bab ii landasan teori teori strukturaleprints.umm.ac.id/39804/3/bab ii.pdfa. dapat...

32
15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Struktural Pada dasarnya, sebuah karya sastra dibangun oleh unsur yang membentuknya. Menurut Teeuw (1984: 121), analisis struktur merupakan keutamaan dan pokok dalam mengkaji suatukajian dibanding teori-teori lain. Dewasa ini, pendekatan struktural merupakan suatu pendekatan awal dalam sebuah penelitian sastra. Di samping itu, pendekatan struktural juga sangat penting bagi sebuah analisis karya sastra. Strukturalisme sastra adalah pendekatan yang menekankan unsur intrinsik yang membangun karya. Oleh sebab itu, dengan tidak adanya analisis melalui struktural, makna intrinsik dalam suatu karya sastra tidak dapat tergali secara dalam. Selain itu, analisis struktural memiliki tujuan adalah memahami secara teliti, menyuguhkan, membongkar secara tepat, detail, dan sekuat mungkin melalui analisis struktural berupa suatu isi dengan hasil makna yang baik dalam suatu karya (Teeuw, 1984: 135). Struktural memiliki tiga sifat yaitu total, transformasi, dan pengaturan diri. Total yang dimaksud adalah struktur terbentuk secara menyeluruh (totalitas) dengan rangkaian unsur yang tetap memiliki kaidah. Demikian daripada itu, susunan rangkaian tersebut menjadikan satu kesatuan yang akan menjadi konsep sempurna. Selanjutnya transformasi, pada dasarnya, transformasi dimaksudkan bahwa adanya perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur yang akan merubah atau menjadikan perbedaan antar unsur lainnya. Pengaturan diri dimaksudkan adalah struktur tersebut dibentuk oleh adanya kaidah intrinsik dari hubungan antarstruktur yang dapat mengatur dirinya sendiri kalau ada satu unsur

Upload: others

Post on 22-Apr-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

15

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Struktural

Pada dasarnya, sebuah karya sastra dibangun oleh unsur yang

membentuknya. Menurut Teeuw (1984: 121), analisis struktur merupakan

keutamaan dan pokok dalam mengkaji suatukajian dibanding teori-teori lain.

Dewasa ini, pendekatan struktural merupakan suatu pendekatan awal

dalam sebuah penelitian sastra. Di samping itu, pendekatan struktural juga sangat

penting bagi sebuah analisis karya sastra. Strukturalisme sastra adalah pendekatan

yang menekankan unsur intrinsik yang membangun karya. Oleh sebab itu, dengan

tidak adanya analisis melalui struktural, makna intrinsik dalam suatu karya sastra

tidak dapat tergali secara dalam. Selain itu, analisis struktural memiliki tujuan

adalah memahami secara teliti, menyuguhkan, membongkar secara tepat, detail,

dan sekuat mungkin melalui analisis struktural berupa suatu isi dengan hasil

makna yang baik dalam suatu karya (Teeuw, 1984: 135).

Struktural memiliki tiga sifat yaitu total, transformasi, dan pengaturan diri.

Total yang dimaksud adalah struktur terbentuk secara menyeluruh (totalitas)

dengan rangkaian unsur yang tetap memiliki kaidah. Demikian daripada itu,

susunan rangkaian tersebut menjadikan satu kesatuan yang akan menjadi konsep

sempurna. Selanjutnya transformasi, pada dasarnya, transformasi dimaksudkan

bahwa adanya perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur yang akan

merubah atau menjadikan perbedaan antar unsur lainnya. Pengaturan diri

dimaksudkan adalah struktur tersebut dibentuk oleh adanya kaidah intrinsik dari

hubungan antarstruktur yang dapat mengatur dirinya sendiri kalau ada satu unsur

16

hilang (Piaget dalam Sangidu, 2004: 16). Adapun langkah-langkah analisis

struktural adalah sebagai berikut:

a. dapat mengidentifikasikan unsur-unsur intrinsik dengan membangun suatu

karya sastra secara lengkap dan jelas, dapat membedakan antara tema dan

tokoh

b. dapat mengkaji sebuah unsur yang telah diindentifikasikan sehingga dapat

dideskripsikan perbedaan tema, alur, penokohan, dan latar dalam sebuah karya

sastra, dan

c. dapat menghubungkan unsur masing-masing sehingga mendapatkan kepaduan

makna secara totalitas dari suatu karya sastra (Nurgiyantoro, 20013: 36).

Di samping itu, Stanton (dalam Jabrohim, 1965: 12), menyatakan bahwa

dapat mendiskripsikan suatu unsur pembangun struktur yang terdiri atas tema,

fakta cerita dan karya sastra. Dalam hal ini, Tema adalah dasar cerita, sebuah

gagasan atau ide pokok yang mendasari kayra sastra. Fakta cerita terdiri dari

cerita, alur, dan latar. Selain itu, unsur intrinsik akan menjadi sarana analisis karya

sastra terdiri dari simbol-simbol, sudut pandang, gaya bahasa, imajinasi selain itu

juga mengetahui cara memilih judul dalam suatu karya sastra.

2.1.1 Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik merupakan segala unsur-unsur memiliki keterkaitan

langsung dalam sastra dengan membangun sebuah karya, yang turut serta dalam

proses pembangunan suatu cerita. Selain itu, terkait unsur intrinsik, Nurgiyantoro

(2013: 23) mengatakan bahwa unsur intrinsik adalah alat atau media dasar dalam

sebuah karya sastra yang dapat memberikan dampak pada pencapaian pengarang

untuk mewujudkan karya sastranya. Di samping itu, unsur–unsur instrinsik seperti

17

tema, tokoh, dan latar dapat membantu seorang pengarang dalam mengungkapkan

perasaannya pada pembaca. Agar lebih jelas, di bawah ini terdapat ulasan yang

detail terkait unsur instrinsik karya sastra.

2.1.1.1 Tokoh

Pada dasarnya tokoh memiliki suatu peran yang penting dalam sebuah

cerita. Demikian daripada itu, tokoh pada novel adalah orang yang berbuat

sesuatu dan orang yang dihadapkan pada sesuatu. Melalui pengarang, tokoh dapat

menampilkan karakternya melalui alur persoalan dalam cerita. Tokoh menunjuk

pada pembaca atau penikmat sastra, bahwa seorang tokoh adalah pelaku cerita.

Dengan demikian, keberadaan tokoh akan membuat alur menjadi lebih hidup dan

bermakna, ditambah, dengan hadirnya seorang tokoh dengan dibumbui berbagai

konflik yang dihadapi. Selain itu, dengan kajian tokoh, dapat kita ketahui bahwa

bagaimana seseorang tokoh pada suatu novel, atau bahkan film. Di smaping itu,

tokoh dalam sebuah karya sastra dibedakan melalui tingkat penting dan peranan

seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2013: 176-177):

a. Tokoh Utama

dalam hal ini, seorang tokoh utama dalam artian sangat utama yang

ditampilkan secara berulang kali sehingga cenderung mendominasi sebuah cerita.

Selain itu, sebagian besar cerita mengisahkan tentang seorang tokoh sehingga

tokoh utama tersebut dapat mengembangkan suatu cerita dengan luas. Di samping

itu, tokoh ini muncul sebagai seseorang yang dihadapkan konflik dalam suatu

peristiwa.

18

b. Tokoh Tambahan

Berbeda dengan tokoh utama, tokoh tambahan dikisahkan dalam porsi

yang cukup pendek. Di samping itu, tokoh tambahan merupakan tokoh yang

dimunculkan agar membantu tokoh utama baik secara langsung maupun tidak

langsung.

2.1.1.2 Latar

Latar adalah tempat. Namun demikian, latar dalam suatu cerita dapat

diartikan tempat, waktu dan kondisi sosial yang mendukung cerita agar lebih

mudah dipahami oleh para pembaca. Selain itu, seorang tokoh dalam karya sastra

berperan dengan ciri-ciri yang sesuai dengan latar yang melingkupinya. Latar

dapat membantu pembaca mengerti tentang suasana tertentu yang terjadi dalam

cerita. Selain itu, latar bisa memberikan dampak perwujudan sikap dan perasaan

tokoh dalam suatu cerita. Selain itu, latar dibedakan menjadi dua ketegori yaitu

latar spiritual dan latar fisik (Nurgiyantoro, 2013: 218-219).

a. Latar Spiritual

Dalam hal ini, latar spiritual adalah latar yang mengandung nilai yang

melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik. Di samping itu, latar spiritual erat dengan

lingkungan sekitar dalam cerita. Pada dasarnya latar spiritual terdiri atas tradisi,

adat, sudut pandang dan cara berfikir seseorang bahkan status sosial.

b. Latar Fisik

Latar Fisik berbeda dengan latar spiritual. Oleh sebab itu, latar fisik terdiri atas :

1) Waktu

Latar waktu terkait dengan suatu kejadian “kapan” terjadinya suatu

peristiwa yang dikisahkan dalam sebuah karya fiksi, seperti novel.

19

2) Tempat

Mengisahkan tentang tempat peristiwa dalam suatu kisah. Selain itu, latar

tempat dapat menjadi nama sebuah tempat, atau tempat-tempat tertentu yang

mempunyai ciri–ciri khusus. Pembaca dalam hal ini, lebih mudah mengerti dan

paham ketika mereka merasa tak asing dengan tempat yang diwujudkan dalam

cerita.

2.1.1.3 Tema

Selanjutnya, tema merupakan suatu gagasan dasar umum yang menopang

sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara

berulang-ulang dimunculkan lewat suatu motif yang dilakukan secara implisit

(Nurgiyantoro, 2013: 115). Di samping itu, tema belum tentu disampaikan secara

eksplisit, seorang pengarang bisa saja menggunakan teka teki yang dapat

dirasakan dan disimpulkan oleh para penikmat karya sastra.

Dewasa ini, seorang penulis biasanya mengungkapkan sasaran tujuan

melalui tema. Suatu kisah yang tidak mempunyai tema tentu tidak memiliki

manfaat. Tema menjadi inti atau pokok dalam sebuah fiksi. Hal ini karena tema

dan unsur cerita dapat bergabung sebagai pembangun sebuah kesatuan dalam

cerita. Dalam hal ini, pengarang dapat menciptakan sebuah tema sebab diinspirasi

oleh kenyataan yang ada disekitarnya. Di dalam sebuah kehidupan, manusia

mengalami sebuah kompleksitas masalah. Masalah ini bisa bersifat kolektif

ataupun pribadi.

Tema menurut Nurgiyantoro (2013: 77) dapat digolongkan menjadi dua,

tema tradisional dan nontradisional. Tema tradisional adalah tema yang biasa atau

sudah diketahui secara umum oleh masyarakat. Tema ini banyak digunakan dalam

20

berbagai cerita seperti, kebenaran dan keadilan mengalahkan kajahatan, kawan

sejati adalah kawan di masa dulu, atau setelah menderita orang baru mengingat

Tuhan. Selain itu, tema tradisional bersifat universal dan sebuah novel khusus

sering memakai tema tradisional dalam kajian atau alur ceritanya. Tema

selanjutnya adalah tema nontrdisional. Tema nontradisional adalah lawan dari

tema tradisional yang artinya tema yang tidak sesuai dengan harapan pembaca

atau melawan arus. Di samping itu, pada dasarnya pembaca menikmati dan gemar

dengan hal-hal baik, jujur, pahlawan atau sosok protagonis yang harus utama

dalam cerita, namun pada tema nontradisional tidak seperti itu.

2.1.1.4 Alur

Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2013: 14) mengemukakan bahwa alur

merupakan kisah yang mengandung peristiwa namun demikian, tokoh-tokoh

dalam cerita tersebut adalah sebagai unsur terpenting. Pada dasarnya, pentingnya

alur tersebut dapat bermanfaat bagi tokoh yang berperan sebagai seseorang

pemain sehingga kisah tersebut dapat dipahami oleh pembaca. Stanton (dalam

Nurgiyantoro, 2013: 113) juga mengemukakan bahwa alur adalah kisah yang

mengandung serangkaian peristiwa namun demikian setiap peristiwa tersebut

hanya terhubung melalui sebab akibat dan peristiwa yang lain.

2.1.2 Unsur Ekstrinsik

Setelah menguraikan pentingnya unsur intrinsik bagi karya sastra, unsur

Ekstrinsik juga tak kalah penting dari unsur intrinsik. Unsur Ekstrinsik sendiri ada

beberapa yaitu ekonomi, lingkungan masyarakat, spiritual, politik terkait

psikologi (Nurgiyantoro, 2013: 24). Dalam hal ini, akan dijabarkan tentang unsur

luar dari suatu karya sastra yaitu dalam novel Napas Mayat dari teropong

21

psikologi. Penelitian ini akan menggunakan teori Carl Gustav Jung, yaitu suatu

teori psikologi memiliki fokus utama tipologi Jung, selain itu tentang keterpaduan

fungsi juga sikap seseorang, serta teori sebatu yang ada kaitannya dengan topik

kajian berupa shadow. Pada dasarnya, teori kepribadian atau sering disebut

psyche berisi mengenai suatu pikiran, jiwa seseorang, perasaan serta perilaku,

manusia baik sadar atau tidak sadar.

Suatu kepribadian dapat menunjukkan manusia dalam arah penyesuaian

diri terhadap lingkungan sosial dan karakter orang lain. Di dalam pribadi

seseorang memiliki sikap ekstrovet dan introvet serta memiliki kepekaan indera

dan perasaan yang kuat. Hal tersebut dapat mempengaruhi kehidupannya dalam

bersosialisasi dengan masyarakat. Kepribadian dan kegunaan dalam diri seseorang

membangun suatu kesatuan, menimbulkan salah satu dari pribadi dalam diri

seseorang lebih menonjol (Nurgiyantoro, 2013: 25). Namun, dalam penelitian ini

arsetip pada shadow (bayangan) yang mempengaruhi tokoh utama yang akan

diuraikan dalam bentuk-bentuk shadow untuk mendeskripsikan lebih jelas.

2.2 Konsep Perilaku

2.2.1 Pengertian Perilaku

Pada dasarnya tingkah laku manusia merupakan kegiatan sehari-hari atau

perbuatan seseorang baik terlihat maupun tidak, dilakukan secara sadar atau tidak

sadar saat dihadapkan pada keadaan tertentu (Puspitawati, 2012: 12). Dalam hal

ini, suatu bahan ajar mengandung tentang teori tingkahlaku seseorang serta

gangguan kejiwaan disebut Psikologi. Contohnya: cara berbicara, cara berjalan,

emosi, berpikir, mendengar, melihat, dan persepsi.

22

Tingkah laku seseorang juga dapat diartikan sebagai kegiatan yang

dilakukan seseorang. Selain itu, tingkah laku terkait suatu kejadian yang akan

dialami oleh manusia tersebut, dapat dilihat secara eksplisit dan implisit.

Demikian daripada itu, tingkah laku terjadi jika ada suatu peristiwa yang

memerlukan kepekaan diri seseorang akibat kode dari orang lain, maka

pengkodean orang tersebut dapat menimbulkan perbuatan secara refleks dari

dalam diri seseorang (Notoatmodjo, 2007: 114).

Menurut Skinner (dalam Notoatmodjo, 2007: 113) tingkah laku adalah

suatu jawaban dari manusia terhadap orang lain. Oleh sebab itu, tingkah laku

muncul dari diri seseorang akibat adanya hubungan sosial, demikian daripada itu,

teori skinner disebut teori “S-O-R atau stimulus organisme respon. Skinner juga

membagi beberapa cara :

a. Respondent respon atau reflexsive, yaitu suatu jawaban diberikan seseorang

kepada orang lain. Stimulus semacam ini disebut electing stimulation sebab

menimbulkan jawaban pasti. Misal: minuman manis dan nikmat membuat

seseorang ingin untuk minum, sinar gelap membuat seseorang takut. Selain itu,

respondent respon dapat mengaitkan tingkah laku perasaan emosi misalnya

merasakan musibah yang berat membuat menangis, nilai kuliah baik merayakan

kegembiraan dengan bernyanyi bersama teman-teman.

b. Operant respon atau instrumental respon, merupakan jawaban seseorang

memberikan efek berkembang terhadap suatu perasaan. Misalnya ada seorang

perawat melakukan kerja maksimal, setelah itu mendapatkan hadiah bosnya, jadi

perawatan itu akan melakukan kerjanya lebih maksimal lagi.

23

2.2.2 Wujud Perilaku Shadow

Tingkah laku sendiri berarti tindakan, sifat dalam diri manusia

(Puspitawati, dkk. 2012: 12). Selain itu, shadow menurut Alwisol (2009:44)

adalah bayangan atau arketip tentang cerminan perilaku seseorang yang

menyerupai binatang yang sudah diturunkan nenek moyang pada generasi

manusia saat ini. Menurut Darwin (dalam Alwisol, 2009: 44) terkait sifat shadow

mencerminkan diri seseorang dalam artian seseorang berasal dari binatang, serta

memiliki sifat menyerupai binatang yang ada dalam seseorang, dengan wujud

shadow atau bayangan. Selain itu, perilaku shadow merupakan sifat atau perilaku

kebinatangan yang dimiliki seseorang, arketip, spontanitas, serta memiliki unsur

kreatif, shadow dapat membangun diri seseorang.

Wujud adalah rupa suatu bentuk yang nyata bukan suatu benda yang tidak

nyata (roh). Wujud Shadow jika dimunculkan akan menjadi rupa dengan keaslian

sisi gelapnya dapat menjadi hantu dalam kehidupan nyata. Shadow dapat

membuat seseorang tiba-tiba memiliki pikiran serta perilaku tidak baik terhadap

lingkungan hidupnya. Shadow sebenarnya tersembunyi dalam kesadaran

seseorang paling bawah.

Oleh sebab itu, shadow dapat memunculkan perilaku buruk yang tidak

dapat dikendalikan yang tidak bisa dipengaruhi oleh ego. Padahal shadow serta

ego dapat dipersatukan dan dapat bermanfaat bagi tingkah laku seseorang.

Pengaruh ego membuat seseorang dapat menjalani hidup dengan baik. Namun

demikian, jika shadow dan ego tidak dapat bersatu, maka akan menjadi agresi,

menjadi sisi jahat dan dapat menghancurkan diri juga orang lain. Selain itu,

shadow merupakan sifat binatang dan dapat menyesuaikan dengan kenyataan

24

hidup, menjaga diri (survival). Sifat binatang layaknya hal tersebut memiliki

pengaruh yang besar terhadap keadaan yang mendesak, sebab shadow bisa

menjadikan tingkah laku terkendali. Namun demikian, jika shadow tidak bisa

dijadikan manfaat dalam hidup, seseorang dapat mengalami tertekan dan dilema

saat dihadapkan pada peristiwa yang mengancam diri, sehingga seseorang bisa

berperilaku buruk (Alwisol, 2009: 44).

Menurut Sebatu (1994: 9) shadow adalah sisi jahat dari aku dan ego. Kata

shadow digunakan Jung untuk menunjukkan sisi yang gelap atau sisi yang jahat

dalam diri kita. Fresbach (dalam Sebatu, 1994: 9) mengungkapkan bahwa shadow

sebagai sisi kebinatangan dalam kepribadian manusia. Namun demikian,

penjelasan Fresbach bertentangan dengan pendapat Fehr (dalam Sebatu, 1994: 9)

Fehr mengungkapkan bahwa shadow sebagai sisi kebinatangan, yang tidak dapat

kita amati dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, Shadow berhubungan degan

taraf tak sadar dan justru menampakkan “dunia kejahatan”. Oleh sebab itu, pada

dasarnya Shadow mempunyai aspek tak sadar personal. Dalam taraf tak sadar

personal, shadow adalah sebuah kenangan yang berkumpul yang tidak diterima

sesorang karena sebuah karakter atau perilaku buruk. Misalnya kita menolak

dorongan seks yang tidak dapat diterima, kecenderungan agresif, dan sebagainya.

Jadi shadow dapat dikatakan merupakan campuran antara insting seks-nya Freud

dan keinginan akan kuasanya Adler. Shadow di sini merupakan setan atau sisi

gelap dalam berbagai bentuknya (Sebatu, 1994: 9).

Cerita tentang ular dan setan yang menggoda Hawa di Firdaus adalah

contoh yang paling baik dari shadow. Bahkan dalam hal shadow, bentuk godaan

setan yang kita alami sebelum melakukan hal-hal yang dianggap dosa, adalah

25

karya dari shadow. Shadow muncul dalam berbagai bentuk, seperti perangai

buruk, sakit tak tahu sebabnya, keinginan untuk mencelakai orang lain dan

sebagainya. Bahkan shadow bekerja secara independen dalam taraf tak sadar, di

mana mereka menyatu dengan dorongan-dorongan lain. Kekuatan dari shadow

dapat menampakkan diri dalam taraf sadar, seperti misalnya dalam bentuk

kemarahan.

Shadow kadang-kadang dapat juga mengalahkan ego. Seorang yang amat

baik misalnya, tiba-tiba bersifat agresif terhadap teman-temannya. Sementara

berbagai pikiran yang irrasional adalah hasil kerja shadow yang mengalahkan ego.

Shadow sebenarnya dapat juga berdampak positif. Misalnya, seorang wanita tidak

jadi membunuh korbannya, karena dia ingat akan kekasihnya. Selain itu contoh

lain adalah seoarang pendosa yang tiba-tiba bertobat. Ini adalah aspek positif dari

shadow. Ego dan shadow berlawanan satu sama lain. Ego adalah sisi positif dari

pribadi manusia, sementara shadow adalah sisi yang negatifnya. Mereka dapat

bekerja secara berdampingan. Ego dapat mengontrol daya kekuatan shadow

sehingga tidak berubah menjadi kekuatan jahat yang membahayakan diri orang

lain dalam kehidupan. Dari sudut ini kita juga bisa meneropong bahwa shadow

dapat dikontrol melalui ego, namun juga dapat tidak terkontrol apabila perilaku

shadow yang dialami sangat kuat ke lingkungan. Oleh sebab itu, Shadow dapat

menguasai seseorang sedemikian hebat, sehingga seseorang itu dapat mengontrol

dan nampak tidak waras (Sebatu, 1994:10).

Menurut Sebatu (1994: 9) shadow mempunyai aspek primer. Shadow

berhubungan dengan taraf tak sadar personal. Dalam taraf tak sadar personal,

shadow misalnya sebatu mengungkapkan bahwa adanya kecenderungan agresi,

26

menolak dorongan seks. Selain itu, shadow merupakan merupakan personifikasi

universal dari bentuk kejahatan. Seperti: Penggoda, penghancur. Jadi dari

penjelasan Sebatu tersebut, sebatu mengklarifikasi adanya beberapa wujud dari

shadow yaitu, berperilaku agresi, penggoda, dan penghancur.

2.2.2.1 Agresi

Dewasa ini, agresi didefinisikan oleh para psikolog sebagai setiap bentuk

perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau merugikan seseorang yang

bertentangan dengan kemauan orang itu. Pada dasarnya perilaku agresi berarti

bahwa menyakiti orang lain sengaja, dan bukanlah perilaku agresi jika pihak yang

dirugikan menghendaki perilaku agresi terjadi. Misalnya jika dalam suatu

hubungan seksual seorang partner ingin ditampar atau diperlakukan secara kasar,

tindakan itu tidak akan dianggap agresif sebab tindakan itu memang dikehendaki.

Agresi melibatkan setiap bentuk penyiksaan, termasuk penyiksaan psikologis atau

emosional. Oleh sebab itu, misalnya, mempermalukan, menakut-nakuti, atau

mengancam seseorang adalah perilaku agresi.

Kekerasan didefinisikan sebagai tindakan di mana ada usaha sengaja untuk

mencederai secara fisik. Mencederai secara tidak sengaja bukanlah kekerasan.

Perbedaan antara mencederai secara sengaja dan tidak sengaja ini dilakukan baik

dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam sistem hukum. Dalam menjelaskan

agresi dan kekerasan, para psikolog biasanya membedakan antara bentuk-bentuk

instrumental dan emosional dari agresi atau kekerasan. Agresi atau kekerasan

instrumental terutama merupakan saran menuju suatu tujuan yang lain. Psikiater

yang ditikam ketika seorang klien berusaha mencuri obat-obatan psikotropika

memang disengaja agar klien dapat melarikan diri, bukan karena marah atau

27

penasaran pada psikiaternya. Sebaliknya, kekerasan emosional atau kadang-

kadang disebut kekerasan dengan kemarahan dengan sengaja bertujuan

mencederai, termasuk penyiksaan psikologis dan emosional (Breakwell, 1997: 17-

18).

2.2.2.2 Penggoda

Penggoda ialah sikap seseorang yang berniat untuk menggoda orang lain

ke arah hal buruk. Penggoda mempunyai kecenderungan untuk berfantasi erotis.

Kalau orang mempunyai kecenderungan untuk berfantasi erotis, menyenangi

pornogafi, senang menonton pertunjukkan strip-tease dan sebagainya, dia pasti

dikuasai oleh anima negatif.

Dewasa ini ada sebuah kisah, penggoda diwakili oleh Siren ini amat

berbahaya bagi Odysseus dan para pengikutnya karena daya godaannya hebat.

Circle misalnya pura-pura menjamunya dengan hebat, tetapi pada saat mereka

mabuk pesta dia melepaskan kutukannya. Sama halnya dengan Siren yang

menggoda setiap manusia dengan nyanyian mereka yang merdu dengan kata-kata

bijaksana. Ketika orang benar-benar terpikat untuk mengunjungi mereka, mereka

membunuhnya. Wanita-wanita tadi memiliki daya goda yang hebat, yang dapat

menjatuhkan pria dengan janji-janji kenikmatan. Pria yang terkena godaan

biasanya menjadi tak berdaya. Dalam keadaan seperti itu, mereka langsung

dihancurkan. Sementara saudari-saudari Psike ingin menghancurkan Psike karena

iri hati.

Kisah seperti ini banyak terjadi dalam dunia modern masa kini. Dewasa

ini, banyak pejabat pemerintah, direktur perusahaan dan bahkan profesor terlibat

dalam skandal seks dengan berbagai wanita cantik atau mempunyai istri simpanan

28

karena sikap penggoda. Kasus ini terjadi karena mereka sering kali mengalami

cinta pada pandangan pertama. Selain itu, cinta jenis ini adalah cinta yang tidak

matang, yang menurut Jung (dalam Sebatu, 1994: 59) adalah akibat dari shadow

yang negatif. Dalam setiap kasus cinta pada pandangan pertama itu orang merasa

seperti baru kali itu mereka mendapatkan pasangannya yang amat cocok.

Namun, lama-kelamaan mereka tidak menyadari bahwa hubungan itu

membuahkan hasil negatif. Mereka harus terpaksa berpisah dengan istri dan anak,

bahkan sampai meninggalkan kedudukannya sebagai pejabat tinggi, yang telah

diperjuangkannya dengan susah payah. Kalau orang itu tetap tidak sadar, orang itu

akan tetap menjadi budak dalam kehidupan cintanya (Sebatu, 1994: 59). Bentuk

penyimpangan contohnya menggoda agar berlaku tidak jujur, melakukan

kecurangan, ketidakadilan, kelicikan, serta kejahatan yang merupakan dosa

(Cohen dama Siahaan, 2009:12).

2.2.2.3 Penghancur

Wujud perilaku shadow selanjutnya adalah penghancur, yang merupakan

bagian dari perilaku yang menghendaki kehancuran dalam kehidupan. Shadow

sebenarnya mencakup penggoda, penghancur, dan sumber tabiat yang buruk.

Shadow dan anima negatif menurut Jung (dalam Sebatu, 1994: 61) mempunyai

sifat yang sama.

Dalam kisahnya, wanita nampak sebagai aspek penghancur hidup dan

mental dari para pria. Anima negatif dari wanitalah bekerja pada setiap pria.

Hanya demikian intensitas daya hancurnya berbeda pada setiap orang. Kuatnya

daya hancur dari anima yang negatif nampak dalam kasus bunuh diri yang amat

tinggi yang dialami pria di seluruh dunia.

29

Anima yang negatiflah yang berubah menjadi shadow penyebab semua

kasus bunuh diri itu. Misalnya, laporan dari Amerika Serikat misalnya,

menyatakan bahwa kasus bunuh diri dalam masyarakat tiga kali lebih tinggi pada

pria daripada wanita.

Percobaan bunuh diri memang tinggi pada wanita, namun hanya sedikit

yang berhasil. Sementara itu, lebih sedikit jumlah orang yang mengadakan bunuh

diri pada pria, namun hampir semuanya berhasil. Oleh sebab itu, peristiwa

tersebut terjadi karena wanita lebih tahan terhadap penderitaan daripada pria.

Kehancuran atau breakdown, depresi, keterasingan dan berbagai kesulitan lainnya

pria justru tidak tahan (Sebatu, 1994: 63).

2.3 Latar belakang Perilaku Shadow

Setelah membahas tentang wujud perilaku shadow, selanjutnya latar

belakang terjadinya perilaku shadow adalah adanya aspek negatif dari anima atau

animus. Sebatu (1994:11) menjelaskan bahwa anima dan animus negatif dapat

membawa dampak negatif berupa perangai buruk (perilaku shadow). Menurut

Alwisol (2009: 43) persona juga dapat menjadi latar belakang perilaku shadow,

jika diidentifikasi sepenuhnya akan menimbulkan perasaan asing dalam diri

seseorang, menjadi manusia palsu sehingga dapat melakukan apa saja dalam

menghadapi publik. Selain persona, latar belakang seseorang dapat melakukan

perilaku buruk adalah karena adanya muatan emosi yang kuat. Hal tersebut

diperkuat dengan pendapat Sebatu (1994: 11) latar belakang seseorang melakukan

perilaku shadow adalah adanya bentuk anima dan animus negatif, persona dan

emosi dalam diri seseorang.

30

2.3.1 Anima dan Animus

Jung (Sebatu, 1994: 11) berkeyakinan bahwa pria dan wanita mempunyai

unsur dari jenis seks yang lain dalam dirinya, sedangkan wanita mempunyai aspek

maskulin dalam dirinya. Dalam hal ini arketip wanita dalam diri pria disebut

anima, sedangkan arketipe pria dalam wanita disebut animus. Berkaitan dengan

shadow, seperti anima dan animus dapat membawa dampak positif dan sekaligus

juga negatif. Anima bekerja positif pada seorang pria bila dia membangkitkan

inspirasi, kemampuan intuitif, dapat memberikan peringatan. Selain itu, anima

juga dapat membawa dampak negatif, berupa perangai buruk atau wanita beraspek

positif bila menampakkan diri dalam argumentasi yang berdasarkan pemikiran

yang logis dan masuk akal. Aspek negatifnya, bila wanita bermulut tajam, tanpa

perasaan dan sebagainya.

2.3.2 Topeng

Topeng yang digunakan di sini diambil untuk menerjemahkan kata

persona. Persona berasal dari bahasa latin. Selain itu, Persona berarti orang atau

topeng. Dalam bahasa Yunani kata sepadan dengan kaa porsopon, yang juga

berarti topeng atau muka. Dalam hal ini, topeng sering digunakan dalam drama

atau teater.

Menurut Jung (dalam Sebatu, 1994: 7) bahwa tiap orang menggunakan

topeng yang digunakan sesuai dengan tuntutan lingkungannya. Peran dalam

tuntutan lingkungan itu tak dipikirkan lagi, tetapi berjalan secara otomatis. Tiap

orang mempertunjukkan dalam tingkah lakunya. Di samping itu, topeng, dapat

dikatakan sebagai bentuk kompromi antara tuntutan lingkungan dan kepentingan

norma-norma batiniah seseorang. Topeng ini lain dari perasaan kita yang nyata.

31

Oleh sebab itu, kita menggunakan topeng agar kita dapat bergaul sepantasnya

dengan orang lain, meskipun lain daripada perasaan dalam hati nurani kita, namun

kita menggunakan topeng untuk kebaikan di mata lingkungan sosial.

Demikian daripada itu, jika kita terus mengembangkan persona/ topeng,

kita akan terasingkan dari kodrat kita. Kita akan mengalami ketegangan antara

topeng yang terlalu berkembang di satu pihak dengan kepribadian yang tak

berkembang di pihak lain. Kalau ego mengidentifikasi diri dengan topeng, hal itu

disebut inflasi. Pada dasarnya, orang yang mengalami inflasi kepribadian akan

mementingkan dirinya terus-menerus. Oleh sebab itu, jika orang itu mempunyai

kuasa, dia akan memaksa orang lain untuk mengikuti apa yang telah dilakukannya

(Sebatu, 1994: 8).

2.3.3 Emosi

Emosi mengacu kepada kata yang berarti reaksi-reaksi positif dan negatif

terhadap situasi-situasi tertentu. Tidak ada yang disebut emosi netral. Misalnya,

diperlakukan tidak adil membuat kita marah, melihat orang menderita membuat

kita sedih, dan berada dekat dengan orang yang disayangi menjadikan kita

bahagia.

Emosi terdiri atas pola-pola perubahan fisiologis dan perilaku yang

menyertainya atau setidaknya desakan untuk melakukan perilaku-perilaku ini.

Respon-respon disertai perasaan. Bahkan, sebagaian besar orang menggunakan

kata emosi untuk mengacu kepada perasaan, bukan kepada perilaku. Respon

emosional terdiri atas tiga jenis komponen: perilaku, otonom, dan hormonal.

Komponen perilaku terdiri atas gerakan-gerakan otot yang sesuai dengan situasi

yang memicunya. Respons otonom adalah respon utama bagi emosi dalam diri

32

manusia, respon tersebut memfasilitasi perilaku dan menyediakan mobilisasi

cepat energi untuk gerakan kuat. Dalam hal ini, emosi marah sangat berbahaya

bagi setiap orang. Misalnya emosi saat diri kita tersakiti orang lain, merasa

diremehkan atau dikucilkan (Carlson, 2012: 2).

2.4 Dampak Psikologis

Dampak psikologis yang dialami oleh Aku dalam novel Napas Mayat

akibat diawali oleh seseorang yang menghina dan meremehkannya yang

menyebabkan seseorang itu akhirnya dendam, berperangai buruk dan membunuh.

Setelah itu, ia seseorang dapat merasakan kecanduan untuk membunuh dan

memakan daging manusia karena adanya bayangan negatif dalam diri. Membunuh

adalah peristiwa yang keji dan berbahaya. Oleh sebab itu, dampak psikologis bisa

dialami seseorang yang telah membunuh. Berikut dijelaskan dampak psikologis.

Menurut Carlson (2012: 210) beberapa dampak psikologis terhebat yang

dapat dialami seseorang adalah skizofrenia yakni pikiran yang terpecah tidak

rasional, gangguan kecemasan, dan stress yang dapat dialami seorang pembunuh

sehingga pada akhirnya penyesalan, ketakutan (kecemasan), stres dapat terjadi.

2.4.1 Skizofrenia

Skizofrenia adalah gangguan mental serius yang menimpa sekitar 1 persen

dari populasi dunia. Biaya untuk mengatasi gangguan ini sangat besar. Menurut

Thaker dan Carpenter (dalam Carlson, 2012: 210) di Amerika, angkanya melebihi

biaya dari semua jenis kanker. Sedangkan menurut Jeste (dalam Carlson, 2012:

210) deskripsi gejala dalam tulisan-tulisan kuno menunjukkan bahwa gangguan

tersebut telah ada selama ribuan tahun. Selain itu, Flaum dan Andreasen (dalam

33

Carlson 2012: 210) Gejala-gejala utama skizofrenia bersifat universal, dan para

ahli kliis telah mengembangkan kriteria untuk mendiagnosis kelainan itu pada

orang-orang dari budaya yang berbeda-beda. Di samping itu, Skizofrenia

merupakan istilah psikologi yang paling kerap disalahgunakan. Kata tersebut

secara harfiah berarti „pikiran yang terpecah‟, namun bukan berarti kepribadian

ganda.

Menurut Mueser dan McGurk (dalam Carlson 2012: 210) Skizofrenia

ditandai dengan tiga kategori gejala: positif, negatif, dan kognitif. Gejala positif

membuat diri mereka dikenal karena kehadiran mereka. Gejala positif termasuk

pemikiran tidak rasional, halusinasi, dan delusi. Dalam pemahamannya, gangguan

pemikiran seseorang tidak teratur, pemikiran tidak rasional merupakan gejala

yang paling penting dari skizofrenia. Penderita skizofrenia sangat kesulitan

mengatur pikiran mereka secara logis dan memilah kesimpulan yang masuk akal

dari yang tidak masuk akal. Dalam percakapan, mereka melompat dari satu topik

ke topik lain ketika asosiasi baru muncul. Kadang-kadang mereka mengucapkan

kata-kata tak bermakna atau memilih kata-kata bersajak daripada bermakna.

Setelah itu, gejala lain adalah Delusi.

Delusi adalah keyakinan yang jelas-jelas berentangan dengan fakta. Delusi

dikejar-kejar (persecution) adalah keyakinan yang salah bahwa orang lain sedang

merencanakan dan bersekongkolan melawan dirinya. Delusi keagungan

(grandeur) adalah keyakinan salah yang menganggap dirinya memiliki kekuasaan

dan orang yang sangat penting, seperti keyakinan bahwa dia memiliki kekuatan

dewa atau memiliki pengetahuan khusus yang tidak ada orang lain yang

memilikinya. Delusi kontrol (control) terkait dengan delusi dikejar-kejar, orang

34

tersebut percaya bahwa ia sedang dikendalikan oleh orang lain melalui cara

seperti radar atau penerima radio kecil yang ditanamkan di otaknya.

Selain itu, gejala positif ketiga skizofrenia adalah halusinasi, persepsi

stimuli yang tidak benar-benar ada. Pada dasarnya, halusinasi skizofrenia yang

paling umum adalah pendengaran (auditoris), tetapi juga dapat melibatkan indra

lainnya. Ditambah lagi, halusinasi skizofrenia khas, terdiri dari suara-suara

berbicara orang yang mengalaminya, serta sering kali, suara-suara itu

memerintahkannya untuk melakukan sesuatu, memarahinya karena ia tidak

berharga, atau hanya mengucapkan frase tak bermakna. Halusinasi penciuman

(olfaktoris) juga cukup umum ditemui; sering kali menciptakan delusi yang

menyebutkan bahwa orang lain berusaha untuk membunuhnya dengan gas

beracun.

Berbeda dengan gejala positif, gejala negatif skizofrenia dikenal dengan

berkurangnya atau tidak adanya perilaku yang normal: respons emosional yang

datar, kemampuan bicara yang buruk, kurangnya inisiatif dan ketekunan,

anhedonia (ketidakmampuan untuk mengalami/ merasakan kesenangan) dan

menarik diri secara sosial. Gejala kognitif skizofrenia berhubungan erat dengan

gejala negatif dan dapat dihasilkan oleh kelainan akibat tumpang tindihnya daerah

otak. Dewasa ini, gejala kognitif akan melibatkan seseorang mengalami kesulitan

dalam mempertahankan perhatian, rendahnya tingkat kecepatan psikomotor

(kemampuan untuk menggerakkan jari-jari, tangan dan kaki secara cepat),

penurunan kemampuan (defisit) dalam belajar dan memori, buruknya kemampuan

berpikir secara abstrak, serta buruknya kemampuan pemecahan masalah (Carlson,

2012: 210).

35

2.4.2 Gangguan Kecemasan

Dewasa ini, gangguan kecemasan (anxiety disorder) ditandai oleh

ketakutan tidak berdasar dan kecemasan yang tidak realistis. Dalam hal ini,

dengan prevalensi seumur hidup sekitar 28 persen, gangguan kecemasan adalah

gangguan kejiwaan yang paling umum. Selain itu, gangguan kecemasan

berkontribusi terhadap terjadinya depresi dan gangguan penyalahgunaan zat.

Gangguan kecemasan tampaknya memiliki penyebab biologi: gangguan panik

(panic disorder), gangguan kecemasan umum (generalized anxiety disorder) dan

gangguan kecemasan sosial (social anxiety disorder).

Gangguan panik (panic disorder) menderita serangan episodik kecemasan

akut periode akut dan teror dengan terus menerus menyerang seseorang yang

mengalami trauma sepanjang waktu yang bervariasi, dari beberapa detik sampai

beberapa jam. Selain itu, menurut Schumacher (dalam Carlson, 2012: 244) tingkat

gangguan ini sekitar 3-5 persen. Demikian dari hasil tersebut, perempuan

tampaknya memiliki kemungkinan lebih besar menderita gangguan panik, sekitar

dua kali lipat, dibanding laki-laki. Serangan panik meliputi banyak gejala fisik,

seperti: sesak napas, keringat dingin, detak jantung tidak teratur, pusing, pingsan,

dan perasaan tak nyata (halusinasi).

Demikian, dengan kata lain, korban dengan serangan panik sering merasa

bahwa ia akan meninggal dan mencari bantuan di ruang gawat darurat rumah

sakit. Di antara waktu serangan panik, banyak orang dengan gangguan panik

menderita kecemasan antisipatif (anticipatory anxiety)- cemas bahwa serangan

panik yang lain akan menyerang mereka. Selain itu, kecemasan antisipatif ini

36

sering mengarah pada perkemabangan gangguan fobia serius: agorafobia

(agoraphobia; agora berarti “ruang terbuka”).

Dewasa ini, agrofobia bisa sangat mematikan, beberapa orang dengan

gangguan ini tinggal di dalam rumah selama bertahun-tahun, takut untuk berjalan-

jalan ke luar karena khawatir mengalami serangan panik di depan umum. Pada

dasarnya, karakteristik utama gangguan kecemasan umum (generalized anxiety

disorder) adalah kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan, kesulitan

mengendalikan gejala-gejala ini, dan secara klinis menunjukkan tanda-tanda

penderitaan dan kekacauan signifikan. Pada umumnya, tingkat gangguan

kecemasan adalah sekitar 3 persen, dan kejadiannya adalah sekitar dua kali lebih

besar pada wanita dibanding pada pria.

Selanjutnya, gangguan kecemasan sosial (social anxiety disorder) juga

disebut fobia sosial (social phobia) adalah ketakutan yang berlebihan dan menetap

jika terekspose dan menjadi sorotan orang lain sehingga menyebabkannya

menghindari situasi sosial saat orang tersebut diminta untuk tampil (seperti

berbicara atau tampil di depan umum). Jika situasi tidak dapat dihindari, orang itu

mengalami kecemasan dan penderitaan yang intens. Dalam hal ini terkait

prevalensi gangguan kecemasan sosial, kecenderungannya sama pada pria dan

wanita adalah sekitar 5 persen (Carlson, 2012: 244).

2.4.3 Gangguan Stres

Pada dasarnya gangguan stres adalah gangguan yang sangat berbahaya.

Stimuli aversif (stimuli yang tidak menyenangkan) dapat membahayakan

kesehatan seseorang. Kata stres diambil dari istilah teknik yang mengacu pada

aksi kekuatan fisik struktur mekanis. Kata tersebut bisa menjadi kata benda atau

37

kata kerja, dan kata benda dapat mengacu pada situasi atau respon individu

terhadap situasi tersebut. Ketika kita mengatakan bahwa seseorang mengalami

stres, kita benar-benar bermaksud bahwa seseorang tersebut terkena situasi yang

menimbulkan reaksi tertentu pada dirinya, yang disebut respons stres.

Selain itu, gangguan stres pascatrauma (posttraumatic stress disorder/

PTSD) disebabkan oleh situasi ketika seseorang mengalami, menyaksikan, atau

dihadapkan pada peristiwa atau banyak peristiwa yang melibatkan kematian nyata

atau ancaman kematian, cedera serius, atau ketakutan terhadap integritas fisik diri

sendiri atau orang lain yang memprovokasi respons yang melibatkan ketakutan

intens, ketidakberdayaan, atau horor. Gejala-gejala yang dihasilkan oleh paparan

tersebut termasuk mimpi berulang atau ingatan dari peristiwa tersebut, perasaan

bahwa peristiwa traumatis sedang berulang (episode “kilas-balik”), dan tekanan

psikologis yang intens.

Dewasa ini, seperti mimpi, kenangan, atau episode kilas-balik ini, dapat

menyebabkan orang menghindari pemikiran tentang peristiwa traumatis, yang

sering kali menurunkan minat dalam kegiatan sosial, perasaan terpisah dari orang

lain, tekanan perasaan emosional, dan perasaan bahwa masa depannya suram dan

kosong. Gejala psikologis meliputi kesulitan untuk tetap tidur, lekas marah,

mudah meledak amarahnya, kesulitan berkonsentrasi, dan reaksi meningkat

terhadap suara atau gerakan tiba-tiba. Seperti yang digambarkan oleh deskripsi

ini, orang-orang dengan PTSD memiliki fungsi kesehatan mental. Menurut

Zeyfert (dalam Carlson, 2012: 267) mereka yang stres juga cenderung memiliki

kesehatan fisik yang secara umum buruk.

38

Di samping itu, menurut Fulltron (dalam Carlson, 2012: 267) Meskipun

laki-laki lebih sering terkena peristiwa traumatis daripada perempuan, namun

perempuan memiliki kecenderungan untuk mengembangkan PTSD setelah

terkena peristiwa serupa. Selain itu, pengobatan yang paling umum untuk PTSD

adalah terapi perilaku kognitif, terapi secara kelompok (Carlson, 2012: 267).

2.5 Psikologi Sastra

Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra

Endraswara (dalam Minderop, 2016:16). Demikian daripada itu, mempelajari

psikologi sastra sama halnya dengan mempelajari manusia dari sisi dalam, sisi

batin dan kejiwaan. Mungkin aspek „dalam‟ ini acap kali bersifat subjektif, yang

membuat para pemerhati sastra menganggapnya berat. Sesungguhnya belajar

psikologi sastra amat indah, oleh sebab itu, kita dapat memahami sisi kedalaman

jiwa manusia, jelas amat dalam. Makna interpretatif terbuka lebar (Endraswara

(dalam Minderop, 2016:14). Dalam hal ini, daya tarik psikologi sastra ialah pada

masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Selain itu, tidak hanya jiwa sendiri

yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili orang lain. Setiap pengarang

kerap menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya dan pengalaman

pengarang itu sering pula dialami oleh orang lain (Minderop, 2016: 59).

Pada dasarnya psikologi sastra memberikan pemahaman dan pengertian

pada masalah yang berkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional

yang terkandung dalam sastra. Di samping itu, aspek-aspek kemanusiaan inilah

yang merupakan objek utama psikologi sastra karena kenyatannya dalam diri

manusia itulah aspek kejiwaan dicangkokkan dan disatukan. Oleh sebab itu,

39

penelitian psikologi sastra dilakukan dengan dua cara. Pertama, melalui

pemahaman teori-teori psikologi diadakan analisis terhadap suatu karya sastra.

Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek

penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk

melakukan analisis (Ratna, 2009: 344). Pada penelitian ini menggunakan cara

yang kedua, yakni dengan menentukan sebuah karya sstra sebagai objek

penelitian, kemudian menentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan

untuk melakukan analisis.

Oleh sebab itu, tanpa kehadiran psikologi sastra dengan berbagai acuan

kejiwaan, kemungkinan pemahaman sastra akan timpang. Kecerdasan sastrawan

yang sering melampaui batas kewajaran mungkin bisa dideteksi lewat psikologi

sastra. Itulah sebabnya pemunculan psikologi sastra perlu mendapat sambutan.

Setidaknya sisi lain dari sastra akan terpahami secara proposional dengan

penelitian psikologi sastra (Endraswara (dalam Minderop, 2016:7).

Menurut Wellek dan Warren (2014: 90) bahwa pendekatan psikologi

sastra dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra dan pembaca.

Meskipun demikian, pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan

tiga gejala utama, yaitu pengarang, karya sastra, dan pembaca, dengan

pertimbangan bahwa pendekatan psikologis lebih banyak berhubungan dengan

pengarang dan karya sastra. Jika perhatian penelitian lebih dominan di tujukan

kepada pengarang, maka model penelitiannya menggunakan pendekatan ekspresif,

namun jika penelitian lebih fokus kepada karya sastra maka modal penelitiannya

lebih dekat dengan pendekatan objektif yaitu dengan cara menganalisis secara

rinci karya sastra tersebut. Penelitian psikologi sastra ini, mulai menunjukkan

40

kecermerlangannya dalan kajian sastra. Hal tersebut di sebabkan kerena ketidak

puasan peneliti sebelumnya yaitu penelitan sosiologi sastra atau yang lainnya

yang dianggap kurang memperhatikan aspek psikologis.

Siswantoro (2004: 31), menyatakan bahwa sastra berbeda dengan

psikologi sebab sebagaimana kita pahami sastra berhubungan dengan dunia fiksi,

drama, puisi, dan esay yang diklasifikasikan ke dalam seni, sedangkan psikologi

merujuk pada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental. Dalam hal

ini, perbedaan tidak membuat keduanya tidak berkesinambungan, karena

keduanya tetap memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya berangkat dari

manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Bicara tentang manusia, psikologi

jelas terlibat erat karena psikologi mempelajari perilakunya. Labih lanjut,

Siswantoro (2004: 32) mengemukakan bahwa psikologi sastra mempelajari

lingkup tentang fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama dalam

karya sastra ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungannya.

Demikian daripada itu, gejala kejiwaan dapat terungkap lewat perilaku tokoh

dalam sebuah karya sastra.

Sastra dan psikologi mempunyai hubungan fungsional yaitu sama-sama

untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaannya, gejala dan diri

manusia dalam sastra adalah imajiner yang berasal dari cipta penulis, sedangkan

dalam psikologi adalah manusia-manusia riil (nyata). Keduanya dapat saling

melengkapi dan mengisi untuk memperoleh pemaknaan yang mendalam terhadap

kejiwaan manusia.

Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi

dan peranan studi psikologis. Pada dasarnya, psikologi turut berperan penting

41

dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan

karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Di

samping itu, dengan cara memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan

dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra. Secara umum

dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga

menyatu dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”. Oleh

sebab itu, dengan meneliti sebuah karya sastra melalui pendekatan Psikologi

Sastra, secara tidak langsung kita telah membicarakan psikologi karena dunia

sastra tidak bisa dipisahkan dengan nilai kejiwaan, batin seseorang yang tersirat

dalam karya sastra (Ratna, 2009 :350).

2.6 Psikologi Analitik Carl Gustav Jung

Dalam psikologi Carl Gustav Jung, Jung mendobrak psikoanalitik

ortodoks dan membangun teori kepribadian yang terpisah yang disebut dengan

psikologi analitik. Di samping itu, teori ini berasumsi bahwa fenomena yang

berhubungan dengan kekuatan gaib atau magic (occult) bisa dan memang

berpengaruh pada kehidupan semua manusia. Jung percaya bahwa setiap dari kita

termotivasi bukan hanya oleh pengalaman yang ditekan, melainkan juga oleh

pengalaman emosional tertentu yang dipengaruhi oleh para leluhur.

Ketidaksadaran kolektif meliputi elemen-elemen yang tidak pernah dialami

seseorang secara individual, namun merupakan sesuatu yang diturunkan oleh

leluhur kita. Selain itu, gambaran yang diturunkan (inherited image) merupakan

sesuatu yang disebut Jung sebagai ketidaksadaran kolektif (Feist dan Feist 2012:

116-117).

42

Beberapa elemen dari ketidaksadaran kolektif menjadi sangat

berkembang, yang kemudian disebut sebagai arketipe-arketipe (archetypes).

Pengertian arketipe yang paling meluas adalah gagasan mengenai realisasi diri

(self-realization), yang hanya bisa dicapai dengan adanya keseimbangan antara

dorongan-dorongan kepribadian yang berlawanan. Jadi dalam hal ini, teori Jung

mengungkapkan mengenai kepribadian yang berlawanan. Kepribadian setiap

orang meliputi introvet dan ekstrovet, rasional dan irasional, laki-laki dan

perempuan, kesadaran dan ketidaksadaran, serta didorong olek kejadian-kejadian

di masa lalu yang ditarik oleh harapan-harapan di masa depan (Feist dan Feist

2012:117).

Di samping itu, teori Jung juga berbeda dari semua pendekatan lain

tentang kepribadian karena tekanannya yang kuat pada dasar-dasar ras dan

filogenetik kepribadian. Jung melihat kepribadian individu sebagai produk dan

wadah sejarah leluhur. Manusia pada masa kini dibentuk dan dicetak ke dalam

bentuknya sekarang melalui pengalaman-pengalaman kumulatif generasi-generasi

masa lampau yang merentang jauh ke belakang sampai asal-usul manusia yang

samar-samar dan tidak diketahui (Hall dan Lindzey 1993:181) Masih menurut

Hall dan Lindzey (1993:181), dasar-dasar kepribadian bersifat arkhaik, primitif,

bawaan, tak sadar dan mungkin universal. Freud menekankan asal-usul

kepribadian pada kanak-kanak sedangkan Jung menekankan asal-usul kepribadian

pada ras.

Manusia dilahirkan dengan membawa kecenderungan yang diwariskan

oleh leluhur-leluhurnya, kecenderungan ini membimbing tingkah lakunya dan

sebagia menentukan apa yang akan disadarinya dan diresponnya dalam dunia

43

pengalamannya. Dengan kata lain, terbentuknya kepribadian kolektif yang dibuat

sebelumnya berdasarkan ras yang secara selektif menjangkau dunia pengalaman

dan diubah serta diperkaya oleh pengalaman-pengalaman yang diterimanya.

Kepribadian individu merupakan hasil daya-daya batin yang mengenai dan

dikenai oleh daya-daya dari luar.

Dalam hal ini, pemikiran Jung tentang kepribadian manusia menarik untuk

dikaji sebab berhasil mengungkapkan hubungan antara kejadian masa lalu dengan

kejadian saat ini yang terjadi pada individu. Di samping itu, Jung meyakini bahwa

manusia saat ini secara psikis masih dipengaruhi dengan adanya bayangan dari

nenek moyang pada masa lampau. Dewasa ini, pengaruh seperti itu yang secara

tidak sadar telah membentuk kebiasaan atau tingkah laku manusia saat ini.

Menurut Jung, manusia dilahirkan dengan membawa kecenderungan yang

diwariskan oleh leluhurnya, kecenderungan ini membimbing tingkah lakunya dan

sebagian menentukan apa yang akan disadarinya dan diresponnya dalam dunia

pengalaman.

2.6.1 Arketip

Dalam hal ini, arketip adalah suatu bentuk pikiran (ide) universal yang

mengandung untuk emosi yang besar. Bentuk pikiran yang menciptakan suatu

gambaran dan bentuk dalam kehidupan sadar berkaitan dengan situasi kejadian

yang dialami seseorang. Misalnya arketip tentang Ibu akan menghasilkan tentang

gambaran Ibu disertai persepsi yang terbangun dari sikap Ibu. Dewasa ini, dalam

dunia pendidikan dapat digambarkan bahwa jika sejak awal seorang guru telah

menampilkan sosok penyayang, baik hati suka membimbing dan mencintai

siswanya, maka sosok itulah yang melekat dalam benak siswa tentang guru.

44

Namun demikian, jika sebaliknya kesan buruk yang muncul sejak pertama

kali, seperti pemarah, suka memukul dengan penampilan yang menakutkan,

berantakan, maka kesan seseorang terhadap sosok guru atau orang yang kita

kenal. Selain itu, dapat terbentuk karena seringnya kejadian dan pengalaman itu

terjadi dan dilihat. Pengalaman yang konstan dan terulang inilah yang tertanam

dalam ketidaksadaran kolektif dalam bentuk arketipe.

Ada banyak arketipe yang dijelaskan Jung, namun dalam bagian arketipe

ada 4 yaitu yang paling penting dalam pembentukan kepribadian dan tingkah laku

manusia: persona, anima dan animus, bayang-bayang (shadow) dan diri sendiri

(Alwisol, 2009: 111-113) .

Selain itu, ada banyak arketipe yang dijelaskan Jung, namun demikian,

dalam bagian arketipe ada 4 yaitu yang paling penting dalam pembentukan

kepribadian dan tingkah laku manusia: persona, anima dan animus, bayang-

bayang (shadow) dan diri sendiri. Menurut Feist dan Feist (2012:125) arketipe

(archetype) adalah bayangan-bayangan leluhur atau arkaik (archaic) yang datang

dari ketidaksadaran kolektif. Selain itu, arketipe sama dengan kompleks karena

mereka merupakan kumpulan bayangan yang dikuasai dan diwarnai dengan

perasaan emosi sangat kuat. Perbedaan kompleks dengan arketipe adalah

kompleks merupakan komponen ketidaksadaran personal yang diindividuasi,

sedangkan arketipe merupakan konsep yang umum dan muncul dari isi

ketidaksadaran kolektif. Arketipe harus dibedakan dari insting. Jung

mendefinisikan insting sebagai ketidaksadaran impuls fisik pada tindakan,

sedangkan arketipe adalah pasangan psikis dari sebuah insting.

45

Pada dasarnya, arketipe mempunyai dasar biologis, tetapi asalnya

terbentuk melalui pengulangan pengalaman dari para leluhur manusia, khususnya

nenek moyang. Pada diri seorang manusia, terdapat arketipe yang tidak dapat

dihitung jumlahnya. Arketipe dengan jumlah besar tersebut aktif pada saat proses

pertemuan pengalaman personal dengan bayangan (shadow) (Feist dan Feist

2012:125).

Arketipe itu sendiri tidak dapat muncul sendiri, tetapi ketika aktif muncul

dalam beberapa bentuk, kebanyakan muncul dalam bentuk mimpi, fantasi dan

delusi. Selama pertengahan kehidupannnya, Jung mengalami banyak mimpi

arketipe dan fantasi. Dalam hal ini, memang arketip sering kali memunculkan

dengan fantasi, membayangkan dirinya menuju luar semesta (cosmic abbys) yang

sangat dalam. Pada saat tersebut, ia dapat merasakan bayangan dan mimpinya.

Kemudian, ketika ia mulai memahami bahwa bayangan mimpi dan bentuk

fantasinya adalah arketipe, pengalaman-pengalaman ini menjadi sangat bermakna

dan sama sekali baru (Feist dan Feist 2012:125).

Dalam hal ini mimpi merupakan sumber utama material arketipe.

Beberapa mimpi diajukan Jung sebagai bukti dari keberadaan arketipe. Selain itu,

mimpi ini menghasilkan dorongan yang tidak dikenal oleh orang yang

memimpikannya melalui pengalaman personal. Dorongan-dorongan ini sering kali

berhubungan dengan sesuatu yang dikenal sebagai orang di zaman kuno atau

penduduk asli yang menggantikan suku aborigin (Feist dan Feist 2012:125).

Meskipun banyak arketipe yang muncul dalam bayangan yang lazim, namun

hanya sebagian yang sampai pada titik di mana bayangan itu bisa

46

dikonseptualisasikan. Hal yang menjadi catatan penting dari konsep yang diajukan

Jung adalah pesona, bayangan (shadow), anima.

2.6.2 Kepribadian

Kepribadian atau psyche adalah mencakup keseluruhan pikiran, perasaan,

dan tingkahlaku, kesadaran dan ketidaksadaran. Kepribadian membimbing orang

untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Sejak

awal kehidupan, kepribadian adalah kesatuan atau berpotensi membentuk

kesatuan. Ketika mengembangkan kepribadian, orang harus berusaha

mempertahankan kesatuan dan harmoni antar semua elemen kepribadian.

Pemikiran Jung terkait kepribadian dan kejiwaan manusia menarik untuk

dikaji karena berhasil mengungkapkan hubungan antara kejadian masa lalu

dengan kejadian saat ini yang terjadi pada diri seseorang, sebab Jung meyakini

bahwa manusia sekarang secara psikis dipengaruhi oleh bayangan masa lampau

dari nenek moyangnya. Selain itu, pengaruh seperti itu yang secara tidak sadar

telah membentuk kebiasaan atau pola tingkah laku negatif pada diri seseorang

kini. Manusia yang dilahirkan dengan membawa kecenderungan yang diwariskan

oleh leluhurnya, dan pada masa kini secara tidak sadar membentuk tingkah positif

atau bahkan negatif yang diaplikasikan dalam dunia pengalaman (Alwisol, 2009:

39-40).