bab ii landasan teoritis kemitraan polri dengan...
TRANSCRIPT
13
BAB II
LANDASAN TEORITIS
KEMITRAAN POLRI DENGAN MASYARAKAT
A. PERANAN KEMITRAAN POLRI DENGAN MASYARAKAT
1. Pengertian Kepolisian Republik Indonesia
Kepolisian sebenarnya ada, tumbuh, dan berkembang bersamaan dengan
tumbuh, dan berkembangnya peradaban manusia. Setiap kelompok manusia yang
memulai merasakan perlunya keamanan, ketentraman, dan mempertahankan
kehidupannya, pada saat itulah sebenarnya fungsi Polisi itu ada, tumbuh, dan
berkembang. (Kunarto, 1995:24)
John Snibbe dan Homa Snibbe dalam “Polisi Perkotaan Dalam Transisi”
(1999: 50) memaparkan bahwa kata Polisi berasal dari Politeia, suatu judul buku
yang ditulis oleh Plato, seorang filsuf Yunani kuno. Buku itu berisi tentang teori
dasar Polis atau Negara Kota. Pada jaman itu kelompok-kelompok manusia
membentuk himpunan yang merupakan satu kota (mungkin semacam dusun
terpencil di Indonesia saat ini). Kelompok itu membuat benteng-benteng yang
merupakan pagar, pertahanan dari ancaman yang datang dari luar. Agar kehidupan
dapat tertata sehingga kelompok dapat tentram, dibuatlah kesepakatan antara
warga kelompok yang kemudian menjadi norma yang disepakati bersama. Norma-
norma itu kemudian menjadi aturan dan peraturan kehidupan bersama kelompok
tersebut. Orang-orang di luar pagar dianggap orang Barbar, orang yang belum
14
teratur, orang yang tidak bermasyarakat, yang dianggap sebagai musuh dan
ancaman bagi warga kelompok kota atau Polis itu. Dalam kondisi seperti itu
diperlukan kekuatan untuk menegakkan aturan yang disepakati itu, agar dipatuhi
oleh setiap warga kelompok. Disamping itu juga diperlukan kekuatan untuk
mempertahankan diri dari ancaman pihak luar Polis. Kekuatan inilah yang
kemudian disebut Kepolisian dan eksistensinya melahirkan fungsi Polisi.
Dari kata Politeia itu kemudian timbul kata Politik yang dimaksudkan
sebagai tata cara mengatur sistem Pemerintahan, kata Polisi yang mengatur
penegakan peraturan, kata Policy atau kebijaksanaan dan sebagainya.
Pengembangan dari semua itulah yang melahirkan Negara dengan segala atribut
dan pengaturannya pada saat ini. Buku Politeia itu sampai jaman atau abad
pertengahan selalu dijadikan rujukan pemikiran para penyelenggara
Pemerintahan, para cendekiawan, para filsuf untuk mendasari pemikiran dan teori-
teori atau ilmu yang bersifat empiris kenegaraan dikemudian hari. Kepolisian dan
Ilmu Kepolisian pun pada hakekatnya juga di dasari oleh teori-teori yang
diletakkan landasan filsafatnya pada Politeia itu.
Sampai kurun waktu ratusan tahun, penyelenggaraan Negara itu masih
disebut Politeia. Istilah yang sama dipakai dijaman Romawi kuno yang Politeia
diartikan sebagai, Tata Negara atau urusan kenegaraan bahkan keseluruhan sistem
pemerintahan Negara. Lama kelamaan setelah fungsi-fungsi kenegaraan dikenali
berdiri sendiri-sendiri, kata Politeia itu tinggal diartikan sebagai fungsi Polisi
seperti yang ada sekarang. Sampai saat ini Polisi di Italia disebut Politia, yang di
Perancis disebut La Police, Inggris menyebutnya Police, Belanda Politie dan
15
Jerman Polizei. Indonesia mengikuti tradisi Belanda menyebutnya dengan kata
Polisi atau Politie dieja dengan ejaan Indonesia. Di Malaysia mengikuti tradisi
Inggris dengan ejaan melayu; Polis. Kata itu dijaman modern ini pun diartikan
secara bervariasi, walaupun hakekatnya serupa.
Kamus Belanda Kramers menulis pengertian kata Politie itu adalah; (1).
Tata pemerintahan yang menjamin tata tertib umum dan keselamatan dari orang
perorang dengan segala milik-miliknya. (2). Suatu Korps Pegawai Negara yang
ditugaskan untuk itu. (3). Dalam pemerintahan Negara atau kota, yang
menyelenggarakan ketertiban rakyat yang ditujukan pada ketertiban, keamanan,
dan keselamatan. (Kunarto, 1997: 51)
Sedang Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat
Bahasa,Balai Pustaka:2005) memberikan arti Polisi adalah; (1). Badan pemerintah
yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang
yang melanggar hukum dan sebagainya). (2). Anggota Badan Pemerintah
(Pegawai Negara yang bertugas menjaga keamanan dan sebagainya).
Dari contoh-contoh pengertian itu nampak jelas bahwa masing-masing
cendikiawan diberbagai Negara tidak seragam dalam memberikan pengertian
tentang Polisi. Tentu semua itu didasari oleh kenyataan dan budaya setempat yang
dihayatinya. Eropa daratan masih banyak terpengaruh pada teori kenegaraan yang
terkandung dalam Politeia, sedang paham Anglo Saxon dipengaruhi oleh
kenyataan kegiatan yang dilakukan oleh Polisi dan nampak terlepas dari konteks
teori kenegaraan. Namun nyata terlihat pada keduanya bahwa Polisi utamanya
bertanggungjawab atas keamanan, dan ketertiban umum.
16
Dapat ditarik benang merah mengenai hal ini, yakni dengan mengkaji
dasar hukum yang digunakan di Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945. Pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 tertuang dalam Bab XII mengenai Pertahanan Keamanan pada Pasal 30 Ayat
4 menyebutkan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat
Negara yang menjaga keamanan, dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.
Hal senada juga dapat dilihat dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008, pada Pasal 1 disebutkan bahwa:
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Dasar hukum lain yang menyebutkan hal mengenai Kepolisian adalah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang menyebutkan dalam Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1 ayat 1 bahwa yang disebut dengan Kepolisian adalah “segala hal-ihwal
yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. “
Sedangkan yang disebut dengan Anggota Kepolisian disebutkan dalam
Pasal 1 ayat 2 yaitu:
Pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. “ disebutkan pula dalam Pasal 1 ayat 3 bahwa yang dimaksud dengan “Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum Kepolisian.
17
Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Polri) merupakan alat Negara yang berada di bawah Presiden
dan dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab
kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang memiliki
wewenang, fungsi, dan tugas pokok tersendiri untuk dapat melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum guna memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat Republik Indonesia.
Sedangkan dari kata Polisi yang telah di ketengahkan, kalau di dalami
lebih jauh, akan memberikan berbagai pengertian. Para cendikiawan dibidang
Kepolisian sampai pada kesimpulan bahwa dalam kata Polisi itu terdapat tiga
pengertian yang dalam penggunaan sehari-hari sering tercampur aduk, dan
melahirkan berbagai konotasi. Tiga arti kata Polisi adalah; (1). Polisi sebagai
Fungsi, (2). Polisi sebagai organ Kenegaraan dan (3). Polisi sebagai Pejabat atau
Petugas. (Kunarto,1997:56).
Pada penelitian ini, penulis lebih memfokuskan kajiannya pada Kepolisian
Negara Republik Indonesia Sektor, yang disingkat Polsek yang jelas berada
langsung di bawah binaan Kepolisian Negara Republik Indonesia Resor atau
disingkat Polres. Dalam Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Skep Kapolri) Bab I mengenai Kedudukan, Tugas dan Fungsi Pasal 1
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Kepolisian Negara Republik Indonesia
Resor, disingkat Polres adalah badan pelaksana utama kewilayahan Polda yang
berkedudukan di bawah Kapolda. Sedangkan Polsek adalah badan pelaksana
utama kewilayahan Polres yang berkedudukan di bawah Kapolres.
18
2. Fungsi, Tujuan, Peran, dan Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia
Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki fungsi, tujuan, peran, dan
tugas pokok yang telah diatur secara sistematis dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang menjadi dasar hukum segala hal yang berkenaan dengan Kepolisian itu
sendiri.
Lebih rinci mengenai fungsi kepolisian diatur dalam Pasal 2 undang-
undang ini yang menyebutkan bahwa “fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan, dan ketertiban
masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat”.
Dari konsep ini jelas menerangkan bahwa fungsi kepolisian harus
memperhatikan semangat penegakkan Hak Asasi Manusia, hukum dan keadilan.
Begitupun mengenai tujuan, dijelaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 bahwa :
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Dalam Pasal ini perlu juga dipaparkan bahwa yang dimaksud dengan Hak
Asasi Manusia adalah hak dasar yang secara alamiah melekat pada setiap manusia
dalam kehidupan masyarakat, meliputi bukan saja hak perseorangan melainkan
juga hak masyarakat, bangsa, dan Negara yang secara utuh terdapat dalam
19
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta sesuai pula
dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Declaration of Human Rights,
1948 dan Konvensi Internasional lainnya.
Pada bagian lain Undang-undang tersebut, mengenai Kepolisian Negara
Republik Indonesia yakni Pasal 5 ayat 1 menyebutkan :
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Serta Ayat 2 pada Pasal ini menyebutkan “Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam
melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.”
Mengenai Tugas Pokok Kepolisian, sebagian besar para cendekiawan
berpendapat bahwa tugas Polisi itu digolongkan dalam dua kategori; pertama,
tugas Preventif atau mencegah terjadinya kejahatan dan kedua, tugas Represif
atau tindakan setelah terjadi kejahatan (pemberantasan kejahatan). Para
cendekiawan itu ada yang menyebut tugas preventif sebagai tugas dalam arti luas
atau menjamin tata tertib dan keamanan. Menyelenggarakan tata tertib dan
keamanan berarti juga mencegah kejahatan. Sedang tugas represif diberi sebutan
tugas dalam arti sempit karena bersifat penegakkan hukum yang berlaku bagi
rakyat atau berarti menindak setiap pelanggar hukum.
Lebih jelas lagi mengenai Tugas Pokok Kepolisian disebutkan dalam Pasal
13 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 ini bahwa :
20
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah : a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Rumusan tugas pokok tersebut sebenarnya bukan merupakan urutan
prioritas, ketiga-tiganya sama penting, sedangkan dalam pelaksanaannya tugas
pokok mana yang akan di kedepankan sangat tergantung pada situasi masyarakat
dan lingkungan yang dihadapi karena pada dasarnya ketiga tugas pokok tersebut
dilaksanakan secara simultan dan dapat dikombinasikan. Di samping itu, dalam
pelaksanaan tugas ini harus berdasarkan norma hukum, mengindahkan norma
agama, kesopanan, dan kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Namun, dalam penelitian ini penulis lebih menitik beratkan pada tugas
pokok kepolisian yang tercantum dalam Pasal 13 huruf a dan c, yakni lebih
memfokuskan penelitian kepada hal yang berkaitan dengan pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat serta pemberian perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat.
Sehingga, dalam pelaksanaan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam
Pasal dan huruf tersebut, diatur pula dalam Pasal 14 Ayat 1 Huruf a, c, e, I, j dan
k, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; melayani kepentingan warga
21
masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; dan memberikan pelayanan kepada mayarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian.
Dikarenakan penulis membatasi kajian penelitian atau ruang lingkup yang
difokuskan pada Kepolisian sektor yang berada langsung di bawah binaan Polres,
maka perlu kiranya di sini dipaparkan mengenai tugas Polres. Hal ini disebutkan
dalam Skep Kapolri Tahun 2005 Pada Pasal 2 yang menyebutkan bahwa :
Polres bertugas menyelenggarakan tugas pokok Polri dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum dan pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta tugas-tugas Polri lain dalam wilayah hukumnya, sesuai ketentuan hukum dan peraturan/kebijakan yang berlaku dalam organisasi Polri.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Polres
menyelenggarakan fungsi yang diantaranya sebagai berikut :
a. Pemberian pelayanan kepolisian kepada warga masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk penerimaan dan penanganan laporan/pengaduan dan permintaan bantuan/pertolongan, pelayanan pengaduan atas tindakan anggota Polri dan pelayanan surat-surat izin/keterangan, sesuai ketentuan hukum dan peraturan kebijakan yang berlaku dalam organisasi
b. Bimbingan masyarakat yang meliputi penyuluhan masyarakat dan pembinaan/pengembangan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan perundang-undangan dan terjalinnya hubungan Polri-masyarakat yang kondusif bagi pelaksanaan tugas kepolisian
c. Pembinaan hubungan kerja sama yang meliputi kerja sama dengan organisasi/lembaga/tokoh social kemasyarakatan dan instansi pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam konteks otonomi daerah dan pembinaan teknis, koordinasi dan pengawasan kepolisian khusus dan penyidik pegawai negeri sipil. (Skep Kapolri Tahun 2005, Pasal 3).
22
3. Kemitraan Polri Dengan Masyarakat
Dalam sejarah perkembangan manusia tidak terdapat seorang pun yang
bisa hidup sendiri, terpisah dari kelompok manusia lainnya, kecuali dalam
keadaan terpaksa dan itu pun hanyalah untuk sementara waktu.
Hasrat untuk hidup bersama memang telah menjadi pembawaan manusia,
merupakan suatu keharusan badaniah untuk melangsungkan hidupnya, karena tiap
manusia mempunyai keperluan sendiri-sendiri dan seringkali keperluan itu searah
serta sepadan satu sama lain, sehingga dengan kerjasama tujuan manusia untuk
memenuhi keperluan itu akan lebih mudah dan lekas tercapai. Akan tetapi
seringkali kepentingan-kepentingan itu berlainan bahkan ada juga yang
bertentangan, sehingga dapat menimbulkan pertikaian yang mengganggu
keserasian hidup bersama. Dalam hal ini orang atau golongan yang kuat menindas
orang atau golongan yang lemah untuk menekankan kehendaknya. (C.S.T. Kansil,
1984: 29).
Dapat dibayangkan berapa banyak pelanggaran ketertiban dan kejahatan di
tengah masyarakat yang akan lolos dari kejaran Polisi dan tuntutan hukum.
Namun bagaimanapun masyarakat tetap membutuhkan rasa aman, dan
kenyamanan hidup yang ditandai dengan adanya ketertiban sosial, tidak ada rasa
takut, dan berkurangnya kasus kejahatan disekelilingnya. Oleh karena itu upaya
terobosan untuk mengatasi masalah ini merupakan suatu keharusan. Salah satu
upaya yang mungkin dilakukan adalah upaya mensinergikan tugas kepolisian
dalam pemberantasan kejahatan, dan kebutuhan masyarakat akan keamanan dan
kenyamanan hidup.
23
Hal ini merupakan suatu konsep Kamtibmas dimana masyarakat
mengambil peran yang lebih besar dalam upaya pencegahan kejahatan dan
penumbuhan rasa aman warga masyarakat serta merasa bahwa polisi merupakan
bagian yang sinergis dari dirinya. Dalam perspektif ini pembinaan Kamtibmas
dilihat sebagai suatu kebijakan dan strategi yang bertujuan agar dapat mencegah
terjadinya kejahatan, meningkatkan kualitas hidup, kualitas pelayanan polisi, dan
kepercayaan terhadap polisi, dalam jalinan kerjasama proaktif dengan sumber
daya masyarakat yang ingin mengubah kondisi-kondisi penyebab kejahatan. Hal
itu berarti diperlukan adanya kepolisian yang lebih handal, peran masyarakat yang
lebih besar, dan perhatian yang besar terhadap hak asasi dan kebebasan individu.
Friedmann, 1998 dalam “Kejahatan Dalam Masyarakat” (Khairul Fahmi,
2008:79) mengemukakan bahwa Konsep ini mendasarkan diri pada asumsi bahwa
kejahatan terjadi akibat faktor-faktor sosial yang relatif tidak terlalu dikuasai oleh
pihak kepolisian. Kebutuhan pencegahan kejahatan perlu dipusatkan kepada
faktor-faktor sosial penyebab kejahatan dan bahwa hak asasi serta kebebasan
individu merupakan pertimbangan yang esensial dalam kebijakan kepolisian yang
demokratis.
Apabila Polisi ingin mencegah kejahatan dengan cara-cara yang dapat
mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka Polisi harus bertindak dengan
mendasarkan diri pada strategi dan seperangkat taktik yang merupakan tanggapan
langsung terhadap berbagai prioritas yang didambakan masyarakat yaitu
memerangi ketidaktertiban, pengurangan rasa takut terhadap kejahatan, dan
peningkatan kualitas hidup daerah.
24
Pengabaian terhadap prioritas masyarakat hanya berarti bahwa Polisi
bertindak bertentangan dengan informasi terbaik yang dapat diberikan oleh
masyarakat. Bila hal ini terjadi, mungkin saja masyarakat akan menarik diri secara
fisik dari peranan-peranan saling mendukung dengan sesama warga dan dengan
demikian melepaskan kontrol sosial yang dulu mereka bantu dan secara otomatis
ikut mempersiapkan pelaksanaannya di lingkungan tempat tinggal mereka.
Memerangi ketidak tertiban, pengurangan rasa takut terhadap kejahatan,
dan peningkatan kualitas hidup daerah sebagai esensi program pembinaan
Kamtibmas dapat dilakukan dengan cara menyertakan variabel rasa takut
masyarakat, dan ketidak tertiban ke dalam program-program penanggulangan
kejahatan, lebih berorientasi pada masalah sosial kemasyarakatan, dan bukan
pembentukan citra atas dasar gebrakan tindakan polisi yang reaktif. Pemahaman
yang jauh lebih baik tentang masyarakat dan berbagai kelompok di dalam
masyarakat adalah mutlak perlu.
Strategi tindakan dalam pembinaan Kamtibmas tidak dapat
mengasumsikan bahwa semua masyarakat itu sama, dan bahwa aparat hanya perlu
dikirim ke suatu daerah semata-mata demi hubungan yang lebih baik dengan
masyarakat. Disamping perlakuan yang layak, tanggapan yang cepat, dan
penanganan yang efisien atas permasalahan masyarakat, perencanaan pembinaan
Kamtibmas perlu lebih memahami peta sosial dalam masyarakat. Agar
perencanaan pembinaan Kamtibmas menjadi efektif perlu dilakukan pengenalan
tentang struktur kekuasaan, reputasi yang menjadi pijakan kumpulan relawan
potensial, dan jaringan formal maupun informal yang dapat digunakan untuk
25
membantu atau dijaga agar jangan sampai menghalangi program pembinaan
Kamtibmas.
Tidak kurang juga pentingnya bahwa harus ada inisiatif dari masyarakat
secara individu atau kelompok tanpa perlu menunggu polisi untuk menelaah dan
memperbaiki layanannya. Hal itu juga berarti melalui semangat pemberdayaan
dan rasa memiliki hak mengatur dirinya sendiri, masyarakat lalu memiliki kontrol
yang lebih besar terhadap masalah-masalah yang tampak tak bermakna namun
sebenarnya merupakan aspek penting dari pemberantasan kejahatan dan
peningkatan kualitas hidup. Prakarsa itu kemudian akan menjadi efektif bila
aktifitas itu merupakan aktifitas instrumental dan bukan simbolik semata sehingga
keterlibatan masyarakat akan tampak berimbang dengan peran kepolisian.
Bila hal ini terwujud maka polisi akan memperoleh wewenang
pemeliharaan Kamtibmas tidak saja dari hukum pidana dan organisasinya, namun
juga dari masyarakat yang mereka amankan. Dengan demikian akhirnya polisi dan
masyarakat secara bersama akan berupaya menentukan suatu ambang batas
gangguan ketertiban dan aturan-aturan untuk lingkungan yang akan diberlakukan
apabila ambang tersebut dilanggar. Sementara keterlibatan langsung dari para
petugas kepolisian dalam proses ini merupakan kunci yang membantu
pengembangan konsensus mengenai perilaku yang cocok dan cukup kuat untuk
daerah setempat, agar dapat bertahan bahkan selama polisi tidak ada.
Menurut Khaerul Fahmi, dalam “Membangun Kemitraan Polri dan
Masyarakat” (2008:59) bahwa:
…Reformasi di tubuh Polri memang harus diawali dengan perubahan paradigma. Baik sikap, pikiran, dan tindakan dari penguasa menjadi abdi.
26
Dalam jangka pendek, reformasi yang telah dilakukan seperti perubahan status menjadi sipil, perubahan kepangkatan, perubahan doktrin, dan sistem pendidikan perlu dibarengi dengan perbaikan materiil, fasilitas, dan pelayanan. Menurutnya, Prosedur pelaporan dan pelayanan perlu disederhanakan dan ditertibkan sehingga trauma masyarakat akan prosedur pelaporan yang berbelit-belit serta adanya kemungkinan pelapor dituntut, atau dituduh sebagai pelaku kejahatan itu sendiri bisa dihilangkan. Penginformasian berbagai macam program layanan baru Kepolisian dan perkembangan pengungkapan kasus-kasus perlu terus dilakukan agar masyarakat dapat mengetahui apa yang dapat dan telah dilakukan oleh Polri.
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa upaya pemantapan kondisi
Kamtibmas jauh lebih bermakna dari pada sekedar penegakan hukum dan
tanggapan reaktif terhadap kejahatan. Upaya tersebut haruslah dipandang sebagai
tugas, evaluasi, dan kehormatan polisi supaya di masa depan mengarah ke
perubahan yang tak terhindarkan tentang kerja dan operasi kepolisian, penugasan,
struktur komando, evaluasi, dan struktur penghargaan.
Namun demikian hal yang paling utama dalam pelaksanaan tugas
Kepolisian dalam rangka pemantapan Kamtibmas adalah partisipasi masyarakat.
Karena walaupun sistem organisasi kepolisiannya baik, pemahaman
kemasyarakatan dari personilnya baik, tidak akan sanggup menciptakan kondisi
Kamtibmas yang mantap tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat atau
kemitraan yang solid antara keduanya.
Menurut Sulistiyani (2004:94), Secara etimologis, ‘kemitraan diadaptasi
dari kata Partnership dengan akar kata Partner (pasangan, jodoh, sekutu,
kempanyon). Sedangkan secara terminologis berarti suatu bentuk persekutuan
atau perkongsian antara dua pihak atau lebih yang membentuk suatu ikatan kerja
sama atas dasar kesepakatan dan rasa saling membutuhkan dalam rangka
27
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas di suatu bidang usaha tertentu atau tujuan
tertentu untuk memperoleh hasil yang baik’.
Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri disebutkan bahwa:
Kemitraan (partnership and networking) adalah segala upaya membangun sinergi dengan potensi masyarakat yang meliputi komunikasi berbasis kepedulian, konsultasi, pemberian informasi, dan berbagai kegiatan lainnya demi tercapainya tujuan masyarakat yang aman, tertib, dan tentram.
Sedangkan dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor. 44
Tahun1997 terutama dalam Pasal 1 menyatakan bahwa :
Kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil denganUsaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat
Bahasa, Balai Pustaka:2005) Arti kata mitra adalah teman, kawan kerja, pasangan
kerja, rekan. Kemitraan artinya : perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai
mitra. Mengenai pengertian kemitraan, para sarjana mengemukakan pendapatnya
secara beragam. Dr. Muhammad Jafar Hafsah dalam “Membangun Kemitraan
Polri dan Masyarakat” (Khaerul Fahmi,2008:59) menyebutkan bahwa:
Kemitraan adalah suatu strategi yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan strategi maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra …’ Sedangkan Ian Linton lebih menitik beratkan pada sebuah cara melakukan bisnis di mana pemasok dan pelanggan berniaga satu sama lain untuk mencapai tujuan bisnis bersama.
28
Kesemua definisi tersebut di atas, ternyata belum ada satu definisi yang
memberikan definisi secara lengkap tentang kemitraan. Hal tersebut disebabkan
karena para sarjana mempunyai titik fokus yang berbeda dalam memberikan
definisi tentang kemitraan.
Menurut Sulistiyani kemitraan diartikan sebagai persekutuan atau
perkongsian, Keint L. Fletcher dan Kamus Besar Bahasa Indonesia memandang
kemitraan sebagai suatu jalinan kerjasama usaha untuk tujuan memperoleh
keuntungan, sedangkan menurut Muhammad Jafar Hafsah dan Ian Linton yang
memandang kemitraan sebagai suatu strategi yang dilakukan oleh dua pihak atau
lebih, dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.
Tetapi dengan adanya perbedaan pendapat diantara para sarjana ini maka
akan saling melengkapi diantara pendapat sarjana yang satu dengan yang lainnya,
dan apabila dipadukan maka akan menghasilkan definisi yang lebih sempurna,
bahwa kemitraan merupakan jalinan kerjasama atas dasar kesepakatan yang
merupakan strategi yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan prinsip
saling membutuhkan, saling memperbesar, dan saling menguntungkan. Dalam
kerjasama tersebut tersirat adanya satu pembinaan dan pengembangan, hal ini
dapat terlihat karena pada dasarnya masing-masing pihak pasti mempunyai
kelemahan dan kelebihan, justru dengan kelemahan dan kelebihan masing-masing
pihak akan saling melengkapi dalam arti pihak yang satu akan mengisi dengan
cara melakukan pembinaan terhadap kelemahan yang lain dan sebaliknya. Namun,
hal terpenting yang dapat disimpulkan adalah bahwa kemitraan itu merupakan
suatu upaya membangun sinergi dengan potensi masyarakat guna menciptakan
29
dan memelihara stabilitas Keamanan dan ketertiban masyarakat yang selama ini
menjadi harapan bersama.
Dalam Model-model pamberdayaan masyarakat (Sulistiyani, 2004)
menyebutkan pula bahwa kemitraan terjadi apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
1. Ada dua pihak atau lebih 2. Memiliki kesamaan visi dalam mencapai tujuan 3. Ada kesepakatan, dan 4. Saling membutuhkan.
Jika kita menelusuri sejarah, pertumbuhan rakyat Bangsa Indonesia
menjadi satu bangsa yang besar bukan disebabkan karena rakyat bangsa ini
berasal dari satu suku atau satu agama; atau berasal dari adat-istiadat yang satu.
Akan tetapi semangat persatuan dan kesatuan, kemauan yang sama dan tekad
bulat yang melandasi seluruh masyarakat Indonesia, maka bangsa ini tumbuh
menjadi bangsa yang maju.
Melihat keadaan masyarakat yang “heterogen”, kita senantiasa
diperhadapkan kepada sikap-sikap “kewaspadaan”. Dimana bangsa kita yang
dalam melaksanakan proses menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat
membutuhkan kondisi “integrasi” yang didorong semangat persatuan dan
kesatuan bangsa. Salah satu upaya ke arah itu adalah menjamin kemitraan Polri
dengan masyarakat secara positif guna meningkatkan kadar kesadaran hukum di
kalangan masyarakat dan mampu mengeliminasi segala masalah hingga akar
permasalahannya. Selaras dengan hal tersebut, dijelaskan pula dalam Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang
30
Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri bahwa:
Masalah adalah suatu kondisi yang menjadi perhatian warga masyarakat karena dapat merugikan, mengancam, menggemparkan, menyebabkan ketakutan atau berpotensi menyebabkan terjadinya gangguan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat (khususnya kejadian-kejadian yang tampaknya terpisah tetapi mempunyai kesamaan-kesamaan tentang pola, waktu, korban dan/atau lokasi geografis).
Sebagai organ Negara yang mengemban fungsi kepolisian yang bersifat
universal, penulis sepakat dengan yang diutarakan oleh Drs. Kunarto (1995:4)
bahwa sikap dan pandangan masyarakat Indonesia terhadap Polri pada dasarnya
sama; “Benci Tapi Rindu”. Hanya mungkin dalam rentangan spektrumnya, Polri
berada pada titik yang lebih dekat dengan titik antipati dibanding dengan titik
simpati. Dengan demikian disinilah peran kemitraan Polri dengan Masyarakat
harus terus diperjuangkan.
Pada tahun 1970-an masyarakat masih berkutat pada usaha keluar dari
berbagai tujuan himpitan kesulitan hidup, sehingga tidak terlalu memperhatikan
kiprah Polri. Tetapi sewaktu Orde Baru melancarkan berbagai inovasi
pembangunan, ketertiban mulai merebak, kesejahteraan mulai membaik,
keamanan mulai teratur, di situ mulai diperhatikan sepak terjang Polri. Karena
diperhatikan jelaslah kelemahan, kekurangannya semakin tampak. Mulanya
kecaman-kecaman beredar dari orang ke orang dan sedikit tertutup. Namun pada
waktu terjadi perkelahian massal antara Mahasiswa ITB dan AKPOL yang sedang
mengadakan pertandingan prsahabatan di Bandung yang dikenal dengan peristiwa
Rene Coenrad, pada saat itulah, teriakan Prit Jigo, KUHP = Kasih Uang Habis
31
Perkara, Jago Pungli, SABHARA…HA ???, Ilang ayam lapor Polisi jadi ilang
embe’, Sok Kuasa, dan segala macam atribut negatif Polri terucap dan tertulis di
berbagai media massa.
Sebenarnya antara Polri dan masyarakatnya harus harmonis seperti ikan
dengan air. Tidak harus bersifat dilematis, dikotomis atau bahkan antagonistis.
Hingga siapapun baik itu Polri maupun masyarakat, tidak perlu terjebak dalam
pembahasan yang berkonotasi mencela, memaki, menjelek-jelekan atau
mengurangi arti dari peran masing-masing. Banyak tulisan yang secara jelas
memahami bahwa Polri adalah bagian dari masyarakat. Polri adalah anak kandung
masyarakat. Ini semua berarti adanya pemahaman bahwa Polri adalah milik kita.
Baik dan buruknya Polri tergantung pada masyarakatnya itu sendiri.
Dalam pembenahan tidak dapat diprioritaskan antara Polri atau masyarakat
dulu, secara serentaklah harus melakukan perbaikan di bidang masing-masing dan
dilaksanakan proses saling membantu. Kekurangan Polri harus mampu ditutup
dengan bantuan masyarakat dan kekurangan masyarakat harus mampu pula di
tanggulangi oleh Polri. Sehingga antara Polri dan masyarakatnya akan tercipta
situasi kemitraan yang harmonis karena adanya suatu kesepakatan atas dasar
saling memahami, saling membutuhkan dan karena adanya kesadaran akan satu
kesatuan diantara keduanya. Sebagai salah satu contoh, sangatlah mungkin dalam
menangani laporan masyarakat tidak bisa ditangani oleh Polisi sendiri, tetapi
harus mengerahkan masyarakat. Maka Polri harus mampu memberi motivasi,
memimpin dan memberi teladan. Tanpa Polisi mampu berbuat keteladanan, maka
partisipasi itu tidak akan tumbuh. Keduanya, apapun penghalangnya harus
32
ditembus, agar dapat diciptakan kemitraan dan kebersamaan yang dapat benar-
benar mendekatkan Polri dengan masyarakat.
Sulistiyani dalam Model-model Pemberdayaan Masyarakat, (2004: ).
Mengemukakan bahwa terdapat tiga model kemitraan, yakni:
a. Kemitraan Semu (Pseudo Partnership) Suatu persekutuan antara dua pihak atau lebih, namun sesungguhnya tidak melakukan kerjasama secara seimbang satu dengan lainnya.
b. Kemitraan Mutualistik (Mutualism Partnership) Persekutuan dua pihak atau lebih yang sama-sama menyadari aspek pentingnya melakukan kemitraan, yakni untuk saling memberi manfaat dan mendapatkan manfaat lebih untuk mencapai tujuan bersama secara optimal.
c. Kemitraan Konjugasi (Conjugation Partnership) Yakni kemitraan melalui peleburan dan pengembangan, dimana organisasi, agen-agen, kelompok-kelompok atau perorangan yang memiliki kelemahan dalam melakukan usaha atau mencapai tujuan bersama melebur dan bekerjasama untuk meningkatkan kemampuan masing-masing.
Selaras dengan yang dikemukakan di atas, maka kemitraan antara Polri
dan masyarakat harus benar-benar terjalin harmonis dengan mengedepankan
kesadaran akan pentingnya jalinan kemitraan, yakni untuk saling memberi
manfaat dan mendapatkan manfaat lebih untuk mencapai tujuan bersama yang
dalam hal ini adalah memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat
secara optimal atau disebut dengan model kemitraan mutualistik (Mutualism
Partnership) dengan mengedepankan pemecahan masalah dari segala potensi
gangguan Kamtibmas yang memungkinkan, yang dijelaskan pula dalam Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri bahwa:
33
Pemecahan masalah adalah proses pendekatan permasalahan Kamtibmas dan kejahatan untuk mencari pemecahan suatu permasalahan melalui upaya memahami masalah, analisis masalah, mengusulkan alternative-alternatif solusi yang tepat dalam rangka menciptakan rasa aman, tentram dan ketertiban (tidak hanya berdasarkan pada hukum pidana dan penangkapan), melakukan evaluasi serta evaluasi ulang terhadap efektifitas solusi yang dipilih. Serta yang dimaksud dengan potensi gangguan Keamanan dan ketertiban
masyarakat itu, dalam poin 15 dijelaskan bahwa:
Potensi Gangguan Kamtibmas adalah endapan permasalahan yang melekat pada sendi-sendi kehidupan sosial yang bersifat mendasar akibat dari kesenjangan akses pada sumber daya ekonomi, sosial, dan politik yang pada akhirnya dapat menjadi sumber atau akar permasalahan gangguan Keamanan dan ketertiban masyarakat.
Adapun model-model kemitraan dalam organisasi lainnya, (Sulistiyani,
2004) yaitu:
1) Subordinate Union Of Partnership Yakni kemitraan antara dua pihak atau lebih yang memiliki status, kemampuan atau kekuatan yang tidak seimbang satu sama lainnya. Sehingga hubungan yang terjadi adalah Atas-Bawah atau Kuat-Lemah.
2) Linear Unioan Of Partnership Dalam model ini, pihak-pihak yang bekerjasama memiliki persamaan secara relative. Baik tujuan, misi, volume usaha, status atau legalitas.
3) Linear Collaborative Of Partnership Dalam model kemitraan ini, tidak membedakan besaran volume, status atau legalitas, atau kekuatan para pihak, namun tekanan utama adalah kesamaan visi dan misi. Sehingga hubungan terjadi pada garis lurus dan tidak saling tersubordinasi.
Jika mengkaji model-model kemitraan dalam organisasi lainnya yang
dikemukakan Sulistiyani dalam bukunya “Model-model Pemberdayaan
Masyarakat” tersebut di atas, maka apabila dikaitkan dengan kemitraan antara
Polri dengan masyarakat dalam memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban
34
maka kemitraan yang dilaksanakan harus mampu menggunakan model yang
ketiga, yaitu Linear Collaborative Of Partnership dengan prinsipnya yang tidak
membedakan besaran volume, status/legalitas atau kekuatan para pihak, namun
tekanan utamanya adalah kesamaan visi dan misi. Sehingga dalam kemitraan
antara Polri dengan masyarakat ini dapat terjalin suatu hubungan kerjasama yang
selaras, seimbang, dan tidak tersubordinasi.
4. Korelasi antara kemitraan dengan memelihara stabilitas Keamanan dan
ketertiban masyarakat (Kamtibmas)
Sebelum membahas lebih mendalam lagi mengenai korelasi antara
kemitraan dengan memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat atau
sering disebut dengan Kamtibmas, selain sekilas pemaparan di atas, perlu
ditambahkan terlebih dahulu mengenai arti atau definisi dari Kamtibmas itu
sendiri.
Berdasarkan Surat Keputusan Menhankam/Pangab Nomor : Kep / 821 /
VII / 1982 Tanggal 12 Juli 1982 tentang Pola Pembinaan dan Ketertiban
Masyarakat disebutkan bahwa :
Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah situasi, sarana dan atau tujuan yang menggambarkan adanya rasa bebas dari gangguan dan ancaman fisik maupun psikis, adanya rasa kepastian, adanya rasa dilindungi dari segala macam bahaya, adanya rasa damai dan tenteram bagi masayarakat. (Kunaefi, 2003:29).
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.2 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat
5, juga dipaparkan, bahwa :
Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses
35
pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
Dari kedua paparan di atas dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud
dengan Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu situasi dan kondisi
masyarakat yang dinamis, yang menggambarkan adanya rasa bebas dari segala
macam gangguan, yang juga merupakan suatu prasyarat terselenggaranya proses
pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang sitandai
oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta
mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah,
dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk
gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
Dari penarikan kesimpulan di atas, maka jelas dapat dikatakan pula bahwa
kondisi dan situasi Keamanan dan ketertiban masyarakat itu tidak dapat terlepas
atau dipisahkan dengan kerjasama atau partisipasi masyarakat itu sendiri dengan
pihak kepolisian yang dalam hal ini mengemban tugas dalam memelihara keadaan
Kamtibmas.
Dalam penyelenggaraan tugasnya untuk pemeliharaan Keamanan dan
ketertiban masyarakat, Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
Kepolisian Resor pada khususnya menyelenggarakan fungsi yang diatur dalam
36
Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol : Kep / 7 /
I / 2005 Tanggal 31 Januari 2005, sebagai berikut :
a. Pemberian pelayanan kepolisian kepada warga masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk penerimaan dan penanganan laporan atau pengaduan dan permintaan bantuan atau pertolongan, pelayanan pengaduan atas tindakan anggota Polri dan pelayanan surat-surat izin atau keterangan, sesuai ketentuan hukum dan peraturan atau kebijakan yang berlaku dalam organisasi Polri.
b. Intelijen dalam bidang keamanan, termasuk persandian, baik sebagai bagian dari kegiatan satuan-satuan atas maupun sebagai bahan masukan penyusunan rencana kegiatan operasional Polres dalam rangka pencegahan gangguan dan pemeliharaan keamanan dalam negeri.
c. Kesamaptaan kepolisian yang meliputi kegiatan patrol, pengaturan, penjagaan dan pengawalan kegiatan masyarakat dan pemerintah, termasuk penindakan tindak pidana ringan dan pengamanan unjuk rasa dan pengendalian massa, serta pengamanan obyek khusus yang meliputi VIP, pariwisata dan obyek vital/khusus lainnya dalam rangka pencegahan kejahatan dan pemeliharaan Kamtibmas.
d. Bimbingan masyarakat, yang meliputi penyuluhan masyarakat dan pembinaan atau pengembangan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan perundang-undangan dan terjalinnya hubungan Polri-masyarakat yang kondusif bagi pelaksanaan tugas kepolisian.
e. Pembinaan hubungan kerja sama, yang meliputi kerja sama dengan organisasi atau lembaga atau tokoh sosial kemasyarakatan dan instansi pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam konteks otonomi daerah dan pembinaan teknis, koordinasi dan pengawasan kepolisian khusus dan penyidik pegawai sipil.
Walter C. Recless dalam buku “The Crime of Problems” mengatakan
bahwa situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di suatu Negara sangat
dipengaruhi oleh partisipasi masyarakatnya. (Mangandar Sianipar, 1995: 4).
Apa yang dikatakan pakar Kepolisian Inggris itu ada benarnya, sejak lama
partisipasi masyarakat telah dirasakan sebagai salah satu faktor penting dalam
menciptakan stabilitas sosial yang mantap dan dinamis. Peranan masyarakat
dalam memelihara keamanan dan ketertibannya merupakan peranan yang sangat
37
besar kontribusinya bagi kemajuan bangsa. Dengan situasi dan kondisi keamanan
dan ketertiban yang baik, dengan kata lain berarti telah mewujudkan situasi yang
aman, tenteram dan sejahtera dalam lingkungan masyarakat di suatu negara sesuai
dengan tujuan dan cita – cita bersama.
Pernyataan Racless ini juga diperkuat oleh Alfin Toffler dengan teorinya
yang terkenal The Third Wave (gelombang ketiga) yang mengatakan bahwa
partisipasi masyarakat merupakan elemen force atau kekuatan dasar yang perlu
ditangani dan dikelola secara cermat dan baik.(Kunarto, 1995: 24).
Karena itu, tidak mengherankan kalau banyak orang, termasuk pejabat
tinggi kepolisian secara tegas mengakui bahwa tanpa partisipasi masyarakat,
tugas-tugas polisi tidak akan efisien betapapun canggihnya sarana pendukung,
bagaimanapun tingkat keterampilan personil dan berapapun besar dana operasi
kepolisian. Sejalan dengan hal tersebut, kemitraan Polri dengan masyarakat guna
menciptakan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat yang mantap dituntut
sikap saling percaya – mempercayai, sikap saling hormat – menghormati serta
sikap saling memerlukan. Sehingga terciptalah suasana kemitraan yang
professional karena akan terlihat adanya rasa kebersamaan dan tanggungjawab di
antara Polri dengan masyarakat yang dilandasi semangat solidaritas yang tinggi.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas ini berarti, bahwa kemitraan yang
profesional itu adalah mengandung unsur transparan dan percaya-mempercayai.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan suasana kemitraan yang profesional tidak
cukup dengan hanya mengandalkan janji-janji. Keamanan dan ketertiban
masyarakat itu bukanlah sekedar janji, melainkan satu kondisi yang harus
38
diaktualisasikan, diwujudkan, dipertahankan secara bersama-sama antara
masyarakat dengan Polri.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa dengan kemitraan yang
profesional antara Polri dengan masyarakat, segala sesuatu yang dapat
mengganggu Keamanan dan ketertiban masyarakat bisa diredakan demi
pembangunan bangsa. Secara universal bahwa masyarakat bangsa Indonesia
sangat mendambakan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat yang mantap.
Namun demikian, dalam kapasitasnya sebagai warga masyarakat peranan
“kemitraan” dalam kaitan ini tampaknya masih membutuhkan penyatuan persepsi.
Hal itu disebabkan masih adanya sistem budaya yang mengalir di masyarakat
dimana jika berbicara tentang “mitra Polri” maka dalam pandangan masyarakat
timbul semacam “momok” yang sebenarnya tidaklah beralasan.
Berkembangnya “momok” bagi masyarakat menyebabkan semakin
diperlukan keterbukaan bahwa sesungguhnya Polri dan masyarakat merupakan
satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan terutama dalam menciptakan, dan
memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat yang mantap.
Hal ini sebenarnya tidaklah merupakan satu tantangan yang sangat berat
karena kita memiliki suatu motto bahwa pembangunan itu adalah “dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat”. Ini berarti bahwa dalam rangka pelaksanaan
pembangunan tersebut, diperlukan situasi Keamanan dan ketertiban masyarakat
yang secara nyata diemban oleh Polri dan lapisan masyarakat.
Masalah Keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) bukan saja
menjadi masalah Kepolisian dan aparat kemanan lainnya saja, tetapi juga menjadi
39
masalah dan tanggungjawab bersama. Kita tidak boleh terjebak dalam perdebatan
teoritis baik menurut paham kepolisian, psikologi, ataupun sosiologi tentang
bagaimana asal mulanya kejahatan dan segala tindakan kriminal.
Namun dalam hal ini, Asdon Siswanto (1995: 4) mengemukakan bahwa
terdapat empat faktor yang mempengaruhi kejahatan itu semakin berkembang
yakni; pertama, partisipasi masyarakat untuk menciptakan keamanan yang belum
baik. Robert Phell, ahli Kepolisian Inggris mengatakan bahwa ‘kejahatan dapat
terjadi bila niat berbuat jahat bertemu dengan kesempatan berbuat jahat’. Kedua,
persepsi pihak birokrat dan aparat penegak hukum lainnya terhadap kepolisiannya
yang belum baik. Ketiga, karena Negara tersebut tidak memiliki sistem organisasi
Kepolisian yang kuat dan baik. Dan keempat adalah sistem hukum yang tidak
berwibawa.
Dari keempat faktor di atas, hal yang paling utama adalah partisipasi
rakyat. Sebab bagaimanapun kadar wibawa hukum dan persepsi pihak birokrat
terhadap kepolisian, tidak akan mampu menciptakan stabilitas keamanan dan
ketertiban masyarakat yang mantap tanpa adanya partisipasi atau kemitraan yang
solid. Dari Sosiolog Max Weber Teori Hidden and Latent Emforcement System
mengatakan bahwa ‘rakyat adalah kekuatan yang maha dahsyat’. (Kunarto, 1995:
127).
Akan tetapi perlu diketahui, bahwa partisipasi masyarakat tidak bisa
diharapkan tumbuh dengan sendirinya tanpa pembinaan atau rangsangan yang
tepat dan wajar. Partisipasi juga tidak akan dapat ditumbuhkan hanya lewat
perincian tugas-tugas Kepolisian serta slogan-slogan abstrak yang tidak dapat
40
dirasakan oleh warga masyarakat. Partisipasi hanya mungkin dapat lahir dari
suasana yang dialogis, hubungan yang akrab dan harmonis antara kepolisian
dengan masyarakat.
Sayangnya, membina hubungan yang akrab dan harmonis ini bukanlah
persoalan yang mudah. Sebab untuk itu Polisi harus beradaptasi dan menyelami
kebudayaan masyarakat agar mengetahui apakah mereka lebih baik diperintah,
dipersuasi, disugesti ataupun dipaksa. Sebelumnya, pihak kepolisian juga harus
yakin bahwa cara yang ditempuh itu akan mampu menggiring masyarakat pada
suatu keyakinan bahwa keikutsertaan mereka berpartisipasi atau menjadi mitra
Polisi akan membawa manfaat, pertama untuk dirinya sendiri dan keluarganya,
lalu kemudian untuk masyarakat dan negara.
Namun sekali lagi penulis mengingatkan, bahwa Polisi juga manusia, anak
kandung masyarakat itu sendiri. Sehingga kita harus lebih arif dalam memberikan
pandangan atau penilaian kepada pihak kepolisian. Hubungan yang erat antara
Polisi dan masyarakat membuat bukan hanya masyarakat yang menaruh harapan
pada Polisi. Polisi pun menaruh harapan yang begitu besar akan ketaatan warga
masyarakat terhadap hukum, sebab dengan ketaatan itu tugas Polisi akan lebih
mudah dan efektif.
Masyarakat jangan hanya mampu berbicara di belakang, berargumen
merusak citra Polisi secara universal tanpa menilai secara bijak terlebih dahulu
bahwa rusaknya citra Polisi itu bukan lahir dari institusi atau anggota Kepolisian
Republik Indonesia secara global melainkan adanya oknum-oknum yang tidak
bertanggungjawab.
41
Polisi juga mengharapkan masyarakat menjunjung tinggi disiplin. Sebab
disiplin merupakan syarat pokok untuk membina stabilitas yang mantap dan
dinamis. Pepatah Romawi kuno mengatakan,’Ubo Ardo Devicit Nulla Virtus
Sufficit’ yang berarti bahwa manusia tidak akan mempunyai mutu apa-apa bila
tidak mempunyai tata tertib. Dan manusia tidak akan mempunyai tata tertib jika
tidak memiliki disiplin. (Kunarto, 1995: 27).
Oleh karena itu, masyarakat dan Polri harus mampu lebih transparan,
dalam arti saling menghargai harapan masing – masing, lebih saling memahami
akan tugas dan fungsi masing-masing dalam kehidupan sosial, menjalin kemitraan
yang didasarkan pada prinsip saling mempercayai, menghargai, sopan-santun,
persamaan, ketulusan, kesetaraan, dan memberi dukungan yang saling
menguntungkan guna mencapai tujuan bersama yakni menciptakan dan
memelihara stabilitas Keamanan dan ketertiban masyarakat ( Kamtibmas ) secara
bersama-sama sebagai wujud atau bukti bahwa korelasi antara kemitraan Polri
dengan masyarakat dalam memelihara stabilitas Keamanan dan ketertiban
masyarakat sangat berperan dan merupakan kebutuhan utama dalam rangka
menunjang keberhasilan pembangunan di segala aspek kehidupan.
Kita harus menyadari bahwa Keamanan dan ketertiban masyarakat
berfungsi sebagai “jembatan” menuju keberhasilan terutama yang menyangkut
kepentingan masyarakat secara umum. Di sinilah letak perlunya ditegakkan
tanggungjawab dan kemitraan Polri dengan masyarakat. Karena sesungguhnya,
Keamanan dan ketertiban masyarakat itu ada di tangan masyarakat itu sendiri.
42
B. PERPOLISIAN MASYARAKAT (POLMAS/ COMMUNITY POLICING)
SEBAGAI UPAYA TERJALINNYA KEMITRAAN DALAM
MEMELIHARA STABILITAS KEAMANAN DAN KETERTIBAN
MASYARAKAT (KAMTIBMAS)
1. Pengertian Perpolisian/Polmas (Community Policing)
Salah satu metode penangkalan, pencegahan, dan penanganan kejahatan
yang sesungguhnya sudah diterapkan cukup lama, tetapi diperbaiki dan
disempurnakan terus-menerus, adalah apa yang disebut sebagai Community
Policing. Metode ini cukup populer dan diterapkan di banyak Negara. Tentu saja,
masing-masing Negara dan masyarakat atau komunitas menerapkannya dengan
berbagai variasi. Community policing merupakan sesuatu yang relatif baru dalam
praktek kehidupan kepolisian. Dalam hal ini, Jepang dianggap sebagai Negara
yang paling berhasil dalam menerapkan Community policing.
Dalam bahasa Indonesia, para pakar dan berbagai kalangan menggunakan
beberapa istilah seperti Perpolisian Berorientasi Masyarakat, Pemolisian
Komuniti, Pemolisian Komunitas, Pemolisian Masyarakat, dan Perpolisian
Masyarakat serta Polmas. Satjipto Rahardjo menggunakan istilah Perpolisian
Masyarakat. Begitu pula Tim Perumus Polri yang dipimpin oleh (waktu itu) Irjen
Pol Prof Dr Farouk Muhammad menggunakan istilah Perpolisian Masyarakat atau
Polmas. Sebenarnya, menurut Skep Kapolri No. Pol.: Skep737/X/2005, istilah
Polmas bukan merupakan singkatan dari Perpolisian Masyarakat, tetapi suatu
istilah yang diharapkan akan menggantikan berbagai istilah, sebagai terjemahan
istilah Community policing (Sutanto, 2008: 2).
43
Lampiran Skep Kapolri No. Pol.: Skep737/X/2005, menyatakan : ‘Tanpa
mengenyampingkan kemungkinan penggunaan penterjemahan istilah yang
berbeda diberi nama “Perpolisian Masyarakat” dan selanjutnya secara konseptual
dan operasional disebut Polmas” (Sutanto, 2008: 3).
Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.
Pol.: Skep737/X/2005 disebutkan bahwa:
Konsep Polmas mencakup dua unsur, yaitu perpolisian dan masyarakat. Secara harfiah perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata “policing” berarti segala hal ihwal tentang penyelenggaraan fungsi kepolisian. Dalam konteks ini perpolisian tidak hanya menyangkut operasionalisasi (taktik/teknik) fungsi kepolisian tetapi juga pengelolaan fungsi kepolisian secara menyeluruh mulai dari tataran manajemen puncak sampai manajemen lapis bawah, termasuk pemikiran-pemikiran filsafati yang melatarbelakanginya.
Masih berdasar pada Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia No. Pol.: Skep737/X/2005 disebutkan bahwa masyarakat yang
merupakan terjemahan dari kata “Community” (komunitas) dalam konteks ini
berarti :
Warga masyarakat atau komunitas yang berada di dalam suatu wilayah kecil yang jelas batas-batasnya (geographic-community). Batas wilayah komunitas ini harus dilakukan dengan memperhatikan keunikan karakteristik geografis dan sosial dari suatu lingkungan dan terutama keefektifan pemberian layanan kepada warga masyarakat. Wilayah tersebut dapat berbentuk RT, RW, desa, kelurahan, ataupun berupa pasar/pusat belanja/mall, kawasan industry, pusat/kompleks olahraga, stasiun bus/kereta api dan lain-lain. Dalam pengertian yang diperluas masyarakat dalam pendekatan Polmas diterapkan juga bisa meliputi sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah yang lebih luas seperti kecamatan bahkan kabupaten/kota, sepanjang mereka memiliki kesamaan kepentingan. Sebagai contoh kelompok berdasar etnis/suku, kelompok berdasar agama, kelompok berdasar profesi, hobby dan sebagainya. Kelompok ini dikenal dengan nama komunitas berdasar kepentingan (community of interest).
44
Lebih khusus dijelaskan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2008, bahwa dapat pula:
Polmas diterapkan dalam komunitas-komunitas atau kelompok masyarakat yang tinggal di dalam suatu lokasi tertentu ataupun lingkungan komunitas berkesamaan profesi (misalnya kesamaan kerja, keahlian, hobi, kepentingan dsb), sehingga warga masyarakatnya tidak harus tinggal di suatu tempat yang sama, tetapi dapat saja tempatnya berjauhan sepanjang komunikasi antara warga satu sama lain berlangsung secara intensif atau adanya kesamaan kepentingan. (misalnya: kelompok ojek, hobi burung perkutut, pembalap motor, hobi komputer dan sebagainya) yang semuanya bisa menjadi sarana penyelenggaraan Polmas.
Menurut Polisi di Ontario, Kanada (Ontario Provincial Police)
merumuskan bahwa Community policing atau Polmas adalah pemberian jasa
pemolisian, yang berasal dari kemitraan masyarakat dan Polisi yang
mengidentifikasi dan memecahkan berbagai isu dalam rangka mempertahankan
tertib sosial (Kepolisian Negara Republik Indonesia,2006:16)
Sementara itu, pasangan Susan Trojanowicz dan Robert Trojanowicz
merumuskan Polmas sebagai berikut :
…metode Pemolisian apapun yang mencakup penugasan seorang Polisi ke wilayah yang sama, bertemu dan bekerja bersama dengan penduduk setempat dan pengusaha yang tinggal dan bekerja di wilayah tersebut. Warga dan Polisi bekerjasama untuk mengidentifikasi masalah-masalah di wilayah tersebut dan secara bersama-sama menyelesaikannya. Petugas Polisi berfungsi sebagai katalisator, yang menggerakkan masyarakat dan komunitas ketetanggaan dalam memecahkan masalah-masalah mereka sendiri, serta mendorong warga untuk saling menolong dan membantu satu sama lain.(Sutanto, 2008: 5)
Trojanowicz dan Carter merumuskan bahwa:
Polmas dapat didefinisikan sebagai suatu falsafah dan bukan suatu taktik khusus; suatu pendekatan yang bersifat proaktif dan terdensentralisasi, yang dirancang untuk mengurangi kejahatan, ketidaktertiban, serta ketakutan akan kejahatan, dengan melibatkan petugas yang sama di masyarakat tertentu selama jangka waktu yang lama. .(Sutanto, 2008: 7)
45
Hampir senada dengan beberapa definisi di atas, definisi dari Dinas
Kepolisian Cornersville juga menyebutkan bahwa:
Polmas adalah falsafah yang melingkupi seluruh organisasi serta pendekatan manajemen yang mendorong kemitraan komunitas, pemerintah dan Polisi; pemecahan masalah secara proaktif; dan keterlibatan komunitas untuk mengatasi sebab-sebab kejahatan, ketakutan akan terjadinya kejahatan dan isu-isu komunitas lainnya.(Sutanto, 2008: 8).
Dalam buku POLMAS sebagai Falsafah Baru Pemolisian, Jend.Pol. Drs
Sutanto bersama Tim Polri mengemukakan, bahwa :
Polmas adalah sebuah filosofi, strategi operasional, dan organisasional yang mendorong terciptanya suatu kemitraan baru antara masyarakat dengan Polisi dalam memecahkan masalah dan tindakan-tindakan proaktif sebagai landasan terciptanya kemitraan. .(Sutanto, 2008: 9).
Dengan mengkaji beberapa definisi yang dikemukakan oleh para tokoh di
atas, penulis dapat menyimpulkan dan mungkin dapat mewakili, bahwa:
Polmas atau Community policing adalah pemberian jasa Pemolisian yang
berdasar atas kemitraan antara Polisi dengan masyarakat dalam upaya memelihara
stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat, dengan cara memecahkan segala
bentuk permasalahan-permasalahan yang dihadapai melalui tindakan-tindakan
proaktif dari wujud terjalinnya kemitraan yang solid antara Polisi dengan
Masyarakat.
Sebagai ujung tombak dalam menciptakan keamanan dan ketertiban
masyarakat, Polri harus mampu beradaptasi dengan segala perubahan dan
perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Implikasi dari kemajuan
jaman yang membuat modus kejahatan semakin canggih, menuntut Polri untuk
berubah dan menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut. seiring dengan
46
bergulirnya era reformasi yang telah menggugah kesadaran seluruh komponen
bangsa untuk melakukan pembenahan dan pembaharuan atas berbagai
ketimpangan, kinerja dan hal-hal yang dianggap tidak profesional serta
proporsional menuju masyarakat sipil yang demokratis. Polri pun tak lepas dari
wacana besar perubahan ini. Sebab, kepolisian merupakan cerminan dari tuntutan
dan harapan masyarakat akan adanya rasa keamanan, ketertiban dan ketentraman,
yang mendukung produktifitas yang mensejahterakan warga masyarakat.
Untuk melakukan penyesuaian terhadap perkembangan atmosphere baru
dalam masyarakat ini, Polri pun dituntut untuk mereformasi dirinya sendiri,
melalui berbagai pemberdayaan sumber daya yang ada dan melalui perubahan
pola pikir para petugas Polri (to change the mind set of police officers) secara
berkesinambungan agar Polri dapat mengatasi tantangan masa depan seiring
dengan arus globalisasi dan demokratisasi. (Tantya Sudhirajati, 2007:4).
Sebelum memaparkan secara mendalam mengenai Perpolisian masyarakat
atau Polmas atau Community policing, perlu kiranya menyebutkan mengenai
komponen-komponen utama dari Polmas tersebut, yang dalam hal ini penulis
kutip dari buku ajar dengan judul “Prinsip-prinsip Pemolisian Masyarakat”
(Departemen Kepolisian, 2003). Bahwa Komponen-komponen utama dari Polmas
adalah sebagai berikut :
a. Filosofi, yang didasarkan bahwa tantangan-tantangan yang sedang dihadapi (kontemporer) menurut polisi untuk memberikan pelayanan secara penuh, baik secara proaktif maupun reaktif, dengan cara melibatkan masyarakat secara langsung sebagai mitra dalam proses mengidentifikasi, menentukan skala prioritas, dan memecahkan masalah, termasuk masalah kejahatan, kekhawatiran akan adanya tindak kejahatan, perdagangan narkoba secara gelap, ketidaktertiban sosial dan fisik, dan permasalahan-permasalahan di suatu lingkungan.
47
b. Personalisasi, dengan menempatkan atau menugaskan polisi ke daerah asalanya, maka strategi Polmas tersebut menghilangkan rasa asing di antara kedua belah pihak, yaitu polisi dan masyarakat, sehingga mereka saling mengenal dengan baik.
c. Pemolisian, yakni pemolisian masyarakat tetap melakukan dan bahkan fokus pada penegakan hukum; petugas dan tim Polmas merespon panggilan telepon dan melakukan penangkapan seperti halnya petugas polisi lainnya; namun ada tambahan yang harus menjadi fokus dalam pekerjaan mereka, yaitu pada pemecahan masalah secara proaktif.
d. Kemitraan yang mendorong adanya satu kemitraan baru antara masyarakat dengan polisi yang didasarkan pada saling menghargai, pada kesopan-santunan dan saling memberi dukungan.
e. Pemecahan masalah. Polmas mendefinisikan kembali misi polisi agar ia mempunyai fokus pada pembangunan masyarakat dan pemecahan masalah, sehingga keberhasilan atau kegagalan akan dilihat dari hasil-hasil kualitatif (masalah yang diselesaikan) dan bukan hanya pada hasil-hasil kuantitatif (beberapa banyak orang yang ditahan, atau pada jumlah panggilan menghadap yang dikeluarkan). Kedua ukuran tersebut, yaitu kualitatif dan kuantitatif sama-sama diperlukan.
f. Tempat, adalah semua wilayah hukum (yurisdiksi), tidak peduli seberapa luasnya, yang pada akhirnya dibagi dalam daerah-daerah tertentu. Polmas menganut kebijakan desentralisasi menyangkut petugas polisi (kadang-kadang termasuk juga para penyidik) sehingga para petugas Perpolisian Masyarakat melibatkan suatu struktur yang memungkinkan petugas polisi dihadirkan di tengah masyarakat. Karena ia selalu “berada disana”, dia dianggap sebagai salah satu anggota masyarakat (yang penting). Perpolisian Masyarakat juga mendesentralisasikan masalah pengambilan keputusan. Hal tersebut dilakukan bukan hanya dengan memberi polisi otonomi dan kebebasan untuk bertindak, tetapi juga dengan cara memberdayakan semua petugas untuk mengambil bagian dalam usaha pemecahan maslah bersama masyarakat.
g. Proaktif , yakni sebagai bagian dari pemberian pelayanan polisi yang penuh, Perpolisian Masyarakat membuat keseimbangan antara respon reaktif terhadap suatu kejadian tindak kejahatan dengan upaya proaktif, yaitu mencegah suatu maslah supaya tidak terjadi atau semakin buruk, serta pencegahan tindak kejahatan.
h. Patroli , petugas dan tim Polmas tetap bekerja dan melakukan patrol dalam masyarakatnya, tetapi hal tersebut harus dilakukan dengan tujuan agar masyarakatnya tidak lagi terisolasi dari patrol mobil. Kadang-kadang akan jauh lebih baik kalau patrol dilakukan dengan berjalan kaki atau dengan jenis transportasi lainnyam seperti sepeda, sepeda motor dan bahkan kuda.
i. Permanen, Perpolisian Masyarakat menuntut ditugaskannya petugas untuk melakukan patrol yang terencana dengan baik dan permanen pada ‘beat’ yang jelas, sehingga mereka memiliki waktu, kesempatan, dan kesinambungan untuk membangun kemitraan baru. Permanan berarti bahwa petugas Perpolisian Masyarakat tidak diganti-ganti dari wilayah
48
patrol/beat mereka, dan mereka tidak boleh ditugaskan untuk ‘menggantikan’ personil lain yang tidak masuk atau sedang libur.
Karena itu, Perpolisian Masyarakat atau Pemolisian Masyarakat atau
Polmas atau Community policing bukan hanya salah satu dari komponen-
komponen tersebut di atas; polmas adalah suatu kombinasi yang dinamis dari
kesemuanya.
Tantya Sudhirajati dalam Polmas sebagai paradigma baru Polri, (2007:11)
mengemukakan bahwa salah satu tantangan utama Polri ke depan adalah
menciptakan polisi masa depan, yang mampu secara terus-menerus beradaptasi
dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat. Polisi
harus dapat menjadi mitra. Memahami atau cocok dengan masyarakat, menjadi
figur yang dipercaya sebagai pelindung, pengayom dan penegak hukum.
Di samping itu sebagai pribadi dapat dijadikan panutan masyarakat dan mampu
membangun simpati dan kemitraan dengan masyarakat. Polri dalam hal ini harus
membangun interaksi sosial yang erat dan mesra dengan masyarakat, yaitu
keberadaannya menjadi simbol persahabatan antara warga masyarakat dengan
polisi dengan mengedepankan dan memahami kebutuhan adanya rasa aman warga
masyarakat, yang lebih mengedepankan tindakan pencegahan kejahatan (crime
prevention).
Community Policing merupakan bentuk polisi sipil untuk menciptakan dan
menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang dilakukan dengan
tindakan-tindakan : (1) Polisi bersama-sama dengan masyarakat untuk mencari
jalan keluar atau menyelesaikan masalah sosial (terutama masalah keamanan)
49
yang terjadi dalam masyarakat. (2) Polisi senantiasa berupaya untuk mengurangi
rasa ketakutan masyarakat akan adanya gangguan kriminalitas, (3) Polisi lebih
mengutamakan pencegahan kriminalitas (crime prevention), (4) Polisi senantiasa
berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. (Tantya, 2007:17).
Penerapan tindakan – tindakan tersebut di atas dapat dilakukan dengan
mengedepankan, memperbaiki dan menjaga hubungan antara polisi dengan warga
komuniti sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Hubungan polisi
dengan warga komuniti dibangun melalui komunikasi dimana polisi bisa
menggunakan dengan kata hati dan pikirannya untuk memahami berbagai masalah
sosial yang terjadi maupun dalam membahas masalah yang bersifat lokal dan adat
istiadat masyarakat sukubangsa setempat.
Model community policing dapat dianalogikan bahwa posisi polisi adalah
dapat berpindah secara fleksibel yaitu ; 1) Posisi setara antara polisi dengan warga
komuniti dalam membangun kemitraan dimana polisi bersama-sama dengan
warga dalam upaya untuk mencari solusi dalam menangani berbagai masalah
sosial yang terjadi dalam masyarakat. 2) Posisi di bawah adalah polisi berada di
bawah masyarakat yaitu polisi dapat memahami kebutuhan rasa aman warga
komuniti yang dilayaninya, dan 3) posisi polisi di atas yaitu polisi dapat bertindak
sebagai aparat penegak hukum yang dipercaya oleh warga masyarakat dan
perilakunya dapat dijadikan panutan oleh warga yang dilayaninya. Polisi sebagai
petugas dlm Perpolisian Komuniti mengidentifikasikan warga yang taat dan patuh
hukum dan diajak tidak hanya untuk mengamankan dirinya tetapi juga warga
50
komunitinya dan polisi berupaya membentuk jaringan (net work). (Tantya
Sudhirajati, 2007).
Paradigma baru ini didasari oleh kenyataan bahwa sumber daya manusia
kepolisian yang terbatas tidak mungkin mengamankan masyarakat secara solitair
atau seorang diri. Polisi membutuhkan peran serta masyarakat dalam menjaga
keamanan dan ketertiban. Syarat utama dari paradigma baru ini adalah terjalinnya
kedekatan hubungan antara polisi dan masyarakat. Tepatnya, kemitraan yang
harmonis dan upaya – upaya untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial yang
terjadi dalam masyarakat khususnya yang berkaitan dengan keamanan dan rasa
aman warga masyarakat.
Dari uraian mengenai pengertian Polmas di atas, penulis berharap semoga
slogan dalam tugas pokok dan fungsi Polri untuk melindungi, mengayomi,
melayani harus ditempatkan dalam konteks Polmas yang sesungguhnya.
Penulis sependapat dengan Drs. Sutanto dalam “Polmas sebagai Falsafah
Baru Pemolisian” (2008:29) bahwa melindungi, dan mengayomi mengandung
makna bahwa Polisi ‘lebih tinggi’ posisinya dibandingkan masyarakat. Sehingga
masyarakat harus mampu menghormati dan patuh terhadap Polisi pada posisi ini.
Sebaliknya, melayani berarti menempatkan diri Polisi pada posisi yang lebih
rendah dibanding masyarakatnya. Kombinasi antara kedua posisi ini seharusnya
membuat setiap anggota Polisi mampu menerapkan asas diskresi untuk
memutuskan kapan harus melindungi, mengayomi, atau melayani.
Kemudian, Tantya Sudhirajati yang merupakan alumni dari Akademi
Kepolisian, mengemukakan bahwa tantangan bagi institusi kepolisian dalam
51
melayani masyarakat yang dinamis dan yang telah banyak mengalami perubahan,
baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan teknologi, adalah
bagaimana menyesuaikan struktur pengelolaan (governing structure) kepolisian
agar dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Efektivitas struktural
pengelolaan organisasi polisi dalam melayani kebutuhan masyarakat telah
bergerak dari bentuk birokrasi (bereaucracy) ke bentuk pasar (market), lalu ke
bentuk jaringan (network).
Dalam struktur pengelolaan birokrasi, organisasi kepolisian berbentuk
otoritarian, garis komando para-militer, teratur dengan peraturan organisasi yang
ketat, dengan penekanan pada komunikasi internal dan vertikal. Penekanan
umumnya lebih diarahkan kepada kepatuhan dibandingkan pada inisiatif, dimana
pengambilan keputusan jarang dilakukan secara partisipatif atau kolegial bersama
dalam garis kepangkatan. Dengan ciri kombinasi keberadaan birokrasi formal dan
praktek kerja yang terstandarisasi dengan ketat, maka institusi kepolisian dengan
bentuk seperti ini sangatlah sulit untuk mengalami dan melakukan perubahan.
Kritik terhadap struktur birokrasi adalah pada dampak inefisiensi, terlalu ”gemuk”
dan mahal, dan kurang insentif untuk proses yang lebih berorientasi pada
pelayanan masyarakat.
Perkembangan manajemen kemudian mengarahkan penyerahan sebagian
aktivitas atau proses internal kepada pihak eksternal (contracting out). Struktur
pengelolaan birokratis yang berorientasi internal mulai bergerak ke arah eksternal
atau ”pasar” (market ) dari institusi kepolisian tersebut, yaitu pengguna jasanya
atau masyarakat. Bentuk ini didasari oleh model prinsipal dan agen, dimana
52
kewajiban bersama dituliskan dan menjadi prinsip acuan dalam kehidupan publik.
Kontrak antara institusi kepolisian sebagai pemberi pelayan dan masyarakat
sebagai penerima layanan, menuntut tingkat layanan tertentu yang harus
dilakukan dan hukuman spesifik jika hal tersebut tidak dipatuhi. Dalam perubahan
tersebut, tuntutan terhadap standar indikator kinerja tertentu menjadi fokus,
dimana kemudian lazim disebut sebagai kontrak kinerja dalam pemberian layanan
publik. Kritik terhadap bentuk struktur berorientasi pasar yang menekankan pada
kontrak kinerja tersebut adalah penekanan yang cenderung dapat berlebihan pada
pengawasan pemenuhan kontrak. Kemudian rigiditas hanya pada pemenuhan
kinerja atas apa yang ada pada kontrak juga dapat mengurangi fleksibilitas untuk
meningkatkan kinerja dan memenuhi kebutuhan untuk hal-hal penting lain yang
mungkin tidak tercakup dalam kontrak. (Tantya Sudhirajati, 2007).
Selanjutnya perubahan menuju kepada struktur pengelolaan bebentuk
jaringan (network) menunjukkan kebutuhan organisasi pada tuntutan era
globalisasi yang semakin menuntut kesaling-tergantungan antar organisasi dalam
mencapai tujuan. Jika bentuk birokratis bercirikan kewenangan dan peraturan, dan
bentuk pasar atau kontraktual bercirikan harga dan kompetisi, maka bentuk
jaringan bercirikan diplomasi, kepercayaan dan resiprositas. Diplomasi merujuk
pada manajemen dengan negosiatif. Kemudian kepercayaan adalah atribut paling
penting dalam bentuk jaringan, dalam hal ini penting untuk mendukung sikap
bekerjasama. Sementara resiprositas adalah saling keterkaitan yang mencirikan
hubungan yang timbal balik dan saling menguntungkan. (Tantya Sudhirajati,
2007).
53
Dengan mengkaji pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa
Institusi kepolisian yang mempraktekkan Community policing / Perpolisian
Masyarakat (Polmas) adalah bentuk yang perlu didukung oleh stuktur pengelolaan
berbentuk jaringan atau Network.
2. Dasar Hukum Penerapan Perpolisian Masyarakat
Kemanan dan ketertiban dalam masyarakat merupakan kebutuhan bagi
setiap individu, kelompok bahkan Negara untuk menjaga kelangsungan hidup dan
terselenggaranya pemerintahan. Menyadari akan pentingnya rasa aman dan
adanya berbagai keterbatasan sumber daya Kepolisian maka peran serta
masyarakat membantu tugas-tugas keamanan tidak dapat dielakkan. Berkaitan
dengan hal tersebut secara langsung atau tidak langsung telah tercantum perlunya
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan keamanan dan ketertiban.
Fungsi polisi dalam struktural kehidupan masyarakat sebagai pengayom
masyarakat dan penegak hukum, mempunyai tanggung jawab khusus untuk
memelihara ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan baik dalam bentuk
tindakan kejahatan maupun bentuk pencegahan kejahatan agar para anggota
masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tenteram (Bachtiar
dalam Tantya, 2007: 18).
Dengan kata lain kegiatan-kegiatan polisi adalah berkenaan dengan
sesuatu gejala yang ada dalam kehidupan sosial dari sesuatu masyarakat yang
dirasakan sebagai beban/gangguan yang merugikan para anggota masyarakat
tersebut (Suparlan dalam Tantya, 2007: 19).
54
Untuk mewujudkan rasa aman itu, mustahil dapat dilakukan oleh polisi
saja, mustahil dapat dilakukan dengan cara-cara pemolisian yang konvensional
dengan melibatkan birokrasi yang rumit, dan mustahil terwujud melalui perintah-
perintah yang terpusat tanpa memperhatikan kondisi setempat yang sangat
berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lain.
Lebih lanjut mengenai Perpolisian Masyarakat atau Polmas perlu kiranya
penulis menjabarkan dasar hukumnya sebagai berikut:
a. Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 27 menjelaskan bahwa “segala warga Negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya”.
Kemudian pada perubahan kedua UUD 1945 Bab XII Pasal 30 dijelaskan
pula:
1) Tiap-tiap warganegara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
keamanan Negara.
2) Usaha keamanan Negara dilaksanakan melalui sistem keamanan
rakyat semesta oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai
kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
b. Kitab Undang – undang Hukum Acara Pidana
55
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana pada Pasal 108 dijelaskan sebagai berikut:
1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau
menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak
untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan
atau penyidik baik lisan maupun tulisan.
2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum atau
terhadap jiwa, terhadap hak milik, wajib seketika itu juga
melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang
mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak
pidana wajib serta melaporkan hal itu kepada penyelidik atau
penyidik.
Selanjutnya pada Pasal 111 ayat (1) dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana, berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam menjaga keamanan
dan ketertiban dinyatakan sebagai berikut:
Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik.
c. Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik
Indonesia.
56
Pertimbangan huruf (c) menyatakan bahwa “Pemeliharaan keamanan
dalam negeri dilakukan oleh Polri selaku alat Negara yang dibantu oleh
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.”
Pasal 14 ayat (1) huruf c, dinyatakan sebagai berikut:
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.
d. Surat Keputusan Kapolri
Dalam kebijakan dan strategi Kapolri Tentang Penerapan Model Polmas
Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, sesuai dengan Skep Kapolri No. Pol.:
Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 bidang operasional, kebijakan yang
digariskan meliputi:
1) Penerapan Polmas sebagai suatu strategi diimplementasikan hanya pada tataran lokal di mana model perpolisian dioperasionalisasikan.
2) Penerapan Polmas sebagai suatu falsafah diimplementasikan dalam pelaksanaan tugas masing-masing satuan fungsi operasional Polri termasuk tampilan setiap personel Polri dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka penyelenggaraan kegiatan
Polmas oleh Polri saat ini sudah menjadi suatu kebijakan dan strategi. Dengan
demikian Polri diharapkan dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk
mewujudkan keamanan dan ketertiban di lingkungan tugasnya.
Skep Kapolri No. Pol.: Skep/431/VIII/2006 Tanggal 1 Juli 2006 Tentang
Pedoman Pembinaan Personel Pengembangan Fungsi Polmas digunakan sebagai
pedoman dalam melaksanakan pembinaan karier pengemban fungsi Polmas,
57
sehingga dapat terwujud suatu keseragaman dalam penyelenggaraan pembinaan
karier di seluruh jajaran Polri secara konsisten dan berkesinambungan.
Skep Kapolri No. Pol.: Skep/433/VIII/2006 Tanggal 1 Juli 2006 Tentang
Panduan Pembentukan dan Operasionalisasi Polmas juga digunakan sebagai
pedoman umum dan peraturan dalam operasionalisasi Polmas bagi para pejabat
Polri, pemerintah daerah/desa, tokoh-tokoh masyarakat dalam proses pelaksanaan
Polmas, bagi petugas Polmas, dan anggota forum kemitraan Polisi-masyarakat.
(Sutanto, 2008: 117-122).
e. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2008
Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan Polmas atau Pemolisian/Perpolisian Masyarakat adalah:
Penyelenggaraan tugas kepolisian yang mendasari kepada pemahaman bahwa untuk menciptakan kondisi aman dan tertib tidak mungkin dilakukan oleh Polri sepihak sebagai subyek dan masyarakat sebagai obyek, melainkan harus dilakukan bersama oleh polisi dan masyarakat dengan cara memberdayakan masyarakat melalui kemitraan polisi dan warga masyarakat, sehingga secara bersama-sama mampu mendeteksi gejala yang dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat, mampu mendapatkan solusi untuk mengantisipasi permasalahannya dan mampu memelihara keamanan serta ketertiban di lingkungannya.
Sedangkan dalam Pasal I ayat 12 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
Kemitraan (Partnership and networking) adalah “Segala upaya membangun
sinergi dengan potensi masyarakat yang meliputi komunikasi berbasis kepedulian,
58
konsultasi, pemberian informasi dan berbagai kegiatan lainnya demi tercapainya
tujuan masyarakat yang aman, tertib dan tenteram. “
3. Model Perpolisian Masyarakat atau Polmas di Indonesia
Sejalan dengan arah reformasi nasional, Polri sedang melakukan langkah-
langkah penyesuaian dan perubahan struktural, instrumental dan kultural dengan
harapan dapat menjawab tantangan di masa mendatang. Polri saat ini sedang
melaksanakan proses reformasi untuk menjadi polisi sipil yang harus dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakat dengan cara
merubah paradigma lama yang semula menitik beratkan pada pola perpolisian
masyarakat yang mengedepankan pemecahan masalah (Problem Solving),
kemitraan (Partnership) dan proaktif yang lebih mengutamakan pencegahan
kejahatan (Crime Prevention).
Berdasarkan pemikiran tersebut, Polri menciptakan strategi yang bertujuan
untuk merubah paradigma lama Polri dengan menerapkan Perpolisian Masyarakat
atau Polmas, dengan maksud agar polisi dapat berperan sebagai mitra masyarakat,
khususnya dalam hal keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu polisi
dituntut mampu membangun hubungan kemitraan dengan berbagai potensi dan
komponen masyarakat.
Menurut AKBP Ir. Rahmat dalam Gawisa (2007 : 9), pengembangan
Polmas sebagai suatu filosofi termasuk kebijakan internal lainnya dilakukan oleh
masing-masing satuan fungsi operasional dan pembinaan yang menekankan
hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial, kemanusiaan dan menampilkan
59
sikap santun dan saling menghargai antara polisi dan warga masyarakat dalam
rangka menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi
kepolisian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Menurutnya, pengembangan Polmas sebagai suatu strategi, program harus
dilakukan secara bertahap dengan memprioritaskan perkembangan Sumber Daya
Manusia Polri dan Pembentukan Polmas berikut sarana/prasarana pada
desa/kelurahan sesuai kebutuhan. Pada tahun 2007, terdapat beberapa kegiatan
Polri, antara lain:
a. Implementasi dan operasionalisasi Polmas
b. Pelatihan dan peningkatan kemampuan Bintara Pembinaan Keamanan dan
Ketertiban Masyarakat.
c. Pelatihan Polmas bagi personil di tingkat Polda dan Polres yang akan melatih
dan memelihara kemampuan para petugas Polmas.
d. Penyempurnaan bahan pelajaran dan pembuatan modul pelatihan bagi petugas
Polmas.
Dengan mengkaji pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa model
Perpolisian Masyarakat di Indonesia harus terus dipertahankan dan dilaksanakan
sebagai suatu program yang beriringan dan berkesinambungan dilaksanakan
sebagai suatu upaya memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.
Community Policing/Polmas diluncurkan terutama di negara-negara maju,
penyelenggaraan tugas-tugas Kepolisian baik dalam pemeliharaan keamanan dan
ketertiban maupun penegakan hukum, dilakukan secara konvensional. Polisi
cenderung melihat dirinya semata-mata sebagai pemegang otoritas dan institusi
60
Kepolisian dipandang semata-mata sebagai alat negara sehingga pendekatan
kekuasaan bahkan tindakan represif seringkali mewarnai pelaksanaan tugas dan
wewenang Kepolisian.
Walaupun prinsip-prinsip “melayani dan melindungi” (to serve and to
protect) ditekankan, pendekatan-pendekatan yang birokratis, sentralistik, serba
sama/seragam mewarnai penyajian layanan Kepolisian. Gaya perpolisian tersebut
mendorong polisi untuk mendahulukan mandat dari pemerintah pusat dan
mengabaikan ‘persetujuan’ masyarakat lokal yang dilayani. Selain itu Polisi
cenderung menumbuhkan sikap yang menampilkan dirinya sebagai sosok yang
formal, dan ekslusif dari anggota masyarakat lainnya. Pada akhirnya semua itu
berakibat pada memudarnya legitimasi Kepolisian dimata publik pada satu sisi,
serta semakin berkurangnya dukungan publik bagi pelaksanan tugas Kepolisian
maupun buruknya citra polisi pada sisi lain. (Sulistyo, 2008:19)
Kondisi seperti ini juga terjadi di Indonesia, lebih-lebih ketika Polri
dijadikan sebagai bagian integral ABRI dan Polisi merupakan pajurit ABRI yang
dalam pelaksanaan tugasnya diwarnai sikap dan tindakan yang kaku bahkan
militeristik yang tidak profesional. Kepolisian, utamanya penegak hukum, yang
bersifat otoriter, kaku, keras dan kurang peka terhadap kebutuhan rasa aman
masyarakat. Disisi lain pelaksanaan tugas Kepolisian sehari-hari, lebih
mengedepankan penegakan hukum utamanya untuk menanggulangi tindak
kriminal.
Sejalan dengan pergeseran peradaban umat manusia, secara Universal
terutama dinegara-negara maju, masyarakat cenderung semakin ‘jenuh’ dengan
61
cara-cara lembaga pemerintah yang birokrasi, resmi, formal/kaku,
general/seragam dan lain-lain dalam menyajikan layanan publik. Terdapat
kecenderungan bahwa masyarakat lebih menginginkan pendekatan-pendekatan
yang personal dan menekankan pemecahan masalah daripda sekedar terpaku pada
formalitas hukum yang kaku. Dalam bidang penegakan hukum terutama yang
menyangkut pertikaian antar warga, penyelesaian dengan mekanisme informal
dibanding lebih efektif daripada proses sistem peradilan pidana formal yang
diacapkali kurang memberikan peranan yang berarti bagi korban dalam
pengambilan keputusan penyelesaian masalah yang dideritanya. (Sulistyo, 2008:
22).
Kondisi sebagaimana diutarakan diatas mendorong diluncurkannya
program-program baru dalam menyelenggarakan tugas Kepolisian terutama yang
disebut Community Policing atau Perpolisian Masyarakat. Lambat laun
Perpolisian Masyarakat tidak lagi hanya merupakan suatu program dan garis
miring atau strategi melainkan suatu falsafah yang menggeser paradigma
convensional menjadi suatu model perpolisian baru dalam masyarakat madani.
Model ini pada hakekatnya menempatkan masyarakat bukan semata-mata sebagai
obyek tetapi mitra Kepolisian dan pemecahan masalah (pelanggaran hukum) lebih
merupakan kepentingan daripada sekedar proses penanganan yang
formal/prosedural. (Sutanto, 2008: 99)
Dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia nilai-nilai yang
terkandung dalam konsep Perpolisian Masyarakat / Community Policing pada
hakekatnya bukan merupakan hal yang asing. Kebijakan Siskamswakarsa
62
diangkat dari nilai-nilai siso-kultural masyarakat Indonesia, yang lebih
menjunjung nilai-nilai sosial daripada individu. Pelaksanaan lingkungan secara
swakarsa pernah/masih efektif berjalan. Pada bagian-bagian wilayah/etnik tertentu
nilai-nilai kultural masih efektif (bisa diefektifkan) dalam menyelesaikan masalah
sosial pada tingkat lokal. Nilai saling memaafkan dijunjung tinggi dalam
masyarakat Indonesia yang religius.
Konsep Polmas mencangkup dua unsur, yakni Perpolisian dan masyarakat.
Secara harfiah, perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata “Policing”
berarti segala hal ikhwal tentang penyelenggaraan fungsi Kepolisian. Dalam
konteks ini perpolisian tidak hanya menyangkut opersionalisasi (taktik/teknik)
fungsi Kepolisian tetapi juga pengelolaan fungsi kepolisian secara menyeluruh
mulai dari tataran manajemen puncak sampai manajemen lapis bawah, termasuk
pemikiran-pemikiran filsafati yang meletarbelakanginya. Masyarakat yang
merupakan terjemahan dari kata “Community”(komunitas) dalam konteks Polmas
berarti :
1) Warga masyarakat atau komunitas yang berada didalam suatu wilayah kecil
yang jelas batas-batasnya (geographic-community). Batas wilayah komunitas ini
harus dilakukan dengan memperhatikan keunikan karakteristik geografis dan
sosial dari suatu lingkungan dan terutama kefektifan pemberian layanan kepada
warga masyarakat. Wilayah tersebut dapat berbentuk RT, RW, Desa, Kelurahan,
ataupun berupa pasar/pusat belanja/Mall, Kawasan Industri, pusat/komplek olah
raga, stasiun bus/kereta api dan lain-lain.
63
2) Dalam pengertian yang diperluas masyarakat dalam pendekatan Polmas
diterapkan juga bisa meliputi sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah
lebih luas seperti Kecamatan bahkan Kabupaten/Kota, sepanjang mereka memiliki
kesamaan kepentingan. Sebagai contoh kelompok berdasar etnis/suku, kelompok
berdasar agama, kelompok berdasar profesi, hobi dan sebagainya. Keompok ini
dikenal dengan nama komunitas berdasar kepentingan (Community Of Interest).
Sebagai suatu strategi, Polmas berarti: model perpolisian yang
menekankan kemitraan yang sejajar antara petugas Polmas dengan masyarakat
lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang
mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta ketentraman kehidupan
masyarakat setempat dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa
ketakutan akan kejahatan serta meningkatkan kualitas hidup warga setempat.
Dalam pengertian pengelolaan terkandung makna bahwa masyarakat berusaha
menemukan, mengidentifikasi, menganalisis dan mencari jalan keluar pemecahan
masalah-masalah gangguan keamanan dan ketertiban termasuk pertikaian antar
warga serta penyakit masyarakat dan masalah sosial lain yang bersumber dari
dalam kehidupan mereka sendiri bagi terwujudnya susunan kehidupan bersama
yang damai dan tentram (Sutanto, 2008: 179).
Mengacu pada uraian diatas, perlu kiranya disebutkan pula mengenai
unsur-unsur dari Perpolisian masyarakat atau Polmas itu sendiri, yang pada
hakekatnya mengandung 2 (dua) unsur utama yang harus secara beriringan
dilaksanakan, yaitu :
64
a) Membangun kemitraan antara Polisi dan Masyarakat.
b) Menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat lokal.
Di Indonesia, model Polmas secara resmi telah diadopsi Polri pada tanggal
13 Oktober 2005, dan merupakan strategi baru pemolisian di Indonesia. Tetapi,
sesungguhnya model pemolisian semacam Polmas ini sudah sejak lama
dilaksanakan, yaitu yang dikenal dengan Siskam (Sistem Keamanan) Swakarsa,
berupa Siskamling (Sistem Keamanan Lingkungan), atau bentuk pemolisian
serupa lainnya. ( Sutanto, 2008: 180)
Ketika kemudian falsafah Community policing diperkenalkan, gagasan-
gagasan di dalamnya dipadukan dengan pengalaman Polri yang sudah ada. Dari
perpaduan itu muncul semacam Community policing ala Indonesia, yaitu Polmas.
Sebagai suatu gambaran dalam pelaksanaan Polmas di Indonesia, penulis
mengangkat contoh berbagai potret dari aktivitas Polmas di beberapa daerah yang
dikutip dari buku Polmas sebagai Falsafah Baru Pemolisian dari Jend. Pol. Drs.
Sutanto (2008: 181-205)
Di Polda Jawa Timur, (Sutanto, 2008: 181) dibentuk pos pelayanan
pengaduan masyarakat yang berfungsi secara efektif menjadi semacam Pospol
(Koban dalam Polmas di Jepang) dalam skala yang lebih besar. Pos pelayanan
terpadu ini berkembang dengan baik dan mampu melayani berbagai pengaduan
masyarakat. Secara aktif Polisi berusaha melayani pengaduan dan mengantisipasi
masalah-masalah sosial yang menjadi sumber tindakan kejahatan. Pos tersebut
65
dilengkapi dengan staf khusus Polwan, yang bertugas menangani kasus-kasus
yang berkaitan dengan perempuan.
Di Polda Metro Jaya, (Sutanto, 2008: 187) program Polmas yang
diterapkan bekerjasama dengan Kepolisian Jepang dan JICA (Japan International
Cooperation Agency), merupakan pilot project program bantuan reformasi Polri.
Program percontohan ini mencoba menerapkan falsafah kontemporer Polmas di
tubuh Polri melalui adopsi Koban (Model Polmas di Jepang). Langkahnya diawali
dengan membangun pos polisi (Koban) di berbagai tempat. Lokasi “Koban” ala
Bekasi ini dibangun setelah mendapat masukan dari warga setempat, karena
asumsinya mereka lah yang lebih mengetahui keadaan di tempat tertentu.
Program ini bertujuan agar Polri mendapat kepercayaan yang mendasar
dari masyarakat. Dalam mendapatkan kepercayaan tersebut ada dua pilar pokok.
Pertama, melayani secara tulus permintaan bantuan atau pengaduan masyarakat,
dan kedua adalah bereaksi secara cepat dalam merespon laporan tersebut. Polda
Metro Jaya membagi empat tataran cakupan program, yaitu; (1) pelayanan
terhadap masyarakat, (2) pengungkapan kasus, (3) peningkatan disiplin kerja
anggota, dan (4) sosialisasi program polisi sipil.
Di Jawa Barat, (Sutanto, 2008 : 199). Kapolres (waktu itu) Pandeglang,
Jawa Barat, Letkol Pol Didi Widayadi, pernah mencoba menerapkan gagasan
kemitraan Polisi dengan komunitas yang menjadi ciri khas Polmas. Setelah
mengamati kondisi setempat, Kapolres mencoba mewujudkan ide membentuk
“Polisi Akhirat” yang melibatkan ulama dan para santri. Ia memfasilitasi
66
pertemuan-pertemuan rutin mereka di Pos Kamling. Di sini, yang dilakukan
Kapolres sesungguhnya adalah pendekatan yang dianjurkan dalam Polmas.
Ketika kemudian bertugas di Bandung, Didi juga menerapkan ide
mengenai pengamanan kota melalui pembentukan sistem pengamanan kota
dengan melibatkan semua elemen masyarakat di bawah koordinasi Polisi. Sistem
pengamanan di Bandung akhirnya diadopsi menjadi sistem pengamanan kota yang
dilakukan di Indonesia karena ide tersebut dianggap relevan dan kontekstual. Di
sana dibentuk Kelompok Sadar Kamtibmas dengan harapan masyarakat bisa
menjadi Polisi bagi lingkungan dan juga bagi dirinya sendiri.
Dalam Gawisa (Pahala Panjaitan, 2007: 13) mengatakan bahwa Polres
Cianjur menerapkan “Polri Mitra Masyarakat, Masyarakat Mitra Polri” dengan
cara selainkan mengintensifkan pertemuan-pertemuan dengan berbagai lapisan
masyarakat, juga membuat acara dialog interaktif di radio swasta secara
bergiliran, mulai dari Kapolres, Wakapolres, Kabag Binamitra dan para Kepala
Satuan termasuk anggotanya. Selain itu, Polres Cianjur dalam mensosialisasikan
program Polmas juga mencetak brosur, pamphlet dan barangcetakan lainnya, serta
menjadi Irup Upacara di sekolah-sekolah, yang intinya agar masyarakat lebih
terbuka dengan polisi dan menjadi mitra polisi dalam menciptakan situasi
keamanan dan ketertiban masyarakat yang kondusif.
Di Jawa Tengah, (Sutanto, 2008: 201) pada awal 1990an Polda Jateng
berusaha untuk mencairkan batas antara Polisi dan Publik. Pada waktu itu, dibuat
proyek-proyek seperti “Polisi Sahabat Anak,” “Polisi Sahabat Remaja” dan
67
sebagainya. Polisi melebur ke dalam rakyat dengan cara bermain ketoprak dan
lain-lain.
Kapolda Jateng Muslihat (alm), pada waktu itu memprakarsai proyek
Babinkamtibdes (Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Desa) dan disiapkan
di Sekolah Polisi Negara (SPN) di Banyubiru. Di tempat itu, sejumlah bintara
disiapkan untuk diterjunkan ke desa-desa dengan berpakaian biasa. Melalui
pendidikan kilat, mereka dididik dengan kurikulum sipil, seperti hukum tanah,
perkawinan, dan berbagai keterampilan yang lain agar bisa memberikan bantuan
kepada masyarakat desa setempat.
Mereka kemudian diterjunkan ke desa-desa dengan perintah “tidak boleh
menuntut apapun dari masyarakat.” Mereka juga tidak boleh meminta fasilitas
apapun. Di desa-desa tersebut, mereka harus diam saja, sampai dimintai bantuan,
jasa atau pertolongan. Mereka kemudian diminta duduk dalam rembuk desa,
mencarikan dukun bayi, memasang antenna, dan memberi khotbah Jum’at di
masjid. Ternyata proyek Babinkamtibmas itu sukses dan banyak surat puas
dilayangkan oleh publik ke Polda. (Sutanto, 2008 : 205).
4. Perpolisian Masyarakat di Berbagai Negara Sebagai Sebuah Studi
Banding
Untuk memperoleh perspektif perbandingan mengenai konsep-konsep dan
penerapan Polmas di berbagai masyarakat, perlu dikenali gambaran situasi dan
kondisinya di berbagai Negara seperti Kanada, Amerika Serikat, dan Jepang.
Informasi dan pengetahuan ini penting, supaya adaptasi Polmas di Indonesia dapat
68
menarik pelajaran dari penerapannya di dunia internasional. Oleh karena itu, maka
sengaja penulis memaparkan gambaran situasi penerapan model Polmas di
beberapa Negara sebagai berikut:
a. Model Polmas di Kanada
Di Edmonton, (Sutanto, 2008 : 49) yang merupakan salah satu kota besar
utama di provinsi-provinsi barat Kanada, dinas kepolisian menganalisis panggilan
telepon dari mayarakat kepada mereka. Kesimpulannya, ditemukan 21 lokasi
‘panas’ (hot spot) kejahatan dan ketidaktertiban, yaitu tempat-tempat dimana
Polisi memperoleh permintaan paling banyak dan dimana kebanyakan kegiatan
patrol tampak terkonsentrasi.
Di masing-masing kawasan yang ditetapkan ini ditugaskan seorang agen
Polisi, yang dilengkapi sarana mobil petrol dengan cara tradisional. Polisi tersebut
bertanggungjawab untuk membentuk sebuah pospol, untuk merekrut relawan
setempat guna membantu petugas tersebut, untuk mendiagnosa masalah-masalah
yang oleh warga setempat dianggap memerlukan perhatian supaya di atasi.
Petugas Polisi lingkungan juga melakukan patrol jalan kaki secara teratur.
Mereka diberi sarana mobil, tetapi kendaraan tersebut hanya digunakan untuk
transportasi dari kantor Polisi ke tempat kerja mereka, dimanapun tempat itu.
Montreal, (Sutanto, 2008 : 50) yang merupakan kota kedua terbesar di
Kanada, berlokasi di wilayah Kanada yang berbahasa Perancis. Tanpa
menggunakan analisa ”hot Spot,” Kepolisian Kanada menetapkan wilayah tertentu
sebagai “Ilos,” yaitu istilah Perancis yang biasanya diterjemahkan sebagai
‘kepulauan’ atau ‘atom-atom.’ Kawasan-kawasan ini memiliki masalah
69
ketidaktertiban dan kejahatan yang luar biasa, dengan penduduk yang jumlahnya
banyak, dengan banyak kegiatan di sepanjang trotoir, serta banyak toko kelontong
dan pasar jalanan.
Petugas Polisi, yang dikenal sebagai “Ilotier,” ditugaskan ke wilayah-
wilayah tersebut untuk bekerjasama dengan komunitas setempat. Mereka tidak
menghabiskan waktu disana. Polisi umum di Montreal bekerja dengan sistem
rotasi 35 hari, dengan 21 hari diantaranya merupakan hari kerja, sementara sisa
hari lainnya merupakan hari libur dan akhir pekan. Sepanjang 21 hari kerja itu,
“ Ilotier” menghabiskan waktu 8 jam di kawasan “Ilos” mereka. Selama 8 jam
mereka berjalan-jalan di jalanan, berbicara dengan warga, dan berusaha
membangun pengetahuan komunitas mengenai kebutuhan untuk mengatasi
kejahatan dan ketidaktertiban di komunitas.
Di Port Alberni , ( Andrew, 1998:52) Polmas di Kanada melibatkan para
pemain Skateboard yang sering melewati daerah Kota lama, pada Mal dan pada
dasarnya dimana saja yang mereka biasa kunjungi. Hal ini benar-benar
mengintimidasi dan mengancam para pejalan kaki dan mengganggu masyarakat
bisnis. Pertemuan dengan semua pihak termasuk dari pejabat kota Adan para
pemain Skateboard. Para pemain Skateboard berorganisasi menciptakan suatu
perkumpulan yang anggotanya harus memenuhi persyaratan para pemain
Skateboard dan klub pelayanan setempat membentuk kemitraan untuk
mengumpulkan dana yang cukup untuk membangun taman Skateboard yang dapat
mereka gunakan. Pemerintahan kota memberikan lahan dan menyediakan ahli
untuk membangun taman mereka. Sesekali taman siap digunakan maka
70
pemerintah kota menetapkan peraturan yang melarang pemain Skateboard untuk
bermain di jalan raya, mal dan trotoir.
Di Ontario , ( Andrew, 1998: 54) masing-masing Polisi Polmas ditugasi
membentuk sebuah pospol dan mendirikan komite penasehat warga yang tugasnya
memberi saran-saran kepada Polisi tersebut mengenai apa yang dikehendaki
warga setempat, serta untuk membantu Polisi itu menjalankan program-program
pemecahan masalah.
b. Model Polmas di Amerika Serikat. ( Sutanto, 2008).
Pertama, Detroid, Michigan, sebuah kota yang penduduknya kurang dari
satu juta orang, Polmas bekerja bersama masyarakat untuk mengembangkan
program-program pencegahan kejahatan, terutama Neighborhood Watch
(semacam Siskamling di Indonesia). Pospol sangat menggantungkan diri pada
relawan dari komunitas setempat untuk membantu bekerja mengimplementasikan
atau mendorong pencegahan kejahatan di komunitas.
New York City mempunyai program yang disebut C-POP (Community
Police Officer Program, atau Program Petugas Polisi Komunitas), mereka
menjalankan tugas semau mereka. Tujuannya adalah mengetahui komunitas
tempat dinasnya dan menemukan cara-cara tentang bagaimana sumberdaya Polisi
dapat dimanfaatkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pemolisian.
Di Houston, Texas, Polmas mencakup dua program, yaitu pembentukan
pospol yang bagian depannya terdiri dari Sembilan ruangan, serta sebuah program
yang disebut DART (Directed Area Response Team, atau Regu yang Ditugaskan
71
di Wilayah Tertentu). Mereka melakukan pemolisian secara reaktif maupun
proaktif, serta menjalankan mayoritas penyelidikan kriminal di wilayah tersebut.
Di Santa Ana, California, program Polmasnya mencakup pembentukan
empat pospol yang diisi oleh Polisi berseragam. Petugas tersebut melakukan
petrol dari pospol ini. Pospol juga dijaga oleh petugas Polmas sipil. Mereka
bertugas melayani masyarakat, mendorong warga untuk melakukan pencegahan
kejahatan dan lainnya. Sedangkan Polisi biasa di pospol tersebut banyak
melakukan patrol jalanan dan memecahkan persoalan komunitas. (Sutanto, 2008 :
53).
c. Model Polmas di Jepang
Polisi Jepang terdiri dari Badan Kepolisian Nasional (National Police
Agency = NPA) sebagai koordinator dan badan penentu kebijakan dan 47 daerah
Kepolisian sebagai organisasi penegak hukum. Sistem ini terutama didasarkan
pada pemberian otonomi pada setiap Daerah Kepolisian, sedang pengendaliannya
terpusat pada NPA pada tingkat kebijakan tertentu. ( Soichi Ito, 1998 : 39).
Setiap Markas Besar daerah kepolisian memiliki 10-100 Kantor Polisi
Cabang dan sistem Koban dioperasikan di daerah kantor cabang tersebut.
Sistem Koban telah tertanam pada masyarakat Jepang dan telah menarik
perhatian dunia, menjamin ketentraman dan keselamatan kehidupan masyarakat
melalui kontak hubungan kesehatan dengan penduduk setempat. Karena relative
hanya terdapat jumlah petugas Polisi yang kecil dapat melindungi keamanan
daerah setempat maka, kerjasama antara Polisi dan masyarakat adalah syarat
mutlak dalam sistem ini. ( Soichi Ito, 1998 : 40).
72
Unit dasar dari “Sistem Koban” adalah Koban (pos polisi) dan Chuzaisho
(pos rumah). Koban terletak di wilayah perkotaan dan Chuzaisho terletak di
wilayah pedesaan.
Tugas utama dari petugas Polisi Koban dan Chuzaisho adalah siap
melaksanakan tugas dengan fasilitas Kepolisian yang diberikan, menangani
berbagai laporan, permintaan dan keluhan penduduk, mengambil inisiatif bereaksi
bila terjadi kejahatan atau kecelakaan, melakukan patrol dan melakukan
kunjungan regular ke rumah penduduk di daerah kewenangannya. (Sutanto,
2008:56).
Sistem Koban telah menarik minat kalangan Kepolisian negara-negara
lain. Sistem ini telah “diekspor” ke Negara-negara seperti Singapura dan Brazil.
Bahkan sejak tahun 2003 sistem ini juga telah diuji coba di Indonesia dan mulai
diberlakukan pada 13 Oktober 2005. Sekalipun dalam format dan bentuk yang
berbeda-beda. ( Soichi Ito, 1998 : 44).
C. HUBUNGAN PERAN KEMITRAAN POLRI – MASYARAKAT
DALAM MEMELIHARA STABILITAS KEAMANAN DAN
KETERTIBAN MASYARAKAT DENGAN BEBERAPA MATA
KULIAH DALAM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
1. Hubungannya dengan Pendidikan Kewarganegaraan dan Mata Kuliah
Ilmu Kewarganegaraan.
Warga negara atau dalam bahasa Inggris disebut Citizen, dalam bahasa
Yunani yakni Civics yang berarti penduduk sipil (Citizen). Penduduk Sipil ini
73
melaksanakan kegiatan demokrasi secara langsung dalam suatu Polis atau Negara
kota. Polis adalah suatu organisasi yang berperan dalam memberikan kehidupan
yang lebih baik bagi warga negaranya.
Aristoteles mengatakan bahwa seseorang yang patut disebut sebagai warga
Negara dalam suatu Negara demokratis belum tentu dapat disebut sebagai warga
Negara dalam sebuah oligarkis. Menurutnya, perbedaan bentuk pemerintahan
berpengaruh besar dalam menentukan atau menetapkan siapakah warga Negara
yang sesungguhnya dari suatu Negara. Jadi menurut Aristoteles, yang disebut
warga Negara adalah orang yang secara aktif ikut mengambil bagian dalam
kegiatan hidup bernegara, yaitu orang yang bisa berperan sebagai orang yang
diperintah, dan orang yang bisa berperan sebagai yang memerintah. Orang yang
diperintah dan yang memerintah itu sewaktu-waktu dapat bertukar peran. Jadi,
tegasnya warga Negara harus sanggup memainkan peranan yang sangat penting
dalam kehidupan bernegara (Rapaar, 1993: 67).
Dalam memainkan peranannya, warga negara harus mampu secara aktif
ikut berperan serta atau berpartisipasi guna menciptakan pembangunan di
negaranya. Partisipasi yang terjadi dalam masyarakat sekarang ini sudah banyak
macamnya. Hal ini dapat disadari karena adanya beberapa faktor yang mungkin
menyebabkan masyarakat ikut berpartisipasi. Jika dilihat dari segi motivasinya,
Khairudin (1992: 126) menyebutkan bahwa, partisipasi anggota masyarakat
terjadi karena:
a. Takut / Terpaksa, b. Ikut-ikutan, dan c. Kesadaran.
74
Partisipasi yang dilakukan dengan terpaksa atau takut biasanya akibat dari
adanya perintah yang kaku dari pemerintah atau atasan, sehingga masyarakat
seakan-akan terpaksa untuk melaksanakan rencana yang telah ditentukan.
Sedangkan partisipasi yang ikut-ikutan, hanya didorong oleh rasa solidaritas yang
tinggi anatar sesama anggota masyarakat.
Motivasi yang ketiga adalah kesadaran, yaitu partisipasi yang timbul
karena kehendak dari pribadi anggota masyarakat. Hal ini dilandasi oleh dorongan
yang timbul dari hati nurani sendiri dari lahirnya suatu keterbukaan dan keadilan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Partisipasi bentuk inilah yang
sesungguhnya sangat diharapkan dapat berkembang dalam masyarakat Indonesia
dalam menciptakan suatu kemitraan dengan pihak Kepolisian guna memelihara
stabilitas Keamanan dan ketertiban masyarakat. Dengan adanya partisipasi yang
didasari dengan kesadaran, maka masyarakat dapat diajak untuk memelihara dan
merasa memiliki objek pembangunan yang diselenggarakan bersama.
Sementara itu Keith Davis (Sastropoetro, 1988: 55) menyebutkan adanya
beberapa jenis dari partisipasi masyarakat, yaitu:
1) Konsultasi bisa dalam bentuk jasa 2) Sumbangan spontan berupa uang/barang 3) Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari
sumbangan individu atau instansi yang berada di lingkungan tertentu 4) Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan dibiayai sepenuhnya oleh
komunitas 5) Sumbangan dalam bentuk kerja 6) Aksi massa 7) Mengadakan pembangunan di lingkungan keluarga sendiri 8) Membangun proyek komuniti yang sifatnya otonom.
75
Menurut pendapat ini partisipasi tidak hanya dapat dilakukan dengan
bentuk/berupa tindakan dari partisipasi, tetapi sebuah konsultasi dalam bentuk
jasa dapat merupakan sebuah partisipasi.
Senada dengan hal di atas, Sastropoetro (1988: 56) menegaskan bahwa
partisipasi masyarakat itu dapat digolongkan menjadi:
a) Partisipasi buah pikiran, b) Partisipasi tenaga, c) Partisipasi harta benda, d) Partisipasi keterampilan, dan e) Partisipasi sosial.
Dengan mengkaji beberapa hal yang berkaitan dengan partisipasi
masyarakat di atas, dapat penulis sampaikan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
dan atau Ilmu Kewarganegaraan sebagai sarana atau wadah yang bertujuan untuk
melahirkan warga Negara yang baik (To be good citizenship) harus dapat menjadi
sebuah pendidikan dan ilmu yang benar-benar mampu mencetak generasi penerus
bangsa yang mampu berperan secara aktif atau berpartisipasi dengan baik
sebagaimana semestinya dalam mendukung program pembenahan, pemeliharaan
serta menciptakan pembangunan yang sukses dalam segala aspek kehidupan.
Pendidikan kewarganegaraan dan Ilmu Kewarganegaraan yang merupakan
salah satu mata kuliah di dalamnya juga harus mampu melahirkan kesadaran
masyarakat bahwa pembangunan yang sukses adalah hasil dari suatu kemitraan
yang solid. Dalam hal ini, tentu kemitraan antara Polri dengan masyarakat sangat
berpengaruh dalam menciptakan serta memelihara stabilitas keamanan dan
76
ketertiban masyarakat yang pada dasarnya merupakan suatu kebutuhan “utama”
dalam rangka menunjang suksesnya pembangunan nasional itu sendiri.
Dengan kata lain, dapat penulis sampaikan bahwa antara Pendidikan
Kewarganegaraan, Ilmu Kewarganegaraan, Kemitraan Polri dengan masyarakat,
dan pemeliharaan stabilitas Keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas)
sangat saling berhubungan atau memiliki tingkat korelasi yang cukup tinggi dalam
menciptakan pembangunan dalam segala aspek kehidupan khususnya di Negara
tercinta ini.
2. Hubungannya dengan Mata Kuliah Filsafat Hukum.
Semua ilmu memerlukan jasa filsafat yang memberikan premis-premis
dasar atau postulat-postulat atau pengandaian awal. Filsafat hukum adalah ilmu
mencari kebenaran sepanjang kebenaran itu dapat dibuktikan dengan pengalaman.
(Suwarma, 2007: 4)
Sebagaimana pernyataan di atas, filsafat hukum yang pada dasarnya
berusaha mencari hakikat dari suatu kebenaran yang dapat dibuktikan dengan
pengalaman maka jelas terlihat bahwa terdapat keterkaitan antara peranan
kemitraan masyarakat dengan Polri dalam memelihara stabilitas Keamanan dan
ketertiban masyarakat, karena Polri sebagai alat negara harus mampu
melaksanakan filosofi Polmas nya ke dalam peran, tugas, dan fungsinya dalam
melayani, mengayomi, dan melindungi rakyatnya guna tercipta keadaan yang
harmonis dalam negara yang tentu saja harus diawali dengan mencari titik
kesepakatan dalam memahami sisi kebenaran antara kedua aspek yang akan
bekerjasama ini dengan menelusurinya dalam pengalaman bermasyarakat.
77
3. Hubungannya dengan Mata Kuliah Sosiologi Hukum dan Sosiologi
Politik.
Kemitraan antara Polri dengan masyarakat tentu tidak semudah
membalikan telapak tangan. Maka dari itu, kemampuan saling mempelajari, saling
memahami harus ditonjolkan oleh kedua belah pihak hingga pada akhirnya
keduanya menyadari adanya kesamaan visi dan misi untuk meraih tujuan atau
cita-cita bersama yakni memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban
masyarakat yang harmonis.
Cara atau keterampilan dalam saling mempelajari guna memperoleh
pemahaman yang arif antara pihak Kepolisian dan masyarakat tentu harus di
dasari oleh kemampuannya dalam memahami hukum untuk menimbulkan
kesadaran hukumnya, jelaslah disini adanya unsur sosiologi hukum yang pada
dasarnya ‘mempelajari cara bekerjanya hukum dalam masyarakat, meneliti
pengaruh hukum terhadap masyarakat dan pengaruh terhadap hukum.’ (Suwarma,
2007:16) Jelas bahwa Polri harus mampu memahami hakekat dari sosiologi
hukum ini guna mempelajari hukum dan aplikasinya dalam masyarakat.
Tidak hanya sosiologi hukum, pemahaman dari segi sosiologi politik pun
harus dimiliki oleh Polri untuk dapat saling mempelajari keadaan, adat,
latarbelakang, perilaku atau tindakan baik itu dari masyarakat ataupun pihak
kepolisian. Sehingga baik masyarakat ataupun Polri mampu melakukan
strateginya secara tepat pada target guna menciptakan suatu kemitraan yang solid
78
antara keduanya dan dapat mengatasi semua halangan atau rintangan sosial dalam
memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.
4. Hubungannya dengan Mata Kuliah Ilmu Sosial dan Studi Masyarakat
Indonesia.
Mata kuliah Ilmu Sosial dan Studi Masyrakat Indonesia pada dasarnya
mempelajari mengenai manusia sebagai makhluk sosial, permasalahan sosial,
kebudayaan, dan kehidupan masyarakat serta pemecahan masalah dalam
menghadapi segala macam dan jenisnya problematika sosial dalam masyarakat
Indonesia pada khususnya.
Masalah sosial yang beragam di lapangan, besar kecilnya tentu
berhubungan juga dengan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat yang
pada hakekatnya ini merupakan lapangan kerja bagi Polri dan masyarakat itu
sendiri. Masalah sosial seperti kejahatan, konflik antar ras, kemiskinan,
perceraian, pelacuran, dan lain sebagainya menuntut masyarakat dan pihak
berwenang yang dalam hal ini Polri harus mampu mempelajari dan menemukan
sebab-sebab terjadinya dan mencari alternatif pemecahan masalah bersama. Tentu
saja disini peran kemitraan antara Polri dengan masyarakat menjadi taruhannya.
Kemitraan yang terjalin secara serius dan kerja keras yang optimal antara Polri
dengan masyarakat akan menemukan pemecahan masalah sosial yang cemerlang,
sehingga pemeliharaan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat akan
tercipta sesuai harapan.
79
Dari pemaparan di atas, dapat disebutkan bahwa mata kuliah Ilmu Sosial
dan Studi Masyarakat Indonesia sangat mempunyai andil besar atau adanya
hubungan erat dengan peranan kemitraan Polri dengan masyarakat dalam
memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.
5. Hubungannya dengan Mata Kuliah Hak Asasi Manusia
Peranan kemitraan Polri dengan masyarakat dalam memelihara stabilitas
keamanan dan ketertiban masyarakat juga memiliki hubungan yang erat dengan
masalah Hak asasi manusia. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa dalam
masyarakat yang demokratis, anggota polisi dan masyarakat bekerja sama bahu-
membahu, bersama-sama menjalin upaya menjamin keamanan dan perlindungan
terhadap setiap anggota masyarakat, tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama
atau status politik.
Hubungan yang baik, antara Polri dengan masyarakat, adalah syarat
mutlak yang sangat dibutuhkan dalam hal ini. Relasi yang baik tersebut
memungkinkan terjadinya penghormatan hak asasi manusia dalam setiap tindakan
polisi dan masyarakat. Hubungan yang baik juga mampu meningkatkan saling
pengertian antara polisi dan masyarakat. Walhasil, usaha pemecahan masalah
yang kreatif dan tindakan-tindakan proaktif dalam perpolisian setiap hari dapat
berlangsung. Polmas dan hak-hak asasi manusia adalah dasar dari perpolisian
ketika polisi melakukan tugas mereka. Relasi yang baik dengan dasar saling
menghargai hak-hak asasi antara Polri dengan masyarakat akan membantu dalam
upaya pencegahan, dan pendeteksian kejahatan.
80
Setiap kali berbicara tentang hak asasi manusia, kita tidak boleh
melupakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of
Human Rights) yang dirumuskan pada 10 Desember 1948 dan Deklarasi Wina
yang membahas hak asasi manusia, 14-15 Juni 1993 di Austria. Tim Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam buku “Pedoman Pelatihan Polri” (2006:60)
menyebutkan bahwa “dalam perkembangannya naskah Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia tersebut telah melampaui beberapa tonggak sejarah, dengan
diterimanya dua Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu; (1) Konvensi Hak
Sipil dan Politik; dan (2) Konvensi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Berkenaan dengan hal ini, tugas pokok Polri yang melindungi,
mengayomi, melayani, dan menegakkan hukum dalam rangka menciptakan dan
memelihara situasi Kamtibmas, anggota masyarakat dapat memainkan peranan
yang sangat penting dalam membantu polisi melaksanakan tugas-tugasnya. Antara
lain, dengan membantu polisi mengidentifikasi, memecahkan kasus kejahatan, dan
membersihkan masyarakat dari perilaku kejahatan dan gangguan Kamtibmas
lainnya. Patut kita sadari, partisipasi aktif masyarakat tidak datang begitu saja.
Petugas Kepolisian tidak dapat mengharapkan partisipasi aktif dari masyarakat
apabila Polri sendiri tidak menghormati masyarakat, menyalahgunakan
wewenang, melanggar hak asasi manusia, dan menunjukkan perilaku yang tidak
profesional. Anggota masyarakat tidak akan pernah mau percaya dan bekerja
dengan Polri yang melakukan kejahatan, yang menerima suap, yang menutup-
nutupi kejahatan, yang menggunakan kekerasan yang berlebihan atau
menunjukkan perilaku lainnya yang tidak etis.
81
Tidak hanya sepihak dari Polri, masyarakat pun dituntut untuk bersikap
profesional dan menjungjung komitmen berdasar menghargai setiap hak-hak asasi
manusia. Apabila masyarakat memahami peran polisi, maka mereka akan mampu
mengidentifikasi pelanggaran hak asasi manusia. Landasan Polmas adalah
kemitraan yang terjalin antara Polri dan Masyarakat yang patuh hukum. Dengan
demikian, masyarakat dengan sukarela mau membantu polisi dalam memberantas
kejahatan. Bekerja dalam kemitraan dengan masyarakat juga akan menjamin
munculnya berbagai pendekatan pemecahan masalah yang kreatif yang
menghormati hak-hak asasi manusia.
Dengan demikian, untuk menciptakan serta memelihara stabilitas
keamanan dan ketertiban masyarakat, baik pihak Kepolisian maupun dari pihak
Masyarakat itu sendiri hendaknya memiliki pemahaman mengenai menghargai
hak-hak asasi manusia, sehingga kemitraan yang terbina akan tetap menciptakan
suasana yang harmonis dan saling menghargai. Hal ini dapat diperoleh dengan
mempelajari mata kuliah “Hak Asasi Manusia” bagi mahasiswa/i Pendidikan
Kewarganegaraan pada khususnya, dan memiliki pengetahuan serta pemahaman
mengenai Hak Asasi Manusia secara universal bagi masyarakat luas pada
umumnya.
Dari pemaparan di atas, jelas hal ini menggambarkan hubungan atau
korelasi antara peranan kemitraan Polri-Masyarakat dalam memelihara stabilitas
keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) dengan mata kuliah “Hak
Asasi Manusia” bagi penulis pada khususnya, dan bagi mahasiswa/i Pendidikan
Kewarganegaraan pada umumnya.