bab ii. landasan teori a. tinjauan pustaka 1. hutan rakyat · pengertian hutan rakyat menurut uu...

21
6 BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Hutan Rakyat Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, menegaskan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan kepemilikannya hutan dibedakan menjadi hutan Negara dan hutan hak. Dalam hutan hak inilah hutan rakyat yang dibangun oleh masyarakat. Pengertian hutan rakyat menurut UU No.41/1999 adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, dimiliki oleh masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia yang terjadi secara alami dan juga dapat terjadi karena upaya rehabilitasi tanah kritis (Hardjosoediro, 1980). Menurut Zain (1998) hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh atau dibangun oleh masyarakat di atas tanah milik dengan jenis-jenis tanaman hutan. Pengertian hutan rakyat sendiri menurut Awang (2003) adalah hutan yang tumbuh diatas lahan milik rakyat baik petani secara perorangan maupun bersama- sama. Hutan rakyat terbentuk dari kegitan swadaya masyarakat dengan maksud untuk menghasilkan kayu dan hasil-hasil lainnya secara ekonomis dengan memperhatikan unsure-unsur keberlanjutan dan perlindungan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga dan sosial. 2. Pengelolaan Hutan Rakyat Pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya bertujuan untuk melestarikan sumberdaya hutan agar tetap terjamin kesinambungan persidiaannya di masa yang akan datang. Pencapaian fungsi pengelolaan hutan berdaya guna dan berhasil guna, perlu dilakukan pendekatan terpadu dan partisipatif dengan keseimbangan antara ekologis dengan ekonomi.

Upload: haanh

Post on 20-Aug-2019

250 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

6

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Hutan Rakyat

Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, menegaskan bahwa

hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya

alam hayati didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, satu dengan

yang lain tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan kepemilikannya hutan dibedakan

menjadi hutan Negara dan hutan hak. Dalam hutan hak inilah hutan rakyat yang

dibangun oleh masyarakat.

Pengertian hutan rakyat menurut UU No.41/1999 adalah hutan yang tumbuh

di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya

dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak

milik atau tanah negara. Hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada

di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, dimiliki

oleh masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia yang terjadi secara

alami dan juga dapat terjadi karena upaya rehabilitasi tanah kritis (Hardjosoediro,

1980). Menurut Zain (1998) hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh atau dibangun

oleh masyarakat di atas tanah milik dengan jenis-jenis tanaman hutan.

Pengertian hutan rakyat sendiri menurut Awang (2003) adalah hutan yang

tumbuh diatas lahan milik rakyat baik petani secara perorangan maupun bersama-

sama. Hutan rakyat terbentuk dari kegitan swadaya masyarakat dengan maksud

untuk menghasilkan kayu dan hasil-hasil lainnya secara ekonomis dengan

memperhatikan unsure-unsur keberlanjutan dan perlindungan dalam rangka

memenuhi kebutuhan keluarga dan sosial.

2. Pengelolaan Hutan Rakyat

Pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya bertujuan untuk melestarikan

sumberdaya hutan agar tetap terjamin kesinambungan persidiaannya di masa yang

akan datang. Pencapaian fungsi pengelolaan hutan berdaya guna dan berhasil guna,

perlu dilakukan pendekatan terpadu dan partisipatif dengan keseimbangan antara

ekologis dengan ekonomi.

7

Santoso (1999) dalam Kusmedi (2003) menyatakan bahwa teknik atau cara

yang kusus dalam pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya sangat beragam atau

heterogen, karena pengelolaannya sangat tergantung dari pemiliknya yang

mengetahui dan memahami potensi yang khas serta masalah yang ada disetiap

jengkal pada lahannya untuk dikelola dan diolah sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan

yang arif dan suda membudaya dimasyarakat petani. Secara fisik hutan rakyat

memiliki pola tanam yang bergam. Ada dua pola hutan rakyat yang sering

dikembangkan oleh petani yaitu;

a. Pola hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang terdiri atau satu jenis tanaman

kayu-kayuan (monokultur), atau lebih dari satu jenis tanaman kayu-kayuan

(polikultur).

b. Pola hutan rakyat campuran, yaitu hutan rakyat yang terdiri atas tanaman kayu-

kayuan (tanaman hutan) dan tanaman pertanian (tanaman pangan, tanaman obat,

rumput atau pakan ternak, perkebunan, tanaman horticultural), guna member

hasil dalam waktu pendek dan berkesinambungan.

3. Parstisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan dalam pengelolaan hutan rakyat,

karena pengelolaan hutan rakyat itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari 2 (dua) hal

yaitu status kawasan dan organisasi pengelolanya.

Konteks organisasi dalam hutan rakyat adalah kelompok tani, bagaimana

anggota kelompok tani ini mengaktualisasikan dirinya dalam satu wadah.

Keberadaan kelompok tani hutan rakyat merupakan bentuk partisipasi teroganisasi

khususnya dalam bidang kehutanan.

Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan, keterlibatan dan

kebersamaan anggota massyarakat dalam kegiatan baik secara langsung maupun

tidaka langsung (Adisasmita, 2006). Partisipasi masyatakat juga dapat diartikan

pelibatan diri secara penuh suatu tekad yang sudah terjadi kesepakatan bersama

antar anggota masyarakat dalam kelompok. Ada bermacam-macam factor yang

mendorong pelibatan diri, bias karena kepentingan juga bias karena kesetiakawanan

atau solidaritas.

8

Awang (2003) mendifinisikan partisipasi digunakan dalam konteks yang

bergam baik secar kusus maupun umum, partisipasi adalah keterlibatan aktif dan

bermakna dari masa penduduk pada tingkat berbeda seperti;

a. Dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan

kemasyarakatan dan pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan

tersebut;

b. Pelaksanaan program-program dan proyek-proyek secara sukarela dan

pembagian yang merata, dan

c. Pemanfaatan hasil-hasil dari satu program atau suatu proyek.

4. Lahan Kritis

Poerwowidodo (1990), memandang Lahan kritis sebagai keadaan lahan yang

terbuka sebagai akibat adanya erosi yang berat dan menyebabkan produktivitas pada

lahan tersebut menjadi rendah sebagai mana yang dikemukakannya bahwa : “Lahan

kritis adalah suatu keadaan lahan yang terbuka atau tertutupi semak belukar, sebagai

akibat dari solum tanah yang tipis dengan batuan bermunculan dipermukaan tanah

akibat tererosi berat dan produktivitasnya rendah”.

Menurut Hanipa (2005) Lahan kritis merupakan lahan yang telah mengalami

atau dalam proses kerusakan fisik, kimia, atau biologi yang akhirnya dapat

membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemukiman, dan

kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya.

Peningkatan jumlah penduduk sejalan pula dengan meningkatnya kebutuhan

akan lahan peruntukan pemukiman bagi tempat tinggal manusia, industri, maupun

lahan pertanian sebagai sarana pemenuhan kebutuhan pangan manusia. Akan tetapi

penggunaan lahan oleh manusia terkadang kurang benar akibat ketidak tahuan

masyarakat tersebut. Hal ini mendorong timbulnya lahan-lahan kritis yang baru,

dengan demikian tentunya diperlukan usaha pengendalian agar lahan mampu

berproduksi dengan baik sesuai dengan kemampuannya.

a. Parameter Lahan Kritis

Berubahnya kemampuan lahan untuk produktifitas adalah salah satu

indikator dari timbulnya lahan kritis. Timbulnya lahan kritis disebabkan oleh

beberapa faktor, diantaranya adalah topografi, faktor tanah, tingkatan erosi, dan

vegetasi penutupan lahan.

9

1) Topografi

Unsur-unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap timbulnya

lahan kritis adalah kemiringan lereng. Tidak hanya itu saja, panjang lereng,

bentuk dan arah lereng pula dapat menimbulkan pengaruh pada timbulnya

lahan kritis. Kemiringan lereng merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi dan mengendalikan proses-proses pembentukan tanah.

Kemiringan lereng juga merupakan salah satu gejala perkembangan tanah

akibat pengaruh lingkungan fisik dan hayati. Faktor lereng terutama akan

berpengaruh terhadap erosi yang terjadi, semakin besar presentase

kemiringan pada suatu lereng akan memberikan daya erosivitas pada hujan

yang semakin besar. Sehingga berbagai material kesuburan dan sifat fisika

tanah pun akan terpengaruh dengan pelepasan yang terjadi dipermukaannya.

Kemiringan lereng dapat mencirikan bentuk dan sifat tubuh

tanahnya, serta menunjukkan besaran jumlah aliran permukaan, seperti yang

dikemukakan oleh Arsyad (1989) bahwa “Selain dari memperbesar jumlah

aliran permukaan, makin curamnya lereng juga memperbesar kecepatan

aliran permukaan yang dengan demikian memperbesar energy angkut air”.

Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa kemiringan lereng dapat

mempengaruhi pula terjadinya erosi.

Panjang lereng, bentuk dan arah lereng dapat mempengaruhi

terjadinya erosi yang merupakan cikal-bakal pula terjadinya lahan kritis.

Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran permukaan sampai

pada suatu titik dimana air masuk kedalam saluran atau sungai, atau

kemiringan lereng yang berkurang sedemikian rupa sehingga kecepatan

aliran air berubah (Arsyad, 1989). Semakin panjang lereng, maka jumlah

erosi total akan semakin banyak.

2) Tanah

a) Kedalaman Tanah Efektif

Kedalaman tanah efektif berpengaruh terhadap kepekaan tanah

pada erosi. Menurut Hardjowigeno (2007) “Kedalaman efektif adalah

kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh akar tanaman”. Tanah-

tanah yang dalam dan permeabel kurang peka terhadap erosi daripada

10

tanah yang permeabel tetapi dangkal. Kedalaman tanah sampai lapisan

kedap air menentukan banyaknya air yang dapat diserap tanah dengan

demikian mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Dengan semakin

berkurangnya aliran permukaan berarti pengikisan tanah juga berkurang,

hal ini juga berpengaruh pada nilai erosi yang diperbolehkan.

Kedalaman tanah efektif adalah kedalaman tanah yang masih

dapat ditembus akar tanaman. Pengamatan kedalaman tanah efektif

dilakukan dengan mengamati persebaran akar tanaman.Kedalaman tanah

efektif diklasifikasikan sebagai berikut:

Tabel 2. Klasifikasi Kedalaman Tanah Efektif

No Kedalaman Tanah (cm) Kelas1. > 90 Dalam2. 90 – 50 Sedang3. 50 – 25 Dangkal4. < 25 Sangat dangkal

Sumber : Arsyad, (1989).

b) Kesuburan Tanah

Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh berbagai macam faktor

seperti yang dikemukakan oleh Hardjowigeno (2007) antara lain :

(1) Sinar matahari

(2) Suhu

(3) Udara

(4) Air

(5) Unsur-unsur hara dalam tanah (N,P,K, dan lain-lain).

Kandungan bahan organik/unsur hara memegang peranan penting

untuk tanaman, semakin banyak bahan organik/unsur hara dalam tanah,

maka akan semakin baik dan produktif tanah yang dihasilkan.

Kekurangan unsur hara dalam tanah dapat diketahui dengan beberapa

cara, salah satunya yaitu dengan menganalisis tanah seperti yang di

jabarkan pada Tabel 3.

Untuk mengetahui jumlah kandungan unsur hara dalam tanah

dilakukan metode pengharkatan, yaitu dengan menjumlahkan ketiga

parameter hara yaitu N, P2O5, dan K2O yang diperoleh dari hasil

perhitungan kriteria penelitian hasil analisis tanah, seperti yang

11

dikemukakan oleh Jamulya dan Sunarto (1991) bahwa : ” Metode

pengharkatan adalah metode yang menjumlahkan unsur-unsur yang

menguntungkan dari sifat fisik tanah”.

Tabel 3. Kreteria Sifat Kimia Tanah.

Parameter tanah Sangat rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

N-total (%) ˂0,1 0,1-0,2 0,21-0,5 0,51-0,75 >0,75P2O5 HCL (me/100g) ˂10 10-20 21-40 41-60 >60P2O5 Bray 1 (pmm) ˂10 10-20 21-40 41-60 >60K2O HCL (me/100g) ˂10 10-20 21-40 41-60 >60C-organik (%) ˂1 1-2 2,01-3 3,01-5 >5

Sumber: Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Hardjowigeno (2003).

3) Erosi

Menurut Sarief (1985) “Erosi adalah proses pengikisan lapisan tanah

dipermukaan sebagai akibat dari tumbukan butir hujan dan aliran air

dipermukaan”. Sedangkan definisi erosi menurut Arsyad (1989) “Erosi

merupakan suatu peristiwa pindahnya atau terangkutnnya tanah atau bagian-

bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami”.

4) Vegetasi

Vegetasi mempunyai peranan penting dan sangat berpengaruh

terhadap erosi di suatu tempat. Dengan adanya vegetasi tanah dapat

terlindung dari bahaya kerusakan tanah oleh butiran hujan (Sarief, 1985).

Pada dasarnya tanaman mampu mempengaruhi erosi karena adanya

a) intersepsi air hujan oleh tajuk dan absorbsi melalui energi air hujan,

sehingga memperkecil erosi, b) pengaruh terhadap struktur tanah melalui

penyebaran akar-akarnya, c) pengaruh terhadap limpasan permukaan, d)

peningkatan aktivitas mikroorganisme dalam tanah, dan e) peningkatan

kecepatan kehilangan air karena transpirasi (Utomo, 1989). Vegetasi juga

dapat menghambat aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi, selain itu

juga penyerapan air ke dalam tanah diperkuat oleh transpirasi (penyerapan

air melalui vegetasi).

12

5. Keanekaragaman Vegetasi dan Fungsi Ekosistem

Indonesia berada pada kawasan keanekaragaman yang sangat tinggi dengan

luas 1,3% dari permukaan daratan bumi, menyimpang kekayaan spesies terbesar

nomor 3 di dunia, dengan pemanfaatan spesies masih sangat terbatas (Marsono,

2004). Keanekaragaman tersebut dimanfaatkan secara langsung melaluai

pengelolaan konservasi lahan untuk produksi pangan, atau barang-barang lain yang

digunakan sebagai penunjang kehidupan manusia. Semakin bertambahnya populasi

manusia maka kebutuhan lahan juga semakin meningkat yang pada akhirnya dapat

menyebabkan berkurang atau hilangnya keanekaragaman vegetasi (Chapin et

al.2011).

Keberadaan keanekaragaman vegetasi sangat dipengaruhi oleh factor

lingkungan yang berhubungan dengan pertumbuhannya, dan merupakan hasil akhir

interaksi dari berbagai proses fisiologis (Ewusie, 1990; Fitter & Hay 1992). Selain

hal tersebut keanekaragaman vegetasi juga dipengaruhi oleh struktur dan komposisi

vegetasi yang ada, dan terdiri dari 3 komponen yaitu: 1) struktur vegetasi secara

vertical yaitu tingkat pohon, sapihan, semai, herba dan rumput; 2) sebaran horisontal

jenis-jenis penyusun vegetasi yang menggambarkan letak satu individu terhadap

individu lain; 3) kemelimpahan (abundance) yaitu banyak jenis dalam satu

komunitas (Kersaw, 1973).

Kehilangan atau berkurangnya keanekargaman vegetasi dapat terjadi apabila

pemanfaatannya tidak terkendali. Kehilang ini tidak secara lansung tetapi melalui

kerusakan habitat, bertambahnya populasi penduduk dan aktifitasnya. Selain itu

perubahan tata guna lahan merupakan factor utama yang berpengaruh terhadap

ekosistem antara lain untuk pengembangan pedesaan dan perkotaan yang

dimanfaatkan untuk pemukiman (7%), lahan pertanian (20%), padang gembala

(30%), hutan (20%) dan tanah tak berpenghuni 25% (Indrawan dkk. 2007; Milder et

al., 2008, Chapin et al., 2011).

Lahan sebagai sumberdaya alam, selama ini telah dimanfaatkan untuk

kepentingan baik secara ekonomi maupun ekologi. Beberapa dasawarsa terakhir,

pemanfaatan sumberdaya alam tampak berlebihan sehingga menimbulkan terjadi

kerusakan serta bencana alam dan tidak dapat berfungsi lagi secara ekologi.

Fenomena tersebut menunjukkan apabila peran konservasi tidak ditingkatkan maka

13

dikhawatirkan sumberdaya alam akan musnah sebelum dimanfaatkan (Davies &

Wismer, 2007; Marsono 2004).

Pengelolaan lahan dapat mempengaruhi keanekaragaman hayati yang

merupakan salah satu aspek ekosistem, dan menentukan satuan lahan yang

keutuhannya perlu dilindungi. Kesesuaian pengelolaan lahan membutuhkan cara

baru agar dapat melindungi keanekaragaman, sehingga manajemen hutan

merupakan kunci untama perencanaan pengembangan ekosistem yang

berkesinambungan (Davies & Wismer, 2007). Upaya untuk mengurangi dampak

perluasan kawasan yang berpengaruh negative secara ekologi dapat dilakukan

dengan cara konservasi ekosistem.

Model konservasi dapat dilakukan dengan cara mengkombinasikan

pengembangan konservasi dengan kebutuhan masyarakat dan investifasi masa depan

(sustainable ecosystem), misalnya dengan pengelolaan lahan untuk konservasi,

rekreasi, daerah penyangga kehidupan, pemakaman, pertanian, peternakan,

perkebunan, hutan rakyat atau tetap dijadikan sebagai hutan lindung. Kesemuanya

memerlukan perencanaan yang cermat, membutuhkan waktu lama, dan melibatkan

semua pihak terkait dengan pengelolaan secara bijaksana untuk menjamin

kesinambungan ekosistem. Keseimbangan antara kebutuhan lahan untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat, penyangga kehidupan, konservasi keanekaragaman hayati,

serta menjaga fungsi ekosistem membutuhkan suatu model terpadu (Milder et al,

2008).

Konsep pengelolaan ekosistem yang saat ini sedang berkembang adalah

pengelolaan dengan memadukan hubungan ekologi, dalam kerangka pemikiran

social ekonomi dan nilai, bertujuan untuk melindungi keutuhan ekosistem alami

dalam jangka waktu panjang. Tujuan pengelolaan ekosistem hanya dapat tercapai

apabila ada kerja sama yang efektif antara pemerintah, organisasi konservasi,

kalangan bisnis, pemilik lahan, dan masyarakat (Indrawan dkk, 2007).

Ekosistem bermanfaat bagi masyarakat, karena mempunyai fungsi di

antaranya mengendalikan banjir, menyediakan pembangkit energy air, sumber

makanan, produksi kayu, dan sarana rekreasi (ekowisata).konservasi ekosistem

berfungsi untuk melindungi spesies dan ekosistem itu sendiri untuk menjalankan

fungsinya, dan jasa lingkungan yang terkait. Beberapa hal penting dalam

14

pemeliharaan konservasi ekosistem (Buck et al., 2001), antara lain: 1). Memastikan

keberlanjutan (sustainability) semua spesies, kelangsungan hidup berbagai

perwakilan komunitas hayati, maupun seluruh tahapan suksesi yang ada dan

menjaga agar ekosistem dapat berfungsi secara efektif; 2). Memahami hubungan

antara setiap komponen pada hierarkhi ekosistem, mulai dari tingkat individu,

spesies, komunitas, hingga ekosistem; 3). Memantau komponen-komponen

ekosistem (anatara lain jumlah individu dari spesies penting, tutupan vegetasi,

kualitas air), serta pengumpulan data yang diperlukan dan digunakan untuk

pengelolaan sesuai kondisi setempat; 4). Memahami bahwa manusia merupakan

bagian dari ekosistem, dan penilaian manusia akan mempengaruhi tujuan

pengelolaan ekosistem.

6. Efektifitas Keterlibatan Masyarakat dalam Konservasi

Beberapa dekade terakhir, dampak aktifitas manusia pada daerah tropis telah

mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hutan tropis telah

berubah, penebangan hutan untuk pembukaan jalan baru telah merembah ke daerah-

daerah yang sebelumnya tidak terjamah. Lahan yang masih tersisa untuk tumbuhan

kemudian berubah fungsi, keanekaragamn terancam yang dampaknya akan

merugikan masyarakat. Hal tersebut memerlukan suatu pemikiran agar konservasi

daerah tropis dapat tercapai, ini perlu dilakukan karena pada umumnya masyarakat

di daerah tropis belum menganggap pentingnya konservasi. Walaupun sebenarnya

para ahli konservasi secara terus menerus memperhatikan permasalahan yang

dihadapi oleh masyakarat lokal. Permasalahan tersebut antara lain kegagalan upaya

konservasi, pengembangan yang terintergrasi, dan konservasi yang berbasis

masyarakat. Kesemuanya mempunyai peranan untuk kembali pada paradigm

konservasi perlindungan (Primack dkk, 2004; Sheil et al., 2006).

Beberapa daerah, saat ini semakin banyak pengelolaan konservasi dengan

melibatkan masyarakat. Masyarakat selama ini hanya sebagai obyek, sedangkan

hasil yang diperoleh dan berbasis pengetahuan mereka tidak pernah diketahui oleh

masyarakat itu sendiri. Menurut Bajracharya, et al,. (2005), partisipasi aktif

masyarakat sejak identifikasi masalah, perencanaan, pemilihan model manajemen

berkelanjutan, serta pengelolaan lahan dapat diperoleh apabila terdapat suatu sistem

15

yang menunjukan bahwa masyarakat akan mendapat insentif yang positif,

manajemen realities, penegakan hukum dan kesepakatan institusional.

Tantangan utama yang dihadapi pada konservasi yang berbasis masyarakat

adalah, proses memberikan informasi bahwa mereka akan mendapat keuntungan

secara ekonomi, ramah lingkungan, praktis, dan menghasilkan teknologi dengan

biaya tetap terjangkau. Berbagai unsur asal pengetahuan yang beragam menjadi

bagian dari komponen yang saling berinteraksi antara dunia ekstra personal dan

struktur intrapersonal seseorang, serta membentuk skema interpretasi individu atas

dunia yang melingkupinya (Winarto, 2001).

Salah satu strategi konservasi adalah menghormati hak dan kepentingan

masyarakat lokal, karena dalam beberapa hal mereka telah memainkan peran

penting sebagai upaya melindungi ekosistem dan keanekaragaman hayati melalui

kearifan yang dimiliki. Perubahan yang menyangkut pelaksanaan dengan merubah

hak masyarakat lokal bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi yang terpenting adalah

upaya strategi konservasi untuk dirumuskan dan diimplementasikan (Arambiza &

Painter, 2006; Young, et al., 2007).

Konservasi ekosistem sebenarnya dapat dilaksanakan dan akan bermanfaat

apabila dedikasi untuk membangun kemitraan tersebut memunculkan kekuatan pada

masing-masing kelompok dan saling menghormati perbedaan yang ada. Konservasi

ekosistem secara tidak langsung dapat memberantas kemiskinan sekaligus

melindungi keanekaragaman hayati, walaupun sebenarnya merupakan dua tujuan

yang berbeda. Akan tetapi, pada pelaksanaanya keterkaitan yang ada akan menjamin

upaya kerja sama agar terlepas dari kesulitan yang ada (Nahdi, et al., 2012).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Kalimantan timur oleh Sheil

et al. (2006), menyimpulkan bahwa perencanaan konservasi tanpa memperhatikan

keinginan masyarakat, mengesampinkan stakeholder lokal, dan hanya

memperhatikan atau dikendalikan dari luar saja menyebabkan gagalnya konservasi

dan menimbulkan konflik. Sebaliknya dengan melibatkan masyarakat, yaitu dengan

mengintegrasikan inventaris keanekaragaman hayati dari pandangan masyarakat

terhadap lingkungan, dapat membantu memperbaiki perencanaan konservasi hutan.

Konservasi ini sangat berhubungan dengan kebutuhan masyarakat lokal dan system

16

pemanfaatan hutan. Konservasi dapat dilakukan berdasarkan pengenalan masyarakat

lokal terhadap kearifan yang mereka miliki.

7. Konservasi Ekosistem dan Kearifan Ekologi

Konservasi ekosistem berbasis kearifan masyarakat saat ini belum banyak

dilaksanakan, beberapa negara di Afrika telah melaksanakan dan ternyata telah

berperan dalam permasalahan illegal logging, penurunan pencurian kayu,

meningkatkan pelestarian ekosistem melalui berbagai kegiatan yang memberikan

manfaat secara ekonomis ( Metcalfe, 1994; Lewis & Alpert, 1997; Bajrachharya et

al., 2005). Bukti bahwa pelestarian berbasis keanekaragaman hayati telah

menguntungkan masyarakat lokal, biasanya terlihat tidak langsung (Lewis & Alpert,

1997; Bajrachharya et al., 2005).

Menurut Liambit, et al. (2005), partisipasi aktif masyarakat lokal merupakan

strategi penentu keberhasilan konservasi ekosistem, sehingga yang harus menjadi

perhatian adalah mengupayakan agar masyarakat mau aktif sehingga menjadi

tertarik. Ketertarikan ini sangat tergantung pada manfaat yang dirasakan baik secara

langsung maupun tidak langsung dan pengetahuan mereka terhadap konservasi

ekosistem, system nilai yang yang mengandung unsure agama, budaya, dan sosial

kemasyarakatan serta hubungan mereka dengan alam.

Perlakuan manusia terhadap alam atau lingkungannya merupakan suatu

proses adaptasi. Perubahan lingkungan baik dalam bentuk bencana alam maupun

lainnya akan memberikan kesadaran baru bagi manusia agar mampu merefleksikan,

secara terus menerus interaksinya dan dapat memunculkan kearifan masyarakat

dalam bentuk pengembangan etika, sikap kelakuan, pola hidup, serta sebagai trades

yang berimplikasi positif bagi pemilihara dan pelestarian lingkungan hidup (Salim,

1979).

8. Struktur dan Komposisi Vegetasi

Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) membagi struktur vegetasi

menjadi lima berdasarkan tingkatannya, yaitu: fisiognomi vegetasi, struktur

biomassa, struktur bentuk hidup, struktur floristik, struktur tegakan.

17

Menurut Kershaw (1973), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen,

yaitu:

a. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan

diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan

herba penyusun vegetasi.

b. Sebaran, horisotal jenis-jenis penyusun yang smenggambarkan letak dari

suatu individu terhadap individu lain.

c. Kelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas

Dalam komunitas hutan yang masih lengkap pada umumnya dijumpai tiga

strata yaitu stratum herba, semak dan pohon (Oosting, 1956). Komunitas terdapat

lima karakter yang mewarnainya yaitu keanekaragaman spesies, strutur dan bentuk

pertumbuhan, kemelimpahan nisbi, dominasi dan struktur jaringan makanan

(Krebs,1978).

Kelimpahan jenis ditentukan, berdasarkan besarnya frekwensi,

kerapatan dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-

jenis lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa,

persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan

kerapatan (Soerianegara dan Indrawan, 1988)

Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu

luasan tertentu, misalnya 100 individu/ha. Frekwensi suatu jenis tumbuhan

adalah jumlah petak contoh dimana ditemukannya jenis tersebut dari sejumlah

petak contoh yang dibuat. Biasanya frekwensi dinyatakan dalam besaran

persentase. Basal area merupakan suatu luasan areal dekat permukaan tanah

yang dikuasai oleh tumbuhan. Untuk pohon, basal areal diduga dengan

mengukur diameter batang (Kusuma, 1997).

9. Analisis Vegetasi

Vegetasi adalah semua jenis tumbuh-tumbuhan yang berada pada suatu

daerah. Istilah vegetasi mengacu pada penutupan tumbuh-tumbuhan seperti apa

yang sebenarnya terjadi pada suatu daerah (Odum, 1998). Vegetasi terdiri dari

semua spesies tumbuhan yang berada pada suatu daerah (Barbour, et al., 1987).

Secara umum peranan vegetasi dalam suatu ekosistem terkait dengan

pengaturan keseimbangan karbon dioksida dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat

18

fisik, kimiawi dan biologis tanah, pengaturan tata air tanah dan lain-lain. Meskipun

secara umum kehadiran vegetasi pada suatu area memberikan dampak positif, tetapi

pengaruhnya bervariasi tergantung pada struktur dan komposisi vegetasi yang

tumbuh pada daerah itu (Arrijani, 2008).

Analisis vegetasi merupakan suatu cara untuk mempelajari susunan atau

komposisi jenis dan struktur komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret

dari semua spesies tetumbuhan yang menempati suatu habitat tertentu (Indriyanto,

2008), Perbedaan keanekaragaman spesies dalam komunitas tumbuhan

menimbulkan perbedaan struktur antara komunitas satu dengan lainnya. Nilai

keanekaragaman ditentukan dengan menggunakan angka indeks dari Shanon-

Wiener (Barbour et al., 1987).

Parameter vegetasi kuantitatif dapat diukur dalam sampling komunitas dan

bersifat penting meliputi densitas, frekuensi dan penutupan. Frekuensi dan densitas

mempunyai hubungan yang bebas, artinya jika suatu spesies mempunyai densitas

tinggi, frekuensinya dapat rendah, dengan demikian spesies tersebut mungkin

terdistribusi secara mengelompok. Sebaliknya jika suatu spesies mempunyai

densitas rendah dan frekuensi tinggi maka spesies tersebut mempunyai pola regular

(Hardjosuwarno, 1988).

10. Faktor-faktor Abiotik

Faktor abiotik terdiri dari kelembaban udara, temperatur, keadaan tanah dan

air. Faktor-faktor lingkungan ini dapat mempengaruhi komunitas tumbuhan (Krebs,

1976). Menurut Michael (1995), oraganisme dalam suatu lingkungan bertautan erat

sekali dengan sekelilingnya, sehingga mereka membentuk bagian dari

lingkungannya sendiri. Pengaruh lingkungan pengatur terhadap komunitas hidup

yang menunjang adalah hasil aksi yang tidak bergantung dan saling terkait unsur

yang beragam dalam ruang dan waktu, interaksi suatu organisme dengan

lingkungannya menentukan ukuran populasi dan penyebarannya. Faktor lingkungan

berpengaruh terhadap ketidakhadiran atau kehadiran, kesuburan atau kelemahan dan

keberhasilan atau kegagalan (Polunin, 1990). Sehingga lingkungan disekitar

naungan kanopi pohon dapat mempengaruhi kehidupan organisme yang ada

dibawahnya. Faktor-faktor abiotik yang berpengaruh terhadap komunitas tumbuhan

antara lain:

19

a. Suhu

Suhu adalah faktor ekologis yang mudah diukur dan bisa menjadi

pembatas terhadap pertumbuhan dan penyebaran tanaman (Michael, 1995). Suhu

akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan tumbuhan untuk

mempertahankan diri di suatu tempat. Hal ini dapat berpengaruh terhadap

vegetasi tumbuhan pada daerah itu (Polunin, 1990). Kebanyakan pertumbuhan

tanaman terjadi pada suhu antara 100C-400C (Tjondronegoro dan Harran,

1983). Suhu tergolong faktor yang menentukan sifat dari ekosistem dan

komunitas darat (Odum, 1998).

b. Kelembaban

Kelembaban adalah faktor ekologis yang penting karena dapat

mempengaruhi aktivitas organisme dan membatasi penyebaran dengan

keragaman harian, serta keragaman tegak dan mendatar (Michael, 1995).

Kelembaban udara secara langsung mempengaruhi bentuk dan struktur

tumbuhan, karena kelembaban udara mempengaruhi laju transpirasi tumbuhan

(Dwijoseputro, 1990). Seperti halnya suhu, kelembaban juga tergolong faktor

yang menentukan sifat dari ekosistem dan komunitas darat (Odum, 1998).

c. pH tanah

pH tanah menyatakan banyaknya konsentrasi ion H+ dan ion OH – di

dalam tanah. Makin tinggi konsentrasi ion H+ didalam tanah, makin asam tanah

tersebut. Sebaliknya makin tinggi ion OH –, makin basa tanah tersebut

(Handayanto dan Hairiah, 2007). Tumbuhan sangat responsif terhadap sifat

kimiawi lingkungannya, hingga sebagian besar tanaman menyukai pH netral

berkisar 6-7 karena ketersediaan unsur hara cukup tinggi pada nilai pH ini

(Handayanto dan Hairiah, 2007).

d. Zonasi Elevasi

Menurut Van Steenis (2006), seperti di mana saja di dunia, penurunan

suhu karena bertambahnya elevasi akan menimbulkan efek zonasi. Zonasi iklim

di Jawa berdasarkan elevasi dapat dikelompokan sebagai berikut :

1) 0 – 1000 m Zona Tropik (500-1000 m subzona Bukit {Colline})

2) 1000 – 2400 m (Zona Pegunungan (1000 – 1.500 m subzone

subpegunungan.

20

3) di atas 2.400 m Zona Subalpin.

11. Asas Ilmu Lingkungan

Ilmu lingkungan adalah ekologi yang menerapkan berbagai asas dan

konsepnya kepada masalah yang lebih luas, yang menyangkut pula hubungan

manusia dengan dengan lingkungannya. Ilmu lingkungan ini mengintegrasikan

berbagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara jasad hidup

(termasuk manusia) dengan lingkungannya. Asas di dalam suatu ilmu pada dasarnya

merupakan penyamarataan kesimpulan secara umum, yang kemudian digunakan

sebagai landasan untuk menguraikan gejala (fenomena) dan situasi yang lebih

spesifik. Asas dapat terjadi melalui suatu penggunaan dan pengujian metodologi

secara terus menerus dan matang, sehingga diakui kebenarannya oleh ilmuwan

secara meluas. Asas di dalam suatu ilmu yang sedang berkembang digunakan

sebagai landasan yang kokoh dan kuat untuk mendapatkan hasil, teori dan model

seperti pada ilmu lingkungan (Soeriaatmadja, 1989). Asas ilmu lingkungan terdiri

dari 14 asas, antara lain :

a. Asas 1 Semua energi yang memasuki sebuah organisasi hidup populasi atau

ekosistem dapat dianggap sebagai energi yang tersimpan atau terlepas.

b. Asas 2 Tak ada sistem pengubahan energi yang betul-betul efisien.

c. Asas 3 Materi, energi, ruang, waktu, dan keanekaragaman, semua termasuk

kategori sumber alam.

d. Asas 4 Untuk semua kategori sumber alam, kalau pengadaannya sudah

mencapai optimum, pengaruh unit kenaikannya sering menurun dengan

penambahan sumber alam itu sampai kesuatu tingkat maksimum.

e. Asas 5 Ada dua jenis sumber daya alam, yaitu sumber alam yang pengadaannya

dapat merangsang penggunaan seterusnya, dan yang tak mempunyai daya

rangsang penggunaan lebih lanjut.

f. Asas 6 Individu dan spesies yang mempunyai lebih banyak keturunan dari pada

saingannya, cenderung berhasil mengalahkan saingannya.

g. Asas 7 Kemantapan keanekaragaman suatu komunitas lebih tinggi di alam

lingkungan yang “mudah diramal”.

21

h. Asas 8 Sebuah habitat dapat jenuh atau tidak oleh keanekaragaman takson,

bergantung kepada nicia dalam lingkungan hidup itu dapat memisahkan takson

tersebut.

i. Asas 9 Keanekaragaman komunitas apa saja sebanding dengan biomassa dibagi

produktivitas.

j. Asas 10 Dalam lingkungan stabil perbandingan antara biomasa dengan

produktivitas dalam perjalanan waktu naik mencapai asimtoot.

k. Asas 11 Sistem yang sudah mantap (dewasa) mengeksplotasi sistem yang

belum mantap (belum dewasa).

l. ASAS 12 Kesempurnaan adaptasi suatu sifat atau tabiat bergantung kepada

kepentingan relatifnya di dalam keadaan suatu lingkungan.

m. Asas 13 Lingkungan yang secara fisik mantap terjadinya penimbunan

keanekaragaman biologi dalam ekosistem yang mantap, yang kemudian dapat

menggalakkan kemantapan populasi lebih jauh lagi.

n. Asas 14 Derajat pola peraturan naik-turunnya populasi bergantung kepada

jumlah keturunan dalam sejarah populasi sebelumnya yang nanti akan

mempengaruhi populasi itu.

12. Strategi Upaya Optimalisasi Lahan Hutan Rakyat dengan Analisis SWOT

Strategi pengembangan pengelolaan hutan rakyat diperlukan upaya atau

strategi untuk optimalisasi lahan. Untuk merumuskan dan menghasilkan strategi

dimaksud, ada beberapa cara, perangkat ataupun metode yang dapat dijadikan

pilihan termasuk salah satunya dengan menggunakan Analisis SWOT. Analisis ini

merupakan sebuah cara yang umum digunakan untuk merumuskan suatu strategi

berdasarkan faktor-faktor yang terlibat ataupun yang mempengaruhi pada suatu rencana

kegiatan. SWOT merupakan singkatan dari strengths (kekuatan), weaknesses

(kelemahan), opportunities (peluang) dan threats (ancaman).

Menurut Rangkuti (2008) Analisis SWOT adalah upaya identifikasi berbagai

faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi, berdasarkan logika yang dapat

memaksimalkan kekuatan dan peluang dimana secara bersamaan dapat meminimalkan

kelemahan dan ancaman. Sementara menurut Start dan Hovland (2004), analisis SWOT

merupakan sebuah alat perencanaan strategis yang klasik. Dengan mempergunakan

kerangka kekuatan dan kelemahan faktor internal serta peluang dan ancaman dari faktor

eksternal, menyediakan sebuah cara yang sangat sederhana untuk mengkaji strategi

22

terbaik yang dapat diterapkan. Analisis SWOT didasarkan pada asumsi bahwa suatu

strategi yang efektif harus memaksimumkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan

kelemahan dan ancaman. Dengan bantuan analisis SWOT, perencana menjadi realistis

terhadap apa yang akan dicapai dan pada bagian mana yang harus difokuskan.

PELUANG (O)

KELEMAHAN (W)

Sel/Kuadran III Sel/Kuadran I

KEKUATAN (S)

Sel/Kuadran IV Sel/Kuadran II

ANCAMAN (T)

Gambar 1. Diagram SWOT (Rangkuti 2008)

Diagram SWOT merupakan perpaduan antara kekuatan dan kelemahan

(diwakili garis horizontal) dengan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal).

Pada diagram tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif sementara

kelemahan dan ancaman diberi tanda negatif. Berdasarkan letak kekuatan,

kelemahan, peluang dan ancaman pada diagram akan menentukan arah strategi yang

akan digunakan dalam upaya optimalisasi lahan hutan rakyat (Gambar 2). Pada

diagram SWOT terdapat 4 (empat) sel sebagai hasil perpaduan antara kekuatan-

kelemahan dengan peluang-ancaman. Sel pertama merupakan situasi yang sangat

menguntungkan dimana upaya optimalisasi lahan hutan rakyat memiliki peluang dan

kekuatan sehingga dapat menggunakan peluang yang ada. Dalam situasi seperti ini

strategi yang dipakai adalah mendukung kebijakan perkembangan yang agresif (support

an aggressive strategy).

Jika posisi rencana upaya optimalisasi lahan hutan rakyat berada pada sel

kedua, meskipun menghadapi berbagai macam ancaman namun masih memiliki

kekuatan dari faktor internal. Strategi pengembangan yang diterapkan dalam kondisi

seperti ini adalah dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka

panjang dengan cara strategi diversifikasi (support a diversification strategy).

23

Apabila posisi upaya optimalisasi lahan hutan rakyat berada pada sel ketiga,

berarti rencana memiliki peluang yang besar, tetapi juga menghadapi beberapa

kendala/kelemahan internal. Fokus strategi pada situasi ini adalah meminimalkan

masalah-masalah internal sehingga dapat mempergunakan, mengoptimalkan ataupun

merebut peluang yang lebih baik (support a turnaround oriented strategy). Namun

apabila rencana upaya optimalisasi lahan hutan rakyat berada pada posisi sel keempat,

berarti rencana tersebut menghadapi situasi yang tidak menguntungkan, yakni memiliki

kelemahan dari sisi internal dan menghadapi berbagai ancaman dari sisi ekternal. Dalam

kondisi seperti pada sel keempat strategi yang diterapkan fokus pada strategi bertahan

(support a defensive strategy). Masing-masing sel pada diagram SWOT

memperlihatkan kondisi atau situasi yang berbeda, sehingga untuk rencana

pengembangannya dibutuhkan strategi yang berbeda (Rangkuti 2008).

Selain menggunakan diagram SWOT, Rangkuti (2008) mengemukakan bahwa

alat lain yang dapat digunakan untuk menyusun strategi pengembangan berdasarkan

faktor internal dan eksternal yang dimiliki yaitu matrik SWOT. Berdasarkan matrik

SWOT, terdapat empat alternatif strategi yang tersedia yaitu strategi Strength-

Opportunity, Weakness-Opportunity, Strength-Treaths dan Weakness-Treaths (Tabel 4).

Sama halnya dengan menggunakan diagram SWOT, matriks SWOT menawarkan empat

strategi berbeda pada empat situasi yang berbeda pula.

Tabel 4. Matriks SWOT

Internal Kekuatan

(Strength)

Kelemahan

(Weakness)Eksternal

Peluang

(Opportunity)

SO strategies WO strategies

Ancaman

(Threat)

ST strategies WT strategies

.

24

B. Penelitian yang Relevan

1. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Hutan ( Studi Kasus

Penghijauan di Daerah Kritis di Kabupaten Gunungkidul)

Penelitian Rahayu (1997) partisipasi masyarakat terhadap program

pembangunan hutan di Kabupaten Gunungkidul didekati melalui pengkajian

beberapa factor yang mempengaruhinya. Analisis statistik yang digunakan adalah

analisis korelasi dan re-gresi ganda. Stratifikasi pengambilan sampel ke dalam zona

utara, tengah dan selatan dilakukan karena keadaan alam yang tidak sama dan

diduga menyebabkan terjadinya perbedaan dalam partisipasi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa secara umum program pembangunan

hutan di Kabupaten Gunungkidul mendapat tanggapan partisipasi dari masyarakat.

Faktor yang mendukung terbentuknya partisipasi dari masyarakat. Faktor yang

mendukung terbentuknya partisipasi dari masyarakat (a) kemanfaatan program

pambangunan hutan bagi masyarakat (b) tanggapan teknis petani terhadap

pelaksanaan program dan (c) karakteristik petani yang dalam analisis regresi ganda

ditunjukkan oleh koefisien beta masing-masing sebesar 0.42388, 0.37058 dan

0.28481. sedangkan faktor yang menghambat adalah (a) pengetahuan pemahaman

petani terhadap organisasi pembangunan hutan dan (b) faktor lingkungan yang

ditunjukkan oleh koefisien beta masing-masing 0.1384 dan 1.53353. perbedaan

partisipasi antar yang nyata adalah antara zona utara, tengah dan selatan , dalam hal

ini partisipasi masyarakat di zona utara lebih rendah dibandingkan zona tengah dan

selatan.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani dalam Rehabilitasi

Hutan Rakyat (Studi Kasus Sub DAS Keduang)

Penelitian Handayaningsih (2009) bertujuan mengetahui kondisi sosial

ekonomi petani peserta dalam Rehabilitasi Hutan rakyat di Sub DAS Keduang,

mengetahui sejauhmana partisipasi petani peserta hutan rakyat dan faktor-faktor

yang mempengaruhinya. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode suvey.

Responden dalam penelitian ini yaitu sampel petani peserta Program Hutan rakyat

yang berjumlah 90 orang, meliputi responden wilayah atas 30 orang, wilayah tengah

30 orang dan wilayah bawah 30 orang. Analisa data yang digunakan dengan

menggunakan analisa regressi dan uji korelasi metode Durbin-Watson.

25

Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 90 petani peserta Hutan rakyat

diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi terdiri dari : umur,

pendidikan, pendapatan, jumlah tanggungan, jumlah pemilikan ternak, jarak lokasi,

dan luas lahan Secara keseluruhan partisipasi petani hutan rakyat di Sub DAS

Keduang ditinjau dari keberhasilan tanaman hidup adalah tinggi, namun urutan

partisipasi paling tinggi adalah wilayah bawah dengan jumlah tanman hidup per

hektar 330 batang/ha, kemudian wilayah tengah adalah 325 batang/ha dan wilayah

atas paling rendah yaitu 312 batang/ha.

Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani pada wilayah atas

adalah: pendapatan, luas lahan dan jumlah ternak. Faktor-faktor yang

mempengaruhi partisipasi petani pada wilayah tengah adalah : pendapatan, jumlah

tanggungan dan jumlah ternak. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani

pada wilayah bawah adalah: pendapatan dan luas lahan. Terdapat persamaan faktor

antara wilayah atas, tengah dan bawah yaitu faktor pendapatan petani.

Secara singkat, penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan secara

partisipasi dapat mencapai keberhasilan pelaksanaan Hutan rakyat di Sub DAS

Keduang. Studi ini merekomendasikan pelaksanaan rehabiliasti hutan dan lahan

secara umum dilakukan secara partisipasi agar permasalahan degradasi lahan cepat

teratasi dengan asas pengembangan ekonomi masyarakat.

Kelemahan penelitian ini adalah masih terdapat nilai manfaat langsung dan

tidak langsung dari kegiatan partisipasi yang belum diperhitungkan. Selain itu,

penelitian ini belum dapat mengetahui dampak sosial terhadap peningkatan kualitas

keberhasilan tanaman.

C. Kerangka Berfikir

Sebelum tahun 1960, kawasan imogiri merupakan ekosistem perbukitan

yang gersang, dengan tingkat kesuburan yang rendah, tanah tandus, lapisan tanah

atau top soil tipis, tata air dalam rusak, mudah terkena erosi sehingga tidak memberi

harapan bagi masyarakat. Melalui kerja keras dan bantuan berbagai pihak serta

respon kesadaran masyarakat pentingnya memperbaiki lingkungan untuk anak cucu

mereka dimasa akan datang, setelah kurang lebih lima puluh tahun kemudian lahan

menjadi subur dan mampu ditanami berbagai jenis vegetasi. Kondisi tersebut dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

26

Namun di masa sekarang dengan tingkat kesejahteraan yang bertambah dan

peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan kebutuhan juga ikut meningkat serta

pola pikir lebih modern demi untuk mencukupi tingkat kesejahteraan, yaitu

menanam pohon dengan kriteria tingkat (komersialitas) penjualan tinggi, kerjasama

serta penyuluhan penanaman oleh perhutani dengan jenis pohon yang kurang ideal

untuk lahan karst (kayu putih, akasia dan pinus) serta diperparah membuka lahan

untuk tempat tinggal. Kondisi tersebut akan menimbulkan dampak negatif terhadap

keseimbangan lingkungan disekitar lingkungan lahan kritis, lahan kritis akan

semakin kritis, tata air permukaan tidak akan tercipta dan tata air dalam akan tetap

rusak, sehingga vegetasi pohon, tiang, semak, herba dan vegetasi lantai mempunyai

kesatuan fungsi serta pengaruh sangat besar yang tidak dapat dipisahkan untuk

meningkatkan produktifitas lahan kritis. Kerangka alur pikir untuk menjelaskan

keterkaitan antara latar belakang, rumusan masalah, hingga kesimpulan yang akan

dilaksanakan, dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2. Krangka alur pikir penelitian

Lahan Kritis

ABIOTIK

1. Rusaknya lahan akibat penanaman tegakan pohon yang tidak sesuai dengan kriteria lahan kritis dan karst

2. Meningkatnya intensitas erosi pada lahan tegakan yang mempunyai sifat alelopati sehingga menekan pertumbuhan vegetasi bawah.

.

BIOTIK

Keseimbangan ekosistem hutan menjadi tidak setabil; berkurangnya keanekaragaman jenis vegetasi.

SOSIAL EKONOMI BUDAYA

1. Perekonomian dan pendidikan masyarakat meningkat.

2. Berkurangnya angka pengangguran.3. Terbukanya lapangan kerja bagi

masyarakat seperti perdagangan pohon, kerajinan ukir pohon.

4. Timbulnya kecemburuan sosial.

Fisik-kimia tanah, suhu, pH, kelembaban tanah, dan intensitas cahaya

Vegetasi Partisipasi Masyarakat

ANALISIS SWOT

OPTIMALISASI POTENSI LAHAN HUTAN RAKYAT

Hutan Rakyat