bab ii. landasan teori a. tinjauan pustaka 1. hutan rakyat · pengertian hutan rakyat menurut uu...
TRANSCRIPT
6
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Hutan Rakyat
Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, menegaskan bahwa
hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya
alam hayati didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, satu dengan
yang lain tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan kepemilikannya hutan dibedakan
menjadi hutan Negara dan hutan hak. Dalam hutan hak inilah hutan rakyat yang
dibangun oleh masyarakat.
Pengertian hutan rakyat menurut UU No.41/1999 adalah hutan yang tumbuh
di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya
dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak
milik atau tanah negara. Hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada
di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, dimiliki
oleh masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia yang terjadi secara
alami dan juga dapat terjadi karena upaya rehabilitasi tanah kritis (Hardjosoediro,
1980). Menurut Zain (1998) hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh atau dibangun
oleh masyarakat di atas tanah milik dengan jenis-jenis tanaman hutan.
Pengertian hutan rakyat sendiri menurut Awang (2003) adalah hutan yang
tumbuh diatas lahan milik rakyat baik petani secara perorangan maupun bersama-
sama. Hutan rakyat terbentuk dari kegitan swadaya masyarakat dengan maksud
untuk menghasilkan kayu dan hasil-hasil lainnya secara ekonomis dengan
memperhatikan unsure-unsur keberlanjutan dan perlindungan dalam rangka
memenuhi kebutuhan keluarga dan sosial.
2. Pengelolaan Hutan Rakyat
Pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya bertujuan untuk melestarikan
sumberdaya hutan agar tetap terjamin kesinambungan persidiaannya di masa yang
akan datang. Pencapaian fungsi pengelolaan hutan berdaya guna dan berhasil guna,
perlu dilakukan pendekatan terpadu dan partisipatif dengan keseimbangan antara
ekologis dengan ekonomi.
7
Santoso (1999) dalam Kusmedi (2003) menyatakan bahwa teknik atau cara
yang kusus dalam pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya sangat beragam atau
heterogen, karena pengelolaannya sangat tergantung dari pemiliknya yang
mengetahui dan memahami potensi yang khas serta masalah yang ada disetiap
jengkal pada lahannya untuk dikelola dan diolah sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan
yang arif dan suda membudaya dimasyarakat petani. Secara fisik hutan rakyat
memiliki pola tanam yang bergam. Ada dua pola hutan rakyat yang sering
dikembangkan oleh petani yaitu;
a. Pola hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang terdiri atau satu jenis tanaman
kayu-kayuan (monokultur), atau lebih dari satu jenis tanaman kayu-kayuan
(polikultur).
b. Pola hutan rakyat campuran, yaitu hutan rakyat yang terdiri atas tanaman kayu-
kayuan (tanaman hutan) dan tanaman pertanian (tanaman pangan, tanaman obat,
rumput atau pakan ternak, perkebunan, tanaman horticultural), guna member
hasil dalam waktu pendek dan berkesinambungan.
3. Parstisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan dalam pengelolaan hutan rakyat,
karena pengelolaan hutan rakyat itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari 2 (dua) hal
yaitu status kawasan dan organisasi pengelolanya.
Konteks organisasi dalam hutan rakyat adalah kelompok tani, bagaimana
anggota kelompok tani ini mengaktualisasikan dirinya dalam satu wadah.
Keberadaan kelompok tani hutan rakyat merupakan bentuk partisipasi teroganisasi
khususnya dalam bidang kehutanan.
Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan, keterlibatan dan
kebersamaan anggota massyarakat dalam kegiatan baik secara langsung maupun
tidaka langsung (Adisasmita, 2006). Partisipasi masyatakat juga dapat diartikan
pelibatan diri secara penuh suatu tekad yang sudah terjadi kesepakatan bersama
antar anggota masyarakat dalam kelompok. Ada bermacam-macam factor yang
mendorong pelibatan diri, bias karena kepentingan juga bias karena kesetiakawanan
atau solidaritas.
8
Awang (2003) mendifinisikan partisipasi digunakan dalam konteks yang
bergam baik secar kusus maupun umum, partisipasi adalah keterlibatan aktif dan
bermakna dari masa penduduk pada tingkat berbeda seperti;
a. Dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan
kemasyarakatan dan pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan
tersebut;
b. Pelaksanaan program-program dan proyek-proyek secara sukarela dan
pembagian yang merata, dan
c. Pemanfaatan hasil-hasil dari satu program atau suatu proyek.
4. Lahan Kritis
Poerwowidodo (1990), memandang Lahan kritis sebagai keadaan lahan yang
terbuka sebagai akibat adanya erosi yang berat dan menyebabkan produktivitas pada
lahan tersebut menjadi rendah sebagai mana yang dikemukakannya bahwa : “Lahan
kritis adalah suatu keadaan lahan yang terbuka atau tertutupi semak belukar, sebagai
akibat dari solum tanah yang tipis dengan batuan bermunculan dipermukaan tanah
akibat tererosi berat dan produktivitasnya rendah”.
Menurut Hanipa (2005) Lahan kritis merupakan lahan yang telah mengalami
atau dalam proses kerusakan fisik, kimia, atau biologi yang akhirnya dapat
membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemukiman, dan
kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya.
Peningkatan jumlah penduduk sejalan pula dengan meningkatnya kebutuhan
akan lahan peruntukan pemukiman bagi tempat tinggal manusia, industri, maupun
lahan pertanian sebagai sarana pemenuhan kebutuhan pangan manusia. Akan tetapi
penggunaan lahan oleh manusia terkadang kurang benar akibat ketidak tahuan
masyarakat tersebut. Hal ini mendorong timbulnya lahan-lahan kritis yang baru,
dengan demikian tentunya diperlukan usaha pengendalian agar lahan mampu
berproduksi dengan baik sesuai dengan kemampuannya.
a. Parameter Lahan Kritis
Berubahnya kemampuan lahan untuk produktifitas adalah salah satu
indikator dari timbulnya lahan kritis. Timbulnya lahan kritis disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah topografi, faktor tanah, tingkatan erosi, dan
vegetasi penutupan lahan.
9
1) Topografi
Unsur-unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap timbulnya
lahan kritis adalah kemiringan lereng. Tidak hanya itu saja, panjang lereng,
bentuk dan arah lereng pula dapat menimbulkan pengaruh pada timbulnya
lahan kritis. Kemiringan lereng merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi dan mengendalikan proses-proses pembentukan tanah.
Kemiringan lereng juga merupakan salah satu gejala perkembangan tanah
akibat pengaruh lingkungan fisik dan hayati. Faktor lereng terutama akan
berpengaruh terhadap erosi yang terjadi, semakin besar presentase
kemiringan pada suatu lereng akan memberikan daya erosivitas pada hujan
yang semakin besar. Sehingga berbagai material kesuburan dan sifat fisika
tanah pun akan terpengaruh dengan pelepasan yang terjadi dipermukaannya.
Kemiringan lereng dapat mencirikan bentuk dan sifat tubuh
tanahnya, serta menunjukkan besaran jumlah aliran permukaan, seperti yang
dikemukakan oleh Arsyad (1989) bahwa “Selain dari memperbesar jumlah
aliran permukaan, makin curamnya lereng juga memperbesar kecepatan
aliran permukaan yang dengan demikian memperbesar energy angkut air”.
Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa kemiringan lereng dapat
mempengaruhi pula terjadinya erosi.
Panjang lereng, bentuk dan arah lereng dapat mempengaruhi
terjadinya erosi yang merupakan cikal-bakal pula terjadinya lahan kritis.
Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran permukaan sampai
pada suatu titik dimana air masuk kedalam saluran atau sungai, atau
kemiringan lereng yang berkurang sedemikian rupa sehingga kecepatan
aliran air berubah (Arsyad, 1989). Semakin panjang lereng, maka jumlah
erosi total akan semakin banyak.
2) Tanah
a) Kedalaman Tanah Efektif
Kedalaman tanah efektif berpengaruh terhadap kepekaan tanah
pada erosi. Menurut Hardjowigeno (2007) “Kedalaman efektif adalah
kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh akar tanaman”. Tanah-
tanah yang dalam dan permeabel kurang peka terhadap erosi daripada
10
tanah yang permeabel tetapi dangkal. Kedalaman tanah sampai lapisan
kedap air menentukan banyaknya air yang dapat diserap tanah dengan
demikian mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Dengan semakin
berkurangnya aliran permukaan berarti pengikisan tanah juga berkurang,
hal ini juga berpengaruh pada nilai erosi yang diperbolehkan.
Kedalaman tanah efektif adalah kedalaman tanah yang masih
dapat ditembus akar tanaman. Pengamatan kedalaman tanah efektif
dilakukan dengan mengamati persebaran akar tanaman.Kedalaman tanah
efektif diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 2. Klasifikasi Kedalaman Tanah Efektif
No Kedalaman Tanah (cm) Kelas1. > 90 Dalam2. 90 – 50 Sedang3. 50 – 25 Dangkal4. < 25 Sangat dangkal
Sumber : Arsyad, (1989).
b) Kesuburan Tanah
Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
seperti yang dikemukakan oleh Hardjowigeno (2007) antara lain :
(1) Sinar matahari
(2) Suhu
(3) Udara
(4) Air
(5) Unsur-unsur hara dalam tanah (N,P,K, dan lain-lain).
Kandungan bahan organik/unsur hara memegang peranan penting
untuk tanaman, semakin banyak bahan organik/unsur hara dalam tanah,
maka akan semakin baik dan produktif tanah yang dihasilkan.
Kekurangan unsur hara dalam tanah dapat diketahui dengan beberapa
cara, salah satunya yaitu dengan menganalisis tanah seperti yang di
jabarkan pada Tabel 3.
Untuk mengetahui jumlah kandungan unsur hara dalam tanah
dilakukan metode pengharkatan, yaitu dengan menjumlahkan ketiga
parameter hara yaitu N, P2O5, dan K2O yang diperoleh dari hasil
perhitungan kriteria penelitian hasil analisis tanah, seperti yang
11
dikemukakan oleh Jamulya dan Sunarto (1991) bahwa : ” Metode
pengharkatan adalah metode yang menjumlahkan unsur-unsur yang
menguntungkan dari sifat fisik tanah”.
Tabel 3. Kreteria Sifat Kimia Tanah.
Parameter tanah Sangat rendah
Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
N-total (%) ˂0,1 0,1-0,2 0,21-0,5 0,51-0,75 >0,75P2O5 HCL (me/100g) ˂10 10-20 21-40 41-60 >60P2O5 Bray 1 (pmm) ˂10 10-20 21-40 41-60 >60K2O HCL (me/100g) ˂10 10-20 21-40 41-60 >60C-organik (%) ˂1 1-2 2,01-3 3,01-5 >5
Sumber: Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Hardjowigeno (2003).
3) Erosi
Menurut Sarief (1985) “Erosi adalah proses pengikisan lapisan tanah
dipermukaan sebagai akibat dari tumbukan butir hujan dan aliran air
dipermukaan”. Sedangkan definisi erosi menurut Arsyad (1989) “Erosi
merupakan suatu peristiwa pindahnya atau terangkutnnya tanah atau bagian-
bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami”.
4) Vegetasi
Vegetasi mempunyai peranan penting dan sangat berpengaruh
terhadap erosi di suatu tempat. Dengan adanya vegetasi tanah dapat
terlindung dari bahaya kerusakan tanah oleh butiran hujan (Sarief, 1985).
Pada dasarnya tanaman mampu mempengaruhi erosi karena adanya
a) intersepsi air hujan oleh tajuk dan absorbsi melalui energi air hujan,
sehingga memperkecil erosi, b) pengaruh terhadap struktur tanah melalui
penyebaran akar-akarnya, c) pengaruh terhadap limpasan permukaan, d)
peningkatan aktivitas mikroorganisme dalam tanah, dan e) peningkatan
kecepatan kehilangan air karena transpirasi (Utomo, 1989). Vegetasi juga
dapat menghambat aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi, selain itu
juga penyerapan air ke dalam tanah diperkuat oleh transpirasi (penyerapan
air melalui vegetasi).
12
5. Keanekaragaman Vegetasi dan Fungsi Ekosistem
Indonesia berada pada kawasan keanekaragaman yang sangat tinggi dengan
luas 1,3% dari permukaan daratan bumi, menyimpang kekayaan spesies terbesar
nomor 3 di dunia, dengan pemanfaatan spesies masih sangat terbatas (Marsono,
2004). Keanekaragaman tersebut dimanfaatkan secara langsung melaluai
pengelolaan konservasi lahan untuk produksi pangan, atau barang-barang lain yang
digunakan sebagai penunjang kehidupan manusia. Semakin bertambahnya populasi
manusia maka kebutuhan lahan juga semakin meningkat yang pada akhirnya dapat
menyebabkan berkurang atau hilangnya keanekaragaman vegetasi (Chapin et
al.2011).
Keberadaan keanekaragaman vegetasi sangat dipengaruhi oleh factor
lingkungan yang berhubungan dengan pertumbuhannya, dan merupakan hasil akhir
interaksi dari berbagai proses fisiologis (Ewusie, 1990; Fitter & Hay 1992). Selain
hal tersebut keanekaragaman vegetasi juga dipengaruhi oleh struktur dan komposisi
vegetasi yang ada, dan terdiri dari 3 komponen yaitu: 1) struktur vegetasi secara
vertical yaitu tingkat pohon, sapihan, semai, herba dan rumput; 2) sebaran horisontal
jenis-jenis penyusun vegetasi yang menggambarkan letak satu individu terhadap
individu lain; 3) kemelimpahan (abundance) yaitu banyak jenis dalam satu
komunitas (Kersaw, 1973).
Kehilangan atau berkurangnya keanekargaman vegetasi dapat terjadi apabila
pemanfaatannya tidak terkendali. Kehilang ini tidak secara lansung tetapi melalui
kerusakan habitat, bertambahnya populasi penduduk dan aktifitasnya. Selain itu
perubahan tata guna lahan merupakan factor utama yang berpengaruh terhadap
ekosistem antara lain untuk pengembangan pedesaan dan perkotaan yang
dimanfaatkan untuk pemukiman (7%), lahan pertanian (20%), padang gembala
(30%), hutan (20%) dan tanah tak berpenghuni 25% (Indrawan dkk. 2007; Milder et
al., 2008, Chapin et al., 2011).
Lahan sebagai sumberdaya alam, selama ini telah dimanfaatkan untuk
kepentingan baik secara ekonomi maupun ekologi. Beberapa dasawarsa terakhir,
pemanfaatan sumberdaya alam tampak berlebihan sehingga menimbulkan terjadi
kerusakan serta bencana alam dan tidak dapat berfungsi lagi secara ekologi.
Fenomena tersebut menunjukkan apabila peran konservasi tidak ditingkatkan maka
13
dikhawatirkan sumberdaya alam akan musnah sebelum dimanfaatkan (Davies &
Wismer, 2007; Marsono 2004).
Pengelolaan lahan dapat mempengaruhi keanekaragaman hayati yang
merupakan salah satu aspek ekosistem, dan menentukan satuan lahan yang
keutuhannya perlu dilindungi. Kesesuaian pengelolaan lahan membutuhkan cara
baru agar dapat melindungi keanekaragaman, sehingga manajemen hutan
merupakan kunci untama perencanaan pengembangan ekosistem yang
berkesinambungan (Davies & Wismer, 2007). Upaya untuk mengurangi dampak
perluasan kawasan yang berpengaruh negative secara ekologi dapat dilakukan
dengan cara konservasi ekosistem.
Model konservasi dapat dilakukan dengan cara mengkombinasikan
pengembangan konservasi dengan kebutuhan masyarakat dan investifasi masa depan
(sustainable ecosystem), misalnya dengan pengelolaan lahan untuk konservasi,
rekreasi, daerah penyangga kehidupan, pemakaman, pertanian, peternakan,
perkebunan, hutan rakyat atau tetap dijadikan sebagai hutan lindung. Kesemuanya
memerlukan perencanaan yang cermat, membutuhkan waktu lama, dan melibatkan
semua pihak terkait dengan pengelolaan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan ekosistem. Keseimbangan antara kebutuhan lahan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, penyangga kehidupan, konservasi keanekaragaman hayati,
serta menjaga fungsi ekosistem membutuhkan suatu model terpadu (Milder et al,
2008).
Konsep pengelolaan ekosistem yang saat ini sedang berkembang adalah
pengelolaan dengan memadukan hubungan ekologi, dalam kerangka pemikiran
social ekonomi dan nilai, bertujuan untuk melindungi keutuhan ekosistem alami
dalam jangka waktu panjang. Tujuan pengelolaan ekosistem hanya dapat tercapai
apabila ada kerja sama yang efektif antara pemerintah, organisasi konservasi,
kalangan bisnis, pemilik lahan, dan masyarakat (Indrawan dkk, 2007).
Ekosistem bermanfaat bagi masyarakat, karena mempunyai fungsi di
antaranya mengendalikan banjir, menyediakan pembangkit energy air, sumber
makanan, produksi kayu, dan sarana rekreasi (ekowisata).konservasi ekosistem
berfungsi untuk melindungi spesies dan ekosistem itu sendiri untuk menjalankan
fungsinya, dan jasa lingkungan yang terkait. Beberapa hal penting dalam
14
pemeliharaan konservasi ekosistem (Buck et al., 2001), antara lain: 1). Memastikan
keberlanjutan (sustainability) semua spesies, kelangsungan hidup berbagai
perwakilan komunitas hayati, maupun seluruh tahapan suksesi yang ada dan
menjaga agar ekosistem dapat berfungsi secara efektif; 2). Memahami hubungan
antara setiap komponen pada hierarkhi ekosistem, mulai dari tingkat individu,
spesies, komunitas, hingga ekosistem; 3). Memantau komponen-komponen
ekosistem (anatara lain jumlah individu dari spesies penting, tutupan vegetasi,
kualitas air), serta pengumpulan data yang diperlukan dan digunakan untuk
pengelolaan sesuai kondisi setempat; 4). Memahami bahwa manusia merupakan
bagian dari ekosistem, dan penilaian manusia akan mempengaruhi tujuan
pengelolaan ekosistem.
6. Efektifitas Keterlibatan Masyarakat dalam Konservasi
Beberapa dekade terakhir, dampak aktifitas manusia pada daerah tropis telah
mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hutan tropis telah
berubah, penebangan hutan untuk pembukaan jalan baru telah merembah ke daerah-
daerah yang sebelumnya tidak terjamah. Lahan yang masih tersisa untuk tumbuhan
kemudian berubah fungsi, keanekaragamn terancam yang dampaknya akan
merugikan masyarakat. Hal tersebut memerlukan suatu pemikiran agar konservasi
daerah tropis dapat tercapai, ini perlu dilakukan karena pada umumnya masyarakat
di daerah tropis belum menganggap pentingnya konservasi. Walaupun sebenarnya
para ahli konservasi secara terus menerus memperhatikan permasalahan yang
dihadapi oleh masyakarat lokal. Permasalahan tersebut antara lain kegagalan upaya
konservasi, pengembangan yang terintergrasi, dan konservasi yang berbasis
masyarakat. Kesemuanya mempunyai peranan untuk kembali pada paradigm
konservasi perlindungan (Primack dkk, 2004; Sheil et al., 2006).
Beberapa daerah, saat ini semakin banyak pengelolaan konservasi dengan
melibatkan masyarakat. Masyarakat selama ini hanya sebagai obyek, sedangkan
hasil yang diperoleh dan berbasis pengetahuan mereka tidak pernah diketahui oleh
masyarakat itu sendiri. Menurut Bajracharya, et al,. (2005), partisipasi aktif
masyarakat sejak identifikasi masalah, perencanaan, pemilihan model manajemen
berkelanjutan, serta pengelolaan lahan dapat diperoleh apabila terdapat suatu sistem
15
yang menunjukan bahwa masyarakat akan mendapat insentif yang positif,
manajemen realities, penegakan hukum dan kesepakatan institusional.
Tantangan utama yang dihadapi pada konservasi yang berbasis masyarakat
adalah, proses memberikan informasi bahwa mereka akan mendapat keuntungan
secara ekonomi, ramah lingkungan, praktis, dan menghasilkan teknologi dengan
biaya tetap terjangkau. Berbagai unsur asal pengetahuan yang beragam menjadi
bagian dari komponen yang saling berinteraksi antara dunia ekstra personal dan
struktur intrapersonal seseorang, serta membentuk skema interpretasi individu atas
dunia yang melingkupinya (Winarto, 2001).
Salah satu strategi konservasi adalah menghormati hak dan kepentingan
masyarakat lokal, karena dalam beberapa hal mereka telah memainkan peran
penting sebagai upaya melindungi ekosistem dan keanekaragaman hayati melalui
kearifan yang dimiliki. Perubahan yang menyangkut pelaksanaan dengan merubah
hak masyarakat lokal bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi yang terpenting adalah
upaya strategi konservasi untuk dirumuskan dan diimplementasikan (Arambiza &
Painter, 2006; Young, et al., 2007).
Konservasi ekosistem sebenarnya dapat dilaksanakan dan akan bermanfaat
apabila dedikasi untuk membangun kemitraan tersebut memunculkan kekuatan pada
masing-masing kelompok dan saling menghormati perbedaan yang ada. Konservasi
ekosistem secara tidak langsung dapat memberantas kemiskinan sekaligus
melindungi keanekaragaman hayati, walaupun sebenarnya merupakan dua tujuan
yang berbeda. Akan tetapi, pada pelaksanaanya keterkaitan yang ada akan menjamin
upaya kerja sama agar terlepas dari kesulitan yang ada (Nahdi, et al., 2012).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Kalimantan timur oleh Sheil
et al. (2006), menyimpulkan bahwa perencanaan konservasi tanpa memperhatikan
keinginan masyarakat, mengesampinkan stakeholder lokal, dan hanya
memperhatikan atau dikendalikan dari luar saja menyebabkan gagalnya konservasi
dan menimbulkan konflik. Sebaliknya dengan melibatkan masyarakat, yaitu dengan
mengintegrasikan inventaris keanekaragaman hayati dari pandangan masyarakat
terhadap lingkungan, dapat membantu memperbaiki perencanaan konservasi hutan.
Konservasi ini sangat berhubungan dengan kebutuhan masyarakat lokal dan system
16
pemanfaatan hutan. Konservasi dapat dilakukan berdasarkan pengenalan masyarakat
lokal terhadap kearifan yang mereka miliki.
7. Konservasi Ekosistem dan Kearifan Ekologi
Konservasi ekosistem berbasis kearifan masyarakat saat ini belum banyak
dilaksanakan, beberapa negara di Afrika telah melaksanakan dan ternyata telah
berperan dalam permasalahan illegal logging, penurunan pencurian kayu,
meningkatkan pelestarian ekosistem melalui berbagai kegiatan yang memberikan
manfaat secara ekonomis ( Metcalfe, 1994; Lewis & Alpert, 1997; Bajrachharya et
al., 2005). Bukti bahwa pelestarian berbasis keanekaragaman hayati telah
menguntungkan masyarakat lokal, biasanya terlihat tidak langsung (Lewis & Alpert,
1997; Bajrachharya et al., 2005).
Menurut Liambit, et al. (2005), partisipasi aktif masyarakat lokal merupakan
strategi penentu keberhasilan konservasi ekosistem, sehingga yang harus menjadi
perhatian adalah mengupayakan agar masyarakat mau aktif sehingga menjadi
tertarik. Ketertarikan ini sangat tergantung pada manfaat yang dirasakan baik secara
langsung maupun tidak langsung dan pengetahuan mereka terhadap konservasi
ekosistem, system nilai yang yang mengandung unsure agama, budaya, dan sosial
kemasyarakatan serta hubungan mereka dengan alam.
Perlakuan manusia terhadap alam atau lingkungannya merupakan suatu
proses adaptasi. Perubahan lingkungan baik dalam bentuk bencana alam maupun
lainnya akan memberikan kesadaran baru bagi manusia agar mampu merefleksikan,
secara terus menerus interaksinya dan dapat memunculkan kearifan masyarakat
dalam bentuk pengembangan etika, sikap kelakuan, pola hidup, serta sebagai trades
yang berimplikasi positif bagi pemilihara dan pelestarian lingkungan hidup (Salim,
1979).
8. Struktur dan Komposisi Vegetasi
Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) membagi struktur vegetasi
menjadi lima berdasarkan tingkatannya, yaitu: fisiognomi vegetasi, struktur
biomassa, struktur bentuk hidup, struktur floristik, struktur tegakan.
17
Menurut Kershaw (1973), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen,
yaitu:
a. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan
diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan
herba penyusun vegetasi.
b. Sebaran, horisotal jenis-jenis penyusun yang smenggambarkan letak dari
suatu individu terhadap individu lain.
c. Kelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas
Dalam komunitas hutan yang masih lengkap pada umumnya dijumpai tiga
strata yaitu stratum herba, semak dan pohon (Oosting, 1956). Komunitas terdapat
lima karakter yang mewarnainya yaitu keanekaragaman spesies, strutur dan bentuk
pertumbuhan, kemelimpahan nisbi, dominasi dan struktur jaringan makanan
(Krebs,1978).
Kelimpahan jenis ditentukan, berdasarkan besarnya frekwensi,
kerapatan dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-
jenis lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa,
persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan
kerapatan (Soerianegara dan Indrawan, 1988)
Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu
luasan tertentu, misalnya 100 individu/ha. Frekwensi suatu jenis tumbuhan
adalah jumlah petak contoh dimana ditemukannya jenis tersebut dari sejumlah
petak contoh yang dibuat. Biasanya frekwensi dinyatakan dalam besaran
persentase. Basal area merupakan suatu luasan areal dekat permukaan tanah
yang dikuasai oleh tumbuhan. Untuk pohon, basal areal diduga dengan
mengukur diameter batang (Kusuma, 1997).
9. Analisis Vegetasi
Vegetasi adalah semua jenis tumbuh-tumbuhan yang berada pada suatu
daerah. Istilah vegetasi mengacu pada penutupan tumbuh-tumbuhan seperti apa
yang sebenarnya terjadi pada suatu daerah (Odum, 1998). Vegetasi terdiri dari
semua spesies tumbuhan yang berada pada suatu daerah (Barbour, et al., 1987).
Secara umum peranan vegetasi dalam suatu ekosistem terkait dengan
pengaturan keseimbangan karbon dioksida dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat
18
fisik, kimiawi dan biologis tanah, pengaturan tata air tanah dan lain-lain. Meskipun
secara umum kehadiran vegetasi pada suatu area memberikan dampak positif, tetapi
pengaruhnya bervariasi tergantung pada struktur dan komposisi vegetasi yang
tumbuh pada daerah itu (Arrijani, 2008).
Analisis vegetasi merupakan suatu cara untuk mempelajari susunan atau
komposisi jenis dan struktur komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret
dari semua spesies tetumbuhan yang menempati suatu habitat tertentu (Indriyanto,
2008), Perbedaan keanekaragaman spesies dalam komunitas tumbuhan
menimbulkan perbedaan struktur antara komunitas satu dengan lainnya. Nilai
keanekaragaman ditentukan dengan menggunakan angka indeks dari Shanon-
Wiener (Barbour et al., 1987).
Parameter vegetasi kuantitatif dapat diukur dalam sampling komunitas dan
bersifat penting meliputi densitas, frekuensi dan penutupan. Frekuensi dan densitas
mempunyai hubungan yang bebas, artinya jika suatu spesies mempunyai densitas
tinggi, frekuensinya dapat rendah, dengan demikian spesies tersebut mungkin
terdistribusi secara mengelompok. Sebaliknya jika suatu spesies mempunyai
densitas rendah dan frekuensi tinggi maka spesies tersebut mempunyai pola regular
(Hardjosuwarno, 1988).
10. Faktor-faktor Abiotik
Faktor abiotik terdiri dari kelembaban udara, temperatur, keadaan tanah dan
air. Faktor-faktor lingkungan ini dapat mempengaruhi komunitas tumbuhan (Krebs,
1976). Menurut Michael (1995), oraganisme dalam suatu lingkungan bertautan erat
sekali dengan sekelilingnya, sehingga mereka membentuk bagian dari
lingkungannya sendiri. Pengaruh lingkungan pengatur terhadap komunitas hidup
yang menunjang adalah hasil aksi yang tidak bergantung dan saling terkait unsur
yang beragam dalam ruang dan waktu, interaksi suatu organisme dengan
lingkungannya menentukan ukuran populasi dan penyebarannya. Faktor lingkungan
berpengaruh terhadap ketidakhadiran atau kehadiran, kesuburan atau kelemahan dan
keberhasilan atau kegagalan (Polunin, 1990). Sehingga lingkungan disekitar
naungan kanopi pohon dapat mempengaruhi kehidupan organisme yang ada
dibawahnya. Faktor-faktor abiotik yang berpengaruh terhadap komunitas tumbuhan
antara lain:
19
a. Suhu
Suhu adalah faktor ekologis yang mudah diukur dan bisa menjadi
pembatas terhadap pertumbuhan dan penyebaran tanaman (Michael, 1995). Suhu
akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan tumbuhan untuk
mempertahankan diri di suatu tempat. Hal ini dapat berpengaruh terhadap
vegetasi tumbuhan pada daerah itu (Polunin, 1990). Kebanyakan pertumbuhan
tanaman terjadi pada suhu antara 100C-400C (Tjondronegoro dan Harran,
1983). Suhu tergolong faktor yang menentukan sifat dari ekosistem dan
komunitas darat (Odum, 1998).
b. Kelembaban
Kelembaban adalah faktor ekologis yang penting karena dapat
mempengaruhi aktivitas organisme dan membatasi penyebaran dengan
keragaman harian, serta keragaman tegak dan mendatar (Michael, 1995).
Kelembaban udara secara langsung mempengaruhi bentuk dan struktur
tumbuhan, karena kelembaban udara mempengaruhi laju transpirasi tumbuhan
(Dwijoseputro, 1990). Seperti halnya suhu, kelembaban juga tergolong faktor
yang menentukan sifat dari ekosistem dan komunitas darat (Odum, 1998).
c. pH tanah
pH tanah menyatakan banyaknya konsentrasi ion H+ dan ion OH – di
dalam tanah. Makin tinggi konsentrasi ion H+ didalam tanah, makin asam tanah
tersebut. Sebaliknya makin tinggi ion OH –, makin basa tanah tersebut
(Handayanto dan Hairiah, 2007). Tumbuhan sangat responsif terhadap sifat
kimiawi lingkungannya, hingga sebagian besar tanaman menyukai pH netral
berkisar 6-7 karena ketersediaan unsur hara cukup tinggi pada nilai pH ini
(Handayanto dan Hairiah, 2007).
d. Zonasi Elevasi
Menurut Van Steenis (2006), seperti di mana saja di dunia, penurunan
suhu karena bertambahnya elevasi akan menimbulkan efek zonasi. Zonasi iklim
di Jawa berdasarkan elevasi dapat dikelompokan sebagai berikut :
1) 0 – 1000 m Zona Tropik (500-1000 m subzona Bukit {Colline})
2) 1000 – 2400 m (Zona Pegunungan (1000 – 1.500 m subzone
subpegunungan.
20
3) di atas 2.400 m Zona Subalpin.
11. Asas Ilmu Lingkungan
Ilmu lingkungan adalah ekologi yang menerapkan berbagai asas dan
konsepnya kepada masalah yang lebih luas, yang menyangkut pula hubungan
manusia dengan dengan lingkungannya. Ilmu lingkungan ini mengintegrasikan
berbagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara jasad hidup
(termasuk manusia) dengan lingkungannya. Asas di dalam suatu ilmu pada dasarnya
merupakan penyamarataan kesimpulan secara umum, yang kemudian digunakan
sebagai landasan untuk menguraikan gejala (fenomena) dan situasi yang lebih
spesifik. Asas dapat terjadi melalui suatu penggunaan dan pengujian metodologi
secara terus menerus dan matang, sehingga diakui kebenarannya oleh ilmuwan
secara meluas. Asas di dalam suatu ilmu yang sedang berkembang digunakan
sebagai landasan yang kokoh dan kuat untuk mendapatkan hasil, teori dan model
seperti pada ilmu lingkungan (Soeriaatmadja, 1989). Asas ilmu lingkungan terdiri
dari 14 asas, antara lain :
a. Asas 1 Semua energi yang memasuki sebuah organisasi hidup populasi atau
ekosistem dapat dianggap sebagai energi yang tersimpan atau terlepas.
b. Asas 2 Tak ada sistem pengubahan energi yang betul-betul efisien.
c. Asas 3 Materi, energi, ruang, waktu, dan keanekaragaman, semua termasuk
kategori sumber alam.
d. Asas 4 Untuk semua kategori sumber alam, kalau pengadaannya sudah
mencapai optimum, pengaruh unit kenaikannya sering menurun dengan
penambahan sumber alam itu sampai kesuatu tingkat maksimum.
e. Asas 5 Ada dua jenis sumber daya alam, yaitu sumber alam yang pengadaannya
dapat merangsang penggunaan seterusnya, dan yang tak mempunyai daya
rangsang penggunaan lebih lanjut.
f. Asas 6 Individu dan spesies yang mempunyai lebih banyak keturunan dari pada
saingannya, cenderung berhasil mengalahkan saingannya.
g. Asas 7 Kemantapan keanekaragaman suatu komunitas lebih tinggi di alam
lingkungan yang “mudah diramal”.
21
h. Asas 8 Sebuah habitat dapat jenuh atau tidak oleh keanekaragaman takson,
bergantung kepada nicia dalam lingkungan hidup itu dapat memisahkan takson
tersebut.
i. Asas 9 Keanekaragaman komunitas apa saja sebanding dengan biomassa dibagi
produktivitas.
j. Asas 10 Dalam lingkungan stabil perbandingan antara biomasa dengan
produktivitas dalam perjalanan waktu naik mencapai asimtoot.
k. Asas 11 Sistem yang sudah mantap (dewasa) mengeksplotasi sistem yang
belum mantap (belum dewasa).
l. ASAS 12 Kesempurnaan adaptasi suatu sifat atau tabiat bergantung kepada
kepentingan relatifnya di dalam keadaan suatu lingkungan.
m. Asas 13 Lingkungan yang secara fisik mantap terjadinya penimbunan
keanekaragaman biologi dalam ekosistem yang mantap, yang kemudian dapat
menggalakkan kemantapan populasi lebih jauh lagi.
n. Asas 14 Derajat pola peraturan naik-turunnya populasi bergantung kepada
jumlah keturunan dalam sejarah populasi sebelumnya yang nanti akan
mempengaruhi populasi itu.
12. Strategi Upaya Optimalisasi Lahan Hutan Rakyat dengan Analisis SWOT
Strategi pengembangan pengelolaan hutan rakyat diperlukan upaya atau
strategi untuk optimalisasi lahan. Untuk merumuskan dan menghasilkan strategi
dimaksud, ada beberapa cara, perangkat ataupun metode yang dapat dijadikan
pilihan termasuk salah satunya dengan menggunakan Analisis SWOT. Analisis ini
merupakan sebuah cara yang umum digunakan untuk merumuskan suatu strategi
berdasarkan faktor-faktor yang terlibat ataupun yang mempengaruhi pada suatu rencana
kegiatan. SWOT merupakan singkatan dari strengths (kekuatan), weaknesses
(kelemahan), opportunities (peluang) dan threats (ancaman).
Menurut Rangkuti (2008) Analisis SWOT adalah upaya identifikasi berbagai
faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi, berdasarkan logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan dan peluang dimana secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan dan ancaman. Sementara menurut Start dan Hovland (2004), analisis SWOT
merupakan sebuah alat perencanaan strategis yang klasik. Dengan mempergunakan
kerangka kekuatan dan kelemahan faktor internal serta peluang dan ancaman dari faktor
eksternal, menyediakan sebuah cara yang sangat sederhana untuk mengkaji strategi
22
terbaik yang dapat diterapkan. Analisis SWOT didasarkan pada asumsi bahwa suatu
strategi yang efektif harus memaksimumkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan
kelemahan dan ancaman. Dengan bantuan analisis SWOT, perencana menjadi realistis
terhadap apa yang akan dicapai dan pada bagian mana yang harus difokuskan.
PELUANG (O)
KELEMAHAN (W)
Sel/Kuadran III Sel/Kuadran I
KEKUATAN (S)
Sel/Kuadran IV Sel/Kuadran II
ANCAMAN (T)
Gambar 1. Diagram SWOT (Rangkuti 2008)
Diagram SWOT merupakan perpaduan antara kekuatan dan kelemahan
(diwakili garis horizontal) dengan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal).
Pada diagram tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif sementara
kelemahan dan ancaman diberi tanda negatif. Berdasarkan letak kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman pada diagram akan menentukan arah strategi yang
akan digunakan dalam upaya optimalisasi lahan hutan rakyat (Gambar 2). Pada
diagram SWOT terdapat 4 (empat) sel sebagai hasil perpaduan antara kekuatan-
kelemahan dengan peluang-ancaman. Sel pertama merupakan situasi yang sangat
menguntungkan dimana upaya optimalisasi lahan hutan rakyat memiliki peluang dan
kekuatan sehingga dapat menggunakan peluang yang ada. Dalam situasi seperti ini
strategi yang dipakai adalah mendukung kebijakan perkembangan yang agresif (support
an aggressive strategy).
Jika posisi rencana upaya optimalisasi lahan hutan rakyat berada pada sel
kedua, meskipun menghadapi berbagai macam ancaman namun masih memiliki
kekuatan dari faktor internal. Strategi pengembangan yang diterapkan dalam kondisi
seperti ini adalah dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka
panjang dengan cara strategi diversifikasi (support a diversification strategy).
23
Apabila posisi upaya optimalisasi lahan hutan rakyat berada pada sel ketiga,
berarti rencana memiliki peluang yang besar, tetapi juga menghadapi beberapa
kendala/kelemahan internal. Fokus strategi pada situasi ini adalah meminimalkan
masalah-masalah internal sehingga dapat mempergunakan, mengoptimalkan ataupun
merebut peluang yang lebih baik (support a turnaround oriented strategy). Namun
apabila rencana upaya optimalisasi lahan hutan rakyat berada pada posisi sel keempat,
berarti rencana tersebut menghadapi situasi yang tidak menguntungkan, yakni memiliki
kelemahan dari sisi internal dan menghadapi berbagai ancaman dari sisi ekternal. Dalam
kondisi seperti pada sel keempat strategi yang diterapkan fokus pada strategi bertahan
(support a defensive strategy). Masing-masing sel pada diagram SWOT
memperlihatkan kondisi atau situasi yang berbeda, sehingga untuk rencana
pengembangannya dibutuhkan strategi yang berbeda (Rangkuti 2008).
Selain menggunakan diagram SWOT, Rangkuti (2008) mengemukakan bahwa
alat lain yang dapat digunakan untuk menyusun strategi pengembangan berdasarkan
faktor internal dan eksternal yang dimiliki yaitu matrik SWOT. Berdasarkan matrik
SWOT, terdapat empat alternatif strategi yang tersedia yaitu strategi Strength-
Opportunity, Weakness-Opportunity, Strength-Treaths dan Weakness-Treaths (Tabel 4).
Sama halnya dengan menggunakan diagram SWOT, matriks SWOT menawarkan empat
strategi berbeda pada empat situasi yang berbeda pula.
Tabel 4. Matriks SWOT
Internal Kekuatan
(Strength)
Kelemahan
(Weakness)Eksternal
Peluang
(Opportunity)
SO strategies WO strategies
Ancaman
(Threat)
ST strategies WT strategies
.
24
B. Penelitian yang Relevan
1. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Hutan ( Studi Kasus
Penghijauan di Daerah Kritis di Kabupaten Gunungkidul)
Penelitian Rahayu (1997) partisipasi masyarakat terhadap program
pembangunan hutan di Kabupaten Gunungkidul didekati melalui pengkajian
beberapa factor yang mempengaruhinya. Analisis statistik yang digunakan adalah
analisis korelasi dan re-gresi ganda. Stratifikasi pengambilan sampel ke dalam zona
utara, tengah dan selatan dilakukan karena keadaan alam yang tidak sama dan
diduga menyebabkan terjadinya perbedaan dalam partisipasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa secara umum program pembangunan
hutan di Kabupaten Gunungkidul mendapat tanggapan partisipasi dari masyarakat.
Faktor yang mendukung terbentuknya partisipasi dari masyarakat. Faktor yang
mendukung terbentuknya partisipasi dari masyarakat (a) kemanfaatan program
pambangunan hutan bagi masyarakat (b) tanggapan teknis petani terhadap
pelaksanaan program dan (c) karakteristik petani yang dalam analisis regresi ganda
ditunjukkan oleh koefisien beta masing-masing sebesar 0.42388, 0.37058 dan
0.28481. sedangkan faktor yang menghambat adalah (a) pengetahuan pemahaman
petani terhadap organisasi pembangunan hutan dan (b) faktor lingkungan yang
ditunjukkan oleh koefisien beta masing-masing 0.1384 dan 1.53353. perbedaan
partisipasi antar yang nyata adalah antara zona utara, tengah dan selatan , dalam hal
ini partisipasi masyarakat di zona utara lebih rendah dibandingkan zona tengah dan
selatan.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani dalam Rehabilitasi
Hutan Rakyat (Studi Kasus Sub DAS Keduang)
Penelitian Handayaningsih (2009) bertujuan mengetahui kondisi sosial
ekonomi petani peserta dalam Rehabilitasi Hutan rakyat di Sub DAS Keduang,
mengetahui sejauhmana partisipasi petani peserta hutan rakyat dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode suvey.
Responden dalam penelitian ini yaitu sampel petani peserta Program Hutan rakyat
yang berjumlah 90 orang, meliputi responden wilayah atas 30 orang, wilayah tengah
30 orang dan wilayah bawah 30 orang. Analisa data yang digunakan dengan
menggunakan analisa regressi dan uji korelasi metode Durbin-Watson.
25
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 90 petani peserta Hutan rakyat
diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi terdiri dari : umur,
pendidikan, pendapatan, jumlah tanggungan, jumlah pemilikan ternak, jarak lokasi,
dan luas lahan Secara keseluruhan partisipasi petani hutan rakyat di Sub DAS
Keduang ditinjau dari keberhasilan tanaman hidup adalah tinggi, namun urutan
partisipasi paling tinggi adalah wilayah bawah dengan jumlah tanman hidup per
hektar 330 batang/ha, kemudian wilayah tengah adalah 325 batang/ha dan wilayah
atas paling rendah yaitu 312 batang/ha.
Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani pada wilayah atas
adalah: pendapatan, luas lahan dan jumlah ternak. Faktor-faktor yang
mempengaruhi partisipasi petani pada wilayah tengah adalah : pendapatan, jumlah
tanggungan dan jumlah ternak. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani
pada wilayah bawah adalah: pendapatan dan luas lahan. Terdapat persamaan faktor
antara wilayah atas, tengah dan bawah yaitu faktor pendapatan petani.
Secara singkat, penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan secara
partisipasi dapat mencapai keberhasilan pelaksanaan Hutan rakyat di Sub DAS
Keduang. Studi ini merekomendasikan pelaksanaan rehabiliasti hutan dan lahan
secara umum dilakukan secara partisipasi agar permasalahan degradasi lahan cepat
teratasi dengan asas pengembangan ekonomi masyarakat.
Kelemahan penelitian ini adalah masih terdapat nilai manfaat langsung dan
tidak langsung dari kegiatan partisipasi yang belum diperhitungkan. Selain itu,
penelitian ini belum dapat mengetahui dampak sosial terhadap peningkatan kualitas
keberhasilan tanaman.
C. Kerangka Berfikir
Sebelum tahun 1960, kawasan imogiri merupakan ekosistem perbukitan
yang gersang, dengan tingkat kesuburan yang rendah, tanah tandus, lapisan tanah
atau top soil tipis, tata air dalam rusak, mudah terkena erosi sehingga tidak memberi
harapan bagi masyarakat. Melalui kerja keras dan bantuan berbagai pihak serta
respon kesadaran masyarakat pentingnya memperbaiki lingkungan untuk anak cucu
mereka dimasa akan datang, setelah kurang lebih lima puluh tahun kemudian lahan
menjadi subur dan mampu ditanami berbagai jenis vegetasi. Kondisi tersebut dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
26
Namun di masa sekarang dengan tingkat kesejahteraan yang bertambah dan
peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan kebutuhan juga ikut meningkat serta
pola pikir lebih modern demi untuk mencukupi tingkat kesejahteraan, yaitu
menanam pohon dengan kriteria tingkat (komersialitas) penjualan tinggi, kerjasama
serta penyuluhan penanaman oleh perhutani dengan jenis pohon yang kurang ideal
untuk lahan karst (kayu putih, akasia dan pinus) serta diperparah membuka lahan
untuk tempat tinggal. Kondisi tersebut akan menimbulkan dampak negatif terhadap
keseimbangan lingkungan disekitar lingkungan lahan kritis, lahan kritis akan
semakin kritis, tata air permukaan tidak akan tercipta dan tata air dalam akan tetap
rusak, sehingga vegetasi pohon, tiang, semak, herba dan vegetasi lantai mempunyai
kesatuan fungsi serta pengaruh sangat besar yang tidak dapat dipisahkan untuk
meningkatkan produktifitas lahan kritis. Kerangka alur pikir untuk menjelaskan
keterkaitan antara latar belakang, rumusan masalah, hingga kesimpulan yang akan
dilaksanakan, dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2. Krangka alur pikir penelitian
Lahan Kritis
ABIOTIK
1. Rusaknya lahan akibat penanaman tegakan pohon yang tidak sesuai dengan kriteria lahan kritis dan karst
2. Meningkatnya intensitas erosi pada lahan tegakan yang mempunyai sifat alelopati sehingga menekan pertumbuhan vegetasi bawah.
.
BIOTIK
Keseimbangan ekosistem hutan menjadi tidak setabil; berkurangnya keanekaragaman jenis vegetasi.
SOSIAL EKONOMI BUDAYA
1. Perekonomian dan pendidikan masyarakat meningkat.
2. Berkurangnya angka pengangguran.3. Terbukanya lapangan kerja bagi
masyarakat seperti perdagangan pohon, kerajinan ukir pohon.
4. Timbulnya kecemburuan sosial.
Fisik-kimia tanah, suhu, pH, kelembaban tanah, dan intensitas cahaya
Vegetasi Partisipasi Masyarakat
ANALISIS SWOT
OPTIMALISASI POTENSI LAHAN HUTAN RAKYAT
Hutan Rakyat