bab ii landasan teori dan pengembangan...
TRANSCRIPT
13
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN
PROPOSISI
Bab ini akan memaparkan mengenai landasan teoridari
variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian, perumusan
proposisi, dan pengembangan model penelitian.
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Manajemen Ritel
Ritel adalah serangkaian kegiatan usaha yang
memberikan nilai tambah bagi produk dan jasa yang dijual
kepada konsumen untuk penggunaan pribadi atau keluarga
mereka. Selanjutnya manajemen ritel adalah pengaturan
keseluruhan faktor-faktor yang berpengaruh dalam
perdagangan ritel, yaitu perdagangan langsung barang dan jasa
kepada konsumen (Levy dan Weitz, 2004).
Lebih lanjut lagi, Rabolt dan Miller (2009) menyatakan
bahwa ada empat faktor yang memengaruhi manajemen ritel,
yaitu: Place, Price, Product, dan Promotion. Place berkaitan
dengan tempat dimana peritel menjalankan usahanya sehari-
hari. Price berkaitan dengan nilai suatu barang atau jasa yang
diukur dengan sejumlah uang. Product berkaitan dengan
tawaran manfaat (barang atau jasa) apa yang ditawarkan oleh
peritel kepada konsumen.Sedangkan Promotion berkaitan
14
dengan bagaimana suatu produk akan dikenalkan ke pasar agar
konsumen tergerak untuk membelinya.
Karakteristik dasar ritel dapat dipergunakan sebagai
dasar mengelompokkan jenis ritel. Terdapat tiga karakteristik
dasar (Levy dan Weitz, 2004), yaitu (1) pengelompokkan
berdasarkan unsur-unsur yang digunakan ritel untuk
memuaskan kebutuhan konsumen. (2) Pengelompokkan
berdasarkan sarana atau media yang digunakan dan (3)
pengelompokkan berdasarkan kepemilikan.
Rabolt dan Miller (2009) membagi ritel menjadi 2
jenis, yaitu ritel produk dan ritel jasa. Ritel jasa merupakan ritel
yang memfokuskan usahanya pada bidang jasa, seperti
persewaan, reparasi, ahli kecantikan dan lain-lain. Sedangkan
ritel produk merupakan ritel yang memfokuskan usahanya
pada jual beli barang.
2.2.2 Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen adalah proses yang dilalui oleh
seseorang dalam mencari, membeli, menggunakan,
mengevaluasi, dan bertindak pasca konsumsi produk, jasa,
maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya
(Schiffman dan Kanuk, 2000). Dengan kata lain, perilaku
konsumen merupakan studi tentang bagaimana pembuat
keputusan (individu, kelompok atau organisasi) membuat
keputusan-keputusan pembelian suatu produk dan
15
mengkonsumsinya (Prasetijo dan Ihalauw, 2005). Selanjutnya,
Schiffman dan Kanuk (2000) kembali menjabarkan bahwa
studi perilaku konsumen merupakan pembelajaran tentang
bagaimana masing-masing individu membuat keputusan dalam
membelanjakan sumber dayanya (uang, waktu, tenaga) melalui
proses pemecahan masalah yang mengacu pada tindakan
bijaksana dan bernalar yang dijalankan untuk menghasilkan
pemenuhan kebutuhan dan keinginan.
Perilaku konsumen terdiri dari beberapa tahap. Tahap
pertama berupa tahap perolehan (acquisition) ketika konsumen
mencari (searching) dan membeli (purchasing). Tahap kedua
adalah tahap konsumsi (consumption), yaitu saat konsumen
menggunakan (using) dan mengevaluasi (evaluating). Tahap
ketigaadalah tindakan pasca beli (disposition), terkait dengan
apa yang dilakukan oleh konsumen setelah produk itu
digunakan atau dikonsumsi. Sebab itu, semua faktor internal
dan eksternal yang memengaruhi seseorang dalam membuat
keputusan beli, mengkonsumsi dan membuangnya, menjadi
aspek-aspek di dalam perilaku konsumen.
Dalam bidang ritel, perilaku positif dari konsumen
mengindikasikan bahwa pemasar telah mamapu memuaskan
kebutuhan atau keinginan konsumen, baik melalui produk yang
dijual ataupun pelayanan yang diberikan (Dongyan & Xuan,
2008). Perusahaan atau peritel selalu dituntut untuk
mengetahui pemahaman yang lebih lengkap mengenai perilaku
16
konsumennya, karena bagi perusahaan yang terpenting adalah
bagaimana memahami keinginan dan kebutuhan konsumen,
serta bagaimana pihak manajemen dapat memenuhi keinginan
dan kebutuhan konsumen, sehingga konsumen terpuaskan dan
pada akhirnya terbentuk loyalitas konsumen.
Memuaskan keinginan dan kebutuhan konsumen mobil
bukan pekerjaan yang mudah karena banyak hal yang harus
diperhatikan, seperti citra merek, harga, kualitas produk,
pelayanan karyawan, kenyamanan dari kantor dealer, dan lain-
lain (Dongyan & Xuan, 2008). Dengan memahami perilaku
konsumen, maka perusahaan dapat memenuhi keinginan dan
kebutuhan mereka di pasar otomotif.
2.2.3 Persepsi
Dalam kehidupan sosial akan selalu terjadi proses
komunikasi baik dari antara individu ke suatu kelompok atau
dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Persepsi adalah
proses dimana seorang individu memilih, merumuskan dan
menafsir informasi untuk menciptakan suatu gambar mengenai
dunia (Kotler dan Keller, 2006). Lalu Solomon (2011)
menjelaskan persepsi sebagai proses dimana seseorang
menyeleksi, mengorganisir dan mengartikan informasi yang
diterimanya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi
adalah cara pandang seseorang terhadap dunia.
17
Persepsi dibentuk oleh karakteristik dari stimuli,
hubungan stimuli dengan sekelilingnya dan kondisi-kondisi di
dalam tubuh kita sendiri (Setiadi, 2006). Dengan demikian
persepsi dapat berbeda-beda antara masing-masing individu
dalam menerangkan objek yang sama. Di dalam pemasaran,
persepsi merupakan suatu hal yang penting dibandingkan
dengan sebuah realita, karena persepsi dapat mengakibatkan
perilaku nyata seseorang.
Lamb et al (2001) membagi persepsi menjadi tiga,
yaitu: (1) persepsi selektif dimana seseorang terlibat dengan
berbagai rangsangan yang banyak setiap harinya, karena
seseorang tidak mungkin dapat menanggapi semua rangsang
itu, maka sebagian besar rangsangan akan disaring melalui
sebuah proses yang dinamakan perhatian selektif. Selanjutnya
ada (2) distorsi selektif, yang merupakan kecenderungan
seseorang untuk merubah informasi menjadi bermakna pribadi
dan mengintepretasikan informasi itu dengan cara yang akan
mendukung pra-konsepsi mereka. Terakhir adalah (3) retensi
selektif, yang merupakan kecenderungan bahwa seseorang
akan melupakan apa yang mereka tidak yakini. Seseorang
cenderung mengingat hal-hal baik yang disebut tentang produk
yang kita sukai dan melupakan hal-hal baik yang disebutkan
tentang produk kompetitor.
2.2 Variabel dalam Penelitian
18
2.2.1 Minat Beli Ulang
Minat merupakan pernyataan sikap mengenai
bagaimana seseorang berperilaku di masa yang akan datang
(Söderlund dan Öhman, 2003). Selanjutnya Cronin et al (2000)
menjelaskan bahwa minat beli ulang pada dasarnya adalah
perilaku konsumen dimana konsumen memberi respon positif
terhadap kualitas pelayanan dan produk dari suatu perusahaan,
dan berminat melakukan kunjungan kembali atau
mengkonsumsi kembali produk dari perusahaan tersebut.
Minat beli ulang juga dijelaskan sebagai suatu komitmen
konsumen yang terbentuk setelah konsumen melakukan
pembelian barang atau jasa. Komitmen ini timbul karena kesan
positif konsumen terhadap suatu merek, dan konsumen merasa
puas atas pembelian tersebut (Hicks et al, 2005). Minat beli
dengan mengacu pada pendapat Doods (dalam Sutantio, 2004)
adalah kemungkinan pembeli berminat untuk membeli kembali
suatu produk di masa depan. Sehingga berdasarkan penjelasan-
penjelasan sebelumnya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
minat beli ulang merupakan minat konsumen untuk membeli
kembali suatu produk atau jasa dari suatu perusahaan di masa
depan.
Minat beli ulang muncul karena adanya pengalaman
positif dari konsumen ketika menggunakan suatu produk atau
jasa. Konsumen yang puas terhadap manfaat dari suatu produk
atau jasa cenderung memiliki keinginan untuk menggunakan
19
kembali produk atau jasa tersebut di masa depan. Selain itu
minat beli ulang juga bisa muncul karena pengaruh dorongan
lingkungan sosial dan dorongan keadaaan karena tidak ada
pilihan lain (Bojei & Hoo, 2008).
2.2.2Citra Merek
Biel (1992) menjelaskan citra merek sebagai
sekelompok atribut dan asosiasi yang terhubung pada
konsumen melalui nama merek. Senada dengan definisi
sebelumnya, Keller (1993) mendefinisikan citra merek sebagai
serangkaian persepsi yang tercermin melalui asosiasi merek di
dalam pikiran konsumen. Sedangkan Kotler (2001), citra
merek merupakan sejumlah keyakinan tentang merek. Dapat
disimpulkan bahwa citra merek adalah serangkaian keyakinan
yang konsumen miliki dari sebuah merek.
Citra merek dapat diukur melalui dimensi-dimensi
yang dimiliki berdasarkan manfaat yang dirasakan oleh
konsumen. Dimensi-dimensi manfaat citra merek tersebut
adalah: (1) dimensi fungsional yang merujuk pada manfaat
intrinsik dari konsumsi produk atau jasa sesuai dengan atribut
produk. (2) Dimensi simbolis merupakan kebutuhan dasar
untuk memperoleh persetujuan sosial atau ekspresi pribadi,
pada dasarnya berhubungan dengan atribut non-produk. (3)
Dimensi pengalaman berkaitan dengan perasaan yang muncul
20
ketika mengkonsumsi suatu produk atau jasa dan terkait
dengan atribut produk (Keller, 1993).
Secara keseluruhan, citra merek dapat menghasilkan
nilai dalam hal membantu konsumen untuk memproses
informasi, membedakan merek, menghasilkan alasan untuk
membeli, memberikan perasaan puas, dan menyediakan dasar
untuk ekstensi (Aaker, 1991). Berdasarkan manfaat yang dapat
diciptakan oleh citra merek maka pemasar perlu minciptakan
citra yang tepat untuk mereknya. Untuk menciptakan citra
merek, pemasar perlu menghubungkan merek dengan suatu
citra yang spesifik dan secara konsisten memperkuat hubungan
tersebut melalui tindakan bauran pemasaran (marketing mix)
secara berkelanjutan untuk menegaskan posisi merek di dalam
benak konsumen (Tsai, 2004). Menciptakan dan memelihara
citra merek merupakan bagian penting dari program pemasaran
suatu perusahaan (Roth, 1995) dan strategi branding (Aaker,
1991 dan Keller, 1993). Oleh karena itu, sangat penting untuk
memahami perkembangan pembentukan citra dan
konsekuensinya seperti kepuasan dan loyalitas.
2.2.3 Kualitas Produk
Kualitas adalah penilaian atas keunggulan dan
superioritas produk oleh konsumen (Zeithaml, 1988). Jalilvand
et al (2011) melanjutkan bahwa kualitas produk harus diukur
21
melalui persepsi kualitas dari sisi konsumen, karena kualitas
produk dari sisi konsumen bukan merupakan gambaran nyata
kualitas dari suatu produk, melainkan berdasarkan persepsi
konsumen atas evaluasinya sendiri. Li (2012) menjelaskan
bahwa kualitas produk sebagai suatu persepsi konsumen atas
kualitas melalui nilai-nilai sosial. Dapat disimpulkan dari
uraian-uraian di atas bahwa persepsi kualitas merupakan
persepsi subjektif konsumen terhadap kualitas dari suatu
produk.
Rangkuti (2002) mendefinisikan persepsi kualitas
sebagai persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau
keunggulan suatu produk atau jasa, berkaitan dengan manfaat
yang diharapkan. Kemudian Tjiptono dan Chandra (2008)
menjelaskan bahwa kualitas yang dipersepsikan terdiri atas dua
dimensi utama, yaitu kualitas teknis dan kualitas fungsional.
Kualitas teknis berkaitan dengan output manfaat dari produk
ang dipersepsikan konsumen. Sedangkan kualitas fungsional
berkaitan dengan kualitas penyampaian manfaat atau
menyangkut proses transfer manfaat dari produsen kepada
konsumen.
Persepsi kualitas sendiri tidak hanya diciptakan melalui
kualitas merek yang tampak secara fisik, seperti keandalan atau
kinerja, tetapi juga dibentuk oleh beberapa dimensi lain, seperti
asosiasi merek (Rahmawati, 2002).
22
2.2.4 Kualitas Layanan
Kualitas layanan dijelaskan oleh Tjiptono (2012)
sebagai penilaian konsumen atas keunggulan atau
keistimewaan layanan dari suatu produk atau jasa secara
menyeluruh. Kualitas layanan dipandang sebagai salah satu
komponen penting perusahaan untuk mendatangkan konsumen
baru dan mengurangi kemungkinan pelanggan lama berpindah
ke perusahaan lain (Lovelock dan Wright, 2007).
Riset kualitas layanan didominasi oleh instrumen
SERVQUAL yang didasarkan atas model kesenjangan yang
dikembangkan oleh Parasuramanet al (1988). Model tersebut
menjelaskan bahwa kualitas layanan merupakan perbedaan
skor antara persepsi yang dirasakan konsumen dengan harapan
yang muncul.
Parasuraman et al (1998) menjelaskan bahwa
konsumen akan menilai kualitas jasa melalui lima dimensi
pelayanan, yaitu: (1) Tangibles yaitu hal-hal yang terkait
fasilitas fisik, peralatan penunjang, dan penampilan para
pegawai. (2) Realibility yaitu kemampuan untuk memberikan
secara tepat dan benar jenis layanan yang telah dijanjikan. (3)
Responsiveness adalah kesadaran untuk bergerak cepat dalam
menolong konsumen dan memberikan layanan yang tepat
waktu. (4) Assurance adalah pengetahuan, kepercayadirian dan
kesopanan dari pegawai dan kemampuan mereka untuk dapat
dipercaya. Dimensi terakhir adalah (5) Empathy yang
23
merupakan kemampuan pegawai perusahaan untuk
memberikan perhatian dan kepedulian individu secara khusus
kepada konsumen.
2.2.5 Nilai Jual Kembali
Suatu produk dibeli oleh konsumen tidak hanya dengan
maksud untuk dipergunakan sehari-hari semata, akan tetapi
terkadang digunakan sebagai investasi yang mana akan dijual
kembali suatu saat karena ada alasan tertentu. Dongyan dan
Xuan (2008) menjelaskan nilai jual kembali sebagai harga dari
suatu produk setelah dibeli dari produsen ketika dijual kembali
oleh konsumen beberapa saat kemudian. Konsumen produk
mobil cenderung mempertimbangkan dan membandingkan
nilai jual kembali ketika hendak membeli mobil. Nilai jual
kembali suatu produk akan menjadi tinggi apabila didukung
oleh layanan purna jual yang baik, karena itu perusahaan
otomotif berusaha meningkatkan nilai jual kembali produknya
melalui penyediaan jasa layanan servis dan suku cadang asli
dalam jumlah dan waktu yang tepat (Sharma et al, 2011).
2.2.6 Reputasi Perusahaan
Alesandari (2006) menegaskan bahwa reputasi
perusahaan berkaitan erat dengan dengan kinerja merek produk
dan keuangan perusahaan. Reputasi perusahaan adalah suatu
konsep yang menyasar pada citra dari perusahaan dan penilaian
24
dari pihak luar terhadap kualitas dan kinerja suatu perusahaan
(Beck dan Franke, 2008). Reputasi perusahaan yang baik dapat
meningkatkan kepercayaan konsumen dalam mengkonsumsi
produk atau jasa, sehingga reputasi merupakan faktor strategis
yang dapat meningkatkan profit (Wang et al, 2006).
Dowling (2001) menyatakan bahwa membangun
reputasi perusahaan yang hebat harus dimulai dari pucuk
pimpinan perusahaan. Pimpinan puncak harus mampu
membentuk visi dan strategi dan menjadikannya budaya dalam
organisasi. Membangun reputasi perusahaan memerlukan
komitmen jangka panjang. Martin (2007) menegaskan bahwa
organisasi harus mampu menyeimbangkan jati diri perusahaan
yang kuat dan citra perusahaan yang kuat agar tercipta reputasi
perusahaan yang kuat pula. Sebuah reputasi yang buruk akan
menurunkan nilai produk (Abdi, 2012).
Reputasi perusahaan merupakan kekayaan yang sangat
bernilai. Dowling (2001) menjelaskan beberapa manfaat
sebuah reputasi perusahaan yang bagus untuk perusahaan,
yaitu: (1) sebagai tambahan nilai ekstra secara psikologis pada
produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Mengurangi resiko
persepsi negatif konsumen pada saat membeli sebuah produk.
(2) Membantu konsumen dalam pemilihan produk pada saat
suatu produk dipersepsikan memiliki manfaat yang sama. (3)
Meningkatkan kepuasan kerja karyawan. (4) Membantu
perusahaan untuk mendapatkan karyawan berkualitas pada saat
25
perekrutan karyawan baru. (5) Meningkatkan efektivitas
periklanan dan kekuatan penjualan. (5) Menyediakan akses
pada layanan dari penyedia jasa professional terbaik. (6)
Membantu mendapatkan modal dari pasar saham. (7)
Meningkatkan posisi tawar dalam jalur perdagangan. (8)
Menjadi pembeda dibandingkan kompetitior. (9) Mendukung
pengenalan dari produk baru.
Dowling (2001) kembali menjelaskan bahwa terdapat 3
dimensi pada reputasi perusahaan, yaitu (1) kualitas produk
yang menjelaskan bahwa perusahaan selalu mempertahankan
kualitas produk dan jasanya. (2) Inovasi produk yang
menjelaskan bahwa perusahaan selalu berinvoasi sesuai
dengan kebutuhan konsumennya. Dimensi terakhir adalah (3)
kekuatan keuangan perusahaan yang menjelaskan bahwa
perusahaan menunjukkan kekuatan keuangannya melalui
laporan keuangan yang dipublikasikan kepada umum.
2.2.7 Kepuasan Konsumen
Kepuasan berasal dari bahasa latin “satis”, yang berarti
cukup dan secara pasti memenuhi harapan, kebutuhan, atau
keinginan, dan tidak menimbulkan keluhan (Bloemer dan
Pauwels, 1998). Lebih lanjut Tjiptono (1997) mengemukakan
bahwa kepuasan konsumen merupakan pengalaman suatu
tanggapan emosional terhadap pengalaman mengkonsumsi
produk atau jasa. Pada lain kesempatan Kotler (2000)
26
menjelaskan bahwa kepuasan konsumen merupakan penilaian
dari kesepadanan kinerja yang diberikan oleh sebuah produk
dengan harapan pembeli. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa kepuasan konsumen merupakan respon penilaian yang
dilakukan konsumen terhadap produk atau jasa yang
diterimanya. Wicaksono dan Ihalauw (2005) menjelaskan
bahwa kepuasan konsumen merupakan kondisi atau perasaan
senang yang dialami oleh konsumen karena harapannya
terpenuhi oleh kinerja dari suatu produk atau jasa. Kinerja
merupakan fakta yang diterima oleh konsumen mengenai suatu
produk sedangkan harapan merupakan keinginan dari
konsumen terhadap suatu produk yang digunakan. Maka dapat
disimpulkan bahwa kepuasan konsumen merupakan rasio
antara harapan konsumen dibandingkan dengan kinerja suatu
produk atau jasa atau dapat diinterpretasikan melalui model
berikut:
Satisfaction = 𝑃𝑒𝑟𝑓𝑜𝑟𝑚𝑎𝑛𝑐𝑒
𝐸𝑥𝑝𝑒𝑐𝑡𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛
Bila kinerja produk atau jasa setara dengan harapan
maka konsumen akan merasa puas, tetapi apabila kinerja
produk atau jasa di bawah harapan maka konsumen akan
merasa kecewa. Konsumen akan merasa sangat puas (delight)
apabila kinerja produk atau jasa melebihi harapan.
Kotler dan Keller (2009) berpendapat bahwa terdapat
sejumlah metode untuk mengukur kepuasan konsumen, yaitu;
survey, analisa tingkat kehilangan konsumen dan pembelanja
27
misterius. Selanjutnya dalam penelitian ini metode yang akan
digunakan adalah survey, karena dapat mengukur tingkat
kepuasan konsumen secara langsung.
2.3 PerumusanProposisi
2.3.1 Kaitan antara Citra Merek dan Kepuasan
Konsumen
Na et al (1999) mengungkapkan bahwa guna mengukur
citra merek perlu diteliti melalui manfaat yang dirasakan oleh
konsumen berdasarkan dimensi-dimensi citra merek. Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa citra merek berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kepuasan konsumen (Nguyen
dan LeBlanc, 1998; Suhartanto dan Kandampully, 2000; Koo,
2003). Nguyen dan LeBlanc (2002) menjelaskan bahwa citra
merek yang baik merupakan perangkat yang kuat bukan hanya
untuk menarik konsumen melainkan juga dapat memperbaiki
sikap dan kepuasan konsumen terhadap produk atau
perusahaan. Citra merek dibentuk dari akumulasi nilai-nilai
manfaat yang ada pada suatu merek sehingga mampu
membentuk opini publik yang luas dan abstrak. Kemudian citra
merek yang baik juga merupakan bagian dari competitive
advantage yang dapat memengaruhi kepuasan konsumen
ketika mengkonsumsi suatu produk atau jasa (Dowling, 2001).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa citra merek berpengaruh positif dan signifikan terhadap
28
kepuasan konsumen. Oleh karena itu, dapat ditarik suatu
proposisi sebagai berikut:
P1: “Semakin tinggi citra merek, maka semakin tinggi
tingkat kepuasan konsumen”.
2.3.2 Kaitan antara Kualitas Produk dan Kepuasan
Konsumen
Pawitra (1995) mengemukakan bahwa kualitas dalam
pandangan konsumen mempunyai ruang lingkup yang
tersendiri dan berbeda dengan kualitas dalam pandangan
produsen ketika mengeluarkan sebuah produk yang biasa
dikenal dengan kualitas sebenarnya. Kualitas dalam pandangan
konsumen lebih merupakan respon subjektif konsumen
terhadap fenomena produk sehingga lebih cenderung subjektif.
Persepsi konsumen atas kualitas merupakan dasar
fundamental bagi seluruh aktivitas pemasaran dan salah satu
motivasi utama konsumen melakukan pembelian (Ariningsih,
2010). Hasil evaluasi konsumen atas suatu kualitas dari produk
atau jasa kan mengarah pada kepuasan ataupun ketidakpuasan
konsumen (Bloemer et al, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa
secara teoritis maupun empiris, kepuasan konsumen
dipengaruhi oleh persepsi kualitas. Persepsi kualitas juga
memberikan kontribusi pada perbaikan kepuasan konsumen
(Fornell et al, 1996).
29
Pendapat di atas juga didukung oleh hasil penelitian dari
Lin (2003), Yu et al (2005) dan Alfonsius (2011) yang
menemukan bahwa kualitas produk memiliki pengaruh positif
dan signifikan terhadap kepuasan konsumen.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa kualitas produk berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kepuasan konsumen. Oleh karena itu, dapat ditarik
suatu proposisi sebagai berikut:
P2: “Semakin tinggi kualitas produk, maka semakin
tinggi tingkat kepuasan konsumen.”
2.3.3 Kaitan antara Kualitas Layanan dan Kepuasan
Konsumen
Kualitas layanan merupakan pemenuhan dari harapan
konsumen atau kebutuhan konsumen yang membandingkan
antara hasil dengan harapan dan menentukan apakah
konsumen sudah menerima layanan yang berkualitas
(Parasuraman et al, 2001). Apabila terjadi tuntutan dari
parakonsumen maka konsumen berharap perusahaan dapat
memberikan pelayanan berupa jawaban yang diberikan secara
ramah, cepat, dan tepat. Untuk produk yang membutuhkan jasa
pelayanan fisik seperti mobil, maka komponen pelayanan
menjadi komponen yang kritis dari nilai (Tjiptono, 2002).
30
Menurut Liu (2005) terdapat pengaruh yang positif
signifikan antara kepuasan konsumendengan kualitas
pelayanan di setiap tingkat pemisahan dari indikasi selanjutnya
bahwa masing-masing sub divisi yaitu mengambil pengertian
sebagai aspek penting dari kualitas pelayanan. Sutarso (1998)
dan Mulyono et al (2011), dengan studinya mengenai kepuasan
konsumen membuktikan bahwa terdapat pengaruh antara
kualitas yang dirasakan dan kepuasan. Pelayanan yang
berkinerja tinggi adalah pelayanan yang mampu melebihi
harapan dari konsumen. Peneilitan Bitner et al (2007)
membuktikan bahwa kepuasan konsumen ditentukan oleh
penilaian konsumen terhadap kualitas pelayanan yang
diberikan perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa kualitas layanan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kepuasan konsumen. Oleh karena itu, dapat ditarik
suatu proposisi sebagai berikut:
P3: “Semakin tinggi kualitas layanan, maka semakin
tinggi tingkat kepuasan konsumen.”
2.3.4 Kaitan antara Nilai Jual Kembali dan Kepuasan
Konsumen
Dongyan dan Xuan (2008) menjelaskan nilai jual
kembali sebagai manfaat dari suatu produk setelah dibeli dari
produsen ketika dijual kembali oleh konsumen beberapa saat
31
kemudian. Suatu produk terkadang dibeli oleh konsumen
sebagai keputusan investasi untuk dijual kembali di masa yang
akan datang. Jenis produk yang sering dijadikan aset investasi
adalah rumah, ruko, tanah, motor, dan mobil. Pembeli saat ini
cenderung memikirkan nilai jual kembali dari produk yang
akan mereka beli, khususnya bila produk tersebut berharga
mahal. Apabila nilai jual kembalinya relatif rendah atau jatuh
tentu saja akan mengecewakan konsumen. Hal ini akan
membuat konsumen cenderung memilih produk dari merek
yang diyakininya tidak akan mengalami hal tersebut. Produsen
tentu saja memahami apa yang dibutuhkan oleh konsumen,
sehingga berupaya agar produknya memiliki nilai jual kembali
yang tinggi (Alaras, 2012). Sharma et al (2011) menjelaskan
bahwa salah satu cara perusahaan otomotif untuk membuat
produknya memiliki nilai jual kembali yang tinggi adalah
dengan memberikan layanan purna jual, baik melalui layanan
servis ataupun ketersediaan suku cadang kendaraan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara
nilai jual kembali dengan kepuasan konsumen produk otomotif
di Indonesia.
Pernyataan di atas didukung oleh hasil-hasil penelitian
yang telah dilakukan oleh Dongyan dan Xuan (2008),
Megantoro (2010), Sharma et al (2011) dan Alaras (2012)
menemukan bukti empiris bahwa nilai jual kembali
32
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan
konsumen.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa nilai jual kembali berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kepuasan konsumen. Oleh karena itu, dapat ditarik
suatu proposisi sebagai berikut:
P4: “Semakin tinggi nilai jual kembali suatu produk,
maka semakin tinggi tingkat kepuasan konsumen.”
2.3.5 Reputasi Perusahaan Memoderasi Kaitan antara
Citra Merek dan Kepuasan Konsumen
Konsumen di Indonesia pada umumnya memiliki telah
memiliki pengalaman dengan produk yang dibuat oleh
perusahaan yang bereputasi bagus. Alessandri (2006)
menyatakan bahwa reputasi perusahaan dan strategi bisnis
berperan penting dalam strategi pemerekan suatu produk atau
jasa. Perusahaan dengan reputasi bagus akan mendongkrak
citra merek dari produk atau jasa yang dijual. Aktivitas
pemasaran dari perusahaan dengan reputasi bagus juga akan
mendapatkan reaksi positif dari konsumen (Abdi, 2012). Hal
ini juga akan berdampak pada kepuasan konsumen secara
langsung, karena dipandang akan meningkatkan pengaruh citra
merek.
Maka berdasarkan uraian di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa persepsi konsumen pada reputasi
33
perusahaan akan memoderasi pengaruh citra merek terhadap
kepuasan konsumen. Oleh karena itu, diajukan proposisi
sebagai berikut:
P5: ”Persepsi konsumen terhadap reputasi perusahaan
memoderasi pengaruh citra merek terhadap kepuasan
konsumen.”
2.3.6 Reputasi Perusahaan Memoderasi Kaitan antara
Kualitas Produk dan Kepuasan Konsumen
Konsumen tentu saja mendambakan kualitas produk
yang dibelinya memiliki kualitas yang bagus. Riset telah
membuktikan bahwa kualitas produk memengaruhi kepuasan
konsumen, karena manfaat produk tersebut dievaluasi oleh
konsumen secara langsung (Lin (2003); Yu et al (2005);
Alfonsius (2011). Salah satu metode menciptakan reputasi
perusahaan yang bagus adalah dengan memproduksi produk
dengan kualitas tinggi. Alhasil perusahaan dengan reputasi
bagus selalu diidentikan dengan produk-produk berkualitas
tinggi pula (Beck dan Franke, 2008). Berdasarkan hal tersebut
maka diduga reputasi perusahaan memoderasi kaitan antara
kualitas produk dengan kepuasan konsumen.
Oleh karena itu, diajukan proposisi sebagai berikut:
P6: ”Persepsi konsumen terhadap reputasi perusahaan
memoderasi pengaruh kualitas produk terhadap kepuasan
konsumen.”
34
2.3.7 Reputasi Perusahaan Memoderasi Kaitan Kualitas
Layanan dan Kepuasan Konsumen
Memberikan kualitas layanan yang prima merupakan
salah satu upaya yang ditempuh perusahaan untuk
meningkatkan kepuasan konsumen. Riset juga telah
membuktikan pengaruh kualitas layanan terhadap kepuasan
konsumen (Sutarso, 1998 dan Liu, 2005). Melalui kualitas
layanan, konsumen dapat menilai kinerja perusahaan dan
mengevaluasinya sehingga konsumen dapat merasa puas atau
tidak (Tjiptono, 2012). Perusahaan dapat memiliki reputasi
yang bagus juga ditunjang oleh bagaimana perusahaan itu
mampu melayani kebutuhan atau keinginan konsumen secara
optimal (Beck dan Franke, 2008), hasilnya adalah ketika
perusahaan memiliki reputasi yang bagus maka konsumen
akan berpresepsi bahwa kualitas layanan perusahaan juga tidak
kalah bagus. Oleh karena itu diduga bahwa kualitas layanan
akan memoderasi pengaruh kualitas layanan terhadap
kepuasan konsumen. Dengan kata lain, diajakukan prosisi
sebagai berikut:
P7: “Persepsi konsumen terhadap reputasi perusahaan
memoderasi pengaruh kualitas layanan terhadap kepuasan
konsumen.”
35
2.3.8 Reputasi Perusahaan Memoderasi Kaitan Nilai Jual
Kembali dan Kepuasan Konsumen
Konsumen mobil di Indonesia cenderung lebih memilih
produk yang memiliki nilai jual kembali yang tinggi, karena
berpikir bahwa membeli mobil merupakan salah satu bentuk
investasi. Salah satu penyebab tingginya nilai jual kembali dari
produk mobil adalah jaminan kualitas purna jual yang prima,
kesediaan suku cadang dan layanan servis yang ada di berbagai
daerah (Sharma et al, 2011). Perusahana otomotif yang mempu
menyediakan layanan yang handal akan dipandang oleh
konsumen memiliki reputasi perusahaan yang bagus (Beck dan
Franke, 2008). Hal ini tentu saja akan membuat konsumen
lebih memilih produk mobil yang dijual oleh perusahaan
bereputasi bagus karena konsumen ingin produk mobil yang
mereka beli memiliki nilai jual kembali yang tinggi di pasar
mobil bekas. Konsumen akan kecewa apabila nilai jual
kembali produk mobil yang mereka beli dinilai rendah oleh
pasar.
Oleh karena itu diduga bahwa persepsi konsumen
tentang reputasi perusahaan akan memoderasi pengaruh nilai
jual kembali terhadap kepuasan konsumen. Dengan kata lain,
diajakukan prosisi sebagai berikut:
P8: “Persepsi konsumen terhadap reputasi perusahaan
memoderasi pengaruh nilai jual kembali terhadap kepuasan
konsumen”
36
2.3.9 Kaitan antara Kepuasan Konsumen dan Minat Beli
Ulang
Rust dan William (1994) dalam suatu kesempatan
menjelaskan bahwa kepuasan konsumen yang didasari pada
pengalaman positif terhadap suatu produk atau jasa dapat
menimbulkan minat dan komitmen dari konsumen untuk
melakukan pembelian ulang di masa depan. Pendapat tersebut
didukung oleh Kotler (1997) yang pada suatu kesempatan
berbeda, mengungkapkan bahwa pemenuhan harapan akan
menciptakan kepuasan bagi konsumen. Konsumen yang
terpuaskan akan menjadi konsumen, dan kemudian mereka
akan: (1) melakukan pembelian ulang, (2) mengatakan hal-hal
yang baik tentang perusahaan kepada orang lain, (3) kurang
memperhatikan merek ataupun iklan produk pesaing, dan (4)
membeli produk lain dari perusahaan yang sama. Penjelasan-
penjelasan tersebut juga sejalan dengan pendapat Sutanto
(2008) yang menyatakan bahwa hasil evaluasi konsumen pada
produk atau jasa yang dibelinya akan mengarah pada kepuasan
(satisfaction) ataupun ketidakpuasan (dissatisfaction)
konsumen, selanjutnya kepuasan dapat menimbulkan loyalitas
konsumen, dan dapat mendorong konsumen untuk melakukan
pembelian ulang pada produk dan jasa perusahaan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hicks etal (2005),
He et al (2008), Adistian (2010) dan Institute of Customer
37
Service (2012) juga mendukung penjelasan di atas karena
kepuasan konsumen terbukti memengaruhi minat beli ulang
konsumen.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa kepuasan konsumen berpengaruh positif dan signifikan
terhadap minat beli ulang. Oleh karena itu dapat ditarik suatu
proposisi sebagai berikut:
P9: “Semakin tinggi kepuasan konsumen, maka semakin
tinggi tingkat minat beli ulang.”
2.4 Pengembangan Model
Berdasarkan hasil landasan teori dan rumusan hipotesa
di atas maka dapat dibuat sebuah model sebagai kerangka
pemikiran teoritis untuk menjawab masalah penelitian sebagai
berikut:
38
Kualitas
Produk
Kualitas
Layanan
Nilai Jual
Kembali
Kepuasan
Konsumen
Minat Beli
Ulang
P2
P3
P4
P9
Reputasi
Perusahaan
Citra Merek
P1
P5 P6
P8
P7