikat seluruh

rakyat.

Perbincangan teoritis mengenai struktur organisasi parlemen ini biasanya

dikenal dengan adanya dua sistem, yaitu sistem unikameral dan

bikameral.Sistem unikameral terdiri dari satu kamar, sedangkan sistem

bikameral mempunyai dua kamar yang masing-masing memiliki fungsi

tersendiri.5

2.1.Unikameral

Dalam struktur parlemen, tipe unikameral/satu kamar ini, tidak dikenal

adanya dua badan yang terpisah seperti adanya DPR dan Senat, ataupun

Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Tetapi justru sistem unikameral inilah

yang sesungguhnya lebih populer karena sebagian besar negara dunia

sekarang ini menganut sistem ini. Negara-negara yang berukuran kecil lebih

menyukai untuk memilih satu kamar daripada dua kamar, seperti masalah

4

Jimly Asshidique, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta, 2011, (selanjutnya disingkat Jimly Asshidique III), h. 145-146. 5 Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia,

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, h. 10-11.

7

keseimbangan kekuatan politik adalah sangat kecil kesulitannya untuk

memecahkannya daripada dalam suatu negara besar.

Di negara-negara kesatuan sosialis, sistem bikameral dipandang

membawa kepada komplikasi-komplikasi, penundaan-penundaan dan biaya-

biaya dengan sedikit kompensasi yang menguntungkan. Selama abad ke-20,

negara-negara Scandinavia mengganti sistem bikameral dengan unikameral,

misalnya: Konstitusi Norway, pada awalnya disusun pada tahun 1814,

terdapat contoh tentang parlemen yang mempunyai karakteristik yang jelas

dari parlemen dua kamar. Parlemen-parlemen unikameral mendominasi

sejumlah negara-negara yang memperoleh kemerdekaannya baru-baru ini,

dan dengan perkembangan politik dalam lingkungan yang sangat berbeda

dengan yang ada di Eropa pada saat pemeritahan parlemen dilahirkan.

Dalam pandangan Dahlan Thaib, beberapa keuntungan yang diperoleh

jika menggunakan model atau sistem legislatif unikameral, meliputi:6

a. Kemungkinan untuk dapat cepat meloloskan undang-undang (karena

hanya satu badan yang diperlukan untuk mengadopsi rancangan undang-

undang sehingga tidak perlu lagi menyesuaikan dengan usulan yang berbeda-

beda);

b. Tanggung jawab lebih besar (karena anggota legislatif tidak dapat

menyalahkan majelis lainnya apabila suatu undang-undang tidak lolos, atau

bila kepentingan warga negara terabaikan);

c. Lebih sedikit anggota terpilih sehingga lebih mudah bagi masyarakat

untuk memantau kepentingan mereka; dan

6

King Faisal Sulaiman, Sistem Bikameral dalam Spektrum Lembaga Parlemen

Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2013, h. 37.

8

d. Biaya lebih rendah bagi pemerintah dan pembayar pajak.

Secara teoritik, penganut kuat doktrin sistem kamar tunggal merasa

bahwa hakikatnya kamar kedua yang diidealkan sebagai pengimbang tidaklah

dibutuhkan karena seringkali kerja-kerja legislasi redundant dilakukan oleh

kedua kamar. Meskipun mampu menjalankan fungsi legislasi, model

unikameral ini kurang mampu menggagas idealitas fungsi lembaga parlemen.

Tanpa kamar kedua, sama sekali tidak ada kontrol bagi kamar tunggal,

sehingga satu-satunya kontrol adalah cabang kekuasaan lainnya. Tanpa

mekanisme kontrol internal tersebut, kualitas fungsi parlemen dalam hal

legislasi, representasi, kontrol, anggaran maupun pengisian jabatan publik

menjadi berkurang.7

Dengan membandingkan konstitusi-konstitusi yang ada di Asia, sistem

unikameral yang dianut oleh Vietnam, Singapura, Laos, Lebanon, Syria,

Kuwait, dan lain-lain, fungsi Dewan atau Majelis Legislatif dalam sistem

unikameral itu terpusat pada satu badan legislatif tertinggi dalam struktur

negara. Isi aturan mengenai fungsi dan tugas parlemen unikameral ini

beragam dan bervariasi dari satu negara dengan negara lain, tetapi pada

pokoknya serupa bahwa secara kelembagaan fungsi legislatif tertinggi

diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang dipilih oleh

rakyat.8

2.2.Bikameral

Parlemen bikameral adalah parlemen yang mempunyai dua kamar atau

majelis, yaitu kamar pertama atau Majelis Rendah dan kamar kedua atau

7 Saldi Isra, Op. Cit., h. 233-234

8 Reni Dwi Purnomowati, Op. Cit., h. 12-13.

9

Majelis Tinggi. Majelis Rendah merupakan kamar perwakilan rakyat yang

dipilih secara langsung, dan diwakilkan melalui partai politik dalam

parlemen, sedangkan majelis tinggi merupakan perwakilan tertentu atau

khusus, yang biasanya digunakan untuk perwakilan teritorial, fungsional,

kelas sosial, etnis dan sebagainya sesuai dengan kehendak konstitusi, tetapi

majelis tinggi ini biasanya dan paling banyak di dunia difungsikan dalam

konstitusi mereka sebagai suatu kamar perwakilan wilayah dan banyak

negara yang menanamkan majelis tinggi dalam parlemen bikameral ini

dengan nama senat.9

Ada bermacam-macam nama untuk beberapa tipe Kamar Kedua modern,

misalnya House of the Lords di Inggris, Dewan Negara Bagian (Council of

States) (Standerat) di Swiss, Dewan Federal (Federal Council) (Bundesrat)

di Republik Jerman Federal dan Senat di kebanyakan negara lain, termasuk

Australia, Kanada, Irlandia, Prancis, Italia, Afrika Selatan dan Amerika

Serikat. Bagaimanapun, klasifikasi Kamar Kedua bukanlah berdasarkan

pemberian namanya, tetapi lebih pada sifat dasarnya, dipilih (sebagaian atau

seluruhnya) atau tidak dipilih (turun temurun atau diangkat).10

Dahlan Thaib menguraikan beberapa kelebihan dalam sistem bikameral

yaitu kemampuan anggota untuk:11

a. Secara resmi mewakili beragam pemilih (misalnya negara bagian,

wilayah, etnik atau golongan);

9 Ibid., h. 127.

10 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Nusa Media, Bandung, 2010, h.

265-268. 11

King Faisal Sulaiman, Op. Cit., h. 39-40.

10

b. Memfasilitasi pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap

penyusunan perundang-undangan;

c. Mencegah disyahkan perundang-undangan yang cacat atau ceroboh; dan

d. Pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga eksekutif.

Ada dua alasan mengapa para penyusun konstitusi memilih sistem

bikameral. Pertama adalah untuk membangun sebuah mekanisme

pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) serta untuk

pembahasan sekali lagi dalam bidang legislatif. Kedua adalah untuk

membentuk perwakilan yang menampung kepentingan tertentu yang

biasanya tidak cukup terwakili oleh majelis pertama. Secara khusus,

bikameralisme telah digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai

untuk daerah-daerah di dalam lembaga legislatif. Hasil dari kesenjangan

representasi di majelis kedua amat bervariasi di dalam berbagai sistem di

dunia.12

Sementara itu, sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua

dewan dalam suatu negara, tetapi dapat pula dilihat dari proses pembuatan

undang-undang yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis

Tinggi dan Majelis Rendah. Bagaimanapun, dengan adanya dua majelis akan

sangat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislasi dan

tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa secara ganda (double check).

Keunggulan sistem double check ini semakin terasa apabila Majelis Tinggi

12

Andrew S. Ellis, Lembaga Legislatif Bikameral? Sebuah Agenda dan Beberapa

Pertanyaan, NDI for International Affairs dan Forum Rektor Indonesia YSPDM, Jakarta, 2001,

h.61.

11

yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan undang-undang memiliki

anggota yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah.13

Sistem bikameral menurut Andrew S. Ellis dapat digolongkan menjadi

dua yakni kuat dan lunak. Dalam sistem yang kuat, pembuatan undang-

undang biasanya dimulai dari majelis manapun, dan harus dipertimbangkan

oleh kedua majelis dalam forum yang sama sebelum bisa disahkan. Dalam

sistem lunak, majelis yang satu memiliki status yang lebih tinggi dari yang

lain. Misalnya, majelis pertama mungkin dapat mengesampingkan penolakan

atau amandemen RUU yang diajukan oleh majelis kedua. Hal ini

mensyaratkan tingkat dukungan yang lebih tinggi seperti mayoritas absolut

dari anggota-anggotanya, atau dua pertiga mayoritas dari anggota yang hadir

yang memberikan.

Majelis kedua, juga bisa dilarang atau dibatasi secara ketat dalam

menolak atau melakukan amandemen RUU Keuangan (money bills). Bila

majelis kedua merupakan perwakilan dari daerah-daerah, kekuatan dari

majelis kedua bisa saja bervariasi tergantung dari apakah RUU yang

diperdebatkan berkaitan langsung dengan daerah-daerah tersebut. Sebuah sesi

bersama (joint session) dari kedua majelis dapat digunakan sebagai

mekanisme untuk meyelesaikan konflik, sehingga sebagian besar anggota

dari majelis kedua memiliki timbangan/porsi yang lebih besar dalam

pengambilan keputusan akhir. Sistem-sistem bikameral yang ada di dunia

terbagi secara merata antara yang kuat dan lunak. Banyak sistem yang kuat

13

Saldi Isra, Op. Cit., h. 238.

12

ditemukan dalam sistem presidensiil. Tidak ada sistem presidensiil yang juga

memakai sistem bikameral lunak.14

3. Cara Pengisian Jabatan

Payung hukum dalam melaksanakan pemilihan umum yang pertama sejak

Indonesia kembali kepada UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 16

Tahun 1969 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1975 dan selanjutnya diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1985 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam

Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 menyatakan, “Jumlah

anggota DPR ditetapkan sebanyak 500 (lima ratus) orang, terdiri atas 400

(empat ratus) orang dipilih dalam pemilihan umum dan 100 (seratus) orang

diangkat.”

Cara pengisian jabatan anggota DPR dengan cara diangkat dikarenakan

anggota-anggota ABRI tidak menggunakan hak memilih dan hak dipilih, tetapi

mempunyai wakil-wakilnya dalam lembaga-lembaga

permusyawaratan/perwakilan rakyat melalui pengangkatan. Duduknya ABRI

dalam lembaga-lembaga permusyawaratan/perwakilan melalui pengangkatan

dimungkinkan oleh Demokrasi Pancasila yang menghendaki ikut sertanya

segala kekuatan dalam masyarakat representatif dalam lembaga-lembaga

tersebut. Dengan kata lain, ABRI mendapat “jatah” baik dalam DPR maupun

14

King Faisal Sulaiman, Op. Cit., h. 44-45.

13

MPR sebagai imbangan atas tidak dimilikinya hak pilih aktif dan hak pilih

pasif dalam pemilihan umum.15

Saat ini, pengisian jabatan sebagai anggota lembaga perwakilan rakyat

hanya melalui pemilihan umum. Peserta pemilihan umum untuk memilih

anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik, sedangkan peserta

pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.

4. Periodisasi

Masa jabatan anggota lembaga perwakilan rakyat tercantum dalam

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 2014 (UU MD3) yakni selama lima tahun. Namun tidak ada

ketentuan dalam konstitusi maupun UU MD3 yang menyebutkan bahwa

anggota lembaga perwakilan rakyat sesudahnya dapat dipilih kembali dalam

jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Hal ini berarti tidak ada

pembatasan periodisasi anggota lembaga perwakilan rakyat dalam hukum

positif Indonesia. Berbeda halnya dengan jabatan presiden dan wakil presiden,

kepala daerah, hakim konstitusi, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), dan anggota Komisi Yudisial (KY) yang memiliki batasan periodisasi

yang diatur dalam UU.

Penulis berpendapat harus adanya pembatasan periodisasi anggota

lembaga perwakilan rakyat karena menjamin dan melindungi HAM warga

15

Max Boboy, DPR RI dalam Perspektif Sejarah dan Tata Negara, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 1994, h. 64-68.

14

negara lain; mencegah penyalahgunaan wewenang; mengoptimalkan fungsi

partai politik; dan menciptakan inovasi pemikiran di lembaga perwakilan

rakyat. Pembatasan periodisasi anggota lembaga perwakilan rakyat merupakan

bentuk perlindungan negara terhadap HAM khususnya hak atas perlakuan yang

sama di hadapan hukum, yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Perwujudan dari hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum adalah setiap

orang berhak memiliki kesempatan yang sama sebagai anggota lembaga

perwakilan rakyat. Tidak adanya pembatasan periodisasi anggota lembaga

perwakilan rakyat maka tidak dapat mewujudkan hak bagi setiap orang untuk

memiliki kesempatan yang sama sebagai anggota lembaga perwakilan rakyat.

B. Hak Atas Perlakuan yang Sama di Hadapan Hukum dan

HAM

Sub-bab ini akan membahas HAM secara umum dan hak atas perlakuan

yang sama di hadapan hukum secara khusus. Pengakuan terhadap HAM telah

dijamin dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan serta

konvensi internasional. Sehingga penjelasan dalam sub-bab ini akan menjadi

pintu masuk mengapa harus ada pembatasan periodisasi anggota lembaga

perwakilan rakyat.

1. HAM

Pengertian HAM menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hak

yang dilindungi secara internasional (yaitu deklarasi PBB, Declaration of

15

Human Rights).16

Menurut Black’s Law Dictionary definisi HAM adalah

“The freedoms, immunities, and benefits that, according to modern values

(esp. at an international level), all human beings should be able to claims as

a matter of right in the society in which they live”.17

The United Nations mendeskripsikan HAM sebagai berikut :

Human rights could be generally defined as those rights

which are inherent in our nature and without which we

cannot live as human beings.

Human rights and fundamental freedom allow us to fully

develop and use our human qualities, our intelligence, our

talents and our conscience and to satisty our spiritual and

other needs. They are based on mankind’s increasing

demand for a life in which the inherent dignity and worth

of each human being will receive respect and protection.18

Pengertian HAM menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal

1 angka 1 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan

manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-

Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,

hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan

harkat dan martabat manusia.

Louis Henkin dalam bukunya The Right of Man Today mendefinisikan

HAM sebagai :

Claims asserted and recognized “as of right,” not claims

upon love, or grace, or brotherhood, or charity: one does

not have to earn or deserve them. They are not merely

16

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Departemen Pendidikan

Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, h. 474. 17

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary Ninth Edition, West a Thomson Business,

United States of America, 2004, h. 809. 18

Centre For Human Rights, Professional Training Series No. 1 Human Rights and

Social Work A Manual for Schools of Social Work and the Social Work Profession, United Nations

Publication, Geneva, 1994, h. 4.

16

aspirations or moral assertions but, increasingly, legal

claims under some applicable law.

Human rights; I stress, are rights against society as

represented by government and its officials.19

Jack Donnely berpendapat “human rights are literally the rights that one

has simply because one is a human being”.20

HAM menurut Mahfud MD diartikan sebagai hak yang melekat pada

martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa

manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri

(kodrati), bukan merupakan pemberian manusia atau negara.21

Karena HAM

melekat pada setiap diri manusia (individu) maka timbul hubungan hukum

dimana Negara berkewajiban untuk menegakkan HAM. Dijaminnya HAM

dalam Undang-undang menjadi landasan hubungan hukum antara individu

sebagai right holder dengan Negara sebagai obligation holder. Kewajiban

Negara sendiri terdiri dari dua bentuk yaitu: Pertama, primary obligation

berupa kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM.

Kedua, secondary obligation apabila Negara gagal melaksanakan primary

obligation, Negara berkewajiban untuk memberikan reparasi (reparation)

dan upaya hukum (effective remedies) kepada korban pelanggaran HAM.22

19

Irwin P. Stotsky, The Right of Man Today. By Louis Henkin, University of Miami

Inter-American Law Review Vol. 11 No. 1, 1979, h. 3, dikutip dari L. Henkin, The Rights of Man

Today XIV (1978). 20

Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice Third Edition, Cornell

Universty Press, New York, 2013, h. 110. 21

Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia Edisi Revisi, Aneka

Cipta, Jakarta, 2001, h. 127. 22

Titon Slamet Kurnia,”Parties and Legal Relationship” (Kuliah), Universitas Kristen

Satya Wacana, Salatiga, 18 Juni 2013.

17

2. Hak Atas Perlakuan yang Sama di Hadapan Hukum

Hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum merupakan salah satu

bagian dari hak asasi manusia di bidang sipil dan politik. Pasal 7 Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan “Semua orang sama di

depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa

diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap

bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap

segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini” serta Pasal 26

Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik “Semua orang berkedudukan sama di

hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa

diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi

apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan

menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap

diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa,

agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial,

kekayaan, kelahiran atau status lain.” Ketentuan tersebut paralel dengan Pasal

28 D ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999. Perlindungan dan pemenuhan hak atas perlakuan yang sama di hadapan

hukum memberikan arti penting bagi keadilan di tengah masyarakat.

Hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, secara konstitusional

merupakan sumber hukum bagi hak untuk bebas dari diskriminasi. Secara

fungsional, non-diskriminasi pada hakikatnya adalah asas dalam rangka

implementasi perlindungan HAM terkait dengan kewajiban negara terhadap

semua jenis HAM. Sifat perlindungannya adalah accessory, yaitu: “it can only

18

be applied when any of those rights or freedoms has been violated”.23

Secara

substantif, ketentuan non-diskriminasi pada hakikatnya paralel dengan

ketentuan yang maknanya positif yaitu hak atas persamaan (the right to

equality). Jayawickrama berpendapat bahwa hak atas persamaan pada

hakikatnya adalah hak yang mandiri (autonomous rights), berbeda dengan

ketentuan non-diskriminasi karena keberlakuannya tidak musti dikaitkan

dengan atau bergantung pada jenis-jenis HAM yang lain. Hak atas persamaan

menuntut negara untuk mengambil langkah-langkah tertentu, kewajiban positif,

guna memastikan terwujudnya persamaan. Dalam kasus tertentu, asas

persamaan menuntut negara agar melakukan affirmative action untuk

mengurangi atau menghapuskan kondisi-kondisi yang menyebabkan

diskriminasi atau membantu melanggengkan praktik diskriminasi.24

Aristoteles menyatakan di dalam negara segala sesuatunya harus diarahkan

pada cita-cita yang mulia, yaitu kebaikan dan kebaikan itu harus terlihat lewat

keadilan dan kebenaran. Penekanan perimbangan atau proporsi pada teori

keadilan Aristoteles dapat dilihat dari apa yang dikatakannya bahwa kesamaan

hak itu haruslah sama di antara orang-orang yang sama. Maksudnya pada satu

sisi memang benar bila dikatakan bahwa keadilan berarti juga kesamaan hak,

namun pada sisi lain harus dipahami pula bahwa keadilan juga berarti

ketidaksamaan hak. Jadi teori keadilan Aristoteles berdasar pada prinsip

persamaan. Dalam versi modern teori itu dirumuskan dengan ungkapan bahwa

23

Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia oleh Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia melalui Pengujian Undang-Undang The Jimly Court 2003-2008, FH UKSW,

Salatiga, 2015, h. 163. 24

Ibid, hlm. 166-167.

19

keadilan terlaksana jika terhadap hal-hal yang sama diperlakukan secara sama

dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara tidak sama.25

Aristoteles dan Thomas Aquinas mengatakan, “justice forms the substance

of the law, but his heterogeneous substance is composed of three elements: an

individual element: the suum cuiquire tribuere (individual justice); a social

element: the changing fundation of prejudgments upon which civilization

reposes at any given moment (social justice), and a political element, which is

based upon the reason of the strongest, represented in the particular case by

the state (justice of the state).” Hal ini menunjukkan ada pengaruh timbal balik

antara hukum dan keadilan, yaitu bahwa hukum diciptakan berdasarkan nilai-

nilai atau kaidah-kaidah moral yang adil, yang sudah ada terlebih dahulu dan

yang telah hidup dalam masyarakat, jadi tugas pembentuk undang-undang

hanya merumuskan apa yang sudah ada.26

Penulis berpendapat, tidak adanya

hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum merupakan ketidakadilan

karena hak ini melekat pada manusia bukan karena diberikan oleh negara,

melainkan karena martabatnya sebagai manusia.

C. Konsep Pembatasan/Pembagian Kekuasaan

Sub-bab ini akan membahas tentang pembatasan/pembagian kekuasaan,

kedaulatan rakyat, dan pelembagaan kedaulatan rakyat. Akan dijabarkan

pembatasan kekuasaan baik secara teoritis maupun yang terdapat dalam

hukum positif Indonesia serta mengenai pandangan Rousseau, John Locke,

dan Montesquiue terkait pelembagaan kedaulatan rakyat.

25

Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju,

Bandung, 2014, h.101. 26

Ibid, h. 118.

20

1. Pembatasan/Pembagian Kekuasaan

Merujuk teori ketatanegaraan klasik yang dikemukakan Aristoteles,

konsep negara hukum (rule of law) merupakan pemikiran yang dihadapkan

(contrast) dengan konsep rule of man. Dalam modern constitutional state,

salah satu ciri negara hukum (the rule of law atau rechstaat) ditandai dengan

pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.

Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar

paham konstitusionalisme modern. Sebagaimana Julius Stahl, pembagian

atau pemisahan kekuasaan adalah salah satu elemen penting teori negara

hukum Eropa Kontinental.27

Adnan Buyung Nasution memiliki pemikiran tentang Negara Demokrasi

Konstitusional. Menurutnya, ada tiga karakteristik penting Negara Demokrasi

Konstitusional, yakni: Pertama, ada kemerdekaan politik dari rakyatnya yang

meliputi kemerdekaan berpikir, berpendapat, berkumpul dan berorganisasi.

Kedua, ada pembatasan kekuasaan. Artinya, kekuasaan penyelenggara negara

(penguasa) itu harus dibatasi dengan berbagai cara dan mekanisme

pembatasan kekuasaan berupa pemisahan kekuasaan, check and balances dan

kontrol. Sehingga kekuasaan dapat diawasi setiap saat dan dapat dimintai

pertanggungjawabannya apabila terjadi penyelewengan kekuasaan oleh

penguasa. Ketiga, ada jaminan HAM. Suatu negara yang rakyatnya merdeka,

rakyatnya mempunyai kontrol terhadap kekuasaan negara, masih

memerlukan adanya jaminan HAM di dalam UUD. Dengan adanya jaminan

HAM, maka ada kriteria obyektif penyelenggaraan kekuasaan dan penguasa

27

Saldi Isra, Op. Cit. h. 73.

21

tidak dapat bertindak sewenang-wenang menindas rakyatnya.28

Dalam

pemikiran tentang sistem pemerintahan konstitusional, Adnan Buyung

mengatakan perlunya pembatasan kekuasaan negara dan jaminan serta

perlindungan terhadap HAM di dalam konstitusi.29

Agar dapat melakukan pembatasan kekuasaan, perlu dipahami konsep

dasar mengenai wewenang. Menurut S.F. Marbun, wewenang mengandung

arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara

yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undnag

yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Wewenang

pemerintahan memiliki sifat-sifat, antara lain: express implied; jelas maksud

dan tujuannya; terikat pada waktu tertentu; tunduk pada batasan-batasan

hukum tertulis dan tidak tertulis; dan isi wewenang dapat bersifat umum

(abstrak) dan konkrit.30

Berdasarkan jenisnya, wewenang dapat digolongkan menjadi tiga,

yaitu:31

a. Wewenang yang diberikan dengan atribusi, artinya wewenang yang

langsung diberikan atau langsung ditentukan oleh peraturan perundang-

undangan kepada badan atau pejabat tata usaha negara, misalnya wewenang

yang diberikan kepada Presiden RI untuk mengangkat dan memberhentikan

Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2004;

28

Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme: Hak Asasi Manusia

dan Demokrasi, Kata Hasta Pustaka, Jakarta, 2007, h. 146. 29

Ibid. h. 120. 30

Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2015,

h. 97-98. 31

R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta,

2015, h. 68-69.

22

b. Wewenang yang diberikan dengan mandat, artinya wewenang yang

diberikan kepada mandataris (penerima mandat) dari mandans (pemberi

mandat) melaksanakan wewenang untuk dan atas nama mandans32

;

c. Wewenang yang diberikan dengan delegasi, artinya wewenang yang

diberikan dengan penyerahan dari delegans (pemberi delegasi) kepada

delegetaris (penerima delegasi).

Berangkat dari konsep dasar wewenang, dapat dirumuskan tiga

pembatasan kekuasaan. Pertama, dilakukan dengan memberikan masa jabatan

bagi badan dan/atau pejabat pemerintahan yang merupakan wujud dari

pembatasan kekuasaan melalui masa atau tenggang waktu wewenang. Kedua,

pembatasan kekuasaan dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan itu ke

dalam beberapa organ yang tersusun secara vertikal. Dengan demikian,

kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu

tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan. Adanya

wilayah administratif yang merupakan wilayah kerja perangkat pemerintah

pusat termasuk gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk

menyelenggarakan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah

pusat di daerah dan wilayah kerja gubernur dan bupati/wali kota dalam

melaksanakan urusan pemerintahan umum di daerah33

adalah wujud membatasi

wewenang melalui wilayah atau daerah berlakunya wewenang.

32

Hal ini menjadi perdebatan di kalangan akademisi karena ada yang menganggap tidak

ada peralihan wewenang dari mandans kepada mandataris sehingga mandataris hanya menjalankan

tugas tanpa wewenang, namun ada pula yang beranggapan terjadi peralihan wewenang dari

mandans kepada mandataris. 33

Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587).

23

Ketiga, pembagian kekuasaan ke dalam lembaga-lembaga negara

merupakan upaya untuk membatasi wewenang melalui cakupan bidang atau

materi wewenang. Teori pembagian kekuasaan terbagi menjadi lima, yaitu:34

a. Eka Praja

Eka Praja adalah kekuasaan pada tangan satu orang atau sekelompok

orang yang mengepalai secara tirani (L’etat c’est moi) karena tidak ada

lembaga khusus yang dipilih dari wakil rakyat untuk membuatnya. Jadi

pemegang jalannya pemerintahan hanya pihak eksekutif sendiri, contohnya

pemerintahan Firaun, Facisme, Absolutisme (Ramses II dan Louis XIII), dan

Hitler;

b. Dwi Praja

Dwi Praja adalah kekuasaan di tangan dua kelompok yang saling

mengawasi yaitu Eksekutif dan Legislatif, hal ini dikemukakan oleh Frank J.

Goodnow dan Woodrow Wilson;

c. Tri Praja

Tri Praja adalah kekuasaan di tangan tiga kelompok lembaga tinggi

negara yang dikemukakan oleh beberapa pakar dalam bentuk yang berbeda-

beda yaitu antara lain35

:

1) John Locke

Melalui bukunya yang berjudul “Two Treaties of Government” John

Locke mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi-

bagikan kepada organ-organ negara yang berbeda. Menurut John

Locke agar pemerintah tidak sewenang-wenang harus ada pembedaan

34

http://kliksma.com/2016/06/pembagian-kekuasaan.html dikunjungi pada tanggal 11

November 2016 pukul 13.05. 35 Moh. Mahfud MD, Op. Cit., h. 73.

24

pemegang kekuasaan-kekuasaan dalam negara ke dalam tiga macam

kekuasaan, yaitu; kekuasaan legislatif yakni kekuasaan membuat

undang-undang, kekuasaan eksekutif yakni kekuasaan melaksanakan

undang-undang dan kekuasaan federatif yakni kekuasaan melakukan

hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.

2) Montesquieu

Melalui bukunya “L’esprit des Lois” Montesquieu pada tahun 1748

menawarkan alternatif yang agak berbeda dari yang ditawarkan John

Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu

diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam organ-organ

legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif adalah

kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah

kekuasaan melaksanakan undang-undang dan kekuasaan yudikatif

adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.

3) Gabriel Almond

Konsep yang ditawarkan Gabriel Almond hampir sama dengan yang

ditawarkan oleh Montesquieu yakni membagi kekuasaan-kekuasaan

dalam negara ke dalam tiga macam kekuasaan, hanya saja

menggunakan istilah yang berbeda. rule making function adalah

kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang, rule

application function adalah kekuasaan eksekutif atau kekuasaan

melaksanakan undang-undang, dan rule adjuctication function adalah

kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran

undang-undang.

25

d. Catur Praja

Catur Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh empat badan

lembaga tinggi negara yang dikemukakan antara lain Van Vollen Hoven

(regelling, bestuur, politie, dan rechtsspraak) munculnya kekuasaan

kepolisian oleh pakar ini adalah karena menjaga kemungkinan pihak ini

berada di bawah kekuasaan eksekutif yang mengakibatkan pemerintah main

tangkap rakyatnya.

Dalam perkembangan selanjutnya Van Vallenhoven telah mendapat

tetangan prinsipiil dari berbagai pihak antara lain Kranenburg, Van Poelje,

Roemyn, namun setelah tahun 1951 teori Van Vallenhoven ditegaskan

kembali oleh Stellinga dalam bukunya “Grondtrekken van het Nederlands

Administratiefrecht”. Bahkan oleh Stellinga bidang-bidang itu ditambah lagi

dengan satu bidang baru yang disebutnya “Administratiefrecht voor de

burgers”. Sehingga Stellinga telah mengembangkan teori catur praja menjadi

panca praja;36

e. Panca Praja

Panca Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh lima lembaga tinggi

negara yaitu dikemukakan oleh Stellinga dan Lemaire (wetgeving, bestuur,

politie, rechtsspraak, dan bestuur zorg). Munculnya lembaga pemerintahan

eksekutif dalam arti sempit pada pendapat ini adalah agar menyeimbangkan

(evenwichtigheid) antara pemerintah yang menegakkan kekuasaan dengan

pemerintah yang melayani masyarakat, sehingga dengan demikian terwujud

kesejahteraan masyarakat.

36

Koentjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan

Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1985, h. 27-28.

26

Menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemeritahan, wewenang Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan dibatasi oleh: masa atau tenggang waktu wewenang; wilayah

atau daerah berlakunya wewenang; dan cakupan bidang atau materi

wewenang. Pelanggaran terhadap pembatasan masa atau tenggang waktu

wewenang dan wilayah atau daerah berlakunya wewenang dikategorikan

melampui wewenang.37

Sedangkan pelanggaran terhadap pembatasan akupan

bidang atau materi wewenang dikategorikan mencampuradukkan

wewenang.38

Pembatasan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya

penyalahgunaan wewenang dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan

pemerintahan.

Seperti kata Lord Acton, “power tends to corrupt and absolute power

corrupts absolutely”, inilah hukum besi kekuasaan yang jika tidak

dikendalikan dan dibatasi menurut prosedur konstitusional, dapat menjadi

sumber malapetaka. Moral kekuasaan tidak boleh hanya diserahkan pada niat,

ataupun sifat-sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya.

Betapapun baiknya seseorang, yang namanya kekuasaan tetaplah harus diatur

dan dibatasi, sehingga kebaikan orang tidak larut ditelan oleh hukum besi

kekuasaan itu.39

37

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Nomor

5601). 38

Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Nomor

5601).

39

Jimly Asshidique IV, Op. Cit, h. 37.

27

2. Kedaulatan Rakyat

Dalam filsafat hukum dan kenegaraan dikenal adanya lima ajaran atau

teori tentang kedaulatan, yaitu kedaulatan Tuhan (Sovereignity of God),

kedaulatan raja (Sovereignity of King), kedaulatan hukum (Sovereignity of

Law), kedaulatan rakyat (People’s Sovereignity) dan kedaulatan negara

(State’s Sovereignity). Ajaran kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum dan

kedaulatan rakyat berlaku secara simultan dalam pemikiran bangsa kita

tentang kekuasaan.40

Menurut Harold J. Laski, kedaulatan merupakan suatu keharusan yang

dimiliki oleh negara yang ingin independen atau merdeka dalam menjalankan

kehendak rakyat yang dipimpinnya. Sehingga kedaulatan merupakan hal

yang mempengaruhi seluruh kehidupan bernegara. Kata Laski:41

The modern state is a sovereign state. It is, therefore,

independent in the face of other communities. It may

infuse its will towards them with a substance which need

to be affected by the will of any external power. It is,

moreover, internally supreme over the territory that it

control.

Hal ini senada dengan yang diungkapkan Jean Bodin, bahwa:42

Suatu keharusan tertinggi dalam suatu negara, dimana

kedaulatan dimiliki oleh negara dan merupakan ciri

utama yang membedakan organisasi negara dari

organisasi yang lain di dalam negara. karena kedaulatan

adalah wewenang tertinggi yang tidak dibatasi oleh

hukum dari pada penguasa atas warga negara dia dan

orang-orang lain dalam wilayahnya.

40

Jimly Asshidique, Format Kelembagaan Negara dan Pergesaran Kekuasaan dalam

UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005 (selanjutnya disingkat Jimly Asshidique IV), h. 33-

34. 41

King Faisal Sulaiman, Sistem Bikameral dalam Spektrum Lembaga Parlemen

Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2013, h. 17. 42

Padmo Wahjono, Ilmu Negara, Ind Hill Co., Jakarta, 1996, h. 153.

28

Seyogyanya kekuasaan harus ada di tangan rakyat, bukan di tangan

negara. Pentingnya kedaulatan rakyat juga berdampak pada bagaimana

melembagakan kedaulatan ini. Thomas Hobbes dan Hugo de Groot

berpendapat bahwa kekuasaan harus berada di tangan negara, karena bila

kekuasaan yang besar tidak diberikan kepada negara, masyarakat akan kacau.

Bertentangan dengan hal itu, John Locke berpendapat bahwa demi lebih

mendayagunakan kekuatan masyarakat, memang rakyat menyerahkan

kekuasaannya kepada negara. Dengan demikian negara memiliki kekuasaan

yang besar tetapi kekuasaan ini ada batasnya. Batas itu adalah hak alamiah

dari manusia yang melekat padanya ketika manusia itu lahir.43

Bagi John Locke, negara didirikan justru untuk melindungi hak-hak

alamiah. Kata Locke:44

Negara diciptakan karena suatu perjanjian

kemasyarakatan antara rakyat. Tujuannya ialah

melindungi hak milik, hidup dan kebebasan, baik terhadap

bahaya-bahaya dari dalam maupun bahaya-bahaya dari

luar. Orang memberikan hak-hak alamiah kepada

masyarakat, tetapi tidak semuanya.

3. Pelembagaan Kedaulatan Rakyat

Anak sub-bab ini akan membahas pandangan Rousseau, John Locke, dan

Montesquiue terkait pelembagaan kedaulatan rakyat.

43

Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 2002, h. 25-29. 44

J.J. von Schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Pustaka

Sardjana, Jakarta, 1965, h. 202.

29

3.1. Rousseau

Pandangan Rousseau berkeinginan untuk tetap berlanjutnya demokrasi

langsung (direct democracy) sebagaimana pelaksanaannya yang berlaku pada

zaman Yunani Kuno, pada kenyataannya sulit untuk dapat dipertahankan.

Faktor-faktor seperti luasnya wilayah suatu negara, populasi penduduk,

makin sulit dan rumitnya penanganan terhadap masalah politik dan

kenegaraan, serta kemajuan ilmu dan teknologi adalah persoalan yang

menjadi kendala untuk melaksanakan demokrasi langsung pada era

globalisasi sekarang ini. Kemudian lahirlah gagasan demokrasi tidak

langsung (indirect democracy) yang disalurkan melalui lembaga perwakilan

atau parlemen. Di Indonesia lembaga perwakilan ini disebut Dewan

Perwakilan Rakyat.45

3.2. John Locke

Locke memisahkan aspek legislatif (pembuatan undang-undang dan

hukum) dan aspek eksekutif dan aspek yudikatif (pelaksanaan dari undang-

undang dan hukum) dalam sebuah sistem politik. Kedua aspek ini tidak boleh

ada dalam satu tangan, harus dipisahkan. Locke mengatakan:46

Akan menjadi cobaan yang sangat berat bagi kelemahan

manusia untuk memegang kekuasaan, kalau orang-orang

yang memiliki kekuasaan untuk membuat hukum, juga

memiliki kekuasaan untuk melaksanakannya, karena

mereka akan mengecualikan diri mereka dari ketaatan

mematuhi hukum yang mereka buat sendiri, dan mereka

akan mencoba membuat dan melaksanakan hukum yang

melayani kepentingan pribadi mereka dan melawan

kepentingan masyarakat pada umumnya, sehingga

45

Max Boboy, Op. Cit., h. 17. 46

David Held, States and Societies, Basil Blackwell Ltd., Oxford, 1986, h. 12.

30

bertentangan dengan tujuan dari masyarakat dan

pemerintah itu sendiri.

Menurut Locke, sistem kenegaraan yang paling baik terdiri dari seorang

raja yang memiliki kekuasaan eksekutif dan sebuah parlemen yang memiliki

kekuasaan untuk membuat hukum dan undang-undang. Kekuasaan eksekutif

(dan yudikatif) dipisahkan dari kekuasaan legislatif. Sistem ini dinamakan

monarki konstitusional atau monarki parlementer.47

3.3. Montesquieu

Montesquieu memisahkan tiga aspek kekuasaan yakni kekuasaan

legislatif, kekuasaan yudikatif dan kekuasaan eksekutif. Ajaran ini kemudian

dikenal dengan nama Trias Politica. Dengan adanya pemisahan kekuasaan

ini, akan terjamin kebebasan pembuatan undang-undang oleh parlemen,

pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, dan pelaksanaan

pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah. Kalau ketiga kekuasaan ini ada

dalam satu tangan, dia “akan memusnahkan kemerdekaan rakyat.48

” Kata

Montesquieu:49

Kekuasaan perundang-undangan harus terletak pada

badan perwakilan rakyat; kekuasaan untuk menjalankan

undang-undang pada raja, kekuasaan pengadilan pada

para hakim yang sama sekali bebas dari kekuasaan

pelaksanaan.

47

Arief Budiman, Op. Cit., h. 34-35. 48

Ibid. h. 35-36. 49

L.J.van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnja Paramita, Jakarta, 1968, h. 248.