bab ii landasan teori -...
TRANSCRIPT
9
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Motivasi Berprestasi
2.1.1. Pengertian Motivasi Berprestasi
Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti “dorongan atau
daya penggerak”. Motivasi adalah penting karena dengan adanya motivasi ini
diharapkan setiap individu mau balajar keras dan antusias untuk mencapai
produktivitas kerja yang tinggi dalam berprestasi. (McClelland dalam Hasibuan,
2001) mengatakan motivasi berprestasi adalah suatu keinginan untuk mengatasi
atau mengalahkan suatu tantangan yang bertujuan untuk kemajuan dan
pertumbuhan.
Motivasi berprestasi sebagai dorongan yang berhubungan dengan prestasi
yaitu menguasai, memanipulasi, mengatur lingkungan sosial atau fisik, mengatasi
rintangan, dan memelihara kualitas kerja yang tinggi, bersaing untuk melebihi
yang lampau dan mengungguli orang lain (Hall & Linzey dalam Wirabayu, 2005).
Selanjutnya Merhrabian & Bank (dalam Hapsari, 2004) menyatakan bahwa pada
umumnya motivasi berprestasi merupakan dorongan dari individu untuk
melakukan aktivitas dan usaha yang maksimal agar dapat mencapai prestasi yang
sebaik-baiknya.
Weinner (dalam Hapsari, 2004) mendefinisikan motivasi berprestasi
sebagai suatu kecenderungan positif yang berada dalam individu yang pada
dasarnya mempunyai reaksi terhadap suatu tujuan yang ingin atau harus dicapai .
10
Sementara itu Edward (As’ad dalam Wirabayu, 2005) menguraikan
motivasi berprestasi sebagai kebutuhan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas
lebih sukses untuk mencapai prestasi yang tinggi.
Dari beberapa pengertian diatas dapat dinyatakan bahwa motivasi
berprestasi sebagai dorongan yang ada dalam diri individu untuk melakukan
aktivitas tertentu dan usaha yang maksimal serta mengatasi rintangan yang ada
guna mencapai hasil yang sebaik-baiknya.
2.1.2. Aspek-aspek Motivasi berprestasi
Lebih lanjut McClelland (dalam Wirabayu 2005) mengemukakan aspek-
aspek motivasi berprestasi sebagai berikut:
a. Memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan tanggung jawab secara pribadi atas
tindakan yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan.
Individu merasa puas dengan prestasinya sekarang meskipun belum
melebihi prestasi orang lain karena sanggup dapat berbuat suatu hal yang
merubah prestasinya yang lampau. Individu menikmati kesibukkannya
sepanjang hari karena baginya semakin banyak kemampuan yang dimiliki
maka semakin berhasil dan senang melakukan ketrampilan tingkat tinggi.
Individu menikmati kesibukkannya setiap hari dan penting baginya untuk
melebihi prestasi orang lain.
b. Menetapkan arah tujuan untuk berhasil dan sukses.
Individu menetapkan arah dan tujuan sukses dalam dirinya dengan standar
optimis akan berhasil, dengan memilih pekerjaan yang bersifat moderat
membuat individu merasa santai dan mudah dikuasai daripada tugas yang
bersifat sulit. Suka belajar dan berkerja keras, apabila mengalami kesulitan
akan terus mencoba hingga berhasil daripada beralih ke pekerjaan lainnya,
bagi individu menjadikkan diri sendiri untuk menang adalah penting.
c. Menempatkan tujuan yang sedang dan bekerja lebih keras, oleh karena itu
individu berusaha memaksimalkan kepuasan akan prestasinya.
Individu merasa puas apabila melakukan pekerjaan sebaik-baiknya oleh
karena itu bila mengerjakan suatu tugas berusaha terus menerus
menekuninnya hingga berhasil, oleh karena itu individu memilih tugas yang
merasa dikerjakan. Apabila mengerjakkan tugas maka akan dikerjakan secara
maksimal sehingga kepuasan individu akan lebih besar dalam persaingan
11
terhadap orang lain dalam prestasi, individu puas karena dapat melebihi
prestasinya yang lalu.
2.1.3. Faktor-faktor Motivasi Berprestasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi ada 2 yaitu: faktor
internal dan eksternal (dalam Wirabayu, 2005). Faktor internal adalah faktor yang
ada dalam diri individu, yang termasuk faktor internal adalah:
1. Keadaan jasmani
Keadaan jasmani antara lain bentuk wajah, warna kulit, dan sebagainya.
Sebaliknya Kartikawati (1995) mengemukakan bahwa cacat fisik yang dimiliki
individu akan dapat menghambat dirinya untuk mempunyai motivasi berprestasi.
2. Jenis kelamin
Jung (Hananto, 2000) berpendapat bahwa faktor jenis kelamin mem-
pengaruhi motivasi berprestasi. Ada kecenderungan wanita untuk menghindari
sukses merupakan faktor yang melatarbelakangi rendahnya motivasi berprestasi
pada wanita.
3. Usia
Neugarten (1987) mengatakan bahwa kesadaran akan umur yang semakin
bertambah (menjadi suatu pendorong untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi).
Orang yang berusia lebih tua akan semakin banyak pengalaman dalam kehidupan
dan mempunyai suatu kiat-kiat tertentu untuk menghindari kegagalan dan tidak
akan melakukan kegagalan yang sama.
4. Inteligensi
Individu dengan taraf kecerdasan yang tinggi diharapkan memiliki
motivasi berprestasi tinggi. Hal ini didukung oleh Pietrofesa dan Splete (dalam
Ariani, 1995) bahwa intelegensi akan mempengaruhi motivasi berprestasi
individu, semakin tinggi inteligensi akan semakin tinggi pula motivasi
berprestasinya.
5. Kepribadian
Tiap-tiap individu mempunyai kepribadian yang berbeda. Salah satu
contoh adalah 2 tipe kepribadian individu, yaitu kepribadian locus of control
internal dan locus of control external. Individu dengan locus of control internal
lebih suka menentang pengaruh dari luar serta tanggung jawab pribadi terhadap
kegagalan dari usaha yang dilakukannya, sedangkan individu dengan locus of
control eksternal memiliki anggapan bahwa kegagalan berasal dari hal-hal yang
di luar dirinya, misalnya dari guru, orang tua, teman, dan lain-lain.
6. Minat
Individu mempunyai minat untuk belajar, berkompetisi dan tidak
mengharapkan kegagalan akan mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi
(Setiawan, 1993).
7. Citra diri
12
Ratnawati & Sinabela (1996) menyatakan bahwa individu yang mempunyai
citra diri positif akan tampak percaya diri, aktif dan berani menghadapi sesuatu.
Sebaliknya individu yang memiliki citra diri negatif akan tampak ragu-ragu,
kurang percaya diri dan kurang berani dalam menghadapi sesuatu meskipun
sebenarnya memiliki kemampuan. Dilihat dari ciri-ciri yang ada, maka individu
yang mempunyai citra diri positif akan memiliki motivasi berprestasi tinggi
daripada individu yang memiliki citra diri negatif.
8. Keberhasilan yang pernah dicapai
Greene (Hananto, 2000) menyatakan keberhasilan dalam mencapai tujuan
yang telah ditentukan memiliki arti bahwa individu mampu mengatasi kesulitan
dan tantangan yang dihadapi, keberhasilan ini akan menumbuhkan kepercayaan
pada diri serta penghargaan atas usaha yang dilakukannya. Individu akan
berpandangan positif pada dirinya sehingga menimbulkan suatu harapan baru
untuk mencapai prestasi yang lebih baik.
9. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan individu akan berpengaruh pada kebutuhan-
kebutuhannya. Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan menuntut
timbal balik nyata, misalnya memiliki aspirasi yang realistik terhadap dirinya.
Klein & Mahen (Hananto, 2000) mengungkapkan bahwa individu yang
berpendidikan tinggi akan lebih banyak menuntut peranan bagi dirinya daripada
individu yang berpendidikan rendah.
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu :
1. Lingkungan keluarga
Terbentuknya motivasi berprestasi bersumber dari cara orang tua mendidik
dan mengasuh anak. Orang tua yang mendidik anaknya untuk berusaha
menentukan sendiri apa yang sebaiknya dilakukan dan mampu mengerjakan
tugas-tugas tanpa bantuan orang lain, disertai dengan sikap orang tua yang selalu
menghargai setiap prestasi yang telah dicapai anaknya, akan menumbuhkan
motivasi berprestasi yang lebih tinggi pada anak. Heckhausen (Martaniah,1975)
menambahkan latihan yang diberikan oleh orang tua untuk percaya diri sendiri
dapat membantu tumbuhnya motivasi berprestasi.
2. Lingkungan masyarakat
Mencakup tempat individu hidup dan bergaul, berbudaya, tradisi nilai hidup
dan pola hidup yang dianut masyarakat lingkungannya, semua itu memperngaruhi
motivasi berprestasinya individu. McClelland (1978) mengatakan bahwa motivasi
berprestasi merupakan bagian dari kebudayaan secara keseluruhan, yaitu bagian
dari agama, gaya hidup atau lebih khusus lagi dari cara orang tua mengasuh
anaknya. Motivasi berprestasi berkembang karena pengaruh kebudayaan dan
lingkungan yang mementingkan perkembangan kebebasan pada anggota
keluarganya, orang tua pada umumnya mengasuh anak sesuai dengan pola hidup
yang dianut lingkungannya.
3. Lingkungan sekolah
Sementara itu, Ratnawati & Sinambela (1996) menjelaskan bahwa sejauh
mana sekolah dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan siswa dalam berprestasi di
sekolah yang meliputi fasilitas yang disediakan, hubungan antar siswa dan guru,
13
hubungan antara siswa dengan siswa itu sendiri. Siswa merasakan
kebutuhannya terpenuhi jika pihak sekolah mampu menyediakan fasilitas
pendidikan yang mampu memuaskan rasa ingin tahu siswa yang tinggi, hubungan
siswa dengan guru, dan dengan siswa lain terjalin harmonis. Selanjutnya, siswa
akan memperoleh iklim yang menyenangkan dan siswa akan terus menerus
terdorong untuk meningkatkan prestasinya.
Dari faktor-faktor tersebut dapat digolongkan kedalam 2 faktor yaitu
faktor internal meliputi: keadaan jasmani, jenis kelamin, usia, intelegensi, citra
diri, keberhasilan yang pernah dicapai, dan tingkat pendidikan. Sedangkan faktor
eksternal meliputi: lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan
sekolah.
2.2 Pola Asuh Orang Tua
2.2.1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Keluarga merupakan sebuah kelompok sosial pertama di mana anak
melakukan interaksi dan mempunyai pengaruh dalam pembentukan dan
perkembangan sikap sosial yang besar. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut
berpengaruh dalam proses perkembangan anak salah satunya faktor dalam
keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan sikap sosial anak
yaitu faktor latar belakang keluarga, ekonomi, agama dan budaya
Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan
mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan
norma-norma yang ada dalam masyarakat. Faktor lingkungan juga memiliki
pengaruh terhadap perkembangan sikap sosial anak karena di dalam kehidupan
bersosial manusia tidak bisa hanya berinteraksi dengan keluarga sendiri melainkan
dengan masyarakat sekitar.
14
Dalam keluarga orang tua mempunyai cara sendiri dalam menjadikan anak
sebagai pribadi yang berguna dan tidak menyimpang dari norma yang berlaku
dimasyarakat. Bagaimana anak bertindak dan berperilaku tidak lepas dari
bagaimana orang tua menanamkan nilai dan membentuk pribadi anak sejak kecil.
Oleh karena cara pengasuhan yang dilakukan orang tua tidak lepas dalam
membentukan karakter seorang anak.
Menurut Gunarsa (2000) peranan yang ditunjukkan oleh orang tua
terhadap anak adalah memenuhi kebutuhan biologis dan fisik, merawat dan
mengurus keluarga dengan sabar, mendidik, mengatur dan mengendalikan anak,
menjadi contoh dan teladan bagi anak. Oleh karena itu cara pengasuhan yang
dilakukan oleh orang tua tidak lepas dalam pembentukan kepribadian anak.
Hurlock (1999) menyatakan bahwa pola asuh orang tua adalah metode
yang digunakan orang tua dalam menjalin hubungan dengan anak. Dari berbagai
pengertian pola asuh orang tua adalah metode yang mendidik, mengajar,
membimbing untuk mengarahkan perilaku anak serta cara orang tua untuk
berkomunikasi dengan anak.
2.2.2. Jenis-Jenis Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua ada bermacam-macam antara lain pola asuh orang tua
otoriter, otoritatif (demokratis) dann pola asuh permissive. Adapun jenis pola asuh
orang tua menurut Rice; Santrock; Turner & Helms (dalam Gunarsa, 2004) dan
Hurlock (1999) dikategorikan menjadi tiga yaitu:
15
a. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter orang tua menerapkan pola pengasuhan otoriter pada
anak, orang tua memutuskan segala sesuatu yang berkenaan dengan anak
tanpa mempedulikan pendapat dari anak. Orang tua menerapkan gaya
hukuman kepada setiap tindakan anak yang tidak sesuai dengan keinginan
orang tua. Anak diajarkan mengikuti tuntutan orang tua dan keputusan orang
tua tanpa bertanya dan berdiskusi terlebih dahulu dengan anak. Anak tidak
diperbolehkan mengambil keputusan sendiri.
Orang tua tidak melakukan komunikasi yang baik dengan anak.
Biasanya, komunikasi yang terjadi hanyalah komunikasi satu arah, yaitu dari
orang tua ke anak, dengan orang tua memberikan perilaku kepada anak.
Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak menyebabkan keterampilan
berkomunikasi anak menjadi berkurang.
b. Pola Asuh Permisif
Pola asuh yang permisif dibedakan menjadi pola pengasuhan yang
mengabaikan dan pola pengasuhan yang memanjakan. Pada pengasuhan yang
mengabaikan, orang tua, dengan tidak mempedulikan anak, memberi izin bagi
anak bertindak semaunya sendiri. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola
pengasuhan ini akan menunjukkan kurangnya kontrol diri yang dapat menjadi
salah satu penyebab kenakalan pada anak.
Pola pengasuhan yang memanjakan, orang tua sangat menunjukkan
dukungan emosional kepada anak tetapi kurang memberikan kontrol kepada
anak. Orang tua mengizinkan anak untuk melakukan apa yang anak mau,
bahkan tampak bahwa anak lebih berkuasa daripada orang tua dalam
pengambilan berbagai keputusan. Hal ini ternyata menyebabkan remaja tidak
memiliki kontrol diri yang baik, mereka menjadi egois, selalu memaksakan
kehendak sendiri tanpa mempedulikan perasaan orang lain. Dapat dikatakan
bahwa pola asuh permisif, baik yang mengabaikan atau yang memanjakan,
menyebabkan anak tidak memiliki kontrol diri yang baik.
c. Pola Asuh Otoritatif (Demokratis)
Orang tua dengan pola pengasuhan otoritatif (demokratis) selalu
melibatkan anak dalam segala hal yang berkenaan dengan anak itu sendiri dan
dengan keluarga. Orang tua mempercayai pertimbangan dan penilaian dari
anak serta mau berdiskusi dalam mengambil segala keputusan yang berkaitan
dengan anak. Anak pun belajar untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri
dan juga belajar mendengarkan dan berdiskusi dengan orang tua. Orang tua
yang otoritatif (demokratis) menekankan pentingnya peraturan, norma, dan
nilai-nilai, tetapi orang tua juga bersedia untuk mendengarkan, menjelaskan,
dan bernegosiasi dengan anak. Disiplin yang orang tua lakukan lebih bersifat
verbal yang ternyata merupakan sesuatu yang efektif. Orang tua yang
menunjukkan atau menyatakan kekecewaan atas tindakan anak yang
mengecewakan akan lebih memotivasi anak untuk bertindak lebih hati-hati di
kemudian hari daripada orang tua yang menghukum dengan keras (Papalia,
Wendkos & Feldman,, dalam Gunarsa, 2004).
16
Ketiga bentuk jenis pola asuh ini dalam kehidupan sehari-hari yang
diterapkan orang tua dalam mendidik atau mengasuh anak baik secara terpisah
maupun secara bersama yang artinya ada orang tua yang melaksanakan pola
asuh demokratis tetapi juga kadang-kadang menerapkan pola asuh otoriter dan
permisif. Untuk menentukan bentuk pola asuh orang tua yang diterapkan
dalam mengembangkan atau mendidik anak-anaknya sangat sulit karena orang
tua cenderung menggunakan perpaduan ketiga jenis pola asuh tersebut untuk
mendidik anak-anaknya.
Sementara Baumrind mengatakan bahwa ada 4 pola asuh, yang
kemudian dikembangkan oleh Maccoby & Martin; Lamborn, (dalam Tiga,
2010) menjadi empat macam pola asuh, yaitu pola asuh authoritative, pola
asuh authoritarian, pola asuh indulgent, dan neglectful.
a. Pola Asuh Authoritative
Orang tua tipe ini menerapkan tingkat pengawasan yang tinggi terhadap
anak. Orang tua juga mempunyai tingkat penerimaan dan keterlibatan yang
tinggi dalam kehidupan anak. Orang tua menerapkan aturan-aturan dalam
keluarga tetapi juga terbuka secara demokratis kepada anak tentang aturan-
aturan yang orang tua terapkan.
b. Pola Asuh Authoritarian
Orang tua dengan tipe pola asuh ini mempunyai tingkat pengawasan yang
tinggi terhadap anak tanpa adanya kehangatan dari orang tua dan keterlibatan
orang tua yang rendah dalam kehidupan anak.
c. Pola Asuh Indulgent
Orang tua mempunyai penerimaan terhadap anak dan memiliki tingkat
keterlibatan yang tinggi terhadap kehidupan anak. Orang tua menerima dan
mencintai anak, tetapi menerapkan aturan-aturan yang kuat dalam keluarga.
d. Pola Asuh Neglectful
Orang tua mempunyai pengawasan yang rendah terhadap anak dan
mempunyai tingkat penerimaan dan keterlibatan yang rendah terhadap
kehidupan anak serta tidak menetapkan aturan dan pengawasan yang kuat
dalam kehidupan anak.
17
2.2.3. Aspek- Aspek Pengukuran Pola Asuh Orang Tua
Hurlock (1999) mengungkapkan aspek-aspek pola asuh orang tua sebagai
berikut:
1) Kontrol orang tua, yaitu usaha yang dilakukan orang tua untuk membatasi
pola asuh anak yang didasarkan pada sasaran yang bertujuan memodifikasi
perilaku anak.
2) Hukuman dan hadiah, yaitu usaha orang tua dalam memberikan hukuman dan
hadiah yang didasarkan pada perilaku anak.
3) Komunikasi, yaitu pencapaian informasi antara orang tua dan anak yang di
dalamnya bersifat mendidik, menghibur dan pemecahan masalah.
4) Disiplin, yaitu usaha yang dilakukan oleh orang tua untuk mendisiplinkan
nilai agar anak dapat menghargai dan menaati peraturan yang berlaku.
Menurut Baumrind dalam Maccoby & Martin; Lamborn, (dalam Tiga,
2010) aspek-aspek pola asuh orang tua antara lain:
1. Strictness adalah tingkat keketatan orang tua dalam membuat banyak
peraturan untuk mengatur perilaku anak.
2. Supervision adalah tingkat pengawasan orang tua terhadap perilaku dan
aktivitas anak di kehidupan sehari-hari.
3. Acceptance adalah tingkat penerimaan orang tua terhadap perilaku anak.
4. Involvement adalah tingkat keterlibatan orang tua dalam kehidupan anak.
Berdasarkan aspek-aspek yang disebutkan di atas, maka dalam penelitian
ini penulis menggunakan aspek pola asuh bedasarkan teori Hurlock (1999).
Alasan menggunakan teori Hurlock karena aspek-aspek mengarah pada pola asuh
yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam setiap pola asuh mengandung unsur
kontrol, hukuman dan hadiah, komunikasi serta disiplin yang diterapkan orang tua
pada anak.
2.2.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua
Pada masing-masing orang tua mempunyai pola pengasuhan tersendiri
pada anak mereka yang berbeda, dengan bermacam-macam lingkungan keluarga.
18
Perbedaan dapat terlihat dalam hal mengungkapkan pikiran dan perasaan
serta sikap orang tua dan anaknya atau sebaliknya anak dengan orang tua.
Menurut Gunarsa (1983 dalam Kurniawati, 2010) dalam mengasuh dan
mendidik anak, sikap orang tua dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1) Pengalaman masa lalu anak berhubungan erat dengan pola pengasuhan atau
sikap orang tua.
Biasanya dalam mendidik anaknya, orang tua cenderung untuk
mengulangi sikap dan pola asuh dahulu apalagi hal tersebut dirasakan manfaatnya.
Sebaliknya orang tua cenderung pula untuk tidak mengulangi sikap atau pola asuh
orang tua bila tidak dirasakan manfaatnya.
2) Nilai-nilai yang dianut orang tua.
Kedua orang tua masing-masing mempunyai nilai tersendiri untuk
mengatur dan mendidik anak, nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh anak dan
diterapkan oleh orang tua dalam keluarga.
3) Tipe kepribadian orang tua.
Orang tua mempunyai watak sendiri walaupun berbeda kepribadian tetapi
orang tua selalu menghargai antara pendapat Ayah atau Ibu sehingga dapat
mendidik anak menjadi anak yang dapat diandalkan oleh kedua orang tua.
4) Faktor perkawinan orang tua.
Perkawinan orang tua dalam dua belah pihak baik Ayah atau Ibu pasti
mempunyai sifat bawaan yang berbeda dan kebiasaan yang berbeda dibawa dari
masing-masing pola pengasuhan orang tuanya, dari sinilah orang tua memadukan
cara tersendiri dalam mendidik dan mengasuh anak agar menjadi anak yang dapat
menjadi kebanggaan bagi orang tua.
5) Alasan orang tua mempunyai anak.
Keinginan setiap orang dalam menjalani sebuah perkawinan adalah
mempunyai keturunan yang diharapkan akan menjadi penerus generasi dari orang
tua, dengan cara mendidik dengan pengasuhan yang baik orang tua mengharapkan
anak dapat menjadi individu yang dapat berguna bagi keluarga dan lingkungan
sekitarnya sendiri.
Dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua
yaitu: pengalaman masa lalu, nilai-nilai yang dianut orang tua, tipe-tipe
kepribadian orang tua, faktor perkawinan orang tua, dan alasan orang tua
mempunyai anak.
19
2.3. Hasil Penelitian yang relevan tentang Pola Asuh Orang Tua dan
Motivasi Berprestasi
Hasil penelitian Aswar pada tahun 2003 yang berjudul Hubungan Pola
Asuh Orang Tua dengan Motivasi Berprestasi (Studi Kasus Siswa Kelas 2 SMA
Muhammadiyah Se-Kota Malang) menunjukkan bahwa jenis pola asuh orang tua
termasuk dalam kategori Authoritarian yaitu sebesar 68,32%, sedangkan tingkat
motivasi berprestasi termasuk dalam kategori sedang yaitu sebesar 66,30%. Dari
hasil analisis diperoleh Chi square hitung (105,811) > Chi square tabel (5,99)
yang berarti semakin positif pola asuh orang tua maka semakin baik motivasi
berprestasi pada bidang studi matematika. Dengan koefisien kontingensi C = 0.72
dan C maks. = 0.82 yang berarti derajat hubungan sangat besar. Adapun
sumbangan efektif pola asuh orang tua terhadap motivasi berprestasi sebesar
66.34%, sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan
antara pola asuh orang tua dan motivasi beprestasi pada bidang studi matematika
Motivasi berprestasi siswa erat kaitannya dengan motivasi belajar siswa
saat di sekolah yang akan menghasilkan prestasi bagi siswa dan pola asuh orang
tua sebagai hubungan dari motivasi belajar siswa maka penulis juga
mencantumkan hasil penelitian dari Arif Isnani pada tahun 2010 sebagai hasil
penelitian yang bertentangan dengan penelitian sebelumnya berjudul Hubungan
antara Pola Asuh Orang Tua dan Motivasi Berprestasi Belajar Siswa dengan
Prestasi Belajar Siswa Kelas V Semester I SD Negeri Gugus Kalimasada
Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung 2010/2011, yang menyatakan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan
20
prestasi belajar sedangkan motivasi belajar ada hubungan yang signifikan dengan
prestasi belajar siswa karena diperoleh C = 0,263 dengan sig 7,359 < 9,488.
Sedangkan analisis korelasi Spearman rho menunjukkan ada hubungan signifikan
antara motivasi belajar dengan prestasi belajar siswa karena diperoleh sig: 0,00.
Berdasarkan uraian di atas bahwa pola asuh memiliki hubungan dengan
motivasi berprestasi siswa, dengan ini peneliti akan membuktikan adakah
hubungan pola asuh orang tua dengan motivasi berprestasi siswa kelas VIII SMP
Negeri 28 Semarang tahun pelajaran 2011/2012.
2.4. Hipotesis
Hipotesis dapat diartikan sebagai jawaban yang bersifat sementara
terhadap permasalahan yang diteliti sampai terbukti melalui data yang terkumpul
(Arikunto, 2002).
Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut “Ada hubungan
yang positif dan signifikan antara Pola Asuh Orang Tua dan Motivasi Berprestasi
Siswa Kelas VIII SMP Negeri 28 Semarang Tahun Pelajaran 2011/2012”.