bab ii landasan teori a. penelitian yang relevanrepository.ump.ac.id/4403/3/silfiana safitri bab...
TRANSCRIPT
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian yang Relevan
Novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer Karya Pramoedya
Ananta Toer sudah pernah dikaji oleh beberapa mahasiswa. Berikut ini kajian yang
berkaitan dengan novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Pertama,
skripsi berjudul Konflik Sosial dan Politik dalam Novel Perawan Remaja dalam
Cengkeraman Militer Karya Pramoedya Ananta Toer: Tinjauan Sosiologi Sastra dan
Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA oleh Khoirun Nisa mahasiswi
Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan struktur, konflik sosial, konflik politik dan implementasi novel
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Perbedaannya dengan penelitian ini
terletak pada data dan pendekatan yang dilakukan oleh peneliti.
Penelitian yang dilakukan oleh Khoirun Nisa tentunya berbeda dengan
penelitian ini. Pada penelitian yang dilakukan Khoirun Nisa datanya berupa struktur,
konflik sosial, konflik politik serta implementasi pada novel sebagai bahan ajar di
SMA. Sedangkan pendekatannya menggunakan sosiologi sastra. Lalu dalam
penelitian ini datanya adalah teks novel yang berbentuk kata-kata, kalimat-kalimat
atau ungkapan yang mengandung gaya bahasa pada novel Perawan Remaja dalam
Cengkeraman Militer Karya Pramoedya Ananta Toer. Lalu pendekatannya
menggunakan stilistika.
Kedua, skripsi berjudul Analisis Wacana Kritis pada Novel Perawan Remaja
dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer oleh Nela Dian Octora
salah satu mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2015. Skripsi yang
8
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
9
kedua ini berbeda dengan penelitian miliknya Khoirun Nisa yang berjudul Konflik
Sosial dan Politik dalam Novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer Karya
Pramoedya Ananta Toer: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasinya sebagai
Bahan Ajar Sastra di SMA. Perbedaannya, pada penelitian yang dilakukan oleh
Khoirun Nisa datanya struktur, konflik sosial, konflik politik serta implementasi pada
novel sebagai bahan ajar di SMA sedangkan pendekatannya menggunakan sosiologi
sastra. Adapun dalam penelitian yang dilakukan oleh Nela Dian Octora ini datanya
berupa tokoh perempuan dalam posisi subjek dan posisi objek serta posisi pembaca
yang ditampilkan pada novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
sedangkan pendekatannya menggunakan model Sara Mills.
Dari kedua skripsi tersebut tentunya ada perbedaan dengan penelitian ini.
Perbedaanya terletak pada data dan pendekatannya. Dalam penelitian ini datanya
berupa teks novel yang berbentuk kata-kata, kalimat-kalimat atau ungkapan yang
mengandung gaya bahasa dalam novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
karya Pramoedya Ananta Toer. Sedangkan pendekatannya menggunakan pendekatan
stilistika. Adapun persamaan dari kedua skripsi tersebut dari penelitian ini yaitu objek
penelitiannya berupa novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer karya
Pramoedya Ananta Toer. Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, peneliti tidak
menemukan ulasan maupun kajian ilmiah yang meneliti tentang gaya bahasa pada
novel Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer sehingga peneliti meneliti
tentang gaya bahasa dalam penelitian ini.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
10
B. Novel
Nurgiyantoro (2007: 9-10), istilah novel berasal dari bahasa Itali novella yang
berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek
dalam prosa. Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu
secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai
permasalahan yang lebih kompleks. Dalam The American College Dictionary (dalam
Suyitno, 2009: 36), novel merupakan suatu cerita prosa fiktif dalam panjang yang
tertentu yang melukiskan para tokoh, gerak, serta adegan kehidupan nyata yang
representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Aziez
& Hasim (2010: 2), novel merupakan suatu karya fiksi yaitu karya dalam bentuk kisah
atau cerita yang melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa rekaan. Jadi
kesimpulannya novel merupakan suatu karya fiksi yang di dalamnya mengandung
tokoh, alur, dan peristiwa rekaan dan panjangnya melebihi dari cerpen.
C. Stilistika
Menurut Ratna (2013: 3), stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya dan stil
(style) secara umum sebagaimana akan dibicarakan secara lebih luas pada bagian
berikut adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan
cara tertentu sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal.
Adapun menurut lecch & short (dalam Nurgiyantoro, 2007: 279), stilistika menyaran
pada pengertian studi tentang stile. Kajian terhadap wujud performansi kebahasaan,
khususnya yang terdapat dalam karya sastra. Analisis stilistika biasanya dimaksudkan
untuk menerangkan sesuatu, yang pada umumnya dalam dunia kesastraan untuk
menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
11
Menurut Soeratno (2001: 172), secara etimologis stylistics berkaitan dengan
style. Style artinya gaya, sedangkan stylistics dapat diterjemahkan sebagai ilmu
tentang gaya. Gaya dalam kaitan ini tentu saja mengacu pada pemakaian atau
penggunaaan bahasa dalam karya sastra. Turner (dalam Soeratno, 2001: 172-173),
stylistics atau stilistika merupakan bagian dari linguistik yang memusatkan
perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa yang tidak secara eksklusif, terutama
pemakaian bahasa dalam sastra. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa stilistika merupakan ilmu yang mempelajari tentang gaya dan
memusatkan pada variasi penggunaan bahasa dalam karya sastra.
D. Gaya Bahasa
1. Pengertian Gaya Bahasa
Menurut Tarigan (2013: 4), gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan
untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu
benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Sedangkan Keraf
(2004: 112-113), gaya bahasa dalam retorika dikenal dengan istilah style. Kata style
diturunkan dari kata latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan
lilin. Penekanan style dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style
lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan
kata-kata secara indah. Siswantoro (2014: 115), menambahkan gaya bahasa
merupakan suatu gerak membelok dari bentuk ekspresi sehari hari atau aliran ide-ide
yang biasa untuk menghasilkan suatu efek yang luar biasa. Gaya bahasa dapat dapat
memperkaya makna sehingga dapat menggapai pesan yang diinginkan secara lebih
intensif hanya dengan sedikit kata.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
12
Menurut Kridalaksana (2001: 63), gaya bahasa merupakan pemanfaatan atas
kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis. Selain itu bisa diartikan
sebagai pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu atau
keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Selain itu, gaya bahasa ialah
susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati
penulis yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya bahasa
itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu untuk
menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca
(Pradopo, 2009: 93). Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan gaya bahasa
ialah pemakaian ragam kekayaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang dalam
menulis atau bertutur untuk memberikan efek tertentu kepada pembaca.
2. Jenis Gaya Bahasa
Menurut Ratna (2013: 164), gaya bahasa dibedakan menjadi empat macam,
yaitu (1) gaya bahasa penegasan, (2) gaya bahasa perbandingan, (3) gaya bahasa
pertentangan, dan (4) gaya bahasa sindiran. Beberapa jenis gaya bahasa dibedakan
lagi menjadi subjenis lain sesuai dengan cirinya masing-masing. Sedangkan menurut
Keraf (2004: 116-127), dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang
digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa
yang dipergunakan, yaitu (1) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, (2) gaya bahasa
berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, (3) gaya bahasa berdasarkan
struktur kalimat, dan (4) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.
Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa dibedakan menjadi tiga yaitu (a) gaya bahasa
resmi, (b) gaya bahasa tak resmi, dan (c) gaya bahasa percakapan. Berdasarkan nada
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
13
yang terkandung dalam wacana, gaya bahasa dibedakan menjadi tiga yaitu (a) gaya
sederhana, (b) gaya mulia dan bertenaga, dan (c) gaya menengah. Gaya bahasa
berdasarkan struktur kalimat dibedakan menjadi lima yaitu (a) klimaks, (b)
antiklimaks, (c) paralelisme, (d) antithesis, dan (e) repetisi. Repetisi itu sendiri ada
bermacam-macam yakni epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke,
mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Gaya bahasa berdasarkan langsung
tidaknya makna dibedakan menjadi dua yaitu (a) gaya bahasa retoris dan (b) gaya
bahasa kiasan (Keraf, 2004: 127-145).
Nurgiyantoro (2014: 218), menambahkan jenis gaya bahasa jumlahnya relatif
banyak bahkan tidak sedikit literatur dan orang yang memasukan stile yang bermain
dengan struktur. Dari sekian banyak bentuk gaya bahasa tampak bahwa gaya bahasa
itu pada umumnya berupa gaya bahasa perbandingan dan sebagian majas pertautan.
Gaya bahasa perbandingan yaitu simile, mertafora, personifikasi, dan alegori.
Sedangkan gaya bahasa pertautan yaitu metonimi dan sinekdoki.
Tarigan (2013: 6), mengemukakan ada empat bagian jenis gaya bahasa yaitu
(1) gaya bahasa perbandingan meliputi : perumpamaan, metafora, personifikasi,
depersonifikasi, alegori, antithesis, pleonasme, tautologi, periphrasis, prolepsis, dan
koreksio, (2) gaya bahasa pertentangan meliputi : hiperbola, litotes, ironi, oksimoron,
paronomasia, paralipsis, dan zeugma, satire, innuendo, antifrasis, paradoks, klimaks,
anti klimaks, apostrof, anastrof, apofasis, hysteron proteron, hipalase, sinisme, dan
sarkasme, (3) gaya bahasa pertautan meliputi : metonomia, sinekdoke, alusi,
eufemisme, elipsis, eponim, epitet, antonomia, erotesis, paralelisme, asindeton,
polisideton, dan gradasi, (4) gaya bahasa perulangan meliputi : aliterasi, antanaklasis,
asonansi, antanaklasis, kiasmus, epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke,
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
14
mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Dari beberapa pendapat di atas mengenai
jenis gaya bahasa tersebut dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendapat Keraf
karena menurut peneliti jenis gaya bahasa yang di kemukakan oleh Keraf sudah
mewakili paparan mengenai jenis gaya bahasa dari pakar yang lain. Teori penelitian
ini juga dibatasi pada gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dan langsung tidaknya
makna karena data penelitian ini berupa novel.
a. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat
Menurut Keraf (2004: 124-129), struktur sebuah kalimat dapat dijadikan
landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Adapun yang dimaksud dengan struktur
kalimat disini adalah tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat
tersebut. Ada kalimat yang bersifat periodik, bila bagian yang terpenting atau gagasan
yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada kalimat yang bersifat
kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal
kalimat. Jenis yang ketiga adalah kalimat berimbang, yaitu kalimat yang mengandung
dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama tinggi atau sederajat.
Berdasarkan ketiga macam struktur kalimat tersebut, maka dapat diperoleh gaya-gaya
bahasa antara lain: (1) klimaks, (2) antiklimaks, (3) paralesisme, (4) antithesis, dan (5)
repetisi.
1) Klimaks
Nurgiyantoro (2007: 303), mengemukakan klimaks adalah urutan
penyampaian yang menunjukkan semakin meningkatnya kadar pentingnya gagasan.
Sedangkan Tarigan (2013: 79), menjelaskan klimaks merupakan sejenis gaya bahasa
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
15
yang berupa susunan ungkapan yang semakin lama semakin mengandung penekanan.
Keraf (2004: 124-125), menambahkan bahwa klimaks adalah semacam gaya bahasa
yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat
kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Bila klimaks itu terbentuk dari
beberapa gagasan yang berturut-turut semakin tinggi kepentingannya maka disebut
anabasis, contoh: Tuan-tuan jangan terlalu banyak menghamburkan waktu, tenaga,
dan fikiran bagi saya. Jadi kesimpulannya klimaks adalah gaya bahasa yang terdiri
dari gagasan yang berturut-turut semakin tinggi tingkat kepentingannya.
2) Antiklimaks
Keraf (2004: 125-126), mengungkapkan bahwa antiklimaks merupakan suatu
acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke
gagasan yang kurang penting. Antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur
mengendur, contoh : Pembangunan lima tahun telah dilancarkan serentak di ibu kota
negara, ibu kota-ibu kota propinsi, kabupaten, kecamatan, dan semua desa di
seluruh Indonesia. Antiklimaks merupakan urutan penyampaian yang menunjukkan
semakin mengendur kadar pentingnya sebuah gagasan (Nurgiyantoro, 2007: 303).
Sedangkan Tarigan (2013: 81), menambahkan bahwa antiklimaks merupakan
suatu acuan yang berisi gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturut-
turut ke gagasan yang kurang penting. Jadi kesimpulannya antiklimaks merupakan
gaya bahasa yang terdiri dari gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang terpenting ke
gagasan yang kurang penting.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
16
3) Paralelisme
Nurgiyantoro (2007: 302), paralelisme menyaran pada penggunaan bagian-
bagian kalimat yang mempunyai kesamaan struktur gramatikal dan menduduki fungsi
yang sama pula secara berurutan. Contoh : Diantara sejumlah warga terpaksa ada
yang dipilih, dibatasi, bahkan adakalanya ditolak untuk diterima sebagai anggota.
Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam
pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk
gramatikal yang sama (Tarigan, 2013: 131).
Keraf (2004: 126), paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha
mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki
fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Jadi kesimpulannya
paralelisme merupakan gaya bahasa yang mempunyai kesejajaran dalam pemakaian
kata-kata dan menduduki fungsi yang sama secara berurutan dalam sebuah kalimat.
4) Antithesis
Menurut Ducrot & Todoov (dalam Tarigan, 2013: 26), mengemukakan
antithesis merupakan sejenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau
perbandingan antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantic
yang bertentangan. Antithesis merupakan penyampaian gagasan-gagasan yang
bertentangan (Nurgiyantoro, 2007: 302). Antithesis adalah sebuah gaya bahasa yang
mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan. Gaya ini timbul dari kalimat
berimbang (Keraf, 2004: 126-127). Contoh: mereka sudah kehilangan banyak dari
harta bendanya, tetapi mereka juga telah banyak memperoleh keuntungan darinya.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
17
Jadi kesimpulannya antithesis merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata
berlawanan atau bertentangan arti satu dengan lainnya.
5) Repetisi
Repetisi merupakan gaya pengulangan kata atau kelompok kata yang sama.
Kata atau kelompok kata yang diulang dalam repetisi bisa terdapat dalam satu kalimat
atau lebih, dan berada pada posisi awal, tengah, atau di tempat yang lain
(Nurgiyantoro 2007: 301). Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata atau
bagian kalimat yang dianggap penting. Repetisi seperti halnya dengan paralesisme dan
antithesis lahir dari kalimat yang berimbang. Macam-macam repetisi meliputi
epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan
anadiplosis. Keraf (2004: 127-129) menjelaskan macam-macam repetisi itu sebagai
berikut:
a) Epizeuksis adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang
dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Contoh:
Kita harus bekerja, bekerja, sekali lagi bekerja untuk mengejar semua
ketinggalan kita.
b) Tautotes adalah repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah
kontruksi. Contoh :
Kau menuding aku, aku menuding kau, kau dan aku menjadi seteru.
c) Anafora adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap
baris atau kalimat berikutnya. Sedangkan Nurgiyantoro (2007: 299-300),
mengemukakan anafora merupakan gaya bahasa yang menunjukkan
adanya pertautan atau menampilkan pengulangan kata pada awal
beberapa kalimat yang berurutan, contoh : Bahasa yang baku pertama-tama berperan sebagai pemersatu dalam pembentukan suatu masyarakat bahasa-bahasa yang bermacam-macam dialeknya. Bahasa yang baku akan mengurangi perbedaan variasi dialek Indonesia secara geografis, yang tumbuh karena kekuatan bawah sadar pemakai bahasa Indonesia, yang bahasa pertamanya suatu bahasa Nusantara. Bahasa yang baku itu akan mengakibatkan selingan bentuk yang sekecil-kecilnya.
d) Epistrofa adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan. Contoh : Bumi yang kau diami, laut yang kau layari adalah puisi
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
18
Udara yang kau hirupi, air yang kau tengguki adalah puisi e) Simploke adalah repetisi pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat
berturut-turut. Contoh : Kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin Kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin
f) Mesodiplosis adalah repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat berurutan. Contoh : Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goreng
g) Epanalepsis adalah perulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa atau kalimat, mengulang kata pertama. Contoh : Kita gunakan pikiran dan perasaan kita Kuberikan setulusnya, apa yang harus kuberikan
h) Anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Contoh : Dalam baju ada aku, dalam aku ada hati, dalam hati: ah takapa jua yang ada Dalam syair ada kata, dalam kata ada makna, dalam makna: Mudah-mudahan ada Kau!
Siswantoro (2014: 210), mengatakan bahwa repetisi merupakan penggunaan
gaya bahasa yang bertujuan untuk memberi penekanan kepada makna frasa. Jadi
kesimpulannya repetisi merupakan gaya bahasa yang berupa pengulangan kata atau
kelomok kata yang sama yang terdapat dalam satu kalimat atau lebih dan letak
posisinya bisa di awal, tengah maupun akhir kalimat.
b. Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna
Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut
sebagai trope atau figure of speech. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya
makna dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris yang semata-mata
merupakan penyimpangan dari kontruksi biasa untuk mencapai efek tertentu dan gaya
bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam
bidang makna (Keraf, 2004: 129).
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
19
1) Gaya Bahasa Retoris
a) Aliterasi
Menurut Siswantoro (2014: 136), aliterasi merupakan pengulangan bunyi
konsonan di posisi akhir atau di posisi awal kata, seperti bunyi /t/ pada pasangan tried
atau true, bunyi /m/ pada pasangan might dan main, bunyi /n/ pada pasangan thin dan
pin. Sedangkan Tarigan (2013: 175), menjelaskan aliterasi yaitu sejenis gaya bahasa
yang memanfaatkan purwakanti atau kata-kata yang permulaannya sama bunyinya.
Contoh aliterasi seperti : Takut titik lalu tumpah. Kalimat tersebut merupakan aliterasi
t terlihat dengan pengulangan konsonan t berturut-turut pada satu kalimat.
Nurgiyantoto (2007: 303), menambahkan bahwa aliterasi merupakan penggunaan
kata-kata yang sengaja dipilih karena memiliki kesamaan fonem-konsonan, baik yang
berada di awal maupun di tengah kata. Jadi kesimpulannya aliterasi merupakan gaya
bahasa yang berupa pengulangan bunyi konsonan di posisi awal, tengah, dan akhir
kata.
b) Asonansi
Keraf (2004: 130), berpendapat bahwa asonansi adalah semacam gaya bahasa
yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Asonansi merujuk kepada
pengulangan bunyi vokal dengan tujuan memberi tekanan makna pada kata tertentu
dan menciptakan rangkaian suara yang musical, contoh: Kura-kura dalam perahu,
pura-pura tidak tahu. Siwantoro ( 2014: 140), mengemukakan asonansi merupakan
pengulangan bunyi hidup seperti bunyi /i/ pada pasangan he dan she. Jadi
kesimpulannya asonansi merupakan gaya bahasa yang berupa pengulangan bunyi
hidup dengan vokal yang sama.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
20
c) Anastrof atau Inversi
Ducrot & Todorov (dalam Tarigan, 2013: 85), inversi merupakan permutasi
atau perubahan unsur-unsur konstruksi sintaksis. Dengan kata lain inversi merupakan
perubahan urutan subjek predikat (SP) menjadi predikat subjek (PS). Sedangkan Keraf
(2004:130), berpendapat bahwa anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris
yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Anastrof
ini mengubah urutan unsur-unsur kontruksi sintaksis dengan menyebutkan terlebih
dahulu predikat sebelum subjeknya, contoh: Pergilah ia meninggalkan kami,
keheranan kami melihat perangainya. Jadi kesimpulannya inversi merupakan gaya
bahasa yang melakukan pembalikan urutan susunan kata subjek predikat menjadi
predikat subjek.
d) Apofasis atau Preterisio
Keraf (2004: 130-131), berpendapat bahwa Apofasis atau disebut juga
Preterisio merupakan sebuah gaya dimana penulis atau pengarang menegaskan
sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu,
tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau
menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya, contoh: Saya tidak
mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan
juta rupiah uang negara. Sedangkan Tarigan (2013: 86), mengemukakan preterisio
adalah jenis gaya bahasa yang digunakan oleh penulis, pengarang, atau pembicara
untuk menegaskan sesuatu tetapi nampaknya menyangkalnya. Jadi kesimpulannya
apofasis atau preterisio merupakan gaya bahasa yang menegaskan sesuatu tetapi
menyangkal dengan cara berpura-pura.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
21
e) Apostrof
Keraf (2004: 131) berpendapat bahwa apostrof adalah semacam gaya yang
berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir.
Dalam pidato yang disampaikan pada suatu masa, sang orator secara tiba-tiba
mengarahkan pembicaraannya langsung kepada sesuatu yang tidak hadir kepada
mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau objek khayalan atau sesuatu
yang abstrak. Dengan demikian dia tampak tidak berbicara pada hadirin, contoh: Hai
kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dari
belenggu penindasan ini. Sedangkan Tarigan (2013: 83), berpendapat apostrof
merupakan sejenis gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang hadir
kepada yang tidak hadir. Jadi kesimpulannya apostrof merupakan gaya bahasa yang
mengalihkan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir.
f) Asindeton
Nurgiyantoro (2007: 303), asindeton merupakan penggunaan pungtuasi yang
berupa „‟tanda koma‟‟. Keraf (2004: 131), berpendapat asindeton adalah suatu gaya
yang berupa acuan, yang bersifat padat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang
sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk ini biasanya
dipisahkan saja dengan koma, seperti ucapan terkenal dari Julius Caesar: Veni, vidi,
vici, “saya datang, saya lihat, saya menang”. Contoh: kesesakkan, kepedihan,
kesakitan, seribu derita detik-detik penghabisan orang melepaskan nyawa. Asindeton
merupakan gaya bahasa yang berupa acuan padat dan mampat di mana beberapa kata,
farasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung (dalam
Tarigan 2013: 136). Jadi kesimpulannya asindeton merupakan gaya bahasa yang
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
22
mengemukakan beberapa kata, frasa, maupun klausa secara berurutan tanpa
menggunakan kata sambung dalam kalimat.
g) Polisindeton
Tarigan (2013: 137), polisindeton merupakansuatu gaya yang merupakan
kebalikan asindeton. Dalam polisindeton beberapa kata, frasa, atau klausa yang
berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata sambung. Sedangkan Keraf (2004:
131), polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton.
Polisindeton ialah bentuk pengulangan yang menggunakan kata tugas tertentu
misalnya kata „‟dan‟‟ (Nurgiyantoro, 2007: 303). Contoh polisindeton sebagai berikut
: Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah
pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya?. Jadi kesimpulannya
polisindeton merupakan gaya bahasa yang berupa pengulangan yang menggunakan
kata penghubung secara berurutan dalam suatu kalimat.
h) Kiasmus
Keraf (2004: 132), berpendapat bahwa kiasmus adalah semacam acuan atau
gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian. Kiasmus berisikan pengulangan dan
sekaligus merupakan inversi atau pembalikan susunan antara dua kata dalam satu
kalimat. Contoh: Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami
untuk melanjutkan usaha itu. Sedangkan menurut Ducrot & Todorov (dalam Tarigan,
2013: 180), mengemukakan kiasmus adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan
atau repetisi dan sekaligus merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu
kalimat. Jadi kesimpulannya kiasmus adalah gaya bahasa yang berisikan pengulangan
dengan pembalikan susunan antara dua kata dalam satu kalimat.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
23
i) Elipsis
Keraf, (2004: 132), elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan
suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh
pembaca atau pendengar. Bila bagian yang dihilangkan itu berada di tengah-tengah
kalimat itu disebut anakoluton. Bila pemutusan di tengah-tengah kalimat tersebut
dimaksudkan untuk menyatakan secara tak langsung suatu peringatan atau karena
suatu emosi yang kuat, maka disebut aposiopesis, contoh: jika anda gagal
melaksanakan tugasmu…..tetapi baiklah kita tiak membicarakan hal itu. Sedangkan
Tarigan (2013: 133), memaparkan elipsis ialah gaya bahasa yang di dalamnya
dilaksanakan pembuangan atau penghilangan kata yang memenuhi bentuk kata
berdasarkan tata bahasa. Jadi kesimpulannya elipsis merupakan gaya bahasa yang
menghilangkan unsur kalimat dengan posisi penghilangan bisa di awal, tengah,
maupun akhir kalimat.
j) Eufemisme
Eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak
menyinggung perasaan orang. Eufemisme mengandung ungkapan-ungkapan yang
halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina,
menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan (Keraf,
2004: 132). Contoh: Anak saudara memang tidak terlalu cepat mengikuti pelajaran
seperti anak-anak lainnya (=bodoh). Tarigan (2013: 125), mengungkapkan eufemisme
adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar,
yang dianggap merugikan, atau yang tidak menyenangkan. Jadi kesimpulannya
eufemisme merupakan gaya bahasa yang berupa ungkapan secara halus sebagai
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
24
pengganti ungkapan kasar agar ungakapan tersebut tidak menyinggung perasaan
seseorang.
k) Litotes
Moeliono (dalam Tarigan, 2013: 58), litotes merupakan sejenis gaya bahasa
yang di dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk
yang negatif atau bentuk yang bertentangan. Keraf, (2004: 132-133) mengemukakan
litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan
tujuan merendahkan diri. Contoh: Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil
usaha kami bertahun-tahun lamanya. Jadi kesimpulannya litotes adalah gaya bahasa
yang menyatakan sesuatu dengan cara merendahkan diri dari yang sebenarnya terjadi.
l) Histeron Proteron
Keraf (2004: 133), histeron proteron adalah semacam gaya bahasa yang
merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar.
Histeron Proteron menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa,
contoh : Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya. Histeron
proteton juga bisa diartikan sebagai gaya bahasa yang membalikkan sesuatu yang
logis dan membalikkan sesuatu yang wajar (Tarigan, 2013: 88). Jadi kesimpulannya
histeron proteron merupakan gaya bahasa yang berupa kebalikan dari sesuatu yang
logis ataupun kebalikan dari sesuatu yang wajar.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
25
m) Pleonasme dan Tautologi
Menurut Poerwadarminta (dalam Tarigan, 2013: 28), pleonasme merupakan
pemakaian kata yang mubazir yang sebenarnya tidak perlu. Sedangkan tautologi
merupakan acuan yang menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang
dibutuhkan untuk menyatakan suatu gagasan atau pikiran. Keraf (2004: 133-134),
menjelaskan pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata
lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan.
Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan salah satu
kata mubazir artinya tetap utuh. Sebaliknya acuan itu disebut tautologi kalau kata
yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain.
Misalnya :
(1) Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.
Saya telah melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri.
Darah yang merah itu melumuri seluruh tubuhnya.
Ungkapan diatas adalah pleonasme karena semua acuan itu tetap utuh dengan
makna yang sama, walaupun dihilangkan kata-kata : dengan telinga saya, dengan
mata kepala saya, dan yang merah itu.
(2) Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat.
Globe itu bundar bentuknya
Acuan di atas disebut tautologi karena kata berlebihan itu sebenarnya
mengulang kembali gagasan yang sudah disebut sebelumnya, yaitu malam sudah
tercakup dalam jam 20.00, dan bundar tercakup dalam globe. Jadi kesimpulannya
pleonasme merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata mubazir dalam suatu
kalimat tetapi jika dihilangkan, artinya tetap utuh. Sedangkan tautologi merupakan
gaya bahasa yang menggunakan kata yang berlebihan yang sebenarnya kata tersebut
mengulang kembali gagasan yang sudah disebutkan di awal.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
26
n) Perifrasis
Menurut Keraf (2004: 134), perifrasis mempergunakan kata lebih banyak dari
yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan
itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Contoh: Ia telah beristirahat
dengan damai (=mati, atau meninggal). Sedangkan Tarigan (2013: 31),
mengungkapkan perifrasis merupakan gaya bahasa yang mirip dengan pleonasme.
Jadi kesimpulannya perifrasis merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata yang
berlebihan tetapi sebenarnya dapat diganti hanya dengan satu kata saja.
o) Prolepsis atau Antisipasi
Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang
mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau
gagasan yang sebenarnya terjadi. Contoh : Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai
sebuah sedan biru (Keraf, 2004: 134). Sedangkan Shadily (dalam Tarigan, 2013: 33),
menjelaskan prolepsis atau antisipasi berarti gaya bahasa yang mendahului tentang
sesuatu yang masih akan dikerjakan atau akan terjadi. Jadi kesimpulannya prolepsis
atau antisipasi merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata terlebih dahulu
sebelum peristiwa yang sebenarnya terjadi.
p) Erotesis atau Pertanyaan Retoris
Keraf (2004: 134-135), berpendapat bahwa erotesis atau pertanyaan retoris
adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan
tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar. Kalimat
retoris ini tidak menghendaki adanya sebuah jawaban. Dalam pernyataan retoris
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
27
terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin, contoh : Rakyatlah
yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di negara ini? Kalimat
pada contoh tersebut merupakan erotesis karena tidak membutuhkan jawaban.
Sedangkan Tarigan (2013: 130), menambahkan erotesis sejenis gaya bahasa yang
berupa pertanyaan yang digunakan dalam tulisan atau pidato yang bertujuan untuk
mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak
menuntut suatu jawaban. Jadi kesimpulannya erotesis atau pertanyaan retoris adalah
gaya bahasa yang berupa penegasan kalimat pertanyaan yang tidak menghendaki
adanya jawaban karena pertanyaannya telah menyindir dari jawabannya.
q) Silepsis dan Zeugma
Keraf (2004: 135) berpendapat bahwa silepsis dan zeugma adalah gaya di
mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah
kata dengan kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan
dengan kata pertama. Dalam silepsis, kontruksi yang digunakan secara gramatikal
benar tetapi secara semantik tidak benar. Contohnya :
Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya
Fungsi dan sikap bahasa.
Konstruksi yang lengkap adalah kehilangan topi dan kehilangan semangat,
yang satu memiliki makna denotasional, yang lain memiliki makna kiasan, demikian
juga ada konstruksi fungsi bahasa dan sikap bahasa namun makna gramatikalnya
berbeda, yang satu berarti „‟fungsi dari bahasa‟‟ dan yang lain „‟sikap terhadap
bahasa‟‟.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
28
Dalam zeugma kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya,
sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya baik secara logis maupun
secara gramatikal. Tarigan (2013: 68), menjelaskan zeugma adalah kata yang dipakai
untuk membawahi kedua kata berikutnya sebenarnya hanya cocok untuk salah satu
daripadanya baik secara logis maupun gramatikal. Misalnya :
Dengan membelalakkan mata dan telinganya, ia mengusir orang itu.
Ia menundukkan kepala dan badannya untuk memberi hormat kepada kami.
Jadi kesimpulannya zeugma merupakan gaya bahasa yang berupa gabungan
dua kata yang sebenarnya hanya cocok untuk salah satu kata saja dalam sebuah
kalimat.
r) Koreksio atau Epanortosis
Keraf, (2004: 135), koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud
mula-mula menegaskan sesuatu. Namun, kemudian memeriksa dan memperbaiki yang
mana yang salah, contoh: Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan,
sudah lima kali. Sedangkan Tarigan (2013: 34), mengemukakan koreksio adalah gaya
bahasa yang menegaskan sesuatu tetapi kemudian memperbaikinya atau
mengoreksinya kembali. Jadi kesimpulannya koreksio merupakan gaya bahasa
yang awalnya menegaskan sesuatu tetapi kemudian memperbaiki yang dianggap
salah.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
29
s) Hiperbola
Menurut Keraf (2004: 135), hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang
mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal.
Contoh hiperbola sebagai berikut : Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-
hampir meledak aku. Nurgiyantoro (2007: 300), mengemukakan hiperbola adalah
suatu cara penuturan yang bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-
lebihkan. Sedangkan Tarigan (2013: 55), menambahkan hiperbola adalah suatu cara
yang berlebih-lebihan untuk mencapai efek. Jadi kesimpulannya hiperbola adalah
gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dan membesar-
besarkan terhadap suatu hal yang sebenarnya hal tersebut biasa saja.
t) Paradoks
Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang
nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang
menarik perhatian karena kebenarannya (Keraf, 2004: 136). Paradoks menyatakan
sesuatu secara berlawanan, tetapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh dipikir dan
dirasakan, contoh: Musuh sering merupakan kawan yang akrab. Kalimat tersebut
merupakan paradoks karena mengandung pertentangan tetapi menarik perhatian
karena kebenarannya memang ada. Nurgiyantoro (2007: 300), berpendapat bahwa
paradoks merupakan cara penekanan penuturan yang sengaja menampilkan unsur
pertentangan di dalamnya. Jadi kesimpulannya paradoks adalah gaya bahasa yang
mengandung pertentangan dengan fakta yang ada.
u) Oksimoron
Menurut Keraf (2004: 136), oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha
untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Oksimoron
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
30
sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks, contoh: Itu sudah menjadi rahasia
umum. Sedangkan Ducrot & Tororov (dalam Tarigan 2013: 63), menambahkan
oksimoron merupakan jenis gaya bahasa yang mengandung penegasan atau pendirian
suatu hubungan sintaksis, baik koordinasi maupun determinasi antara dua antonim.
Jadi kesimpulannya oksimoron merupakan gaya bahasa yang menggabungkan kata-
kata berupa penegasan untuk menimbulkan efek yang bertentangan.
2) Gaya Bahasa Kiasan
Keraf (2004: 136) berpendapat bahwa gaya bahasa kiasan ini pertama-tama
dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan
sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan
kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua
pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau
langsung dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Adapun jenis-
jenis bahasa kiasan meliputi: (a) persamaan/ simile, (b) metafora, (c) alegori, parabel,
dan fabel, (d) personifikasi atau prosopopoeia, (e) alusi, (f) eponim, (g) epitet, (h)
sinekdoke, (i) metonimia, (j) antonomasia, (k) hipalase, (l) ironi, sinisme, dan
sarkasme, (m) satire, (n) inuendo, (o) antifrasis, dan (p) pun/ paronomasia (Keraf,
2004: 138-145).
a) Simile
Tarigan (2013: 9), menjelaskan simile merupakan perbandingan dua hal yang
pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. Nurgiyantoro (2007:
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
31
298), mengungkapkan simile merupakan perbandingan yang langsung dan eksplisit
dengan mempergunakan kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keeksplisitan.
Sedangkan Keraf (2004: 138), menambahkan simile adalah perbandingan yang
bersifat eksplisit. Upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-
kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Perumpamaan atau
perbandingan ini dapat dikatakan bahasa kiasan yang paling sederhana dan paling
banyak dipergunakan dalam karya sastra, contoh: matanya seperti bintang timur. Jadi
kesimpulannya simile merupakan gaya bahasa perbandingan yang langsung dengan
mempergunakan kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keeksplisitan.
b) Metafora
Menurut Siswantoro (2014: 116), metafora merupakan perbandingan antara
dua objek atau ide yang masing-masing sebagai tenor (yang dibandingkan) dengan
vehicle (pembanding). Sedangkan Keraf (2004: 139), berpendapat bahwa metafora
adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam
bentuk yang singkat : bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan
sebagainya. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata:
seperti, bak, bagai, dan sebagainya. Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal
yang sama atau seharga dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama. Contoh:
Orang itu buaya darat. Baldic (dalam Nurgiyantoro, 2014: 224), juga mengemukakan
bahwa metafora adalah bentuk pembandingan anatara dua hal yang dapat berwujud
benda, fisik, ide, dan sifat yang bersifat implisit. Jadi kesimpulannya metafora adalah
gaya bahasa yang membandingkan dua objek secara langsung.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
32
c) Alegori, Parabel, dan Fabel
Bila sebuah metafora mengalami perluasan, maka ia dapat berwujud alegori,
parable, atau fabel. Ketiga bentuk perluasan ini biasanya mengandung ajaran-ajaran
moral dan sering sukar dibedakan satu dari yang lain. Alegori adalah suatu cerita
singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah
permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang
abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Nurgiyantoro (2014: 239), alegori
merupakan sebuah cerita kiasan yang maknanya tersembunyi pada makna literal.
Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia,
yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut cerita-
cerita fiktif di dalam kitab suci yang bersifat alegoris, untuk menyampaikan kebenaran
moral atau kebenaran spiritual. Tarigan (2013: 25), parabel merupakan cerita yang
berkaitan dengan kitab suci dan merupakan alegori singkat yang mengandungv
pengajaran mengenai moral dan kebenaran. Jadi kesimpulannya parabel adalah gaya
bahasa yang berupa cerita dengan tokohnya manusia yang mengandung nilai moral.
Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di
mana binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak
seolah-olah seperti manusia. Fabel menyampaikan suatu prinsip tingkah laku melalui
analogi yang transparan dari tindak-tanduk binatang, tumbuhan, atau makhluk tak
bernyawa (Keraf, 2004: 140). Sedangkan Tarigan (2013: 24), menjelaskan fabel
merupakan sejenis alegori yang di dalamnya binatang-binatang bicara dan bertingkah
laku seperti manusia. Jadi kesimpulannya fabel merupakan gaya bahasa yang
mengenai dunia binatang dengan tingkah lakunya seperti manusia.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
33
d) Personifikasi atau Prosopopoeia
Keraf (2004: 140-141), mengungkapkan bahwa personifikasi atau
prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda
mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-seolah memiliki sifat-sifat
kemanusiaan. Contoh personifikasi sebagai berikut : Angin yang meraung di tengah
malam yang gelap itu menambah lagi ketakutan kami. Nurgiyantoro (2007: 299),
mengemukakan bahawa personifikasi merupakan gaya bahasa yang memberi sifat-
sifat benda mati dengan sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia sehingga dapat
bersikap dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia. Personifikasi adalah jenis
gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan
ide yang abstrak (Tarigan, 2013: 17). Jadi kesimpulannya personifikasi merupakan
gaya bahasa yang menggambarkan benda mati seolah-olah hidup seperti perilaku yang
dilakukan manusia.
e) Alusi
Keraf (2004: 141), alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan
persamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Biasanya, alusi ini adalah suatu
referensi yang eksplisit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau
tempat dalam kehidupan nyata, mitologi, atau dalam karya-karya sastra yang terkenal.
Contoh Alusio sebagai berikut : Bandung adalah Paris Jawa. Sedangkan Tarigan
(2013: 124), menerangkan alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak
langsung ke suatu peristiwa atau tokoh berdasarkan anggapan adanya pengetahuan
bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca untuk menangkap pengacuan itu.
Jadi kesimpulannya alusi merupakan gaya bahasa yang menunjukkan secara tidak
langsung kepada peristiwa, tokoh, maupun tempat dalam karya sastra.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
34
f) Eponim
Keraf (2004: 141), eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang
namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu. Contohnya : Kerakusannya
persis Karun. Sedangkan Tarigan (2013: 127), menjelaskan eponim merupakan gaya
bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan
sifat tertentu sehingga nama tersebut dipakai untuk menyatakan sifat itu. Jadi
kesimpulannya eponim merupakan gaya bahasa yang menggunakan nama seseorang
yang sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama tersebut dipakai untuk
menyatakan sifatnya.
g) Epitet
Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang
khusus dari seseorang atau suatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang
menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang, contoh: Putri
malam sudah bangun dari peranduannya (Keraf, 2004: 141). Sedangkan Tarigan
(2013: 128), berpendapat epiteton merupakan gaya bahasa yang mengandung acuan
yang menyatakan suatu sifat atau ciri khas dari seseorang atau sesuatu hal. Pada
epiteton tampak adanya ajektif atau frasa deskriptif untuk menunjukkan sifat sesuatu
yang menjadi subjek gaya. Frasa seperti itu biasanya disebut epitet. Jadi
kesimpulannya epitet merupakan gaya yang berupa sifat atau ciri yang khusus dari
seseorang untuk menggantikan nama seseorang atau suatu barang.
h) Sinekdoke
Menurut Siswantoro (2014: 117-228), sinekdoke terkait dengan tuturan yang
menyatakan sebagian untuk keseluruhan (pars pro toto) atau keseluruhan untuk
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
35
sebagian (totem pro parte). Sedangkan Keraf (2004: 142), berpendapat bahwa
sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai yang
berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang
mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro
toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte),
contoh: Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,00. Kalimat tersebut
mengandung sinekdoke pars pro toto karena kepala merupakan bagian dari anggota
tubuh manusia. Dalam pertandingan sepakbola antara Indonesia melawan Malaysia
di Stadion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3-4.
Kalimat di atas mengandung sinekdoke totum pro parte karena
mempergunakan keseluruhan (Indonesia dan Malaysia) untuk menyatakan sebagian
(kelompok pemain sepak bola). Nurgiyantoro (2007: 300), menambahkan sinekdoke
berarti „‟menerima bersama-sama‟‟ dan merupakan gaya yang tergolong gaya
pertautan yang mempergunakan sebagian untuk menyatakan keseluruhannya (pars pro
toto), atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro
parte). Jadi kesimpulannya sinekdoke merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk
menyebutkan nama sebagian sebagai pengganti keseluruhan atau sebaliknya.
i) Metonimia
Metonomia merupakan sebuah gaya yang menunjukkan adanya pertautan atau
pertalian yang dekat (Nurgiyantoro, 2007: 300). Sedangkan Keraf (2004: 142)
berpendapat bahwa metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan
sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang
sangat dekat. Metonomia dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
36
nama, contoh: Ia membeli sebuah kijang. Kalimat tersebut mengandung metonomia.
Hal ini digambarkan dengan kata kijang merupakan merk sebuah mobil. Moeliono
(dalam Tarigan, 2013: 121), menambahkan bahwa metonimia adalah gaya bahasa
yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang
atau hal sebagai penggantinya. Jadi kesimpulannya metonomia merupakan gaya
bahasa yang memakai nama ciri atau hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau
hal sebagai penggantinya.
j) Antonomasia
Keraf (2004: 142), antonomasia juga merupakan sebuah bentuk khusus dari
sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epipeta untuk menggantikan nama diri,
atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Misalnya : Yang Mulia
tak dapat menghadiri pertemuan ini. Sedangkan Tarigan (2013: 129), antonomasia
adalah gaya bahasa yang merupakan penggunaan gelar resmi atau jabatan sebagai
pengganti nama diri. Jadi kesimpulannya antonomasia merupakan gaya bahasa yang
menggambarkan suatu benda dengan simbol dan gelar sebagai pengganti nama yang
sebenarnya.
k) Hipalase
Keraf (2004: 142) mengungkapkan bahwa hipalase merupakan gaya bahasa
yang berupa sebuah pernyataan atau sindiran yang berlainan dengan yang
dimaksudkan. Contoh: Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah. Ungkapan
tersebut mengandung hipalase. Hal ini dikarenakan yang gelisah manusianya bukan
bantalnya. Sedangkan Tarigan (2013: 89), menjelaskan hipalase merupakan gaya
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
37
bahasa yang menggunakan suatu kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yang
seharusnya dikenakan pada sebuah kata lain. Jadi kesimpulannya hipalase merupakan
gaya bahasa yang menggunakan kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yang
berlainan dengan kata yang dimaksud.
l) Ironi, Sinisme, dan Sarkasme
Menurut Keraf (2004: 143), sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran adalah
suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari
apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi menyampaikan impresi
yang mengandung pengekangan yang besar. Entah dengan sengaja atau tidak,
rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya.
Sebab itu, ironi akan berhasil kalau pendengar juga sadar akan maksud yang
disembunyikan dibalik rangkaian kata-katanya, contoh : Tidak diragukan lagi bahwa
Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan
seluruhnya!
Menurut Tarigan (2013: 61), mengungkapkan ironi merupakan sejenis gaya
bahasa yang mengimplikasikan sesuatu yang nyata berbeda bahkan sering kali
bertentangan dengan yang sebenarnya dikatakan. Jadi kesimpulannya ironi merupakan
gaya bahasa yang bertujuan untuk menyindir seseorang secara halus dan tersirat.
Selain ironi ada pula sinisme menurut Tarigan (2013: 91), sinisme merupakan
ironi lebih kasar sifatnya namun kadang-kadang sukar ditarik batas yang tegas antara
keduanya. Sedangkan Keraf (2004: 143), sinisme merupakan suatu sindiran yang
berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan
hati. Walaupun sinisme dianggap lebih keras dari ironi namun kadang-kadang masih
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
38
sukar diadakan perbedaan antara keduanya. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah,
maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat sinis. Contoh : Tidak diragukan lagi
bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan akan lenyap bersamamu!.
Jadi kesimpulannya sinisme merupakan gaya bahasa yang berupa sindiran dan
biasanya terjadi ejekan.
Keraf (2004: 143-144), sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari
ironi dan sinisme. Sarkasme mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Sarkasme
dapat saja bersifat ironis, dapat juga tidak, tetapi yang jelas adalah bahwa gaya ini
selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Contoh: Kelakuanmu
memuakkan saya. Sedangkan Poerwadarminta (dalam Tarigan, 2013: 92), sarkasme
merupakan sejenis gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan
menyakiti hati. Jadi kesimpulannya sarkasme merupakan gaya bahasa yang lebih
kasar dari ironi dan sinisme sehingga dirasa sangat menyakiti hati dan kurang enak di
dengar.
m) Satire
Keraf (2004: 144) berpendapat bahwa satire adalah ungkapan yang
menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak perlu harus bersifat ironis.
Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar
diadakan perbaikan secara etis maupun estetis. Satire berisi kritik sosial baik secara
terang-terangan maupun terselubung. Contoh:
Maling-maling kecil kau adili
Maling-maling besar kau lindungi
Di mana letak keadilan
Bila masih memandang golongan
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
39
Sedangkan Tarigan (2013: 70), menambahkan satire merupakan sejenis bentuk
argumen yang beraksi secara tidak langsung, terkadang secara aneh bahkan ada
kalanya dengan cara yang cukup lucu yang menimbulkan tertawaan. Jadi
kesimpulannya satire merupakan gaya bahasa yang mengandung ungkapan
ironi untuk menertawakan suatu masalah dan biasanya berupa kritik moral atau
politik.
n) Inuendo
Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang
sebenarnya. Contoh : Setiap ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu
kebanyakan minum (Keraf, 2004: 144). Sedangkan Tarigan (2013: 74),
mengemukakan inuendo merupakan gaya bahasa yang menyatakan kritik dengan
sugesti yang tidak langsung dan tampaknya tidak menyakitkan hati kalau ditinjau
sekilas. Jadi kesimpulannya inuendo merupakan gaya bahasa ironi yang mengecilkan
kenyataan yang sebenarnya dan tampak tidak menyakitkan sekilas.
o) Antifrasis
Menurut Keraf (2004: 144-145), antifrasis adalah semacam ironi yang
berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Antifrasis yang bisa
saja dianggap sebagai ironi sendiri, contoh: Engkau memang orang yang mulia dan
terhormat. Antifrasis merupakan gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata
dengan makna kebalikannya (Tarigan, 2013:76). Jadi kesimpulannya antifrasis
merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata dengan makna kebalikannya.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017
40
p) Pun atau Paronomasia
Ducrot & Todorov (dalam Tarigan, 2013: 64), paronomasia ialah gaya bahasa
yang berisi penjajaran kata-kata yang berbunyi sama tetapi bermakna lain, kata-kata
yang sama bunyinya tetapi artinya berbeda. Pun atau paronomasia adalah kiasan
dengan mempergunakan kemiripan bunyi. Ia merupakan permainan kata yang
didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya
(Keraf, 2004: 145). Pun atau paronomasia ini disebut juga dengan homonim, contoh:
Bisa ular itu bisa membunuh manusia. Jadi kesimpulannya pun atau paronomasia
adalah gaya bahasa yang berupa jajaran kata yang mempunyai kemiripan bunyi sama
tetapi bermakna lain.
Analisis Gaya Bahasa..., Selfiana Safitri, FKIP UMP 2017