bab ii landasan teori dan pengembangan hipotesiseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4685/4/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
12
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori
1. Laporan Keuangan
a. Pengertian Laporan Keuangan
Menurut Harahap (2004:201) laporan keuangan merupakan
output dan hasil akhir dari proses akuntansi. Laporan keuangan
inilah yang menjadi bahan informasi bagi para pemakainya sebagai
salah satu bahan dalam proses pengambilan keputusan. Selain
sebagai informasi, laporan keuangan juga sebagai
pertanggungjawaban atau accountability, sekaligus
menggambarkan indikator kesuksesan suatu perusahaan dalam
mencapai tujuannya.
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 1
tahun 2007 tentang Penyajian Laporan Keuangan Paragraf 2,
laporan keuangan untuk tujuan umum pada intinya adalah laporan
keuangan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan semua
pemakai laporan keuangan bagi pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa laporan keuangan memperlihatkan kondisi keuangan
perusahaan. Laporan keuangan tersebut di dalamnya memuat
informasi-informasi yang dibutuhkan pihak-pihak yang
berkepentingan baik pihak internal maupun eksternal perusahaan.
13
Laporan keuangan yang disajikan harus memenuhi hal-hal yang
dapat mempengaruhi kualitas dari laporan keuangan tersebut.
Menurut Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan
Keuangan, terdapat empat karakteristik kualitatif pokok yaitu,
dapat dipahami, relevan, keandalan dan dapat dibandingkan.
1. Dapat dipahami
Kualitas penting informasi yang ada dalam laporan keuangan
adalah dapat dipahami oleh pengguna laporan keuangan.
Pengguna laporan keuangan diasumsikan memiliki pengetahuan
tentang aktivitas bisnis, akuntansi dan ekonomi.
2. Relevan
Informasi dalam laporan keuangan dapat dikatakan relevan
apabila dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pengguna.
3. Keandalan
Informasi memiliki kualitas andal jika informasi tersebut tidak
menyesatkan, kesalahan material, jujur dan wajar.
4. Dapat dibandingkan
Laporan keuangan tersebut dapat dibandingkan sehingga
pegguna dapat mengidentifikasi kecenderungan posisi dan
kinerja keuangan perusahaan.
b. Tujuan Laporan Keuangan
Tujuan laporan keuangan menurut Harahap (2004:126) adalah
membuat keputusan yang menyangkut penggunaan kekayaan yang
14
terbatas dan untuk menetapkan tujuan, mengarahkan dan
mengontrol secara efektif sumber daya manusia dan faktor
produksi lainnya, memelihara dan melaporkan pengamanan
terhadap kekayaan dan membantu fungsi dan pengawasan sosial.
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 1
tahun 2007 tentang Penyajian Laporan Keuangan Paragraf 5, tujuan
laporan keuangan adalah memberikan informasi tentang posisi
keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan.
Berdasarkan beberapa tujuan laporan keuangan tersebut dapat
disimpulkan tujuan utama laporan keuangan adalah untuk
memberikan informasi bagi para pemakai informasi keuangan.
Informasi tersebut berisi tentang kondisi keuangan perusahaan
kepada pemakai informasi keuangan yang berkepentingan sebagai
dasar pengambilan keputusan. Informasi keuangan juga dapat
membantu para pemakainya dalam membuat keputusan.
c. Pengguna Laporan Keuangan
Pengguna laporan keuangan adalah pihak-pihak yang
berkepentingan atas laporan keuangan tersebut. Pengguna laporan
keuangan menurut Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian
Laporan Keuangan tahun 2007 Paragraf 5, pengguna laporan
keuangan meliputi investor, karyawan, pemberi pinjaman,
pemasok dan kreditur usaha lainnya, pelanggan, pemerintah serta
lembaga-lembaganya dan masyarakat.
15
Investor menggunakan laporan keuangan agar mengetahui
kondisi keuangan perusahaan sehingga dapat mengetahui risiko
dari investasi yang dilakukan. Karyawan menggunakan laporan
keuangan sebagai informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas
perusahaan. Pemberi pinjaman menggunakan laporan keuangan
untuk pertimbangan dalam pembuatan keputusan apakah pinjaman
serta bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo. Pemasok dan
kreditur usaha lainnya menggunakan laporan keuangan yang
memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah jumlah yang
terutang akan dibayar pada saat jatuh tempo. Pelanggan
menggunakan laporan keuangan terutama jika mereka terlibat
perjanjian dan bergantung dengan perusahaan. Pemerintah
menggunakan laporan keuangan sehubungan dengan alokasi
sumber daya. Masyarakat dapat tertarik dan mau berinvestasi
dengan melihat informasi mengenai laporan keuangan perusahaan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa pengguna laporan keuangan adalah semua pihak yang
berasal dari internal maupun eksternal perusahaan yang
mempunyai tujuan masing-masing atas informasi kondisi keuangan
perusahaan dalam bentuk laporan keuangan. Pengguna laporan
keuangan tersebut meliputi investor, karyawan, pemberi pinjaman,
pemasok dan kreditur usaha lainnya, pelanggan, pemerintah serta
lembaga-lembaganya dan masyarakat.
16
d. Komponen Laporan Keuangan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 1 tahun 2007
Paragraf 7, laporan keuangan yang lengkap terdiri atas neraca,
laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas dan
catatan atas laporan keuangan. Berikut ini adalah penjelasannya.
1. Neraca
Neraca menurut Baridwan (1999:18-19) adalah laporan yang
menunjukkan keadaan keuangan suatu unit usaha pada tanggal
tertentu. Keadaan keuangan ini ditunjukkan dengan jumlah harta
yang dimiliki yang disebut aktiva dan jumlah kewajiban
perusahaan yang disebut pasiva atau dengan kata lain aktiva
adalah investasi di dalam perusahaan dan pasiva merupakan
sumber-sumber yang digunakan untuk investasi tersebut.
Neraca menurut Harahap (2004:205-206) menggambarkan
posisi keuangan perusahaan dalam suatu tanggal tertentu atau a
moment of time misalnya, per tanggal 31 Desember 1999.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
neraca adalah laporan yang menunjukkan posisi keuangan
perusahaan pada saat periode akuntansi tertentu. Keadaan
keuangan ini ditunjukkan dengan jumlah harta yang dimiliki
yang disebut aktiva dan jumlah kewajiban perusahaan yang
disebut pasiva.
17
Komponen neraca menurut Harahap (2004:206-211) yang
pertama adalah harta, yaitu sesuatu yang di masa depan dapat
diharapkan memberikan net cash inflow yang positif kepada
perusahaan. Kedua, utang atau kewajiban adalah kewajiban
ekonomis dan saldo kredit dari suatu perusahaan yang harus
diakui dan dinilai sesuai prinsip akuntansi. Ketiga, modal adalah
suatu hak yang tersisa atas aktiva suatu lembaga (entity) setelah
dikurangi kewajibannya. Komponen neraca menurut Baridwan
(1999:20) yang pertama adalah aktiva, terdiri dari aktiva lancar,
investasi jangka panjang, aktiva tetap berwujud, aktiva tetap
tidak berwujud dan aktiva lainnya. Kedua, utang terdiri dari
utang lancar, pendapatan yang diterima di muka, utang jangka
panjang dan utang lain-lain. Ketiga, modal terdiri dari modal
saham yang disetor, agio/disagio saham, cadangancadangan,
laba tidak dibagi.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
komponen utama neraca adalah harta (aktiva), utang dan modal.
Harta merupakan sesuatu yang di masa depan diharapkan dapat
memberikan net cash inflow yang positif kepada perusahaan.
Utang merupakan kewajiban ekonomis dan saldo kredit dari
suatu perusahaan yang harus diakui. Modal adalah suatu hak
yang tersisa atas aktiva suatu lembaga (entity) setelah dikurangi
kewajibannya.
18
2. Laporan Laba Rugi
Laporan laba rugi adalah suatu laporan yang menunjukkan
pendapatan dan biaya-biaya dari suatu unit usaha untuk suatu
periode tertentu. Selisih antara pendapatan dan biaya merupakan
laba yang diperoleh atau rugi yang diderita oleh perusahaan.
Laporan laba rugi yang kadang-kadang disebut laporan
penghasilan atau laporan pendapatan dan biaya merupakan
laporan yang menunjukkan kemajuan keuangan perusahaan dan
juga merupakan tali penghubung dua neraca yang berurutan
(Baridwan, 1999:30).
Menurut Harahap (2004:223), laporan laba rugi melaporkan
seluruh hasil dan biaya untuk mendapatkan hasil dan laba (rugi)
perusahaan selama suatu periode tertentu. Kita perlu mengetahui
mana yang termasuk hasil dan mana yang termasuk biaya untuk
menyusun laporan ini. Menurut Baridwan (1999:30-31) unsur-
unsur laporan laba rugi adalah pendapatan (revenue), biaya
(expense), penghasilan (income), laba (gain), rugi (loss) dan
harga perolehan (cost).
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
laporan laba rugi adalah laporan yang menunjukkan pendapatan
dikurangi dengan biaya-biaya. Hasil dari pengurangan tersebut
merupakan laba atau rugi. Unsur-unsur yang terdapat dalam
19
laporan laba rugi adalah komponen-komponen yang termasuk
pendapatan dan termasuk beban.
3. Laporan Perubahan Ekuitas
Pada akhir periode akuntansi biasanya juga disusun laporan
yang menunjukkan sebab-sebab perubahan ekuitas perusahaan
selain penyusunan neraca dan laporan laba rugi. Menurut
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 1 tahun 2007
Paragraf 67, perubahan ekuitas perusahaan menggambarkan
peningkatan atau penurunan aset bersih atau kekayaan selama
periode bersangkutan.
Laporan perubahan ekuitas menggambarkan perubahan
peningkatan atau penurunan modal perusahaan yang disebabkan
oleh adanya laba atau rugi perusahaan tersebut. Peningkatan
atau penurunan modal tersebut didasarkan pada prinsip
pengukuran tertentu yang dianut dan harus diungkapkan dalam
laporan keuangan.
4. Laporan Arus Kas
Menurut Baridwan (1999:43), tujuan utama laporan aliran
kas adalah untuk menyajikan informasi relevan tentang
penerimaan dan pengeluaran kas suatu perusahaan selama
periode tertentu. Menurut Harahap (2004:243), tujuan
menyajikan Laporan arus kas adalah memberikan informasi
20
yang relevan tentang penerimaan dan pengeluaran kas atau
setara kas dari suatu perusahaan pada suatu periode tertentu.
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 2
(Reformat 2007) Paragraf 5, arus kas merupakan arus masuk
dan arus keluar atau setara kas. Setara kas (cash equivalent)
adalah investasi yang likuid, berjangka pendek dan cepat dapat
dijadikan kas dalam jumlah tertentu tanpa menghadapi risiko
perubahan nilai yang signifikan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
arus kas adalah arus masuk dan arus keluar atau setara kas.
Laporan arus kas sangat berguna untuk pengambilan keputusan
terutama dalam menilai bagaimana perusahaan mengelola dana
dan keuangan dan juga berguna untuk menganalisis laporan
keuangan.
5. Catatan Atas Laporan Keuangan
Menurut Harahap (2004:219), catatan dan penjelasan
laporan keuangan (notes to financial statement) merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari laporan keuangan. Hal-hal
yang diungkap adalah:
kebijaksanaan akuntansi yang terdiri dari penjelasan
tentang perkara di pengadilan jika ada, kewajiban
kontijensi, laba rugi kontijensi dan komitmen yang tidak
biasa,
21
rencana penggabungan usaha,
penjelasan tentang saham,
jumlah penyusutan dan biaya riset dan pengembangan,
penjelasan pos penting,
penjelasan tentang pajak penghasilan, komposisi, restitusi
dan perkara majlis perpajakan.
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 1
tahun 2007 Paragraf 69, catatan atas laporan keuangan
mengungkapkan dasar penyusunan laporan keuangan dan
kebijakan akuntansi, informasi yang diwajibkan dalam PSAK
tetapi tidak disajikan di laporan keuangan, informasi tambahan
yang tidak disajikan dalam laporan keuangan tetapi diperlukan
dalam rangka penyajian secara wajar.
Catatan atas laporan keuangan harus disajikan secara
sistematis. Catatan atas laporan keuangan dibuat untuk
memperjelas pemakai laporan keuangan untuk memudahkan
pemakai laporan keuangan tersebut dalam memahami laporan
keuangan sebagai dasar pengambilan keputusan perusahaan.
2. Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori agensi pertama kali dipopulerkan oleh Jensen dan Meckling
(1976), dalam teori ini dinyatakan bahwa hubungan keagenan muncul
ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain
22
(agen) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan
wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut.
Dalam hal ini pemegang saham sebagai principal mempunyai
asumsi bahwa pemegang saham hanya tertarik pada hasil keuangan
yang bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan.
Sedangkan para agen diasumsikan menerima kepuasan berupa
kompensasi keuangan dan syarat-syarat yang berlaku dalam hubungan
tersebut (Terzaghi, 2012). Hubungan antara agen dan principal
(pemegang saham) harus memiliki kepercayaan yang kuat, dimana
agent melaporkan segala informasi perkembangan perusahaan yang
dimiliki oleh principal melalui segala bentuk informasi akuntansi
karena hanya pihak manajemen yang mengetahui dengan pasti keadaan
perusahaan. Eisenhardt (dalam Sam’ani, 2008) menyatakan bahwa
teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu:
(1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self
interest),
(2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
mendatang (bounded rationality)
(3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse).
Dengan adanya asumsi sifat dasar manusia tersebut maka seorang
manajer akan cenderung bertindak oportunis, yaitu lebih
mengutamakan kepentingan pribadinya dan hal tersebut memicu
terjadinya konflik keagenan.
23
Teori ini memiliki asumsi bahwa setiap individu semata-mata
termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan
konflik kepentingan antara principal dan agent (Gerianta, 2009). Oleh
karena itu, teori keagenan lebih menekankan pada penentuan kontrol
yang efisiensi dalam hubungan pemilik dengan agen. Dengan
demikian, dibutuhkan kontrak yang efisien yaitu kontrak yang jelas
untuk masing-masing pihak yang berisi tentang hak dan kewajiban,
dengan demikian dapat meminimumkan konflik keagenan.
Teori agensi mengasumsikan bahwa seorang manajer sebagai
pengelola perusahaan mengetahui lebih banyak informasi-informasi
internal dan prospek perusahaan pada waktu kedepan dibandingkan
pemilik (pemegang saham), karena pemilik (pemegang saham) tidak
memiliki informasi yang cukup mengenai kinerja agen, maka pemilik
(pemegang saham) tidak pernah dapat mengetahui dengan pasti
bagaimana usaha agen memberikan kontribusi pada hasil aktual
perusahaan (Indriyani, 2010). Oleh karena itu, sebagai seorang
manajer mempunyai kewajiban untuk memberikan sinyal mengenai
kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat
dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan
keuangan.
Laporan keuangan tersebut penting bagi para pengguna eksternal
terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling
besar ketidakpastiannya (Ali, 2002). Adanya ketidakseimbangan
24
penguasaan informasi akan memicu munculnya suatu kondisi yang
disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Asimetri
antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) dapat
memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan
manajemen laba (earnings management) dalam rangka menyesatkan
pemilik (pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan.
Corporate governance sebagai efektivitas mekanisme yang
bertujuan meminimalisasi konflik keagenan, dan merupakan salah satu
elemen kunci dalam meningkatkan efisiensi ekonomis, yang meliputi
hubungan antara dewan komisaris, manajemen perusahaan, dan para
pemegang saham. Corporate governance adalah suatu konsep yang
berdasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai
alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka
akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan.
Corporate governance berkaitan dengan bagaimana para investor
yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka,
yakin bahwa manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau
menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan
berkaitan dengan dana/kapital yang telah ditanamkan oleh investor,
dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengontrol para
manajer (Shleifer dan Vishny, 1997). Dengan kata lain corporate
governance diharapkan dapat berfungsi untuk menekan atau
menurunkan biaya keagenan (agency cost).
25
3. Good Corporate Governance
a. Pengertian Good Corporate Governance
Corporate governance merupakan salah satu elemen penting
dalam perusahaan yang meliputi serangkaian hubungan antara
manajemen perusahaan, dewan komisaris, pemegang saham, dan
stakeholders lainnya. Isu mengenai corporate governance ini mulai
muncul, khususnya di Indonesia setelah Indonesia mengalami masa
krisis yang berkepanjangan sejak tahun 1998. Banyak pihak yang
mengatakan lamanya proses perbaikan di Indonesia disebabkan
oleh sangat lemahnya corporte governance yang diterapkan dalam
perusahaan di Indonesia.
Kausalya et al. (2013: 118), mengungkapkan bahwa corporate
governance mengacu pada sistem, prinsip-prinsip dan proses di
mana sebuah perusahaan diatur. Corporate governance
menyediakan pedoman bagaimana mengendalikan dan
mengarahkan perusahaan sehingga dapat memenuhi tujuan dan
sasaran yang dapat menambah nilai perusahaan dan dapat
bermanfaat untuk seluruh stakeholder dalam jangka panjang.
Stakeholder dalam hal ini, termasuk semua pihak dari dewan
direksi, manajemen, pemegang saham, karyawan dan masyarakat.
b. Tujuan Good Corporate Governance
Tujuan utama corporate governance seperti yang dinyatakan
dalam OECD (2004: 13) adalah:
26
1) Untuk mengurangi kesenjangan (gap) antara pihak-pihak
yang memiliki kepentingan dalam suatu perusahaan
(pemegang saham mayoritas dan pemegang saham lainnya).
2) Meningkatkan kepercayaan bagi para investor dalam
melakukan investasi.
3) Mengurangi biaya modal (cost of capital).
4) Meyakinkan kepada semua pihak atas komitmen legal
dalam pengelolaan perusahaan.
5) Menciptakan nilai bagi perusahaan termasuk hubungan
antara para stakeholders (kreditur, investor, karyawan
perusahaan, bondholders, pemerintah dan shareholders).
c. Prinsip-prinsip Dasar Good Corporate Governanace
Menurut FCGI (2000: 2), terdapat prinsip dasar good corporate
governance yang berlaku secara universal. Gambaran untuk
berhasil dalam bersaing suatu perusahaan harus mempunyai
pengelolaan perusahaan yang inovatif dan bersedia mengambil
risiko yang wajar, serta senantiasa mengembangkan strategi baru
untuk megantisipasi situasi yang berubah-ubah.
Pada tahun 1999 (direvisi pada tahun 2004), Organization for
Economic Co-Operation and Development (OECD), telah
mengeluarkan seperangkat prinsip corporate governance yang
dikembangkan seuniversal mungkin. Hal ini mengingat bahwa
prinsip ini disusun untuk digunakan sebagai referensi di berbagai
27
negara yang mempunyai karakteristik sistem hukum, budaya, dan
lingkungan yang berbeda. Dengan demikian, prinsip yang
universal tersebut akan dapat dijadikan pedoman oleh semua
negara atau perusahaan namun diselaraskan dengan sistem hukum,
aturan, atau nilai yang berlaku di negara masing-masing bilamana
diperlukan. Prinsip-prinsip corporate governance yang
dikemukakan oleh OECD (2004) yaitu:
1) Memastikan dasar bagi kerangka corporate governance
yang efektif (Ensuring The Basis for an Effective
Corporate governance Framework).
Kerangka corporate governance harus meningkatkan
pasar yang transparan dan efisien, konsisten dengan aturan
hukum dan secara jelas mengartikulasikan pembagian
kewajiban antara pengawas, regulator dan otoritas
pelaksanaan yang berbeda.
2) Hak-hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan kunci
(The Rights of Shareholders and Key Ownership Functions)
Kerangka corporate governance harus melindungi dan
memfasilitasi penggunaan hak-hak pemegang saham.
3) Persamaan perlakuan bagi pemegang saham (The Equitable
Treatment of Shareholders)
Kerangka coprporate governance harus memastikan
persamaan perlakuan bagi seluruh pemegang saham,
28
termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Semua
pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk
memperoleh penggantian kembali secara efektif atas
pelanggaran hak-hak mereka.
4) Peranan shareholder dalam corporate governance (The Role
of Stakeholders in Corporate governance)
Kerangka corporate governance harus mengakui hak-
hak stakeholder yang ditetapkan oleh hukum atau melalui
mutul agreement dan mendorong kerjasama aktif antara
korporat dan stakeholder dalam menciptakan kemakmuran,
pekerjaan, dan perusahaan yang memiliki sustainable.
5) Pengungkapan dan transparansi (Disclosure and
Transparency)
Kerangka corporate governance harus memastikan
bahwa pengungkapan yang tepat waktu dan akurat telah
dibuat atas semua hal yang material menyangkut
korporat, termasuk situasi keuangan, kinerja,
kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan.
6) Kewajiban dewan (The Responsibilities of the Board)
Kerangka corporate governance harus memastikan
pedoman strategis perusahaan, pengawasan yang efektif
terhadap manajemen oleh dewan, dan akuntabilitas dewan
kepada perusahaan dan pemegang saham.
29
Menurut Pedoman Umum KNKG (Komite Nasional Kebijakan
Governance) (2006: 3), Good Corporate Governanace diperlukan
untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan
konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu,
penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling
berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator,
dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai
pengguna produk dan jasa dunia usaha.
Menurut KNKG (2006: 5-7), asas good corporate governance
meliputi lima macam yaitu:
1) Transparansi (Transparency)
Objektivitas dalam menjalankan bisnis harus tetap
dijaga sehingga perusahaan harus menyediakan informasi
yang material, relevan, serta mudah diakses dan dipahami
oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Perusahaan harus
mengungkapkan informasi perusahaan yang tidak hanya
disyaratkan oleh peraturan atau undang-undang saja tetapi
perusahaan juga harus mempunyai inisiatif untuk
mengungkapkan informasi yang dapat membantu untuk
pengambilan keputusan oleh para pemegang saham,
kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya.
2) Akuntabilitas (Accountability)
30
Akuntabilitas diperlukan untuk mencapai kinerja yang
berkesinambungan. Perusahaan harus dikelola secara benar,
terukur, dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan
tetap memperhatikan kepentingan pemegang saham.
Perusahaan diharuskan untuk mempertanggung jawabkan
kinerjanya secara transparan dan wajar kepada pihak-pihak
yang berkepentingan.
3) Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi perundang-undangan serta
melaksanakan tanggungjawab terhadap masyarakat dan
lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan
usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan
sebagai good corporate citizen.
4) Independensi (Independency)
Perusahaan harus dikelola secara independen sehingga
masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi
dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
5) Kewajaran dan Kesetaraan (fairness)
Perusahaan harus senantiasa memperhatikan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan
lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
31
d. Mekanisme Good Corporate Governance
Menurut Sutedi (2012), mekanisme good corporate governance
mekanisme eksternal dan internal perusahaan diantaranya :
1) Mekanisme eksternal
Mekanisme eksternal dipengaruhi oleh faktor eksternal
perusahaan yang meliputi investor, akuntan publik, pemberi
pinjaman dan lembaga yang mengesahkan legalitas.
2) Mekanisme internal
Mekanisme internal dipengaruhi oleh faktor internal
perusahaan yang meliputi kepemilikan institusional,
kepemilikan manajerial, dewan komisaris independen dan
komite audit.
a. Kepemilikan Institusional
Pemegang saham institusional adalah pemegang
saham perusahaan oleh pemerintah, institusi keuangan,
institusi berbadan hukum, institusi luar negeri, dana
perwalian dan institusi lainnya. Adanya kepemilikan
institusional disuatu perusahaan akan mendorong
peningkatan pengawasan agar terhadap kinerja
manajemen.
Semakin besar kepemilikan institusi maka akan
semakin besar kekuatan suara dan dorongan dari institusi
keuangan tersebut untuk mengawasi manajemen dan
32
akibatnya akan memberikan dorongan yang lebih besar
bagi manajemen untuk mengoptimalkan kinerja
perusahaan dan menyelaraskan kepentingan manajemen
dengan pemegang saham atau stakeholder. Cornett et al.,
(2006) menyatakan bahwa tindakan pengawasan yang
dilakukan oleh sebuah perusahaan dan investor
institusional dapat membatasi perilaku manajer.
Dengan demikian, keberadaan investor institusional
dapat mendorong manajer untuk mendorong perhatiannya
terhadap kinerja perusahaan, sehingga investor
institusional dianggap mampu menjadi mekanisme
monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang
diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor
institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis
sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan
manipulasi laba.
b. Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial merupakan jumlah saham yang
dimiliki oleh manajemen perusahaan. Kepemilikan
manajerial dapat diukur dengan menghitung persentase
saham yang dimiliki oleh manajemen perusahaan dengan
seluruh jumlah saham perusahaan yang beredar. Salah satu
mekanisme corporate governance yang dapat digunakan
33
untuk mengurangi agency cost adalah dengan meningkatkan
kepemilkan saham oleh manajemen.
Jensen dan Meckling (1976) dalam Setiwan (2009),
menyatakan bahwa kepemilikan saham perusahaan oleh
manajemen dapat menyetarakan kepentingan pemegang
saham dengan kepentingan manajer sehingga konflik
kepentingan antara pemegang saham dan manajer dapat
dikurangi.
Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba
sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan.
Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran
manajemen laba yang berbeda, seperti antara manajer yang
juga sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang
tidak sebagai pemegang saham. Kepemilikan seorang
manajer akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan
keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan
dalam penyusunan laporan keuangan, sehingga persentase
tertentu kepemilikan saham oleh pihak manajemen
cenderung mempengaruhi tindakan manajemen laba.
c. Dewan Komisaris Independen
Dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas
dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan
pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta
34
memastikan bahwa perusahaan melaksanakan good
corporate governance. Namun, dewan komisaris tidak
boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional.
Kedudukan masing–masing anggota dewan komisaris
termasuk komisaris utama adalah setara.
Menurut KNKG (2006: 13), agar pelaksanaan tugas
dewan komisaris dapat berjalan secara efektif, perlu
dipenuhi prinsip-prinsip berikut:
a. Komposisi dewan komisaris harus memungkinkan
pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan
cepat, serta dapat bertindak independen.
b. Anggota dewan komisaris harus profesional, yaitu
berintegritas dan memiliki kemampuan sehingga
dapat menjalankan fungsinya dengan baik
termasuk memastikan bahwa direksi telah
memperhatikan kepentingan semua pemangku
kepentingan.
c. Fungsi pengawasan dan pemberian nasihat dewan
komisaris mencakup tindakan pencegahan,
perbaikan, sampai kepada pemberhentian
sementara.
Jumlah dari dewan komisaris dapat disesuaikan dengan
keadaan perusahaan. Dewan komisaris dapat terdiri dari
35
komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi yang
dikenal sebagai komisaris independen dan komisaris yang
terafiliasi. Pihak yang terafiliasi adalah pihak yang
mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan
pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan
komisaris lain, serta dengan perusahaan. Jumlah komisaris
independen harus dapat menjamin agar mekanisme
pengawasan berjalan secara efektif dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Salah satu dari komisaris
independen harus mempunyai latar belakang akuntansi atau
keuangan.
d. Komite audit
Sesuai dengan Kep. 29/PM/2004 dalam Nasution dan
Setiawan (2007), komite audit adalah komite yang dibentuk
oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan
pengelolaan perusahaan. Keberadaan komite audit sangat
penting bagi pengelolaan perusahaan. Komite audit
merupakan komponen baru dalam sistem pengendalian
perusahaan. Selain itu komite audit dianggap sebagai
penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris
dengan pihak manajemen dalam menangam masalah
pengendalian.
36
Berdasarkan Surat Edaran BEl, SE-008/BEJ/12-2001
dalam Nasution dan Setiawan (2007), keanggotaan komite
audit terdiri dari sekurang–kurangnya tiga orang termasuk
ketua komite audit. Anggota komite ini yang berasal dari
komisaris hanya sebanyak satu orang, anggota komite yang
berasal dari komisaris tersebut merupakan komisaris
independen perusahaan tercatat sekaligus menjadi ketua
komite audit. Anggota lain yang bukan merupakan
komisaris independen harus berasal dari pihak eksternal
yang independen. Tugas komite audit mencakup menurut
Tunggal 2002 dalam Setiawan (2009):
a) Meningkatkan disiplin korporat dan lingkungan
pengendalian untuk mencegah kecurangan dan
penyalahgunaan.
b) Memperbaiki mutu dalam pengungkapan pelaporan
keuangan.
c) Memperbaiki ruang lingkup, akurasi dan efektivitas
biaya dari audit ekstemal dan independensi dan
obyektivitas dari auditor ekstemal.
4. Rasio Keuangan
Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari proses akuntansi
yang memberikan gambaran tentang keadaan posisi keuangan, hasil
usaha, serta perubahan dalam posisi keuangan suatu perusahaan.
37
Dalam rangka memahami informasi tentang laporan keuangan,
analisis laporan keuangan sangat dibutuhkan. Analisis laporan
keuangan meliputi perhitungan dan interpretasi rasio keuangan.
Analisis laporan keuangan ini nantinya dapat membantu para pelaku
bisnis, baik pemerintah dan para pemakai laporan keuangan lainnya
dalam menilai kondisi keuangan suatu perusahaan. Adapun rasio-rasio
umum keuangan yang sering digunakan antara lain:
a. Rasio likuiditas
Rasio likuiditas adalah rasio yang menggambarkan
kemampuan suatu perusahaan untuk melunasi semua
kewajiban yang harus segera dipenuhi (hutang jangka
pendeknya). Perusahaan yang mempunyai cukup kemampuan
untuk membayar hutang jangka pendek disebut perusahaan
yang likuid sedang bila tidak disebut ilikuid. Rasio likuiditas
yang umum dipergunakan untuk mengukur tingkat likuiditas
suatu perusahaan antara lain:
1. Current Ratio
Rasio ini membandingkan aktiva lancar dengan hutang
lancar. Current Ratio memberikan informasi tentang
kemampuan aktiva lancar untuk menutup hutang lancar.
Aktiva lancar meliputi kas, piutang dagang, efek,
persediaan, dan aktiva lainnya. Sedangkan hutang lancar
meliputi hutang dagang, hutang wesel, hutang bank,
38
hutang gaji, dan hutang lainnya yang segera harus dibayar
(Sutrisno, 2001:247). Rumus current ratio adalah:
CR =
X 100%
Semakin besar perbandingan aktiva lancar dengan
hutang lancar, semakin tinggi kemampuan perusahaan
menutupi kewajiban jangka pendeknya. Apabila rasio
lancar 1:1 atau 100% berarti bahwa aktiva lancar dapat
menutupi semua hutang lancar. Jadi, dikatakan sehat jika
rasionya berada di atas 1 atau diatas 100%. Artinya
aktiva lancar harus jauh di atas jumlah hutang lancar
(Harahap, 2002:301) .
2. Quick Ratio
Quick ratio disebut juga acid test ratio, merupakan
perimbangan antara jumlah aktiva lancar dikurangi
persediaan, dengan jumlah hutang lancar. Persediaan tidak
dimasukkan dalam perhitungan quick ratio karena
persediaan merupakan komponen aktiva lancar yang paling
kecil tingkat likuiditasnya.
Quick ratio memfokuskan komponen-komponen aktiva
lancar yang lebih likuid yaitu: kas, surat-surat berharga, dan
piutang dihubungkan dengan hutang lancar atau hutang
jangka pendek (Martono, 2003:56). Jadi, rumusnya:
39
QR =
X 100%
Jika terjadi perbedaan yang sangat besar antara quick
ratio dengan current ratio, dimana current ratio meningkat
sedangkan quick ratio menurun, berarti terjadi investasi
yang besar pada persediaan.
Rasio ini menunjukkan kemampuan aktiva lancar yang
paling likuid mampu menutupi hutang lancar. Semakin
besar rasio ini semakin baik. Angka rasio ini tidak harus
100% atau 1:1. Walaupun rasionya tidak mencapai 100%
tapi mendekati 100% juga sudah dikatakan sehat (Harahap,
2002:302).
3. Cash Ratio
Rasio ini membandingkan antara kas dan aktiva lancar
yang bisa segera menjadi uang kas dengan hutang lancar.
Kas yang dimaksud adalah uang perusahaan yang disimpan
di kantor dan di bank dalam bentuk rekening Koran.
Sedangkan harta setara kas (near cash) adalah harta lancar
yang dengan mudah dan cepat dapat diuangkan kembali,
dapat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi Negara yang
menjadi domisili perusahaan bersangkutan.
Rumus untuk menghitung cash ratio adalah:
CR =
X 100%
40
Rasio ini menunjukkan porsi jumlah kas + setara kas
dibandingkan dengan total aktiva lancar. Semakin besar
rasionya semakin baik. Sama seperti Quick Ratio, tidak
harus mencapai 100% (Harahap, 2002:302).
b. Rasio Solvabilitas
Rasio solvabilitas adalah rasio yang menunjukkan
kemampuan perusahaan dalam memenuhi segala kewajibannya
baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila perusahaan
dilikuidasi. Perusahaan yang mempunyai aktiva/kekayaan yang
cukup untuk membayar semua hutang-hutangnya disebut
perusahaan yang solvable, sedang yang tidak disebut insolvable.
Perusahaan yang solvable belum tentu ilikuid, demikian juga
sebaliknya yang insolvable belum tentu ilikuid.
Macam-macam rasio keuangan yang berkaitan dengan rasio
solvabilitas yang biasa digunakan adalah:
1. Total Debt to Total Assets Ratio
Rasio yang biasa disebut dengan rasio hutang (debt
ratio) ini mengukur prosentase besarnya dana yang berasal
dari hutang. Hutang yang dimaksud adalah semua hutang
yang dimiliki oleh perusahaan baik yang berjangka pendek
maupun yang berjangka panjang. Kreditor lebih menyukai
debt ratio yang rendah sebab tingkat keamanan dananya
menjadi semakin baik (Sutrisno,2001:249). Untuk
41
mengukur besarnya rasio hutang ini digunakan rumus:
DEBT RATIO =
X 100%
Rasio ini menunjukkan sejauh mana hutang dapat
ditutupi oleh aktiva. Semakin kecil rasionya semakin aman
(solvable). Porsi hutang terhadap aktiva harus lebih kecil
(Harahap,2002:304).
2. Debt to Equity Ratio
Rasio hutang dengan modal sendiri (debt to equity ratio)
adalah imbangan antara hutang yang dimiliki perusahaan
dengan modal sendiri. Semakin tinggi rasio ini berarti
modal sendiri semakin sedikit dibanding dengan hutangnya.
Bagi perusahaan sebaiknya, besarnya hutang tidak boleh
melebihi modal sendiri agar beban tetapnya tidak terlalu
tinggi. Semakin kecil rasio ini semakin baik. Maksudnya,
semakin kecil porsi hutang terhadap modal, semakin aman.
Rumusnya:
DEBT TO EQUITY RATIO =
X 100%
c. Rasio Rentabilitas
42
Rasio rentabilitas atau profitabilitas adalah rasio yang
digunakan untuk mengukur kemampuan suatu perusahaan
dalam mendapatkan laba.
Ada beberapa ukuran rasio rentabilitas yang dipakai, yakni:
1. Profit Margin
Rasio ini menghitung sejauh mana kemampuan
perusahaan menghasilkan laba bersih pada tingkat
penjualan tertentu. Rasio ini bisa diintepretasikan juga
sebagai kemampuan perusahaan menekan biaya-biaya
(ukuran efisiensi) di perusahaan pada periode tertentu
(Hanafi dan Halim, 2000:84). Rasio profit margin bisa
dihitung sebagai berikut:
PM =
X 100%
Rasio ini menunjukkan berapa besar persentase
pendapatan bersih yang diperoleh dari setiap penjualan.
Semakin besar rasionya semakin baik, karena dianggap
kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba
cukup tinggi(Harahap,2002:304).
2. Gross Profit Margin
Gross Profit Margin merupakan perbandingan antara
laba kotor yang diperoleh perusahaan dengan tingkat
penjualan yang dicapai pada periode yang sama. Rasio
ini mencerminkan atau menggambarkan laba kotor yang
43
dapat dicapai setiap rupiah penjualan. Semakin besar
rasionya berarti semakin baik kondisi keuangan
perusahaan (Munawir, 2001:89).
Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:
GPM=
X 100%
Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan
menghasilkan laba yang akan menutupi biaya-biaya tetap
atau biaya operasi lainnya. Dengan pengetahuan atas
rasio ini dapat mengontrol pengeluaran untuk biaya tetap
atau biaya operasi sehingga perusahaan dapat menikmati
laba. Semakin besar rasionya semakin baik (Harahap,
2002:306).
3. Net Profit Margin
Net Profit Margin atau Margin Laba Bersih
digunakan untuk mengukur rupiah laba bersih yang
dihasilkan oleh setiap satu rupiah penjualan dan
mengukur seluruh efisien, baik produksi, administrasi,
pemasaran, pendanaan, penentuan harga maupun
manajemen pajak. Semakin tinggi rasionya menunjukkan
kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang tinggi
pada tingkat penjualan tertentu.
Tetapi jika rasionya rendah menunjukkan penjualan
44
yang terlalu rendah untuk tingkat biaya tertentu, atau
biaya yang terlalu tinggi untuk tingkat penjualan tertentu,
atau kombinasi dari kedua hal tersebut (Prastowo dan
Juliaty, 2003:91). Rasio ini dapat dihitung dengan
rumus:
NPM =
X 100%
Rasio ini mengukur jumlah rupiah laba bersih yang
dihasilkan oleh setiap satu rupiah penjualan. Semakin
tinggi rasionya semakin baik, karena menunjukkan
kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang tinggi
pada tingkat penjualan tertentu.
4. Return On Investment (ROI)
Return On Investment merupakan kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan keuntungan yang akan
digunakan untuk menutup investasi yang dikeluarkan.
Laba yang digunakan untuk mengukur rasio ini adalah
laba bersih setelah pajak atau EAT (Sutrisno, 2001:255).
Rasio ini dihitung dengan rumus:
ROI =
X 100%
Rasio ini mengukur jumlah rupiah laba bersih
(setelah pajak) yang dihasilkan oleh setiap satu rupiah
45
investasi yang dikeluarkan. Semakin besar rasionya
semakin baik (Sutrisno, 2001:255).
5. Return On Assets
Rasio ini disebut juga rentabilitas ekonomis,
merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
laba dengan semua aktiva yang dimiliki oleh perusahaan.
Dalam hal ini laba yang dihasilkan adalah laba sebelum
bunga dan pajak atau EBIT (Sutrisno, 2001:254).
Rasio ini dihitung dengan rumus:
ROA =
X 100%
Rasio ini mengukur tingkat keuntungan (EBIT) dari
aktiva yang digunakan. Semakin besar rasionya semakin
baik (Sutrisno,2001:254).
d. Rasio Aktivitas
Rasio ini melihat pada beberapa asset kemudian
menentukan berapa tingkat aktivitas aktiva-aktiva tersebut
pada tingkat kegiatan tertentu. Aktivitas yang rendah pada
tingkat penjualan tertentu akan mengakibatkan semakin
besarnya dana kelebihan yang tertanam padaaktiva-aktiva
tersebut. Dana kelebihan tersebut akan lebih baik bila
ditanamkan pada aktiva lain yang lebih produktif. Beberapa
rasio aktivitas yang digunakan adalah:
1. Perputaran Piutang
46
Rasio ini mengukur berapa kali, secara rata-rata
piutang yang dikumpulkan dalam satu tahun. Rasio ini
mengukur kualitas piutang dan efisiensi perusahaan
dalam pengumpulan piutang dan kebijakan kreditnya.
Rasio ini biasanya digunakan dalam hubungan dengan
analisis terhadap modal kerja, karena memberi ukuran
seberapa cepat piutang perusahaan berputar menjadi kas.
Angka jumlah hari piutang, menggambarkan lamanya
suatu piutang bisa ditagih (jangka waktu pelunasan).
Semakin lama jangka waktu pelunasannya,semakin besar
pula resiko kemungkinan tidak tertagihnya piutang
(Prastowo dan Juliaty, 2003:82).
Rasio ini dapat dihitung dengan rumus:
Perputaran Piutang =
Rasio ini mengukur efektivitas peng elolaan piutang.
Semakin tinggi tingkat perputarannya semakin efektif
pengelolaan piutangnya (Sutrisno, 2001:252).
2. Perputaran Persediaan
Seperti halnya perputaran piutang, rasio ini juga
menggambarkan likuiditas perusahaan, yaitu dengan cara
mengukur efisiensi perusahaan dalam mengelola dan
47
menjual persediaan yang dimiliki oleh perusahaan.
Perputaran persediaan yang tinggi menandakan
semakin tingginya persediaan berputar dalam satu tahun.
Hal ini menandakan efektivitas manajemen persediaaan.
Sebaliknya, jika perputaran persediaan rendah
menunjukkan pengendalian atas persediaan kurang
efektif (Hanafi dan Halim, 2000:80).
Rumus perhitungannya adalah:
Perputaran Persediaan=
Rasio ini mengukur efektivitas pengelolaan
persediaan. Semakin tinggi tingkat perputarannya
semakin efektif pengelolaan persediaanya (Sutrisno,
2001:251).
3. Perputaran Aktiva Tetap
Rasio ini mengukur sejauh mana kemampuan
perusahaan menghasilkan penjualan berdasarkan aktiva
tetap yang dimiliki perusahaan. Rasio ini
memperlihatkan sejauh mana efektivitas perusahaan
menggunakan aktiva tetapnya. Semakin tinggi rasio ini
berarti semakin efektif proporsi aktiva tetap tersebut.
Pada beberapa industri seperti industri yang mempunyai
proporsi aktiva tetap yang tinggi, rasio ini cukup penting
48
diperhatikan. Sedangkan pada beberapa industri yang
lain seperti industri jasa yang mempunyai proporsi aktiva
tetap yang kecil, rasio ini barangkali tidak begitu penting
untuk diperhatikan (Hanafi dan Halim, 2000:81).
Perputaran aktiva tetap dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
Perputaran Aktiva Tetap=
Rasio ini mengukur efektivitas penggunaan aktiva
tetap dalam mendapatkan penghasilan. Semakin tinggi
tingkat perputarannya semakin efektif penggunaan aktiva
tetapnya (Sutrisno, 2001:253).
4. Perputaran Total Aktiva
Rasio yang terakhir untuk komponen rasio aktivitas
adalah rasio perputaran total aktiva. Sama seperti halnya
rasio perputaran aktiva tetap, rasio ini menghitung
efektivitas penggunaan total aktiva. Rasio yang tinggi
biasanya menunjukkan manajemen yang baik, sebaliknya
rasio yang rendah harus membuat manajemen
mengevaluasi strategi, pemasarannya, dan pengeluaran
investasi atau modalnya (Hanafi dan Halim, 2000:81).
Rasio perputaran total aktiva menggunakan rumus:
Perputaran Total Aktiva=
49
Rasio ini merupakan ukuran efektivitas pemanfaatan
aktiva dalam menghasilkan penjualan. Semakin tinggi
tingkat perputarannya semakin efektif perusahaan
memanfaatkan aktivanya (Sutrisno, 2001:253).
Leverage adalah penggunaan biaya tetap dalam usaha untuk
meningkatkan profitabilitas. Ketika suatu pengungkit (level) digunakan
dengan tepat, maka tekanan yang diterapkan pada suatu titik akan
dibentuk atau diperbesar menjadi tekanan atau gerakan dititik lain.
Leverage mempengaruhi tingkat dan variabilitas pendapatan setelah
pajak yang selanjutnya mempengaruhi tingkat risiko dan
penegembalian perusahaan secara keseluruhan. Semakin besar tingkat
leverage berarti tingkat ketidakpastian return tinggi, namun disisi lain
jumlah return yang diberikan akan semakin besar pula (Van Horne et
al., 2007: 182). Leverage merupakan alat untuk mengukur seberapa
besar perusahaan tergantung pada kreditur dalam membiayai aset
perusahaan. Tingkat leverage setiap perusahaan akan berbeda-beda.
Dalam satu perusahaan pun tingkat leverage antar periode satu dengan
periode lainnya.
Menurut Brigham dan Houston (2006: 101) pembiayaan dengan
leverage atau utang memiliki tiga implikasi penting, yaitu:
50
a. Memperoleh dana dari utang membuat pemegang saham dapat
mempertahankan pengendalian atas perusahaan dengan investasi
yang terbatas.
b. Kreditur melihat ekuitas atau yang disetor pemilik untuk
memberikan margin pengaman sehingga jika pemegang saham
hanya memberikan sebagian kecil dari total pembiayaan, maka
risiko perusahaan sebagian besar ada pada kreditur.
c. Jika perusahaan memperoleh pengembalian yang lebih besar atas
investasi yang dibiayai dengan dana pinjaman dibanding
pembayaran bunga maka pengembalian atas modal pemilik akan
lebih besar.
Perusahaan-perusahaan yang memiliki rasio utang yang relatif
tinggi akan memiliki ekspektasi pengembalian yang lebih tinggi ketika
perekonomian berada dalam kondisi normal, namun memiliki risiko
kerugian yang lebih tinggi apabila ekonomi mengalami masa resesi,
(Brigham dan Houston, 2006: 103).
Menurut Horne dan Wachowicz (2005: 75), utang dapat
meningkatkan pengembalian bagi pemegang saham dalam masa-masa
baik, dan menguranginya pada masa-masa buruk, sehingga utang
tersebut dikatakan menciptakan leverage keuangan. Pengukuran rasio
leverage keuangan yang dapat digunakan antara lain dengan total debt
to total asset (DTA) dan Debt to Equity Ratio (DER).
51
5. Manajemen Laba
a. Pengertian Manajemen Laba
Manajemen laba merupakan campur tangan manajemen dalam
proses penyusunan laporan keuangan yang tujuannya untuk
dilaporkan kepada pihak eksternal dengan tujuan tertentu.
Manajemen laba dapat mengurangi kredibilitas dari laporan
keuangan karena tidak memcerminkan kondisi perusahaan yang
sesungguhnya. Para pemakai laporan keuangan dimungkinkan akan
mengambil keputusan yang salah dikarenakan mereka memperoleh
informasi keuangan yang salah. Menurut Healy dan Wahlen
(1998:6), manajemen laba mengandung beberapa aspek yaitu:
1) Intervensi manajemen laba terhadap pelaporan keuangan dapat
dilakukan melalui penggunaan judgment, misalnya judgment
yang digunakan untuk mengestimasi peristiwa-peristiwa
ekonomi dimasa depan untuk diungkapkan dalam laporan
keuangan perusahaan.
2) Tujuan manajemen laba adalah untuk menyesatkan stakeholders
mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Hal ini muncul ketika
manajemen memiliki informasi lebih yang tidak dapat diakses
oleh pihak lainnya.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba
Keiso et al., (2007: 423), menyatakan bahwa kecurangan
pelaporan keuangan biasanya terjadi karena kondisi yang ada dalam
52
lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal berkaitan
dengan buruknya pengendalian internal, buruknya perilaku etis
manajemen, dan likuiditas atau profitabilitas perusahaan.
Lingkungan eksternal berkaitan dengan kondisi industri, lingkungan
bisnis secara keseluruhan, atau karena pertimbangan hukum dan
peraturan.
Ada beberapa teori mengenai motivasi manajemen laba. Watts
dan Zimmerman (1986) dalam Belkaoui, (2006: 189),
mengemukakan 3 faktor yang terkait dengan perilaku manajer dalam
pemilihan kebijakan akuntansi. Tiga faktor ini disebut dengan tiga
hipotesis teori akuntansi positif.
1) Bonus Plan Hypothesis (Hipotesis Rencana Bonus)
Hipotesis ini membicarakan tentang hubungan pemilihan
metode akuntansi dengan rencana bonus manajer. Manajer
perusahaan dengan adanya rencana bonus kemungkinan besar
memilih metoda akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya
yaitu bonus yang tinggi. Rencana bonus yang berdasarkan laba
dapat memotivasi manajemen perusahaan untuk lebih banyak
menggunakan metoda akuntansi yang meningkatkan laba yang
dilaporkan.
2) Debt Covenant Hypothesis (Hipotesis Ekuitas Utang)
Hipotesis ini menyatakan bahwa semakin tinggi utang/ekuitas
perusahaan, yaitu sama dengan semakin dekatnya (semakin
53
ketat) perusahaan terhadap batasan-batasan yang terdapat pada
perjanjian utang dan semakin besar kesempatan atas
pelanggaran perjanjian dan terjadinya biaya kegagalan teknis,
maka semakin besar kemungkinan para manajer menggunakan
metode-metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba.
3) Political Cost Hypothesis (Hipotesis Biaya Politis)
Semakin besar perusahaan semakin besar pula kemungkinan
perusahaan tersebut memilih metoda akuntansi yang
menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang
tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya
mengenakan peraturan nti trust, subsidi pemerintah, pajak dan
tarif, persaingan dengan perusahaan asing, serta regulasi-
regulasi lain. Stice et al. (2007: 421) menjelaskan pendorong
para manajer untuk melakukan manajemen laba yaitu:
1) Memenuhi target internal perusahaan.
2) Memenuhi harapan eksternal.
3) Meratakan atau memuluskan laba (income smoothing).
4) Mempercantik laporan keuangan (window dressing)
untuk keperluan penjualan saham perdana (initioal
public offering-IPO) atau untuk memperoleh pinjaman
dari bank.
Perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemilik
perusahaan yang dapat menimbulkan tindakan manajemen laba.
54
Perbedaan kepentingan antara pihak agen dan prinsipal dapat
disejajarkan dengan penerapan mekanisme good corporate
governanance baik mekanisme secara eksternal maupun internal.
Menurut Man dan Wong (2013), mekanisme ekternal
mendukung kepentingan stakeholders, dan termasuk undang-undang
perlindungan hukum dan aturan pengambilalihan. Mekanisme
internal meliputi kepemilikan saham inside struktur dewan komisaris
dan karakteristiknya, proporsi dewan direksi independen, latar
belakang direktur, komite audit, komite remunerasi, dan struktur
kepemilikan perusahaan, kepemilikan institusional, kepemilikan
manajerial, komite audit independen, dan dewan komisaris
independen.
Peluang manajemen untuk melakukan manajemen laba bisa
timbul apabila terdapat situasi dimana manajer mempunyai
kesempatan dan upaya untuk mendeteksi sulit dilakukan. Menurut
Keiso et al. (2007: 424), peluang tersebut sering timbul dari:
1) Tidak adanya dewan direksi atau komite audit yang
mengawasi proses pelaporan keuangan.
1) Pengendalian internal yang lemah atau bahkan tidak ada.
3) Terjadi transaksi yang rumit atau tidak biasa, seperti merger
dan penutupan operasi tertentu.
4) Estimasi akuntansi yang memerlukan pertimbangan
subjektif yang
55
signifikan oleh manajemen perusahaan, seperti cadangan
atas kerugian piutang.
5) Staf audit internal yang tidak efektif yang disebabkan oleh
jumlah staf audit yang tidak memadai dan lingkup audit
yang amat terbatas.
c. Teknik Manajemen Laba
Stice et al. (2007: 427), menyatakan bahwa konsep akuntansi
akrual yang fleksibel dan standar akuntansi yang telah
disebarluaskan dapat memberikan kesempatan bagi manajemen
untuk mengatur laba perusahaan. Para akuntan menambahkan nilai
informasi dengan menggunkan estimasi dan asumsi-asumsi untuk
mengubah data aliran kas yang masih mentah menjadi data akrual.
Teknik-teknik yang secara umum yang digunakan dalam manajemen
laba adalah sebagai berikut:
1) Penggantian secara strategis.
Laba yang stabil dapat diperoleh perusahaan dengan
memastikan bahwa beberapa transaksi penting telah diselesaikan
dengan cepat atau ditunda sehingga dapat diakui pada kuartal
yang paling menguntungkan.
2) Perubahan pada metode atau estimasi dengan pengungkapan
penuh.
Estimasi akuntansi berhubungan dengan piutang tak tertagih,
retur atau dana pensiun, umur ekonomis asset, dan lain-lain.
56
Apabila perubahan estimasi di ungkapkan secara menyeluruh
dalam laporan keuangan, maka manajemen laba dapat dideteksi
dengan mudah oleh para pengguna laporan keuangan.
3) Perubahan dalam metode akuntansi atau estimasi dengan
pengungkapan yang minimal atau tanpa pengungkapan sama
sekali.
4) Akuntansi Non-GAAP
Manajemen laba yang secara sopan dapat dilakukan melalui
akuntansi non-GAAP. Akuntansi non-GAAP sebenarnya dapat
juga terjadi akibat kesalahan yang tidak disengaja atau kekurang
hati-hatian.
5) Transaksi fiktif
Contoh dari transaksi fiktif seperti yang dilakukan oleh para
manajer di Xerox Meksiko secara sembunyi-sembunyi menyewa
gudang yang digunakan untuk menyimpan barang-
barangdagangan yang diretur untuk menghindari pencatatan
retur penjualan.
d. Manajemen Laba Melalui Manipulasi Aktivitas Riil
Menurut Roychowdhury (2006:337), manajemen laba melalui
manipulasi aktivitas riil merupakan suatu tindakan manajemen yang
menyimpang praktik bisnis perusahaan secara normal dengan tujuan
utama untuk mencapai target laba yang diharapkan. Akan tetapi,
target laba terpenuhi tidak selalu memberikan kontribusi terhadap
57
nilai perusahaan meskipun target telah tercapai. Manajemen laba
melalui manipulasi aktivitas riil dilakukan oleh manajemen melalui
aktivitas sehari-hari perusahaan selama periode berjalan. Sedangkan
manajemen laba melalui manaipulasi akrual dapat dilakukan selama
periode akuntansi berjalan perusahaan. Menurut Roychowdhury
(2006: 340), manajemen laba melalui aktivitas riil dilakukan melalui
arus kas operasi, biaya produksi, dan biaya-biaya diskresioner.
1) Arus Kas Operasi
Arus kas operasi merupakan salah satu jenis aktivitas dari
laporan arus kas yang terdiri dari aktivitas-aktivitas operasional
perusahaan. Metode yang digunakan untuk melakukan
manipulasi aktivitas riil melalui arus kas operasi adalah
manipulasi penjualan. Manipulasi penjualan berkaitan mengenai
manajer yang mencoba menaikkan penjualan selama periode
akuntansi dengan tujuan meningkatkan laba untuk memenuhi
target laba yang diharapkan. Tindakan oportunis manajer
melalui manipulasi penjualan ini dapat dilakukan dengan
menawarkan diskon harga produk secara berlebihan atau
memberikan persyaratan kredit yang sangat lunak.
Strategi ini tentu dapat meningkatkan volume penjualan dan
laba.Volume penjualan yang meningkat menyebabkan laba
tahun berjalan tinggi namun arus kas menurun karena arus kas
masuk kecil akibat penjualan kredit dan potongan harga. Oleh
58
karena itu, aktivitas manipulasi penjualan menyebabkan arus kas
kegiatan operasi periode sekarang menurun dibandingkan level
penjualan normal dan pertumbuhan abnormal dari piutang.
Manipulasi aktivitas riil dapat dideteksi melalui arus kas
operasi menggunakan arus kas operasi abnormal (ABN_CFO).
Arus kas operasi abnormal diperoleh dari selisih nilai arus kas
operasi aktual yang diskala dengan total aktiva satu tahun
sebelum pengujian dikurangi dengan arus kas kegiatan operasi
normal yang dihitung dengan menggunakan koefisien estimasi
dari model persamaan regresi sebagai berikut:
CFOt /At-1 = α0 + α1 (1/At-1) + α2 (St /At-1) + α3 (ΔSt /At-
1) + εt (1)
Keterangan:
CFOt = arus kas operasi perusahaan i pada tahun t
At-1 = aset total perusahaan i pada tahun t-1
CFOt/At-1= Arus kas kegiatan operasi pada tahun t yang diskala
dengan total aktiva pada tahun t-1.
St = penjualan total perusahaan i pada tahun t
ΔSt = perubahan penjualan perusahaan dari akhir tahun t
dengan tahun t-1
a0 = konstanta.
et = error term pada tahun t
2) Biaya Diskresioner
59
Biaya diskresioner merupakan biaya-biaya yang tidak
mempunyai hubungan yang akrual dengan output. Biaya-biaya
diskresioner (discretionary expenditures) yang digunakan dalam
melakukan tindakan pemanipulasian antara lain biaya iklan,
biaya riset dan pengembangan (R&D), serta biaya penjualan,
umum, dan administrasi. Perusahaan dapat menurunkan atau
mengurangi biaya diskresioner yang pada akhirnya akan
meningkatkan laba periode berjalan dan dapat juga
meningkatkan arus kas periode sekarang jika perusahaan secara
umum membayar biaya seperti itu secara tunai. Strategi ini
dapat meningkatkan laba dan arus kas periode saat ini namun
dengan risiko menurunkan arus kas periode mendatang.
Manipulasi aktivitas riil dapat dideteksi melalui biaya
diskresioner dengan menggunakan biaya diskresioner abnormal
(ABN_DISEXP). Biaya diskresioner abnormal diperoleh dari
selisih nilai biaya diskresioner aktual yang diskala dengan total
aktiva satu tahun sebelum pengujian dikurangi dengan biaya
diskresioner normal yang dihitung dengan menggunakan
koefisien estimasi dari model persamaan regresi sebagai berikut:
DISEXPt/At-1 = a0 + a1(1/At-1) + β(St/At-1) + et (2)
Keterangan:
DISEXPt = biaya diskresioner pada tahun t
At-1 = total aktiva pada tahun t-1
60
St = penjualan pada tahun t
a0 = konstanta
et = error term pada tahun
3) Biaya Produksi
Biaya produksi merupakan segala biaya yang dikeluarkan
atau dibutuhkan untuk menghasilkan suatu barang. Metode yang
digunakan dalam melakukan manipulasi riil melalui biaya
produksi ini adalah produksi berlebih (overproduction). Manajer
perusahaan dapat memproduksi lebih banyak dari pada yang
diperlukan dengan asumsi bahwa tingkat produksi yang lebih
tinggi akan menyebabkan biaya tetap (fixed cost) per unit
produk lebih rendah. Strategi ini dapat menurunkan cost of
goods sold dan meningkatkan laba operasi.
Manipulasi aktivitas riil dapat dideteksi melalui biaya
produksi menggunakan biaya produksi abnormal
(ABN_PROD). Biaya produksi abnormal diperoleh dari selisih
nilai biaya prosuksi aktual yang diskala dengan total aktiva satu
tahun sebelum pengujian dikurangi dengan biaya produksi
normal yang dihitung dengan menggunakan koefisien estimasi
dari model persamaan regresi sebagai berikut:
PRODt/At-1 = a0 + a1(1/At-1) + β1(St/At-1) + β2(DSt/At-1)
+ β3(DSt-1/At-1) + et (3)
Keterangan:
61
PRODt = biaya produksi pada tahun t,yaitu: harga pokok
penjualan + perubahan persediaan
At-1 = total aktiva pada tahun t-1
St = penjualan pada tahun t
ΔSt = penjualan pada tahun t dikurangi penjualan pada
tahun t-1
ΔSt-1 = perubahan penjualan pada tahun t-1
a0 = konstanta
et = error term pada tahun
e. Manajemen Laba Akrual
Berbagai alternatif bisa digunakan oleh manajer dalam
melaporkan kinerja dan kesehatan keuangan perusahaan, termasuk
laba. Dechow (1994) menjelaskan bahwa manajemen laba akrual
atau accrual accounting akan lebih baik dalam menggambarkan
posisi keuangan suatu perusahaan di masa yang akan datang karena
proses akrual tersebut akan menghasilkan laba yang lebih smooth,
namun sifatnya kurang persisten dan relatif lebih subjektif jika
dibandingkan dengan manajemen laba riil. Selain itu, ada beberapa
faktor yang bisa memengaruhi manajemen laba akrual termasuk
risked on risked asset dan loan to deposits ratio.
Beaver dan Engel (1996) menyatakan ada beberapa variabel
yang digunakan untuk mengukur manajemen laba akrual, yaitu
charge off/write off, loan outstanding, non performing assets, dan
62
selisih non performing assets. Rivai et al. (2007) menyatakan
bahwa charge off merupakan kredit macet yang tidak dapat ditagih
lagi atau dihapusbukukan dari neraca (on balance sheet) dan dicatat
di rekening administratif (off balance sheet). Loan outstanding
merupakan penyediaan uang atas dasar perjanjian pinjam-
meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan
peminjam/debitur untuk melunasinya sesuai waktu yang ditetapkan
beserta kewajiban lainnya seperti bunga (Rivai et al. 2007).
Kategori aktiva produktif yang bermasalah atau non performing
assets diambil berdasarkan tingkat kolektibilitasnya yaitu: dalam
perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet (Rivai et al.
2007). Sementara itu, variabel yang menunjukkan selisih antara
non performing assets periode t dengan periode sebelumnya t0
digunakan untuk melihat pengaruh perubahan nilai non performing
assets terhadap manajemen laba akrual (Beaver dan Engel 1996).
Rumus model pengukuran dari Beaver dan Engel (1996) sebagai
berikut:
ALL it = X0 + X1 COit + X2 LOANit + X3 NPAit + X4
CHNPAit + 1 + zit
Keterangan:
ALL: allowances for loan losses;
CO: net charge-off;
LOAN: pinjaman yang diberikan,
63
NPA: non-performing asset;
CHNPA: perubahan NPA dari periode t-1 sampai periode t
B. Tinjauan Pustaka
1. Penelitian yang dilakukan oleh Subhan (2011)
Penelitian yang dilakukan oleh Subhan (2011) ini berjudul
“Pengaruh Good Corporate Governance dan Leverage terhadap
Manajemen Laba Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
mekanisme GCG (kepemilikan institusi, ukuran dewan komisaris,
komposisi komisaris independen, dan ukuran dewan direksi) serta
leverage keuangan terhadap manajemen laba yang diproksikan dengan
diskresionari akrual. Variabel independen yang digunakan adalah
kepemilikan institusional, ukuran dewan komisaris, komposisi
komisaris independen, ukuran dewan direksi dan leverage keuangan.
Variabel dependen yang diteliti adalah manajemen laba yang
diproksikan dengan discretionary accrual.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kepemilikan institusi,
komposisi komisaris independen, ukuran dewan direksi dan leverage
keuangan berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap terhadap
manajemen laba sedangkan ukuran dewan direksi berpengaruh positif
tidak signifikan terhadap manajemen laba. Belum signifikannya
pengaruh tersebut karena relatif rendahnya kesadaran penerapan GCG
di Indonesia.
64
2. Penelitian yang dilakukan oleh Robert Jao dan Gagaring Pagalung
(2011)
Penelitian ini berjudul “Pengaruh Corporate Governance, Ukuran
Perusahaan, dan Leverage Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan
Manufaktur di Indonesia”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
pengaruh corporate governance yang terdiri dari kepemilikan
manajerial, kepemilikan institusional, ukuran dewan komisaris,
komposisi dewan komisaris independen, dan komite audit terhadap
manajemen laba serta untuk mengetahui pengaruh ukuran perusahaan
dan pengaruh leverage terhadap manajemen laba. Variabel penelitian
terdiri dari variabel independen yaitu kepemilikan manajerial,
kepemilikan institusional, ukuran dewan komisaris, komposisi dewan
komisaris independen, komite audit, ukuran perusahaan dan leverage.
Variabel dependen yaitu manajemen laba.
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa variabel kepemilikan
manajerial dapat mengurangi manajemen laba. Kepemilikan
institusional mempunyai pengaruh dapat meningkatkan manajemen
laba. Ukuran dewan komisaris mempunyai berpengaruh terhadap
manajemen laba. Komposisi dewan komisaris independen mempunyai
pengaruh mengurangi manajemen laba. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris,
dan proporsi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap
manajemen laba. Kepemilikan institusional dan proporsi dewan
65
komisaris independen serta leverage berpengaruh terhadap kinerja
perusahaan. Sedangkan manajemen laba berpengaruh dapat
menurunkan kinerja perusahaan.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Yudhita Dian Pratiwi dan Wahyu
Meiranto (2013)
Penelitian yang dilakukan oleh Yudhita Dian Pratiwi dan Wahyu
Merianto berjudul “Pengaruh Penerapan Gorporate Governance
terhadap Earning Manajemen melalui Manipulasi Aktivitas Riil pada
Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia”.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh penerapan corporate
governance terhadap earnings management yang dideteksi melalui
manipulasi aktivitas riil. Variabel yang diuji dalam penelitian ini yaitu
ukuran dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, komposisi
dewan komisaris independen, ukuran komite audit, jumlah rapat komite
audit, kompetensi komite audit, kualitas audit, ukuran perusahaan, dan
earnings management melalui aktivitas riil.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran dewan komisaris dan
kompetensi komite audit berpengaruh secara signifikan. Sedangkan
jumlah rapat dewan komisaris, kompetensi dewan komisaris
independen, ukuran komite audit, jumlah rapat komite audit, dan
kualitas audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap earnings
management melalui manipulasi aktivitas riil.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Arlita Marcela Sudibyo (2013)
66
Penelitian yang dilakukan oleh Arlita Marcela Sudibyo (2013)
berjudul “Pengaruh Struktur Corporate Governance dan Ukuran
Perusahaan terhadap Manajemen Laba (Studi Empiris pada
Perusahaan Jasa Non Keuangan yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia Periode 2009-2011)”. Penelitian ini bertujuan untuk
menguji pengaruh dari corporate governance dan ukuran perusahaan
terhadap manajemen laba pada perusahaan jasa non keuangan.
Variabel independen yaitu Corporate governance yaitu kepemilikan
manajerial, kepemilikan institusional, dan proporsi dewan komisaris
independen serta ukuran perusahaan diukur dengan menggunakan
logaritma natural dari total aset. Variabel dependen yaitu manajemen
laba.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang
memiliki pengaruh signifikan terhadap manajemen laba adalah
kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional. Semakin tinggi
kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional, semakin rendah
manajemen laba perusahaan tersebut. Variabel proporsi dewan
komisaris independen dan ukuran perusahaan tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba yang dilakukan
perusahaan jasa non-keuangan.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Taufik Hidayat (2017)
Penelitian yang dilakukan oleh Taufik Hidayat (2017) dengan judul
“Pengaruh Corporate Governance, Ukuran Perusahaan Dan Leverage
67
terhadap Earnings Management (Studi Empiris pada Perusahaan
Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2013-
2015)”. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bukti mengenai
pengaruh corporate governance, ukuran perusahaan dan leverage
terhadap earnings management. Variabel yang digunakan adalah
variabel dependen yaitu manajemen laba dan variabel independen
terdiri dari ukuran dewan komisaris, dewan komisaris independen,
komite audit dan leverage.
Penelitian tersebut menjelaskan bahwa ukuran dewan komisaris,
dewan komisaris independen, komite audit, dan leverage tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba sedangkan
ukuran perusahaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
earnings management. Ukuran dewan komisaris, dewan komisaris
independen, komite audit, ukuran perusahaan, dan leverage
berpengaruh secara bersama-sama terhadap earnings management.
6. Penelitian yang dilakukan oleh Gunawan, dkk (2015)
Penelitian yang dilakukan oleh Gunawan, dkk (2015) berjudul
“Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, dan Leverage terhadap
Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa
Efek Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh
ukuran perusahaan, profitabilitas, dan leverage terhadap manajemen
laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
68
Indonesia. Variabel dependen yaitu manajemen laba. Avraiabel
independen yaitu ukuran perusahaan, profitabilitas dan leverage.
Hasil penelitian menunjukan bahwa secara parsial ukuran
perusahaan, profitabilitas, dan leverage tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap manajemen laba. Secara simultan ukuran
perusahaan, profitabilitas, dan leverage tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap manajemen laba.
7. Penelitian yang dilakukan oleh Naftalia dan Marsono (2013)
Penelitian tersebut berjudul “Pengaruh Leverage terhadap
Manajemen Laba dengan Corporate Governance sebagai variabel
pemoderasi”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh
leverage terhadap manajemen laba dan kemampuan menganalisis
pengaruh corporate governance yang terdiri dari kepemilikan
institusional, kepemilikan manajerial, kualitas audit, dan komisaris
independen dalam mempengaruhi earnings management pada
perusahaan manufaktur yang terdaftar khususnya perusahaan makanan
di Bursa Efek Indonesia. Variabel dependen yaitu manajemen laba.
Variabel independen yaitu leverage. Variabel moderasi yaitu
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, audit kualitas dan
dewan independen.
Hasil penelitiannya variabel leverage berpengaruh terhadap
manajemen laba. Kepemilikan institusional memoderasi pengaruh
hubungan antara leverage terhadap manajemen laba. Kepemilikan
69
manajerial, kualitas audit dan komisaris independen tidak memoderasi
terhadap hubungan leverage dan manajemen laba.
8. Penelitian yang dilakukan oleh Masni ( 2017)
Penelitian tersebut berjudul “Pengaruh Good Corporate
Governance, Profitabilitas dan Leverage terhadap Manajemen Laba
pada Perusahaan Properti dan Real Estate Yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia Tahun 2013-2015”. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pengaruh good corporate governance, profitabilitas dan
leverage terhadap manajemen laba. Good corporate governance diukur
dengan proporsi komisaris independen dan independensi komite audit.
Profitabilitas diukur dengan return on investment (ROI), leverage
diukur dengan debt to total asset, dan manajemen laba diukur dengan
nilai discretionary accrual menggunakan model modified jones.
Variabel dependen yaitu manajemen laba. Variabel independen terdiri
dari GCG ( proporsi komisaris independen dan independensi komite
audit), leverage dan profitabilitas.
Hasil penelitiannya adalah proporsi komisaris independen,
independensi komite audit dan leverage tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba pada perusahaan properti dan real estate yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia tahun 2013-2015. Variabel profitabilitas
berpengaruh positif terhadap manajemen laba pada perusahaan properti
dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2013-2015.
70
9. Penelitian yang dilakukan oleh Nuriyatun Fauziah (2014)
Penelitian yang dilakukan oleh Nuriyatun Fauziah (2014) berjudul
“Pengaruh Good Corporate Governance dan Leverage terhadap
Manajemen Laba Melalui Manipulasi Aktivitas Akrual pada
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode
2010-2012”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
mekanisme good corporate governance yang diukur dengan
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan dewan
komisaris independen, pengaruh leverage secara parsial dan pengaruh
GCG dengan proksi kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial,
dan dewan komisaris independen secara simultan terhadap manajemen
laba melalui manipulasi aktivitas riil. Variabel independen yang
digunakan adalah kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial,
dewan komisaris independen dan leverage. Variabel dependen adalah
manajemen laba melalui manipulasi riil yang menggunakan model
pengukuran yang dikembangkan oleh Roychowdhury (2006).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan institusional
berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba melalui
manipulasi aktivitas riil. Kepemilikan manajerial, dewan komisaris
independen, dan leverage berpengaruh positif dan tidak signifikan
terhadap manajemen laba. Sedangkan secara simultan GCG dengan
proksi kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan dewan
71
komisaris independen berpengaruh positif dan signifikan terhadap
manajemen laba melalui manipulasi aktivitas rill.
10. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Aminatus Syafa’ah (2017)
Penelitian yang dilakukan oleh Siti Aminatus Syafa’ah (2017)
berjudul “Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba
di Industri Perbankan Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk
menguji pengaruh GCG atas praktek manajemen laba dalam industri
perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Variabel
independen yang digunakan adalah komposisi dewan komisaris
independen, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit dan
ukuran perusahaan. Variabel dependen yang dipakai adalah manajemen
laba.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi dewan komisaris
independen dan keberadaan komite audit berpengaruh positif terhadap
manajemen laba sedangkan ukuran dewan dan ukuran perusahaan
komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
C. Pengembangan Hipotesis
1. Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Manajemen Laba
Pujiati & Widanar (2009) menyatakan bahwa kepemilikan
institusional merupakan proporsi pemegang saham yang dimiliki oleh
pemilik institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan
investasi dan kepemilikan lain kecuali anak perusahaan dan institusi
72
lain yang memiliki hubungan istimewa (perusahaan afiliasi dan
perusahaan asosiasi) atas laporan yang dibuat menurut data di Jakarta
Stock Exchange serta kepemilikan saham oleh pihak blockholders
yaitu saham yang dimiliki perseorangan di atas 5% selama tiga tahun
berturut-turut tetapi tidak termasuk dalam golongan kepemilikan
insider. Para pihak tersebut dapat berpengaruh pada nilai perusahaan
terkait dengan peran mereka sebagai monitoring management atau
bentuk kontrol kepada pihak manajemen.
Agustia (2013) menjelaskan bahwa kepemilikan institusional tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba. Kepemilikan saham yang
besar tersebut seharusnya membuat investor institusional mempunyai
kekuatan yang lebih dalam mengontrol kegiatan operasional
perusahaan. Tetapi pada kenyataannya, kepemilikan institusional tidak
bisa membatasi terjadinya manajemen laba. Hal ini dikarenakan
investor institusional tidak berperan sebagai sophisticated investors
yang memiliki lebih banyak kemampuan dan kesempatan untuk
memonitor dan mendisiplinkan manajer agar lebih terfokus pada nilai
perusahaan, serta membatasi kebijakan manajemen dalam melakukan
manipulasi laba, melainkan berperan sebagai pemilik sementara yang
lebih terfokus pada current earnings. Transient investors justru akan
membuat pihak manajer mengambil kebijakan agar bisa mencapai
target laba yang diinginkan para investor. Oleh karena itu, adanya
kepemilikan institusional belum tentu akan berdampak pada
73
peningkatan proses pengawasan yang berpengaruh terhadap
berkurangnya tindakan manajemen dalam melakukan manajemen
laba.
Menurut penelitian Tarjo (2008) kepemilikan institusional
mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap manajemen
laba. Penelitian ini mempunyai hasil yang sama dengan penelitian
Subhan (2011), Arlita Marcela Sudibyo (2013), serta Naftalia dan
Marsono (2013). Tarjo (2008) menyatakan bahwa pemilik
institusional sebagai pemegang saham mayoritas meminta jajaran
manajer untuk meminimalisasi manajemen laba karena jika pemilik
institusional sebagai pemegang saham mayoritas meminta manajer
untuk melakukan rekayasa laba yang menguntungkan pemegang
saham mayoritas dan manajemen, maka pemegang saham minoritas
dan pasar saham akan mendiskon harga saham perusahaan yang justru
akan merugikan pemegang saham mayoritas itu sendiri Berdasarkan
uraian diatas, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
H1: Kepemilikan Institusional berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba.
2. Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Manajemen Laba
Kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap manajemen
laba. Rata-rata kepemilikan saham yang dimiliki oleh pihak
manajemen perusahaan adalah 1,99%. Agustia (2013) menyatakan
bahwa jumlah kepemilikan manajerial yang rendah menyebabkan
74
pihak manajemen perusahaan cenderung mengambil kebijakan untuk
mengelola laba perusahaan, misalnya dengan meningkatkan laba yang
dilaporkan sehingga banyak investor yang tertarik untuk menanamkan
modal dan bisa menaikkan harga saham perusahaan. Kegagalan pihak
manajemen yang juga merupakan pemilik modal perusahaan dalam
meningkatkan kualitas dan proses pelaporan keuangan disebabkan
karena persentase manajer yang memiliki saham relatif sangat kecil
jika dibandingkan dengan keseluruhan modal yang dimiliki investor
umum.
Hal ini sependapat dengan hasil penelitian dari Naftalia dan
Marsono (2013) dan Nuriyatun Fauziah (2014) yang menyatakan
bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba ditolak. Sedangkan menurut Arlita Marcela Sudibyo
(2013) kepemilikan manajerial mempunyai pengaruh signfikan
terhadap manajemen laba. Berdasarkan uraian diatas, maka
dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
H2: Kepemilikan manajerial (KM) berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba.
3. Pengaruh Dewan Komisaris Independen terhadap Manajemen Laba
Dewan komisaris independen merupakan bagian dari dewan
komisaris, yang secara umum bertugas untuk melakukan pengawasan
terhadap manajemen perusahaan. Dengan adanya komisaris
independen diharapkan dapat melakukan pengawasan lebih efektif,
75
sehingga dapat mengurangi praktik manajemen laba. Fama dan Jensen
dalam Andayani (2010) menyatakan bahwa komisaris independen
dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi
diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan direksi serta
memberikan nasihat kepada direksi.
Dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba. Hal ini dikarenakan pembentukan pengangkatan
komisaris independen oleh perusahaan hanya memenuhi peraturan
BEJ tanggal 1 Juli 2000 yang menyatakan bahwa perusahaan yang
listed di Bursa harus mempunyai komisaris independen. (FCGI, 2012)
menyatakan bahwa di Indonesia sering terjadi anggota dewan
komisaris hanya bertindak pasif bahkan sama sekali tidak
menjalankan peran pengawasannya yang sangat mendasar terhadap
dewan direksi. Dewan komisaris seringkali dianggap tidak memiliki
manfaat. Hal ini dapat dilihat dalam fakta bahwa banyak anggota
dewan komisaris tidak memiliki kemampuan dan tidak dapat
menunjukkan independensinya .
Pernyataan tersebut mendukung penelitian Yudhita Dian Pratiwi
dan Wahyu Meiranto (2013), Arlita Marcela Sudibyo (2013), Taufik
Hidayat (2017), Naftalia dan Marsono (2013), Masni (2017),
Nuriyatun Fauziah (2014), dan Siti Aminatus Syafa’ah (2017) yang
menemukan bahwa dewan komisaris independen tidak berpengaruh
terhadap manajemen laba. Hal berbeda dijelaskan oleh Subhan (2011),
76
dan Robert Jao dan Gagaring Pagalung (2011), yang menyatakan
bahwa dewan komisaris independen berpengaruh negatif tidak
signifikan terhadap manajemen laba diterima. Berdasarkan uraian
diatas, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
H3: Dewan Komisaris Independen berpengaruh negatif terhadap
Manajemen Laba.
4. Pengaruh Leverage terhadap Manajemen Laba
Besarnya tingkat hutang perusahaan (leverage) dapat
mempengaruhi tindakan manajemen laba. Leverage yang tinggi yang
disebabkan kesalahan manajemen dalam mengelola keuangan
perusahaan atau penerapan strategi yang kurang tepat dari pihak
manajemen. Oleh karena kurangnya pengawasan yang menyebabkan
leverage yang tinggi, juga akan meningkatkan tindakan oppurtunistic
seperti manajemen laba untuk mempertahankan kinerjanya di mata
pemegang saham dan publik.
Hal ini mendukung penelitian dari Subhan (2011), Robert Jao dan
Gagaring Pagalung (2011), dan Naftalia dan Marsono (2013) yang
menyatakan bahwa leverage berpengaruh terhadap manajemen laba.
Tetapi bertentangan dengan pendapat dari Taufik Hidayat (2017),
Gunawan, dkk (2015), Masni ( 2017), dan Nuriyatun Fauziah (2014)
yang menyatakan bahwa leverage tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap manajemen laba. Berdasarkan uraian diatas, maka
dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
77
H4: Leverage berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
5. Pengaruh Kepemilikan Institusional, Kepemilikan Manajerial, Dewan
Komisaris Independen dan Leverage secara Bersama-Sama terhadap
Manajemen Laba
Penelitian yang dilakukan oleh Nuriyatun Fauziah (2014)
menyatakan bahwa secara simultan GCG dengan proksi kepemilikan
institusional, kepemilikan manajerial, dan dewan komisaris
independen berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen
laba melalui manipulasi aktivitas rill.
Berdasarkan hipotesis 1 sampai hipotesis 4 menyatakan bahwa
Kepemilikan Institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba, Kepemilikan manajerial (KM) berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba, Dewan Komisaris Independen berpengaruh negatif
terhadap Manajemen Laba, dan Leverage berpengaruh negatif
terhadap manajemen laba. Berdasarkan hipotesis di atas, maka
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H5: Secara simultan GCG dengan proksi kepemilikan institusional,
kepemilikan manajerial, dan dewan komisaris independen serta
leverage berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.